Minggu, 19 November 2017

Cerita Silat Pendekar Bodoh 4 Kho Ping hoo

Baca Juga

----Cerita Silat Pendekar Bodoh 4 Kho Ping hoo
Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini
langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau
Emas itu.
Walau pun Hai Kong Hosiang seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan
gunung emas itu, maka ia pun segera menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu
dari dekat dan apa bila mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tak ada salahnya,
oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan
melakukan sesuatu yang akan merugikan. Pendeknya, kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong
Hosiang bertugas mengawasinya.
Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti
dan memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk
keperluan menyeberang. Biar pun mereka telah lebih dulu menyiapkan segala keperluan untuk membuat
perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tak kurang dari
seribu orang, maka proses pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.
Dan pada saat mereka sedang sibuk membuat persiapan untuk menyeberang, datanglah tentara Kerajaan
Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan para perwira lainnya! Tentara Tiongkok
lebih banyak jumlahnya, dan karena mereka datang di waktu hari sudah menjadi gelap, maka tentara
Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai ini lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara
Turki. Kemudian, tentara Tiongkok yang telah mengurung ini serentak memasang obor sehingga keadaan
menjadi terang sekali bagaikan siang hari!
Tentu saja tentara Turki menjadi panik ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala yang mengelilingi
tempat mereka. Namun, dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, Balutin
berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang serta memegang
obor pula, kemudian dia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.
Dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan bulu sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia
adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, Lui Siok In diikuti oleh perwira-perwira lain dan
Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,
“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak
berdaya lagi, maka lebih baik kamu menyerah saja agar supaya menjadi orang-orang tawanan yang akan
kami perlakukan dengan baik-baik!”
Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin
kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia
menuding ke arah Lui Siok In dan berkata,
“Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan
jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”
Mendengar bahwa dirinya disebut ‘perwira hijau’ oleh pengemis jembel yang amat gemuk ini, tentu saja Lui
Siok In menjadi marah.
“Bangsat jembel, siapakah kamu?”
Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar
dunia-kangouw.blogspot.com
barisan Turki! Akulah Balutin atau bisa juga kau sebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin
besarmu agar dapat bicara dengan aku!”
Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah
Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal sejak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini
pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan,
karena kaisar pun sudah mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai
orang gagah dan pemimpin besar.
Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejeriannya, maka sambil tertawa ia pun berkata,
“Aha, pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu
tak tahunya hanya seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah
pemimpin barisan ini dan namaku adalah Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi
makan enak dan tidak usah mampus di ujung senjata!”
Balutin memandang dengan rasa heran dan hampir tidak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok
hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,
“Agaknya Tiongkok telah kehabisan orang gagah maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari,
hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'
Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat sana. Daun-daun pohon
itu bergantungan di atasnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangannya menampar ke arah daundaun
pohon itu.
Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai daun di
pohon itu lantas rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan
daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu kelihatan bergerak-gerak di udara akan tetapi tak dapat
melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan
hidup!
Lui Siok In merasa terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian
khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia juga maklum bahwa daun-daun ini biar pun ringan,
akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan seperti senjatasenjata
rahasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga
khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu sehingga daun-daun itu dapat
digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.
Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba saja Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua
telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas langsung menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui
Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak
lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar.
Dia kemudian berseru keras dan membuat gerakan pula dengan jari-jari tangannya yang ditelentangkan.
Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang
tadinya meluncur dari atas kini melayang naik kembali, dan kemudian terapung-apung di tengah udara.
Pertempuran dahsyat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama serta menegangkan sehingga semua
tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua panglima
itu berhadapan dengan mata saling memandang dan dua tangan bergerak-gerak serta diulur ke depan
seakan-akan dua orang pengemis yang sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu terus melayanglayang
di tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.
Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikang-nya masih
kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan
perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu
mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai
mendesak turun dan semakin mendekati kepala Lui Sok In.
Perwira she Lui itu maklum bahwa apa bila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali.
Maka secepat kilat dia lantas membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke
dunia-kangouw.blogspot.com
belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di
atas tanah.
Dia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak dia akan terpukul oleh tenaga khikang
yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu dia memulihkan aliran darahnya
kembali dan membebaskan dia dari serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.
Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu sajakah kepandaianmu,
Perwira muda? Dan tadi kau berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”
“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan dia lalu mencabut
pedang dan menyerang Balutin dengan hebat.
Balutin hanya tertawa dan dia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Salah seorang
pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada
Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Lui Siok In bahwa senjata itu adalah
sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan
berkilau bagaikan emas.
Maka keduanya kemudian bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya hanya bersorak sorai saja
menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju semakin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak
sudah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur
menimbulkan suara hiruk-pikuk!
Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor, dan lantas
terdengar pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh
kemudian membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh
manusia-manusia tu!
Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus saja Lui Siok In maklum bahwa
ia tak akan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah sehingga
beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok
Balutin.
Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja Balutin mulai
terdesak ketika dia pun turut menyerbu bersama perwira-perwira lain. Akan tetapi, dua orang perwira Turki
maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat sehingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya
yang mendesak hebat!
Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutarmutar
senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan
sepenuh tenaga. Memang sejak tadi yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang kini
menyerangnya dengan ganas, maka dia pun cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali.
Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan senjata paculnya, Balutin
lalu menangkis sekuat tenaga hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang
telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras
benturan tenaga itu!
Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang lantas berseru keras dan dia menyambitkan
sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat
bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki
yang bertempur di belakang Balutin!
Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah
Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah
dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan!
Serangan ini hebat sekali. Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher
dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong
Hosiang cepat dan ganas sekali sehingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya itu
berhasil pula mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
kanannya lalu memukul ke dada lawan.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan tepat menghantam dada Beng Kong Hosiang.
Pukulan ini keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh
hwesio itu langsung terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman
tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas sehingga tubuh Balutin terbawa maju.
Balutin cepat sekali menggunakan dua jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu.
Ketika kena totokan ini, urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu menjadi mengendur dan
pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.
Balutin lalu memandang ke arah lengan kirinya yang sudah menjadi matang biru karena cengkeraman
lawan tadi! Dia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka pada
lengan kirinya tidak berbahaya, maka dia lalu mengambil senjatanya lagi dan kembali mengamuk hebat.
Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.
Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira selama ini hanya
ingat bersenang-senang saja, tak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apa lagi mereka baru habis
melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah
berhari-hari beristirahat di sana, maka meski pun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di
pihak mereka juga lebih banyak.
Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat pula kelihaian Balutin, Lui Siok In segera memberi
perintah mundur, sedangkan dia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan
mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!
Tentara Turki sengaja tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yakni
menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban-korban yang roboh di
pihak mereka. Mereka hanya berjaga-jaga saja kalau-kalau pihak musuh datang menyerbu lagi.
Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera
datang, maka pihak Turki mendapat kesempatan pula untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka
lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan
Yousuf yang dahulu bersama-sama pergi dan mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.
Ketika bala bantuan yang diharapkan datang dari daerah yang jauh letaknya dari tempat itu, pihak tentara
kerajaan pun langsung mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar sehingga terjadilah pengejaran
ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari sehingga telah tertinggal
jauh…..
********************
Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol
yang menjadi pemimpin Agama Sakya Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki
Sianjin. Di atas perahu besar ini juga sudah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan
khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samudera.
Ketika terjadi pertempuran pada malam hari itu, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bisa melihat dari
atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh pantai dan mendengar
suara teriakan mereka yang berperang. Secara diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di dalam
hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. DIa sudah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu
pendeta-pendeta Sakya Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.
Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk
mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau itu. Sesudah berhasil mencari dan
mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung
minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!
Sebetulnya, pada saat mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami sudah pernah pergi
menyelidiki dan dia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari pulau itu mengeluarkan cahaya
dunia-kangouw.blogspot.com
berkilauan dan terang sekali, seakan-akan sekujur gunung di pulau itu terbuat dari pada emas yang
bersinar gemilang.
Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang
bercahaya pada waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya
berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada
malam harinya dia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah
terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat!
Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu
adalah air mukjijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang segera berkobar dan
terbakar dengan sangat mudahnya. Oleh karena inilah, dia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga
itu apa bila emas sudah didapatkan oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan
hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan
emas itu dengan aman!
Tentu saja tipu dayanya ini tidak diberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, oleh karena
ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat
menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!
Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju
ke pulau itu untuk memberikan kesempatan kepada para anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya
berputaran melewati pulau-pulau yang sangat banyak itu.
Ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak
buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki sudah menyeberang ke pulau itu!
Hatinya menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan
mengejar pula.
Celaka, pikirnya, pulau itu tentunya akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan
terjadi perang hebat di pulau itu. Lalu bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja dengan baik?
Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak
berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran
Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.
Pada saat itu, Hai Kong Hosiang juga sedang berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu
Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan. Hwesio ini
memandang dengan penuh rasa khawatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu
dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!
”Hai Kong Bengyu…,” Pangeran Vayami berkata. ”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan
kegelisahan hatiku?”
Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan
kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.
“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan
menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu itu telah kalah perang! Dan apakah
kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai,
maka memang sebaiknya kau bersama supek-mu tinggal saja di sini.”
Di samping mencela, Pangeran Vayami juga sengaja membakar panas hati pendeta itu. Akan tetapi Hai
Kong Hosiang hanya diam saja, seolah-olah tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.
”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam
bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin itu sangat sakti dan
lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”
Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan dia memandang kepada Vayami dengan mata
mendelik. Akan tetapi Vayami sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan berlaku seakan-akan tidak
melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia lalu menambah omongannya seperti berikut,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh celaka! Aku mendengar bahwa seheng-mu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam
barisan kerajaan! Jangan-jangan Seheng-mu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah
dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?”
“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kau kira aku takut kepada segala
macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhu-ku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu,
anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!” Di dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga,
karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?
Hai Kong Hosiang segera memberi tahu kepada supek-nya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin
mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki itu. Hai Kong Hosiang kemudian
menurunkan sebuah dari pada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan
berkata,
“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai
Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok.
Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang sudah menotok
jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu
bergerak lagi.
“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan
bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat
berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol
sekali.
Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang serta Kam Ki Sianjin lalu
mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju. Di atas pulau itu
telah terjadi kembali pertempuran hebat antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan dengan
pasukan Turki.
Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk sehingga puluhan prajurit kerajaan tewas dalam tangannya.
Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak ada seorang pun yang dapat menandingi kelihaian
pendeta gemuk ini.
Ketika sampai di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar mengenai kematian suheng-nya di
tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat
dan menerjang Balutin sambil berteriak,
“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat sekali.
Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata
merupakan tandingan yang sangat setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian mau pun dalam
kehebatan tenaga mereka.
Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang
mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh
amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.
Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian serta tenaganya. Ada pun Kiam Ki Sianjin yang telah tua itu
hanya memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap
menolong apa bila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya…..
********************
Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan
kebetulan sekali mendekati pulau itu. Mendadak kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan
perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan
Ceng To Tosu.
Melihat perahu besar yang sedang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mengemudikannya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu segera melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan
tosu serta hwesio itu di dalam perahu kecil.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga
Vayami sangat terkejut melihat kedua orang ini, akan tetapi dia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan
suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka dia lalu
mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.
Pangeran Vayami cepat berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.
“Terima kasih, Taihiap. Syukurlah engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku
yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, dia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan
tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa amat sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua
tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di
dekat Pulau Emas itu.
“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan mengapa dalam keadaan tertotok orang? Siapakah
yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak
peradatan lagi.
Pangeran Vayami menghela napas dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model
bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”
Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di
sini? Katakanlah di mana dia!”
Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong
dengan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali sehingga pemuda ini selalu berusaha
membunuhnya, dan dia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai
Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia segera mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba
lagi demi keuntungan dirinya sendiri.
“Sebagaimana kau ketahui, Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar. Akan tetapi hwesio itu
mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama
Supek-nya yang gila dan gagu itu, dia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi
setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu, dia lantas menotokku dan mencuri perahu kecilku,
kemudian bersama dengan Supek-nya dia lalu menuju ke sana!”
Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba saja Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si
hwesio yang tidak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak
maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!
”Hai...!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!”
Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu
tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu
besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,
“Lihiap, jangan mengejar. Mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”
Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut, cepat memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu
dengan heran. Pada waktu itu, hari telah mulai gelap dan angin bertiup kencang.
“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu yang tidak jadi
mengejar kedua pendeta itu oleh karena dia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak
mengejar hanya karena merasa marah saja dan kini dua orang pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi
pula.
Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku
memasang layar ini sebab aku hendak menunjukkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar saja perahu besar itu bergerak laju ke kanan.
Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, telah memutar perahunya mengelilingi Pulau
Kim-san-to. Dan sesudah melakukan pelayaran lebih dari dua jam, kini perahu itu berada di belakang
pulau.
“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi amat tercengang melihat
pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit
yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan
seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning
kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan
hitam.
Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub sehingga untuk beberapa lama gadis itu berdiri
tak bergerak laksana patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya,
segera minta keterangan dari Vayami!
“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga sudah melihat
bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan kini pun sedang bertempur matimatian
di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu. Semua orang yang berjumlah ribuan itu,
mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka
sudah berada di tepi neraka. Ha-ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat
menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha-ha-ha!”
Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Dia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kau
jelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?”
Sesudah berusaha keras untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja,
Vayami lalu berkata lagi,
“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki
atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara
untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan
berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”
Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan
ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi
tetap saja mukanya masih jelas bahwa dia adalah orang Mongol.
Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa
perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan
perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.
Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan
Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka sesudah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik
kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan dua orang gagah ini kepada
Hai Kong Hosiang apa bila hwesio itu muncul untuk mengganggunya.
Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak memiliki hubungan sesuatu dengan
Turki mau pun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia segera melanjutkan ceriteranya
dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.
“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena
mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mencari
emas itu yang belum dapat diketahui secara pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh
anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum
tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apa bila mereka telah dapat mengangkut
harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti
minyak domba! Bahkan aku memerintahkan supaya seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis,
baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin
tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa
Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,
“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”
Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya
sambil memandang ke arah pulau.
Diam-diam pangeran ini juga merasa sangat khawatir oleh karena orang-orangnya yang sedang ditunggutunggu
belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki yang
bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar
dengan orang Turki ini dan nama ini dia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman
mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Dia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan
kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to.
“Kau mencari setan itu? Ha-ha-ha-ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf
itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”
“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.
“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang mengira bahwa ‘kawan-kawan’ yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini
tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha-ha-ha-ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang
mampus di pulau itu.”
“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar
hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu.
Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil mengusap-usap pipinya yang menjadi matang biru dan
memandang kepada Cin Hai dengan heran.
“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”
“Jangan, Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!'
kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.
“Lin Lin berada di sana, karena itu bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?”
tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air
untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu pula dia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu
kecil dan mendadak dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang
berjubah merah. Kiranya orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakya
Buddha yang memiliki ilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di
tangan. Jumlah mereka banyak sekali sehingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu,
bersiap sedia menghadapi keroyokan.
Ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, Pangeran Vayami menjadi girang sekali dan ia lalu
timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja
kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu dia telah memaksa Ang I
Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang dia percaya akan dapat
menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,
“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tetapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”
Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam
orang pendeta Sakya Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin
dunia-kangouw.blogspot.com
Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah.
Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas
pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat
mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga.
Akan tetapi kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna, terutama Cin Hai. Maka, baru
beberapa jurus saja mereka bertempur, dua orang pengeroyok sudah dapat dirobohkan.
Meski pun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka
tidak mundur, malah makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai,
biar pun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan buat mentaatinya asal perintah itu
keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan
mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal
yang terlalu sulit bagi mereka berdua, akan tetapi hati mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak
orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin
yang berada di pulau itu!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang meloncat ke
atas perahu dan langsung mengamuk dengan hebatnya disertai suara tertawa menyeramkan! Pada saat
Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa
girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat
datang bersama kedua iblis ini?
Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakya Buddha,
Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak segera menyusul Lin Lin.
Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena dalam kekalutan itu, Ang I Niocu
sudah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu kemudian
mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!
“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai.
Akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan padanya sambil menjawab, “Jangan, Hai-ji. Biar aku saja
yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kau tunggu saja, aku pasti akan membawa
Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!
Cin Hai bingung sekali dan ia cepat melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakya
Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini sudah dipukul
hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!
Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap sehingga sukar mencari perahu kecil yang
dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia
mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau
sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus
enak-enak menunggu!
Sementara itu, di dalam kegembiraan mereka mengamuk serta membasmi para pendeta Sakya Buddha itu,
Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan
Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tak mengerti maksud mereka itu dan ia pun
sedang dikeroyok oleh banyak lawan sehingga tidak mendapat kesempatan bertanya lagi.
Amukan Hek Mo-ko serta Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama
sekali Pek Mo-ko yang masih menderita duka akibat kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan
seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko mau pun Pek Mo-ko tak memiliki alasan untuk memusuhi pendetapendeta
baju merah ini. Mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I
Niocu dikeroyok!
Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asalkan mereka bisa bertempur serta membunuh
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat
aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam!
Sedangkan Kwee An yang juga tak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong
kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, dia menjadi menyesal akan tetapi tidak
berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha ini berikut Pangeran Vayami
terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu
menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut.
Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya
kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau saja ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan
emas sepotong pun, jika dia masih hidup pun tentu dia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal!
Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikit pun emas di pulau itu, biar pun sudah berhari-hari
mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka
mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki
melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu!
Danau itu kini mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh
kedua fihak yang mabok perang…..
********************
Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat berenang secepat mungkin, akan
tetapi di dalam air dia tidak seleluasa seperti di darat di mana dia boleh mempergunakan ginkang-nya untuk
bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu
berombak dan dia tidak kuat melawan ombak air sehingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan
sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya.
Keadaan di atas permukaan laut itu lebih gelap lagi. Satu-satunya petunjuk jalan bagi Cin Hai adalah
cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa
mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, segera berlari naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin.
Ketika dia naik semakin tinggi, sungguh luar biasa, karena cahaya terang itu semakin menghilang dan
keadaan di atas bukit sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali.
Ang I Niocu berseru keras memanggil, “Lin Lin…!”
Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar bergema nyaring sekali, bahkan terdengar
lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!
“Niocu...!” Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu.
Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biar pun ia mengerahkan khikang-nya, di dalam air itu
suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang menggelora.
“Lin Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu
mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.
Ang I Niocu terus berlari ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia telah berjanji kepada Cin Hai untuk
menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad tak akan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin.
Ketika Ang I Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah. Kedua matanya
langsung terbelalak dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena tiba-tiba
matanya menjadi silau.
Di bawah, tidak jauh dari situ dia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di
bawah puncak itu ia melihat api sedang berkobar-kobar besar sekali dan bernyala-nyala seolah-olah neraka
sendiri yang terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan
Pangeran Vayami!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin Lin…! Lin Lin…! Di mana
kau…??”
Akan tetapi suara teriakannya yang amat keras ini seakan-akan hanya menambah besar berkobarnya api
yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke arah api dan tibatiba
ia melihat seolah-olah bayangan Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyumsenyum
serta melambai-lambaikan tangan kepadanya!
Ang I Niocu menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Dia cepat menggosok-gosok
kedua matanya, akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil berseru ngeri dan takut,
Ang I Niocu lalu berlarian ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,
“Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”
Namun, sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana
menubruk sini, akan tetapi yang dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu terlihat juga oleh Hai Kong Hosiang dan
Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang semakin keras kepada Balutin sambil berteriak
minta supaya supek-nya membantu.
Kiam Ki Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan bajunya yang
lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar
biasa! Dia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyunghuyung
ke belakang, dan pada saat itu pula tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah yang
ada di lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!
Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek
gagu ini cepat meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas
sebuah perahu!
Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seolah-olah hendak membakar awanawan
di atas itu. Dia semakin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
“Niocu...! Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak yang menderu.
Pada waktu itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang sedang
berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu mendadak saja pecah dan
pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena sudah terbakar menjadi lautan api! Tepat
sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka!
Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih
mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.
“Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!”
Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik oleh
sesuatu! Sebagai akibat dari pada letusan dahsyat itu, tiba-tiba ombak besar datang menggulung dirinya
dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat
semula!
Cin Hai mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin Lin...!”
Akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya. Ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas
dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar
suara bisikan.
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”
Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke
permukaan air. Dia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya ombak
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan kepala ombak keputih-putihan yang menyambar kembali hingga ia terombang-ambing dan menjadi
permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia sudah merasa putus asa tiba-tiba dia
melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam
bisikan,
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”
Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang
ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Dia segera mengangkat perahu itu dan
membalikkannya, ternyata itu adalah perahunya yang siang tadi dia naiki bersama Ang I Niocu dan yang
sudah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu!
Agaknya perahu itu terpukul ombak lantas terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu!
Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di
dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang
telah menjadi api itu lalu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air
sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah
menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa mau pun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan
makhluk tanpa sayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di atas pohon
pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana sebab sebelum mereka terbang cukup tinggi, sudah
terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak hingga kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika
Cin Hai siuman dari pingsannya, dia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan
ternyata dia sudah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh karena waktu itu telah menjelang pagi!
Karena melihat bahwa dia berada dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang
dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari
menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang ketika melihat bahwa di sebelah kiri, yakni
dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang
yang sedang bertempur hebat!
Ketika dia sudah datang mendekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah
yang membuat dia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia
melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan
lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Hati Cin Hai berdebar girang sekali karena melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di sana, karena bukankah
Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia
tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ!
Cin Hai lalu berlari cepat menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain mau pun yang sedang
bertempur, dia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut
sambil bertanya dengan suara tak sabar,
“Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”
Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka
berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus
bertempur dengan hebat dan mati-matian!
“Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?” Cin Hai bertanya lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil
karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
“Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali. Kemudian, ketika
melihat keadaan pemuda itu yang sangat mengkhawatirkan, dia segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa
selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar betapa Lin Lin sudah selamat, tiba-tiba saja Cin Hai menangis tersedu-sedu, menggunakan
kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin Lin... ahh, Niocu...!” lalu pemuda itu
jatuh pingsan lagi!
Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat
belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An.
Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu macam hal sudah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan atau pun ditanyakan
kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Malah Cin Hai
juga tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang
bertempur itu, dia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,
“Mengapa mereka saling hantam sendiri?”
Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, “Cin Hai, hanya kau
yang dapat menolong. Gunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh.”
Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An, oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek
Mo-ko. Akan tetapi oleh karena dia percaya penuh kepada Kwee An, dia lalu bangkit berdiri dan
mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil menggunakan
pedang mereka yang luar biasa, sudah menggunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat,
keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang.
Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini
sendiri telah kena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya sehingga Pek Mo-ko
mendapat luka dalam yang sangat hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak lalu merangkak
menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Moko
sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat
mayat Pek Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur matimatian
dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si
Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di tempat itu sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An serta kedua iblis itu mengamuk lalu membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak
buahnya, mereka bertiga kemudian mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau
itu, mereka melihat api berkobar hebat sehingga menjadi takut dan memutar arah perahu.
Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu hingga perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut
dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya cepat melompat
ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek
Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tidak kenal takut, kini sesudah melihat pemandangan
mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah
disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah
nasib mereka?
Tanpa terasa pula Kwee An mengalirkan air mata karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu
pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang
berada di dekat neraka dan lautan api itu?
Menjelang fajar tiba-tiba ada sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata
bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang
berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, kedua orang itu bukan lain adalah
Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bersamaan ini segera berlari menghampiri dan berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhanpembunuhan
hebat yang dia lakukan bersama Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, sudah
mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi dia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang
berada terdekat.
Nelayan Cengeng terkejut sekali ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang
berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah, maka dengan mudah ia lalu berkelit
dan balas menyerang sambil berseru,
“Ehh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kimsan-
to?”
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak dari
seranganya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.
“Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!” Akan tetapi, Pek
Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama dua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh
Kwee An, tidak ragu lagi untuk memilih pihak. Dia sudah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai
seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko sudah terkenal sebagai
iblis jahat yang kejam. Maka, ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw
Suthai segera melompat maju sambil mencabut keluar hudtim-nya dan berseru,
“Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”
Pek Mo-ko tertawa pada saat melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang
bermata satu dan beroman buruk ini.
“Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Marilah kau maju sekalian untuk menerima binasa!”
Sambil berkata begini Pek Mo-ko lantas mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang
dengan penuh semangat.
Biauw Suthai cepat menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,
“Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini,”
Lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Dia
mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan meski pun bertangan kosong, namun kakek yang lihai
ini tidak kurang berbahayanya.
Dikeroyok dua, Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa
dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apa bila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya
menghadapi mereka ini.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko sudah masuk menyerbu ke
tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat dua iblis ini memang merupakan kepandaian
pasangan sehingga apa bila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipatganda.
Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko
dan Pek Mo-ko yang luar biasa.
Ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, Pek I Toanio tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun
apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu
mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali dia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya
tak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat
mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan dua iblis itu membunuh tiga orang
ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang dan ikut menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawankawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertempuran berjalan makin hebat. Akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat ‘anaknya’ maju membantu lawan,
dia pun menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba berteriak,
“Tahan dan mundur semua!” Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali sehingga semua orang
menahan senjata masing-masing.
“Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?” Hek Mo-ko bertanya sambil memandang Kwee
An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.
“Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat pula
disebut guruku sendiri. Ayah dan Pek-susiok tidak boleh membinasakan mereka!” kata Kwee An dengan
gagah sambil menentang pandang mata ayah angkatnya.
Hek Mo-ko menghela napas kemudian berkata perlahan, “Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang
mereka lagi.”
Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke
arah Kwee An dan membentak. “Anjing tak kenal budi! Beginikah cara kau membalas kami? Bagaimana
pun, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!”
Sesudah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat. Akan tetapi pedang Kwee An
segera menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, '“Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada
kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!”
Pek Mo-ko makin marah. “Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!”
Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga
Pek Mo-ko benar-benar hebat hingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung belakang. Pek Mo-ko
memburu dan mengirim serangan hebat sehingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil
terus bergulingan di atas tanah untuk dapat menghindarkan diri dari serangan maut.
“Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi
tusukan terakhir.
Akan tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga
terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru sekali ini selama mereka hidup,
pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda
bahwa dia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.
“Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?” tanyanya gagap.
Hek Mo-ko memandang tajam. “Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!”
“Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!” Pek Mo-ko membentak sambil menubruk
lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.
“Pek-sute! Jangan kau serang anakku!” teriak Hek Mo-ko dengan marah.
“Suheng, tinggal kau pilih. Kau akan membela aku atau membela binatang ini!” jawab Pek Mo-ko dengan
melolotkan mata.
“Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?”
Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak. “Anak? Ha-ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Haha,
kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”
Kini mengertilah semua orang bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati
melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan
Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tanpa terasa pula mereka berdiri saling
dunia-kangouw.blogspot.com
mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.
Mendengar ucapan adiknya itu, Hek Mo-ko menjadi marah bukan main. Karena itu ia lalu menggerakgerakkan
pedang di tangannya dan berkata tegas. “Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau
mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!”
“Kau sudah bosan hidup!” Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat.
Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, dua saudara yang
tadinya sehidup semati itu kemudian bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan
kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis
Hitam ini juga terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko sehingga menderita luka dalam yang berbahaya dan
roboh pingsan.
Melihat keadaan Hek Mo-ko, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu
sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil
mengeluh,
“Ayah...”
Tentu saja Cin Hai dan lain-lainnya merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat
kelakuan Kwee An itu!
Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok pada Biauw Suthai yang
pandai dalam hal pengobatan sambil berkata,
“Suthai, tolonglah kau obati dia ini!”
Biar pun hatinya meragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu,
Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang terpukul,
akan tetapi ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini.” Ia
lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu.
Tidak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya. Ketika melihat bahwa dia berada di dalam pelukan
Kwee An, dia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!
“Bagus... bagus... kau benar-benar anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam
pelukan anakku...” Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan
kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan dia pun menghembuskan napas terakhir.
Kwee An menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dalam dada. Kemudian dengan hati
sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata dia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si
Nelayan Cengeng, mereka lalu menguburkan kedua jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan
dunia kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.
Sesudah penguburan kedua jenazah itu selesai, barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat
serta perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalaman dirinya, lebih dulu Cin Hai menengok
ke arah Pulau Kim-san-to dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar
bagaikan api neraka mengamuk.
Dengan suara terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya, dia kemudian menceritakan
riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai
tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika
dia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-tiauw, dia menghela napas
dan berkata,
“Memang betul ramalan pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan
bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tak ketahuan nasibnya di pulau yang
berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknya telah
kena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
kelihatan lagi!”
Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali pada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai
mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang
berbahaya, padahal dia sudah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan
diledakkan!
Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata sudah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin
Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apa lagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang
terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya.
Sesudah Cin Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk
menuturkan perjalanannya. Dia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai lalu dirinya
terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh
Hek Mo-ko.
Kemudian ia diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu
pergi mencari Pulau Emas hingga berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu
Pangeran Vayami. Ia menuturkan betapa kedua iblis itu sudah membasmi seluruh anak buah Pangeran
Vayami dan membinasakan pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar
ke pantai.
Setelah ia menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang
telah diakui sebagai anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu begitu sayang
kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang
demikianlah semestinya sifat seorang ksatria yang biar pun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati
sayang dan cinta suci terhadap seorang anak pungut.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat
bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatirkan keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diamdiam
pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul.
Akan tetapi, walau pun sudah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak dua orang
gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang bicara tentang penyerbuan
tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini menarik hati Biauw Suthai dan dia pun mengajak muridnya
untuk menyusul ke timur dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya
mereka dapat pula menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan Pek Mo-ko
dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Sekarang tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh
perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya. Kong Hwat Lojin menghela napas berulangulang,
kemudian ia mulai ceritanya yang panjang…..
Sebagaimana telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di
dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf
dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin segera memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar
menuju ke laut.
Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma
Hoa dengan bermacam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah
memiliki banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan ke luar
negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata
biru, sehingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.
“Apakah mereka itu suka makan orang?” Ma Hoa bertanya sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin
oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat dia membayangkan hal-hal yang
mengerikan pada waktu mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini, Yousuf lalu tertawa geli. “Ahh, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita.
Bahkan, mereka itu mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan
indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah yang disebut Dunia Barat?” tanya Lin Lin.
Pada waktu itu Tiongkok telah mengenal India yang di sebut dengan Dunia Barat, bahkan Agama Buddha
datangnya juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu
berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.
“Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi
besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin banyak yang lebih hitam
kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak
berbeda jauh dengan kita sendiri.”
Kemudian Yousuf menceritakan pula pengalaman-pengalamannya pada saat ia merantau jauh ke utara
hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang dikeluarkan dari
mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar
Tiongkok yang bagi ketiga orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum
pernah, diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali.
Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu jadi makin berkesan
baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf
adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan memiliki pribudi tinggi.
Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika
bertemu dengan orang Turki ini.
“Dahulu kau berkata tentang Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang
menuju ke sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup mengenai hal-ihwal
pulau itu,” kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan.
Sesudah bergaul dengan ketiga orang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi
sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang banyak
sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya menolong sesama manusia
dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan.
Terhadap Nelayan Cengeng dia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang
saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa dan Lin Lin, ia merasa sayang dan suka. Hatinya yang tadinya
tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang
seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya.
Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi dan tak mengijinkan hatinya untuk memaksa seorang gadis
mencintainya, dan meski ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya
yang polos dan jujur bagai sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu birahi yang tadinya mengotori
kasih sayangnya terhadap gadis itu, kini menjadi luntur dan banyak mengurang.
Pada saat mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa
ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata,
“Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini tak akan menimbulkan
kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh tak enak kalau kita yang
melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan memiliki perasaan tak suka dan benci satu kepada
yang lain!”
Nelayan Cengeng tertawa. “Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan! Bila sekiranya hal
ini tak dapat kau ceritakan kepada kami, janganlah kau ceritakan! Kami juga tidak begitu nekat untuk
memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?”
Akan tetapi Nelayan Cengeng menjadi tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan
tegas berkata, “Ahh, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!”
Bahkan Lin Lin segera berkata lagi, “Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami sehingga masih
menyimpan segala rahasia?”
Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, “Ha-ha, Kong
Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungKansungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!” Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin
dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu bercerita,
“Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami
melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh,
dan yang sebentar lagi juga akan dapat kalian saksikan. Sebuah pulau di depan kami, yakni pulau yang
disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan.
Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar
dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada
keesokan harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kemudian mendarat. Akan tetapi, apa yang
menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, dari belakang sebatang
pohon, tiba-tiba saja keluarlah seekor harimau besar yang memiliki sebuah tanduk di tengah-tengah
kepalanya! Harimau itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku
itu pun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami bertiga
masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas
menyambar turun seekor burung rajawali berbulu kuning emas ke arah kami kemudian menyerang dengan
tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami sudah kena
cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan
tetapi, ketika kami sudah berada di pinggir jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah
anehnya. Penolong ini adalah seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning
keemasan yang indah sekali. Merak ini cepat menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi nyaring dan
aneh! Dan begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan
keluhan panjang kemudian berlarian pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!”
“Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan
hilir mudik seolah-olah membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat tertarik dan
timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tibatiba
dia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai
tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu
takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar
biasa!”
Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka dia lalu berkata,
“Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan
kabarnya merak di negeri itu pun sangat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang
burung merak sehebat seperti yang kau ceritakan itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak supaya Yousuf suka
melanjutkan penuturannya!
“Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak
berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai sekali. Kami
hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami
tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat pada bagian lain untuk menyelidiki, dan ternyata di puncak
bukit terdapat sebuah telaga yang airnya berwarna indah, kadang kala hijau, ada merahnya, lalu kuning,
bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai
keyakinan bahwa pulau itu tentulah menyimpan harta yang luar biasa, sebab itu kami lalu berputar sambil
memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tibatiba
saja dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami
takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas
kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlarian ke perahu kami. Dan
dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami
lempar ke laut oleh karena dia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah, kami lantas kembali ke
negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk
menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian tidak kaget, aku adalah orang yang ditugaskan untuk
memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki.”
Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, “Aku
pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau
itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka
pendengarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan ia lalu berkata, “Aku ingin sekali
melihat binatang-binatang aneh itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. “Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti
itu.”
Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau tak ambil
peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu menyanyikan sebuah lagu
Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biar pun
mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang
dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka sehingga terdengar sumbang dan lucu.
Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah sampai di dekat Pulau Kimsan-
to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, “Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-santo
benar-benar pulau yang menakjubkan?”
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak
pada saat melihat pemandangan ajaib yang terbentang di hadapan mata mereka. Mereka telah melihat
Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat
dari pada emas murni.
“Mungkinkah ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.
“Apakah aku sedang bermimpi?” bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tidak
percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung
batu.
“Hebat bukan? Aku sendiri pada waktu melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama
Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti
itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu
tersadar dan menghela napas.
“Betul-betul hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul
persangkaanku bahwa kau berbohong atau melebih-lebihkan ceritamu. Akan tetapi melihat pemandangan
ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan
Cengeng.
“Mari kita ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa dengan gembira.
Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Jangan pergi sekarang. Aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada makhluk
lain yang berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali.
Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati.”
Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas, menyetujui ucapan ini
sehingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan
semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan
indah itu dan mengaguminya.
Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada
kekasih masing-masing. Dan mendadak wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan
pada muka Lin Lin, maka dia bertanya perlahan,
“Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?”
Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia
bertanya, “Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”
Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi itukah yang
mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin
dunia-kangouw.blogspot.com
Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi.”
Lin Lin maklum bahwa keadaan hati serta pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan
pikirannya maka dia tidak mau bicara mengenai hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam,
mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa
saling tertarik lebih dekat lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sesudah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di
pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan
yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.
Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar
biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena
binatang yang dulu dilihatnya tak ada seekor pun kelihatan muncul.
“Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan
dengan mulut.
“Mungkin juga, karena benda atau makhluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap
kematian?” kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.
Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas
pohon, pulau itu nampaknya tidak ada makhluk yang berbahaya. Mereka kemudian mengunjungi danau
yang pernah diceritakan oleh Yousuf, dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macammacam
itu.
“Agaknya ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini,” Nelayan Cengeng berkata sehingga Lin Lin
dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegangan tangan oleh karena kedua gadis ini pun merasa
betapa danau ini agak berbeda dengan danau biasa, seakan-akan ada sesuatu di dasarnya yang hitam dan
mengerikan!
Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk
mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu, akan tetapi mereka tidak
mendapatkan sesuatu yang berharga.
Matahari sudah naik tinggi pada saat mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bungabunga
indah.
Tiba-tiba Lin Lin berseru, “Ada goa di sini!”
Pada saat semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat
pintu goa yang cukup besar dan tinggi. Goa itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan
tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam goa
menjadi terang karena kebetulan sekali goa itu menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke
barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam goa.
Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, empat orang itu segera memasuki goa dengan perlahan
dan hati-hati, dan tidak lupa mereka juga menyiapkan senjata di tangan masing-masing untuk menghadapi
bahaya yang mungkin timbul. Kiranya goa itu memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira
tiga tombak saja dan di dalam goa itu kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba saja Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan sudah diserang oleh sesuatu yang
mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, “Ada apakah?”
Dengan tangan menggigil Lin Lin menunjuk ke bawah, dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi sudah
tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu!
Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah
pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan
menimbulkan hati takut dan ngeri.
“Tentu ada apa-apanya di bawah ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir
yang menimbun tangan rangka itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan di sebelah rangka itu
terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang
paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun sudah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah
tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng
berkata sambil menghela napas.
“Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu
indah menarik sekali. Apa lagi tubuh manusia, sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah
sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya saja yang sudah tidak berharga lagi!”
Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng segera menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan
karatan itu di dekat rangka itu.
“Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan
sesuatu di situ.
“Nanti dulu, Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel
kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenangkenangan
kunjunganku ke pulau ini.”
Nelayan Cengeng tertawa. “Engkau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?”
Akan tetapi semua orang tidak melarang pada waktu Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu
dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam sapu tangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.
Setelah mengubur kembali tulang itu secara baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam
di goa ini yang merupakan tempat yang baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang
buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan
pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu
gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanya batu-batu karang yang tidak berharga.
Sedangkan Nelayan Cengeng serta kedua orang gadis itu yang tidak terlalu bernafsu untuk mencari harta
terpendam, maka jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.
Pada hari ke tiga, mendadak terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget
sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor
ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat
sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong
menjadi dua.
Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah. Namun semua orang menjadi
kaget sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula
dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.
Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari
sambil menyingkap rumput alang-alang, mendadak ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya. Yousuf
tidak keburu berkelit, maka dia cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan
langsung menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi.
Akan tetapi, mendadak Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget serta herannya pada
waktu melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itu
pun merupakan kepala kedua sehingga dia tidak sempat mengelak dan pundaknya lalu kena tergigit.
Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula dia menjerit
sehingga kawan-kawannya datang menolong.
Sesudah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lantas roboh pingsan dengan muka merah
sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu terasa panas sekali. Kong
Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walau pun telah mati dan
melemparkannya jauh-jauh, kemudian dia memondong tubuh Yousuf ke dalam goa tempat mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
bermalam.
Lin Lin yang biar pun sedikit tapi pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai, lalu
memeriksa luka pada pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu sudah menjadi matang
biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.
Selagi mereka bertiga kebingungan, tiba-tiba di luar goa terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar
dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan sehingga dari jauh
nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa.
Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng
dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,
“Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang
kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng.”
Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil
memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju
tanpa kelihatan jeri sedikit pun, karena di dalam hatinya dia menganggap tidak mungkin seekor burung
yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.
Setelah dekat, Lin Lin tidak berani langsung mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal
itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka dia kemudian mengulurkan tangan kanan seperti
orang minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan
buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat
bahwa itu adalah benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak
terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata,
“Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!”
Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam goa, diikuti oleh Nelayan Cengeng serta Ma Hoa yang memandang
terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di atas pembaringan tanpa dapat
berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya panas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin cepat-cepat mencabut pedangnya dan
mempergunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di
bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka
dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu, lalu setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin
lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan.
Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit
di dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas
goresan pedang pada pundak Yousuf, lalu segera dihisapnya! Setelah menghisap, dia lalu meludahkan
darah hitam yang dapat disedot dari luka itu.
Berkali-kali dia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di
sekitar pundak yang tergigit ular itu. Dan akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan
lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru pada pundaknya, sedangkan panasnya juga
otomatis menurun.
Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar
jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin tidak akan berani
melakukan penghisapan racun dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali dan dapat
menewaskannya.
Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman racun ular, Lin Lin lalu keluar dari goa untuk mencari air dan
mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang. Rasa haru yang
mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati
gadis itu.
Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tibatiba
ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor
dunia-kangouw.blogspot.com
harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah
tanduk yang melengkung ke atas laksana tanduk seekor badak.
Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini
tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.
Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini
lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya
memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya
apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.
Mendadak terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar
kepalanya dari arah atas. Cepat gadis ini mengelak secara tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari
atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang amat besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak
secara tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu!
Lin Lin makin terkejut oleh karena dia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua
macam binatang lihai ini berada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang
begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tidak kuat melawan dua ekor binatang ini,
apa lagi dia kini berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula?
Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit
pun. Bahkan ketika itu dia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu dengan pandangan mata
kagum dan senang.
Setelah menyambar turun rajawali itu lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh
rajawali itu jauh lebih tinggi dari pada tubuh harimau itu! Dua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin
dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil
sikap bermusuhan dengan mereka, malah tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar
biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk
lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala, ada pun Rajawali Emas itu lalu mengebutngebutkan
sepasang sayapnya sambil menunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada
merak ini.
Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga, lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini
gembira sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya sedang kakinya
sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu sejenis daun yang merupakan obat khusus
untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil
tersenyum manis gadis itu berkata,
“Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan amat pandai.” Sambil berkata demikian
Lin Lin mengulurkan tangan menerima rumput atau daun-daun panjang itu dari kaki merak. Kemudian
dengan mesranya Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali serta halus dan bersih itu.
Merak itu menjulurkan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan pada lengan tangan gadis yang
mengelus-elusnya itu, seolah-olah ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan
yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahanlahan
dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri.
Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya dia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus
punggung mereka. Si Harimau bertanduk itu menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan
perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itu pun
kemudian mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya bagaikan seekor
burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tiba-tiba harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga
gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan pedang karatan
yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut pedang itu, dan sungguh aneh. Ketika melihat
pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu
mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga
tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang sakti
yang telah meninggal dunia di dalam goa dan kini ketiga ekor binatang ini mengenal pedang pusaka orang
sakti itu!
Maka Lin Lin lalu ikut berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak
memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik
pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini
ketiga binatang itu nampak girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang
amat menurut.
Pada saat itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng
dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari belakang pohon dengan mata terbelalak heran. Lin Lin tersenyum
lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,
“Sin-kong-ciak (Merak Sakti), Sin-kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk
Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan janganlah
kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!”
Ketiga ekor binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan
Lin Lin sehingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini mereka tidak raguragu
lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak ketiga ekor binatang itu yang menjadi heran
sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak
itu tiada habisnya.
Kemudian mereka lalu kembali ke goa, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa juga mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar
karena khawatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya. Akan tetapi mereka berdiri tercengang sambil
mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin
dan ketiga binatang itu.
Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular, dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf,
dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.
Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin
merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apa lagi
ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang ada di dalam tubuhnya
dengan menggunakan mulutnya, orang Turki ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya dan dia
menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Dia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang
kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar.
Lin Lin tersenyum dengan muka merah.
“Enci Ma Hoa,” katanya kepada gadis itu, “mengapa kau menceritakan hal itu? Kau hanya melebih-lebihkan
hal yang tidak ada artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,
“Yo-sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik yang sedang berada di tempat asing dan berbahaya. Bila
kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun tentu tidak akan raguragu
lagi melakukan hal ini apa bila aku yang mendapat kecelakaan.”
Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, tapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh
karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Dia
ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding goa karena menyesal kepada diri sendiri dan diamdiam
ia memaki pada diri sendiri.
“Ahh, Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kau biarkan setan menguasai hati dan pikiranmu
hingga kau pernah tergila-gila dan memiliki pikiran buruk terhadap seorang gadis yang demikian mulia
hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti
gadis ini!”
Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil
dunia-kangouw.blogspot.com
Lin Lin sebagai permaisurinya apa bila cita-citanya tercapai. Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin
sama sekali berubah dari cinta seorang lelaki pada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah
terhadap seorang anak perempuannya!
“Lin Lin,” katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma
Hoa beserta Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar
mencari buah-buahan yang enak dimakan. “Setelah apa yang kau lakukan untuk membelaku, sudilah
kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak
berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”
Mendengar suara yang diucapkan dengan menggetar, juga melihat betapa wajah Yousuf memandangnya
dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi amat terharu dan teringat pada ayahnya. Maka dia segera berlutut
di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi dia menyebut, “Ayah!” sambil menangis.
Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas
kepala gadis itu dan berkata,
“Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan
nyawaku, semoga Dewata Yang Agung memberkahimu.”
Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga
merasa girang sekali. Nelayan Cengeng sudah percaya penuh akan ketulus ikhlasan dan kejujuran hati
orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah
kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin.
Nelayan Cengeng menghela napas, “Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan
tetapi kau ingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah
menjadi guru dan ayahmu sendiri! Walau pun kau menyebut Suhu kepadaku, tapi kau kuanggap anak
sendiri dan hal ini pun tentu kau maklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku.”
Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu-nya dan berkata, “Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan,
sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”
Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan
tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi kaisar dan mengawini
Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Dia masih ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu, akan
tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung.
Akan tetapi, sesudah beberapa hari tinggal di pulau itu, ternyata belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa
pulau itu betul-betul mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka.
Pada suatu hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat
banyak sekali pendeta Sakya Buddha anak buah Pangeran Vayami naik ke pulau itu dan melakukan
pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon
kecil untuk dipakai menutupi goa mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain, lantas diamdiam
mereka mengintai pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan.
Ketika Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf
mencegahnya dan berkata,
“Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu
di mana letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun
tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka lakukan.”
Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orangorang
itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf,
mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian, dengan kaget sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu pasukan
Turki sedang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu pasukan kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan
bangsanya telah tiba di situ dan hendak menguasai pulau itu sebagai mana direncanakannya dan tahu pula
bahwa kalau mereka melihatnya, tentu dia akan ditangkap oleh karena selama itu dia tidak pernah memberi
dunia-kangouw.blogspot.com
kabar mengenai hasil penyelidikannya sehingga ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak
mengambil sendiri harta itu.
Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara pasukan Turki dengan barisan Tiongkok,
dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakya Buddha itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena
pendeta-pendeta itu kemudian menyalakan api dan membakar danau minyak yang segera berkobar hebat
menjadi lautan api.
“Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!'
katanya.
Kawannya menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih
mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.
Kedua orang gadis itu pun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan
memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan di
belakang alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu,
tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.
Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki goa, ternyata tiga ekor binatang
sakti itu sedang mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka tanam dahulu. Lin Lin
membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap
untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti. Ia berkata
sambil menangis,
“Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku
sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kau ikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa
sedih seumur hidupku?”
Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua
butir air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar
dari goa sambil menangis. Beberapa kali ia masih menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini.
Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di
atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan
segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang
diri dan ikut menyusul.
Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil
berteriak-teriak buas mereka langsung menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera
menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.
“Lekas kalian bertiga jalankan perahu, biarlah aku sendiri menahan serbuan anjing-anjing merah ini!” kata
Nelayan Cengeng.
Yousuf yang melihat betapa api berkobar semakin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma
Hoa berteriak,
“Suhu jangan melawan mereka seorang diri, teecu akan membantumu!”
“Jangan!” teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku
tidak takut segala anjing ini, dan biar pun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan
Tiongkok!” jawab suhu-nya yang gagah perkasa sambil terus memutar-mutar dayungnya dan mengamuk
hebat.
Lin Lin mendapatkan akal. Dia segera menghampiri Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku yang baik. Kau
bantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!”
Sin-kong-ciak mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa dia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar
saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Sesudah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit
dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakya Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi
gembira sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!”
Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan pendeta-pendeta Baju
Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak
Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahuperahu
kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka segera melarikan diri dengan perahu-perahu itu
dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu.
Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak-ko, sekarang kau terbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita
berlomba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dialah yang menang!”
Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu
terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali.
Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut, kemudian mempergunakan
kepandaian dan tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi dia
telah tertinggal jauh dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar perahu itu
sehingga dia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas,
namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.
Akan tetapi, setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam kegelapan, tiba-tiba saja terdengar letusan
hebat dari pulau yang terbakar itu sehingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang datang
setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan ke lain jurusan!
Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika
melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, dia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam.
Tekanan air makin ke bawah semakin kuat, akan tetapi tidak bergelombang sehebat di permukaan air itu.
Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia pun menuju
ke pantai.
Akan tetapi oleh karena gelombang yang hebat itu pun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan
kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng sudah muncul di darat, ia
berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana!
Dan pada waktu dia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya
hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio
dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Dan seperti yang telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut
mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan
tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!
Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa ada di bawah
perlindungan Yousuf yang baik hati. Sungguh pun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu,
namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.
Sementara itu, Pulau Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak
mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali, dan dia berniat hendak menggunakan perahu
mencari Ang I Niocu!
Semua orang tahu akan isi hati serta kehancuran kalbu pemuda ini. Maka, oleh karena mereka semua pun
merasa sangat kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke
arah pulau yang musnah dimakan api itu.
Pada hari ke tiga, padamlah api yang membakar seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah gelombang besar
yang diakibatkan oleh kejadian mengerikan itu. Laut kembali menjadi tenang dan semua orang memandang
ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat
mengeluarkan kata-kata.
Ternyata bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari nampak bagaikan
sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue besar yang habis ditelan oleh mulut
dunia-kangouw.blogspot.com
raksasa. Sedikit pun tak nampak bekas-bekasnya lagi.
Semua orang lalu mulai dengan usaha mereka mencari-cari, tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang
Niocu? Cin Hai sendiri lalu menggunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung perahu itu ke
tempat di mana tadinya terdapat pulau itu.
Mereka melihat banyak barang mengambang di permukaan air laut, barang besar kecil yang berupa bendabenda
hitam memenuhi air laut itu. Sesudah mereka berputar-putar sehari lamanya dan orang-orang lain
telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa, tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di
air dan dia lalu menjerit dengan suara mengandung isak tangis.
“Niocu!” Kemudian pemuda ini lalu melompat ke dalam air.
Kwee An terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke depan. Dia
melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan saat dilihatnya, ternyata bahwa yang
dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain warna merah. Sambil menangis Cin Hai berenang kembali ke
perahu dan naik ke dalam perahu sambil memegang erat-erat potongan kain merah itu, lalu dia terduduk
menangis sambil menyembunyikan mukanya di dalam kain itu dan mengeluh tiada hentinya.
“Niocu... Niocu...”
Kwee An teringat bahwa kain ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakai oleh Ang I Niocu,
maka dia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya menepuknepuk
Cin Hai.
“Kuatkanlah hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?”
Cin Hai tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi ke
dalam sobekan kain merah itu. Agaknya tubuh Ang I Niocu telah hancur karena ledakan dahsyat itu dan
secara ajaib sekali sepotong pakaiannya sudah terlempar dan terbawa hawa ledakan hingga jatuh di air
dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi
bukti nyata bahwa Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari
pakaiannya.
Nelayan Cengeng yang hampir seharian penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan
sesuatu dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Pada saat mereka melihat kain
merah yang ditemukan oleh Cin Hai, mereka hanya dapat menghela napas saja, bahkan Pek I Toanio tidak
dapat menahan keharuan hatinya dan berkata kepada Cin Hai.
“Jangan kau terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah tewas, tetapi dia
tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa dan boleh dibanggakan maka tidak perlu kita terlalu
menyedihi kematiannya. Bukankah kita semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului
kita? Lebih baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa.”
Nelayan Cengeng yang diam-diam juga mengalirkan air mata tanda menangis itu cepat menggunakan
ujung lengan bajunya yang basah oleh air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk. “Benar
ucapan Pek I Toanio. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana mendaratnya perahu Yousuf
itu.”
Kata-kata ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang
besar sekali. Dia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya, kemudian memandang kepada mereka.
“Maafkanlah kelemahanku dan terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati
untuk ikut bersusah payah.”
Setelah mengadakan perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan dipecah dalam tiga rombongan
sebagai usaha mereka mencari kedua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin Hai, Pek Toanio
bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat di mana perahu orang Turki itu
mendarat belum diketahui, maka mereka segera berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma
Hoa dan Yousuf…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Berkat kecerdikannya dan kepandaian supek-nya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari
Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat
melihat pula pertempuran yang terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio
melawan Hek Pek Mo-ko.
Akan tetapi, oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang memiliki
kepandaian tinggi sekali, terutama Hek Pek Mo-ko yang sudah dia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar
biasa, Hai Kong Hosiang segera mengajak supek-nya yang gagu untuk terus berlari dan jangan
mencampuri urusan mereka.
Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali dia sudah mengalami kesialan.
Pertama, dia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan
bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar
di pulau yang terbakar dan meledak.
Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang terus menyumpahi Cin Hai. Dia merasa menyesal sekali mengapa
dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh anak muda
itu.
Sekarang anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan penghalang besar baginya
oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu tak akan tinggal diam saja dan akan
terus mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan
kepandaiannya sendiri yang tadinya dia banggakan itu, baru menghadapi Balutin saja belum mampu
mengalahkannya!
Maka ia lalu mengajak supek-nya, yakni Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu untuk bersembunyi di
atas sebuah gunung yang sunyi, lalu mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya
di bawah pimpinan Kiam Ki Sianjin yang lihai! Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil
mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang
sudah meningkat tinggi sekali, bahkan dia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan
ilmu yoga dari barat.
Lweekang ini dilatih secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam secara
jungkir balik, kepala di bawah dan dua kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang mempunyai
ilmu silat yang diajarkan oleh supek-nya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai.
Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaan biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di atas
dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong Hosiang bisa bergerak secara
lihai sekali, mengirim serangan-serangan maut yang tidak terduga datangnya. Oleh karena tenaga kaki
memang lebih besar dari pada tenaga tangan maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang
secara hebat itu sulit ditahan oleh lawan.
Ini masih belum begitu hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan
serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau lawan sampai kena
terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di bawah, maka celakalah dia!
Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko. Dalam usia
yang sangat tua saja ia masih amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh
kepandaiannya dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan
bertenaga besar itu!
Selain Ilmu Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko
yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko yang dapat
dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukan Kim-ciong-ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh
karena didasarkan khikang yang dilatih secara jungkir balik sehingga dia bisa menyalurkan tenaga
dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis laksana
karet. Karena itu, jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apa bila digunakan oleh
orang yang memiliki tenaga biasa tidak akan dapat melukainya!
Setelah merasa bahwa kepandaiannya sudah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan
bersama supek-nya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya perwira Boan Sip.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka kebencian dan kemarahannya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah
hendak membunuh mereka ini semua!
Nama-nama Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, serta Pek I Toanio
termasuk dalam daftarnya dan dia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama Bu Pun
Su juga tak pernah terlupa olehnya walau pun ia masih merasa jeri dan ragu-ragu apakah ia akan dapat
menghadapi kakek jembel yang sangat kosen itu!
Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di
dusun itu tak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa permisi
kepada tuan rumah.
Seorang petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali saat melihat seorang gundul memasuki
rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,
“Eh, ehh, hwesio dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi.”
Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik, dan sekali dia mengulurkan tangan,
pundak petani itu telah kena dipegangnya dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh
petani itu jatuh berdebuk di luar rumah, kemudian bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong
Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas
seketika itu juga.
Petani ini menjadi marah sekali. Dia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung dan memberi
tahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurang ajaran ini, segera
membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah
kecil itu, Hai Kong Hosiang telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.
“Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?” tanyanya dengan muka bengis.
“Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?”
“Siapa merampas rumah? Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian orang-orang
kampung sungguh tak tahu aturan. Sepatutnya kalian cepat menghidangkan makanan dan minuman
untukku seperti layaknya tuan rumah menghormati tamunya.”
“Mana ada aturan macam itu?” berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan
mendengar perkataan yang keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah
orang seperti perampok, bahkan sudah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah ini.”
“Sudahlah, jangan banyak cakap lagi. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak
mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi.”
“Hweso jahat!” teriak orang-orang kampung itu kemudian menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai
Kong Hosiang.
Akan tetapi, orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana
dapat menghadapi orang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika berbagai senjata menyambar ke tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kiri untuk
menangkis senjata-senjata itu, ada pun tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak
kesakitan saat senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjatasenjata
itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi perih dan
sakit.
Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul. Akan tetapi pada saat
kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali menjerit-jerit
kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.
“Ha-ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku,
kalau tidak mau, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!” Sesudah berkata demikian, Hai
Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
orang melempar-lemparkan rumput kering saja.
Orang-orang kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi
hwesio yang jahat seperti setan dan yang mempunyai ilmu kepandaian mukjijat yang belum pernah mereka
saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong
Hosiang membentak,
“Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku
membikin dusun ini hancur lebur?”
Takutlah orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio
jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan semua
hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi, demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dan hanya sedikit terdapat
daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali dia menggerakkan kakinya, semua hidangan
melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat
itu lalu membentak,
“Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!”
“Kami...kami orang sedusun tidak mempunyai babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili kawankawannya.
“Tidak ada babi? Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan
babi dan kupanggang tubuhmu!”
“Benar-benar kami tidak mempunyai babi, Losuhu,” kata seorang petani lain.
Hai Kong Hosiang baru mau percayai keterangan mereka. “Kalau begitu, bawalah seekor kerbau ke sini!”
Orang-orang kampung itu menjadi pucat. “Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami
pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib kami?”
“Tutup mulut kalian dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan
kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!”
Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun
kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu memandang tubuh kerbau yang
gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.
“Nah, ini pun boleh!”
Secepat kilat ia merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak,
leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut binatang itu melalui
lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan
lalu terdiam.
Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan mendadak dari rombongan para petani yang memandang
penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata terbelalak, keluar berlari seorang
anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil
menangis keras.
“Heii, siapakah anjing kecil ini?” Hai Kong Hosiang bertanya kepada seorang wanita yang menarik-narik
anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.
“Dia... dia ini adalah anakku dan kerbau itu… adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil dia bersamasama
kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan
bermainnya itu terbunuh.”
“Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Apakah dia belum tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu?
Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku
dunia-kangouw.blogspot.com
pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang
tangan anak itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong
Hosiang membentak,
“Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa salahnya?! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh
kamu berdua!”
Terpaksa ibu ini melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil
menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari sana oleh karena merasa khawatir kalau
hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan pembunuhan.
“Hayo lekas masak daging ini!” Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas
meja dalam rumah itu.
Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang
tiada hentinya minum arak sambil terus tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat dan tubuh
menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!
Setelah masakan daging kerbau sudah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan
anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.
“Hayo kau makan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!” berkata Hai Kong Hosiang kepada
anak itu. Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu
matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hayo makan!” teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek laksana guntur hingga semua
orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.
Akan tetapi, sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya
yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini sudah dimasak dan dimakan oleh
hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur sekali.
Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Dia lalu mengambil sepotong
daging dengan tangannya dan begitu ia mengulurkan tangan, maka tangan kirinya sudah menangkap mulut
anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi! Anak itu
membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, lantas tibatiba
dia pun muntah-muntah!
Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin dia memukul mati anak di depannya ini, akan
tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka
setidaknya tentu akan terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Karena itu
dia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan,
anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!
Baiknya di luar pintu itu orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh
kekhawatiran, karena itu tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat.
Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan rasa takutnya, dan orang-orang kampung itu cepat
menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa
sedih, dan tak berdaya!
Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu
makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih!
Memang hwesio ini mempunyai sifat aneh. Dia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam,
dan sekali dia makan, agaknya dia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan takaran makan
yang tiga hari itu dirangkap menjadi sekali makan!
Setelah hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam
rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras, seolah-olah kerbau yang
dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak!
Semalam suntuk itu Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempat tidurnya. Telah beberapa pekan
dunia-kangouw.blogspot.com
dia meninggalkan kota raja dan supek-nya ditinggalkan di kota raja, oleh karena supek-nya yang sudah tua
itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri.
Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai bersama Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin
Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka orangorang
kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka pergi ke ladang sambil memanggul cangkul mereka.
Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,
“Lopek (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini sedang berduka dan kebingungan. Mala petaka apakah
gerangan yang menimpa desamu?”
Tadinya si petani ini tak berani banyak bicara. Akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung di
punggung Pek I Toanio, segera timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu berharap kalau-kalau dua wanita
yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.
“Ketahuilah, Toanio. Desa kami baru saja kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami
dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan dia berani memukul dan melukai orang.”
Bangkitlah semangat pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, ada pun Biauw
Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu
menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apa lagi saat
mendengar betapa hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian
melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.
“Hwesio bangsat yang kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat dan tak mengenal
kemanusiaan itu.”
Sesudah berkata demikian, dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, Biauw Suthai langsung
pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan
kepada kawan-kawannya dan sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang
hendak mengusir dan menghukum hwesio jahat yang mengganggu mereka. Semua orang lalu
meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang
mendekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.
Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas
genteng dan membuka dua genteng untuk mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang
aneh.
Seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang berdiri dengan
kepala di tanah dan kedua kakinya di atas. Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan
saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa sehingga dari atas kelihatan bagaikan sebuah
gangsingan atau semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak
sebuah topi bambu yang lebar.
Ketika Biauw Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena
mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang sedang
melatih lweekang-nya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah
dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, ada pun sepasang kakinya bergerak-gerak sehingga di dalam
kamar itu berkesiur angin yang kuat.
Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu sepasang kakinya ditendangkan ke
atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.
“Awas!” seru Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba
genteng di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat
pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.
”Hai Kong pendeta bangsat!” Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah
berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw
Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan
berbulu merah, dia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut
keluar pedangnya.
“Ha-ha-ha, tokouw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya
engkaulah orang pertama yang akan mampus dalam tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak
kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan akan mengiringkan kau! Ha-haha!”
“Hai Kong Hwesio keparat yang patut mampus. Memang sudah sejak lama pinni hendak menyingkirkan kau
dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk mati!” Sambil
berkata demikian Biauw Suthai lalu menggerak-gerakkan hudtim-nya yang lihai.
Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai
Kong Hosiang akan merasa jeri oleh karena ia pun telah maklum akan ketangguhan tokouw mata satu ini,
dan karena ia maklum akan kelihaian para musuhnya, maka ia lalu mengajak supek-nya untuk
menemaninya dalam perantauan.
Akan tetapi, sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia
memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan berani melakukan perjalanan seorang diri tanpa
dikawani supek-nya.
Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang
rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa dia memang mempunyai dasar atau bakat
yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia.
Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat
dimainkannya dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga di samping ilmu silat ini
dia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan sudah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang
berdasarkan yoga dari Barat.
Kini melihat betapa Biauw Suthai sudah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu
halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam tokouw itu
telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio yang sangat tangguh ini, Hai Kong
Hosiang kembali tertawa bergelak-gelak dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong.
Serangan ini berarti penghinaan serta memandang rendah terhadap Biauw Suthai yang memegang
kebutan, maka tokouw ini menjadi marah sekali. Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia begitu ringan
sehingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu
gerakan Angin Badai Memutar Ombak.
Terdengar angin bersuitan ketika hudtim berkelebat merupakan cahaya merah dan dalam segebrakan saja
ujung hudtim-nya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang
lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung
lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah ulu hati hwesio itu.
Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang
mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, dia tidak menjadi gugup. Dia
gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga
khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.
Biauw Suthai terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah
maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah maju pesat dan
telah berada di tingkat yang lebih tinggi dari pada tenaga dalamnya sendiri.
Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa tokouw ini
adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang ‘kawakan’ atau jago tua yang telah malang melintang dalam
dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui tandingan.
Biauw Suthai telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan yang tangguh, hingga
ia tidak menjadi jeri menghadapi Hai Kong Hosiang, biar pun ia maklum bahwa hwesio ini berkepandaian
tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai dan sekarang kebutannya bergerak
dunia-kangouw.blogspot.com
bagaikan seekor naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong
Hosiang agar supaya dapat mempertahankan nyawanya lagi.
Sesudah bertempur dengan hebatnya sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui
keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu. Telah beberapa kali ia
mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat sebab hampir saja ia menjadi korban senjata hudtim
lawannya. Maka ia segera berseru keras,
“Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!” dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal
ganas dan ampuh.
“Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut
kepadamu!”
“Ha-ha-ha! Biauw Suthai, kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak. Sungguh-sungguh
tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tidak berani bergerak, maka
jagalah dirimu baik-baik!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil
menggerakkan tongkatnya yang istimewa sehingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum
akan berbahayanya tongkat ini.
Sementara itu, Pek I Toanio mendengar penghinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa mukanya
pucat dan takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju dia menyerang dengan pedangnya
dan membentak, “Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut iblis macam kau!”
“Jangan maju!” teriak Biauw Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat.
Ketika pedang Pek I Toanio menusuk dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama sekali tidak
menangkis karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tidak perlu dia takuti, maka sengaja ia memasang
dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek pedang!
Akan tetapi Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung pedangnya membentur kulit dan
daging yang keras dan dapat membuat pedangnya terpental kembali seakan-akan dia menusuk sebuah
benda yang keras dan licin. Sebelum hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya
adalah seekor ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya.
Pek I Toanio memekik perlahan sambil memegangi lehernya. Tubuhnya terhuyung-huyung kemudian roboh
dan tewas dengan muka serta leher berubah menjadi hitam karena pengaruh bisa yang keluar dari tongkat
itu.
“Ha-ha-ha-ha, Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang cantik sudah berubah buruk seperti mukamu!”
Bukan main marah dan sedihnya hati Biauw Suthai melihat hal ini. Dia berubah menjadi buas dan liar
karena marahnya.
“Hai Kong, kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!”
Lalu hudtim-nya diputar hebat dan ia pun menyerang dengan mati-matian! Belum pernah selama hidupnya
Biauw Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat
dari pada biasa.
Hai Kong Hosiang terkejut dan diam-diam dia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai benar-benar
hebat. Dia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono, sebab maklum
bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai dengan kemarahan hebat dan penuh dendam ini bukanlah
hal yang boleh dipandang ringan!
Setelah mereka bertempur seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali sehingga orang-orang
kampung yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas, kini tidak berani
bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran yang luar biasa ramainya itu, tiba-tiba Biauw
Suthai lalu merubah gerakannya dan kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk
merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai.
Pada suatu ketika ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu dengan erat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya
berjungkir balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya bergerak
menyerang Biauw Suthai!
Gerakan ini sungguh-sungguh diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtim-nya berhasil
membelit, Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, karena itu ia cepat mengerahkan lweekangnya
untuk menahan dan pada waktu Hai Kong Hosiang tiba-tiba melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik
oleh hudtim dan melayang kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi dia tidak
menyangka sama sekali bahwa sesudah melepaskan tongkatnya, Hai Kong Hosiang lalu berjungkir balik
dan menyerang dirinya dalam keadaan yang aneh sehingga dia menjadi bingung.
Sebagaimana sudah jadi watak wanita, dia paling takut diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu
mencurahkan perhatian pada dua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang dari arah bawah! Ia
menggerakkan hudtim-nya untuk menyapu ke bawah dan menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahutahu
sepasang kaki Hai Kong Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan
kiri dengan tenaga yang hebat sekali!
Biauw Suthai terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia dapat mengelak
dari serangan pada pundak kanannya, akan tetapi secara telak pundak kirinya telah kena terpukul oleh
ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyunghuyung
ke belakang.
Tokouw bermata satu ini telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang terkena
pukulan ini, pasti pada saat itu juga telah roboh tak bernyawa! Biauw Suthai yang telah menderita luka
dalam yang hebat oleh karena totokan keras di pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk,
akan tetapi hawa pukulan juga telah menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan
gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi, biar pun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas, tapi
gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya cepat membuat gerakan dan tubuhnya tibatiba
saja rebah di atas tanah hingga sambitan hudtim itu tidak mengenai sasaran.
Hudtim itu melayang cepat dan menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar
suara keras karena sebagian besar batu itu hancur terpukul hudtim! Dapat dibayangkan bahwa apa bila
hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur. Demikian hebatnya tenaga sambitan
yang dilakukan dengan menggunakan tenaga terakhir itu.
Setelah menyambit dengan hudtim-nya, Biauw Suthai lantas roboh dan ternyata dia telah menghembuskan
napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio.
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan tetapi sesudah melakukan pembunuhan hebat ini ia
merasa lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu kalau-kalau kawankawan
tokouw itu berada di dekat tempat itu. Bukan karena dia takut kepada mereka, akan tetapi oleh
karena dalam pertempuran dengan Biauw Suthai tadi dia sudah mengerahkan banyak sekali tenaga dan
sudah menjadi lelah, maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan
berbahaya. Maka dia segera angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.
Sesudah melihat bahwa hwesio jahat itu benar-benar telah pergi meninggalkan kampung mereka, para
petani baru berani beramai-ramai menghampiri dua mayat yang tergeletak di situ. Mereka merasa terharu
sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela mereka sekampung.
Karena itu kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan dikabungi,
kemudian dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua yang rumahnya dirampas oleh Hai
Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim Biauw Suthai dan pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding
rumahnya sebagai perhormatan dan setiap orang kampung apa bila melihat kedua senjata ini, mereka
menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat…..
********************
Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan
dunia-kangouw.blogspot.com
pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung merak sakti dan
Lin Lin menjadi girang sekali melihat merak sakti melayang turun kemudian berdiri di atas perahu. Akan
tetapi dia merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke
arah air oleh karena maklum bahwa suhu-nya tentu akan menyusul dengan berenang.
“Kong-ciak-ko, di mana Kong Hwat Lojin?” tanya Lin Lin sambil memegang leher merak sakti.
Binatang sakti itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seolah-olah hendak
mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah
sekali, demikian pula Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tibatiba,
di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.
“Itu tentu Suhu!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan dia merasa yakin bahwa yang begerak-gerak itu
tentu suhu-nya yang berenang cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga
ikut bergirang hati.
Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau itu sehingga ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu.
Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana adanya Nelayan Cengeng,
tiba-tiba datang lagi gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali.
Dengan dibantu dua orang gadis itu, Yousuf mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu
mereka terbalik dan dalam keadaan tidak berdaya itu mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar
membawa perahu mereka. Jika perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara
permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar dan berat sehingga mereka benar-benar tak berdaya.
Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka semakin jauh dari tempat yang
mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa
semakin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah sehingga mereka dapat
mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh
sekali dari pantai yang hendak mereka tuju.
Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, mendadak datang barisan besar ke
tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang
sengaja datang menyusul rombongan pertama. Pada saat melihat Yousuf, pemimpin barisan itu lalu
berseru,
“Tangkap pengkhianat itu!”
Banyak anggota tentara lalu menyerbu hendak menangkap Yousuf. Akan tetapi beberapa orang di antara
mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.
Pemimpin barisan merasa kaget dan heran sekali, kenapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang
cantik jelita. Maka dia lalu tertawa menghina dan memaki,
“Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga
pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha...!”
“Bangsat anjing bermulut jahat!” Lin Lin memaki sengit sebab gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari
bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu.
Dalam kemarahannya, Lin Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan tetapi,
puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk menghadapi dua
orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan dua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin
bergerak diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah.
Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil
berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara
berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok. Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak,
dia sudah berhasil menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan
sebagai senjata.
Tentara Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jeri karena sudah tahu bahwa Yousuf merupakan seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan pengeroyokpengeroyok
berkelahi dengan hati-hati.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari angkasa dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar,
menyambar-nyambar turun dan setiap kali sayapnya menyampok, maka seorang Turki segera terpukul
roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini ternyata lebih hebat dari pada amukan
Yousuf.
Menghadapi empat orang lawan yang tangguh luar biasa ini, pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau
balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan serta mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga
berpikir bahwa tidak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus
orang itu, lalu berseru,
“Mari kita pergi!”
Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, karena itu tanpa membantah,
mereka cepat-cepat ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok sambil menggulingkan tiap
penghalang. Juga Sin-kong-ciak lalu memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu. Sebenarnya burung
merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini
diperintahkan untuk pergi.
Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka segera lari meninggalkan
mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi
suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu. Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf
berhenti, merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.
“Lin Lin dan Ma Hoa,” kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua
ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan dimusuhi,
oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka.” Ia menghela napas panjang. “Maka, demi
keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu dan
Nelayan Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara itu. Kalau kalian
bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya saja.”
“Ayah, janganlah kau berkata begitu,” bantah Lin Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan ke mana kau
pergi, aku sudah sewajarnya ikut.”
“Yo-peh-peh,” kata Ma Hoa yang kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti yang
dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai
orang tua sendiri, maka kenapa sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah? Marilah Peh-peh
bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan kemudian mencari Suhu dan kawan-kawan lainnya. Ada
pun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan
Sin-kong-ciak.”
Yousuf merasa terharu sekali. Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin
dan Ma Hoa.
“Kalian memang anak-anak baik dan berhati mulia. Semenjak dahulu aku hidup sebatang kara, setelah
bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia ini perkara yang
lebih kusukai dari pada hidup di dekat kalian dan sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi
kalian anak-anak muda harus tahu pula bahwa aku adalah seorang Turki. Apakah mungkin aku harus
melawan serta membunuh tentara bangsaku sendiri? Ahh, itu tidak mungkin. Lebih baik untuk sementara
waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apa bila tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan
keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke selatan dan mencari kalian.”
Akan tetapi Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan sedang dikejar-kejar itu.
Bagaimana kalau dia diketemukan dan akhirnya sampai mati?
“Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan nanti kalau keadaan telah
aman kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari kawan-kawan.”
Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu tak akan berlangsung lama, oleh karena setelah ternyata bahwa
Pulau Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau tinggal berlama-lama di tempat yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,
“Memang demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa
pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki.”
Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri-seri gembira. “Bagus,
anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali. Jangan kalian kuatir, di lereng salah
satu bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah.
Mari kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangannya
indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!” Sambil berkata demikian Yousuf pun
mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya.
Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu segera menuju ke bukit yang dimaksudkan
oleh Yousuf.
Benar saja sebagaimana kata Yousuf, keadaan di sana menyenangkan sekali. Tamasya alam indah dan
mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu
adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup sederhana.
Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras
membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu
terdapat banyak kembang-kembang yang indah.
Dan beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi
keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba.
Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil namun indah bentuknya, dikelilingi oleh kembangkembang
tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus
dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan,
ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!
Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena
ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walau
pun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat
ini.
Tingkat kepandaian Yousuf memang masih lebih tinggi dari pada tingkat kedua gadis itu sehingga berkat
latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat,
ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya,
kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat
mereka termenung, akan tetapi pikiran ini segera terhibur apa bila mereka mengingat bahwa kelak mereka
tentu akan bertemu kembali.
Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, setiap hari hanya berjalan-jalan di
dalam taman atau kadang-kadang ia terbang tinggi sekali berputar-putar sehingga mengagumkan orangorang
yang melihatnya. Merak ini agaknya juga merasa senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin
indah mengkilap.
Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusir awan dan halimun
pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan
nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa sudah berada di taman bunga
mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja
sambil bersenda gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
“Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah
ini Saudara Cin Hai berada di sini!”
Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara serta lincah itu juga segera tersenyum dan
memandang tajam, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, “Memang betul, tentu saja hatimu
akan merasa senang sekali, akan tetapi kau bersabar saja, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat
bertemu kembali dengan dia itu!”
Ma Hoa melengak dan tidak mengerti. “Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksud dengan dia itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lin Lin berpura-pura memandang heran. “Siapa lagi, bukankah yang tadi kau maksudkan adalah Engko
Kwee An?”
“Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?”
Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini.
Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?”
Ma Hoa memandang dengan gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis
itu segera mengelak.
“Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku tidak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku.”
“Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu? Aku tadi justru mendengar suara yang keluar dari
hatimu sehingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata
seperti yang kuulangi tadi?”
Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang walau pun mulutnya
menyatakan dan menyebut-nyebut nama Cin Hai, akan tetapi tepat sebagai mana godaan Lin Lin, hatinya
memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin dan hendak
dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Awas, Enci Hoa, apa bila engkau mencubit aku, kelak aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”
Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor
kupu-kupu yang cantik dan indah.
Mendadak keduanya berhenti tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh
perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik
aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu memekik seperti ini sehingga mereka
tidak tahu apakah merak itu sedang marah atau sedang bergirang.
Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti,
akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan hati heran dan terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu
melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.
Pada waktu mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan
yang membuat mereka segera tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu,
tampak Sin-kong-ciak sedang mendekam seperti berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya ke
bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang
memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu.
Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis ini cukup
kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, maka melihat betapa
merak itu sekarang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba saja kakek itu memegang kedua kaki Merak Sakti, lalu melemparkannya ke atas sambil tertawatawa.
Merak itu menurut saja dan membiarkan dirinya untuk dilemparkan tanpa mengembangkan sayap
untuk terbang. Saat burung itu jatuh kembali, dua kakinya lalu diterima oleh tangan kiri kakek itu, kemudian
dilempar lagi ke atas berulang-ulang.
Permainan ini dilakukan oleh kakek itu sambil tertawa-tawa girang. Ada pun Merak Sakti juga
mengeluarkan suara yang dikenal oleh kedua orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan
gembira.
Meski pun mendengar suara gembira dari merak itu, namun Lin Lin menjadi marah sekali dan mengira
bahwa kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tidak berdaya kemudian
mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,
“Kakek jahat, lepaskan burung merakku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi jangankan mentaati perintah Lin Lin, bahkan kakek itu menengok pun tidak, terus melemparlemparkan
tubuh burung itu ke atas sambil tertawa-tawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak, apakah kau sudah puas?”
Lin Lin marah sekali, lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu
untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah terkejut dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan
tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan
kakek tua itu tetap saja sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu
menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa
puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon,
bertengger di situ sambil menonton pertempuran.
Sesungguhnya ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tak
bermaksud jahat. Akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran, maka mereka lalu
maju berbareng dan menyerang dengan hebat.
Akan tetapi, biar pun kakek tua itu agaknya tak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang
dara muda itu satu kali pun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa penasaran sekali,
demikian pula Ma Hoa, karena mengira bahwa kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Semakin besar
dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan
mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.
Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan
tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak menggunakan ilmu
sihir, hanya mengerahkan tenaga khikang-nya yang sudah sempurna itu sehingga hawa yang keluar dari
kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.
Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk serta makin terheran dan marah, tiba-tiba terdengar
bentakan orang,
“Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua anakku!”
Ternyata yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin
segera berteriak,
“Ayah, kau usir kakek yang pandai sihir ini!”
Juga Ma Hoa berkata, “Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!”
Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak dua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan aku
menghadapinya!” Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,
“Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak yang masih
bodoh. Marilah kita tua lawan tua!”
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh sehingga Yousuf cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya
untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.
“Hi-hi-hi, kau orang Turki ini benar-benar berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang
lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau bilang tua
lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main sebentar.”
Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh
pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apa bila merak sakti itu sedang merasa gembira.
Sungguh aneh. Lin Lin masih mengira bahwa merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di
bawah pohon di mana merak itu bertengger dan memanggil,
“Kong-ciak-ko, kau turunlah ke sini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini semakin mempertebal dugaan Lin Lin dan
Ma Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya merak itu sangat taat
terhadap perintah Lin Lin.
“Ha-ha-ha-ha! Nona, jangan kau heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan
baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru.”
“Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!” Yousuf berteriak melihat betapa
kakek itu memandang ringan kepada mereka semua.
Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang
paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, sedang yang kiri mencengkeram ke arah lambung
lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke arah depan dengan cepat.
“Ha-ha-ha! Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata kakek itu yang
masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan.
Sungguh aneh sekali, agaknya kakek itu sudah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguhsungguh
adalah serangan kaki, oleh karena dua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan
mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tak mengelak dari serangan kedua tangan,
hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf.
Ketika tidak mengenai sasaran, tendangan ini tidak ditarik mundur sebagaimana biasanya tendangan
dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi lalu diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar ke belakang
hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali putaran dia lantas mengayun lagi kaki itu
menendang, dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tidak
terduga, dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya.
Akan tetapi, kali ini dia benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan
gerakannya sehingga dapat mengelak pada waktu yang tepat. Bahkan pada saat kakek jembel ini balas
menyerangnya, Yousuf langsung melengak sebab Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti
yang telah dilakukannya tadi. Malah gerakan kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat dari pada
gerakannnya sendiri.
Yousuf penasaran sekali, lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi, makin lama ia menjadi
makin heran sehingga dia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin
banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh
Bu Pun Su!
Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang
sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
“Ayah, ia tentu sudah menggunakan ilmu sihir!” Lin Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya.
Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba saja orang Turki ini mengheningkan
cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut,
dia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan
hitam itu menatap mata kakek itu,
“Kau berlututlah!”
Ini adalah sejenis ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan
lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung
oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan turut mendengar bentakan yang memerintah
dan berpengaruh itu, tanpa terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi
mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi sesudah Yousuf mengeluarkan bentakan tadi, bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan
Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel!
“Ha-ha-ha! Aku jembel tua bangka tidak layak menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su sambil tertawa
bergelak dan suara ketawanya ini agaknya sudah membuyarkan ilmu sihir Yousuf sehingga ketiga orang itu
dunia-kangouw.blogspot.com
sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel!
Yousuf kaget sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa
tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apa bila Ilmu Penakluk Semangat
ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya
dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri!
Yousuf cepat melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu
lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan
menyerang Bu Pun Su!
Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti sambil mengibaskan sayapnya lalu menangkis
pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun mempunyai tenaga besar, maka ia berhasil menangkis
senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata
bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su
dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!
“Ha-ha-ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu sejak kecil!” kata kakek jembel itu sambil
tertawa girang.
Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini, akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena
pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang
dulu dia ambil dari goa di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi
menyerang.
Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah pada saat dia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak
ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah berpindah
tangan.
“Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu
dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. “Han Le Sute...
mengapa kau mendahului Seheng-mu? Ahhh…, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah
cukup lama hidup di dunia ini...” setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.
Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun
Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan
menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pun Su, tokoh yang namanya telah terkenal di
seluruh penjuru.
Lin I Lin dan Ma Hoa cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera
membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling
besar dari bangsa Turki.
“Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin dengan
hormat.
Bu Pun Su menghela napas. “Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri ini yang harus minta maaf. Ketahuilah,
kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi kanak-kanak kembali dan ingin mempermainkan
orang. Agaknya aku sudah pikun dan sudah terlalu tua...” Kemudian ia berkata dengan suara sungguhsungguh,
“Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau sudah
bisa terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng.
Hm, kepandaianmu yang kau keluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu.
Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal.” Memang, nama Yousuf apa bila diucapkan oleh
lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.
Yousuf kembali menjura, “Saya yang bodoh dan rendah memperoleh kehormatan besar sekali dapat
bertemu dengan Lo-suhu yang sakti.”
Bu Pun Su lalu berkata lagi, “Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa
yang mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di
tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-ciak ke sini? Dan melihat pedang ini di
tangan Lin Lin, tahulah aku tadi bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Pedang inilah yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan padaku bahwa Sute-ku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah
pedang miliknya! Coba kau tuturkan pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini,”
perintahnya kepada Lin Lin.
Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Dengan singkat Lin Lin menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan
betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk.
“Ya, ya, ya. Aku kemarin aku sudah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut.
Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula.”
Kakek ini menghela napas dan pada waktu mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu
mengeluarkan keluhan panjang, kemudian dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah.
Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar-putar di udara.
“Hmm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu dia bersedih mendengar nasib kedua kawannya.
Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang
peliharaanku. Terutama merak ini, semenjak kecil dia telah ikut aku di pulau itu. Sesudah aku
meninggalkan pulau, maka sute-ku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak
tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah
nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau
calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?”
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali
hatinya sehingga dia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
“Lin Lin,” Bu Pun Su berkata, “Kau memang berjodoh dengan pedang ini, maka Sute-ku sengaja memilih
kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan sembarang pedang dan yang tinggal sepotong ini
adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai
menggunakan pedang pendek, karena itu biarlah pedang buntung ini kubuat menjadi pedang pendek
untukmu.”
Lin Lin merasa girang sekali dan dia cepat menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu
tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa
pedang berkarat itu. Kemudian dia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin
sambil berkata,
“Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Sute-ku Han Le.
Dan untuk memperlengkapi kehendak Sute-ku yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima
pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.
“Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini padamu. Aku sudah satu
kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas
menurunkan ilmu kepandaian padamu. Jangan kau anggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku,
tidak nanti dia berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekali
pun.”
Lin Lin segera bertanya dengan berani, “Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya...
dia!” Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,
“Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak
tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan bila mana kau
sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah
kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu.”
Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula,
“Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik
dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
dilenyapkan sama sekali.”
Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini dia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini
ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Dia lalu tersenyum
dan menjura sambil berkata,
“Lo-suhu, terima kasih atas nasehatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu
telah kubuang jauh-jauh.”
“Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang mempunyai kebijaksanaan
besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang.”
Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu sesudah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak
sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini…..
********************
Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa sudah mendahului pulang ke kampung Lin Lin,
maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.
Ketika mereka sampai di rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka
bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka
mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap
tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong sekarang bahkan telah mencukur
rambutnya dan masuk menjadi hwesio!
Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng
Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Pada waktu mereka sampai di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan
Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan mempelajari ilmu kesusasteraan dari Kui-sianseng
guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka pun disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap
dan sikapnya masih gagah.
Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang dahulu mengajar silat pada putera-putera
Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain mempunyai ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai,
juga mempunyai pengertian yang dalam mengenai Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan
sungguh-sungguh.
Pada saat Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda
dari Kwee In Liang, dia menyambut dengan girang sekali.
“Ahh, ternyata Kwee-kongcu! Silakan masuk!” Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata
kagum karena Kwee Tiong sering kali menceritakan mengenai kegagahan serta ketinggian ilmu silat
adiknya ini.
“Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong.”
Tong Kak Hosiang tersenyum, “Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu. Tiong Yu memang telah lama
merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberi tahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu
Hwesio.”
Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruangan dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong
yang amat lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) diiringi suara kayu yang
dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki
pikiran di waktu membaca liamkeng.
“Tiong-ko!” Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.
Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan
dengan dahulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang
kesabaran dan ketenangan yang besar sehingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang
melihat perubahan besar ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong segera bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah saling
mencurahkan keharuan di hati masing-masing.
Pada saat Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil
memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu
tersenyum untuk membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan
berkata lantang,
“An-te, kau kelihatan semakin gagah dan tampan saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi
adiknya.
“Tiong-ko, kau...”
Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan
untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka dengan muka girang dia kemudian menarik tangan adiknya
itu ke ruang tamu, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti
yang dulu.
Ketika melihat Kwee Tiong, Cin Hai yang menunggu di ruang tamu lalu menjura dengan hormat.
”Eh, ehh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku
mengagumi kau.” Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus sehingga Cin Hai merasa girang dan terharu,
maka dia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.
“Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang sudah mengambil jalan suci ini membuat
aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja.”
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. “Ahh, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih
Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini kedua mataku telah terbuka dan aku benarbenar
girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?” Matanya mencari-cari dan
mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.
Sesudah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya, bahwa kini mereka berdua
sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal
Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak tampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula,
bahkan pemuda yang kini menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu
berkata,
“Ah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi orang yang beribadat. Tadinya aku
selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, dan
penasaran karena ingin membalas dendam. Tetapi apakah artinya semua perasaan yang hanya
mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio,
baru terbukalah mataku. Aku kini merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam
hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapa pun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu,
Adikku, biarlah kau yang memiliki kepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai
sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku yang tiada memiliki kepandaian ini, biarlah aku
setiap waktu berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan semua kawan-kawan
baik.”
Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan dia maklum sepenuhnya bahwa memang
jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Sesudah saling menuturkan pengalaman masing-masing dan melepas kerinduan dengan mengobrol
semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.
“Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan
kaki di kota itu. Sering kali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil.”
Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya, maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu
memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba saja mereka
mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan
Kwee An dan berbisik,
“Coba, kau dengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?”
Kwee An segera memasang telinga dengan penuh perhatian, dan dari jendela rumah itu terdengar suara
yang jelas sekali.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”
Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup
mulutnya dan menahan ketawanya. “Itulah Kui Sianseng!” katanya.
Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat
mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali dia dulu pernah memukul dan
mengetok kepalaku yang dulu gundul?”
Kwee An hampir tertawa keras-keras dan dia lalu membelalakkan mata kepada Cin Hai sambil tersenyum
lebar. “Kau juga?”
Cin Hai bertanya heran, “Apa maksudmu?”
“Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha-ha, jangan kata kau yang
dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasakan
ketokan di kepalaku.”
Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap
Kui Sianseng lenyap seketika.
“Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang
sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”
Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan
dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kui Sianseng yang tampak
sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang
punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik sekali oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh
karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula.
Di hadapan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki
yang mengerutkan kening seperti kakek-kakek yang sedang berpikir keras.
“Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya!
Apakah artinya, siapa tahu?”
Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang
dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kui Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.
Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan
tangan, lalu berkata dengan suara lantang,
“Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan
penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam
perbuatan sendiri.”
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala bagai burung sedang makan padi. “Bagus, bagus!
Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu
dan fasal ke berapa?”
Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah seumur kakek-kakek itu,
menjawab lantang,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal...,” anak ini tidak mampu melanjutkan jawabannya dan
memandang ke kanan kiri dengan bingung.
“Anak bodoh dan tolol!” gurunya memaki.
Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kui Sianseng. Baru
saja anak itu dipuji-pujinya, sekarang sudah dimaki tolol. Kemudian Kui Sianseng berkata lagi,
“Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya,
membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.
Sambil menahan rasa geli yang membuat perutnya kaku, Cin Hai lalu menjawab dari luar, “Dalam fasal dua
puluh lima ayat pertama!”
Kui Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah, dan nampak dua sosok bayangan
masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kui Sianseng. Cin
Hai berkata,
“Kui Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat.”
Kui Sianseng terheran dan ragu-ragu. “Jiwi ini siapakah?”
“Kui Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”
Kui Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri.
Kelihatan sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya kini sudah menjadi dewasa, gagah, dan cakap!
Dia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,
“Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baikbaik
dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!”
Kemudian dia teringat kepada Cin Hai yang sudah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong, maka
dia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan kongcu yang cerdik pandai serta hafal
akan fasal dan ayat di dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?”
Cin Hai menahan geli hatinya, lalu menjawab sambil menjura, “Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng
yang tolol dan bodoh?”
Selagi Kui Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tidak dapat menahan
kegembiraan hatinya lalu berkata, “Kui Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga salah seorang muridmu yang dulu
belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”
Cin Hai tertawa bergelak. “Kui Sianseng, sekarang hakseng tak berani lagi menggunduli kepala, supaya
jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”
Merahlah muka Kui Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak
gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang selalu teringat adalah sifai-sifat
keburukan orang lain, maka Kui Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguhsungguh
berkata kepada para muridnya,
“Lihatlah Kongcu ini, begitu gagah dan tampannya! Ketahuilah, dulu dia ini juga seorang muridku! Aku
sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang dia menjadi seorang pandai dan sekali mendengar
saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dahulu aku
sering mengetok kepalanya? Nah, jangan dikira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa
diketok kepalanya, seorang murid tak akan menjadi pandai!”
Hati Cin Hai yang dulu sering kali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi
lemah, bahkan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda
bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat
hidup!
Betapa pun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmuilmu
batin yang hanya dikenal di bibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti
bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tak
ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.
Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,
“Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh
seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya pada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di
dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!”
Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kui Sianseng kepadanya amat
buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, dia telah
mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kui Sianseng itu sudah menjadi watak
guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka dia bahkan menganggap semua siksaan itu besifat
baik, sehingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!
Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan
beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kui Sianseng tanpa
dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kui
Sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang
menganggap kedua pemuda ini main sulap.
“Hebat, hebat... mereka sudah menjadi orang-orang gagah yang memiliki kepandaian luar biasa,” katanya.
Kemudian dia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. “Mereka hebat luar
biasa dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini jika mau belajar sungguhsungguh,
kelak pun tentu akan menjadi seperti mereka.”
Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee
An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kui Sianseng marah sekali dan
melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba
bayangan Cin Hai kembali muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan
tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
“Jangan kau lakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain
kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya.
Sejak saat itu Kui Sianseng memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia
juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri…..
********************
Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kui Sianseng tadi,
lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati
Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di
sebuah hutan di luar kota.
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka berlari menghampiri,
ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang
dikeroyok oleh lima orang perampok. Meski piauwsu ini melawan secara nekad sambil memutar-mutar
goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu
telah berlumur darah akibat mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong,
piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.
Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu
tengah dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari
empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.
“Perampok ganas, pergilah dari sini!” katanya dan tubuhnya langsung menyambar cepat ke arah tempat
pertempuran.
Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
Kosong Kong-ciak Sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini
lihai sekali.
Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu sudah kena dibikin
terpental dan sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang
terjadi, tahu-tahu mereka sudah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke
kanan kiri seperti orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.
Tentu saja mereka merasa jeri dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa menoleh lagi
mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama sehingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An
tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.
Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang sudah menolong jiwanya, segera
melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,
“Taihiap yang gagah perkasa sudah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah tidak akan
dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama
Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”
Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya sedemikian dihormati oleh piauwsu itu, maka buru-buru ia
memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,
“Lo-piauwsu janganlah berlaku demikian. Pertolongan yang tak ada artinya ini untuk apa dibesarbesarkan?”
Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa
lebar, Cin Hai merasa bahwa dia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan
bila mana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,
“Tan-kauwsu! Kaukah ini?”
Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tan-kauwsu, guru silat yang dahulu pernah mengajar silat
kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan dia segera mengenali
Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,
“Kwee-kongcu! Tak kuduga kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan
dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa kau sudah menjadi murid Eng Yang Cu Locianpwe
tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah, kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua
yang tidak berguna ini hanya turut merasa gembira!”
Kemudian dia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan dia pun melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah mempunyai kepandaian yang demikian lihainya
sehingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”
Ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membenci dirinya dan
bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa benci Cin Hai, maka ia tidak mau menjawab dan
hanya memandang tajam dengan muka tidak senang.
Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai
memang tidak menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,
“Tan-kauwsu, sebenarnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau tak akan
dapat menduganya dia ini siapa biar pun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku
membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!”
Tiba-tiba saja pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang
baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dahulu hendak
diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia
menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!
“Taihiap... aku... aku... ahh, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua
dunia-kangouw.blogspot.com
bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”
Kwee An memandang heran dan segera berkata, “Ehh, ehhh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau
mendadak telah menjadi mabok?”
Akan tetapi Cin Hai mengejapkan mata pada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh
orang tua yang berlutut di depannya.
“Tan-kauwsu, memang benarlah kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang
pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak
membunuhku, namun sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan
buah dari pohon kebencian yang dulu kau tanam dengan dua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas
dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kau pikir-pikirkan lagi perbuatanmu yang
sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa
membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!”
Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu
dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An
menghela napas dan berkata,
“Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendahrendahnya,
akan tetapi akan datang masanya dia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”
Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari
jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang
kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi
mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di
sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka pun
hendak mencoba-coba dan pergi ke kota raja.
Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana
dahulu mereka pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Pada waktu
mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang
kakek, ada pun di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseruseru
membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.
Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini yang
benar-benar luar biasa hebatnya sehingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin
Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan dua
pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.
Melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat
luar biasa, kedua pemuda itu segera melompat turun.
“Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah
supek dari Hai Kong Hosiang.”
Kwee An kaget sekali dan menjadi jeri. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.
Cin Hai melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan
Cengeng dan Eng Yang Cu,
“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu yang menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya,
barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”
Sesungguhnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan
oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka,
maka keduanya lalu melompat mundur.
“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang, “dahulu Suhu-ku Bu Pun Su sudah pernah mengampuni
kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua masih mau memamerkan kepandaian di depan mata
dunia-kangouw.blogspot.com
umum?”
Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih
awas itu, lalu dia pun tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak
berkata bahwa Cin Hai masih kanak-kanak dan masih kecil, sedang tangan kirinya menuding keluar.
Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanakkanak
itu jangan datang untuk mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!
“Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah semua kepandaianmu jika kau memang gagah!”
Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada.
Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dia lalu menerjang maju
dengan hebat sekali!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi menghadapi
Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, oleh karena itu kini
mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran. Mereka maklum bahwa sebagai murid
tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka
merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena sekarang pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh
lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!
Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat
mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan
dengan Kiam Ki Sianjin, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak sambil
mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini merupakan tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira
sekali.
Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah
cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum
yang menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini dia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga
dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut,
akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa
heran sekali kenapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An
merasa bangga bahwa dia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan
diam-diam ia mengharapkan bahwa sekarang tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin
Hai. Tak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa
kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko
sendiri.
Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai sudah mengeluarkan llmu Silat Pek-in Hoat-sut atau Ilmu
Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali
hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tidak cukup kuat menghadapi ilmu pukulan ini!
Selama hidupnya baru sekali Kiam Ki Sianjin menerima tandingan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya
dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika dia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama
hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu.
Sekarang baru pertama kalinya dia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya
sehingga tentu saja dia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang
Cu dan Nelayan Cengeng walau pun dapat mendesak, tapi agak sukar merobohkan kedua orang lawan
yang bukan sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat,
maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah
luar biasa.
Kini ketika menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi dari pada kedua kakek itu, ia benar-benar
merasa terkejut dan marah. Namanya yang sudah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan
runtuh kalau dia tak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun
Su, maka ia merasa makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su
kepada muridnya ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba saja dia mencabut
keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak
bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kirinya dan
pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya.
Beberapa tahun yang lalu pada saat dia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah dia
alirkan melalui pedang ini, dia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua
dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan menggunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan
tetapi, oleh karena sekarang dia merasa marah sekali, dia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut
keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Dia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun
dia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja serta hendak mencoba kepandaian
kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa
kakek itu sudah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.
“Kiam Ki Sianjin!” Cin Hai berkata keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu
mengadu jiwa!”
Kiam Ki Sianjin telah salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jeri melihat pedangnya.
Maka, sambil tertawa cekikikan dia lalu menerjang maju dengan cepatnya.
“Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai.
Secepat kilat pemuda ini pun kemudian mengelak sambil mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam.
Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan dia takkan dapat mengambil
kemenangan apa bila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan hanya mengikuti gerakan
serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka dengan ilmu pedang yang dia
ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya lantas bergerak-gerak
aneh laksana terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti yang keluar dari surga dan
menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.
Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Walau pun dia merasa
sangat terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun
pengalamannya membuat dia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan sanggup menjaga
diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton sudah merasa
pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An
sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang. Juga para
perwira yang tadinya berseru-seru, kini diam tak bergerak dan hanya memandang dengan muka pucat.
Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga
terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan
tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan
tingkat tinggi yang langka terlihat. Kini mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah
batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini
diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya.
Biar pun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah
sekali. Rasa penasaran dan marah telah berkobar di dalam dadanya yang membuat seluruh tubuhnya
terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya.
Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan pada dasar hatinya, kini tiba-tiba
melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi semakin lemah.
Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapa pun juga, pemuda
ini merasa kasihan melihat kakek yang sangat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga
bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat
menyerah karena kelelahannya.
Benar saja, desakannya sudah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya sudah penuh
dunia-kangouw.blogspot.com
keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat.
Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba saja pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki
Sianjin mendadak melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa peduli akan tikaman pedang Cin Hai, dia
membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak
mengajak mati bersama.
Cin Hai merasa terkejut sekali. Cepat dia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis
pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya,
karena itu ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya.
Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket
bagaikan menjadi satu. Keduanya tak bergerak, saling pandang seperti dua buah patung, tangan kanan
memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka
seakan-akan menerima kekuatan dari atas.
“Krakk…!” mendadak terdengar suara keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah
menjadi dua.
Secepat kilat Cin Hai melompat mundur lantas berjungkir balik di udara sampai lima kali untuk
menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata tadi ketika ia mengerahkan
tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya sehingga pedangnya
menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini merupakan siasat yang akan
digunakan untuk memukulnya selagi dia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua
dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan
Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh. Ketika semua orang
memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak
sedikit pun dan kedua matanya masih meram.
Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan merasa menyesal, karena
dia tahu bahwa kakek itu sudah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang
terlalu marah.
Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.
“Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.
Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin serta hendak menolong dan
menuntunnya, tiba-tiba saja ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan
hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lantas roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.
Perwira itu roboh dan tewas pada saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih
terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biar pun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan
hawa tenaga keluar serta menghantam perwira itu hingga binasa.
Dengan menyesal, Cin Hai segera mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari
pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu tak
akan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan
ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, walau pun dia tidak mengucapkan sesuatu, namun
pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin serta Ma Hoa, di jalan ia
bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang
dialami oleh muridnya, karena itu mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang kemudian
mencarinya ke kota raja untuk mengadu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan
tetapi, ternyata bahwa mereka tidak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan
Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak
membunuh Hai Kong Hosiang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sesudah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lantas menceritakan kepada Eng Yang Cu
tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu
bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa
bergelak-gelak ketika mendengar ini.
“Ha-ha-ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan telah berunding dengan Nelayan Cengeng. Tentu saja pinto
merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang sangat
baik, asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
“Eng Yang Cu, begitulah jika orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah
yang tidak cengeng? Ha-ha-ha!”
Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba saja terdengar suara yang datangnya dari
jauh sekali akan tetapi cukup jelas.
“Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!”
Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.
“Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mukjijat itu?” tanya Eng Yang Cu.
“Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu menganggukanggukkan
kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun
Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan sesudah kedua
orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An
dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana
kekasih mereka sudah menanti dengan hati rindu!
Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba
di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di
dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf.
Ketika mereka bertanya pada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona
Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang ternyata juga seorang Han dan berpakaian
sebagai pembesar kampungan. Orang ini tubuhnya pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal
baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.
Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang langsung menjadi berdebar ketika mengetahui
bahwa rumah kekasih mereka sudah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu
bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.
Ketika dari jauh mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu tiba-tiba dari atas
bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan
cerita Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee
An,
“Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung), aku ingin sekali melihat
burung aneh itu.”
Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai
hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!
“Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau nanti adikku marah-marah!”
Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung
merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke
rumah dengan hati berdebar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebetulan sekali, ketika mereka sampai di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis yang sedang
menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita
dan mengenakan pakaian bertitik-titik hijau dengan leher warna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu
disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup oleh angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya
ini malah menambah kemanisannya.
Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu supaya tidak mengeluarkan
suara. Kemudian dia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah
berada dekat di belakang gadis itu, Kwee An sudah tidak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran
jantungnya yang mengeras, kemudian mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,
“Hoa-moi...”
Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak, lantas wajahnya
mendadak menjadi merah. Tanpa terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan
hanya dapat berkata,
“Kau... kau... An-ko...”
Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa, dan
sinar mata itu mewakili hati masing-masing yang melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa
menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,
“Koko, mengapa baru sekarang kau datang?” Ucapan ini biar pun terdengar seakan-akan gadis itu
menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An adalah sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama
merindukannya!
“Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku berhasil menemukan tempat ini. Kau semakin cantik dan
manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!”
Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita mana yang tak akan
merasa bahagia dan bangga apa bila mendapat pujian dari kekasihnya?
Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa dia datang dengan kepala kampung
yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu apa bila
harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf.
Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya mengenai Cin Hai atau orang-orang lain.
Pendek kata, pada saat itu, mereka merasakan bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar
bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.
“Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!”
Dan berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini
lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Melihat hal ini, kepala kampung yang
tadi duduk segera bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Dia tahu akan keanehan sikap orang
Turki ini.
Ia juga pernah mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena
dahulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik dengan kecantikan kedua orang gadis
itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang
membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang
menyambar mereka bagai seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!
Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa
atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.
Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena dia telah merasa
datangnya serangan angin sambaran benda itu. Namun Kwee An tidak saja sudah mempunyai ilmu silat
dunia-kangouw.blogspot.com
yang cukup tinggi, bahkan sekarang setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat
petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Di
samping itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekang hingga dalam hal
tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.
Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan dia semakin
terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi dia dapat
mengerahkan lweekang-nya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama
sekali tidak tumpah keluar!
“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda yang gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah
menghampiri.
“Lekas kau minum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.
Tanpa ragu-ragu Kwee An melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan dia minum air teh dari
mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.
“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang sering kali kau dengar namanya itu.”
Yousuf terkejut dan tahu bahwa dia tadi telah salah sangka. Maka cepat dia menghampiri dan
membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono sudah berlaku kurang ajar.”
Akan tetapi, dengan hormat sekali Kwee An lalu menjura sesudah memberikan poci teh kepada kekasihnya
dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan
perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula padamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”
Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka dia segera maju memeluknya.
“Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!”
Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke
dalam rumah.
“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya.
Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri, lalu menjawab, “Entahlah, semenjak tadi dia keluar dengan
Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu dia datang. Dan di manakah adanya Sie-taihiap? Mengapa ia tidak
datang bersamamu?”
“Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu dia telah bertemu
dengan Lin Lin!”
Kemudian ketiga orang itu saling menceritakan tentang pengalaman mereka, disaksikan dan didengar oleh
kepala kampung…..
********************
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana dia mendengar burung merak memekik nyaring, dia
mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan
ketika dia tiba di puncak, dia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang bulunya
indah dan bertubuh besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya
ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!
Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka
timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini
adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya!
Demikianlah, saat ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak, maka
segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah
menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.
Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang
dunia-kangouw.blogspot.com
melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi pada saat Cin Hai memperhatikan, dia
menjadi terkejut oleh karena melihat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat
luka berat!
Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sinkong-
ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan
kalau saja Merak Sakti tidak mempunyai kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya
hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan
sute-nya yang sakti dan sudah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka
pukulan ini biar pun telah melukainya, akan tetapi tidak dapat membunuhnya.
Betapa pun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini meski pun dia
menyambar-nyambar namun dia tak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka
bergebrak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!
Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran.
Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan
rumput hijau tanpa mempedulikan.
Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu telah
dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh
ke dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu
sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak dia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to,
memang sudah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.
“Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung
ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
“Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan engkau beristirahatiah
dulu!”
Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka
ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di sana dia lalu menggunakan paruh
serta kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.
Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.
“Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun dia tidak
merasa jeri.
Memang dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana sudah dia rasakan ketika
mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini dia telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi supek-nya.
Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang langsung maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai
mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis hingga sebentar saja dua orang musuh besar ini
sudah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan
pohon.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget sekali melihat kemajuan ilmu
silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekang-nya
yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang
memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya dari pada dulu.
Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu,
maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian hampir
menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam dia menjadi bingung dan jeri terutama sekali ketika Cin
Hai dengan senyum sindir berkata,
“Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supek-mu!”
Hai Kong Hosiang maklum bahwa supek-nya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia semakin jeri
dunia-kangouw.blogspot.com
lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supek-nya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda
ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud
melemahkan pertahanannya dan membuat kacau pikirannya itu.
Dengan nekad Hai Kong Hosiang kemudian menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa Tung-hoat
atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat
yang telah dikenal baik-baik oleh Cin Hai ini, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja.
Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu
pedangnya, mendadak tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap
mengibas karena saat melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan
membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!
Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan
kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya sangat cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan
tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang
bergantungan di situ bergoyang-goyang bagai tertiup angin keras!
Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu
dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena dia tidak mau disebut licin akibat melawan
seorang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah
berdiri dengan terbalik itu.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan kemudian kedua kakinya menyambar
dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai segera menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut
yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi
Pek-in Hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul balik oleh uap putih yang
keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong lantas terpental kembali yang membuat tubuhnya
bergoyang-goyang.
Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sulit baginya untuk mencari jalan darah lawan
dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua
kakinya, tak akan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.
Cin Hai yang sejak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, tiba-tiba mengambil keputusan untuk
meniru gerakan lawannya ini. Segera dia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan
kedua kaki di atas. Maka bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.
Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut setengah mati. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu
silat ini dengan sama baiknya?
“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.
Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena
kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk
menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur.
Kaki yang tadinya harus menyerang ke pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai.
Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri
lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.
Menghadapi Pek-in Hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat menahan
lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu
menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan
lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin Hai sempat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa
hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya
oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar
dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang.
Biar pun kedua kaki tangannya telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk
matanya.
Cin Hai melangkah mundur, kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput.
Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata,
“Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”
Setelah beberapa kali menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari serangan
Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai
Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi dia terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing
dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!
Pada saat itu pula terdengar seruan girang, “Hai-ko!”
Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi
sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin
Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan
Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke
dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak sudah datang
membelanya.
“Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan dengan hati penuh
kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang sudah ditanamnya sendiri!” Mereka
sambil berpegang tangan lalu menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah berhasil membalas sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan memekik-mekik
girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu.
Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat
menyusul Cin Hai.
Melihat Hai Kong Hosiang sudah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee An segera
mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.
Akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”
Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa marah
sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api
kemarahannya.
“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”
Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera berpaling
kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai
juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling
pandang dengan bingung.
Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi. Jangan terlalu
mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar
pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”
Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya untuk
mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah
angkatku!”
Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.
Mendadak tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat
rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!”
Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang amat dalam!
“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka semua kembali ke
rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang,
akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik
sekali.
Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini
adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan
pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih
mereka.
Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan
sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,
“Lin Lin, kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam usahanya
mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biar pun dia telah pergi ke alam akhir,
akan tetapi dia juga meninggalkan sesuatu untuk kita buat sebagai kenangan.”
Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang
dia temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.
“Enci Im Giok...” bisiknya pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang
kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia!
Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya jika seorang seperti dia
dapat meninggal dunia!”
Cin Hai menghela napas dan menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi,
menghadapi ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan
dirinya?”
Untuk beberapa lama mereka berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa
untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah keharuan hatinya agak mereda,
Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya mengenai pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang
pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,
“Hai-ko, Suhu-mu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku, karena setelah
aku memiliki pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu pedangnya.”
Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari
Suhu, aku diharuskan bersumpah.”
“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.
Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus
mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan
kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”
“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.
Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak
menyatakan kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri, walau pun di dalam hati aku
ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku tidak akan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh
aku memimpinmu, tentu saja aku merasa amat girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah
menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh pun Suhu
tidak menyaksikan sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi
seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”
Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan dua
tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan
dunia-kangouw.blogspot.com
merdu, dara jelita itu bersumpah,
“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan disaksikan
pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa kalau teecu
sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu
akan teecu gunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama
hidup yang menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”
Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguhsungguh.
Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.
Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka
mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang
gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.
Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Pun Su.
Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang sudah dia
miliki, bukanlah pelajaran yang dapat dipahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu
menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran
ilmu pedang yang dulu sudah diciptakannya sendiri itu.
“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia
telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika
digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh, akan tetapi sampai
sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.
“Ehh, kenapa kau hanya bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu
pedang ini, masa tidak tahu namanya?”
“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”
Lin Lin tertawa geli. “Jadi kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat
memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”
Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Lin-moi, ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak
dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku tak akan bisa menciptakan kiam-hoat
sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk,
juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”
Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai mana dia mencipta
ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan
untuk memperindah kiam-hoatnya.
“Aku sudah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku
pun suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh
kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis
dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan
sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah bahwa tarian
hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang
seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat, baik dalam menyerang dan menangkis atau
mengelak.”
“Eh, ehh, Hai-ko, biar pun uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh dari pada inti
percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata
pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti
seorang kakek-kakek saja.”
Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita sedang
dunia-kangouw.blogspot.com
mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa
pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu mencela sendiri.
Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang
diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang sekarang sedang bertengkar!”
“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”
Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu
Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”
Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”
“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan seorang pemuda
seperti engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”
“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan
gadis seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”
Lin Lin mengulurkan tangannya dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan
hati beruntung.
“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat menghafal
pelajaran Kiam-hoat-mu?”
“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding
dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah sehingga aku menjadi
bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu menanyakan nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku
akan musnah dan terganti rasa malu bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah
dapat mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah
sekali!”
“Apa yang murah?”
“Daun bambu itu!”
Cin Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit untuk sekalian
disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau
dengan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi
nama sendiri. Bagaimana?”
Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah dapat nama
itu!”
Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama!
Apakah namanya?”
“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”
Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Begitulah, mulai
saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, namun
diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.
Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang pendek
yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat supaya jangan didahului oleh
ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara
mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang
lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara rapat sehingga gerak
senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan
ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan)
yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Lin Lin memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta
ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang,
maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.
Tak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan
Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan,
saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan
mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran pun sama
sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.
Keadaan ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya
orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan
curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu, yang tidak dapat dilarangnya oleh karena
memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas.
Akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi amat
kagum. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh
masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan jsama-sama sopan pula!
Biar pun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalanjalan
di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan mengenai
ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat
itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi pelajaran
kepada kekasihnya itu.
Telah beberapa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas
pundaknya. Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman
bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi sejak malam terang bulan pada waktu ia berjalanjalan
bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.
Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu
terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya
sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya,
Kwee An yang sedang berdiri memandang padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan
berkata,
“Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”
“Eh, ehh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang
telah dipegangnya.
“Kau... kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam
berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut
itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan
dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”
Mata Ma Hoa sampai bertitik dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang mendengar pujian
yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu dia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya
lagi. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia
lebih suka mengurai rambutnya.
Lin Lin dan Cin Hai, begitu pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang
berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.
Pada suatu hari, pada saat Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di
sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati keindahan yang ditimbulkan oleh matahari
yang baru muncul sehingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan
tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari cepat sekali,
tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.
Keduanya lalu berdiri menunggu dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang
asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin.
Di samping berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan baju itu berbeda
dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang
panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya
tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.
Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka
segera menuju ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang
memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,
“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa
dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.
“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hatihati
karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.
“Ehh, siapakah nama Nona yang cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan
indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.
Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi tak perlu
disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya
yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang
wanita.
Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak menegur dan
mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya dia bersabar.
”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua
orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”
Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.
“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”
Tiba-tiba saja mata hwesio itu terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha-ha-ha! Dicaricari
sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya
memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”
Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah mereka
sangka bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!
Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah
kau dan mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan jahat?”
“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku.
Muridku itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang
pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata begini, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan
ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah
adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap Yousuf! Karena Yousuf
orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula
yang telah membunuh Pangeran Vayami!”
Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas
muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Ada pun
pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua
orang tua itu, cukup aku wakilnya!”
“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim
serangan kilat!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil
menyerbu dan menyerang Kwee An.
“Ha-ha-ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.
Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap
pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang
hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka dia cepat mempergunakan ginkangnya
untuk melompat ke pinggir dan mengelak.
Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan
kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya
tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam
ini memiliki tenaga dalam yang begitu besarnya sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia
segera membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini
lawannya bukan orang lemah.
Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing
gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka. Oleh karena itu,
ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka
amat berbahaya.
Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak
mau memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Dengan ilmu silatnya yang
tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce, bahkan pada saat dia membalas
dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk
menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama
sekali itu.
Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga gadis ini
makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir
sekali, maka dia pun segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki
kanan sambil membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan
gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir
balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.
Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoamoi,
hati-hati di belakangmu tebing!”
Sambil berseru demikian, dia lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu.
Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan
dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!
Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia
terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An mempunyai ilmu
kepandaian cukup lihai, segera mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang
sedang terhuyung ke belakang itu!
Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee
An tidak akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah memiliki ketenangan serta kepandaian
yang hampir sempurna, maka pada waktu merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, dia
berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit seperti seekor burung walet. Cara
menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga
tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.
Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan
atau dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa
besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa
dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah
sana tebing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia pun telah
menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke
bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.
Pada saat Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur
tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke bawah sambil saling
berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu
lenyap sama sekali.
Inilah daya rasa cinta yang besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut sendiri tidak dapat
melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta…..
********************
Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya.
“Sayang... sayang sekali…,” katanya. Akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.
“Boan Sip, muridku!” teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke angkasa memandang awan, “seorang
pembunuhmu telah tewas, kau terimalah nyawanya, dan sekarang tinggal yang seorang lagi!”
“Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan
Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ.
Dari jauh tadi dia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah
marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi, “Hm,
Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?”
Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang
berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah
memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!”
Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa
gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan serangan
yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo
Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.
“Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan dua anak muda itu!”
teriak Yousuf dengan gemas karena kalau dia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke
dalam jurang tadi, rasanya dia mau berteriak keras dan menangis.
Akan tetapi, dia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini sungguh
lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru dia akan dapat
mengalahkannya, apa lagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi lagi.
Tanpa terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikang-nya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...!
Lekas ke sini...!”
“Ha-ha-ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha-ha-ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina,
“Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian semua kaki tanganmu.”
Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali pada waktu mendengar nama Lin Lin disebut. Akan
terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah
Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.
Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, karena itu suaranya bergema keras dan
dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat
rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali.
Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kiam di tangan
kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf
berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam dari pada pendengaran Lin Lin dapat menangkap
dunia-kangouw.blogspot.com
suara yang penuh kecemasan itu.
Cin Hai yang datang terlebih dahulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua
oleh seorang hwesio serta seorang pemuda gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa
banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan
hebat ilmu silatnya.
Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan
kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong
dengan menggunakan senjata. Apa lagi memang dengan kedua tangannya dia cukup kuat menghadapi
musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, dia pun tidak mau menggunakan
Liong-coan-kiam.
Sebaliknya, pada saat Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut
sekali karena baik kegesitan mau pun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka
menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah dia melihat seorang yang
masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia kemudian
mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Cin Hai seorang diri dan
pertempuran berjalan seru dan hebat!
Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang
bertempur dengan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, dia segera
berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!”
Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin,
segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?”
“Benar!” Lin Lin menjawab tanpa merasa takut sedikit pun juga. “Aku dan Ma Hoa sudah menghancurkan
kepala Boan Sip, kau mau apa?”
“Celaka dan sungguh sayang,“ Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan
percakapan mereka, tiba-tiba berkata, “Mengapa musuh-musuhmu begini cantik-cantik seperti bidadari, Bo
Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!”
“Anak muda!” berkata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah
pembunuh muridku, karena itu janganlah kau turut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan
dia!” Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap Cin Hai yang lihai.
Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku
bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu
adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu sudah
membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini
sudah pantas? Kalau sekarang kau hendak membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua
orang akan menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah dalam mendidik murid itu! Peribahasa
menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, itu berarti bahwa guru yang
buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”
Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.
“Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”
“Hai-ko, biarlah aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” seru Lin Lin.
Dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru
dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu pedangnya karena dia
telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari
sehingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,
“Baik, Moi-moi, kau lawanlah dia, bila dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”
Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu
pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu sudah memberi nama pada tiap jurus dan
dunia-kangouw.blogspot.com
gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan
yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.
Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai Kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada
Pula Lin-lin Chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-I Lo-be atau Ang I Niocu Turun
Dari Kuda.
Ketika dia menerjang maju, dia menggunakan tipu gerakan Lin-lin Chio-cu. Tangan kanan yang memegang
pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang
sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.
Hebatnya Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tak
terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak
dan serangan pembalasan lawan.
Maka ketika Bo Lang Hwesio yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya mengebut ke arah pedang
pendek yang menyambar ke tenggorokan, dan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepenuhnya
menghantam pergelangan tangan kiri Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu sudah
meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu
yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik
mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.
Hwesio itu terkejut bukan main melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau
tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lainnya. Dia cepat mengebutkan ujung
lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya,
sedangkan untuk menghindarkan serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala.
Akan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh
ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin sudah berkelebat dengan belokan indah
dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu,
sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.
Memang hebat bukan main llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya
demikian cepat dan perubahannya amat tak terduga-duga sehingga tiap kali serangan tak berhasil, lalu
disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan.
Sungguh sayang bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan
sehingga meski pun perubahannya cepat, tetapi semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih
sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan
tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan
palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.
Betapa pun juga, Bo Lang Hwesio sudah dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan
selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis serta timbul dari cara ia menangkis atau pun
mengelak itu, dia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya.
Sesudah jauh dari Lin Lin barulah dia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini dia menghadapi
gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju
bagaikan kitiran angin cepatnya!
Sementara itu, semenjak tadi Ke Ce hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa
kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apa bila tak
diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu dan ia pun merasa
kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan
dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah dia terhadap pemuda itu.
Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke
Ce yang curang hatinya itu lantas membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin
Lin. Ini adalah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi
tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tak sembarang orang bisa menguasai atau mempelajarinya
dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat menahan serangan ini!
Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba saja angin pukulannya yang dahsyat bagaikan
tenaga angin taufan itu membalik dan membuat dia sendiri bergoyang-goyang! Ketika dia memandang,
ternyata bahwa dari tempat di mana dia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok juga
mengulurkan dua tangannya dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata
bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat sehingga
telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!
Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu
mendorong ini? Dia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat
gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu sudah dapat menirunya kemudian pada saat yang tepat
telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.
“Ehh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.
Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce sudah menyerang Lin Lin yang
masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,
“Ke Ce, bila tubuhmu sudah gatal-gatal ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah
dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.
Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa meski pun ilmu
kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, akan tetapi kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak
perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi.
Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan serangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio
dia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apa bila
pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin
Lin akan kalah dan mendapat celaka.
Baru saja dia berpikir demikian, tiba-tiba saja dengan membentak keras Bo Lang Hwesio menyerang
dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan pada waktu Lin Lin dengan lincahnya
berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam.
Lin Lin berusaha mencabutnya, tapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak
dapat ditarik kembali.
Cin Hai berseru keras, dan sekali tubuhnya berkelebat dia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio
itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena
sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Pada saat kedua lengan tangan mereka beradu, Bo
Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya…..
“Brettt!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin
Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!
“Hebat!” serunya sambil meloncat mundur kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku
yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya
kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!
“Sampai lain kali!” kata Ke Ce.
Pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke
tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lainnya merasa kagum
sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkang-nya
belum tinggi! Setelah kedua orang itu berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa
Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!
“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.
Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak
kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah, kenapa tidak semenjak tadi kau memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membantingbanting
kaki dengan gemasnya. “Kalau tadi aku tahu, tentu aku tidak akan melepaskan dua binatang kejam
dan busuk itu!”
Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau dia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terbinasa dan
terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu dia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa
menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.
“Biar aku mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya.
Tidak lama kemudian dia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.
"Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan
tambang itu kepada Cin Hai.
“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.
“Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air
mata!
Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan dia merasa demikian
menyesal sehingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh
ke dalam jurang.
Lin Lin merasa sangat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah...
maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”
“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini.
Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari
mereka untuk membalas dendam!!”
Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya
dipegang oleh Yousuf serta Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tak kurang dari
seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar
jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.
“Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.
“Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.
“Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di
bawahnya,” Cin Hai berkata. “Peganglah tambang kuat-kuat!”
Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.
“Ko-ko... hati-hatilah kau...”
Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian dia segera turun ke bawah menyusur tambang.
Karena dia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja dia merayap melalui
tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal
hingga keadaannya gelap benar.
Sesudah kedua kakinya merasa sudah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai lalu meraba-raba
dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih dalam keadaan tergantung di udara
dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuhnya ke depan sehingga tambang itu ikut terayun.
Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama semakin keras dan akhirnya dia dapat menyentuh tanah
di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras, dan ditumbuhi rumput dan pohon
kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke arah atas, tentu saja tidak mungkin baginya
untuk mendarat di sana. Dia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat
membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.
Baik Cin Hai mau pun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tidak pernah menyangka atau pun menaruh curiga
dunia-kangouw.blogspot.com
terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya kedua orang itu
masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka sudah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke
Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”
“Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,
“Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergap dia, tanpa
bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkap dia?” Sambil berkata
demikian, sepasang mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum.
Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun karena merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini.
Akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan dia dapat membalas sakit hati
muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya dia menganggukkan kepalanya yang gundul. Mereka berdua dengan
berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments