Senin, 20 November 2017

Cerita Silat Pendekar Bodoh 6

baca juga
------Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian
keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan matimatian
kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf
dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga
tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,
“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu,
bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.
Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal
mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian ketakutan!
Dengan perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan
diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.
Empat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok.
Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni
pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan
pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni
ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang
Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!
Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh
keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,
“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang
penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”
Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke
sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.
Betaoa banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak
ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta penuh
harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.
Malam itu terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka
berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah
hutan itu.
“Yousuf! Kau keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.
Tiba-tiba saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan
terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,
”Kawanan penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”
Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar
Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya itu.
Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar
tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis
itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat
kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu dia membuat api dan
membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali…..
********************
Marilah kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka
berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.
Sambil menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari
melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat
Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.
Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu
naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!
“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan
memegang sebuah golok di tangan.
“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak menawannya!”
Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu
terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!
“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”
Orang-orang Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf
sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri!
Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di
tangannya walau pun hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor
naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.
Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta
beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung
rapat dan terdesak hebat.
Mendadak terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan
halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah
terpental dan orangnya terpelanting!
Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan
kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak
menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh
mengejar, ia berseru,
“Kong-ciak-ko, kau tahan mereka!”
Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan
menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati
dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!
Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk
dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa gelisah sekali apa
bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!
“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.
“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.
“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan
oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya
Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan
golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang
berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.
Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan
pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar
rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan
gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban
keganasan mereka.
Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali
mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak
Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari
belakang tanpa berani menyerang lagi.
Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah
terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak menyerang.
Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orangorang
pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang
dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya
kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sinkiang
itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.
Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya
lalu berkata kepada Lin Lin,
“Lin Lin, anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah
aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau
jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau
sampai terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”
“Tidak, tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”
Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban
jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.
Lin Lin lalu menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun pedangnya hanya
sebuah, akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang itu seakan-akan berubah menjadi
puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti sudah menyambar keluar dari pintu pondok dan
mengamuk tak kalah hebatnya.
Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia lalu
mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya
pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok dengan kaki kirinya.
Akan tetapi tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam.
Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset menancap pada paha burung
merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada
pahanya.
Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi, jangan kau takut, aku datang membantumu!”
Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar pedangnya makin
hebat dan bersemangat sambil berteriak,
“Koko...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, empat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut
sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.
“Tikus kecil, kau berani muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.
“Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak.
Biar pun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu
dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan sinarnya menyilaukan mata para
pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.
Pada waktu Kanglam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi
Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?”
Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura
telah kenal kami tiga saudara?”
“Ha-ha-ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”
Bukan main terkejut dan herannya ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin
Hai, anak gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh
dan gundul itu, dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang
demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati
mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!
Biar pun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan
tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula karena
ilmu pedang Lin Lin belum begitu sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan
tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, sehingga keadaan
keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani
turun membantu lagi!
Yousuf yang menderita sakit karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya berhubung dengan
jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini
menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya
berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.
Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak
membelanya, tentu gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara itu dan tak akan terpisah dari Cin
Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya oleh karena membelanya. Kalau gadis itu
sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang
pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!
Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda
bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!
“Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat
dan segera menawannya.
“Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih
sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!
Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau memberi
kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang
muda itu merasa gelisah sekali.
Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang
gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu
bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!
Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Paman Yousuf, mari ikut aku!”
Yousuf memandang dan ternyata nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika dia
memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang cepat-cepat menggendongnya dan
membawanya lari ke dalam gelap!
Sementara itu, penolong yang datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini semutsemut
kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan berani mengeroyok seorang nona manis?
Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata
demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!
Bukan main herannya hati Cin Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang
tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya
ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoatsut!
Menghadapi Cin Hai berdua Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya,
apa lagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat
bertahan saja.
Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai
mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin!
Serangan ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik sekali
sehingga Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang dirinya,
tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu
sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!
Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.
“Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan
orang tadi menghilang.
Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tidak
nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu
dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang
aneh yang tadinya menolong tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!
Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali sehingga biar
pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja
tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya.
Sebaliknya, orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tidak
pernah tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe (Terbang di
Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran selama setengah malam penuh sampai fajar
menyingsing, dan mereka tetap berlarian melewati hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang
pun di antara mereka yang mau mengalah!
Sementara itu, ketika pada esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di
atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang
berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung
bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di
depannya.
Kedua burung ini sudah mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau
melihat betapa burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan dia lalu
menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu dan mencabutnya.
Memang dia sudah mendapat latihan-latihan untuk melakukan pertolongan sehingga dengan mudah dia
dapat mengeluarkan pisau itu.
Melihat perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik,
maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah tercabut, keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang
berputar-putar mencari jejak majikan mereka…..
********************
Ang I Niocu, Kwee An serta Ma Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin
dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang
dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata golok.
Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan
hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya sudah roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan
sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.
“Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu.
Ketiga orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru
menghadapi seorang kakek saja mereka sudah sangat terdesak, apa lagi kini datang tiga orang muda
membantu kakek itu!
Ketika melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, Nelayan Cengeng tertawa gembira sekali. Ia
mengusap-usap rambut Ma Hoa pada waktu gadis itu berlutut di depan suhu-nya, mulutnya tiada hentinya
tertawa, akan tetapi sepasang matanya mengalirkan air mata!
“Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah
banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, apa bila tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu,
mungkin aku akan pangling!”
Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya ke lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya
mendapatkan tumpukan puing belaka sehingga dia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di
dalam hutan itu, dia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya
sehingga dia mempermainkan mereka dengan gembira, tak mengira sama sekali bahwa di situ dia akan
dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.
“Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu sedang dikejar-kejar oleh
orang Turki. Di mana mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka
tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seolah-olah baru saja kembali
dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menduga bahwa kau masih hidup!
Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinanku bahwa kalian adalah orangorang
baik yang berada dalam lindungan Thian!”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dapat tertolong dari
pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali dia tidak menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma
Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika dia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa dia
mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang telah mengajarkan
Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.
“Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh
besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai
sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan
Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku telah terdesak hebat dan terancam bahaya maut, Si Botak itu yang
datang menolongku. Dan sekarang, kembali dia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu silat
yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut
menghaturkan terima kasih padanya. Kini kau perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”
Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia segera
mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu dengan
rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga kedua batang
bambu yang berwarna kuning itu merupakan sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning
sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan
kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum luar
biasa. Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya kembali tertawa dengan gembira dan air matanya
mengucur makin deras!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang sudah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata
Ang I Niocu dengan sejujurnya.
“Ah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjuk darimu,” kata Ma
Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.
Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai secara terpisah agar lebih banyak
harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.
“Biarlah Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang
memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.
Biar pun Ma Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu,
namun ia anggap usul ini betul juga.
“Akan tetapi kita harus menentukan tempat berkumpul kembali supaya kita tidak saling mencari tanpa
mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” Nelayan Cengeng berkata.
Lalu mereka mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada
waktu mereka hendak melanjutkan perjalanan secara terpisah, tiba-tiba mereka mendengar dengan sayupsayup
suara orang bertempur. Mereka saling pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke
arah dari mana suara itu datang.
Pada waktu itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tak
terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan ketika
mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan
hebatnya!
Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia kira-kira empat puluh tahun
lebih. Dia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang memiliki empat tali. Gerakannya sangat hebat dan angin
gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang!
Lawannya juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah
dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan setiap kali ujung
gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api lalu memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua
senjata itu terbuat dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!
Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi
itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai
yang dahulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga keluarganya terbinasa! Sedangkan pendeta jubah
merah itu adalah Sian Kek Losu, yaitu seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang
lihai dan menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!
Makin bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar
menaruh curiga, maka kemudian kaisar memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau
penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan ialah seorang
yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah
suatu tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, karena itu dia lalu minta
pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah
Sie Ban Leng!
Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi
musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, Sian Kek Losu turut pula melakukan perjalanan ke barat untuk
melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah
mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.
Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambarnyambar
dan tak pernah berhenti menyerang karena setiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu
membuat gerakan melengkung lantas terus membabat dan memukul lagi hingga serangan itu dilakukan
tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi sehingga membuat pendeta Sakya Buddha itu
tersedak hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat
gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak.
Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang
lalu dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak
panah sekaligus lantas melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!
Terkejutlah Nelayan Cengeng beserta kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang
mengancam orang Han itu. Betapa pun juga, dan biar pun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu
dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak mereka
memihak bangsa sendiri. Ini merupakan watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang
mengancam Sie Ban Leng, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.
Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih
hebat lagi. Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari
dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia
mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah.
Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam oleh panah sudah terhindar dari bahaya dan
untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa sehingga dua batang anak panah
yang tadinya mengarah ke mata dan tenggorokannya, dengan suara keras lantas beradu dengan
senjatanya.
Sebatang anak panah dapat dipukul jatuh, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di perut alat musik itu.
Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri paling
depan.
Dengan tenang Ang I Niocu segera memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai ke bawah dan
sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah
yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.
“Kau berani merusak alat musikku?!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim
serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.
Kalau pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian
Kek Losu sudah siap sedia. Walau pun dia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya sanggup
menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan
senjata, dia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, sekali ini Sie
Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya sehingga saat gendewa itu beradu dengan
senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!
Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan mendesak terus. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam
gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai. Segera
mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan berkata,
“Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan dia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.
Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan
tetapi dia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu tidak akan kalah.
Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu
dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil
memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi
pengeroyokan??”
Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi
kacau balau karena biar pun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini adalah
orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka, sedangkan pihak mereka
yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu
dan Balaki. Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan
menghilang di dalam gelap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara
menyatakan kebanggaannya.
Mendengar kata-kata serta melihat lagak Sie Ban Leng ini, diam-diam Nelayan Cengeng merasa tak suka,
apa lagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan mata terbelalak kagum dan bibir
tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin
laki-laki ini tidak bersih.
“Cuwi gagah perkasa sekali dan kalau Cuwi tak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku
dapat merobohkan mereka seorang demi seorang,” kata Sie Ban Leng sambil mengerling kepada Ang I
Niocu.
Kwee An dan Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau saja mereka tahu
bahwa orang yang sudah dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka mau turun tangan.
“Ha-ha-ha, pendeta pendek tadi adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak
tahunya hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau kawan-kawannya tidak keburu datang mengeroyokku,
pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!” Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau
terjadi demikian barulah mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh
dibuat permainan!”
Biar pun ucapan ini seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa
maksudnya adalah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang I Niocu yang merasa
sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada Nelayan Cengeng,
“Lo-enghiong, mari kita lekas keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”
Juga Kwee An dan Ma Hoa kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng
tertawa bergelak-gelak hingga keluar air matanya ketika dia bertindak pergi meningalkan Sie Ban Leng
sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi kalau kau berdiri di tempat terlampau tinggi,
ada bahayanya kau akan tergelincir jatuh!”
Sie Ban Leng merasa penasaran sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang
cantik bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka telah pergi, ia
tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari jauh dan ketika tiba di luar hutan,
melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri dan berpisah dari tiga orang yang lain, hatinya girang bukan
main dan diam-diam dia lalu mengejar Ang I Niocu!
Ada pun Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di
sepanjang jalan mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.
“Dulu aku pernah mendengar nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu dia
menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap Garuda. Akan tetapi
kemudian dia lalu menjelajah ke daerah barat. Mungkin dia inilah orangnya!”
Ma Hoa sendiri biar pun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena semenjak
kecil lebih sering berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu silat, maka ia belum pernah bertemu
dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.
Ketiga orang ini segera melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai
memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
akan tetapi yang terbanyak adalah suku bangsa Hui. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota
Kansu, yaitu Lan-couw yang besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari
Turki yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya dari
daerah ini…..
********************
Cin Hai terus mengejar pria pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya
berlari cepat. Dia merasa heran sekali karena biar pun ilmu ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang
tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya, padahal orang itu berlari sambil
mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya karena telah tertotok secara lihai sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ia tidak mau kalah dan andai kata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekali
pun, ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul ketika mereka masih
saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang kering dan luas.
Akhirnya, orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri, terus dikejar oleh Cin
Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah, akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil
mengempit tubuh Lin Lin di dalam pelukan lengan kirinya, dia menunggu dengan mulut tersenyum akan
tetapi sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!
Cin Hai berlari dan melompat ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak
hendak melepaskan gadis itu?”
“Ehh, bocah kurang ajar, kau ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak
tahu bahwa kini kau tengah berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang berarti akan
mendatangkan maut bagimu apa bila kau menentangnya? Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini?
Kuperingatkan kepadamu agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”
“Orang rendah! Ternyata yang kau hias hanya mukamu saja sehingga biar pun di luar kau nampak cakap
dan bersih, tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang rendah, buruk dan
kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi jangan kau kira bahwa aku takut
kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tak pernah takut menghadapi seorang penjahat, betapa pun gagahnya
dia! Lepaskan gadis itu kalau kau masih sayang jiwamu sendiri!”
“Ha-ha-ha! Masih baik kalau kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau
memang pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh karena tidak
tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik jelita dan manis, ada pun aku seorang
laki-laki yang gagah dan tampan, maka sekarang aku menawannya dengan maksud apa? Tentu saja, kau
akan mengerti sendiri kalau saja kau tidak sedemikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini sebagai
isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang sejak dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku!
Nah, sekarang kau sudah mendengar maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu
dan jangan mencari penyakit dengan ikut mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Bangsat cabul!” Cin Hai memaki marah bukan main. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini ialah
tunanganku! Siapa sudi untuk mencampuri urusanmu yang kotor? Kau lepaskan tunanganku ini dan baru
aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”
Mendengar ucapan ini, berdirilah kedua alis orang itu. Hidungnya yang mancung itu lalu berkembangkempis,
dan meski pun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai melihat betapa sinar matanya bernyalanyala
bercahaya.
“Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba saja orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya
berkelebat, ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari lengan
tangan orang itu mengepul uap putih.
Melihat betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan dia
segera melawan dengan Pek-in Hoat-sut juga! Orang itu terkejut sekali melihat gerakan Cin Hai ini, dan
cepat ia merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna. Akan tetapi kembali ia terheran sampai
mengeluarkan suara tertahan ketika Cin Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang
sama pula!
Kembali orang itu merobah ilmu silatnya dengan berbagai macam pukulan yang lihai dan permainan silat
pilihan yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam gerakan
tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.
“Ehg, ehh tahan dulu!” kata orang itu sambil melompat ke belakang.
“Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri tenang dan memandang tajam.
“Kau yang mengerti Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan,
siapakah kau dan siapa pula Gurumu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku pun sedang terheran-heran melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kongciak
Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku bertanya, kau sudah
mengajukan pertanyaan lebih dahulu, maka dengarlah baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar
Bodoh dan suhu-ku ialah Bu Pun Su!”
Untuk sesaat wajah pesolek itu menjadi pucat dan dia memandang seakan-akan melihat setan, namun dari
sinar matanya mengandung ketidak percayaan.
“Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.
“Bukan hanya aku, bukalah lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kau tawan itu pun seorang murid
Suhu Bu Pun Su pula,” kata Cin Hai.
Tiba-tiba berubahlah wajah orang itu. Dia tersenyum dan tiba-tiba dia mengangkat tangan dengan girang.
“Kalau begitu, kau adalah Sute-ku dan gadis ini adalah Sumoi-ku! Lebih baik lagi! Sute, dengarlah bahwa
Bu Pun Su adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena aku adalah murid dari Guruku Han Le!”
Cin Hai merasa terkejut sekali dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.
“Hm, hmm, kalau begitu kau benar adalah Seheng-ku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan
tentang kau. Siapakah namamu?”
Sambil tertawa orang itu berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari
Suhu di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau pernah memberi pelajaran
beberapa ilmu kepadaku, dan sekarang aku perintahkan agar supaya kau tinggalkan aku dan Sumoi!”
“Apakah yang hendak kau perbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.
“Sute, dengarlah baik-baik. Sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, kau harus mengalah
padaku. Sumoi-ku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil untuk menjadi isteriku. Terus terang saja,
semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar kepadanya.”
“Tapi dia adalah tunanganku!” kata Cin Hai penasaran.
“Sute, sudah selayaknya apa bila seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suheng-nya belum
kawin, mana sute-nya boleh bertunangan? Kau mengalahlah padaku kali ini, Sute. Biar lain kali aku
mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”
“Aku tidak mempunyai seorang Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan sangat marahnya. “Kalau
kau tidak mau melepaskan Lin Lin, biarlah kita mengadu jiwa di tempat ini!”
Kedua mata Song Kun berkilat. “Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah
sombong! Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu, jangan harap
kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”
“Jangan banyak cakap dan kau cobalah saja!” seru Cin Hai sambil melangkah maju.
Bukan main marahnya Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak
dan tahu-tahu sebatang pedang sudah berada di tangan itu. Cin Hai terkejut bukan main melihat pedang ini
karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu
mendatangkan hawa panas!
Inilah pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi pedang
pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini jatuh ke dalam tangan Song Kun, maka seakanakan
dia menjadi seekor naga yang tumbuh sayap!
Cin Hai juga mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan
menerjangnya, dia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut sekali
melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biar pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Han
Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi
berbareng juga lihai sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan oleh karena tangan kirinya masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali.
Apa lagi ketika selain menggerakkan pedang untuk menyerang, Cin Hai juga menggunakan tangan kiri
untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya!
Song Kun lantas memutar-mutar pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu
dengan pedang Cin Hai. Akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya sekali
maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan memperhebat serangan tangan
kirinya.
Pada suatu kesempatan, tangan kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya
dan dalam keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat tangan
kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke dalam sebuah jurang yang curam!
Cin Hai menjerit ngeri melihat betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu
dipergunakan oleh Song Kun yang telah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke arah dadanya,
dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut
sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir Mendung dengan tangan kirinya, sedangkan
pedangnya diangkat untuk menangkis.
Dua batang pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai dalam
keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia diserang
tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi
korban serangan berbahaya dari Song Kun Yang lihai itu.
Song Kun tertawa girang dan penuh ejekan, kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga Cin Hai
terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna
untuk menghadapi lawannya yang lihai bersilat dengan tangan kosong.
