Rabu, 18 Oktober 2017

Pendekar Sakti 6 Cerita Silat Dewasa

Pendekar Sakti 6 Cerita Silat Dewasa Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Jadi kau ini Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai yang sering di sebut-sebut oleh Kun Beng? Ahh, maafkan
aku... maafkan aku yang sedang menderita ini...”
Tiba-tiba gadis itu menubruk maju dan berlutut di depan Kwan Cu.
Pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Kemudian dia mengangkat tubuh gadis itu
sambil memegang kedua pundaknya.
“Sudahlah, Nona, tak perlu semua penghormatan ini dan kau janganlah terlalu berduka, tidak baik untuk
kesehatanmu.”
Mendengar ucapan ini, gadis itu lalu memeluk dan menjatuhkan mukanya di dada Kwan Cu seakan
seorang adik yang minta hiburan dari seorang kakak yang menyayanginya.
“Nasibku amat buruk...,” keluhnya sambil menangis.
Kembali Kwan Cu menggeleng kepala berkali-kali. Aneh sekali watak gadis ini, pikirnya. Tadi ditolong dan
dipondong begitu saja, memaki-maki dan meronta-ronta, mengatakan dia kurang ajar dan tidak sopan.
Sekarang atas kehendak sendiri bahkan memeluknya dan mendekapkan muka di dadanya. Alangkah
anehnya. Akan tetapi timbul hati kasihan di dalam hatinya menyaksikan gadis itu terisak-isak di dadanya.
“Tenanglah, diamlah, Nona. Kenapa kau begini berduka?” Tanpa terasa, darah Kwan Cu panas juga.
Dia seorang pemuda yang belum pernah berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi sampai bersentuhan
kulit atau lebih-lebih lagi memeluk tubuh seorang gadis yang begitu cantik. Otomatis tangannya mengeluselus
rambut yang hitam panjang serta halus itu, sedangkan hatinya berdebar tidak karuan.
Rabaan tangan penuh kasih dan iba di rambutnya agaknya terasa oleh gadis itu. Dengan kaget dia
menjauhkan dirinya, memandang kepada Kwan Cu, akan tetapi sekarang sinar ketakutan dan curiga telah
lenyap dari matanya.
“Apakah kau kenal baik dengan Kun Beng dan kakakku Swi Kiat?” tanya gadis itu.
“Aku hanya bertemu dengan mereka pada waktu aku masih kecil. Dahulu kakakmu itu seorang anak yang
berangasan, berbeda dengan Kun Beng yang halus dan ramah. Akan tetapi dahulu aku tidak tahu bahwa
Swi Kiat mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Kui Lan.”
Gadis itu, Gouw Kui Lan, tersenyum pahit. “Memang kakakku selalu ikut dengan gurunya dan aku tinggal di
rumah bersama orang tuaku. Akan tetapi sekarang kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku
hidup berdua dengan Kiat-ko. In-kong, aku hendak minta pertolonganmu, kau usahakanlah perdamaian
antara Kiat-ko dan Kun Beng.”
“Ehh, mengapakah? Apakah mereka itu berselisih?”
Kui Lan mengangguk dan menarik napas panjang, kemudian duduk di atas akar pohon. “Duduklah, Inkong.
Mereka tak hanya berselisih, bahkan Kiat-ko telah bersumpah untuk mencari dan membunuh Kun
Beng... Dan aku tidak rela melihat Kun Beng terbunuh oleh kakakku. Aku... aku cinta kepada Kun Beng.”
Merah muka Kwan Cu mendengar pengakuan yang dianggapnya amat ganjil dari mulut gadis ini.
“Aku sudah mendengar ketika kau bicara dengan pangeran botak An Kong. Akan tetapi, kenapa mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
bermusuhan? Mereka adalah saudara sepergururan, bagaimana mereka bisa bermusuhan sedemikian
hebatnya sehingga kakakmu bersumpah untuk membunuh sute-nya sendiri?”
Sampai beberapa lama Kui Lan ragu-ragu, kemudian dia menghela napas dan berkata, “Kun Beng sering
kali membicarakan engkau, dan memujimu sebagai seorang yang aneh dan berbudi. Oleh karena itu, tiada
salahnya apa bila aku menceritakan semua peristiwa yang kualami kepadamu, apa lagi karena aku juga
hendak minta tolong kepadamu untuk mengakurkan mereka kembali.”
Kui Lan lalu bercerita, menuturkan pengalamannya dengan singkat. Akan tetapi, supaya lebih jelas bagi
kita, marilah kita mengikuti sendiri semua pengalamannya itu.
Swi Kiat dan Kui Lan adalah putera-puteri dari keluarga Gouw yang bertempat tinggal di dalam Propinsi
Hok-kian. Sesungguhnya ayah dari kedua orang anak ini adalah bekas seorang perwira Kerajaan Tang
yang sudah mengundurkan diri karena tidak suka melihat kaisar dan para pembesar lain melakukan
korupsi besar-besaran dan bukan merupakan pemimpin dan pelindung rakyat, malah sebaliknya mereka
merupakan pemeras-pemeras berwewenang yang lebih jahat dari pada perampok-perampok tulen.
Bekas perwira she Gouw ini lalu membawa keluarganya pindah ke dalam dusun. Dengan uang simpanan
yang tidak seberapa dia membeli tanah dan hidup sebagai petani yang berbahagia dan tenteram. Dia di
segani di dusunnya karena selain luas pengertiannya, juga dia mempunyai kepandaian silat yang bagi
orang-orang dusun sudah sangat tinggi sehingga dusun itu menjadi aman. Tidak ada orang jahat berani
memperlihatkan aksinya setelah Gouw-ciangkun ini tinggal di situ.
Pada suatu hari, Swi Kiat dan adiknya bermain-main di halaman depan rumahnya. Ketika itu Swi Kiat baru
berusia lima tahun dan Kui Lan berusia tiga tahun. Sebagai putera seorang petani, Swi Kiat memang amat
rajin. Kalau dia tidak membantu para pekerja di ladang, baik hanya untuk mengawasi atau pun membantu
sedikit-sedikit sesuai dengan kemampuan tenaganya yang masih kecil, tentulah dia membantu pekerjaan
ibunya. Pada hari itu, Swi Kiat sedang bertugas menjaga adiknya yang masih kecil dan mengajaknya
bermain-main.
Pada saat mereka bermain-main, mendadak kelihatan seorang kakek kecil pendek yang berpakaian
sederhana. Entah kakek ini datangnya dari mana karena tahu-tahu dia telah berada di luar pekarangan
rumah dan duduk di atas rumput, memandang ke arah dua orang anak yang bermain-main itu.
Swi Kiat dan Kui Lan melihat pula orang itu, akan tetapi tidak memperhatikannya karena hanya mengira
bahwa kakek itu seorang dusun lain yang duduk beristirahat. Padahal sebetulnya kakek ini bukan lain
adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang tokoh besar yang baru namanya saja sudah cukup hebat untuk
membuat penjahat-penjahat segera mengangkat kaki seribu!
“Engko Kiat, ambilkan bunga itu...,” kata Kui Lan merengek-rengek.
“Mengapa kau minta bunga yang buruk di atas pohon itu? Lebih baik kucarikan bunga teratai di empang
atau bunga mawar di kebun belakang, lebih bagus dan lebih mudah mengambilnya,” jawab kakaknya.
“Tidak mau, aku mau bunga yang di atas pohon itu!’ Kui Lan tetap merengek.
“Baiklah, baiklah, tapi jangan kau menangis,” Swi Kiat marah-marah, akan tetapi dia lalu naik ke atas
pohon itu untuk mencarikan bunga bagi adiknya.
Dalam usia lima tahun, Swi Kiat telah mulai berlatih silat dan tubuhnya digembleng oleh ayahnya sehingga
dia mempunyai tenaga dan kegesitan yang lebih dari pada anak-anak biasa. Bagaikan seekor monyet, dia
memanjat pohon itu dan mengambilkan tiga tangkai bunga.
Tetapi, sebelum dia turun, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya sakit dan gatal-gatal. Alangkah kagetnya
ketika anak ini melihat bahwa dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor semut merah karena tanpa disengaja
dia tadi telah menyentuh sarang mereka.
Swi Kiat memiliki ketabahan besar dan biar pun dia sibuk sekali mengusir semut-semut yang menggigit
badannya, dia tidak mengeluarkan keluhan dan hanya berseru, “Semut... semut...!”
Ia merayap turun sambil menggaruk sana menepuk sini. Gigitan semut-semut merah itu sakit dan gatal luar
biasa sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi. Ketika dua tangannya sibuk mengusir semut, keseimbangan
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuhnya menjadi kacau sehingga dia terpeleset dari atas dahan!
Anak itu tentu akan mengalami bencana hebat karena dia terjatuh dari dahan yang tinggi sekali. Akan
tetapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tiba-tiba terdengar suara orang.
“Bodoh sekali...!”
Dan tahu-tahu tubuh Swi Kiat sudah ditangkap oleh sebuah lengan yang pendek kecil sehingga dia tidak
sampai terbanting ke atas tanah. Kakek yang tadi tengah duduk di luar pekarangan, tahu-tahu telah berada
di situ dan dapat menyambut tubuh Swi Kiat dengan amat mudah.
Swi Kiat masih sibuk mengusiri semut dan menggaruk ke sana ke mari. Biar pun semua semut itu sudah
pergi, akan tetapi gatal-gatal masih hebat sekali sehingga anak ini tidak mempedulikan kakek yang telah
menolongnya.
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan pundak Swi Kiat ditampar. Aneh sekali, seketika itu juga
lenyaplah rasa gatal serta sakit bekas gigitan semut, sungguh pun di sana sini masih nampak merahmerah
bekas gigitan. Swi Kiat memandang dengan mata terbelalak, barulah dia teringat bahwa kakek ini
telah menolongnya, maka serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.
“Kakek yang baik, terima kasih atas pertolonganmu.”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai senang sekali melihat Swi Kiat. Ia dapat melihat bahwa anak ini bertulang baik
dan bakatnya luar biasa. Juga melihat betapa dalam penderitaan, anak itu tidak mengeluh sama sekali,
membuktikan bahwa anak itu mempunyai ketabahan dan ketenangan. Tiga tangkai kembang masih saja di
pegangnya, ini pun menyatakan bahwa dia memiliki dasar kesetiaan.
Swi Kiat lalu memberikan kembang itu kepada Kui Lan yang menerimanya dan lantas bersembunyi di
belakang kakaknya, karena dia takut melihat kakek kecil pendek yang suaranya nyaring itu.
“Anak yang tangkas, apa bila hendak mengambil bunga di atas pohon, mengapa harus susah-susah
memanjat pohon yang banyak semutnya?” kata Siangkoan Hai tertawa.
“Ehh, kakek yang aneh. Kembang berada di atas pohon, jika tidak memanjat naik, habis bagaimana
mengambilnya?” tanya Swi Kiat heran.
Siangkoan Hai tertawa semakin keras. “Banyak jalannya. Kau dapat menyambit tangkai kembang sehingga
kembang-kembang itu turun sendiri ke bawah, atau kau dapat pula melompat dan mengambilnya tanpa
menyentuh dahan pohon yang banyak semutnya.”
Swi Kiat berpikir sejenak, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Membicarakannya
sangat mudah, akan tetapi siapa dapat melakukan hal itu?” Memang Swi Kiat seorang anak yang keras
hati dan tidak mau kalah begitu saja bila tidak melihat buktinya.
“Kau tidak percaya kepadaku? Lihatlah baik-baik!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengambil segenggam batu kerikil, lantas sekali tangannya bergerak, lima butir
kerikil lalu melayang ke arah pohon dan... tak lama kemudian, lima tangkai bunga melayang ke bawah.
“Hebat bukan main kepandaianmu menyambit, kakek yang baik. Akan tetapi, bagaimana dengan jalan ke
dua?”
Siangkoan Hai tertawa makin keras dan tiba-tiba tubuhnya yang pendek kecil melayang ke arah pohon.
Gerakan tubuhnya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata karena tiba-tiba dia sudah turun kembali
dan ditangannya terdapat sepuluh tangkai bunga!
Bunga-bunga ini dia berikan kepada Kui Lan yang tertawa-tawa gembira. Anak ini belum dapat menghargai
dan mengagumi semua perbuatan kakek itu yang dianggapnya aneh. Yang membikin dia gembira adalah
pemberian bunga-bunga yang banyak itu.
“Luar biasa sekali!” tiba-tiba terdengar suara Gouw-ciangkun datang berlari-lari dari luar pekarangan, terus
menjura dengan hormat kepada Siangkoan Hai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah, kakek ini lihai sekali, aku ingin belajar ilmu kepandaian dari padanya,” berkata Swi Kiat sambil
memandang kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan mata kagum.
“Locianpwe benar-benar amat mulia, sudi mengajak main-main anak-anakku yang bodoh dan nakal,” kata
Gouw-ciangkun.
“Memang puteramu ini berjodoh dengan aku, biarlah dia menjadi muridku,” Pak-lo-sian Siangkoan Hai
berkata.
Gouw-ciangkun adalah seorang bekas perwira dan ahli silat, karena itu dia pun tahu akan perlunya anakanaknya
mempelajari kepandaian silat. Mendengar ucapan kakek yang kecil pendek ini, dia lalu menjura
dan berkata,
“Banyak terima kasih atas budi Locianpwe, tetapi bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama Locianpwe
yang mulia?”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai berwatak keras dan sombong, akan tetapi dia jujur dan baik hati. Ia tidak
menjawab pertanyaan Gouw-ciangkun, karena baginya perkenalan tak ada artinya dan bersopan-sopan
juga bukan kegemarannya, dia bahkan bertanya kepada Swi Kiat.
“Ehh, bocah tangkas. Sukakah kau menjadi muridku?”
Swi Kiat memang cerdik. Ia sudah yakin betul bahwa kakek ini seorang luar biasa, maka dia segera
menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, teecu merasa gembira sekali.”
Siangkoan Hai tertawa dan menoleh kepada Gouw-ciangkun. “Puteramu sudah setuju, aku tak punya
banyak waktu. Selamat tinggal!” Tiba-tiba saja ia berkelebat dan tahu-tahu kakek itu dan juga Swi Kiat tidak
kelihatan pula bayangannya.
Gouw-ciangkun terkejut bukan main. Ia girang bahwa puteranya mendapatkan guru yang demikian lihai,
akan tetapi dia juga merasa gelisah karena tidak tahu siapakah gerangan guru anaknya itu. Maka biar pun
kakek itu sudah tidak kelihatan, dia tetap berseru keras.
“Locianpwe, mohon kau sudi meninggalkan nama!”
Entah dari mana datangnya, terdengar amat jauh akan tetapi jelas sekali, ada jawaban, “Orang
menyebutku Pak-lo-sian!”
Mendengar ini, Gouw-ciangkun tertegun dan berdiri seperti patung. Ia girang bukan main dan juga kaget
karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kakek kecil pendek itu adalah tokoh besar dari utara
yang karena kesaktiannya mendapatkan julukan Dewa Utara!
Demikianlah, semenjak hari itu Swi Kiat mengikuti suhu-nya dan tidak lama kemudian gurunya mengambil
murid seorang anak lain, yakni The Kun Beng. Hanya sekali dalam setahun, kadang-kadang sampai dua
tahun, Swi Kiat datang mengunjungi orang tuanya atas perkenan suhu-nya yang mengajaknya merantau
jauh.
Kehidupan keluarga Gouw aman dan tenteram sampai terjadi sebuah peristiwa beberapa belas tahun
kemudian…..
Ketika itu Kui Lan telah berusia tujuh belas tahun dan dia merupakan seorang gadis yang sangat cantik
jelita, bagaikan bunga mawar yang sedang mekar semerbak. Gadis ini pun mempelajari ilmu silat akan
tetapi hanya di bawah pengajaran ayahnya sendiri yang tentu saja kalah jauh apa bila dibandingkan
dengan tingkat kepandaian Siangkoan Hai.
Tiap kali Swi Kiat pulang mengunjungi orang tuanya, pemuda ini tentu memberi petunjuk-petunjuk kepada
adiknya sehingga Kui Lan memperoleh kemajuan pesat. Tentu saja kini tingkat kepandaian Swi Kiat telah
jauh melewati ayahnya sehingga orang tua itu menjadi amat bangga dan girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, sejak Gouw-ciangkun tinggal di dusun itu, keadaan di situ
aman dan tenteram, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya. Apa lagi setelah Kui Lan
menjadi dewasa dan memiliki kepandaian silat tinggi, orang-orang makin menaruh hormat dan segan
terhadap keluarga Gouw ini.
Akan tetapi, pada suatu hari, dusun ini sudah kedatangan rombongan orang-orang kasar yang ternyata
adalah gerombolan perampok ganas yang melarikan diri dari utara karena mereka diobarak-abrik oleh Swi
Kiat dan Kun Beng! Kepala perampok yang memimpin gerombolan ini bernama Ang Hok yang berjuluk
Tok-hui-coa (Si Ular Terbang Berbisa).
Berkat penyelidikannya, Ang Hok mendapat keterangan bahwa seorang di antara kedua pemuda murid
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang gagah itu adalah putera Gouw-ciangkun yang tinggal di dusun Keng-kinbun
di sebelah utara kota raja. Dengan hati mengandung dendam, Tok-hui-coa Ang Hok lalu melarikan diri
sambil membawa anak buahnya yang belum tewas menuju dusun itu untuk membalas dendamnya kepada
keluarga Gouw!
Pada senja hari itu, Gouw-cingkun ditemani oleh isterinya serta Gouw Kui Lan, sedang makan malam
sehabis bekerja keras sehari penuh, mengepalai para buruh tani di sawah. Mereka makan sambil
bercakap-cakap dan seperti biasanya yang dipercakapkan mereka tentulah Swi Kiat.
“Tahun baru kurang tiga pekan lagi,” kata Gouw-ciangkun, “tentu Swi Kiat akan pulang.”
“Dulu Kiat-ko bilang bahwa sekarang dia jarang ikut suhu-nya merantau, karena kakek itu sekarang selalu
bertapa di puncak gunung. Bahkan Kiat-ko sering kali mendapat tugas untuk membasmi para perampok
dan membantu perjuangan rakyat dari pemberontak An Lu Shan,” kata Kui Lan menyambung.
Mereka bicara dengan asyik sekali. Tiba-tiba saja mereka terganggu oleh suara gemuruh di luar rumah,
suara banyak orang datang berkumpul di sana. Lalu terdengar bentakan keras.
“Inilah rumah keluarga Gouw! Bakar habis, bunuh semua orang!”
Gouw-ciangkun cepat menyambar goloknya, sedangkan Kui Lan juga buru-buru berlari ke kamarnya
mengambil pedang. Akan tetapi pada waktu itu, rumah bagian depan telah dibakar serta pintu depan sudah
didorong roboh oleh Tok-hui-coa Ang Hok. Di belakang kepala perampok ini ikut masuk anak buahnya
yang sebanyak dua puluh orang.
“Penjahat-penjahat rendah dari mana berani kurang ajar di rumah kami?” Gouw-ciangkun membentak
marah dan menggerakkan golok menghadang mereka.
“Ha-ha-ha-ha! Inikah Gouw-ciangkun yang menjadi ayah dari si laknat Gouw Swi Kiat? Keluarga Gouw,
bersiaplah untuk terima binasa!” kata Tok-hui-coa Ang Hok sambil maju menyerbu, mainkan ruyungnya
yang besar dan berat.
Gouw-ciangkun dapat menduga bahwa mereka itu tentu penjahat-penjahat yang merasa sakit hati
terhadap puteranya. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyambut serangan lawan dan
mengamuk. Akan tetapi alangkah kagetnya saat dia merasa telapak tangannya panas dan sakit ketika
goloknya bertemu dengan ruyung itu. Ternyata bahwa tenaga kepala perampok itu besar sekali. Sebentar
saja Gouw-ciangkun sudah dikeroyok oleh banyak orang.
“Penjahat-penjahat anjing, jangan kurang ajar!’ Tiba-tiba Kui Lan membentak.
Gadis ini melompat keluar dari kamarnya dengan pedang di tangannya. Seorang anggota perampok yang
sudah menghampiri nyonya Gouw dengan golok di tangan, tiba-tiba saja diserangnya sehingga penjahat itu
menjerit dengan dada tertembus pedang!
“Ibu, menyingkirlah ke dalam kamar!” seru Kui Lan sambil memutar pedang, membantu ayahnya yang
sudah terkepung dan terdesak.
Ada pun Tok-hui-coa Ang Hok ketika melihat munculnya seorang gadis yang sedemikian gagahnya,
menjadi seperti linglung dan dia memandang tanpa berkedip.
“Ha-ha-ha-ha, tidak kusangka di sini terdapat setangkai bunga cilan yang harum! Kawan-kawan, keroyok
dunia-kangouw.blogspot.com
dan binasakan anjing tua ini, biar aku memetik kembang itu!” katanya kemudian dan dengan ruyung diputar
cepat dia menyambut Kui Lan.
Biar pun Gouw-ciangkun gagah, akan tetapi dia telah mulai tua dan tenaganya terbatas. Lagi pula, selama
menjadi petani, jarang sekali dia melatih ilmu silatnya dan juga tidak pernah bertempur, maka gerakannya
kaku sekali. Bagaimana kini dia dapat menghadapi keroyokan belasan orang perampok itu?
Memang benar bahwa dia telah berhasil pula merobohkan tiga orang pengeroyok setelah mengamuk
secara nekat dan mati-matian. Akan tetapi akhirnya tubuhnya menjadi korban keganasan para perampok,
dihujani oleh pukulan senjata tajam sehingga ia roboh mandi darah.
Ada pun Kui Lan, mana dia dapat melawan Tok-hui-coa Ang Hok yang sudah kawakan dan penuh tipu
muslihat pertempuran? Baru dua puluh jurus saja pedang di tangan gadis ini telah terlempar jauh. Sebelum
Kui Lan dapat mengelak, ia telah diringkus dan sebuah totokan di pundak membuatnya tidak berdaya lagi.
“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Bunuh semua orang di dalam rumah dan bakar habis rumah ini!” teriak Ang Hok
sambil lari keluar memondong tubuh Kui Lan.
Para perampok itu tentu saja tak mau menyia-nyiakan waktu baik ini. Mereka merampok dulu habishabisan,
baru membunuh nyonya Gouw dan membakar rumah itu. Kemudian, dalam perjalanan mereka
menyusul pemimpin mereka, mereka terlebih dulu merampok habis dusun itu dan melakukan pembunuhan
keji.
Dalam keadaan lumpuh tertotok jalan darahnya, Kui Lan dibawa pergi oleh Tok-hui-coa Ang Hok ke arah
pegunungan batu karang di mana banyak terdapat goa-goa yang besar. Di goa-goa itulah sarang para
perampok yang baru datang dari utara ini.
Di sepanjang jalan terdengar suara Ang Hok tertawa-tawa menyeramkan. Kepala rampok yang usianya
sekitar empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah menyeramkan ini merasa girang sekali. Sekali ini
hasil pekerjaannya memang hebat. Tidak saja dia dapat membalas dendam dan menghabiskan keluarga
Gouw untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Gouw Swi Kiat, juga dia berhasil mendapatkan seorang
gadis yang cantik jelita seperti Kui Lan yang sedang dipondongnya itu.
Hampir pingsan Kui Lan mengalami perlakuan yang kasar dan tidak senonoh oleh kepala rampok ini, akan
tetapi apa dayanya? Selain kalah pandai dalam ilmu silat, juga ia telah dibikin tidak berdaya, semua uraturat
ditubuhnya lemas dan tenaganya lenyap. Baiknya sebelum Ang Hok melakukan hal-hal yang lebih
hebat lagi, datanglah para anak buahnya yang tertawa-tawa sambil memanggul hasil-hasil rampokan.
Ang Hok meninggalkan Kui Lan dan keluar dari dalam goa, menemui anak buahnya.
“Kawan-kawan sekalian. Bunga yang kupetik itu sungguh-sungguh cantik dan aku sudah mengambil
keputusan untuk menjadikan isteriku. Bersiap-siaplah untuk merayakan pesta pernikahanku malam nanti!’
Kawan-kawannya bersorak gembira. Memang hal itu merupakan hal baru yang sangat mengherankan.
Biasanya kepala rampok itu mengganggu anak bini orang dan sesudah bosan lalu dioperkannya kepada
anak buahnya. Baru kali ini agaknya kepala rampok itu jatuh hati terhadap seorang wanita!
Kawanan perampok itu lalu mendatangi dusun-dusun dan memaksa orang-orang dusun supaya
menyediakan hidangan untuk meramaikan pesta pernikahan pemimpin mereka. Kasihan sekali orangorang
dusun ini, karena mereka dengan hati berat dan terpaksa harus melakukan segala perintah ini.
Suasana di pegunungan batu karang pada malam hari itu ramai sekali dan para perampok menari-nari dan
minum sampai mabuk.
Akan tetapi, tiba-tiba di sana-sini terdengar jeritan orang dan beberapa orang perampok roboh tak
bernyawa lagi. Seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tahu-tahu telah berdiri di situ dan kedua
tangannya bergerak-gerak. Tiap kali tangannya bergerak, sebutir benda hitam melayang dan mengenai
seorang perampok yang tak dapat menghindarkan diri lagi, terus saja roboh dan mati!
Gegerlah keadaan di situ. Orang-orang dusun melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat melarikan diri,
pulang ke rumah mereka masing-masing di bawah gunung. Ada pun para perampok menjadi amat marah
sehingga sebentar saja pemuda itu telah dikepung oleh perampok-perampok yang memegang senjata
tajam di tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tok-hui-coa Ang Hok sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang
matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu
orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda saja.
Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa
adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.
Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di
utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!
Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun lalu memutar
ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.
Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita
kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih
halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang
tajam berapi-api. Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun
mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.
Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar
amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok
tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.
Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan
membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat hendak pergi membantu
perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini
semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.
Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang
rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke
selatan setelah tugasnya selesai.
Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia
melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Segera dia mencari
keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang
oleh gerombolan kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.
Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan sisa-sisa
perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang
gadis dusun yang diculiknya!
Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang bisa dipungutnya
di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya
menggunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia.
Dia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi jangan dikira bahwa
batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi
peluru yang dapat menembus tubuh manusia!
Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa
mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat,
yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat lantas terlepas dari
pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti
oleh pandangan mata mereka.
Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil berteriak-teriak
mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa.
Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!
Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyok sudah
roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat
dunia-kangouw.blogspot.com
dan mengejar Ang Hok.
Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum kehilangan
bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari
timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di
sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata
pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.
Akhirnya Ang Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa
berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala
rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai ke pinggang.
Ternyata bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh rumput! Dia
meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas
dada!
“Tolong... tolong…!”
Betapa pun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah hatinya, saat
menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya
lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan takutnya.
Kui Lan biar pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri
ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam
sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan
Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.
Tadinya Kun Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong
itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur, di dalam
rawa yang kurang lebih empat tombak lebarnya.
“Tolonglah aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.
Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak bagaimana
dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.
“Tolonglah... Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.
“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu,
Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku dapat menolong juga bukan kau yang
kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”
Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang Hok menjadi
beringas dan tertawa bergelak.
“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak mau
segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan menekannya ke bawah
lumpur!”
Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui
Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan
terbenam di dalam lumpur dan dia pun akan mati.
Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku dengan
mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini,
tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat
sebutir batu hitam.
“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga
bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.
“Tak!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat
itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan tubuhnya
dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua
kakinya ke bawah!
Sekarang lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu
lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan.
Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun
Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang
kuat dan cepat, dia menarik baju itu.
“Breeeettt!”
“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.
Karena kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh
gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian
sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh
lumpur.
Dengan muka merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia
menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa
oleh betotannya tadi.
Ada pun Kui Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami penderitaan dan
kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!
Sekali lagi Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar
lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh
berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan
tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum
sampai di seberang lumpur itu!
Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini menahan
napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai
(membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, akhirnya dia berhasil
melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati
lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.
“Berbahya sekali,” pikirnya.
Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua
akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan
sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya,
mukanya menjadi merah sekali.
Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi
dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai
pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan
hati.
Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan
perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di
situ tertimbun beras dan makanan.
Perlahan Kui Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat bahwa dia
sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya pada saat dia
menengok ke bawah melihat betapa punggung dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.
Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun.
Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah
telanjang.
Tanpa pikir panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan
mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.
“Nona, mengapa kau menyerangku?”
“Kau... orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani... merobek pakaianku. Hayo
kembalikan pakaianku!”
Biar pun hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di
mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,
“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun pakaianmu
sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk
sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”
“Kau... kau kurang ajar!” seru Kui Lan.
Kini dia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini
membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya yang putih. Kun Beng cepat
membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.
“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan
pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan
jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan
cukup sopan.”
Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.
Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah
gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana dapat
menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah...
tampannya!
Berpikir sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba dia menjadi pucat.
Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.
“Ayah... ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.
Dia belum tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi pengeroyokan, ia
tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia
segera melompat ke dalam kembali setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!
Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan
orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.
“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”
Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepatcepat
gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya karena pakaian yang
sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah
dia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan
tubuhnya dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.
“Terima kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.
“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus,
sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.
Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat melompat keluar
dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga mereka kini berhadapan.
“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.
Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana
saja.”
“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.
Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia
mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh
secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!
Berdebar-debar hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang
kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang mata bertemu dan
keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.
Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun sebaliknya Kui Lan
memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu
pandang dengan Kun Beng.
“Kau... siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat dia
merasa malu-malu.
“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku
mendengar dari orang-orang dusun itu.”
Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata, “Aku harus
pulang...!”
Akan tetapi tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan
kanannya.
“Ehh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.
Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.
“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”
Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud dan
kehendakmu ingin menahanku?”
“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan
lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap
seorang adiknya.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak
berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis
dia teringat akan orang tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa
menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.
“Taihiap... katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”
Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di tempat yang teduh
dan kau harus mendengar dengan tenang.”
“Tidak, tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga
takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.
“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di
kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”
“Ayah dan ibu...?”
Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh mereka...”
Tadi malam Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah
sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh
kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk serta memondongnya.
Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher
gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke
kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal
akibatnya.
Untuk menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayatmayat
perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ,
supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.
Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan batin dan
tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus mengigau, memanggil-manggil ayah
bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu
merawat gadis itu baik-baik.
Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi berkat
perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan dia mulai sadar kembali.
Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya
pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.
"Makanlah, Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.
Untuk sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua peristiwa
yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua tangan di mukanya. Dia teringat
akan ayah bundanya yang tewas.
"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.
"Aku... sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.
"Apa kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, meski pun maksudnya
hanya untuk menghibur.
Kui Lan bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng cepat
menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.
"Minumlah bubur ini dulu."
Tanpa membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Setelah
menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali
matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang berlutut di dekatnya.
"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"
"Kau terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau hanya mengigau saja,"
kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."
"Tiga hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera mengangguk,
akan tetapi segera dibukanya mulutnya.
"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."
"Ahh... The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur
bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian
gagah perkasa dan budiman.
"Hushhh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata sambil menepuknepuk
pundak gadis itu.
Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku?
Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"
Mata gadis itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng
berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda, juga membuat
darahnya yang masih panas itu bergolak.
"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."
"Taihiap, kau... kau suka kepadaku?"
Makin merah muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu.
Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali
tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.
Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada
Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang
harus dikasihani nasibnya?
"Tentu saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.
Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika dia
mengajukan pertanyaan penuh mendesak.
"Dan cinta kepadaku?"
Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani memastikan
apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang suka dan kasihan, akan tetapi
apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.
Semenjak Kun Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng
murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung
mengenangkan wajah Sui Ceng.
Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun
menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu,
namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah
cantik manis dan setiap gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia
mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?
Namun bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini? Wajahnya yang
agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ahh,
tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.
Lagi pula, dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam
menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu
dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun
Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!
Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan
dunia-kangouw.blogspot.com
hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya pada dada Kun Beng.
Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya. Sampai
lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang
asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk
pun akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!
Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, tampak
bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-larian naik di pegunungan batu karang
itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa.
Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia
adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng (Terbang di Atas Bumi).
Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok,
atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya
dan melihat kehancuran keluarganya.
Ketika dia bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat
memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala
perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri
oleh kepala rampok.
"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu,
entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang
dusun menutup penuturannya.
Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main, juga geram dan
marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan
dibunuhnya semua.
Sesudah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang perampok dan lapatlapat
terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu
karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari
luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!
"Taihiap, sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa
ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu,
bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi
suamiku, juga belum mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.
Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara?
Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat
hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti
petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda
yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!
Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar
Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.
"Kui Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia
mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."
"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."
Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia menghela napas
dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya terus mengelus-elus rambut kepala gadis
itu.
"Sayang sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa...
dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal sekali."
"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa
dunia-kangouw.blogspot.com
ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang
dan bangga dapat menjadi..."
Sebelum Kui Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling
takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.
"Kui Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis
sebatang kara..."
"Aku tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"
"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara seperti aku pula."
"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku masih memiliki seorang
saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid
dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang..."
"Apa katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan melompat bangun
sehingga Kui Lan juga ikut bangun.
"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."
"Aduhai, Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira kau…"
"Kau kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.
"Kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku tahu bahwa kau
adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."
"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."
"Memang suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan,
bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku... aku telah..."
Tiba-tiba terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh
masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.
"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa
rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!"
Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu mereka
akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa
berkata, "Suheng..."
"Kiat-ko…," keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu, "Mengapa
kau baru datang? Ayah dan ibu..."
Wajah Swi Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan
seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"
"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas
oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko, kami... kami saling mencinta... harap kau
ampunkan kami..."
Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghadapi Kun
Beng dengan muka keras.
"Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau
harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"
Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu,
suhu akan marah sekali."
"Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu
sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"
Kun Beng menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah
lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."
"Apa? Kau tidak cinta padanya?"
"Aku... terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang
malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku... aku merasa
kasihan dan dia... dia menderita sakit, kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih
adikmu kepadaku, membuat aku lupa..."
"Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan
bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah sute-ku dan aku akan
menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"
Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni
sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.
"Apa boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati.
Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi suami Kui Lan...”
"Keparat pengecut!"
Swi Kiat cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun
Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila mengenai sasaran.
Kipas ini pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan permukaannya
terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat
berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah
dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu..."
Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.
"Kiat-ko... jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.
Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, kini tahulah ia
bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda itu sebenarnya tidak cinta
kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa
perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih
yang murni.
Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia
menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan
mudah hilang begitu saja.
Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu
Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san Koan-jit
(Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.
Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya
bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!
"Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak
ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang dilancarkan oleh suheng-nya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.
Oleh karena cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil menyerempet
pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Mukanya pucat dan dia telah
menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.
"Kiat-ko...! Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.
Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga telah mencabut
senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu membalas serangan suheng-nya, karena dia
merasa telah dilukai.
Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan
memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet
pinggir lengannya.
"Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun cukup banyak
mengeluarkan darah.
"Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah aku...!" Kui Lan menangis dan
memeluk kakaknya.
Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat
keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis
tersedu-sedu.
Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak
tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.
"Kiat-ko..., ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.
Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu
menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak
bayangan Kun Beng berlari-larian cepat sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor
kalong yang besar sekali terbang pergi.
"Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.
"Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat.
"Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimana juga
untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..."
Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa sehingga
mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun halus dia harus mengusahakan hal
itu.
"Aku akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai kata aku
bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya tidak kalah oleh
kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali padamu, suka menjadi suamimu."
Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat keluar,
berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.
Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi,
semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai
dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi
sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng
dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya
bayangan ini.
Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang
matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak
menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.
"Siapa kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.
Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang dikenakannya
sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya mau pun
pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut
akan lenyap sifat kebangsawannya.
“Aku bernama An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan tetapi
mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar
semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat
itu sehingga kini kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita
sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja
yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup
bahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras.
Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur tangan menangkap
pergelangan tangan Kui Lan.
Kui Lan cepat menarik tangannya, akan tetapi terlambat. Pemuda itu gerakannya cepat sekali dan sebelum
dia dapat memberontak, dia sudah diangkat dan dipondong! Kui Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi
sebuah totokan yang tepat sudah membuat dia tidak kuasa lagi membuka mulut.
Bagaimana pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para pejuang rakyat dan
membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah lalu menjadi marah sekali. An Kong adalah putera
dari An Lu Kui, dan pemuda ini secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat.
Karena dia pun sedang membantu usaha ayahnya yang sedang berlomba mencari jasa dan kedudukan di
kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat. Hanya dia saja yang sanggup melakukan hal
ini, karena An Kong adalah murid dari Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam dia mengikuti jejak Swi Kiat, tapi tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum akan kelihaian
murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih dahulu di mana tempat tinggal pemuda itu
sehingga dia dapat membawa kawan-kawannya untuk menangkapnya.
Demikianlah, dia mengikuti Swi Kiat terus hingga sampai di pegunungan itu dan secara kebetulan sekali
dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong adalah seorang pemuda mata keranjang,
maka begitu melihat Kui Lan, hatinya menjadi tertarik sekali. Apa lagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui
Lan adalah adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini sangat baik sekali baginya. Ia dapat menangkap
Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan hampir saja
Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini kalau saja tidak datang Lu Kwan
Cu yang menolongnya.
Semua itu diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu
saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas pada apa yang diketahui oleh gadis itu.
Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa yang terjadi seluruhnya.
********************
Kwan Cu menarik napas panjang ketika dia mendengar penuturan itu.
"Kasihan sekali kau, Kui Lan. Dan terlalu Kun Beng. Tidak kusangka dia akan tersesat sejauh itu."
"Dia tidak tersesat, semua yang sudah terjadi adalah kesalahanku. Aku sudah setengah menduga bahwa
dia tidak cinta kepadaku, akan tetapi cinta kasih membuat aku buta dan akulah yang menyeretnya
sehingga dia melakukan semua hal atas diriku sebagaimana yang kukehendaki."
"Begitukah?" tanya Kwan Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam pemuda itu berdebar hatinya. Bukankah Kun Beng itu tunangan Sui Ceng? Dan sekarang Kun
Beng melakukan perbuatan itu kepada Kui Lan, berarti Kun Beng tak berharga lagi menjadi calon suami
Sui Ceng.
"Memang akulah yang bersalah. The-taihiap tidak berdosa, dan aku tidak menyesal. Biar pun dia tidak mau
menjadi suamiku, namun aku tetap akan bersetia kepadanya sampai mati."
Terharu hati Kwan Cu mendengar ucapan ini. Dia mengelus-elus kepala Kui Lan seperti sikap seorang
kakak terhadap adiknya.
"Kau anak baik, Kui Lan. Sayang sekali kau terlalu lemah iman, tidak mampu menguasai hati menolak
godaan iblis yang berupa napsu. Akan tetapi, hal itu pun bukan salahmu karena pada waktu itu, kau baru
saja menderita tekanan batin yang hebat bukan main sehingga imanmu menjadi lemah."
Dengan mata basah Kui Lan lalu berkata, "Taihiap, sukakah kau menolongku mencari mereka itu dan
mendamaikan mereka? Apa bila mereka sampai saling bermusuhan, baik kakakku atau The-Taihiap yang
tewas, aku akan kehilangan salah satu orang yang paling kucinta dan kematian seorang di antara mereka
akan membawa nyawaku pula."
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Baiklah, Kui Lan. Mereka itu pun sahabat-sahabatku, apa bila aku dapat
menemukan mereka, tentu akan kuusahakan sedapat mungkin untuk mencegah mereka saling
membunuh."
"Terima kasih, Lu-taihiap, terima kasih. Budimu tak akan kulupakan selama hidupku."
Kwan Cu tersenyum. "Kau memang anak baik dan perasaanmu halus sekali. Aku pun seorang yang hidup
sebatang kara, biarlah kau kuanggap adikku sendiri."
Bukan main girangnya hati Kui Lan mendengar ini. "Terima kasih kepada Thian bahwa hatimu sudah
tergerak untuk menolongku, Koko yang baik. Tadinya aku sudah bingung sekali ke mana aku harus pergi
dalam keadaan seorang diri ini, akan tetapi setelah kau mengangkatku sebagai adikmu, aku tak khawatir
lagi karena kau tentu akan membawaku ke mana pun kau pergi."
Kwan Cu tertegun. Dia berdiri seperti patung tak mengeluarkan kata-kata lagi. Gadis ini cerdik sekali dan
dapat mempergunakan kesempatan dengan amat cepatnya. Hal itu tak pernah disangka-sangkanya dan
dia merasa betul, sebagai adiknya, Kui Lan tentu akan ikut dengan dia, atau setidaknya dia harus dapat
mencarikan tempat yang layak bagi Kui Lan!
"Kui Lan, kau seorang gadis dan kepandaianmu juga belum cukup, mana bisa melakukan perjalanan jauh
yang masih tidak ada ketentuan tujuannya?"
"Dengan kau di sampingku, aku takut apakah?" kata Kui Lan sambil tersenyum.
"Tentu saja aku akan selalu melindungimu, akan tetapi kalau kita melakukan perantauan bersama, akan
menimbulkan tiga macam kerugian."
"Kerugian? Coba sebutkan apa itu!" Kui Lan berkata dengan muka cemberut, akan tetapi bahkan
menambah kemanisannya.
"Pertama, akan mendatangkan kesan buruk karena orang-orang akan menganggap tidak pantas seorang
gadis melakukan perantauan bersama seorang pemuda."
"He, bukankah kau ini kakakku sendiri? Apanya yang tidak pantas bagi seorang gadis melakukan
perjalanan bersama kakaknya?"
"Kui Lan, pandangan mata dan pendengaran telinga orang-orang kang-ouw amat tajam, mereka akan tahu
bahwa kita bukanlah saudara kandung dan tentu akan timbul dugaan yang tidak-tidak yang kesemuanya
hanya akan merusak nama baik kita. Hal yang kedua, kalau kau ikut aku, perjalanan tak dapat dilakukan
cepat-cepat dan bagaimana aku dapat menyusul mereka? Ke tiga, andai kata tersusul, dan kau berada di
dekatku, tentu mereka akan naik darah karena kau yang menjadi pokok pertentangan mereka. Maka lebih
baik kau jangan terlihat oleh mereka."
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi alasan-alasan yang amat kuat ini, Kui Lan hanya bisa menghela napas dan akhirnya
mengangkat pundak. Gadis ini lalu berkata tanpa berdaya,
"Habis, apakah kau mau meninggalkan aku seorang diri di hutan ini?"
"Tentu saja tidak, adik Kui Lan. Aku mengenal sebuah tempat yang amat cocok bagimu, di mana kau boleh
tinggal dengan hati tenteram dan aku pun bisa meninggalkan engkau dengan hati tenang pula. Kau boleh
tinggal di tempat itu dengan aman sampai aku dapat menemukan Swi Kiat dan Kun Beng."
"Di mana tempat itu?" Kui Lan ragu-ragu karena pada dewasa itu agaknya tidak mungkin mendapat tempat
yang aman bagi seorang gadis muda seperti dia, yang sudah banyak mengalami ganguan-ganguan dari
orang jahat.
"Di dusun Kau-Ling di sebelah utara kota Tan-Shan ada sebuah Kwan-im-bio (Kelenteng Dewi Kwan Im)
yang amat besar dan para nikouw (pendeta wanita) yang berada di situ terkenal sebagai pendeta-pendeta
yang saleh beribadah. Kau boleh tinggal di sana untuk sementara waktu dengan hati aman dan tentram."
Kui Lan mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Maka, dua orang muda ini pun berangkatlah
menuju ke kota Tan-shan yang letaknya di sebelah timur laut dari kota raja.
Menurut pendapat Kui Lan, mereka telah melakukan perjalanan cepat sekali sebab gadis ini di sepanjang
jalan telah mempergunakan ilmu lari cepat yang pernah dia pelajari dari ayahnya. Akan tetapi tidak
demikian menurut anggapan Kwan Cu. Kalau saja pemuda ini tidak melakukan perjalanan bersama Kui
Lan, dalam waktu satu hari saja dia tentu akan sampai ke dusun Kau-ling. Sekarang bersama Kui Lan,
dalam waktu lima hari barulah mereka tiba di dusun itu dan langsung menuju Kwan-im-bio.
"Taihiap datang...!" seru beberapa orang nikouw yang kebetulan berada di pekarangan depan kuil itu untuk
melakukan tugas menyapu dan lain-lain.
Agaknya mereka merasa gembira sekali melihat kedatangan pemuda ini dan tahulah Kui Lan bahwa Kwan
Cu telah dikenal baik oleh semua nikouw yang sudah tua-tua itu.
"Selamat datang, Taihiap. Kebetulan sekali Taihiap berkenan mengunjungi tempat kami karena
kedatangan Taihiap memang sedang diperlukan sekali," kata seorang nikouw tua yang pekerjaannya
sebagai nikouw penyambut tamu.
"Ada terjadi apakah, suthai? Dan di manakah Ngo Lian Suthai? Teecu mohon bertemu dengan beliau,"
kata Kwan Cu.
"Ngo Lian Suthai terluka oleh Luan-ho Oei-Liong (Naga Kuning dari Sungai Luan) dan keadaannya payah."
Kwan Cu terkejut bukan main. "Suthai maksudkan Luan-ho Oei-Liong si bajak laut yang merajalela di
sungai Luan-ho?"
Kwan Cu memang pernah mendengar nama ini dan biar pun dia belum pernah bertemu dengan orangnya,
akan tetapi sudah lama dia mempunyai niat untuk memberi hajaran kepada bajak yang dikabarkan orang
amat ganas ini.
"Benar dia, Taihiap."
"Akan tetapi, kenapa demikian? Apakah Ngo Lian Suthai melakukan pelayaran di Sungai Luan?"
Nikouw tua itu menggeleng kepalanya yang gundul halus. "Marilah kita duduk di ruang tamu, Taihiap. Di
sana kita akan bicara dengan leluasa."
"Perkenankan teecu (murid) menjumpai Ngo Lian Suthai sendiri supaya teecu mendapat keterangan lebih
jelas."
"Menyesal sekali, Taihiap. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Ngo Lian Suthai tidak boleh banyak bicara
dan bergerak. Beliau harus istirahat. Tentu saja kau boleh bertemu dengan Ngo Lian Suthai, akan tetapi
tidak baik kalau mengajaknya bercakap-cakap. Hal itu akan mengganggu kesehatannya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Terpaksa Kwan Cu membenarkan pendapat ini dan dengan menggandeng tangan Kui Lan, dia mengikuti
nikouw itu ke ruang tamu.
"Siapakah Siocia ini, Taihiap?" Nikouw tua itu bertanya sambil memandang kepada Kui Lan dengan
sepasang matanya yang bening.
"Dia ini adalah Gouw Kui Lan, yaitu adik angkatku. Justru kedatanganku ini untuk minta pertolongan Ngo
Lian Suthai supaya suka menerima adikku sementara waktu tinggal di sini."
"Tentu saja boleh, Taihiap. Jangan khawatir, Nona, engkau boleh tinggal di sini seperti di dalam rumahmu
sendiri."
"Terima kasih, Suthai. Sambil menunggu kedatangan saudaraku, tentu saja aku akan ikut membantu
pekerjaan-pekerjaan yang dapat kulakukan di dalam bio ini," berkata Kui Lan sambil memandang ke
sekeliling.
Tempat itu memang menyenangkan sekali. Selain bersih, juga dikelilingi oleh tanaman bunga, nampaknya
aman dan penuh kedamaian.
"Sekarang ceritakanlah, Suthai. Apa yang terjadi dengan Ngo Lian Suthai?"
Nikouw tua itu lalu menuturkan apa yang telah terjadi lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu dan Kui Lan
tiba di depan kuil itu.
Ngo Lian Suthai adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun yang menjadi ketua dari Kwan-im-bio.
Selain seseorang ahli batin yang patuh akan semua isi kitab dari Dewi Kwan Im, juga Ngo Lian Suthai
memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, karena dia adalah murid dari Bu-tong-pai.
Lebih dari dua puluh tahun Ngo Lian Suthai memimpin para nikouw di Kwan-im-bio itu dan selama itu, kuil
ini menjadi semakin terkenal dan mendapatkan banyak penyumbang. Kuil itu lalu dibangun sehingga
merupakan kuil terbesar di daerah utara. Selain perabot-perabot yang berada di dalam kuil terdiri dari
barang-barang berharga sumbangan para penderma, juga di situ terdapat patung-patung yang sukar
didapat, di antaranya terdapat sebuah patung setengah badan yang amat besar.
Tinggi patung itu sama dengan tinggi seorang manusia biasa akan tetapi karena hanya setengah badan,
maka ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari ukuran badan manusia. Patung itu terbuat dari pada
perunggu dan indah sekali. Hanya bentuknya menyeramkan sekali, karena biar pun dia merupakan sebuah
patung pendeta laki-laki yang berpakaian sebagai pendeta biasa, namun pada kepalanya terdapat
sepasang tanduk seperti tanduk kerbau dan mulutnya bercaling seperti mulut babi!
Jarang ada orang yang dapat mengerti apakah arti patung ini dan patung dewa atau iblis manakah
gerangan. Akan tetapi Ngo Lian Suthai yang mendapatkan serta membawa patung itu dapat menceritakan
dengan jelas.
Patung ini dibuat oleh seorang pendeta Budha yang pandai. Dan arti dari pada patung ini adalah untuk
menggambarkan betapa pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang mengaku pendeta dan
berpakaian seperti pendeta, namun sebenarnya masih memiliki akhlak yang bejat.
Oleh karena itu, untuk menyindir bahwa kepala pendeta macam itu masih terisi pikiran-pikiran busuk, maka
kepala patung ditumbuhi sepasang tanduk, dan karena banyak pula di antara pendeta itu mengeluarkan
kata-kata yang tidak selayaknya seorang suci, pada mulut patung itu dipasangi caling!
Jadi singkatnya, patung itu adalah untuk memperingatkan para pendeta atau orang yang menganut
penghidupan suci, supaya sesudah digunduli dan jubahnya merupakan jubah pendeta, isi hati dan
pikirannya tidak boleh kotor lagi.
Patung yang sangat indah dan sukar didapat ini oleh Ngo Lian Suthai diletakkan di ruang tengah sehingga
setiap anak muridnya dapat melihatnya setiap hari, merupakan patung peringatan yang mengerikan hati
bagi setiap muridnya.
Pada suatu hari, lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu datang, di dalam bio kedatangan seorang tamu,
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning yang membawa golok besar terselip di punggungnya. Lakilaki
itu sikapnya kasar sekali, akan tetapi nikouw itu tetap menyambutnya, karena mengira bahwa orang itu
hendak bersembahyang minta berkah dari Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im, yakni Dewi Welas Asih).
"Di mana Ngo Lian Suthai? Aku hendak berbicara dengan dia!" Laki-laki tinggi besar itu berkata dengan
kasar dan matanya jelalatan ke dalam.
"Congsu siapakah dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan Ngo Lian Suthai?" tanya nikouw tua
penyambut itu.
"Beritahukan bahwa Luan-ho Oei-Liong datang hendak bertemu," kata laki-laki itu.
Mendengar nama kepala bajak ini, terkejutlah nikouw tua itu.
"Baik… baik, silahkan Congsu duduk menunggu sebentar, pinni (aku) akan melaporkan kepada Ngo Lian
Suthai," katanya dan cepat-cepat masuk ke belakang utuk melaporkan hal itu kepada ketuanya.
Akan tetapi Luan-ho Oei-Liong tidak sabar lagi. Dia segera bertindak masuk ke ruangan tengah di mana
terdapat patung besar dari perunggu itu. Sambil tersenyum puas dia lalu mengangkat patung itu dengan
kedua tangannya, terus diangkat keluar dan diletakkan di ruang tamu.
Semua nikouw yang melihat itu menjadi gempar. Mereka tidak berani mencegah, apa lagi sesudah melihat
betapa laki-laki kasar itu mengangkat dan memindahkan patung dengan mudahnya. Patung itu beratnya
hampir seribu kati dan selain Ngo Lian Suthai, tidak ada yang kuat mengangkatnya.
Tak lama kemudian, dari dalam keluarlah seorang nenek yang berpakaian pendeta serba putih, memegang
sebatang tongkat hitam yang panjang dan kecil. Gerak-gerik nenek ini lemah-lembut, begitu pula wajahnya
membayangkan sifat yang mulia, akan tetapi kedua matanya amat berpengaruh.
Pada waktu dia melirik ke arah patung perunggu yang sudah berdiri di ruang tamu, dia menggerakkan
alisnya yang sudah hampir putih itu dan memandang Luan-ho Oei-liong.
"Congsu, pinni telah keluar, ceritakan apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula kau
memindahkan patung itu?"
Melihat sikap yang halus serta sinar mata yang berpengaruh itu, Luan-ho Oei-liong yang bermuka kuning
berubah sikapnya, tidak sekasar tadi dan dia menjura memberi hormat.
"Ngo Lian Suthai, sudah lama siauwte mendengar namamu yang besar sebagai seorang gagah yang
berhati mulia dan pemurah. Oleh karena itu, hari ini aku sengaja datang ke sini untuk memberi hormat dan
untuk mohon pertolonganmu."
"Pertolongan apakah yang dapat diberikan oleh pinni yang tua dan lemah ini kepada Congsu yang muda
dan gagah perkasa?"
"Hanya sedikit pertolongan saja, Suthai, yaitu harap Suthai memberikan patung perunggu ini kepadaku,
atau kalau Suthai berkeberatan aku bersedia membelinya," jawab kepala bajak itu sambil menunjuk ke
arah patung yang berdiri di ruang itu.
Ngo Lian Suthai nampak heran luar biasa. "Patung ini? Untuk apakah kau membutuhkan patung ini,
Congsu?"
"Terus terang saja, Ngo Lian Suthai, patung ini hendak kupergunakan untuk tumbal dan jimat penunggu
perahu sehingga pengaruh jahat akan merasa takut untuk mengganggu kami. Pendeknya, patung ini akan
kami sembah sebagai juru pelindung keselamatan."
Ngo Lian Suthai mengerutkan keningnya. "Salah sekali, Congsu. Patung ini merupakan lambang kejahatan
dan kepalsuan, tidak seharusnya dipuja-puja. Maaf, untuk keperluan itu terpaksa pinni tidak dapat
memberikan patung ini kepadamu."
Berubah air muka kepala bajak itu mendengar ucapan ini, akan tetapi dia masih tetap tersenyum
menyeringai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sebetulnya keinginan memiliki patung ini adalah atas desakan adikku perempuan Sin-jiu Siang-kiam
(Sepasang Pedang Tangan Sakti) yang bernama Oei Hwa. Dialah yang terus merasa khawatir akan mara
bahaya yang dapat menimpa kami, maka mendesak agar supaya aku datang ke sini untuk minta atau
membeli patung ini, Suthai. Harap kau orang tua suka mengalah dan menolong kami."
Ngo Lian Suthai tentu saja sudah mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa, nama seorang gadis
cantik jelita akan tetapi berwatak seperti siluman, yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi, bahkan
jauh lebih tinggi dari Luan-ho Oei-liong, kakaknya. Maka ucapan pemimpin bajak tadi boleh dibilang di
samping hendak memperkenalkan adiknya, juga merupakan ancaman halus.
Akan tetapi pendeta wanita itu sama sekali tidak merasa gentar. Karena hatinya sudah bersih dari
perbuatan menyeleweng, maka rasa takut pun lenyap dari lubuk hatinya.
"Menyesal sekali, Congsu. Patung ini buatan sucouw (kakek guru) yang membuat patung ini dengan
maksud untuk memperingatkan kepada mereka yang menyeleweng dari pada garis-garis kehidupan
manusia sesuai kehendak Thian. Pinni sangat membutuhkan untuk memberi peringatan kepada murid
pinni khususnya dan masyarakat umumnya."
"Ngo Lian Suthai, kalau begitu percuma saja kau berjubah pendeta dan memakai nama sebagai orang
suci!" mendadak Luan-ho Oei-liong berkata marah. Kesabarannya sudah habis.
"Dengan alasan yang mana kau dapat berkata begitu, Congsu?" Ngo Lian Suthai masih bersikap tenang
dan sabar, bibirnya pun tetap tersenyum ramah.
"Kau berpura-pura menjadi orang suci, akan tetapi masih pelit dan kikir. Jangankan untuk menolong orang
lain, memberikan patung yang bahkan akan kubeli saja kau tidak rela! Mana sifat-sifat kesucianmu?"
Ngo Lian Suthai menggeleng-gelengkan kepala dan berkata sungguh-sungguh.
"Congsu, tidak ada manusia yang benar-benar suci, kalau pun ada yang mengaku suci, itu hanya purapura
dan bohong belaka. Pinni sendiri hanya seorang manusia berdosa yang berusaha untuk memperbaiki
diri dan menjauhkan segala macam nafsu keduniaan. Memberi itu sifatnya bermacam-macam, begitu pula
dengan menolong. Pemberian atau pertolongan yang mendatangkan keburukan, apa lagi bisa
mendatangkan kejahatan dan penyelewengan, bukanlah pertolongan atau pemberian lagi namanya.
Patung ini adalah lambang kejahatan, seharusnya dianggap sebagai peringatan, bukan untuk dipuja-puja.
Apa bila pinni memberikan kepadamu untuk kau puja-puja, hal itu berarti bahwa pinni justru telah menolong
kau berbuat sesat. Dan ini adalah dosa besar, Congsu. Kewajiban pinni bukan menolong manusia menjadi
sesat, sebaliknya bahkan mengulur tangan untuk mencegah mereka berbuat keliru dalam hidupnya. Sekali
lagi menyesal sekali, pinni tidak dapat memberikan patung ini."
"Meski dibeli dengan harga mahal?" Luan-ho Oei-liong mendesak sambil bangkit berdiri dari bangkunya.
"Patung ini hanya dapat dibeli dengan budi pekerti yang baik dan kesadaran. Apa bila Congsu sudah sadar
betul dan dapat memperbedakan antara baik dan buruk, mengejar kebajikan dan meninggalkan kejahatan,
barulah patung ini layak kau bawa agar supaya kau selalu ingat betapa buruknya kejahatan dan kepalsuan
seperti digambarkan pada diri patung ini."
Merah sekali wajah kepala bajak yang berkulit muka kuning itu. Dia mencabut goloknya dan membentak,
"Nikouw tua bangka yang sombong dan bosan hidup. Kalau begitu hendak kubeli dengan golokku!"
Setelah berkata demikian, Luan-ho Oei-liong segera menyerang nenek tua itu dengan goloknya,
disabetnya ke arah leher! Memang kepala bajak ini sudah mendengar bahwa nenek itu memiliki
kepandaian silat yang lihai, maka dia mendahului menyerangnya.
"Omitohud, untuk membasmi kejahatan, terpaksa pinni melayanimu, Luan-ho Oei-liong !" kata nikouw tua
itu yang cepat mengangkat tongkatnya menangkis sambaran golok itu.
Ngo Lian Suthai adalah ahli lweekang, akan tetapi ketika ia menangkis sambaran golok, ia merasa
tanggannya gemetar. Ia telah tua sekali dan selama menjadi kepala nikouw di Kwan-im-bio, ia tidak pernah
bertempur lagi dan hanya melatih ilmu silat untuk menjaga kesehatan jasmani saja. Maka tenaganya
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak berkurang, apa lagi tenaga dari bajak laut itu memang besar sekali.
Para nikouw yang berada di situ tak seorang pun berani maju karena mereka maklum bahwa kepandaian
bajak laut itu hebat sekali, jauh melebihi kepandaian mereka yang tak seberapa. Akan tetapi Ngo Lian
Suthai memang patut dipuji. Biar pun sudah amat tua, ia masih gesit dan tongkatnya merupakan benteng
pertahanan yang sukar ditembus.
Kepala bajak itu menjadi penasaran dan gemas. Goloknya segera diputar semakin cepat dan kali ini
serangan dilakukan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Kalau saja pertempuran itu terjadi pada tiga puluh tahun yang lalu, belum tentu Luan-ho Oei-liong dapat
menahan nikouw ini. Akan tetapi sekarang nikouw itu sudah kehabisan tenaga dan hanya dapat bertarung
sampai tiga puluh jurus. Ia mulai lemah dan setiap kali menangkis serangan, tongkatnya terpental ke
belakang.
Akhirnya, kepala bajak laut itu berhasil membacok ke arah pundak kiri, akan tetapi dia membalikkan
goloknya sehingga bagian yang tidak tajam yang memukul pundak. Namun pukulan itu bahkan lebih hebat
akibatnya, karena tidak saja meremukkan tulang pundak nikouw itu, tetapi juga mendatangkan luka di
dalam dada! Ngo Lian Suthai terguling dan pingsan.
"Ha-ha-ha, Ngo Lian Suthai, kau mencari penyakit sendiri, baiknya aku Luan-ho Oei-liong bukanlah orang
yang kejam. Kalau aku menggunakan mata golokku, bukankah tubuhmu sudah putus menjadi dua?"
Sambil berkata demikian, kepala bajak ini menyambar patung perunggu dan dibawanya lari keluar dari bio.
Para nikouw lalu sibuk mengangkat ketua mereka ke dalam kamar untuk dirawat lukanya. Namun luka itu
parah sekali sehingga setelah siuman, Ngo Lian Suthai tak dapat bangun lagi. Dengan suara tenang dan
perlahan, nikouw tua itu menyatakan bahwa nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi.
"Paling lama aku akan dapat bertahan sampai satu bulan," katanya sambil tersenyum. "Hal ini tidak
mengapa, hanya sayang sekali patung itu akan tersenyum dan setan yang menjadi penghuni di dalamnya
akan bersorak kemenangan karena kelak dia dipuja-puja oleh manusia-manusia sesat."
Demikian peristiwa yang diceritakan oleh nikouw tua penyambut tamu kepada Kwan Cu. Pemuda ini
menjadi marah sekali, kemudian dia mendapat perkenan untuk menemui Ngo Lian Suthai di dalam
kamarnya.
Pendeta wanita yang sudah tua itu nampak berbaring di atas dipan sederhana dengan pundak di balut.
Mukanya pucat sekali dan tubuhnya lemah, akan tetapi begitu melihat Kwan Cu, dia tersenyum dan
mengangkat tangan memberi salam.
"Ahh, Lu-taihiap, kau datang? Kau baik-baik saja, bukan?"
Kwan Cu terharu. Ia telah mengenal nenek ini ketika dia melakukan perjalanan melewati dusun ini dan
mampir karena tertarik akan keharuman nama Kwan-im-bio dan nama Ngo Lian Suthai yang amat
dihormati oleh banyak orang. Sekali pandang saja Kwan Cu dapat melihat bahwa nenek itu mengalami
luka hebat di dalam dadanya dan tak dapat ditolong pula, kecuali kalau di situ ada Hang-houw-siauw Yokong
Si Raja Obat.
"Teecu menyesal sekali mendengar mala petaka yang menimpa diri Suthai," kata Kwan Cu.
"Bukan mala petaka, orang muda. Segala sesuatu yang telah ditentukan Thian pasti akan terjadi, kita tidak
mampu menolak atau menawarnya. Kau datang dengan siapa?" tanya nenek itu sambil memandang ke
arah Kui Lan.
Nona itu lalu maju dan berlutut, sedangkan Kwan Cu memperkenalkan, "Nona ini adalah Gouw Kui Lan,
adik angkat teecu. Kedatangan teecu ini pun hendak mohon pertolongan Suthai agar sudi menerima Kui
Lan tinggal untuk sementara waktu di sini, sampai teecu dapat menemukan kakaknya."
"Boleh, boleh, tidak perlu khawatir. Tinggalkan dia di sini, tentu akan kami jaga baik-baik. Akan tetapi, kalau
kau hendak pergi Taihiap, dapatkah kau menolongku mencari Luan-ho Oei-liong di Sungai Luan-ho?"
"Untuk membalaskan sakit hati Suthai terhadap dia? Teecu tentu akan mencari dia dan menghajarnya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
kata Kwan Cu gemas.
"Bukan begitu, Taihiap. Pinni tidak merasa sakit hati pada siapa pun juga. Yang penting adalah patung itu,
hendaknya kau suka merampasnya kembali. Mata biasa tidak dapat melihatnya, akan tetapi pinni tahu
betul bahwa patung itu sudah dijadikan tempat tinggal oleh pengaruh jahat atau boleh juga disebut siluman.
Oleh karena itulah maka pinni tidak menghendaki patung itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, apa lagi
orang-orang yang sesat. Hal ini akan menimbulkan bahaya dan kejahatan akan merajalela. Kalau sudah
terkejar olehmu hancurkan saja patung itu."
"Baiklah, Suthai. Teecu akan pergi mencari Luan-ho Oei-liong untuk memenuhi perintah Suthai."
Nenek itu menarik napas lega. Ada pun Kui Lan lalu maju ke depan dan berkata lembut, "Suthai, dalam
keadaan seperti ini, sangat tidak baik kalau Suthai terlalu banyak bicara. Biarkan teecu merawat dan
menjaga Suthai."
Ngo Lian Suthai tersenyum dan memegang lengan gadis itu, lalu melirik ke arah Kwan Cu.
"Lu-Taihiap, terima kasih kau sudah membawa anak baik ini ke sini. Ternyata dia akan menjadi perawat
yang berhati mulia."
Kwan Cu merasa bahwa dia sudah terlalu lama mengganggu nenek itu, maka dia lalu bermohon diri dan
berpesan kepada Kui Lan agar hati-hati tinggal di tempat itu, menanti sampai dia dapat menemukan Swi
Kiat.
Pemuda itu kemudian meninggalkan Kwan-im-bio dan segera menuju ke utara karena terlebih dahulu,
sebelum mencari Swi Kiat dan Kun Beng, Kwan Cu hendak memenuhi permintaan Ngo Lian Suthai, yakni
mencari kepala bajak dan merampas kembali patung setan itu…..
********************
Setelah melewati kota Ceng-tek dan mendekati laut, sungai Luan-ho menjadi makin lebar dan besar. Ada
bagian-bagian yang merupakan sungai besar sekali sehingga pantainya di seberang nampak amat jauh,
seakan-akan samudera kecil saja.
Di sana-sini kelihatan perahu-perahu nelayan, akan tetapi itu hanyalah perahu-perahu nelayan miskin
tanpa layar. Ada pula yang mempunyai layar, akan tetapi layar yang butut dan penuh tambalan. Mereka ini
boleh berlayar dengan hati tenang.
Akan tetapi tak ada perahu besar para saudagar yang berani melintasi daerah ini, karena nama Luan-ho
Oei-liong sudah sangat terkenal. Kalau pun ada yang melintas, tentulah perahu-perahu saudagar yang
sudah mendapat izin dari kepala bajak laut itu, tentu saja setelah membayar uang ‘pajak’!
Di bagian timur dekat laut, memang terdapat banyak sekali perahu-perahu basar para saudagar dan dari
penghasilan memunggut ‘pajak’ inilah Luan-ho Oei-liong menjadi kaya raya. Siapa tidak mau membayar
pajak, tentu kapalnya akan dirampok habis-habisan.
Semua nelayan memandang kepada Kwan Cu dengan mata kaget dan ketakutan ketika pemuda ini
bertanya di mana dia dapat bertemu dengan bajak air Luan-ho Oei-liong. Mereka mengira bahwa pemuda
ini adalah sahabat bajak itu dan tentu saja juga seorang penjahat. Akan tetapi Kwan Cu tersenyum melihat
salah sangka ini dan berkata,
"Kawan-kawan harap jangan salah lihat. Aku bukan sahabat kepala bajak itu, melainkan seorang yang
mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan dia. Tunjukkan saja di mana tempat tinggalnya agar aku
dapat menjumpainya."
Walau pun merasa amat heran, namun semua nelayan tahu belaka di mana orang dapat bertemu dengan
kepala bajak yang menjadi raja Sungai Luan-ho itu.
"Congsu harap menurutkan aliran air sungai ini dan setelah melalui kota Ceng-tek, di dalam hutan-hutan
pohon pek kiranya Congsu akan dapat bertemu dengannya. Kalau dia tidak berada di darat dalam hutan
itu, tentulah dia berada di perahunya dan sedang berlayar," kata seorang di antara mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu mengucapkan terima kasih dan segera melanjutkan perjalanannya menurutkan aliran air sungai.
Dan benar saja, di dalam hutan yang besar di mana sungai itu mengalir terdapat rumah-rumah para bajak
air yang merupakan sebuah perkampungan kecil. Para bajak menyambut Kwan Cu dengan pandangan
curiga.
"Mengapa kau mencari ketua kami?" tanya seorang di antara mereka.
"Aku datang untuk membayar pajak kepadanya," Kwan Cu menjawab sambil tersenyum. "Karena aku
utusan para saudagar di kota raja yang hendak mengirim barang melalui sungai Luan-ho, tentu saja untuk
hubungan pertama kali ini aku harus bertemu dengan dia sendiri."
Para bajak itu memang sudah dipesan kepalanya bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu para
pembayar pajak yang bahkan harus dilindungi. Karena itu, mendengar bahwa Kwan Cu adalah ‘langganan’
baru, segera mereka memberi keterangan.
"Ketua kami sedang berada di perahunya, di sebelah timur hutan ini. Akan tetapi beliau sibuk dan pada
waktu sekarang kiranya akan marah kalau ada orang mengganggunya."
"Aku tidak mengganggunya, justru mendatangkankan keuntungan baginya. Tak mungkin dia akan marah,"
kata Kwan Cu tersenyum. "Apa bila kalian takut mengantarku, berilah pinjam sebuah sampan dan aku akan
menjumpainya sendiri."
Para bajak itu melihat Kwan Cu hanya seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak membawa senjata,
tidak bercuriga apa-apa, bahkan lalu menggeluarkan sebuah sampan berikut dayungnya untuk dipinjamkan
kepada Kwan Cu. Tentu saja untuk ini Kwan Cu harus lebih dulu mengeluarkan sepotong uang emas
sebagai hadiahnya.
Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Kwan Cu mendayung perahunya dengan tenaga biasa. Akan tetapi
setelah perahunya dibantu oleh aliran air meninggalkan hutan-hutan itu jauh di belakangnya, dia
mendayung cepat sekali dan tak lama kemudian sampailah perahunya di bagian sungai yang airnya
melimpah-limpah dan amat lebarnya, seperti samudera kecil. Dan di tengah-tengah samudera kecil itu dia
melihat perahu-perahu atau kapal-kapal besar dengan layar hitam. Itulah tanda dari perahu bajak sungai!
Jauh di utara, di kaki langit, nampak mega putih menjulang tinggi seperti uap dari kawah berapi. Sinar
senja mendatangkan pemandangan yang sangat indahnya dan air sungai mengalir tenang. Kwan Cu
tertarik dengan sebuah perahu yang paling besar dan dicat paling mewah di antara perahu-perahu yang
nampak layar hitamnya di sana-sini. Ke arah perahu besar inilah dia mendayung biduknya.
Ia mendayung perahunya dari sebelah kanan perahu besar itu dan perahu itu sedemikian besarnya
sehingga dia tidak melihat adanya sampan lain yang datang dari kiri perahu, yang didayung oleh seorang
gadis dengan kecepatan luar biasa pula.
Yang mendebarkan hati Kwan Cu ialah sebuah patung yang besar sekali, dari perunggu, yang berdiri di
atas perahu dengan megahnya. Tidak salah lagi, tentu inilah patung yang dirampas dari kuil Kwan-im-bio!
Dengan gerakan lincah Kwan Cu melompat ke arah perahu besar, tanpa menimbulkan sedikit pun
goncangan pada perahu itu. Hal ini sudah menunjukkan betapa tinggi ginkang yang dimilikinya, sungguh
kepandaian yang hanya dimiliki ahli-ahli silat tinggi di masa itu.
Dengan hati tertarik Kwan Cu mendekati patung itu. Di atas perahu sunyi saja dan ada terdengar suara
perlahan dari percakapan orang yang agaknya berada di dalam bilik di atas perahu itu.
Patung itu memang hebat. Terbuat dari pada perunggu dan ukirannya halus bukan main. Kedua mata dan
tanduknya warna merah dan seakan-akan mata itu mengeluarkan sinar yang ganjil. Mengingat kata-kata
Ngo Lian Suthai bahwa di dalam patung ini tersembunyi pengaruh jahat, Kwan Cu bergidik.
Tiba-tiba perahu bergoncang sedikit. Pada saat Kwan Cu menoleh, dia melihat seorang gadis yang cantik
jelita sudah berdiri di belakangnya. Gadis ini sikapnya gagah sekali, bertubuh langsing padat dan usianya
paling banyak baru delapan belas tahun.
"Hemm, tentu inilah Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa adik dari kepala bajak itu," pikir Kwan Cu saat melihat
gadis itu membawa sepasang pedang yang gagangnya kelihatan tersembul di balik punggungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaiknya, gadis yang baru saja lompat naik dari sampan itu, terkejut melihat Kwan Cu. Akan tetapi dia
segera membentak, "Maling hina dina, kau boleh mampus lebih dulu!"
Kata-kata itu langsung disusul oleh tonjokan tangannya yang kecil mungil, tepat menuju ke arah dada
Kwan Cu.
Pemuda ini cepat-cepat mengelak dan diam-diam ia merasa amat kagum karena pukulan itu
mendatangkan angin pukulan yang antep dan berbahaya. Hemm, lihai sekali, pikirnya. Pukulan tadi
membuktikan adanya tenaga lweekang yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, ketika gadis tadi melihat cara Kwan Cu mengelak, dia jadi tertegun. Elakan itu demikian cepat
dan mudah, sewajarnya seolah-olah orang menghadapi pukulan biasa saja. Tiba-tiba kedua tangannya
bergerak dan tahu-tahu sepasang pedang sudah berada di tangannya. Tanpa banyak cakap lagi gadis itu
segera menyerang Kwan Cu dengan sepasang pedangnya.
Melihat gerakan pedang ini, Kwan Cu menjadi semakin heran. Bukan ilmu pedang biasa saja, pikirnya.
Cepat, kuat dan amat ganas. Gerakan ini mengingatkan dia akan ilmu silat dari tokoh-tokoh besar di
kalangan kang-ouw, tingkatnya tak kalah oleh ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai sendiri! Murid siapakah
wanita ini?
Kwan Cu cepat mengelak dan untuk mengimbangi serangan-serangan gadis itu, dia lalu mengeluarkan
ilmunya yang didapat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Terjadilah keanehan! Im-yang Bu-tek Cin-keng
memang hebat, begitu Kwan Cu memainkan ilmunya ini, semua gerakan-gerakan silat lawannya dapat
ditiru dan dimainkan sama baiknya!
Gadis itu mengeluarkan seruan kaget dan membelalakkan mata dengan amat heran.
"Keparat, mengapa kau meniru-niru gerakan orang?" bentaknya dengan suaranya yang halus, akan tetapi
dia tidak mengendurkan serangan-serangannya.
Kwan Cu yang memperhatikan wajah gadis itu, sesudah kini mendengarkan suaranya untuk kedua kalinya,
menjadi berdebar hatinya. Mungkinkah? Tak salah lagi, inilah wajah Bun Sui Ceng! Dia ingat betul wajah
itu, sama benar dengan wajah yang diimpikan, dan ilmu pedang yang dimainkannya ini memang tepat
kalau diturunkan oleh Kiu-bwe Coa-li, wanita sakti itu!
Ketika gadis itu masih menyerang dan mencoba mendesak Kwan Cu dengan sepasang pedangnya, tibatiba
terdengar bentakan nyaring dari seorang wanita.
"Siapa berani main gila di perahuku? Apakah belum mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa?"
Bentakan ini disusul oleh keluarnya seorang gadis dari pintu bilik.
Gadis itu otomatis menghentikan serangannya dan Kwan Cu menoleh ke arah pintu. Dia melihat seorang
gadis yang bertubuh langsing dan hampir sama dengan tubuh dara yang menyerangnya. Gadis yang baru
muncul ini juga memegang sepasang pedang, namun pedangnya itu berwarna dua macam. Yang kiri putih
dan yang kanan hitam.
Wajahnya cantik sekali, pakaiannya sangat mewah dan bedanya dengan gadis yang tadi menyerang Kwan
Cu adalah sikap yang sangat genit dari gadis yang muncul dari pintu ini. Matanya menggerling tajam penuh
gairah pada Kwan Cu, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah gadis yang
menyerang Kwan Cu, sinar matanya berapi-api dan bibirnya cemberut.
Dari belakang Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa ini muncul seorang laki-laki pula, yaitu seorang laki-laki tinggi
besar yang berkulit muka kuning. Menjadi kebalikan dari sikap Oei Hwa, laki-laki ini memandang kepada
gadis penyerang Kwan Cu tadi dengan mata kagum dan kurang ajar sebaliknya memandang kepada Kwan
Cu dengan marah.
"Kau siapakah, berani lancang naik ke perahu Luan-ho Oei Liong? Apakah kau sudah tidak menyayangi
kepalamu lagi?" tanyanya sambil menudingkan jari telunjuknya kepada Kwan Cu.
Pertanyaan yang diajukan oleh Oei Liong ini membuat gadis yang baru saja menyerang Kwan Cu itu
menjadi kaget. Dia menoleh memandang ke arah Kwan Cu dengan bingung. Ternyata bahwa pemuda ini
dunia-kangouw.blogspot.com
bukannya anggota bajak. Jadi siapakah gerangan pemuda tampan yang kelihatan bodoh akan tetapi telah
berhasil mengelak dari semua serangan pedangnya ini?
Ada pun Oei Hwa yang memandang ke arah gadis itu dengan marah, lalu menyambung pertanyaan
kakaknya sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kepadanya,
"Dan kau ini, bocah lancang, siapa pulakah kau?"
Setelah Oei Hwa muncul, memang Kwan Cu makin yakin di dalam hatinya bahwa gadis yang disangkanya
Sin-Jiu Siang-kiam Oei Hwa itu adalah pendatang dari luar dan kalau dia tidak salah sangka, tentulah gadis
ini Bun Sui Ceng adanya!
"Luan-ho Oei Liong, soal namaku tidak penting. Ada pun kedatanganku ini adalah untuk mengambil
kembali patung ini yang akan kukembalikan ke kuil Kwan-im-bio dan memberi hajaran padamu atas
kekurang ajaran terhadap Ngo Lian Suthai!" kata Kwan Cu sambil tersenyum.
"Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa, ada pun tentang aku, soal namaku juga tidak penting. Dan kedatanganku
sengaja hendak membasmi semua bajak sungai Luan-ho agar kalian tidak mengganggu lagi kepada
mereka yang berlalu lintas di sungai ini!" kata gadis itu sambil melirik ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini pun memandangnya dan keduanya tersenyum, merasa geli dan lucu serta gembira dapat
mempermainkan pemimpin-pemimpin bajak itu.
"Keparat! Kalau begitu biar kuantar kau ke neraka!" Oei Liong mencabut golok besarnya.
Akan tetapi adiknya mencegah, kemudian Oei Hwa melangkah maju dan bertanya,
"Kalau kedatangan kalian ini sama-sama hendak memusuhi kami, kenapa datang-datang kalian bertempur
di atas perahuku?"
Memang Oei Hwa jauh lebih cerdik dari pada kakaknya dan gadis ini hendak menyelidiki lebih dulu
keadaan dua orang penyerang yang tidak mau memperkenalkan nama itu.
Menghadapi pertanyaan ini dan melihat betapa kedua mata yang bening itu memandang kepadanya penuh
perhatian dan agak mesra, Kwan Cu menjadi bingung, lalu menjawab sekenanya saja.
"Kami... kami hendak berlatih dulu sebelum menghadapi kalian."
Gadis yang tadi menyerangnya itu memandangnya dengan sinar mata lucu, kemudian menyambung
sambil mengangguk-angguk.
"Betul, kawan yang baru datang ini hendak mempelajari beberapa petunjuk supaya dapat digunakan
menghadapi kalian kepala-kepala bajak yang sudah tiba masanya mampus!"
Kwan Cu menjadi geli dan gemas. Ternyata gadis itu, kalau benar Sui Ceng, masih sama dengan dulu,
lincah jenaka dan suka mempermainkan orang. Juga agak sombong seperti gurunya, Kiu-bwe Coa-li
sehingga datang-datang berani mengaku bahwa tadi dia sudah memberi petunjuk kepadanya!
Oei Liong tak sabar lagi. Ia membentak keras sambil menyerang Kwan Cu dengan golok besarnya.
Serangan ini hebat sekali datangnya dan mendatangkan angin keras.
Melihat ini, gadis yang tadi menyerang Kwan Cu menjadi khawatir sekali. Setelah kini dia mengerti bahwa
pemuda yang tadi diserangnya bukanlah penjahat, ia ingin menolongnya dari ancaman serangan golok
yang diketahuinya amat lihai itu. Ia hendak melompat dan menangkis serangan golok yang tertuju kepada
Kwan Cu, akan tetapi Oei Hwa sudah mendahuluinya dan menyerang sambil membentak marah,
"Gadis liar, jangan berlagak!"
Terpaksa gadis itu menangkis dan terjadilah pertempuran yang hebat antara dua orang gadis yang sama
cantiknya itu. Sama-sama bersenjata siang-kiam (sepasang pedang) lagi. Setelah bergerak, ternyata
bahwa keduanya juga sama lincah dan gesit, akan tetapi setelah pertandingan berlangsung belasan jurus,
segera kelihatan bahwa ilmu pedang dari Oei Hwa masih kalah jauh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ilmu pedang dari gadis itu benar-benat hebat sekali, ganas dan gerakannya sukar sekali diduga, apa lagi
ditambah pula dengan tenaga lweekang-nya yang mengatasi Oei Hwa. Oleh karena itu, sebentar saja Oei
Hwa terdesak hebat.
Tentu saja Sin-jiu Siang-kiam ini terkejut dan heran sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan
yang begini lihai, padahal sudah ratusan kali dia bertempur menghadapi orang kang-ouw!
Di lain fihak, Luan-ho Oei-liong juga sibuk sekali menghadapi Kwan Cu. Berkali-kali golok besarnya
menyambar, membabat, menusuk serta membacok, akan tetapi pemuda yang bertangan kosong itu
seolah-olah merupakan bayangan iblis, semua serangannya selalu mengenai tempat kosong belaka!
"Setan keparat!" bentaknya berkali-kali sambil memperhebat serangannya.
Akan tetapi sebentar saja, setelah beberapa kali Kwan Cu mempermainkannya dengan menjewer telinga,
menyepak pantat, mencolok perut, Oei Liong menjadi kewalahan dan gentar sekali, mengira bahwa
pemuda ini memang benar-benar iblis sendiri yang datang mengganggunya. Mana ada manusia memiliki
kepandaian sehebat itu sehingga dengan tangan kosong dapat mempermainkannya sedemikian rupa,
padahal tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw tak akan berani main-main terhadap golok besarnya?
Tiba-tiba Oei Hwa bersuit keras sekali, memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Sebelum
Kwan Cu dan gadis lihai itu mengerti apa maksud suitan itu, Oei Hwa dan Oei Liong melompat ke pinggir
perahu terus terjun ke dalam air.
Pada saat itu pula, perahu besar itu bergoyang-goyang ke kanan kiri! Ternyata bahwa Oei Hwa tadi melihat
anak buahnya datang ke perahu besar dengan sampan, maka dia memberi tanda kepada kakaknya untuk
melarikan diri. Kini, dengan bantuan para anak buahnya, mereka berusaha menggulingkan perahu itu!
Akan tetapi tidak mudahlah untuk menggulingkan perahu sebesar itu.
Kwan Cu dan gadis itu terhuyung-huyung di atas perahu dan gadis itu menjadi gelisah sekali.
"Celaka!" serunya.
Akan tetapi, ketika dia memandang kepada Kwan Cu, dia melihat pemuda itu tersenyum saja seenaknya,
seakan-akan digoyang-goyang seperti itu di atas perahu merupakan hal yang menyenangkan baginya.
"Mengapa kau cengar-cengir saja seperti monyet? Berbuatlah sesuatu, Tolol!" Gadis itu membentak
mengkal.
Kemudian gadis itu melihat perahunya di tepi perahu besar, yang tergolek-golek karena gerakan air yang
diakibatkan oleh usaha para bajak laut menggulingkan perahu.
"Hayo lompat ke dalam perahu itu!" ajaknya.
Kwan Cu tersenyum lebar, karena betapa pun galaknya sikap gadis itu, ternyata untuk melarikan diri dan
menyelamatkan diri masih teringat kepadanya sehingga mengajaknya lari bersama.
Gadis itu melompat terlebih dahulu. Akan tetapi segera terdengar jeritnya dan air muncrat tinggi-tinggi.
Ternyata bahwa perahu itu adalah perangkap yang sengaja dipasang oleh Oei Hwa yang amat cerdik.
Karena sukar untuk menggulingkan perahu besar, Oei Hwa sengaja membawa perahu kecil itu, dipasang
sedemikian rupa sehingga dari atas terlihat sebagai jalan satu-satunya untuk melarikan diri, akan tetapi
sebenarnya dia dan kakaknya berada di bawah perahu. Begitu gadis itu meloncat turun, perahu kecil itu
segera digulingkan dan ditarik tenggelam sehingga tentu saja gadis itu terjun ke dalam air!
Melihat ini, Kwan Cu terkejut bukan main. Baginya sendiri, masih banyak jalan untuk bisa membebaskan
diri dari kepungan bajak. Akan tetapi melihat bahaya yang mengancam gadis yang disangkanya Bun Sui
Ceng itu, dia terpaksa melompat pula ke dalam air!
Baiknya Oei Liong tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, sehingga sebelum Oei Hwa turun tangan, terlebih
dulu Oei Liong menangkap gadis itu dan dibawa tenggelam sehingga gadis itu menjadi lelah dan pingsan
karena banyak minum air!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, Oei Hwa juga mempunyai maksud hati yang sama dengan kakaknya. Dia tertarik oleh
ketampanan wajah Kwan Cu, maka bagaikan seekor ikan duyung, nona ini menangkap kedua kaki Kwan
Cu dan menyeretnya ke bawah permukaan air!
Oei Liong memeluk tubuh gadis tawanannya, dibawa berenang ke perahu, demikian pula Oei Hwa.
Pertama-tama, di atas perahu mereka menolong dua orang tawanannya itu.
Tubuh gadis itu dijungkir balikkan sehingga banyak air sungai keluar dari mulutnya. Akan tetapi anehnya,
ketika Oei Hwa membalikkan tubuh Kwan Cu, tidak setetes pun air keluar dari pemuda ini!
Oei Hwa menggaruk-garuk kepalanya, apa lagi ketika dia melihat perut pemuda itu yang tadinya kembung
itu kini telah kempes kembali.
"Hwa-moi (adik Hwa), gadis ini cantik luar biasa, tidak kalah olehmu. Dia pantas menjadi isteriku!" kata Oei
Liong tertawa girang.
Oei Liong cepat mempergunakan tambang pengikat layar untuk membelenggu kaki dan tangan gadis itu,
sedangkan sepasang pedang gadis itu yang diambil oleh anak buahnya dia rampas. Demikian pula Oei
Hwa lalu membelenggu kaki tangan Kwan Cu.
"Hwa-moi, pemuda ini berbahaya sekali. Lebih baik lekas kita binasakan dia!" kata Oei Liong
Adiknya melirik dengan sepasang pipi merah. Dalam pakaian basah kuyup serta rambut yang awutawutan,
warna merah di pipi itu membuat Oei Hwa kelihatan makin cantik.
"Kau memikirkan kepentingan dirimu sendiri saja, Twako. Pemuda ini kulihat seratus kali lebih baik dari
padamu. Apa hanya kau saja yang memikirkan jodoh?"
Oei Liong tertegun, kemudian tertawa tergelak-gelak sambil menudingkan jari telunjuknya kepada muka
adiknya yang menjadi malu.
"Sudahlah, mari kita menghaturkan terima kasih kepada Dewa Air yang telah melindungi kita," kata Oei
Hwa. Keduanya lalu maju dan berlutut di depan patung perunggu itu!
Kemudian, diantarkan oleh anak buah mereka, kakak beradik ini lalu menggotong tubuh Kwan Cu dan
gadis tawanan itu ke pantai dan langsung dibawa ke dalam hutan, sarang mereka. Hati mereka girang
sekali karena mereka menemukan orang-orang muda yang menjadi tawanan itu lihai sekali, akan tetapi
mereka memiliki daya untuk membuat dua orang tawanan mereka itu tak berdaya, yakni dengan jalan
meminumkan obat beracun!
Tiba-tiba, sebelum mereka jauh meninggalkan pantai, salah seorang anak buah mereka menjerit sambil
menudingkan telunjuk ke tengah sungai. Semua orang menengok dan aneh sekali! Perahu besar di mana
patung perunggu itu disimpan perlahan-lahan mulai tenggelam, seakan-akan pada bagian bawahnya
bocor.
"Celaka, lekas cegah dia tenggelam!" teriak Oei Hwa dan Oei Liong.
Semua anak buah bajak segera berperahu dan cepat menuju ke perahu besar itu. Akan tetapi terlambat,
perahu itu telah tenggelam bersama arca yang mengerikan itu!
"Celaka!" Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa membanting-banting kakinya ketika melihat perahu itu tenggelam.
Ia tidak begitu menyayangkan perahunya yang besar dan indah itu tenggelam, terutama sekali yang
membikin ia merasa menyesal adalah tenggelamnya patung perunggu yang berada di atas perahunya.
Tenggelamnya patung itu merupakan tanda bencana bagi dia dan kawan-kawannya!
"Sudahlah, Hwa-moi," Luan-ho Oei Liong menghibur adiknya, "Untuk pengganti patung Dewa Air, aku
sudah mendapatkan nona ini dan kau mendapatkan pemuda ganteng itu, bukankah mereka lebih baik?
Mudah nanti kita mencari patung baru yang lebih baik."
Terhibur juga hati Oei Hwa ketika ia melirik ke arah Kwan Cu yang dipondongnya. Maka ia lalu melanjutkan
dunia-kangouw.blogspot.com
perjalanannya bersama kakaknya dan para bajak sungai, menuju ke hutan yang mereka jadikan sarang.
Malam hari itu bulan bersinar gemilang. Di dusun dalam hutan itu, para bajak air sedang mengadakan
perayaan pesta pernikahan dua orang pemimpin mereka. Pesta diadakan di lapangan yang luas dan dua
orang tawanan itu didudukkan di tengah lapangan dengan kaki tangannya dibelenggu.
Para bajak sungai hendak menyaksikan betapa kedua orang calon pengantin itu hendak diberi obat yang
disebut oleh pemimpin mereka sebagai obat pengantin! Padahal obat itu adalah obat beracun yang akan
membuat Kwan Cu dan nona tawanan itu mabuk dan kehilangan ingatan sehingga keduanya akan
menuruti segala kehendak Oei Liong serta Oei Hwa!
Kwan Cu saling lirik dengan nona di sebelahnya. Diam-diam pemuda ini merasa sangat geli karena nona
ini cemberut dan memandangnya dengan muka marah. Sedikit pun tak kelihatan nona perkasa itu takut,
maka diam-diam Kwan Cu menjadi kagum.
Baginya sendiri, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena kalau dia mau, sesungguhnya hanya dengan
beberapa gerakan saja semua belenggu kaki tangannya akan mudah dia putuskan dan dengan mudah
pula dia akan bisa menolong keselamatan mereka berdua. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini dan
akan menanti dan melihat lebih dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kwan Cu mengganggap semua itu
sebagai lelucon yang menggelikan belaka, bahkan semua yang sedang dihadapinya merupakan hiburan
yang menggirangkan hatinya.
"Dasar kau yang menjadi biang keladi!" Nona di sebelahnya menggerutu kepadanya.
Kwan Cu tersenyum dan memandang dengan mata jenaka. Gadis itu makin marah, akan tetapi juga
terheran-heran. Dia sendiri memang berhati tabah dan keras, sedikit pun tidak sudi memperlihatkan
kelemahan hati dan tidak mau kelihatan takut.
Akan tetapi tersenyum-senyum seperti pemuda itu, dengan pandangan mata demikian jenaka seakan-akan
merasa gembira sekali, tak mungkin dapat dia lakukan! Bagaimana dalam keadaan demikian berbahaya
dan tak berdaya, pemuda itu masih bisa tersenyum-senyum gembira?
"Kau cengar-cengir mau apakah?" bentaknya perlahan-lahan sambil pelototkan matanya. "Sungguh, kalau
bukan kau tolol atau gila, agaknya aku yang sudah berubah ingatanku melihat orang tertawan dan berada
dalam keadaan bahaya masih cengar-cengir seperti badut!"
"Mengapa tidak bergirang hati? Kau dengar sendiri tadi, kau dan aku hendak dikawinkan dengan Oei Liong
dan Oei Hwa. Siapa yang tidak girang?"
Nona itu menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, kau girang hendak menjadi suami Oei Hwa, siluman
wanita itu? Dasar mata keranjang! Huh, muak perutku melihat mukamu!"
Kwan Cu semakin geli hatinya. "Jadi kau tidak suka dikawin oleh Oei Liong, kepala bajak yang gagah dan
bermuka kuning itu?"
"Siapa sudi? Lebih baik aku mati!"
"Aha, sudah tentu kau tidak suka karena kau sudah bertunangan! Bukankah kau adalah tunangannya The
Kun Beng?"
Nona itu membelalakkan matanya dan mukanya berubah. "Bagaimana kau bisa tahu? Siapakah kau?"
"Bun Sui Ceng, lupa lagikah kau kepadaku? Dahulu sudah sering kali kita bertemu."
"Heeee...?! Siapa kau?" Gadis itu yang ternyata memang benar Bun Sui Ceng adanya, bertanya kaget.
"Aku selamanya takkan bisa lupa kepadamu, takkan lupa kepada mendiang ibumu yang berhati mulia. Aku
adalah bocah gundul yang dulu pernah ditolong oleh ibumu."
"Kwan Cu...?!? Kau Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng memandang dengan mata terbelalak dan sinar matanya
mencari-cari, menyelidiki ke seluruh kepala serta muka Kwan Cu, maka tertawalah gadis itu, tertawa geli
sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu mengerutkan kening. Kalau tadi dia mentertawai gadis itu, sekarang dia yang ditertawai.
Apanyakah yang menggelikan? Apakah mukanya bercoreng hitam?
"Ehh, Sui Ceng, kau cekikikan itu ada apakah?" tanyanya mendongkol.
Sui Ceng makin geli, menggigit bibirnya agar mulutnya tidak terbuka dalam ketawanya, karena dia tidak
mungkin dapat menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. Oleh karena gerakan bibir itu, ia nampak
lucu sekali.
"Alangkah lucunya keadaanku," akhirnya dia dapat berkata, "tak kusangka dapat bertemu dengan kau
disini, dalam keadaan begini pula. Hi-hi-hi Kwan Cu, kau masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh
menggelikan hati sekali. Dan kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga engkau kelihatan
gembira benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu."
"Kau keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa, melainkan
bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan melihat keadaan kita ini, aku merasa bahwa
kitalah yang akan saling menikah, kau dengan aku dan aku dengan kau… bukankah ini menggembirakan
sekali?"
Untuk sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh kemudian tiba-tiba mukanya
menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.
"Kwan Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur, aku tentu akan
menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali."
Kwan Cu tersenyum. "Terus terang saja, Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah dengan aku dari pada
dengan siluman muka kuning itu, bukan?"
"Tentu saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih baik sekarang
mencari jalan bagaimana caranya kita dapat lepas dari bencana ini, atau bagaimana nanti sikap kita kalau
mereka memaksa kita."
"Terserah kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan."
"Kalau mereka memaksa, tentu aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu mendapat
kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini."
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Aku pun begitu," katanya.
Hening sesaat dan mereka saling pandang.
"Kwan Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan buruk, seperti anak
cacingan, sekarang..."
"Sekarang bagaimana...?"
"Hemm, harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah,
pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu."
Merah wajah Kwan Cu, merah karena girang. "Ahhh, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan apa-apa kalau
dibandingkan dengan Kun Beng..."
"Kau sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang."
"Aku pun belum. Akan tetapi semenjak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau tentulah Sui Ceng,
kau masih lincah dan jenaka seperti dulu... dan... lebih cantik!"
Sui Ceng menundukkan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan menamatkan
nyawanya, nyawa mereka berdua.
"Sayang sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, hendak menjalankan
dunia-kangouw.blogspot.com
pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya riwayat kita akan tamat sampai di tempat
ini..." Gadis itu menghela napas berulang-ulang.
"Pesanan dari Lu-kongkong? Pesan apakah...?" Kwan Cu bertanya.
"Jadi kau belum sampai ke Goa Tengkorak?"
"Aku memang hendak menuju ke sana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini."
"Hemm, sayang... pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku tidak akan terlepas dari
ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian..."
"Bagaimana bunyi pesan itu?"
"Kau harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri."
Percakapan mereka terhenti karena dengan iringan tambur serta gembreng, diiringkan pula oleh anak buah
bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya dalam pakaian pengantin!
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hushh! kau cekakakan ada apakah? Girang barang kali melihat mempelai datang?" Sui Ceng menegur
Kwan Cu semakin geli. "Lihat, alangkah lucunya mereka itu...! Mereka sudah berpakaian pengantin dan
kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?"
Sui Ceng benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah atau takut.
Dia sendiri semenjak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memutuskan belenggu, namun sia-sia
belaka.
Kwan Cu tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para bajak itu bagaikan
seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus. Memang benar-benar pemuda aneh sekali!
Oei Liong dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang guci
kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan orang!
"Manisku, sebelum engkau memakai pakaian pengantin, terlebih dahulu minumlah arak ini sebagai tanda
pemberian selamat dariku," kata Oei Liong sambil memperlihatkan guci itu.
"Kau juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku," kata Oei Hwa yang mukanya sudah
merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi sudah minum arak sampai mabuk sehingga
tidak mengenal malu lagi.
"Aku tidak sudi!" jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.
"Sayang sekali apa bila harus dipaksa, Manisku. Maafkan, terpaksa aku mempergunakan kekerasan."
Sambil berkata demikian, Oei Liong lalu menggerakkan tangan menotokkan leher Sui Ceng yang tak dapat
mengelak sehingga jalan darahnya terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!
Oei Liong sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika mendadak terdengar
suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa yang berlari-lari itu adalah para bajak yang
menjaga di luar dusun.
"Celaka... ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu
mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diamdiam
Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Kalau sekiranya tidak ada gangguan
itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan
membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.
"Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar dan tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu
dunia-kangouw.blogspot.com
upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali.
Kepala bajak ini telah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa telah mencabut sepasang
pedangnya. Dengan hati marah dan mendongkol keduanya lantas melompat menuju ke arah terjadinya
ribut-ribut tadi.
Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa
yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.
Dari luar dusun, nampak bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah
sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam
bersama perahu ke dasar sungai! Terkena cahaya bulan, patung itu seolah-olah hidup, dua matanya yang
merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan
lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.
Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan
dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis
itu, ia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya.
Gadis ini merasa heran akan tetapi dia tidak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya
karena pada saat itu dia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelak
dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang
tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan
dia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.
Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang sejak kecilnya mengalami
banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada waktu itu duduk melenggong dengan mulut
terbuka dan mata terbelalak lebar memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah
menjadi patung.
Semua bajak sungai, seorang demi seorang lantas mengambil langkah seribu dan berlari tungganglanggang
ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu terus melompat-lompat menghampiri mereka. Kini
tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan
tetapi tangan mereka terasa lumpuh saking besarnya rasa takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.
"Oei Liong dan Oei Hwa, kalian telah berdosa besar!" demikian patung itu mengeluarkan suara. Suaranya
amat besar dan nyaring sehingga Kwan Cu yang tadinya sudah seperti berubah menjadi patung, kini
siuman kembali dari keadaannya.
"Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin. Karena
dosa-dosa itu, kalian harus binasa...!"
Kemudian terdengar patung itu menggereng dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei
Hwa!
Kakak beradik ini merupakan orang-orang berhati kejam dan mereka tidak akan merasa ragu-ragu untuk
menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi
kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan
melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena walau pun dia berkepandaian tinggi,
kedua kakinya menggigil sehingga membuat larinya kaku sekali!
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kwan Cu tertawa geli sesudah melihat semua bajak laut berlari pergi. "Saudara yang
baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"
Sui Ceng tertegun. Gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam
tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara?
Terjadilah hal yang sangat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tibatiba
patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak
karena terbentur batu. Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata
bersembunyi di dalamnya! Manusia ini lalu tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah seorang
pemuda yang tubuhnya tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Matamu sungguh tajam, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?"
tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian dia pun ikut tertawa terpingkalpingkal.
"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai
sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."
Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia
membuka belenggu yang mengikat tangan dan kaki Kwan Cu serta Sui Ceng, kemudian dia bertanya,
"Kau siapakah?"
"Lihat baik-baik, kawan. Sudah lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li,
ibumu?"
Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putera dari Liok-te Mo-li. Setelah
mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang
sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.
"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tak percuma aku bermain gila seperti tadi.
Kalau saja aku tahu bahwa kaulah yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai
mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang
sembunyi?"
"Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan badanmu, akan tetapi pada waktu kau melompat, kau tidak
mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."
Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biar pun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata
melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata
bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Pemuda tinggi besar ini benarbenar
orang aneh sekali, aneh, seperti juga Kwan Cu.
"Ha-ha-ha, saudara Kwan Cu. Apa kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tungganglanggang
sampai dia terkentut-kentut?" sambil berkata demikian, pemuda yang bertubuh besar ini
memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Apa bila bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu
akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tungganglanggang
sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat
terkejut. Tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya,
maka ia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.
"Ehh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"
Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng. "Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar.
Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li."
Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada
Sui Ceng dan berkata,
"Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun Lihiap, siauwte
adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."
Sui Ceng tertawa. Semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, dia merasa kagum dan geli, terutama
sekali melihat betapa setiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah
sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang
matanya memandang rendah. "Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak
sungai itu."
"Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biar pun
kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, jika kau tidak mengejar,
kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya
main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
"Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus
terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau menceritakan bagaimana kau bisa melakukan
permainan tadi?"
Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena dia sendiri pun ingin sekali mendengar
penuturan pemuda tinggi besar itu.
"Aku memang mendapat tugas dari ibuku untuk menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh
Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Semenjak mudanya Ibuku memang menjagoi di
kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke
samudera. Akan tetapi ibu tidak pernah melakukan kejahatan, apa lagi merampok rakyat yang memiliki
mata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh
dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian
dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan mampu menghadapi dua orang saudara yang
ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan
menenggelamkan perahu itu. Kemudian aku lalu menggunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir
mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Sesudah menuturkan pengalamannya, kembali
nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.
Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos,
tanpa sungkan-sungkan dia lantas mencela, "Saudara Kong Hoat, kau... cengeng (mudah menangis)
sekali!"
Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia pun menjawab, "Bukan
salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki
orang Nelayan Cengeng!"
Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu
tertawa-tawa.
Mendadak terdengar suara orang-orang berteriak. Ternyata, sambil berteriak, para bajak sungai itu dengan
dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
"Nah, mereka benar-benar datang. Tentunya mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil
senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk
mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang amat panjang dan berat.
"Apakah kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya.
"Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan
kosong aku sanggup melayani mereka. Apa lagi ikat pinggangku masih ada!"
Gadis ini lalu meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali dia menggerakkan
tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak laksana seekor ular merah yang menyambar-nyambar. Diamdiam
Kwan Cu merasa amat kagum dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari
gadis ini. Dia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk
menghadapi lawan-lawannya. Dia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah
kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap
"Di mana adanya keparat yang sudah menipu kami dan menghina Dewa Sungai?!" Oei Liong berseru
sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
"Aku di sini dan siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan terlihat
Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.
"Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan Oei Hwa.
Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada para anak buah mereka, karena
bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.
"Kwan Cu, kau mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!"
berkata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk
menghadapi kedua orang pemimpin bajak itu dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu dia duduk di bawah
pohon dengan sikap sebagai seorang yang akan menonton pertunjukan bagus. Akan tetapi, secara diamdiam
matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu
ini.
Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak sungai yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu,
sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba
untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Ketika Oei Hwa melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang
bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia
mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
"Calon suamiku, apakah tadi kau tidak mengalami kekagetan? Marilah kita menyingkir lebih dulu
sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar
itu!"
"Cih, perempuan hina dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan segera sinar merah dari sabuknya
meluncur ke arah leher Oei Hwa.
Kepala bajak ini sangat terkejut dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis,
sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti akan terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi
kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui
Ceng.
Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian
lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian kembali menyerang lagi. Terpaksa Oei
Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
"Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon Soso-mu (kakak ipar perempuan)!" kata Oei Liong.
Dia segera maju pula membantu adiknya, tetapi bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan
berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi
ikut pula menyerbu.
Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hiduphidup
gadis perkasa itu. Biar pun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, akan tetapi gadis ini lihai
sekali. Tadinya para bajak mengira bahwa betapa pun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya
memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang dan
ujungnya ‘mencium’ tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu segera memekik ngeri lantas roboh tak
bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe
Coa-li yang selalu mengarah pada jalan darah kematian dari pada lawan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan
menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam
keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei Hwa, sebagian
besar sudah mundur tak teratur!
Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui ‘batunya’. Dayung di tangan nelayan
muda ini sungguh lihai sekali dan kekuatannya laksana seekor gajah mengamuk. Banyak kepala anak
buah bajak yang pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata
yang keras itu.
Para bajak menjadi semakin kocar-kacir. Banyak pula yang tak tahan menghadapi Kong Hoat lalu
mengundurkan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih
bertempur.
"Pergunakan jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada anak buahnya.
Barulah para bajak itu teringat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jalajala
yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, namun untuk menjala manusia, yakni lawan yang
tangguh sekali.
Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa juga mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di
punggung mereka dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui
Ceng.
Gadis ini cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sehelai jala lainnya yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh
Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh
jala, maka semua ilmu silatnya tak akan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia
melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat.
Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk
mengalahkannya.
"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja
duduk di bawah pohon.
"Sebentar aku akan rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu.
Dia cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena di samping ia lebih
menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, kedudukan Sui Ceng
yang lebih berbahaya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa
yang lihai.
Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Dia tidak menyerang siapa
pun juga, hanya menunggu saja dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk
menangkap Sui Ceng, tubuhnya lantas berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu
robek di tengah-tengahnya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Lain jala menyambar pula. Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya,
disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!
Sui Ceng amat kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguh pun dia melihat bahwa semua itu bukan
karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikan pemuda itu. Dia segera meniru perbuatan
Kwan Cu, menyambut setiap jala, lalu disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!
"Kanda, kenapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa
sekali.
"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, mulutnya perlu digampar!" Sui Ceng berkata gemas dengan
suara menghina, dan dia cepat melompat ke arah Oei Hwa, benar-benar mengirim pukulan atau tamparan
pada muka Oei Hwa.
Dalam menampar ini, Sui Ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan Hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga),
dunia-kangouw.blogspot.com
maka biar pun tidak hebat datangnya, namun sukar untuk dielakkan.
"Plakk!"
Sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan,
sementara sudut bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas,
akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.
"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan dia cepat
melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.
Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong Touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian)
dan hebatnya bukan main. Pedang itu meluncur cepat bagaikan kilat, menyambar ke arah dada Sui Ceng.
Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena hal ini benar-benar tidak pernah disangka-sangkanya, dan tahutahu
sudah ada ‘pedang terbang’ menuju ke dadanya. Dia cepat melempar tubuh ke kiri, akan tetapi
tubuhnya masih akan terserempet pedang jika pada saat itu tidak ada sinar berkelebat.
“Tringg…!” pedang yang meluncur tadi tahu-tahu menyeleweng ke pinggir!
Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda. Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera
melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut
lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur
dan robek-robek.
Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang sudah bekerja secara cepat dan diam-diam, mengeluarkan
ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak,
dia sudah tahu bahwa nona ini hendak menggunakan pedangnya untuk menimpuk, maka dia segera
menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng.
Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan
sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei
Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!
Sesudah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menengok ke arah Kong Hoat.
Alangkah kaget hatinya ketika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala. Pemuda ini terus
mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tak ada yang berani mendekat, hanya
menambah jala untuk lebih memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah
dikurung oleh tujuh helai jala.
Dia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta
tanpa dapat keluar dari jala. Akan tetapi mereka yang menangkapnya juga tidak berani turun tangan!
Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jala-jala itu. Para bajak menyerbu, akan
tetapi dengan sangat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu
mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan
menggelilingi jala itu.
Akan tetapi, diam-diam Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang
ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam sudah merobek jala itu di sana sini
sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya
mengangkat, ternyata jala-jala itu sudah robek sehingga dengan mudah saja dia dapat keluar dari situ.
“Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan amarah meluap dan dayungnya lalu
mengamuk hebat sekali.
Kwan Cu kembali duduk di bawah pohon sambil menonton pertempuran. Dia melihat Sui Ceng kini hanya
dikeroyok dua oleh Oei Hwa serta Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri,
tak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu.
Ada pun Kong Hoat kini juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang
bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat segera berlari-lari sambil menyeret dayungnya,
langsung membantu Sui Ceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang pertempuran terpecah dua. Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk
dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini. Kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya
Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar ada pun Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih
cepat gerakkannya.
Ada pun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat
kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Oei Hwa. Kini, sesudah tidak
dikeroyok lagi, Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya sedemikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi
pening dan tidak lama kemudian dia menjerit keras, lalu terhuyung-huyung dan roboh telentang tak
bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!
Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok
Oei Liong sedang menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat. Akan tetapi alangkah
kaget hati Oei Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan pada waktu dia
menengok, ternyata bahwa goloknya itu sudah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala
bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.
Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali
kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.
"Saudara Kong Hoat, kenapa kau membunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan
suara tidak puas karena menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.
"Bun-lihiap, kejahatan bagaikan pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Apa bila
kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.
Kata-kata ini segera terbukti. Para anak buah bajak yang melihat kedua orang pemimpin mereka tewas,
sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di
dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.
"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."
Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar adanya, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,
"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus
melayani mereka itu."
Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia
berkata,
"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni
jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami tak akan melarang kalau
kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para
hartawan. Akan tetapi, kalian jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang
pemimpinmu yang telah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih
mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!"
Sesudah berkata demikian, Kong Hoat lalu menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar
suara keras, kemudian pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.
Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk, menyatakan taat akan pesanan ini.
"Ketahuilah bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, ada pun aku sendiri
meski pun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"
Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling
memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti
itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali di dalam air dan
ganasnya terhadap penjahat luar biasa.
"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubahlah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat. Kemudian
tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.
Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat kemudian menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan
sejujurnya,
"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa
tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mendapat keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi.
Selamat tinggal." Sesudah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.
Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa.
"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng.
Aku tunduk betul akan kepandaianmu."
"Akan tetapi kau jauh lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika dikurung oleh
jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan
akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Ehh, kata guruku, kau mungkin
sudah mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"
Merah wajah Kwan Cu. Tadi ia telah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini ia hanya
menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng tibatiba
dia berkata,
"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tak mau mengambilnya dulu? Bukankah
tadi dirampas oleh Oei Liong?"
Benar saja. Sui Ceng lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya dia
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang
Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" Kwan Cu bertanya dengan suara girang karena dia
telah berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.
"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."
Kini Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, maka dia lalu berkata cepat.
"Ahh, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kongkong Lu Pin."
Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakan tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir
itu. Memang, biar pun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, tapi Kwan Cu
mengira bahwa kongkong-nya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.
Kwan Cu nampak kecewa sekali. "Benar kata-katamu, Sui Ceng. Kau... kau tentu tidak sudi melakukan
perjalanan bersamaku."
Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, kita memang tidak memiliki keperluan untuk
melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat
memenuhi pesanan kongkong-mu itu lebih dahulu."
“Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan
menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."
"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali," Kwan Cu berkata tanpa memutar tubuh, bahkan
memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi.
Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng membalikkan tubuhnya sambil berseru,
"Kwan..." Sui Ceng terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum
pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.
"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatu yang harus kita bicarakan agaknya?"
"Aku lupa untuk bertanya mengenai sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini,
wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang
bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling...
saling menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"
Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan sangat berpengaruh itu. Perlahan-lahan
kedua pipinya merah sekali.
Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai
seorang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan
semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng!
Terdorong oleh kejujurannya, lagi pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia
lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.
"Kenapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku... aku cinta kepadamu!"
Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini terus
terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi dia lalu
teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.
"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"
"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.
"Dan kau masih berani menyatakan cin... cinta... padaku?"
"Mengapa tidak?"
"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku
mengkhianati hati sendiri? Lagi pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk
menjadi suamimu!"
Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya dengan bibir
tersenyum mengejek, "Hmm, dan kau pikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi...
menjadi suamiku?"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."
Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau sungguh kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut!
Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"
"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."
"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."
“Kau ingin sekali membunuhku?"
"Ya, jika kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah budi memburukkan nama orang lain di
dunia-kangouw.blogspot.com
depanku."
"Dengan ang-kin-mu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak
lakukan hal itu?"
Sui Ceng tertegun. "Selain sombong... kau… kau…"
“Ya...?"
"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, dan agaknya kau sudah miring otakmu." Setelah berkata
demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.
Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.
"Benar-benarkah otakku telah miring? Kenapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ahh... janganjangan
otakku sudah miring benar-benar... "
Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ. Ia langsung menuju bukit di
mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kongkong-nya, yaitu Menteri Lu Pin…..
********************
Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.
"Kongkong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!” Terdengar
orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa
yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu.
Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang sudah berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kongkong
angkatnya telah meninggal dunia. Pada waktu memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri
Lu Pin telah meninggal dunia, tetapi sesudah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang
Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, ia melihat makam kongkong-nya itu dan menangislah dia.
Hatinya amat terharu.
Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Keduanya adalah
orang-orang yang sangat dijunjung tinggi dan dikasihi oleh Kwan Cu. Sekarang keduanya tewas karena
membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban
membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.
Kwan Cu kemudian meninggalkan goa itu sesudah menutupi goa itu dengan batu-batuan dan alang-alang
seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan tiba-tiba saja dia
merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban.
Pertama-tama, ia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yaitu Hek-i Hui-mo,
Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin beserta para pembantu mereka. Ke dua, dia akan
mencari keluarga An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kongkong-nya,
Menteri Lu Pin. Dan urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi
permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.
Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia
teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar sudah
menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya.
Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah
ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat
kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun
Beng telah melakukan hal yang sangat rendah terhadap Gouw Kui Lan?
Tidak boleh! Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya
perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.
Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betuldunia-
kangouw.blogspot.com
betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan semua musuh yang lain. Dia teringat
kepada Lu Thong, cucu kongkong-nya yang berhati khianat itu.
Dia akan mempergunakan kekerasan dan memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini,
juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan juga.
Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja serta berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong,
tembok kota raja lalu dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tidak
mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang jumlahnya amat banyak dan
selalu melakukan penjagaan secara bergilir.
Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi.
Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok,
mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapa pun
juga.
Ternyata bahwa di dalam kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan
merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan sudah berhasil membunuh putera An
Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng juga berhasil menduduki tempat
tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan para jagoannya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin,
tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.
Meski diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu
adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia
mengumpulkan kawan-kawannya dan mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan ‘Yang Dipertuan’
di Kerajaan Tang yang sudah dirampas itu.
Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di
mana tinggal An Kong, pangeran botak putera An Lu Kui yang dahulu pernah diserbunya ketika dia
menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan, maka patut
dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas jika menerima hukuman mati,
karena selama hidupnya hanya mengotorkan dunia serta melakukan kejahatan dan kekejian belaka.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruangan tengah ia melihat
An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang telah dikenalnya sebagai panglimapanglima
pembantu An Lu Kui yang dulu sudah pernah dia kalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang
berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang mempunyai kepandaian tinggi, akan
tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa.
Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia
akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat akan keluarga Lu yang terbinasa karena
kekejaman keluarga An.
"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah.
Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng.
Kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.
An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan
kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas
Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.
"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan
dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.
Tapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. Dia datang dengan
maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara siasia.
Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja ia telah melihat
dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin-keng, tingkat kepandaian pemuda ini memang tak bisa diukur lagi tingginya. Ia sudah mengetahui
semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat. Maka, menghadapi serangan dari An-kong ini, dia
telah tahu bagaimana untuk melayaninya.
Dengan tangan kirinya, dia mempergunakan gerak tipu Kong-ciak Siu-po (Burung Merak Sambut Mustika),
yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam
sekejap mata, sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan
kiri Kwan Cu.
Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja. Dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai,
tangan kanannya lantas bergerak melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang
memukul dari kanannya.
“Krakk!"
Terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong, lalu disusul oleh menjeritnya pangeran botak
itu yang terlempar ke belakang kemudian jatuh sambil mengerang-erang kesakitan.
"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apa di antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan
tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia
terheran-heran dan sangat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang
tajam berpengaruh.
"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati."
Setelah berkata demikian, dari tempat ia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak
itu. Biar pun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An
Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in Hoat-sut
yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!
Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tidak mampu berkata-kata.
Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera
menyerbu dengan senjata di tangan.
Kwan Cu tentu saja tidak gentar, akan tetapi dia pun tak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut
paut dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak, dua orang perwira itu sudah roboh tertotok. Mereka
sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, lagi pula karena dia mempunyai gerakan cepat
sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok
mereka dengan kedua tangannya.
Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok. Dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu
dibebaskannya dari totokan.
"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui?" bentaknya sesudah orang itu terbebas dari totokan.
Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah memiliki banyak pengalaman
bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Akan tetapi dalam
tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.
"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri," jawabnya perlahan.
"Di manakah itu? Hayo kau antar aku!"
Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka,
lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang
Kwan, mereka kemudian tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunanbangunan
istana.
"Kau panggil An Lu Kui naik, lekas jika minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak,
suaranya parau memecah kesunyian malam.
"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.
Hening sesaat, kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.
"Eh, eh, ehh, bukankah yang di atas itu Cang-ciangkun? Kenapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui,
dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.
Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri kemudian melompat menyusul. Karena
tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului sampai di tanah dan
dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan
tetapi tendangan ini pun cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.
Ada pun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut
sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu
membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!
"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang sudah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu.
Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan
tenaga Pek-in Hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.
Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat
orang kakek. Tiga orang di antara mereka adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang.
Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang
lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang dulu
pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi ialah seorang
hwesio berkepala gundul dan bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula
tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.
"Eh, ehh, ehh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" Kiam Ki Sianjin berseru kaget. "Anak muda, bukankah
engkau adalah murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana?”
Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Sekarang engkau dan kawan-kawanmu
datang apakah hendak menangkap aku?"
Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum sekali melihat sikap pemuda yang amat
tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.
"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini.
Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."
Sebetulnya Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin,
perutnya sudah menjadi panas. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sinkai.
Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu.
Maka, seketika itu juga dia memiliki niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh
karena itu, tanpa banyak kata lagi dia lalu mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan
yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.
Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu
mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin
dengan penuh kebencian.
"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?” Kiam Ki
Sianjin bertanya setelah mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.
"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena
aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan para kaki tangannya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, oleh karenanya kami
juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, tapi sayang sekali masih ada seorang
lagi yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."
"Siapakah dia?" Kwan Cu mendesak sebab dia memang amat tertarik mendengar bahwa masih ada
keturunan An Lu Shan yang masih hidup.
“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."
"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.
"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai
habis!" kata Kiam Ki Sianjin yang merasa dirinya amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu
secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja
baru yang menjadi majikannya!
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat
tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena ia maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu
akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk
membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini berjumpa
dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa
diri amat pandai.
Akan tetapi, alangkah kagetnya pada waktu dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.
"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu yang tidak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih
harum dari pada kentut busuk! Orang semacam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau
sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tidak malukah kau sebagai seorang Han?
Hah, benar-benar memualkan perutku! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja
kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan bila aku telah
menyelesaikan tugas-tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan
memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"
Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya. Bukan karena takut terhadap
ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.
"Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan
kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"
Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi
kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"
Dia melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin,
mengakulah! Apakah dahulu kau ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami
kebinasaan?"
"Pinto… (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup.
Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah merasa
gentar sekali.
“Hemm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau mesti
mampus! Kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"
"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau
merupakan tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau
ini hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha-ha-ha, kau seperti katak dalam
sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Ada pun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,
“Anak muda, biar pun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau
mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.
"Nanti dulu, Pek-eng Toyu. Pinto yang menjadi tuan rumah, jadi pinto pula yang berhak memberi hajaran
kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah.
Dia lalu melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau
berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau
kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi
ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh
kami pula."
Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia
sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada
muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin
lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku
dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu
perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan
kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang ingin kau
nyanyikan!"
Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya,
dia pun tak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu
di ruang pertemuan istana. Karena itu kini dia berlaku cerdik dan hendak mencegah Kwan Cu
mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan
berkata,
"Kita memang tidak mempunyai alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian
menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!"
Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah
mempelajari dengan baik cara menggunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk
menjaga serangan tiba-tiba ketika dia tidak bersiap dengan senjata tajam. Dia telah melatih diri dan
menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak
mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas
kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan
itu. Dia sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu
akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam pokok dasar ilmu
silat yang dia pelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah
meja pada kakinya pula dan berkata,
"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"
Pemuda ini lalu menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega
untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"
"Jangan banyak mengobrol, lihat senjata!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai
dengan serangan yang amat ganas dan hebat.
Kwan Cu terkejut. Tidak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat
melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam
yang lain.
Ia cepat melompat untuk menghindarkan diri, tak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki
Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki
Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja itu sehingga sulit pula bagi Kwan Cu untuk melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
pergerakan pundak dan paha lawannya!
Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan
bisa melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan
pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu
merupakan perisai dan bisa digunakan untuk mengatur siasat serangannya!
Selama belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari.
Pukulan-pukulan dengan meja itu sungguh-sungguh hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh
tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain
telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi, kiranya
tidak akan kalah tinggi oleh tingkat dari kelima tokoh besar, sungguh pun namanya tidak begitu terkenal
seperti nama mereka. Oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya terasa sakit dan
penasaran bukan main. Dia prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka
semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu
semedhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekang-nya.
Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan
tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya
yang dulu.
Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai.
Bagaimana seorang dapat menggunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tidak
salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah
tangga ini.
Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Dia segera mengerahkan ginkang-nya dan tiba-tiba tubuhnya
bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin,
Kwan Cu segera mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!
Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat
macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul
setelah dia membaca habis isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia
mendapat sejurus ilmu silat meja itu.
Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga mulai kewalahan. Mejanya
tidak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak
sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di
tengah udara.
"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.
"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu.
Dengan cepat dia menggerakkan dua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu
dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Ada pun meja yang dipegang oleh tangan
kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.
"Bagus sekali!" tak terasa lagi Kiam Ki Sianjin memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudahnya
pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak
membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi dielakkan saja oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget
dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu memainkan silat
meja yang tadi dimainkannya!
Ilmu silat meja itu merupakan ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini mampu meniru sedemikian
baiknya? Apakah di waktu dia berlatih di dalam kamarnya, pemuda ini secara diam-diam mengintainya?
Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, walau pun keduanya
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kali pun juga dua meja itu bertemu. Hal ini
disengaja oleh Kwan Cu yang hendak menggunakan ginkang-nya untuk dapat meneliti dan mempelajari
ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras.
Dua meja bertumbukan di udara.
"Krakkk!"
Meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa dua kaki meja yang dipegang oleh
kakek ini sudah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan
Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga ‘senjata’ itu
masih berada di tangannya.
Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. Dia tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat
cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu sudah menggunakan tangan kiri memukul meja dan berkat
tenaga lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh
lawannya.
Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih merasa penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena
sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk
mengambilnya kembali. Terpaksa dia kemudian tersenyum pahit dan berkata,
"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta
pengajaran darimu."
Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan juga tidak mau
mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan
berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan
bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan
dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas."
Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar
dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"
Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Dia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak mampu
merobohkan pemuda ini, apa lagi dia. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berkata kepada Kwan Cu,
"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku
ngawur saja bila menantang pinto. Ketahuilah bahwa sebetulnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun
juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada Kiam Ki
Sianjin atau kepada siapa pun juga."
Kwan Cu merasa ragu-ragu. Tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar
tidak berdosa.
"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"
"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar. Akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana
pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin.
Sebetulnya, tosu ini walau pun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut
membunuh Ang-bin Sin-kai. Namun sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan,
maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.
"Betapa pun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja
kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil
memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.
Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini katakatanya
tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak
mempunyai pilihan yang baik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia
akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, kelak
masih ada waktu untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu
berkata,
"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik
pinto."
Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang telah dia ketahui
kualitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biar pun dia tidak mendapat kesempatan
menghajar jasmaninya, setidaknya dia sudah memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau tadi mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah,
karena aku dapat menduga bahwa kau juga tidak akan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku
dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.
Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora kemarahannya. Ia merasa telah dipermainkan dan
dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dia berkata dengan mata bernyala-nyala,
"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu ini, aku hendak menantangmu untuk mengadu kepandaian
denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi
tantanganku?"
Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan
kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya.
Kau tunggu sajalah!"
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak
menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak
membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.
Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu,
segera mengebutkan lengan bajunya kemudian menghadapinya sambil tersenyum.
"Perlahan dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda mempunyai kepandaian tinggi dan watak yang
sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si
pengemis itu?"
Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, bibirnya
selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat dari pada kain mahal dan amat mewah.
Sinar matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya apa
bila pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak berbicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh,
akan tetapi dia menunda kepergiannya.
Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata,
"Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai seorang tamu, telah semestinya pinceng
minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Telah lama pinceng mendengar
tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia sudah keburu
meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali
menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."
Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan
merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini,
karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia banyak mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu
memandang kepada Kwan Cu dan berkata,
"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu
menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apa kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi
dunia-kangouw.blogspot.com
hwesio itu, tentu saja Kwan Cu akan menyatakan tidak sudi, sebab pemuda ini memang tidak ingin
bertempur dengan orang-orang yang tak ada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah
Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali
menerima!
"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih
akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan menatap tajam kepada Bian Ti Hosiang.
Hwesio ini mencabut pedangnya sambil berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar girang dapat
mencoba ilmu kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kau
sembunyikan di balik jubahmu itu."
Kwan Cu sangat terkejut. Dia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya,
Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk
mempergunakan pedang itu hanya pada waktu menghadapi musuh-musuh besarnya.
Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam
karena kepandaian mereka masih terlampau rendah baginya. Bila kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo,
Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.
Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu
menandakan bahwa mata hwesio ini amat tajam. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang
dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini sedang berhadapan dengan tokoh ke dua dari Butong-
pai. Karena itu dia cepat menjura sambil tertawa.
“Ahh, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Hosiang Locianpwe dari Butong-
pai. Kiam-hoat (ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani
mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apa lagi antara boanpwe dan Locianpwe tidak
terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini."
Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas
oleh bajak sungai.
Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai
membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda sekali dengan kata-kata yang ditujukan
kepada Pek-eng Sianjin tadi.
Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tongpai
yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini akan dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya
memegang sebatang suling bambu! Dia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin segera tersenyum berkata,
"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat
putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"
Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Apa bila dia bergerak cepat,
dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan
akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekang-nya,
"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan
sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah
gerak tipu Tian-kiam Kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Butong
Kiam-hoat yang lihai.
Namun siasat ini tidak mempan sama sekali terhadap Kwan Cu karena pemuda ini sudah tahu akan
maksud lawannya, sungguh pun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti
Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama,
yakni mempergunakan Tian-kiam Kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.
Pemuda yang bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya ditusukkan ke
dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dahulu digerakkan
dunia-kangouw.blogspot.com
menyamping membabat pedang!
Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang hendak
membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.
Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau
mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Akan tetapi dalam pertemuan senjata ini, Kwan
Cu sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari
Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya,
kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekang-nya. Karena itu dia menjadi
lebih tabah menghadapi pedang lawan.
Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu memiliki gerak tipu yang sama
atau hampir sama dengan Tian-kiam Kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau
mempelajari gerakan ini. Maka dia kemudian memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu
dari ilmu pedang Hoa-khai Tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).
Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang
murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat)
ketika dia memainkan Hoa-khai Tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat
bergulung-gulung yang mengitari tubuh Kwan Cu.
Untuk sejenak Kwan Cu melengak. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benarbenar
hebat bukan main. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkang-nya, bergerak memutar menurut
gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apa bila
terlalu mendekati tubuhnya.
Juga dengan gerakan Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan
telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti
Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya
ilmu pedang yang amat indah itu.
Setelah menghadapi belasan jurus serangan, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal
‘jiwa’ atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah
berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan
gambar-gambar di dinding goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga.
Dengan girang dia lalu memuji, "Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"
Biar pun mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu
pedang yang sama persis seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu!
Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurusjurus
ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia menggunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh
kakek ini.
Muka Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Dia segera mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda
itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna
dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!
"Ehhh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" tanyanya tanpa menghentikan
serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah
Kayu.
Kwan Cu cepat mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,
"Gerakan ilmu pedang tidak hanya dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapa pun boleh saja
menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"
Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan sekarang sulingnya diputar
cepat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin Sin-kai?"
Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena
tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua
penjuru.
"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu.
Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dahulu pernah dia pelajari dari
Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia mempunyai kepandaian asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu
pedang itu berubah luar biasa sekali.
Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu
akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri tidak akan sanggup memainkan ilmu pedang itu seperti
yang dilakukan oleh Kwan Cu.
Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapa pun sulit dan
hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti
apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya,
maka semakin kacaulah ilmu silat itu.
Sebaliknya, biar pun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang memainkan itu telah mempunyai
kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan
berubah menjadi ilmu silat yang hebat bukan main. Apa lagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang
sembarangan, namun diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal
namanya.
Setelah Kwan Cu membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk ‘memperkenalkan’
kelihaian Ang-bin Sin-kai, dia lalu mempergunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu
sehingga mendadak hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi,
akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!
Dengan lweekang-nya yang tinggi, dia segera dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah
mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan untuk
bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas
"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng sangat kagum dan takluk. Lebih
hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, Lu-sicu," katanya
sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Cianpwe terlalu memuji. Apa bila tadi Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boanpwe sanggup
menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang
demikian merendah, jujur serta baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.
Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di
depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin,
melainkan terus saja menantang Kwan Cu.
"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa
belas jurus.”
Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang ahli
lweekang yang sekaligus telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki
Sianjin dan bertanya,
"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" dia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena
terhadap sikap yang kasar dan memandang rendah, Kwan Cu juga siap mengimbanginya.
"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."
Kwan Cu terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai.
"Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bijaksana dan patut menjadi locianpwe, tak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong
Siansu?"
Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi dongkol sekali. Dia pun
lalu membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suheng-ku. Aku lihat tadi kepandaianmu mengandalkan
ginkang yang tinggi, karena itu marilah kita bermain-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji
apakah kau mampu menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."
"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!” Kwan Cu
menantang. Cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah
merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.
Bin Hong Siansu bertubuh kurus tinggi dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia
segera memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh
dan tangan kanan dikepal, ditaruh di sisi pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu
Silat Rajawali Hitam).
Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini, akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lantas meniru
pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!
Ketika melihat sikap pemuda ini, Bin Hong Siansu menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya
itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang
menghadapi dengan kuda-kuda biasa, betapa pun tangguhnya, akan dapat dia serang secara hebat dan
jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru
pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.
"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras.
Tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala
Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan
tangan kananlah yang menjadi serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu
hati Kwan Cu dan siap dibuka untuk mencengkeram apa bila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!
Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa
kepandaian tosu ini cukup tinggi, oleh karena itu dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak
disambutnya, melainkan dielakkannya saja sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi,
bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat
dan cepat!
Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, akan tetapi dia tidak gentar. Dia
mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah
dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke
samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan.
Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kali pun serangan tosu itu bisa mengenai tubuh
Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apa bila melihat mereka berdua, tentu
mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani
serangan.
Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena di dalam gerakangerakan
ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi dari pada ginkang Bin Hong
Siansu. Meski pun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, akan tetapi tosu itu yang
meloncat ke depan ternyata tidak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang
aneh dan luar biasa.
Bin Hong Siansu memiliki julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukan ini saja sudah
dapat diduga bahwa ginkang-nya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu, Dewa Tanpa
Bayangan ternyata kalah gesit!
"Bocah siluman, kau pengecut!" mendadak Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak
mengejar lagi. "Bila kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri terus!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan
menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"
Pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu. Kini dia tidak mau meniru-niru lagi, melainkan cepat
menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut!
Melihat pukulan tangan kanan Kwan Cu yang datangnya sangat lambat dan merupakan ilmu pukulan biasa
saja, Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat
Pek-in Hoat-sut, bahkan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau belum pernah melihat ilmu
silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasakan kelihaian ilmu pukulan itu.
Melihat datangnya pukulan yang lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan
menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah pada urat nadi di
pergelangan tangan lawan.
"Brettt…!"
Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur. Robekan kain beterbangan ke sana sini
ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.
Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum lagi menyentuh tangan pemuda itu,
bagaimana bisa hancur dan robek-robek?
"Ilmu siluman…!" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.
Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi amat marah melihat kesombongan dan mendengar hinaan tosu itu. Ia
mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak Sin-na. Tangan
kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, ada pun tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin
Hong Siansu.
Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,
"Aduuuhhh… kurang ajar kau...!"
Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang sudah terjadi? Ternyata bahwa
tangan kiri pemuda itu sudah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu
Bin Hong Siansu!
Biar pun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, akan tetapi tosu itu adalah seorang yang bisa
melihat keadaan. Jika tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya bukan mencabut jenggot, melainkan
melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya
yang menjadi pucat, dia berkata,
"Kau sudah menghinaku, lain kali Kim-san-pai pasti akan mencarimu!" Sesudah berkata demikian, tosu itu
menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,
“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas
sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai
jumpa kembali di puncak Tai-hang-san."
Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat
keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.
Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng
juga masih punya urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di
Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan."
Hwesio ini lantas berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng sudah mendapat
pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Kemudian ia pun melompat keluar sambil
menggerakkan lengan bajunya.
Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, hati Kwan Cu menjadi tertarik. "Kiam Ki Sianjin, ada
dunia-kangouw.blogspot.com
apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?"
Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, tetapi kemudian dia tersenyum dan berkata,
"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."
“Musyawarah tentang apa?"
"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu
pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Huimo
dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau dengan mudah akan dapat menjumpai mereka."
Berdebar hati Kwan Cu. Dia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki
kebenaran omongan itu.
"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan
An Lu Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."
Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau juga sudah berjasa untukku."
Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu segera melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia
mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan
An Kong…..
********************
Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja dari pada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini
tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagai mana sudah dipesankan oleh
Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati.
Setelah dia kehilangan pedangnya, gadis ini ingin mencari senjata lebih dulu, akan tetapi bukan sembarang
pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam dia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota
raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia
belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.
Hatinya sangat kesal dan pada hari ke lima itu, dia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan
masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang senang mengobrol
mengenai keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.
Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan sudah tewas dan kini yang menjadi
orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng
dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjatasenjata
pusaka dari Kerajaan Tang.
Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri
sebilah pedang dari gudang senjata. Biar pun pedang ini bukan pusaka yang ampuh, akan tetapi
merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat dari pada logam putih seperti perak.
Dengan amat girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai besi
pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Dia bukanlah seorang bodoh dan tidak nanti dia mau
menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka.
Setelah dimasukkan dalam sarung pedang baru, dia pun berani menggantungkan pedang itu di
pinggangnya.
Pada keesokan harinya, kembali dia mendatangi rumah makan itu untuk mendengarkan berita. Benar saja,
pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada
pedang yang tercuri.
Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang
gadis pendekar yang sikapnya halus serta sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Lagi pula,
tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan
pintunya tak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik-bisik. "Dan kabarnya, senjatasenjata
itu kemudian terlihat digunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"
Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biar pun
bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!
Tiba-tiba terdengar suara orang di pintu luar.
"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"
Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang baru datang itu bukanlah tamu
kaya atau pun seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis.
Celananya dipenuhi tambal-tambalan, bajunya sudah butut sekali, rambutnya dipotong pendek sehingga
berdiri bagaikan rambut landak, begitu pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarumjarum.
Apa bila pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang
paling enak, adalah Sui Ceng yang lalu tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah
aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali.
Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan
dagunya. Melihat cambang seperti itu dia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi kedua mata
pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.
Pelayan tua itu, tepat seperti dugaan Sui Ceng, merupakan seorang yang simpati kepada perjuangan
rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan
hormat dia menjura.
"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untuk Sicu. Perlukah
aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya...”
"Tak peduli berapa harganya, keluarkan saja. Ini cukup untuk membayarnya?" Pemuda itu lalu merogoh
sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya hampir sama dengan tiga jari tangan.
Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri-seri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang
kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan
tetapi melihat uang emas ini, lenyaplah kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,
"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum hanya
memancing datangnya pencopet dan perampok."
Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan
perampok kecil, siapakah yang takut? Nona itu biar pun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apa lagi
aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.
Sui Ceng mengerutkan kening. Tadinya dia mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena
pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh
ini.
Tidak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu
segera makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk pada meja
yang jauh dari tempat itu.
Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,
"Tunggulah saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu
akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, pasti aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak
dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu
dimasukkan ke dalam mulut.
Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat
hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?
Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran, gadis itu
pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja
melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang
berada di pinggir jalan.
Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para
pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri, lalu
mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya dan melemparkan uang itu kepada mereka. Para
pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.
"Hmm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum
dia melakukan apa-apa. Benarkah dia tadi mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini," pikir
Sui Ceng.
Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Dia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan,
akan tetapi karena ia amat tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki
istana. Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu
Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena
siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja. Cepat-cepat dia bersembunyi
ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagahnya ke arah kota raja,
lalu langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan
teh hangat.
Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan
minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat
menggemparkan dari pelayan tua.
"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya sudah dibunuh orang!"
Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita bisa celaka."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia
tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.
"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha-ha-ha-ha, kalau daging mereka itu dimasak, biar pun semangkok
harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha-ha-ha!"
Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi
gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah rumah yang tidak berjauhan dari restoran itu.
Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, cepat dia mengikutinya dari jauh.
Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah sampai di depan sebuah rumah gedung yang
sangat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka
berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!
Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.
"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi
sebelum kami menyeretmu keluar!"
Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"
Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga
tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, hanya
mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah melayang
naik ke atas genteng. Dia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa
kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang
pelayan yang tinggi besar itu!
"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"
Tidak lama kemudian Sui Ceng melihat ada dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan berbeda.
Yang pertama adalah seorang pemuda gagah dan tampan yang datang dari sebelah kiri rumah.
Kedatangannya amat mencurigakan sebab pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di
pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya
besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan
yang jalan terpincang-pincang.
Pada saat itu terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan
sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan, kemudian dengan tindakan lebar dia
langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.
Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihailihai
dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah
sangat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang
melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang
amat tinggi itu.
"Hemm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?!" bentak pemuda yang bertubuh gagah.
Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah. Mereka saling pandang
seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.
"Ha-ha-ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing,
ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat
penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"
Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa
sambil mendekap mulutnya.
"Ha-ha, tepat sekali makian itu...," katanya perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh
pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi
oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan, mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda
tampan itu.
"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan
hidup agaknya!"
"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib
keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi sebagai keturunan terakhir bukannya kau bersakit hati terhadap
penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda
pengemis itu yang bernama Han Le.
"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu.
Agaknya dia sudah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong
memaki lalu menyerang dengan hebatnya.
Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena
dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng
(Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), segera dia menggunakan ilmu silat ini untuk menyerang
pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.
Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Berani kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng?
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya.
Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan
kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan tiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas
genteng masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat.
Hati Sui Ceng berdebar-debar. Tanpa sengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua
orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong mau pun Han Le sudah mewarisi seluruh kepandaian guru
mereka sehingga mereka itu kini seolah-olah mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan
pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu sering kali dilakukan, akan tetapi
keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.
Sayangnya, akhirnya Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Apa bila hanya Jeng-kin-jiu yang
menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.
Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.
Dari atas genteng, Sui Ceng tidak ada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu
adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat.
Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang amat kuat, dan ia merupakan seorang ahli gwakang yang
telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia bisa mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang
dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le
mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.
Akan tetapi, biar pun kedua orang muda itu belum dikenalnya, tetapi sekali mendengar percakapan antara
mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari
Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan
rakyat.
Ada pun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang sudah membantu penjajah. Apa lagi kalau diingat bahwa
Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda
mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.
Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan sekarang gerakannya amat aneh dan sulit diduga terlebih
dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang sangat aneh itu, Lu Thong
terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.
Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti
dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,
"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu selama hidup belum pernah aku melihatnya! Saudara Sin-kai (pengemis
sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"
Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke
depan sambil membentak, "Hah!"
Kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar
biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan
ini luar biasa sekali.
Han Le merasa betapa dari kedua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang
mendorongnya dengan amat hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di
udara. Biar pun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat
dia terlempar sampai tiga tombak lebih!
Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbarengan dengan Sui Ceng. Keduanya
melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu
menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang
menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya
menotok pundak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka
diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar
dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,
"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku takut. Tunggu
aku mengambil senjataku!"
Setelah berkata demikian, Lu Thong lari memasuki gedungnya dan tidak lama kemudian dia telah keluar
lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan berat.
Sementara itu, dengan muka terheran-heran Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan
itu. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat tinggi pula. Memang dia sudah dapat
menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw,
akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi
menyerang Lu Thong.
Ada pun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling memandang, agaknya mereka seperti pernah saling
bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bila mana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu
Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang Han Le.
Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh
baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan sinarnya. Ternyata
bahwa dia telah membawa sebilah po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju
luarnya.
Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru dari pada tadi karena
keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong menunjukkan bahwa dia benarbenar
patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.
Sungguh pun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, akan tetapi pertahanan Lu
Thong tidak dapat dibobolkan. Berkali-kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai
Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan setiap kali pemuda
jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat
mundur sambil memutar toya menjaga diri.
la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat
lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang sangat kuat dan sinar
pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu
pedangnya yang aneh ini dan kembali lagi melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiliki
semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.
Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, terus
memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan
hati berdebar-debar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,
"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona adalah nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”
Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi dia lupa lagi.
Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,
"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? Siapakah
saudara?"
Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar,
membuat wajah itu nampak semakin tampan.
"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apa lagi ketika menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu
itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”
Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Dia hanya dapat membuka
mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh…"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaimana dia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah
tunangannya itu!
Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan
untuk menghilangkan perasaan yang tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,
"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga
berlomba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dahulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu
mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.
Sui Ceng kembali berani mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu
pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang
dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan orang yang tidak menyenangkan hati.
Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula. Sambil mengangguk dia lalu mencabut pedangnya.
Keduanya segera melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.
Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah tinggi bukan main, tidak kalah dengan tingkat kepandaian dua
orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini
membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.
Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apa lagi kini ditambah dengan pedang
Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kangouw,
maka betapa pun tangguh ilmu toyanya, dia lantas terdesak hebat sekali.
"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.
"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tidak perlu menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat dari
pada anjing penjilat atau ular!" Kun Beng berseru sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng
juga mempercepat gerakan pedangnya.
"Traaang! Traaang!"
Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng, akan tetapi
karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya sudah terlepas dari tangannya. Tepat pada
saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong pun terlempar dan
roboh dengan sambungan lutut terlepas!
Lu Thong tak berdaya lagi. Ia meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan
yang akan menamatkan riwayatnya.
"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru.
Nampaklah bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lu Thong sudah berdiri seorang pemuda
yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.
Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan
Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, dia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apa
lagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap
tidak berbudi dan patut dibunuh itu.
"Hemm, siapakah kau dan kenapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le
penasaran.
Sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang
tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,
"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan
melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian
adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada
satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir dari pada Menteri Lu
Pin!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau mengoceh! Justru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!" seru Han Le yang
sudah marah sekali. Pedangnya lantas berkelebat membacok ke arah Lu Thong.
Akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta tangannya yang
sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Pemuda jembel ini marah bukan main. Ia cepat
melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.
"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dahulu!" Segera dia menyerang
dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.
Kwan Cu cepat mengelak dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini.
Oleh karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, ia
sengaja mengelak terus sambil tetap memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.
Ada pun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sinkai,
kenapa dengan Kwan Cu mereka tak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sinkai?
Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka
yang sedang bertempur.
Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan
tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.
"Ceng-moi, biar aku binasakan dahulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin
mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.
"Tranggg…!"
Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata
terbelalak.
"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"
"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, seorang murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan lebih
dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini.”
Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu
mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.
"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu...?" tanyanya seperti kepada diri sendiri.
Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena pada saat Han Le yang pandai mainkan
Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya,
mengeluarkan ilmu pedang yang aneh bukan main, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan
pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.
"Heeeeei...! Berhenti dulu! Siapakah kau yang sanggup mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan
ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te Sin-coan (Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini?"
Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya
karena sampai begitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa
menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya.
Akan tetapi dia terkejut sekali karena lawannya lalu bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja
lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu
gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!
"Nanti dulu, kau siapakah? Dan dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat? Dari
mana pula engkau dapat memainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te Sin-coan? Hayo jawab!" Muka
Kwan Cu menjadi tegang.
Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa setelah membalas serangan-serangannya, lawannya dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
satu kali gebrakan saja telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih penasaran, maka cepat tangan
kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk
dari pada ukiran-ukiran di dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa
kaki jauhnya.
"Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa memainkan ilmu silat yang
terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.
Mendengar ini Han Le menjadi pucat. Dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.
"Kau... kau siapakah?”
"Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."
Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua
kaki pemuda itu.
"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini.
Harap Suheng mengampunkan kekurang ajaranku," katanya.
Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, meski pun Han Le
sudah mengerahkan lweekang-nya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.
"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.
"Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku bocah sengsara
sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-hio-to!"
Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.
"Kwan Cu, apa kau sudah lupa pula kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui
Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!"
Air muka Kwan Cu kembali berubah dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.
"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku," Kun Beng memperkenalkan.
"Koko !" Sui Ceng menegur tunangannya itu.
Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu terhadap Kun Beng dengan sebutan ‘koko’ terdengar begitu
manis dan mesra, namun sangat menusuk jantungnya. Dia memandang kepada Kun Beng dengan wajah
dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.
Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia segera mengetuk dan mengurut kaki
kakak angkatnya ini sehingga lutut yang tadi terlepas tersambung kembali.
"Suheng, mengapa kau mencegah siauwte membunuhnya?" Han Le bertanya.
"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya sudah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan
orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini,
mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang
mempunyai kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau
menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kongkong Lu Pin sudah meninggal dunia
dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu telah terbinasa pula. Tak ingatkah kau kepada
ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”
Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.
"Aku... tadinya aku bermaksud hendak mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar akan lebih mudah
bagiku membalas musuh-musuhku… menjunjung tinggi nama keluarga, dan mencuci noda mereka yang
dianggap sebagai pemberontak..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-pahlawan bangsa!
Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri,
kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau... apakah kau kira akan dapat mengharapkan
kurnia dari Si Su Beng?"
Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
"Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"
Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le memegang
kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng juga memegang tombaknya erat-erat dan
Kwan Cu bertolak pinggang dengan kedua matanya yang bersinar-sinar.
Sesudah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biar pun masih agak sakit,
Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.
"Kau mau apa?!" bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong.
Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya. "Hendak kulihat
apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar
yang amat berlainan dari tadi.
"Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk menangkapmu!"
terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.
"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan nyawa
bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong.
Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong lalu berteriak kepada barisan
yang terdiri dari tiga puluh orang itu,
"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua
bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan
Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil
berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun.
Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang
mata penuh arti.
Ketiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan pembelaan Kwan Cu
terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi
Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap kaum penjajah yang sudah memusnahkan seluruh
keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul kemudian memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan
Gi-lim-kun!
Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda
murid tokoh-tokoh yang sakti, yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.
Biar pun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan lima
orang muda yang sakti ini, sekejap saja mereka menjadi kocar-kacir. Mayat bergelimpangan di sana sini,
sungguh amat mengerikan.
Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dengan ganas dan
sedikitnya ada lima orang anggota Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!
Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak terjangnya. Dia tidak tega menjadi
pembunuh para alat negeri ini. Entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun
terkena tipuan dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya
bergerak dengan tangan kosong saja dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa
membahayakan nyawa mereka.
Han Le agaknya juga tidak begitu kejam sebab pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya
dunia-kangouw.blogspot.com
tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya. Setiap kali pedangnya
bergerak, seorang anggota Gi-lim-kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada
yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng. Dia juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas
Sui Ceng atau Lu Thong.
Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini bukanlah
merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, di situ telah datang barisan baru
yang jauh lebih kuat dari pada barisan Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, sebab barisan ini adalah
barisan Si-wi, yaitu pengawal pribadi kaisar dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin bersama panglimapanglima
yang berkepandaian tinggi!
Pertempuran berjalan semakin hebat. Kwan Cu mengetahui bahwa bagi keempat orang kawannya, Kiam
Ki Sianjin terlampau tangguh. Maka dia segera mencabut sulingnya dan menghadapi kakek ini. Akan tetapi
tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk
melindungi tubuh dari pada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu.
Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani
keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi
berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan
sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan
jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le mampu mempertahankan diri dengan kuatnya,
bahkan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggota Si-wi.
Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah
karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini ikut menyerang empat orang
kawannya.
Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, Kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri.
Dia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan
kawan-kawannya.
Dia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi
tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah
mengetahui semua cara bersilat dari Han Le sehingga dapat memenangkannya!
Demikian pula Kun Beng yang sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu mempunyai kepandaian tinggi.
Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik.
Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, ada pun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia
telah dapat menduga bahwa suheng-nya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu
kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia sempat merasakan sendiri kehebatan kepandaian suheng-nya.
Makin lama kurungan itu makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu
datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan
mereka mulai lelah sekali.
Apa lagi Lu Thong. Lututnya terasa sakit sehingga gerakannya menjadi semakin lambat. Akhirnya sebuah
tusukan tombak melukai pahanya dan dia pun terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat-cepat
menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga
orang muda itu.
Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga
orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri beserta dua orang panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu
terus melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih,
dia berhasil merobohkan salah seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi, sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus
melawannya dengan amat kuatnya. Kali ini agaknya tak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki
Sianjin.
Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biar pun korban fihak musuh yang jatuh
tidak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat
tinggi juga.
Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Sekarang mereka
tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang
kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.
Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba saja pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua orang
panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang
panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki Sianjin dia
melancarkan beberapa pukulan Pek-in Hoat-sut.
Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap putih itu. Maka, cepatcepat
dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat
menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi, dua orang panglima itu yang belum mengenal Kwan Cu secara baik, terus mendesak pemuda
itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat
Kong-ciak Sin-na dan golok mereka terlempar pula.
Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia lalu mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia
lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke
dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.
"Kawan-kawan, mari kita lekas pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan.
Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan
diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi dia
khawatirkan.
Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan
panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,
"Kun Beng, kau terimalah ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan
menggendong Lu Thong!"
Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan,
dia sudah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya
karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.
"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" berkata Kun Beng kepada Sui
Ceng dan Han Le.
Sui Ceng dan Han Le bisa mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka
mendesak maju dan sebentar saja Han Le serta Sui Ceng juga sudah berhasil menangkap masing-masing
seorang pengeroyok. Tiga orang ini pun mengamuk mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil
memutar-mutar tubuh lawan yang kakinya mereka pegang!
Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke manakah
perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat
cepat melalui kepala para pengurung itu dan sengaja dia melarikan diri di dekat Kiam Ki Sianjin yang
sedang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda
itu.
"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan." Tosu ini memakimaki
anak buahnya.
"Locianpwe, mereka menggunakan teman-teman kami sebagai senjata buat mengamuk," jawab seorang
perwira Si-wi.
“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, meski kawan sendiri tetapi kalau sudah mereka tangkap, perlu
apa takut membacoknya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, para Si-wi itu segera mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk
menangkis dan membacok ketiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan
sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu.
Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya menjadi terkejut. Tentu saja
mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu sudah hancur terkena hujan
senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biar pun mereka
agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan sehingga keadaan mereka tidak terlalu
terdesak seperti tadi. Apa lagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.
"Ehh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali.
Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi ada di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han
Le, karena ketika itu Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi kenapa
sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ?
Juga kedua orang kawannya tidak tahu ke mana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong. Akan
tetapi, oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tadi tidak sempat melihat Kwan
Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok!
Ada pun Kwan Cu, sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki
Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam Ki-Sianjin cepat mengejar dengan
pedang di tangan.
“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak itu!” serunya.
Kwan Cu tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, orang ini adalah keturunan menteri Lu Pin, bagaimana aku tak
akan membelanya?”
Pemuda ini menyimpan sulingnya dan sekarang tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang pedang
yang bersinar gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja
diberikan kepadanya.
Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jeri. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang pedang.
Biasanya, hanya dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang suling di tangan, pemuda itu
sudah terlampau tangguh baginya, apa lagi kalau sekarang memegang sebatang pedang mustika!
"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik,
gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih
dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, ada pun pemuda sederhana itu adalah sute-ku! Aku tanggung bahwa
kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau
saja mereka sampai terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."
"Habis, apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.
"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan
mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari,
kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku tak akan melupakan maksud baikmu hari ini."
Sampai beberapa lama Kiam Ki Sianjin terdiam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang
tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat luar biasa dan
sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang
sekali.
"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Dia lalu membawa Lu Thong
melompat ke barat!
"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"
Pada waktu mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, tiga orang muda itu menjadi terheran. Akan
tetapi mereka segera memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur
dunia-kangouw.blogspot.com
dan berlarilah mereka ke barat. Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka.
Aneh sekali, setelah mereka sampai di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka
mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok
sambil mengempit tubuh Lu Thong.
"Kau sudah di sini?" tanya Kun Beng tak mengerti.
Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suheng-nya itu.
Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada para anak buahnya untuk mengejar,
melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawannya yang luka serta mengurus mayat mereka yang
tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari
kota raja dan memasuki hutan sebelah barat.
Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka berhenti
dan Kwan Cu segera mengambil sapu tangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah
mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, meski
pun pahanya yang terluka itu masih terasa amat sakit.
"Kwan Cu, kau cerdik sekali, dapat mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita," kata Kun Beng
memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat alangkah bodohnya pemuda itu pada waktu masih
kecilnya. "Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan sudah membuat kita bertemu
sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang biar kita berpisah, dan kelak aku sangat
mengharapkan kedatanganmu untuk menghadiri... pernikahan kami.” Sambil berkata demikian, pemuda
yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng.
Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan
matanya itu.
Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin
sekali dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin pula dia menampar muka pemuda yang tampan itu.
Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa
menjawab sesuatu.
“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.
“Ke... manakah? Aku... aku hendak kembali mencari Suthai.”
“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, marilah kita bersama menjumpainya, memang perlu kita
memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari pernikahan.”
Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap dia melirik ke arah Kwan Cu dan bukan main heran
hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng, yang begitu
mengerikan dan membuat dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik
hati. Akan tetapi pandang mata itu mengandung kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak
hati.
"Marilah," katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain,
sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.
Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya kedua orang itu tanpa
bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk
memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenung sambil kadang-kadang menggigit bibir atau mengepalkan
tinju. Wajahnya pucat laksana seorang yang kehilangan semangatnya.
"Suheng." Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu.
Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh. Wajahnya amat merah ketika dia melihat pandang mata pemuda itu.
Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.
"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu benar-benar menjadi sadar dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau dapat menjadi murid suhu, semenjak
kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa memainkan ilmu silat yang hanya
terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"
Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas
batu dan berceritalah Han Le.
"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh
bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh bala tentara
pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak
lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak
murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sulit bagiku untuk
menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintahan Tang dan
didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang
kang-ouw yang membantu pemberontak itu. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan
bahwa kepandaianku masih jauh dari pada mencukupi untuk berhadapan dengan para tokoh kang-ouw itu.
Bahkan suhu lalu menyuruhku untuk menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu,
kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang
diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahwa semua itu merupakan pelajaran ilmu
silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya
kau sudah bisa memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"
Kwan Cu mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah sangat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk
memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu merupakan petunjuk dari
ilmu-ilmu silat yang terdapat di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng."
Berseri wajah Han Le yang tampan. "Ahhh, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat
dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar penuh kekaguman.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tiada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang,
masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apa bila menghadapi
musuh yang berada di dalam hati sendiri."
Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan
tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang amat menyakitkan hatinya.
Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan
berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui
Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!
"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”
"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para penjajah belum
terusir dari negara kita."
"Bagus, kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah berjuang membela tanah
air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya."
Kwan Cu lalu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sute-nya.
Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum
pahit.
"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"
Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han Le,
Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman mengenai hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara
dan tanda-tandanya. Biar pun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu,
akan tetapi dia telah dapat menduga dengan tepat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan.
Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar
bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat sangat jauh?"
Lu Thong menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah sekali tertarik oleh kedudukan dan
harta, Kwan Cu. Akan tetapi, apa lagi yang mampu kulakukan sekarang? Keluargaku sudah terbinasa
semua, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka."
Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.
Kwan Cu terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit
hati orang tuamu."
Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.
"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah pemerintah penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi
pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apa lagi kalau menghadapi barisan penjajah? Lagi pula, di sana ada
orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."
"Kau tidak berdiri sendirian, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang berjuang dengan
penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?"
"Membantu para pemberontak?"
“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang itu disebut pemberontak oleh penjajah,
akan tetapi bagaimana mungkin orang-orang gagah yang membela tanah air dan bangsa dari tindasan
penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh
penjajah."
Lu Thong melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan rakyat
dengan taruhan nyawaku."
Kwan Cu sebaliknya menjadi gembira sekali. "Bagus, kalau begitu kau sungguh-sungguh saudaraku! Kau
ikutlah dengan sute-ku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat yang sedang menyusun kekuatan
untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Kelak aku akan menyusul."
Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju markas pasukan pejuang rakyat yang terdekat, karena
sebelum pergi ke kota raja, memang Han Le sudah dengan aktif sekali membantu para pejuang ini.
Ada pun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin
sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Dia ingin sekali membongkar rahasia Kun
Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang
sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suheng-nya sendiri! Akan tetapi, dia
teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan kongkong-nya.
"Urusan pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir. "Lebih dulu aku harus mencari mereka
yang sudah menewaskan suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang
itu, yakni An Kai Seng."
Kwan Cu teringat akan tantangan Pek-eng Sianjin, maka dia segera berangkat menuju ke Bukit Leng-san.
Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak
dibalasnya karena membunuh suhu-nya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin
bahwa tosu ini tidak turut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai.
Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Jika
dia tidak meladeni tantangan yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian
Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.
"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu, barulah aku akan mencari tempat tinggal Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-beng Hui-houw," pikimya.
Selesai berpikir demikian, Kwan Cu lalu berlari cepat sekali ke selatan…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menunggu kedatangan Kwan Cu, pemuda yang
telah menghinanya di depan para tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-eng Sianjin sudah kehilangan
empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin,
dan sekarang sudah membentuk pula sebuah perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe
(Perkumpulan Agama Garuda Putih)!
Dia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang kini dikumpulkan di
situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga untuk menjadi kawannya menghadapi
Kwan Cu.
Dua orang tosu itu memang telah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thianeng
Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari
kalangan jalan hitam, karena itu cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah pelarian dari Thiansan-
pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu
dengan Pek-eng Sianjin, mereka lalu menerima pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang
sehidup semati.
Ada pun hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, merupakan seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai.
Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini sudah melarikan diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai
yang hendak menghukumnya sesudah dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini
orang!
Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin menerima pula murid-murid yang juga menjadi pembantupembantunya.
Akan tetapi yang paling mereka sayangi adalah tiga orang anak-anak yang usianya baru
delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan
mereka kelak, maka mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing
mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.
Pek-eng Sianjin ialah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, ada pun Thian-eng Sianjin mempunyai ilmu
pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki
ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai pula. Ada pun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari
Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin. Kini mereka
selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali sesudah mendengar bahwa tidak lama lagi akan datang
seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.
Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan tetapi setelah dia
mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia melihat sepasukan orang muda yang
bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang, menghadang di tengah jalan.
"Apakah yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara pasukan itu bertanya dengan
suara heran.
Mereka adalah sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap
musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka ternyata hanya seorang pemuda sederhana
yang bertangan kosong, berpakaian sederhana serta kelihatannya lemah, orang-orang muda ini
memandang ringan.
"Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan dari Pek-eng Sianjin. Apakah
dia berada di puncak bukit?"
Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka tidak
percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa sih anehnya orang muda yang
tubuhnya kelihatan lemah itu?
"Kau yang bernama Lu Kwan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh seperti raksasa
sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu, menurutlah saja kami rantai untuk
dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut dari pada kami harus menggunakan kekerasan dan ada
tulang-tulangmu yang patah!" katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak orang
muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua jurus ilmu silat saja, lalu merasa
diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan dan memukul orang untuk memamerkan
kepandaiannya.
Beginilah contoh orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti benar bahwa
hakekat dari pada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri. Bahkan
sebaliknya, makin tinggi ilmu yang telah dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apaapa
sehingga selalu berlaku merendah.
"Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, akan tetapi untuk memenuhi undangan Pek-eng
Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"
Si muka hitam itu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Kami mendengar bahwa orang yang bernama Lu Kwan
Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat) dengan suhu. Akan tetapi kalau
orangnya ternyata hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada kau susahsusah
menemui kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"
Setelah berkata demikian, si muka hitam kemudian memasang kuda-kuda dan kepalan tangannya yang
sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan tenang Kwan Cu menanti datangnya
pukulan tanpa mengelak sedikit pun.
"Bukkk!"
Pukulan itu dengan kerasnya tiba pada dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip pun tidak.
Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu lalu terlempar ke belakang dan tulang-tulang jari tangannya patahpatah!
Dia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu.
Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata sehingga sebentar saja hujan senjata
menjatuhi tubuh Kwan Cu. Tapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan anak-anak muda yang
dianggapnya masih hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena
tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.
Pada saat mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak bukit!
Barulah mereka kemudian beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mana bisa mereka
menyusul larinya pemuda sakti itu?
Sesudah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu. Akan tetapi,
tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa banyak sekali senjata gelap
menyambar ke arah dirinya.
Mendengar suara angin sambaran itu, Kwan Cu pun tahu bahwa yang menyambar hanya senjata-senjata
yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua
lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Semua anak panah yang ratusan banyaknya itu
runtuh, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!
Dia berlari terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya tamu yang kau
undang sendiri!"
Hati pemuda ini mulai panas dan biar pun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng
Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu
amat berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.
Belum juga dia sampai di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat orang yang
gerakannya amat gesit. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan
Kek Hosiang, semuanya siap dengan senjata.
"Lu Kwan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" berseru Pek-eng Sianjin yang cepat menyerang
dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.
Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi dia tetap mengelak dan menyabarkan hatinya. Sambil meloncat
dunia-kangouw.blogspot.com
ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan, dia berkata keras,
"Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku telah mengampuni nyawamu karena kau bersumpah tidak ikut
membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kau undang untuk mengadakan pibu.
Mengapa kau berlaku curang, telah menyuruh orang mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau
mengeroyok pula? Apa kehendakmu?"
"Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau pun telah menghinaku. Apa
kau kira kini aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk mampus!"
Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya. Dia mengerahkan
tenaga lantas menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan tetapi, meski dia berhasil
membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak bisa membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawanlawannya.
Mengertilah Kwan Cu bahwa para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau mau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-ouw. Kalau
mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau memang kau sengaja mau mengadu
nyawa!"
"Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin sambil menyerang dengan
buasnya.
Mulai timbul amarah Kwan Cu. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat,
menurutkan nafsu hati serta dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya sendirilah yang salah besar.
Empat orang adik seperguruannya tidak akan binasa di tangan Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Ang-bin
Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar biasa, dan Pek-eng Sianjin sendiri pun tidak akan mengalami
hinaan dari Kwan Cu kalau saja dia bertindak di atas jalan yang benar. Sekarang, sebaliknya dari pada
menginsyafi kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tidak tahu malu telah mengeroyok
Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.
"Kau mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia pun mulai melakukan serangan balasan.
Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi, demikian pula tiga
orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan
serangan-serangan hebat.
Tetapi Kwan Cu yang gesit dan tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi itu, melayani mereka dengan
amat tabah. Sulingnya bergerak-gerak bagai naga menyambar sehingga setiap serangan lawan kalau tidak
dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, dia bergerak menurut
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.
Namun keempat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati sekali ketika Pekeng
Sianjin berseru,
“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"
Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata mereka. Bila dia
memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan mudah dia akan dapat menggulingkan
para pengeroyok ini dengan menggunakan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk
menotok jalan darah di tubuh lawan.
Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Ia belum kenal siapa adanya tiga orang kawan
Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui
kejahatannya.
Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru keras
dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang bergerak sedemikian cepatnya
sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.
Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan kadang-kadang
melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di antara mereka. Pemuda ini
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan ginkang-nya yang paling tinggi.
Pengepungan itu menjadi kacau balau dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi. Mereka
membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan tetapi tidak pernah
mendapatkan sasaran.
Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan amat marah tiba-tiba saja menubruk dengan
pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kirinya yang mencengkeram hendak memeluk leher.
Inilah suatu serangan yang disebut Pek-mo Jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main.
Pedang itu digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang jadi tergetar, selain cepat juga
amat kuatnya dapat menembus dinding baja. Sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan
Kin-na-jiauw yang dilakukan melalui pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit atau
daging manusia, bahkan batu karang yang keras juga akan hancur terkena cengkeraman ini.
Baca juga:
Share:
cersil...
Comments
0 Comments