Pada saat itu pula, dari jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil
menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun Su! Kakek ini langsung
melompat ke tempat pertempuran dan sekali dia mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di
tangan Song Kun kena tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan dia melompat ke belakang
dengan kaget sekali.
“Suhu...!” kata Cin Hai dengan girang sekali sebab melihat betapa suhu-nya telah berhasil menolong Lin
Lin. Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.
“Ahh, kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada dan dia tidak mau
memberi hormat sama sekali terhadap supek-nya itu.
“Song Kun kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” berkata Bu Pun Su dengan
suara kereng.
Song Kun tersenyum dengan penuh ejekan dan kesombongan.
“Teecu tidak tahu akan maksud ucapan Supek ini,” jawabnya.
“Orang tersesat! Baiknya Suhu-mu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat
betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun, perbuatanmu yang
rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum mau mengakuinya? Kau menculik
seorang gadis dan walau pun kau sudah mengetahui bahwa dia ini adalah seorang Sumoi-mu sendiri tetapi
kau masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”
“Teecu mencinta dia, apakah salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta
seorang wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, hal ini adalah urusan orang-orang muda
dan orang tua tidak berhak mencampurinya!”
Ucapan ini benar-benar kurang ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa dua tangannya gatal-gatal hendak
turun tangan menyerang suheng yang jahat itu.
“Sesudah Suhu meninggal, yang berhak mengajar teecu hanyalah seheng-ku, Lie Kong Sian seorang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu, silakan,
teecu sedikit pun tidak merasa takut!”
Kalau kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima tantangan ini, tentu dia akan menjadi marah dan tak
bersabar lagi. Akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak tega
untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid sute-nya.
“Song Kun, Suhu-mu dahulu sudah keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada
tubuhmu. Akan tetapi, jika kau hendak memaksa dan melanjutkan niatmu ingin menculik muridku
perempuan ini, kau majulah dan boleh kau coba-coba kepandaian Supek-mu!” Sambil berkata demikian, Bu
Pun Su melangkah maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.
Kalau saja Song Kun mengangkat tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan
tercapai oleh ujung pedang. Akan tetapi Song Kun tidaklah sedemikian bodoh untuk melakukan hal ini.
Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang
memancing-mancing agar ia turun tangan lebih dulu hingga kakek ini mempunyai alasan untuk
menghajarnya! Kalau tadi dia mengeluarkan ucapan menantang, itu hanya karena ia merasa yakin bahwa
Bu Pun Su takkan mau turun tangan terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan
memasukkan pedangnya kembali.
“Supek, dunia bukanlah sebesar telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik, maka untuk
apakah teecu harus berebut seorang gadis dengan Supek-ku sendiri? Ha-ha-ha, ini amat menggelikan dan
akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut perempuan ini, biarlah
kalau Supek menghendakinya, dia boleh diambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai
dengan pandangan mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi Sehengmu,
maka awaslah kau! Lain kali bila kita bertemu, jangan harap aku akan dapat mengampuni jiwamu lagi!”
Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian
tubuhnya berkelebat dan lari turun dari bukit itu!
Bu Pun Su menghela napas. “Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah
mati oleh karena perbuatan muridnya itu! Ahh, begitulah kalau guru salah menerima murid. Tidak heran
bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau sudah menyaksikan
sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun dan betapa hebat pedang Ang-ho Sian-kiam itu sehingga Liongcoan-
kiam sendiri sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan membuktikan
ancamannya, maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin berada dalam bahaya,
maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam ilmu silatnya sehingga cukup kuat apa bila kelak
bertemu dengan Song Kun.”
Kakek itu lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak
kembali dan berlutut di depannya.
“Lin Lin, kalian sudah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh
sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri apa bila tidak mempunyai pedang yang mampu melawan
Ang-ho Sian-kiam, agaknya akan sukar sekali untuk dapat merobohkan dia. Maka, sekarang kau ikutlah
aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di
antara ratusan buah goa yang terdapat di Kansu, yaitu goa-goa Tun-huang, di situ terdapat sebuah goa
yang menyimpan sepasang pedang mustika yaitu Liong-cu Siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika
Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan dengan Ang-ho Sian-kiam (Pedang Dewa
Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Goa Tengkorak.”
Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa dia hendak mentaati perintah suhu-nya itu. Kemudian Bu Pun
Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin sesudah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan
mata yang mesra.
Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah tikungan.
Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir
lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentosa melebihi dari pada dalam
pelukan ibu sendiri!
Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu.
Akan tetapi, kebetulan sekali dia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu dan dia mengambil
dunia-kangouw.blogspot.com
keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Dia hanya
menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, dia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf
tinggal itu jauh sekali hingga dia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang ditinggalkannya di
dalam hutan.
Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan,
lalu minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf, kemudian mendengar
dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana.
Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan di samping Sin-kong-ciak, di
situ terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu sehingga kedua burung sakti itu lalu dibawa
oleh Bu Pun Su ke Goa Tengkorak.....
********************
Cin Hai melanjutkan perjalanannya hingga masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini merupakan daerah
pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah
Propinsi Cing-hai, dan pada sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan
Mongolia.
Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu juga dimulai dari Propinsi Kansu ini dan terus memanjang
menuju ke timur. Bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai
Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya
sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal
di Kansu.
Propinsi Kansu memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota ada Bukit
Pagoda Putih dan Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang.
Selain pertanian yang hidup subur pada sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat
besar dikerjakan orang di tempat ini. Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena
tinggi mutunya.
Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya
jernih. Goa-goa Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan
pemandangan indah peninggalan budaya kuno. Goa-goa ini penuh dengan patung-patung dan lukisanlukisan
dinding Agama Buddha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.
Tidak heran apa bila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri. Dan yang terbanyak adalah
orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini
terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.
Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho.
Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan pelan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan
bangunan-bangunan besar di kanan kiri.
Tiba-tiba dia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka dia segera menghampiri arah datangnya suara
itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah orang Turki yang sedang bermain sulap di sebuah lapangan
terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya.
Orang Turki itu sudah tua dan dia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil
meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan saat dia meniup sulingnya semakin keras, tibatiba
tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah kepala seekor ular yang sangat
besar! Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat
ke atas.
Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar berupa sendok yang besar. Itulah semacam
ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia terpengaruh hebat
sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya pun bergerak-gerak
menari mengikuti irama suara suling!
Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara
orang yang menyatakan ngeri dan takut! Hati Cin Hai tidak tertarik melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar suara suling dan diam-diam dia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.
Pada saat dia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng
dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Dan kiranya pada bagian
itu, juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah
herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu.
Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu,
dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang
gendut dan tidak tertutup dengan pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai
besar dan gendut!
Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu
menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke
dalam hingga kempis sama sekali!
“Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tidak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum
bagaikan sebuah arca Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku hingga kecil ini
banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng
adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang
boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, sehingga
diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur
seperti Kansu ini pinceng bisa melembungkan perut sebesar-besarnya agar supaya dapat menikmati
segala macam makanan. Bahkan daging unta pun dapat masuk ke dalam perutku!”
Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-geleng kepalanya yang
bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Meski pun dahulu kedua
orang ini pernah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak
mungkin orang dapat marah kepadanya!
“Akan tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang
lebih hebat lagi.”
Sambil berkata demikian dia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka
bagaikan mau menangis. Tidak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah
menimbulkan rasa geli di dalam hati sehingga kembali orang-orang tertawa bergelak.
“Jangan Cuwi mentertawakan Suheng-ku ini,” berkata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan
berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang mempunyai kekebalan hingga segala macam
senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati
oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!”
Terdengar seruan-seruan tidak percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar
suara seorang penonton mencela.
“Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti.
Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan
sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
“Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akan kutusukkan padanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh
mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu
yang masih saja duduk dengan mewek.
Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin
Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke
gagangnya! Pada saat Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikit pun
pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tidak percaya pada
kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu
kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak
mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan
oleh kedua orang ini?
Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup
itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu biar pun
dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu
sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu melempar pisau itu ke arah sebatang
pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
“Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau
pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Seheng-ku ini, pinceng
tidak berdaya.”
“Lihai sekali...,” semua orang berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura sambil berkata, “Pertunjukan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada
jodoh kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka
membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah
menyaksikan kepandaian dua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biar pun lihai, namun
tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To
Tosu itu, benar-benar membuat dia kagum dan tak mengerti.
Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
“Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”
Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap
tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
“Ahh, ahh, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini,
Taihiap?”
Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau bersama Ang I
Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”
Cin Hai terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan
perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?”
“Thian melindungi orang-orang baik,” hwesio gendut itu berkata, “maka kami terdampar oleh ombak besar
dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”
“Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”
“Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To
Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar
lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji.
Akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata,
“Dengan pisau yang sengaja kami buat secara khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”
Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadi pun dapat menancap di
pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah menggunakan ilmu sihir!”
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa,
akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!
“Ah, ahh, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tiada
dunia-kangouw.blogspot.com
artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan
bangga!”
Ceng To Tosu juga berkata, “Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada
gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai
orang. Akan tetapi coba kau tekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!”
Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan pada saat dia menekan, ternyata pisau itu
apa bila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi
ujungnya!
Demikianlah akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada
tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya
sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak
kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Dia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa
senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat
membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan padanya.
“Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan sebuah tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang
berbisik.
“Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”
“Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua sekarang telah membantu kerajaan.
Panglima besar yang sekarang, yaitu Kam-ciangkun, adalah orang gagah yang budiman, maka kami
berdua mau membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”
Cin Hai mengangguk. “Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah jika memang
demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti semua panglima
yang busuk dengan orang-orang yang betul-betul gagah dan budiman.”
“Memang kata-katamu ini benar sekali, Taihiap, apa lagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang
dalam bahaya besar.”
Cin Hai terkejut. “Apa maksudmu?”
Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak
mengadakan serangan ke wilayah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dahulu itu.
Dan sikap orang-orang Mongol juga sangat mencurigakan sehingga kita seakan-akan terancam dari dua
pihak. Karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan
sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kansu
dan di samping kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik,
bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan
musuh yang terbesar berada di daerah ini.”
Cin Hai mengangguk-angguk maklum kemudian berkata, “Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku,
Totiang, akan tetapi harap kalian berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang
lain mengenai hal ini.”
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan
rahasia.”
Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, Cin Hai berjalan-jalan di luar kota dan
pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang dan
rumput. Di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang
sekali.
Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, dia merasa sangat gembira dan kini setelah gadis itu
dunia-kangouw.blogspot.com
pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan
hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, dia hibur dengan dugaan
bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan. Juga
pertemuannya dengan kakek gagu di goa yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa
terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu,
mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main
dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa dia
lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup menirukan lagu kakek tadi!
Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat sehingga biar pun kurang sempurna namun
ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan
irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tidak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang
tinggal di dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor
ular itu yang datang sambil berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu kedua ular itu telah
berada di hadapannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar
sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular
sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya
dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, kemudian dari mulut mereka keluarlah
suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu
dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras kemudian menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil membuat seekor
ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan
mulut terbuka lebar-lebar!
Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata
bahwa ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri dan dia mulai menjadi marah.
Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini sudah merayap maju dengan kepala berdiri dan
agaknya marah sekali kepadanya.
Ia tidak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua
binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai sudah marah karena
tadi benar-benar dia dikejutkan oleh kedua binatang itu.
Dia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput
alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat
dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil
mengerahkan tenaga lweekang-nya.
Akan tetapi ular itu betul-betul gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat
mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua
ekor binatang yang gesit ini! Pada waktu ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Jangan bunuh mereka!”
Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam
dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit
serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan
juga.
“Menawan ular seharusnya bukan dipukul dengan senjata,” katanya pula.
Ia kemudian menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ularular
itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit!
Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga, dan ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang
menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit
lengannya sambil meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh
ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika
kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular
betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang
hebat.
Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun
dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dalam keadaan lumpuh. Setelah itu
barulah kakek Turki itu berpaling pada Cin Hai sambil tersenyum.
“Sepasang ular sendok jantan dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini
menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam
perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali
bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di
dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”
Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa kagum akan
kelihaian kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali berbicara dalam bahasa
Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”
Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku
hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”
“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”
“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau
balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti
sukar untuk hidup terus.”
Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan cerita kedua
pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki
yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,
“Anak muda, harap kau jangan menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan?
Aku bukan anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat
tinggi karena kaget dan herannya.
“Ehhh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat membaca apa yang
sedang kupikirkan?”
Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan
cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut
rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya.
Ular ke dua pun diperlakukan demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua
buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih sering kali menjulur-julur keluar.
Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di
sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
“Taihiap, aku bisa menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping gerakanmu yang
lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau
itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”
Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Dia sudah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu,
karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain
sahabat baiknya. Berhari-hari dia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin,
dunia-kangouw.blogspot.com
bagaimanakah keadaan anak itu?”
Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin
sudah tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam ilmu silatnya,” katanya dan kemudian
segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yopekhu?”
“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”
Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat berdiri dan menjura
dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan
kelancanganku, Locianpwe.”
Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku lebih menyukai
kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan
segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”
Mendengar ucapan ini, Cin Hai lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai
banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan
kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka dia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang
dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
“Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang
kudengar itu?”
Kakek rambut putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku gelisah.
Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi perpecahan, yaitu di antara para
pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut
pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan
pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari
banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw
dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku
tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun
tangan!”
Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan
sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya
mengenai pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu lalu berkata,
“Memang semenjak dulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa
lain. Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan
Turki pada waktu orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga
kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena
mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang di dunia ini banyak
sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan
kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan
Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan bertanya
kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura
kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh
kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!
Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh
karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini semakin terbuka matanya
dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kansu.
Diam-diam hatinya berdebar tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kansu terdapat
empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan menimbulkan permusuhan
hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah
golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua
dunia-kangouw.blogspot.com
dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia melihat perahu-perahu
nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi.
Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi karena enam buah perahu
itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali
dan suara nyanyian itu terdengar merdu!
Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu menjadi
gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan
itu!
Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka
terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di
depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai,
tiba-tiba saja Cin Hai yang masih meniup sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu
yang ditiup!
Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti
gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!
Laki-laki itu ternyata hanya duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu. Agaknya
dia adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Sesudah
lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,
“Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”
“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang tampan itu
mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari
kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.
“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap
melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa
orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu
benar-benar menyakiti hatinya.
“Ahh, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari
perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai!
Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya
menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil
berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah
ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat bicaranya, menunjukkan bahwa orang itu
datang dari Tiongkok Selatan.
Yang sangat mengherankan hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan
hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang
secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya!
Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang
tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya
sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban
Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu
melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang
mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan tangkisan hebat itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tak
jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah
hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng,
dia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan
ketika tiba di kota Ling-sia, dia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera melanjutkan perjalanannya
menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta bila mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai. Sedangkan
Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, ada pun Cin Hai yang
mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami
dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan
pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada dalam kamarnya!
Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera mengikuti dengan
diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang
baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara diam-diam
ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah
yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para
penggembala tengah menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai
suara lembu menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera
menghadang di tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu
bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!
Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di
dalam hutan itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak peduli terhadap mereka dan hendak
berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu segera berkata kepada suheng-nya,
“Inilah seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja
menghadang jalan gadis itu, dia pun membentak,
“Mata-mata kerajaan, kau mau lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini lalu
mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di
bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat dia lalu
mengenjot tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat
sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu terus meluncur cepat dan tepat sekali menancap di
punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini,
mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!
Para penggembala menjadi kaget sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang panjang hingga
terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan
ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang kini berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan
pembalasan Ang I Niocu!”
Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju
menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya dan mereka segera
bertempur dengan seru!
Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah berada pada
dunia-kangouw.blogspot.com
tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu
Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.
“Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu
pedang yang amat indah gerakannya itu.
Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar
bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar
wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras dia segera maju menerjang dan membantu sute-nya.
Hati Ang I Niocu terkejut melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju
Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu
saja dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar
biasa dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Dia menggigit
bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.
Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga seluruh tubuhnya
terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benarbenar
luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga
beberapa kali pedangnya kena disampok sampai lengannya terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani mengganggu kawan
baikku!”
Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I
Niocu bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapa pun tidak
sukanya melihat kesombongan orang ini, akan tetapi bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat
Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega.
Dia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang Leng lalu
menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi
sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala sehingga kini yang
terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang dua
orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan
pertempuran yang ramai.
Sementara itu, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa,
dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu
sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh rantai.
Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan
pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi
muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah
menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.
Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat.
Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika dia
melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang
digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anakanak
sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan
pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti dia
membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena
selama hidupnya belum pernah dia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.
Orang yang sedang mainkan senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh,
yang terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus dicurahkan terhadap pertempuran
itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna.
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh sebab itu, setelah sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu,
maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak membuat kesalahan-kesalahan.
Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu semakin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki
tangannya yang sudah diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih
dapat bertahan selama itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula, tiba-tiba
terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak
cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!
Sesudah melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau
menangis bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang
Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai
ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap
menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab.
“Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”
Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian
Kek Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biar pun dia dapat mendesak Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak dapat cepatcepat
menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya bisa
melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja. Maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan
seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu
lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Apakah
kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu
tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena
mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa
hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi betapa heran mereka ketika melihat betapa
pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke
gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa
setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!
Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua pendeta
Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu
kesaktian seperti itu!
“Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata
Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.
Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa penasaran, ia lalu
memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika
dia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil
berkata,
“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”
Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut
gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan
Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan
yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri hanya berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini,
akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa bergelak saja. Sebenarnya, kedua orang
pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi
dunia-kangouw.blogspot.com
perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi
sekaligus wakil Kam-ciangkun!
Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta itu segera
menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.
“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.
“Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.”
Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum
dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri
belum tentu akan sanggup melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah memperoleh
perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, kemudian meninggalkan mereka tanpa
banyak cakap lagi.
“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.
“Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju mendekati Ang I
Niocu dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya, yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh itu
adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu
sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian
sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka
cepat dia menjura sambil berkata,
“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”
Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu merendah
dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan? Jika kita tak saling membantu,
apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi
ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.
“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi,
marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat
saling membantu. Di daerah sekitar sini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat,
dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”
Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng
telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak
atau menyatakan keberatan?
“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil memandang tajam.
“Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”
Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak
perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan karena Ban Leng memang
pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, malah ia selalu
memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya
kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di
barat dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian menjawab,
“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada orang lain.”
Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka Ban Leng lalu mengubah sebutan
menjadi ‘Lihiap’.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.
“Kepadamu aku tidak memiliki rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan kepadamu bahwa
kini aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun atas perintah kerajaan.”
Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”
“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja, mewakili
pekerjaan Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan
Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah
Kansu ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki
keadaan mereka. Bahkan dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu,
juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam dan sebelum mendapatkan
bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang
Turki dan Mongol itu di daerah ini?”
“Inilah yang lagi kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat
menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita.
Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu,
juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya
yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk
mencari dan mendapatkannya.”
Ang I Niocu merasa tertarik sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil
keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak
jelas sikap Ban Leng yang sering kali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara
terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.
Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba dalam hatinya. Entah
bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar
mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai
menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng
menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan wataknya cerdik…..
********************
Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan
dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu
dan setiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam
untuk mengenal tempat itu lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat
banyaknya macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam
sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi,
timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.
Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan
cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi
alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak
mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu
menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan
pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu.
Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima
orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk.
Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke
atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang
itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takutdunia-
kangouw.blogspot.com
takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek
itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.
Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher
baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga tubuh kakek
itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu
mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.
Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda
melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran
benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil
membentak,
“Orang-orang kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”
Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda
yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya
menjadi gentar.
Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di
tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.
Cin Hai cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu
ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampasnya
dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tibatiba
dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.
Sesudah mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari!
Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting
jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani
menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat
diandalkan tenaganya.
Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintihrintih
itu.
“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil
terengah-engah.
Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh
karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan
berbahaya sekali.
“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”
“Mereka adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang
menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar
mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong...
aku sudah tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang
berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”
Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu
dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan
Yousuf?”
Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah
benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan...
dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”
“Baiklah, Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari
Yousuf.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”
Pada saat melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan
demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri
sendiri...!”
Terpaksa Cin Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku
bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok
itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada
tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang
demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning
dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari
pada perak!
Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang
harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan
memandangnya dengan heran.
Tutup cawan itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa
bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut
diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah
melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?
Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga
tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan
itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam
orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawankawannya!
Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya
dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.
“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”
“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan
selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”
Wai Sauw Pu tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.
“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya
kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi
tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan
sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya
kepadamu.”
“Memang barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk
menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”
“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”
“Maling tua itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!”
bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul
kakek itu dengan kejam.
Mendengar ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang
ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masingmasing.
Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin,
dunia-kangouw.blogspot.com
tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia menghadapi lawan yang
tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan
tangan kosong saja, paling banyak dengan sulingnya!
“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada
permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa bila kau suka, kami
sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu
membujuk.
“Ehh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi
benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji untuk melindunginya.
Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari
perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”
“Sicu, ini merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi
bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan
mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya
dengan heran.
“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi
aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai
kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang
kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang
Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa
anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara
sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang
pengkhianat negara?”
“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak
cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”
”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah
menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih
berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”
“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!
Dengan sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun
lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!
Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan
bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya terbuat dari pada bambu
tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung
sulingnya mengancam jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu
dekat!
Akan tetapi, tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap
kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk
menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh
karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan
empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi
tingkat ilmu silat mereka masih jauh di bawah dia.
Akan tetapi ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka
tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia segera memutarmutar
sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang
pengeroyok dapat dia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari
kurungan mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan
mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai
selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia bermalam di hotel-hotel ia
merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam.
Dia menjadi sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas
pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut
pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya.
Karena itu dia menjadi gelisah juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini
mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu harus berlaku
waspada serta hati-hati.
Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar tembok kota, dia
melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya dia hendak melewatinya saja, akan tetapi,
tiba-tiba dia dapat melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik
dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela pondok yang
terbuka, ia mendengar suara orang bicara.
Pada saat itu dia mengalami dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya
menjadi pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya ada
dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia
kepada Ang I Niocu!
Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya,
telah dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dipimpin oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun
Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga ikut kelihatan bayangannya!
Akan tetapi dia tak mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu.
Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang
tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,
“Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”
“Lihiap... tidak kasihankah kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku,
akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa
dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya sudah hendak mengasingkan diri dan
menyucikan diri untuk menebus dosa. Akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan
hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara
seorang laki-laki berkata.
“Cukup, tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan
tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang sangat kuhargai, tentu sekarang juga sudah
kucabut pedangku untuk menebas batang lehermu!”
“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak sampai hati
mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku
dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”
Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara
Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam
pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di
gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!
“Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa
dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...!”
serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.
Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil berkata demikian,
air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul
Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”
Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini lalu menjatuhkan diri
berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda
itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan
kegirangan,
“Hai-ji, kau benar-benar sudah dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”
“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”
Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu
berkelebat bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit
cepat dan sekarang barulah dia mengenali laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya
di tepi Sungai Huangho.
”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”
Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang
ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang
dulu mengkhianati ayah bundanya?
Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah
mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba saja ia
bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutarmutar
rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.
Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”
Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan Cin
Hai juga langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di
dekat Ang I Niocu.
Tidak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar.
Bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat
antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
“Niocu, sebenarnya mereka ini datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil menangkis
serangan lawan yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang
tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa.
Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.
“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur,
kita boleh bekerja cepat!”
Meski pun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat
lalu mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari
dunia-kangouw.blogspot.com
cepat memasuki kota Lan-couw.
Ternyata Ang I Niocu telah membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.
“Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.
Pada saat Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu
juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu
dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba
wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
“Goa ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”
Sambil berlari-lari mencari goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya
tentang rahasia cawan dan tutupnya.
“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah
tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa ini.”
Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari
sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di dalam salah satu goa-goa di Tun-huang
ini.”
“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar
biasa banyaknya!”
Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam itu dan segera
mereka masuk ke dalam goa yang besar itu.
“Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I Niocu.
Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa
patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka sudah
mendorong-dorong dinding dan membersihkan lantai, juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi
hasilnya nihil.
Cin Hai menjadi hilang sabar. Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih
mencari-cari.
“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau ceritakan semua
pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak
berpisah.”
“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini.
Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan segera datang menyerbu,” kata Ang I Niocu
sambil masih melanjutkan memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah
mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”
“Apa?!” Cin Hai melompat memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah
mereka?”
Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku
dapat bertemu dengan mereka?”
Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari ini!” dia
berkata sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat
Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat…”
Tiba-tiba saja dia melompat bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa
kita lupakan yang di atas?”
“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang
kita cari?”
Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera memeriksa lagi
dengan lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukirannya. Setelah
memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada
tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
“Ahh, aku tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari
kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada langit-langit dan di dinding.
“Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.
Benar saja, pada ujung kiri dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan
ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan
itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.
Meski pun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata bahwa ada setangkai
bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini pada
dinding goa dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang
terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
“Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi biar pun tidak
berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.
“Niocu, marilah kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu
rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
“Awas!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru.
Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba
terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini dipasangi tali baja yang menghubungkan
patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit goa. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di
sebelah dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk menutupi rahasia ini.
Begitu pintu pada langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur turun sebuah barang.
Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan main keduanya sudah melompat ke belakang
sambil bersiap menghadapi segala serangan. Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi
adalah tiba-tiba terdengar suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang ternyata ialah sebuah
peti, jatuh menimpa lantai.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang
sambil tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih
berdebar-debar maka untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
“Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”
“Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu
sambil tertawa.
Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Pada saat
tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari dalam peti dan ketika
mereka sudah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti
kecil itu berisikan dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
“Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
“Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”
Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang
sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain
dunia-kangouw.blogspot.com
tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil
oleh Ang I Niocu terdapat huruf ‘betina’!
“Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”
“Ehh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama dia rindu
akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja dua pedang ini kita serahkan kepada
Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”
“Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.”
Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap
menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada saat itu di luar
terdengar banyak suara kaki orang.
“Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula
dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai sudah hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya,
“Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”
Keduanya segera bersembunyi sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang yang
terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat keluar dari dalam goa dengan
pedang Liong-cu-kiam di tangan.
Sesudah tiba di luar goa, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh
karena setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat
indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna
pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.
“Lebih baik kita simpan pedang ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu
dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.
“Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin
mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu yang besar.
Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi dia
masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Pada saat dia
menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
“Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”
Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan
mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”
Cin Hai lalu menceritakan semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang
pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,
“Ah, Song Kun itu adalah Sute-mu yang jahat!”
“Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.
“Sute dia… ehhh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin,
adik seperguruan Susiok-couw!”
Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,
“Menurut Suhu Bu Pun Su, pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi
dia!”
“Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun kepandaianku
jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”
“Ahh, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”
Kemudian, Ang I Niocu lalu minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang
dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam,
lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.
“Ahh, kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan
mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa.
Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”
“Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja
selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain
Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika
membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
“Hai-ji demikian besar kasih sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya
bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”
Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi
kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, memang
hatimu mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”
Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa
kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka dia
buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”
Ang I Niocu mengerling padanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan
ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke goa itu. Mereka telah pergi
dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan
seharusnya ada di tempat itu.”
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia mengharapkan
perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah
itu.
Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak ingin
mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu
kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan Liong-cu-kiam.
“Niocu, lubang di atas itu kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang
masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui
rahasia tempat ini.”
“Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat
hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini
adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali.”
Cin Hai menjadi tertarik sekali.
“Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat
harta terpendam itu karena tidak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”
Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas sebuah batu
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya
mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu
menceritakan riwayat harta terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu pendeta-pendeta
Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras
dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tak jarang terjadi pertempuran
hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang.
Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang amat
tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tiada hentinya menyerang
ke wilayah pedalaman serta melakukan perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak
barang berharga sehingga mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar
membaiki para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan
menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.
Akan tetapi, sesudah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas kembali
barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan tentara untuk
mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu.
Karena tidak pernah menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai dan sebagian
di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta menyimpan harta benda itu di tempat
rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana
tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan
kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya entahlah,” kata
Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.
“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk apakah?” tanyanya
dengan muka memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak tahu harus
mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu dan kalau sudah berhasil, kita
bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”
“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam barang
itu!”
“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah
mencarinya?”
“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila harta benda yang
besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan mala petaka belaka!”
Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi ujar-ujar yang
menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan
mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat
hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”
Ang I Niocu tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera
di dalam goa ini!”
Cin Hai juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci
pembuka pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa itu terbuka, Cin Hai segera melompat ke
atas dan mempergunakan tangan kanannya untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ,
kemudian dia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, gelap sekali, Niocu!” katanya.
“Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa ini agar
cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera
mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.
Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira.
Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada
orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”
Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari goa. Ia
mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera
melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu
membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut.
Perwira itu segera merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan
sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia segera mengejar dan berseru, “Nona,
tunggu dulu!”
Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang mencari harta
pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.
Perwira itu cepat sekali larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I Niocu
dengan hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, yaitu
seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa
wanita yang dikejarnya ternyata adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari!
Dia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.
Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah
mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia bahwa perwira ini bukanlah
orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.
Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang panjang dan
hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak baru tiga puluh
lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak kuat, sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang
pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada
waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul
para anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat sangat genting sehingga perlu turun
tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
“Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan
perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”
Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula
kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula kerjamu di daerah ini?”
“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu
roboh dan lari ketakutan.
Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu Silat Pekin
Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis oleh orang sembarangan saja.
Akan tetapi bukan main terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil
mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut melihat serangan yang demikian
hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
“Eh, ehh, siapakah kau yang lihai ini?!” teriaknya.
Akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah kau siapa
dunia-kangouw.blogspot.com
adanya aku?”
Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu
kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak boleh dibuat gegabah.
Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi
ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang
hebatnya! Ilmu ginkang perwira muda itu betul-betul membuat Ang I Niocu tertegun oleh karena
gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja sehingga setiap
serangan dari Pek-in Hoat-sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun
tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak mendatangkan
hasil, maka sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.
“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang
tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua
lengan sebagai penghormatan.
“Ahh, ahh, tidak tahunya siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah menggemparkan
dunia kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”
“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.
“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima
tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di
tempat asing dan sunyi ini?”
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh
perhatian pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas
dengan sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun, di dunia kang-ouw ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain
orang.”
Kam Hong Sin tersenyum, kemudian berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan
tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai orang yang
menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte tetap
masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira
yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah
pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”
“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu
kau dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka
kerajaan dan yang berhak memiliki dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan
hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan
dunia-kangouw.blogspot.com
akulah yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini
terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang
pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa
aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima
yang setia maka terpaksa aku mesti menggunakan kekerasan!”
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu
menggunakan kekerasan!”
“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin
dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung
sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau
kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di
mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di
tangan!”
“Siapa takut kepadamu?!” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cukiam.
Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang
sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain
gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkang-nya yang luar biasa sehingga membuat tubuhnya
berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia lantas
melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang
bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus sehingga
Kam Hong Sin benar-benar merasa terkejut dan kagum.
Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan
sudah lama dia ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini
keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki kesempatan untuk mencoba ilmu pedang gadis itu,
bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa dia mengandalkan ginkang-nya untuk
menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh dan gesit
ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan
Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat
menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus
terlihai yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam
Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke udara sambil
berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan tersebut ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari
serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas
serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya
itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang
diluncurkan!
Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja
pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan main
terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru dia tahu bahwa tali hitam
panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak
ada gunanya.
Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari jarak jauh
tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai
sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin
dunia-kangouw.blogspot.com
menggerakkan pedangnya pada waktu menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh
ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan
ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali dengan serunya dan kali ini karena
mengandalkan pedangnya yang sering kali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat
mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan
berbahaya itu.
Dia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau
pedang terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini
mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pun pedang terbang itu tentulah ilmu pedang
seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang
yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Akan tetapi, walau pun Ang I Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya
benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, di dalam hatinya tak
pernah ada rasa takut menghadapi lawan. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat
sehingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.
Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di
pihaknya, maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan tugas yang sedang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin
memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tidak lama kemudian, muncullah
Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat
betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap
Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata masing-masing dan
melompat mundur.
“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur
melawan Kam-ciangkun?”
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata, “Kam-ciangkun,
Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan musuh kita!”
Kam Hong Sin tersenyum. “Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan
tempat itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”
“Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak
percayaan.
“Lihat saja, dia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau mengembalikan
pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan
pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan
mendapat bencana.”
“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.
“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak
maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng,
manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat mukamu sendiri! Kau seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau
bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”
Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi biang
keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada
saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang
hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang
I Niocu.
“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak
dan menyerang dengan hebat.
Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban
Leng. Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat dari pada kawat
baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu,
Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam
Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan
mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan
merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga
sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak hebat!
Dia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar
pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu!
Dia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikit pun juga…..
********************
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit goa, setelah
membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh
Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu.
Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil merabaraba.
Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau
binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur
tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin
membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar
itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia terpaksa harus menghadapinya dalam
keadaan merangkak!
Berbahaya sekali dalam keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila binatang itu
berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata yang mencorong itu, tidak bergerakgerak
dari tempatnya meski pun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak
berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.
Apakah gerangan benda itu? Untuk beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau
binatang itu jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi
binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali
tak pernah bergerak? Namun dia masih ragu-ragu karena memang ada juga binatang yang sanggup
berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama menunggu,
timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak maju lagi dengan pedang siap
disodorkan ke depan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang
mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.
“Tingg…!”
Ujung pedangnya berdenting dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu adalah dua potong
batu yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika
ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali.
Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan semakin banyak
batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat
adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk-tumpuk sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat
terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Dia membawa dua buah
batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari sebutir telur ayam, lalu ia merayap keluar lagi.
Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun.
Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua
buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya sangat indah. Dua butir mutiara besar ini
saja sudah tak ternilai harganya, apa lagi yang masih bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar
patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada langit-langit itu tertutup kembali,
kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya
betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat orang sedang mengeroyok Ang I Niocu yang berada
dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat
ke tempat itu. Kalau saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesagesa,
tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika dia keluar
dari goa itu!
Begitu tiba di tempat pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”
Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa
bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.
“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya
pemuda itu.
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya
orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu
terbelah dua!
Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata
Cin Hai.
“Siapakah kau?” bentaknya.
“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”
Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan
matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan
sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah
menyambar dengan cepat. Maka robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas
pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng,
bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali dan memutar pedangnya secara hebat
untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun Cin Hai. Maka, secara berturut-turut datanglah beberapa
orang perwira kerajaan yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang
muda itu tak kurang dari sepuluh orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya
membela diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega
melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan
sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah
serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
“Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil
menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah merah itu, Cin Hai
kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika
melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara
perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng
Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena
diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu sehingga ketika para orang Mongol
datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!
Memang di antara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api
diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu
menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat
pertempuran itu.
“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan
secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia
memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.
Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, malah
pihak Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan
kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung
dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang Liong-cukiam
ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula tentang harta pusaka itu dan tentang
keadaan di sini.”
“Mengapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.
“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan sampai
didapatkan oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita tidak akan dapat
berbuat sesuatu.”
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana,
Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat menghadapi bahaya. Tempat ini penuh
dengan orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu tersenyum, kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu mencabut
pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”
Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah
dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”
Cin Hai lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana dulu dia
mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di Lan-couw untuk menjaga serta
mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau tidak hendak
makan dan beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di tempat itu, seakan-akan ada besi
sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, tetapi sudah
merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakanakan
sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia ingin lewat terus saja, akan tetapi pada
waktu melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya
seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.
Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan hal
yang kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya gambar siapakah yang mereka
gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si keparat Hai Kong.”
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan
mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu
menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah
meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai
Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang menyatakan kemarahan mereka.
Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta menghujani
dengan senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya
dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang
dan semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula
beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat lagi menahan keheranannya, maka ia lalu
bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah
orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang
yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah
dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu,
akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami
berterima kasih sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah mengorbankan nyawa demi
pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”
Cin Hai merasa amat tertarik mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar wanita yang
gagah dan mulia itu?”
“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi
senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Oleh karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung
yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian memandang. Alangkah terkejutnya
ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang.
Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal senjata-senjata
itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru
dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut bersembahyang
bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itu pun memberi
hormat!
Selesai bersembahyang, Cin Hai segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia
mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta
wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, dia tidak ragu-ragu lagi.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio sudah tewas di dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak melihat
bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia semakin merasa dendam dan
sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tidak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih
hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Dia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini
kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa berduka sekali mendengar tentang matinya
gurunya dan suci-nya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, dia telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li
saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat
dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di
balik sebatang pohon besar kemudian mengintai.
Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosokgosok
mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tidak salah lagi, yang berjalan
di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya
bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat
cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan
sekali.
Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah
rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, hanya berjalan sambil menundukkan
kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan
menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin Hai Kong Hosiang!
Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol
yang dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah
merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tidak bersepatu!
Wanita ini nampak aneh karena walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan meski pun
pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya
terbuat dari pada sutera merah yang sangat panjang dan indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nonanona
muda! Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun agak di
atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.
Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup mengalahkan
serta menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak percaya, akan tetapi semua yang
dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!
Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang
Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, kemudian melompat keluar sambil berseru,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung menerjang
mereka.
Semua orang sangat terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang
yang bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah
menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang
itu langsung terpental jauh, terlepas dari pegangan!
Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar suhu-nya berseru
keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!”
Suara ini menyiram api yang membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhu-nya
dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?”
“Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau
pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”
“Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.
Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat
suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”
Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang
yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia menggerakkan pedangnya menusuk
dada hwesio yang jahat itu.
“Akan tetapi, Suhu...,” ia mencoba membantah.
“Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.
Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu!
Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung pada Suhu-mu apakah ia
menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami apa bila
menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelakgelak
hingga menggema di dalam hutan itu.
Dari suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda
sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh dari pada cukup
untuk mengalahkan suhu-nya!
Dia tidak berani membantah perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi,
membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke
Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.
Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali.
Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa
Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya
berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan
yang terjadi pada diri kekasihnya.
Sesudah menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkoraktengkorak
raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini mempelajari
ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang
dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke
dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat
tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening.
Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lin Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa
keadaan kekasihnya.
Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah.
Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan
ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan
dapat menduga bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan
musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu
saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi
kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta
membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.
Biar pun andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya
pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan
jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua
matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.
Akan tetapi, ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat
dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap
kepala Lin Lin sambil berbisik,
“Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”
Untuk sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari
mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di dada pemuda itu.
Cin Hai mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya
itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa
tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai
memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,
“Lin-moi, kau kenapakah?”
“Hai-ko, syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”
Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak
menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”
“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk
menolong jiwaku.”
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek
pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”
Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut…..
********************
Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek
jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak
Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si
Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.
Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan yang luar biasa
sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai
untuknya, maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakangerakannya
itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.
Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin ini setiap hari
bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia
melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol, seorang
pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.
“Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu
melotot dan mengeluarkan air mata!
“Kwee Lin, anak jahat! Kau bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang
Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat.
Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih
melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke
dalam jurang! Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah satu matamu sebelum
kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”
“Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.
Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian yang jauh lebih
tinggi apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Hanle-
kiam di tangannya.
Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya hendak
dengan satu dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja
membuat nyawanya melayang!
Pada waktu Lin Lin menyerang dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I To-hwa
atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu
dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras, lalu mempergunakan
tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang,
sedangkan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencongkel
keluar mata itu.
Tak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan
hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio
itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun untuk menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke
arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan
tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu
Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!
Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah disangkasangkanya
ini. Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin
terkejut oleh serangan ini, biar pun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi
tingkatnya.
Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat
mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri.
Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut itu, ia tidak keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat
memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada
kanannya!
Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas
sehingga telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya!
Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski pun dia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh,
akan tetapi dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi
biru!
Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan
terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah mempunyai ilmu kepandaian
sehebat itu.
Sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu tak dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah
mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Dia menjadi nekat dan kembali maju menyerang dengan
keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti
dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan
sekali.
Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun bertempur
dengan serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu
sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis
sabar dan cepat maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.
Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa, “Siancai...
siancai….” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong...
engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang
gadis muda!”
Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong
Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta kawannya karena dorongan
ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur.
Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu terjadi hal
yang aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi, kini Bu Pun Su berdiri dengan
mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau
datang juga...?”
Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan
suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di manakah ada perceraian yang kekal?”
“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...”
“Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”
Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka
yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhu-nya dan nenek itu,
hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari pihak Hai Kong Hosiang.
Pada waktu melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun
tangannya dan belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada dan leher gadis itu.
Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan
belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak dilihatnya tetapi dapat ditangkap oleh
telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh di atas
tanah sehingga dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat
menghindarkan diri.
Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya
yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih
bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar
sekali dikelit atau ditangkis, maka meski pun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih
berhasil mengenai leher!
Lin Lin sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum
halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan
marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras
terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.
Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheranheran
dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu,
pasti dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.
Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa.
Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.
“Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua tangannya.
Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib
apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan
halus akan tetapi nyaring.
“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”
Bu Pun Su memandang, kemudian melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang
sebatang tusuk konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, lantas
diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam.
Lemaslah tubuh kakek itu dan dia cepat menurunkan kembali kedua tangannya.
“Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.
“Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”
Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun tubuhku akan
hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”
“Kehendakku yang harus kau turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka
berada di sampingku!”
Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan
mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.
Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap Bu Pun
Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih
rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa
luka di leher Lin Lin dan ketika dia meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.
“Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil
tersenyum penuh kepuasan.
“Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang
dengan senyum sindir.
“Kau telah mempergunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu
Pun Su.
“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun
itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat
menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi.
Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau dia
merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh
pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi.
Ha-ha-ha!”
“Hai Kong, demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan, janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk
racun ini ada sejenis obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula
obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”
“Ha-ha-ha-ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum bahwa
kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu
bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!”
“Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak akan lama
lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda dan masih berhak untuk
hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal
bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat dan mendengar semuanya ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan
racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.
“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan
teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”
Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan kekerasan...”
kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah
kehendakmu lagi?”
“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa Tunhuang.”
“Hanya itukah?”
“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa
pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan
mengundurkan mereka!”
“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku tak akan
menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam
goaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”
Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa Tengkorak.
“Lin Lin kau beristirahatiah dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang, membersihkan
pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin
tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya.
Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhunya
dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang
telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.
Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus
membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta pusaka itu telah jatuh ke dalam
tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.
Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran mengapa Bu Pun
Su menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai dari pada
Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai juga, mungkinkah suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa
mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.
Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.”
Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku
dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga
terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta
pusaka itu.”
“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”
“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.
“Tidak akan merasa malukah kau?”
“Di manakah letaknya malu? Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan
tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”
“Tetapi... tetapi mengapa kau masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu terbongkar?”
nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas
dunia-kangouw.blogspot.com
sebelum kita berangkat.”
Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu…..
Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda,
tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah
dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.
Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan
Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan
dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang bernama An Kai Seng dan yang
sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik.
An Kai Seng sendiri biar pun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang
mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang
gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An
Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali
hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.
Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk menggoda
hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah
hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan
Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, dia
hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.
Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan
cara yang tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…
Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah
mudanya langsung menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan
hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan
seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!
Sejak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Sering kali
mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah
melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh
besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!
Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya
belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia memberi sebatang tusuk konde kepada
wanita itu pada saat dia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut pada segala
perkataan wanita yang juga bersumpah ‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.
Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benarbenar
mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya, ketika pada suatu hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia mendengar
gerakan orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain adalah Ang Kai
Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk
konde itu dan minta dia melepaskan suaminya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini bahwa tanpa
terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani
sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya itu di depan suaminya untuk menolong suami itu.
Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama
isterinya, yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam
takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk
menyelamatkan jiwa mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang selalu
menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu.
Semenjak itu, dia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalaukalau
Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan
memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat!
Maka dia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu
Pun Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu
telah mati. Tetapi tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul lagi
membuat gara-gara hingga terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan terpaksa
membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.
Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan
berkata,
“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sinki-
tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada
yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini
jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran
sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang
mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda memang penuh
bahaya!”
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
“Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar
sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggu
sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”
Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang
diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri
sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya.
Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu mendesak jantungnya,
ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!
Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang
seperti suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguh pun sumpah terhadap seorang
jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
“Apa bila demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup
banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa
dia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal
diam dan marilah kita juga pergi ke Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah
berada di sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”
Lin Lin tidak membantah kehendak Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya dengan ke timur
atau ke mana pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam itu mereka berkemas dan tidur di Goa
Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana terdapat banyak patung tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang
hio-louw.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna kemerahan, sepasang
kekasih itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan jauh mengejar suhu mereka menuju Kansu di barat
sana. Mereka sengaja hendak meninggalkan tiga burung peliharaan mereka karena selain harus
menempuh perjalanan jauh, juga mereka belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah berjalan sejauh
sepuluh li, mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi Goa Tengkorak.
Pada saat itu pula, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama kemudian, tiga
burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar
dunia-kangouw.blogspot.com
turun dan berdiri di dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka
mengapa meninggalkan begitu saja.
“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.
Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga burung sakti yang
terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan
gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang
gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga.
Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar ucapan Hai Kong
Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak
merasa apa-apa padahal orang itu makin hari semakin mendekati maut!
Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah
seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia pun segera dapat melupakan
kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolong Cin Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa
mestinya dialah yang harus memperlihatkan sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan
keadaan dirinya dan tidak timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka
dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmu pedang Lin Lin kini
menjadi semakin maju saja.
Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena dia
maklum bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan dia sengaja mengambil jalan memutar
dan tidak mau melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas…..
********************
Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan
kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga goa rahasia tempat
harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan
Cengeng yang juga menuju ke Kansu dengan mengambil jalan lain.
Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Ang I
Niocu lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang sangat ramai.
Daerah Kansu adalah daerah bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat suku-suku
bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak
sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang
mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang
berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi, pada saat Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang
gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, dia merupakan pemandangan yang
amat mencolok mata dan yang jarang dapat terlihat oleh orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir
semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman.
Akan tetapi Ang I Niocu sudah terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka, dia tidak
mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah patung-patung batu yang
memandangnya tanpa berkedip.
Saat lewat di depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan
tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia goa rahasia itu. Dia
teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!
Ketika itu dia sedang berjalan menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba dia
melihat seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa
seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh adalah biar pun pakaiannya
compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia
memegang sebuah cawan perak yang indah sekali!
Pada saat Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya
ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak
merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan,
sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”
Seorang di antara ketiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil
tersenyum dia berkata,
“Kakek sinting, biarlah kami menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan
uang perak beberapa potong.
Akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki. “Perampok-perampok, pergi!
Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”
Tiga orang itu menubruk hendak merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih.
Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.
Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I
Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu
ketiga orang itu sudah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak
ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika dia
mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di
atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.
“Kau gagah, ha-ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta
pusaka itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Dia memberikan cawan perak itu
kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.
Orang gila itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh, menyebut
harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia
bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.
Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa sayangnya.
Dia lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu hingga ia
bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.
Demikianlah, sambil mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di depan toko
barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam
toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi
ketakutan hebat!
Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai
dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka
membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.
Akan tetapi hanya ada sebuah kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam
bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan
mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari
cepat, dia segera mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama
ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah perkampungan kecil di mana
terdapat banyak rumah-rumah model Turki.
Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas
genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang
kebetulan sekali berada tepat di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang
Turki.
Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga
kakek yang sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang
mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam
berpengaruh.
Setelah melihat mereka, ketiga orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan membungkukkan
tubuh dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat
laporan kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa
kalimat yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi
lalu pergi lagi.
Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh
kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng, harap
kau suka turun saja apa bila ada perlu dengan kami.”
Ang I Niocu terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau
mendengarkannya, dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,
“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan
sendiri!”
Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui
bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu
bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat!
Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah seorang di antara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”
Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab
girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap,
silakan turun!”
Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun
sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”
Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil berkata
girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”
Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”
Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An
dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah
tewas di atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa sangat
berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”
Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya, “Siapakah
Locianpwe yang terhormat ini?”
Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar
namaku, sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari muridku ini.”
“Ahh, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim mau pun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.
Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main girangnya hati Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam
keadaan selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan dia akan
bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih agak muram wajahnya, kini dia menjadi riang
gembira dan berkata,
“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang
ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di
pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau telah membawa berita yang sangat
menggembirakan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur
kepada Tuhan.
“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa
curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka
membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tak mengerti karena selama ini
semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.
Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan
pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya
bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah
menjadi dua golongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di
Turki, dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan.
Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap
negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu
mencari perkara. Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan memiliki maksud menyerbu ke
pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang
Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena
kalau maksud mereka itu terus dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena
tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi niat mereka mencuri harta pusaka itu,
dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah Tiongkok!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang orangorang
gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang
Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak
siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah mempergunakan
cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah.
Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut
Pangeran Muda yang memiliki maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas
panjang.
Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor
dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila mata mereka sudah silau dan buta
karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”
Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak
mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
“Ang I Niocu,” Yousuf berkata, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka.
Tadi kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran Muda agaknya sudah mendapatkan
kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil
mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya
dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”
Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang
mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan pengalamannya.
Yousuf menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua
cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu
bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang
dan tertawa senang.
“Akan tetapi, Lihiap, kini mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan
kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk
bertempur pula.”
“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”
Pada saat itu, dari luar masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang
segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada
Ang I Niocu,
“Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk mengadakan
pembicaraan.”
“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya
ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang
tidak dimengertinya sama sekali itu.
Akan tetapi Yousuf mengangkat tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami
berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para utusan saja, Semua pembicaraan akan
dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal
tadi.”
Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban
merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kanglam Sam-lojn, yaitu
Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.
Yousuf menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran
Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka
sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan
tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin
Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan
bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan
keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan
kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu
menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu
membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku
sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di
negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami
sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu
malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau
bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang,
bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai
seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan
bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa,
dunia-kangouw.blogspot.com
apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang
mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah!
Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu
dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawankawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa
mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita,
sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang
dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang
hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama
keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu
muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu
pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir
untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab
Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau
yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau
memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak
benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima
untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau
menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan
yang jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan
ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat
yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.
Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau
membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang
ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa
harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang
pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah
suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku
untuk menikmati dagingnya juga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah
Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan
memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah
disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan
Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi
berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada
Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang
dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum
saja!” kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari
tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu,
menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf,
“Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia
tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran
dari kedua matanya!
“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.
Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan
berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”
Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh
semua orang yang berada di situ.
Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiamhoat
telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai
ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu
mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman
bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi
gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin
Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga
pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu,
karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi
setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan
pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau
memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan
ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liongsam-
hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga
diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan
cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh
pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada
waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu.
Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah
melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu
hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke
tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia
merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.
Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara
memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja
Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia
lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia
merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus
menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan
bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga
dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang
bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan
secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheranheran
sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.
Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak
di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya
demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi
serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia
hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang
dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap
sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekangnya
untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.
Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim
serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia
berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang
seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan
tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa
lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah
tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang
sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk
pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura
kepada Ma Hoa dan bertanya,
“Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu
mengundurkan diri.
Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis
muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam
pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama
dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya
sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu
kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia
akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata,
“Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar
biasa itu!”
Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta
kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus
kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini
pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh
sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula
hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal
ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan
tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat
yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang
hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah
bagianku!”
Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu
yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa
ketika ia berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang
sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan
dunia-kangouw.blogspot.com
orang lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara.
Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal
kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa
akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia,
tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak
mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan
dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula,
kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan
bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekaslekas
mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke
dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam
hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah
ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan
melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan
dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan
pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw
Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.
Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka
memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat
menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh
akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena
kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang
berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar
satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan
dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan
bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah
muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang
kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan
membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan
menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan
menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi
kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang
benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan
batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau
melakukan hal ini.
Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan
itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang
tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih
unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai
sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang
mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan
dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi
seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-haha.
Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran
dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan
sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya
telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok
Terbang).
Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus
menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakanakan
hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan huito?”
Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok
yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke
arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia
dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya
ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!”
Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam
kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu
berseru,
“Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”
Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat
Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu
mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu
Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan
kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat
bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam
yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu
kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan
Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah mereka sangat besar
sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak.
Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak
membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan
Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan
pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak mempergunakan
kecurangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada
pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya pula.
Tidak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjatasenjata
rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah berhasil menembus
pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak
jumlahnya sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,
“Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi
keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia mementangkan kedua
lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
“Sahimba... serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut...
berlutut...!”
Hal yang aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak
dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan
melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke
arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.
Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung
lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan
Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap
masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat
Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta
kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali
senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah
punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.
Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan
perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba,
sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin
telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimauharimau
berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dengan mata
mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu
menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.
Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada
pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa.
Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini
Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak
mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,
“Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”
Yousuf cepat mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik
kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang
berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah
di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sesudah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil
keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba Ma
Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil
tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee An
memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada
kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian dia
menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,
“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,
“Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi
selamat...?”
“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil
memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu
kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit
bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja,
mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.
“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata
Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda
Ang I Niocu.
“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”
“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah
muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau
telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”
“Apa buktinya?”
Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang
yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”
Mulai berdebar dada Ang I Niocu.
“Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.
“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik
Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.
Akan tetapi Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu
dengan taihiap Lie Kong Sian.”
“Di mana? Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami
bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa
itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Sesudah berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas
melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya,
yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan
bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa
yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru
yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan dia merasa yakin
bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat
bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga
sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan
Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.
Mereka berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut
gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma
Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya
terurai indah.
Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan
di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,
“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”
Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah
sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum
kepadanya.
“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya,
karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.
Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu
seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan tindakan kakinya
karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan
terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin yang bersilir di
pohon?”
Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Ehh, ehhh, makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau!
Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata
demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita
merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!
Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah
memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa
dunia-kangouw.blogspot.com
miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan
tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit
rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments