Selasa, 29 Agustus 2017

Suling Emas Naga Siluman 6

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Sssttt...., aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan!
Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran ini
memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin
menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada
waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah
kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.
Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar
penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan seorang ahli silat tinggi namun
satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia
tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun
tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh
kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke
sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya
melayang ke dalam kamar.
Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia
terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum
bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia sudah siap siaga.
Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang
tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli
membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu
orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya
bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang
lentik kecil itu menyambar.
Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan
menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan
gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang
yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt.... cettt....!”
Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita
Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau
Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok!
Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu
menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan seketika dapat membunuh lawan!
Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya
mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran!
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toaok
yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan
merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia
akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota
yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.
Maka ketika tiba-tiba ‘Pangeran’ itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu,
tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh
bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal
ini dibuktikan ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran
Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga
marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan menggunakan pukulanpukulan
jari terbuka yang sama ampuhnya.
Pertempuran sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira
sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh
kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau
merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh seranganserangan
telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An
sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang
bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran
di atas pembaringan.
“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa
Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang
saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal
kepala itu.
“Paduka Pangeran....”
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa
sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat,
Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya sempat melihat dua
bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar,
dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar semua dan
berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”
Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke
dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.
“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba
dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan
minta agar aku menyingkir dari kamar. Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong
tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah
pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka
lalu pergi.”
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani menyerang
pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba
dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar
terlindung,” kata Syanti Dewi.
“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.”
“Biarkan hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.
Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas
bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara
mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur
pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya.
Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas
wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan
mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal…..
********************
Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian
bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak
tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing.
Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Orang
ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke
tiga bernama Yu Cian, yaitu seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol
juara pertama pada waktu diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena
kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para
pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.
Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua dari pada para calon lainnya, karena dia sudah
berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan
dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan
Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang
seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana
Kaisar.
Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat
perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah dari pada Pangeran Kian Liong! Maka diamdiam
Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti
Dewi untuk menentukan pilihannya.
“Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada
empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu di antara tamu, dan
memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.”
Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?”
Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam
tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biar pun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu,
akan tetapi hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia bisa memilih seorang di antara mereka,
maka dari itu dia sudah mengambil keputusan untuk ‘memilih’ Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat
keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.
Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri-seri. “Yakin benarkah engkau bahwa
beliau boleh dimasukkan sebagai calon?”
“Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?”
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan olehnya. Kalau
saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di
pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan
ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum.
Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat
itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan
oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh
orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kue
kering.
Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas
sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan
dilakukan dahulu pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika
beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja
besar itu.
Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda
sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat
tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para
tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan
yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para
penyumbang itu hendak berlomba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu.
Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas.
Memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda
hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng,
berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh
tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas
bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah
diperlihatkan tadi.
“Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar suara wanita
yang membuat laporan.
Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka
semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekali pun semua tamu dapat merasakan
bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki peringkat paling atas
dan hal ini saja sudah bisa menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini
melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi
merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak
melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala,
ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes
dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari
pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya
berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik
kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam.
Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampak
menyuram bila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik
jelita mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan birahi
itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes
dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah
dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun,
sungguh pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu
duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biar pun dia hanya memandang dari jauh,
dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga
dunia-kangouw.blogspot.com
jauh lebih mahal dari pada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah
dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka
dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh
serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu.
Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kayaraya.
Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari
tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda
penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Lalu hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak
serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan nama para penyumbangnya diumumkan.
Pada saat nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera
menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra.
Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang
menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan.
Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang
duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu
dibacakan!”
Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari
para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara
bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.”
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal
baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadapnya. Maka ia pun
tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan
keadaan menjadi amat hening sehingga terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan
halus, “Untuk memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai
membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Dengan muka yang berubah merah sekali
terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke
tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu.
Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti
Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang
pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di
kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu terdengar satu-satu dengan jelas
ketika membacakan sajaknya.
Cantik indah bagai bunga anggrek
harum semerbak bagaikan bunga mawar.
Merdu merayu bagaikan sumber air
gilang gemilang seperti fajar menyingsing.
Redup syahdu seperti sang senja kala,
duhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan,
kecuali seuntai sajak bisikan kalbu,
disertai hati yang subur basah,
tempat Sang Bunga mekar berseri.
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan
mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukannya sepenuh perasaannya sehingga seakan dia
sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga
suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih
hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat
kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada
pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara!
Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu
dibandingkan dengan semua bunga di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar, bunga yang
keharumannya tidak pernah lenyap biar pun bunganya sendiri telah lama layu!
Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti,
mengandung dendang asmara yang kekal? Lalu dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilanggemilang
seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senja kala. Memang tiada keindahan
yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai
timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri, dan keredupan senja kala di waktu matahari tenggelam
yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat.
Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa pun, kecuali sajak
yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang
diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh
setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam
benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang
Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang
tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti
Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam
lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil ‘memperkenalkan’ dua di antara caloncalon
itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara
memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah
itu.
Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik mulai dibunyikan keras-keras dan
nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung
yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena
ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak ‘melupakan’ Syanti Dewi
sehinga hanya beberapa orang saja yang sempat melihat pada waktu wanita itu meninggalkan tempat
duduknya menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disajikan, mendadak Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya
yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih
atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi
dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!”
Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti
Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba
mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti
bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.
Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini hingga menenggelamkan
suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap
manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu, mulailah dia menari!
Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan
dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih
kecil. Maka saat dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di
antara penonton menjadi hening.
Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah
terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari
Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian
halus, merasa amat kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau para tamu itu saja terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh
tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia
tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya
secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya ketika bersama kekasihnya itu,
dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas
pipinya yang tertutup cambang.
“Syanti.... Syanti.... kekasihku....,” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena
kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau
dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu.
Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah
menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja,
kemudian menengok pada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa,
bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin
terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri
sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!
Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain!
Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, ia tuduh telah berjinah dengan orang lain, telah menjadi
pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air
mata menetes turun. (baca cerita Jodoh Rajawali)
Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak saat Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah
yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai
memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan
mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya
yang nyaring, “Atas permintaan dari Ouw-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda
Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!”
Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk
tangan.
Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang
ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang
pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada
Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti
Dewi.”
Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli
musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih
tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di
sudut.
Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa
buah yang-kim, kemudian dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di
panggung pemain musik itu. Lalu dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang
sebelah dalam.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian
serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas
sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya.
Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja,
akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar
lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini
semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal
lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang sebab mereka seperti mendengar derap kaki
ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata
berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan
makn!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah
itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada
seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat
darah mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak
kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya bagai terpukau, seolah-olah
mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan
kembali ke dalam nyata. Meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.
Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan
dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi
yang-kim kembali. Sekarang terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan
itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang sangat luar biasa. Paduan suara itu
demikian serasinya, mengalunkan lagu cinta yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat
mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati.
Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada
wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biar pun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa
dengan kekerasan, kadang-kadang tidak mampu lagi menguasai keharuan hati sehingga menjadi layu,
bahkan ada yang menitikkan air mata!
Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratapratap
dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan diri sendiri yang menjadi korban cinta, sehingga
dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan sapu
tangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam!
Ia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, tetapi seolah-olah jantungnya
mengalirkan air mata darah.
Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti
oleh semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah
Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh
perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan.
Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula.
Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula
menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu
Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang,
ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran. Padahal,
dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat
sendiri betapa wanita itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang
dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan
seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat?
Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan
tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak
kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang
Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini
terkenal sebagai pendekar budiman, tidak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula.
Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang
yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak
diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan
setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie
Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya.”
Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah
terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian
silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang
pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi
tegap dan gagah perkasa, sikapnya sangat sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak
tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan
menuju panggung. Dengan sopan ia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran
Kian Liong, sambil berkata,
“Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya
hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini,
maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan
ini kurang berharga.”
Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki
tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi makin lama semakin cepat dan gerakangerakannya
gesit, pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tak
menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geserangeseran
kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak!
Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup hebat dan
juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan
dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja
karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini
memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka
patutlah kalau dia disebut pendekar.
Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun
mengeluarkan bentakan nyaring. Nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung, ternyata dia
telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari
para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah
berubah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan!
Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan
gerakannya. Banyak tamu yang terdiri dari para tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala dan
memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara
mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak, maka dia pun mengenal keindahan
dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau
pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung
atau suami Syanti Dewi.
Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan lagi pedangnya lalu memberi hormat
ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang
cerdik itu.
“Cu-wi sekalian, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan
merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami sudah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai
jodoh adik kami Syanti Dewi.”
Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai, sedangkan Syanti Dewi menundukkan
mukanya yang berubah pucat. Biar pun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya
diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat
persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas
mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.
Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami mengumumkan
pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie
Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing,
sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”
Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidaklah sehebat tadi karena kini banyak yang merasa
kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang
yang dipilih sebagai calon itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana untuk menentukan pemenang di antara
calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau hanya berdasarkan kekayaan, tentu orang she
Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!”
Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan
ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui
bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia
sendiri tidak tahu bagai mana harus menjawab pertanyaan orang itu.
“Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan oleh karena dia mengeluarkan katakata
ini disertai khikang, maka suaranya mampu mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.
“Cu-wi yang mulia! Biar pun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya
siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka
berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama
terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak
untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”
Kembali para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa
aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang
calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi
yang terkenal lihai itu?
Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti
maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri
untuk menentukan pilihan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya
tertangkap oleh calon yang dipilihnya.
Dan memang benar pendapat mereka ini, karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui,
bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang
hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi
kalau saja Syanti Dewi tidak menghendakinya, sebab ginkang yang dikuasai oleh Syanti Dewi telah
setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk menggunakan
akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.
Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan
memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan
pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran.
Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah, pemilihannya
sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu
sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.
Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian
menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan
kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membandingbandingkan
antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang
yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan
tetapi dia ikut berharap agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami
seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.
Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah,
Ouw Yan Hui kemudian berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!”
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah
ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.
“Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru.
Dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju
menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu
menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang telah mengenal pemuda she Thio
itu lalu menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.”
“Maafkan saya....” Thio Seng Ki kemudian mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan
tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak.
Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja.
Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk
menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri
itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda
hartawan itu.
Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya,
dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara mana pun juga yang dikehendaki atau
diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak? Karena penasaran, juga karena dia
ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biar pun dia tidak pandai ilmu silat,
dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya
dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi.
Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan
teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio
yang setengahnya itu habis terbakar.
“Waktunya habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio
Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.”
Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, tapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata,
“Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun mengundurkan diri, duduk di
kursinya kembali, dan disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak
memperoleh kesempatan.
“Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.
Sastrawan muda itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga
sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak
menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh
Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan
menjadi dua itu terbakar.
“Silakan, Yu-siucai,” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya
ini.
Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk
menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya
hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh.
Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berubah agak
pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
“Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan
sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek
ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat.
Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia pun hanya dapat menjura ke arah pemuda itu. “Harap maafkan
saya....,” katanya perlahan.
Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata,
“Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai mati pun saya
tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima
keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan
dunia-kangouw.blogspot.com
atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona cukup
menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”
Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus
terang, sungguh pun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya,
dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. “Harap maafkan saya....”
Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di
samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal
menjadi kenalan yang baik saja.” Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan
menuangkan arak ke dalam mulutnya!
Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah
yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi
yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu.
Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti
Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin sekali saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, tetapi
karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”
Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan
terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau
ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan
cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu
mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin
cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana
kemari.
Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan
kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang
indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek
Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini
bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan
selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa Syanti
Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki ginkang yang jauh lebih
tinggi dari pada Pendekar Budiman, sehingga andai kata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguhsungguh
sekali pun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil.
Betapa pun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi,
mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw
Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas
menolak semua calon itu!
“Ahhh, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....,” keluhnya.
Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan
dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena
melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon
yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.
“Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”
Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia
merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu
mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia
memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak
cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.
Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan
gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan
sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” berkata Syanti Dewi dengan suara mengandung
penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tak berusaha sungguh-sungguh
untuk menyentuhnya. Jika saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk
menjadi jodohnya.
Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat
nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, “Sekarang ada pengumuman penting! Harap Cuwi
Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu
bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”
Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada
yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan
pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai
calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana
mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat
besar kedudukan dan kekuasaannya?
“Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap
Syanti Dewi,” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa,
akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu.
Syanti Dewi memandang pada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya,
dengan pandang mata berterima kasih karena dia pun tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk
menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.
“Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.
Syanti Dewi mengangguk. “Silakan, Pangeran.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu
mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah
berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.
Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan
membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini
sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil
menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya. Jelaslah bagi semua orang
bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya
tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng
tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya
menunduk.
Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah
bahwa kekasihnya itu tadi sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti
Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati
perih. Pemuda manakah yang lebih hebat dari pada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian
Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?
Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa
Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar
bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguh pun wanita itu tidak nampak lebih tua
dari pada Sang Pangeran.
Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari
tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada
dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng
tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan
mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di
atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh
keriput dan pucat sekali, kepalanya botak licin dan sikapnya garang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu
berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai
panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!
Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa berani
lancang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau
kemenangan ini disengaja dan dibuat?”
“Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapa pun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan Hui berseru
sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya
kakek ini.
“Ha-ha! Jika memang ingin memilih Pangeran, kenapa pakai mengadakan sayembara segala macam?
Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata
Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah hal itu berarti menghina orang-orang yang
menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, kenapa sekarang
Pangeran yang berkedudukan tinggi, Pangeran Mahkota, malah ingin mencampuri dan memperlihatkan
kekuasaan untuk memenangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata
dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang orang kang-ouw hendak dijadikan
semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi
ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”
Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap
Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung
tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.
Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran
untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh
para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang
kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah
sekali.
Tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba
nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan
dengan kakek raksasa itu.
Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek
ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. “Sobat, harap engkau sudi memandang
mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang
Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”
“Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan
Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguhsungguh
ketika mengejar Sang Puteri tadi.”
Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan
bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar. “Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri
yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan
mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang
Mulia Pangeran Mahkota.”
“Tidak! Bagaimana pun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa
bernyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!”
“Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja
hendak mengajak berkelahi?” Mendadak Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.
“Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw jika telah berkumpul tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru
menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut badut yang dipermainkan oleh Sang
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan
menghina, hal ini tak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau
Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat,
siapa pun boleh maju melawanku!”
“Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tak patut menjadi
pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin
berkelahi, akulah lawanmu.”
“Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap
memandang rendah sekali.
“Lihat seranganku!” Pendekar Budiman telah menerjang dengan sungguh-sungguh oleh karena dia tahu
bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usahausaha
jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka
dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam
oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.
Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama
sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan
tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sinkang
yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang
tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang
Pangeran Mahkota? Mengapa…..?
Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu.
Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang
lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi segera ia mendapatkan kenyataan
bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini, sehingga belum sampai tiga
puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!
Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran sudah maju
berturut-turut, akan tetapi empat lima orang yang maju itu satu demi satu dapat dirobohkan dengan mudah
oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu menantang.
“Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”
Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu,
tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh
merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan
terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah
berada di depan kakek itu.
“Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau
Kim-coa-to, memiliki ginkang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi.
Majulah, Bu-eng-kwi, aku hendak melihat sampai di mana kehebatanmu!”
“Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui.
Wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahutahu
jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari
tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun
mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.
“Hebat, ginkang yang hebat!” kakek itu memuji.
Akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa
penasaran. Tetapi, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang,
pertandingan yang seru bukan main, dan jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.
Wanita itu memang mempunyai ginkang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya
seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga
sinkang Ouw Yan Hui kalah jauh, maka biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar
dan terguling-gullng.
Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari
tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan
tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.
“Plakk!” Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik
dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting.
Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!”
Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis
meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, begitu
juga Syanti Dewi.
Akan tetapi, begitu memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajah Syanti Dewi menjadi pucat
sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu,
mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling! Ketika Ouw Yan Hui cepat
merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti
Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu
menghadapi lagi kakek raksasa itu.
“Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah
mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit
tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, yaitu orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban-hwa Sengjin,
bekas koksu dari Negara Nepal! Orang ini mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan
inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!”
Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher
Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali
renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aslinya. Dia masih
sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia
menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan semua
lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya.
Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang
hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.
“Tangkap musuh negara!”
“Bunuh penjahat itu!”
Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga sekarang Souw Kee An telah mengerahkan pasukannya untuk
mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Pulau Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw
Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan
Ngo-ok!
Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu
bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek yang bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok
tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua
setengah meter lebih itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat tadi
membuka kedok Sam-ok!
Melihat ini, para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, telah menerjang ke depan,
membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Pulau Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk
kaum sesat itu.
Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah
banyak prajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para prajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek
Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan
mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu.
Namun setelah Ji-ok membiarkan ketiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan
dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. Memang hebat sekali sepak terjang Tek
Hoat. Biar pun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi
dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok
maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin yang amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali
dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.
“Ughhhhh....!”
Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian
mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman
telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.
“Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun
mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu.
Wan Tek Hoat girang sekali. “Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau
bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”
Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata
naga, bersama seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih
lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni
Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!
“Huhh, baru dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!” nyonya itu
mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu. “Dan engkau kini telah menjadi
jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!”
“Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantu sajalah, mengapa cerewet?” Tek Hoat
mencela.
Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguh pun di dalam hati mereka terdapat
kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula
karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah
mereka. Bahkan pada waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui
bahwa mereka itu sesungguhnya seayah. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan
suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang
mencoba menangkis itu telah terjengkang!
Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini.
Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa
kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya
dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biar pun dia itu orang ke tiga, bersuit
nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.
Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang tadi diterimanya dari Sam-ok amat
hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruk kemudian memeriksanya. Suaminya juga mendekati dan
tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar
pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.
“Bagaimana dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil turut memeriksa.
“Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya,” kata Wan Ceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu kemudian menempelkan telapak
tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang
saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.
“Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.
Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lantas
melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran. “Kami bertemu
dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa
Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami
terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang
berbahaya.”
“Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian
lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tidak kusangka bahwa dialah
orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya.”
“Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah mendengar
bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu
sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.
“Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.” Mendengar ini, Wan
Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari
memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.
Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek
Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat
Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya.
Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa. “Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti.”
Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga. “Aku adalah Candra Dewi, saudara
angkatnya.” Ceng Ceng memperkenalkan diri.
Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah dia orangnya yang sering dibicarakan Syanti
Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir
itu!
Ceng Ceng kemudian memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu
mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.
“Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini,” katanya lagi kepada
Ouw Yan Hui.
Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan
di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga
Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun
repot mengurus anak buahnya yang luka-luka. Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk
membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk
kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru.
Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia segera bangkit duduk.
Melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.
“Mana dia....? Ke mana dia....?”
“Engkau mencari siapa?” Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya,
dia tidak melihat Syanti Dewi.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti
pengemis ini ternyata Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di
dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.
“Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana.” Dan
dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau
berganti pakaian lebih dahulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini....”
Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggelengkan kepalanya, memandang kepada Pangeran itu dengan
sinar mata berterima kasih. “Biarlah, Pangeran. Biarlah hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat
keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.
Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang Pangeran,
seperti bicara kepada diri sendiri, “Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa....”
“Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena
dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar biasa sekali,” kata Sang Pangeran.
Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang
mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya memiliki
kebijaksanaan yang besar dan pandangannya mendalam sekali. “Jadi Paduka telah mengetahui apa yang
terjadi di antara mereka berdua?”
Pangeran itu mengangguk. “Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka
sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku
turun tangan untuk membantunya.”
Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara ‘menangkap’ Syanti Dewi tadi dan dia
maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa harus menyinggung perasaan Ouw Yan Hui
yang telah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi.
Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Ia termenung sebentar,
kemudian berkata lirih. “Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan
saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali.”
Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu
dan berkata, “Harap maafkan bahwa baru kini saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun
Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan
isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi
sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap.”
Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata, “Memang, Enci Syanti Dewi adalah
kakak angkat dari isteri saya.”
Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biar
pun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan
Ngo-ok itu saja telah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka
baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar
itu.
Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni
Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es! Dan
menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama
Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya, membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan
main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat
atas yang demikian hebatnya.
Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan di mana
Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja,
untuk minta ampun atas semua kesalahan dan dosanya. Dia tak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin
membiarkan wanita itu bahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan
tempat itu tanpa diketahui seorang pun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tak mungkin mendiamkan begitu saja dan
ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak
mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti
Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas dari pada penyesalan.
Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti
Dewi, biar pun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam
keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah
terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!
“Syanti....!” Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan
dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku
dekat pembaringan.
“Ssttt....!” Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia mengalami
guncangan batin yang cukup parah.”
“Syanti....!” Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap
wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa
hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng
menjadi terharu.
Dipegangnya tangan saudara tirinya itu. “Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah
dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan
kawin....?”
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang
laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan mendekatinya pun aku
terlalu kotor. Akan tetapi.... aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat
pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....”
Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa
kasihan sekali kepada saudaranya ini. “Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai
begini? Kenapa engkau begini sengsara, Saudaraku?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.
Tek Hoat menunduk. “Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam
tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja agar
engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya....”
“Tek Hoat....!” Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan
ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan
bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar.
Tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai
menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa
lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam
keadaan tidur.
Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi mulai bergerak,
membuka mata dan mulutnya berbisik, “Tek Hoat...., Tek Hoat....”
Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
“Aku.... aku di sini....,” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang
wanita itu.
Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan
pembaringan itu, dia mengeluh, “Tek Hoat....!” isaknya membuat dia sesenggukan dan tak kuasa
mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi
muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau
ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini....”
“Tek Hoat....” Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering
disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai
sekarang.
“Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk
kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati dari pada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi
diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa
engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku
berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”
“Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?” Syanti Dewi berkata,
terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat,
meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar.
“Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?”
“Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini
hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat
ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk,
hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.
“Tek Hoat, jangan....!” Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di
depan Tek Hoat dan merangkulnya!
Tek Hoat terkejut. Dia mundur dan terbelalak. “Jangan begitu, Syanti. Janganlah kau mengotorkan dirimu.
Sungguh, aku tak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi
isterinya Pangeran Mahkota, dan kelak…. kelak menjadi permaisuri.... Wahai Syanti Dewi, sungguh mati
aku ikut merasa amat bahagia melihat kebahagiaanmu....”
Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa
girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”
“Tentu saja, Syanti Dewi. Aku merelakan semuanya, apa pun…. bahkan nyawaku, demi
kebahagiaanmu....”
“Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”
“Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ahhh, orang macam aku
ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti....”
“Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan
mengampunimu. Tek Hoat.... Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum
dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini....
begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri
orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak, menghancurkan hati dan perasaanku,
Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.
Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong bagai orang kehilangan ingatan, atau seperti orang
yang teramat tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh tak pernah terbayangkan olehnya
sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan
sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.
“Tetapi.... tetapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran
Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”
Tek Hoat tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangannya, dan
melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.
“Tentu saja engkau tak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanmu sendiri saja!
Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka
dialah yang akan membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh,
masih perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak
dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu satunya pria yang
pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah
kepadamu?”
Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri,
memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya. “Syanti.... Syanti Dewi....,
be.... benarkah itu? Benarkah itu....?”
“Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahhh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!”
Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu
dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke
ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng
Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.
Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya
Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang
ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena
dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak
kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata
dengan suara lantang sekali.
“Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya
telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!”
Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik
seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan
ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng dan Pangeran Kian Liong sendiri. Dan ketika para
tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguh pun di
dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.
Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui sekarang
hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang lakilaki
yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.
Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan
dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian
Liong mendekatinya dan berkata, “Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka
sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka
dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”
Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat. “Akan tetapi.... tapi.... bukankah Pangeran....?”
“Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek
Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia
menolak semua calon.” Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar
usulnya itu diumumkan.
Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit
dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang, “Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri
bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan
meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu
sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”
Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi
bising.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata, “Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa
seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, juga berganti pakaian....,” tiba-tiba nyonya ini menjadi
bingung. “Wah, pakaian yang mana....?”
Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pakaian pengganti, tetapi
pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.
Pangeran Kian Liong tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek
Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup
pantas kalau dipakai olehnya.”
Wan Ceng tersenyum girang. “Sungguh Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima
kasih!”
Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena
putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat yang baik sekali dari Pangeran Kian
Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang
sekarang menjadi seorang jenderal muda itu.
Syanti Dewi hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan
dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat
melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik, “Maafkan aku, Enci Hui. Engkau tahu, dia
itu tunanganku dan.... dialah satu satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah
tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”
Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang
padanya dengan penuh permohonan dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada
Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi. Mereka
berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah
dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Kemudian mereka pun memasuki gedung untuk
membuat persiapan.
Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para
tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, yaitu mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk
menghadiri pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk
mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan
Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh
Pangeran Kian Liong dan pihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.
“Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti Dewi.
Biar pun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang
Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang
pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan
hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi
mengharukan sekali, namun Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai
dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana
menjadi gembira kembali.
Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah, berubahlah
jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseriseri
dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapa pun juga, dia adalah seorang pria yang usianya
sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua. Sebaliknya, Syanti Dewi biar pun
usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!
Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan
kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakapcakap
menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam
penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah
bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat mereka
merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selamalamanya.
Mereka merasa berbahagia sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Benarkah mereka berbahagia?
Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal
oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup.
Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.
Kata ‘kebahagiaan’ sudah menjadi kabur, bahkan sering kali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh
sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita
memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu?
Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena
terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan?
Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan
sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin
terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan
kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan
selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada
kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar
kesenangan, tak dapat tidak akan bersua dengan kesusahan. Siapa mengejar kepuasan, tak dapat tidak
akan bertemu dengan kekecewaan.
Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa.
Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan
susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku.
Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu selalu penuh dengan
keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi,
maka terjadilah puas dan kecewa. Bahkan jika keinginan telah terpenuhi sekali pun akan menimbulkan halhal
lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu,
kemudian menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita
kehilangan, timbullah duka.
Kebahagiaan tak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya, tidak
mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tiada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar
kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan
baru ada di mana ada cinta kasih.
Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi
kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebahagiaan
bukan hal yang dapat dikhayalkan. Dan kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin
kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan SINI kalau mata kita selalu mencaricari
dan memandang SANA saja?
Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar
menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan
sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti
buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita. Pernahkah kita pada waktu subuh
pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat
suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa? Dan juga pernahkah kita menerawang
bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang,
mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya.
Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak
pernah ‘merasakan’ keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat
merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat,
mengeluh dan mengaduh.
Dalam keadaan menderita sakit, kita selalu mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau
kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana jika kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan
keinginan laln dan ‘ingin sehat’ tadi pun sudah terlupa, ‘bahagia karena sehat’ pun sudah terlupa dan kita
tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak
berbahagia, atau kalau tidak ada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang DIANGGAP
lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu
mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah
sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan
keinginan-keinginan masa depan.
Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa
hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali.
Waspada membuat kita tidak mengeluh, tetapi bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran
atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan.
Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai.
Kerinduan hati mereka terpenuhi. Tapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwaperistiwa,
seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi.
Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya
akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!
Ahh, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk
KESENANGAN itu selalu akan menimbulkan KEBOSANAN? Dapatkah kita hidup tanpa harus menjadi
hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sendiri yang harus
menyelidiki dan menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan PENGHAYATAN dalam
kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi
kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau dapat pula
menyusahkan, tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari
semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!
Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si
pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong,
dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa
ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka. Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh
Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan dengan
pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan
Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu
dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat.
Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat
akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolongnya, maka dia
pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya.
Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang. “Bu-taihiap? Siapakah dia itu?” Wan Ceng
bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.
Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk. “Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah
mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan
kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”
“Dia memang hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi
Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan
mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”
Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok,
berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan
ucapan Pangeran itu, kini bertanya,
“Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”
Sang Pangeran tertawa. “Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada
waktu itu ada tiga orang.”
“Tiga orang isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, dan ketiga orang isterinya itu pun rata-rata amat lihai!”
“Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.
Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak
mengherankan dia. “Aku tidak tahu, Bibi, dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada
waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti
seorang pendekar wanita. Menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan
persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan
pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara.”
“Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!” Wan Ceng berkata
tak senang.
“Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya
berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini
pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau
menolak sebelum mendengar suara Cin Liong.”
“Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin
Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang
kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan.”
Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi
suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa
depan putera tunggal mereka. Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran,
sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu
dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya, seolah-olah di dunia ini yang ada hanya mereka
berdua…..
********************
Sebelum kita melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya kalau kita
lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam
istana kaisar itu…..
Memang telah terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin merupakan satusatunya
kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan
boleh dibilang dia seorang yang ahli dan lihai sekali karena di waktu mudanya, ketika dia masih menjadi
seorang pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah kaum tukang pukul
yang suka menjilat-jilatnya.
Dia disanjung sebagai seorang ‘pendekar’, maka di waktu mudanya Pangeran ini suka sekali berkelahi,
menantang siapa pun yang dianggapnya memiliki ilmu silat. Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau
tahu bahwa penantangnya adalah Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan
Sang Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat yang menang pi-bu!
Pangeran yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi seorang pendekar
dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang baik, yang telah dikalahkannya, sebagian ada
yang memang kalah, akan tetapi banyak yang memang mengalah. Namun, pada suatu hari, dia
membentur batu karang! Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia
menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk ‘pi-bu’, dan akibatnya, Sang Pangeran yang kini dihajar
babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid Siauw-lim-pai!
Pangeran Yung Ceng terkenal mempunyai watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi kekalahan
dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan dia lalu menyamar sebagai
seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauwlim-
pai yang terkenal ahli.
Akan tetapi pada waktu itu Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka permintaan
Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran ini memang memiliki kemauan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
amat keras. Penolakan para pimpinan Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut
di depan kuil siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid Siauw-limpai
diterima!
Melihat kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai jadi tertarik. Setelah mereka
membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ selama tiga hari tiga malam,
mereka lalu menerima Sang Pangeran yang menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah
Ai Seng Kiauw sebagai seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi
hwesio. Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat itu.
Memang Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa dia memiliki
hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang pendekar yang seharusnya memiliki
keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan oleh nafsu amarah. Ai Seng Kiauw atau pangeran ini tekun
berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-limpai
yang mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya naik turun bukit
ke dalam kuil.
Pekerjaan ini amat berat dan selama berbulan-bulan ia melakukan pekerjaan itu sampai pundaknya lecetlecet
dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat setengah tahun, dia dapat memikul kayu atau dua
gentong air sambil berlari-larian menaiki bukit! Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkang-nya
bertambah dengan cepat.
Para murid Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata pelajaran yang
diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar kuat, tahan uji, dan sehat. Maka
mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat sekedarnya saja.
Tidak demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan secara diam-diam,
kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan di waktu malam dan membaca
kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di dalam ruangan itu, sering kali sampai pagi! Dan dia pun
berlatih siang malam tanpa mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain
murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!
Akan tetapi, ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid yang
bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu saja mereka menjadi terkejut
sekali. Beramai-ramai menghadap pangeran dan memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak
tahu, mereka telah memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa.
Ai Seng Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah ketahuan, kini dia tidak
diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan itu tidak sungguh-sungguh
hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga
dia boleh keluar masuk dengan bebas dari kuil itu.
Hal ini membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai hanya setengah
hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran
Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya
menjadi lihai sekali karena betapa pun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan
telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat tangguh.
Sewaktu dia masih menjadi ‘murid’ Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai pangeran, Yung Ceng
ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid-murid Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka.
Bahkan setelah dia diketahui sebagai seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih
menganggapnya sebagai sahabat atau saudara seperguruan.
Ketika itu, Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam keluarga kaisar,
terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan, di antara para pangeran diam-diam terjadi
perebutan kekuasaan untuk menjadi putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah
meninggal dunia. Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang
mengatur segala-galanya.
Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke
empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan pangeran tersayang dan juga seorang
pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera
dunia-kangouw.blogspot.com
selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran
Yung Lok menjadi putera mahkota.
Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar.
Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang
paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selirselir
lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria,
maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara
Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.
Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang
sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu
kaisar.
“Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke
empat,” demikian selir itu memberi tahu.
Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini.”
“Jangan khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam.”
Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui
Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang kemudian mencari siasat.
“Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan
di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang
paling mudah untuk melakukannya.
Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga,
selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat
pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan
pintunya dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng
bersama Lan-thaikam.
Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya dikepal ketika dia
membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan
kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai
putera dari selir ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.
“Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,” kata Lanthaikam,
lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis.
Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat ‘Pangeran
ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya
mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia lalu merangkul pundak pembesar itu.
“Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau
aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!”
“Hanya satu hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan
sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggung
jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang
menulisnya....”
“Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata Lan-thaikam.
“Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”
“Serahkan hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku
akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui tangan lain.” Lalu dia menceritakan
siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu, memasukkan kembali
ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada
yang mengetahui kecuali tiga orang itu.
Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan
pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang
kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan
pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara
mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!
Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan
menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu
mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu
keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas.
Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran
ke empat.
Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran
yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang
Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin,
yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang
Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil
hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan
dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan
tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju
kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh
dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu.
Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan
napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung
kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin
membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu
sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.
“Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami
mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke....
empat.... ehhh.... empat belas....?”
Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak
percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah
penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia
memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke
arah Pangeran itu.
Akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang
pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin
terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke
arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.
Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras, “Itu dia
pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.
Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki
tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak
dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah,
ke dalam ruangan itu.
Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan ringan ketika
dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang panglima yang berkepandaian tinggi.
Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak
dunia-kangouw.blogspot.com
panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang
sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat
meloncat bangun, dia telah diringkus!
Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu
sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang
biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam
hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).
“Plakk! Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih
diringkus oleh dua orang panglima.
“Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang Pangeran nyaring
sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin
mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.
Pembunuh itu memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung
Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku....
Pangeran Ke Empat....”
“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah
sekali.
“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat
mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si
Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!
Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu
terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran
Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran
itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah
menembus jantungnya!
“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang,
seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak
boleh ditunda lagi!”
Lan-thaikam, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah
diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan
suara lantang.
Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami
mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat
Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan
kosong.
Tertanda:
Kaisar Kang Hsi.
Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara
yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, banban-
swe,” yang artinya sama dengan ‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat
menjadi Kaisar baru serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.
Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang
pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati!
Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap
bijaksaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para
panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.
Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang
memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang
dunia-kangouw.blogspot.com
masih mendorongnya pada saat dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama
kuatnya ketika dia dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.
Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak
sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke
dalam lembah nafsu birahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang
dikehendakinya. Dia tak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di
istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat penjilat-penjilat yang
memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh
mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.
Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan
mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar
Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.
Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid
wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung,
Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya
itu untuk menuruti kemauannya!
Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan
Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan
tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauwlim-
pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada
bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan
curiga.
Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari
datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik
ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.
Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu
adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar
tahu bahwa suheng-nya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang
thaikam yang pandai main catur.
Suheng-nya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini,
kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar
suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suheng-nya!
Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya
bisa menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke
kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!
Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan
Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga,
Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab
telah membunuh diri.
Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang
berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat
menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan
lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia
pernah digembleng.
Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan
dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapa pun juga partai persilatan
itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai
musuh. Betapa pun juga, orang orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara
menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam
dan rasa tidak suka saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa
sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah
sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh
ke dalam cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Samthaihouw,
yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya.
Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga
karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara
ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga merupakan kepala istana yang menguasai semua
pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri
tua ini.
Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika
itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan
Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan
banyak terdapat mata-mata musuh.
Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya
dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar
memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai,
sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal
pelajaran agama dari pada ilmu silat.
Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia
dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada
beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan
membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat
apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci
Siauw-lim-pai.
Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa
semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya
menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orangorang
budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.
Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan
Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah
bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan
menjadi tamu-tamunya.
“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan
mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”
Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam
hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar
sebagai pengawal-pengawal istana!
Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika
tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.
“Ada penjahat....!”
Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan
seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah
meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang
oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar
dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepalanya sehingga
nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang
hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak
pengawal istana.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan telah
menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik
jubahnya.
Hwesio tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun
Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang
yang tergantung di kamarnya, lantas melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang
menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka
dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,
“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”
Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka
sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayang menjerit dan
menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara
itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang
berdatangan.
Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan
Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.
“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang
masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari mana dia dapat melihat Kaisar sedang
dikeroyok oleh dua orang.
“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.
Walau dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong
tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan sangat berbahaya maka
sekali loncat dia pun telah lenyap melalui jendela kamar.
Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi
begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main.
Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan
Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung
beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.
Biar pun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan
jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak
mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan
tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di
antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biar pun dia juga
tidak mungkin mampu melawan lagi.
Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama gadis itu, juga
sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu
dan kini dia memaki-maki Kaisar.
“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak segan-segan untuk
memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri, dan biar pun engkau kini telah
bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup
bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan
pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!
Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu
tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang
ternyata adalah suheng-suheng-nya sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat
bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan membentak,
“Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan
tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar
telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.
“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berubah merah saking
marahnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya.
Melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut.
Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya
sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh
keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati.
“Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang
segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.
Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai
kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan
Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Untung sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi
hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada
Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu
dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.
“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan
lagi.
Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam alisnya
berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya.
Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.
Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi
keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi,
bersama suaminya.”
Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin
geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian
tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”
Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali
kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah
hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai
teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”
Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi
memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan
suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan
berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk
bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah,
sampai jumpa besok pagi.”
Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain
karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu
pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa
amat heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang
kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu.
Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar
ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap dan melakukan pengejaran.
Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia
merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang
Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu
silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar
dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.
Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya) menyelundup
ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam
keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana. Di manamana
terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu
menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu
mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika
hampir kepergok para penjaga.
Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan
terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul
penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi
isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.
“Sssttt.... ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.
Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang
mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang
dan tersenyum ramah.
“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.
Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya
masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk,
muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu.
Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak
nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata
mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua
pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau
mereka itu mengganggu.
“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.
Komandan pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan jika hamba
sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis
yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”
“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu?
Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah
kalian cari ke tempat lain.”
Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya
lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah,
yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohonpohon
di tempat indah itu.
Sunyi sekali di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi
menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw,
putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu
menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang.
Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga
dengan pedang siap menyerang!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”
Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya,
“Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”
Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”
“Ahhh....!” Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang
luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan
mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal
yang amat berbahaya sekali.”
Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat mendatangkan
ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini
dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah
mantelnya.
Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi
sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang beraneka warna dan bentuk, yang
berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.
“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda
Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan
dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!”
Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.
Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi
betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang
adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan
nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”
Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya
diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri
diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya
seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun,
penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang
gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang
juga amat sayang kepadanya.
Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka
mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah
mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang
memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai
dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh
Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga
yang tadinya hidup dengan rukun dan bahagia itu.
“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan
oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng
Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri
Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada
bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu
menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu
mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah
mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Hwa kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai,
Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai
merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai,
demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk
saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah
hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.
“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan
mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat
terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu
mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya,
“Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”
Pangeran Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang ahli silat
yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang
pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras
hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya. Dan entah mengapa, baru pertama kali ini
Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah
yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat
mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona
ini.
“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa
engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”
Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya
terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba....
dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam?
Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan
hamba akan....”
Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak
dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah
putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu
keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!
“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”
“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan satu-satunya orang
yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat
penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada
musuhnya?”
Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau masih
terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau
mendendam kepada Kaisar?”
“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”
“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”
Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia
membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”
Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku
karena kelemahannya sendiri, Nona.”
“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”
“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin
sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya
peristiwa itu adalah karena Suhu-mu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya
dunia-kangouw.blogspot.com
lagi! Coba bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak membawa isterinya,
dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih
banyak andai kata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa
Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha
membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”
Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah
seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw
itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah
mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok
pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak
dapatkah engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada
permusuhan di antara kita?”
Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan
adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran
ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah
Pangeran itu!
“Aku.... aku tidak tahu....”
“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu?
Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”
“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”
Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar,
seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai
kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh
orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”
Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm, agaknya
pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”
Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan,
Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”
“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”
“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah dan di
antara daun-daun teratai. Cepat!”
Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu
masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga
terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di
bagian yang gelap dari kolam itu.
Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang
melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak
berombak.
“Maaf, Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi
sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah
tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia
sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu.
Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki
mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.
Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian
gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.
“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”
Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh
gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku,
engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”
Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa
orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan
tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani
mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya
merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal
seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar
wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh
merupakan hal yang luar biasa sekali.
Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian ia
mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian
kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk
kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di
balik tirai itu.”
Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang
tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu
yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil
membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah
berseri dan kagum.
“Ah, engkau telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”
Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada Pangeran
ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan
berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk
Pangeran ini yang memang amat bijaksana.
“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang
pangeran itu.
Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan
dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa benar-benar kagum sekali hingga
pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong
kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.
“Ohhh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana.
Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana,
engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini,
engkau akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu lantas
meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang
ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.
Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.
“Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin
dapat membalasnya dan....”
“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri
berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak
dunia-kangouw.blogspot.com
perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang
jauh-jauh dendam dari hatimu itu.”
Dara itu menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar
lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji
akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu,
bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”
“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi kaisar....”
“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan
ucapannya.
“....dan jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau
selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu saja di sampingku....”
Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai
dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia
sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang
sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan
hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta
kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!
Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan katakata
yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk
memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan
seperti itu dan diam-diam sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk
memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk
sampai titik darah terakhir.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah
menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan
cintanya dengan cara tidak langsung, malah ‘meminangnya’ secara tidak langsung pula! Dia merasa
terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan
memperkosanya.
Karena sampai lama gadis itu tak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan
tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati menggunakan jari-jari tangan
kiri memegang dagu gadis itu dan mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak
pucat, kedua matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke atas kedua
pipinya.
“Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?”
Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan
menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat....”
“Tok-tok-tokk!”
Keduanya terkejut sekali dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke
arah daun pintu itu.
“Siapa....?” Pangeran Kian Liong membentak dengan suara kereng.
“Saya, Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu.
Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi
ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya. “Saya
siapa?”
“Saya Ibumu ke tiga, Pangeran.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.”
“Bukalah, Pangeran, dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan
wanita pemberontak itu di dalam kamar!”
“Singgg....!” Li Hwa mencabut pedangnya.
Namun Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang
dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya.
Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.
“Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa,
diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan
gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali,
jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau
ditangkap.
Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang ‘pemuda’ yang
pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa
‘pemuda’ itu tentu wanita pemberontak yang tengah dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan matamatanya,
yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk ke kamar
bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup.
“Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh....”
“Apa?” Pangeran itu berhenti, membalik diri dan menghadapi wanita tua itu, kemudian memandang tajam
kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan, “Siapa
berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin kulihat orangnya yang berani menghalangiku!”
Sikapnya amat gagah dan menantang sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani
menentang pandang mata Pangeran itu.
Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak
berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia
pun sadar bahwa bagaimana pun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran
Mahkota itu. Kalau dia yang mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan
tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapa pun juga, Pangeran itu adalah Pangeran
Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati.
Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri
Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh
Kaisar!”
Tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap
pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari ‘pemberontak’ wanita itu, begitu melihat Pangeran
itu bergandengan tangan dengan seorang ‘pemuda’ yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis
pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa,
kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan
menundukkan muka!
Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu
keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga.
Diam-diam dia merasa makin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu
bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat
membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang
meloloskan orang yang hendak membunuhnya!
Akan tetapi, tak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng
tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian
Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana
dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li
Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani
mengganggumu.”
Li Hwa menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat
besar, untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba....”
Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri
dan biar pun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena
mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.
“Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang
kepadaku dan hidup bersamaku.”
Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika berbisik, “Hamba
bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah
menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang.
Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya
merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran.
“Pemberontak, kalian hendak lari ke mana?”
Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan
Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ,
berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu
tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.
“Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”
Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa
bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar,
membantu pembunuh melarikan diri!”
“Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berubah agak pucat karena
maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatannya, terutama sekali
keselamatan Li Hwa.
“Aku? Ha-ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!” Setelah berkata
demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju.
Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu segera menerjang, mendahului
orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena
dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia
mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya
tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi.
Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis
pedang nona itu.
“Trakkk!”
Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar
biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tak mundur sama sekali.
“Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia
menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan,
gerakannya amat ganas.
“Bressss....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu, yang pada
waktu bertemu dengan tubuhnya yang kebal bagaikan menyerang orang-orangan dari karet yang amat
kuatnya, sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai bergulinggulingan.
“Li Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu.
“Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!”
Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong.
Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa.
“Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan,” kata Pangeran itu
yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang
lihai itu.
“Ha-ha-ha, sungguh-sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak yang
berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang tadi kuterima
adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati
yang mesra, ha-ha-ha!”
Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian
orang itu hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa dapat membela diri lagi.
“Dessss....!”
Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak mencoba menembus
kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang pria yang berlengan satu sudah
berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya!
“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap.
“Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao
Kok Cu.
Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, maka pantas saja Li Hwa sama
sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biar pun
dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri!
Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat
diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi).
Sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si
Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat
gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri, untuk menghindar
setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau
kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok.
Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi
lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari
sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!”
Li Hwa terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....”
“Jangan lupa pesanku, Li Hwa.”
Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri ke dalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja
sebelah selatan. Dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia akan dengan mudah dapat keluar dari kota
raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang
berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si
pembangkang akan dihukum berat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh terjadi perubahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika memasuki istana dia
merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, serta penuh kebencian dan dendam
terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan,
kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah
dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali
dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang
menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar
yang amat berkuasa kelak!
Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus
saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biar pun dia tidak mengalami luka parah,
namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu. Dan akhirnya Samok
lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka.
Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang, “Sebaiknya
Paduka kembali ke dalam istana.”
“Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman,” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan,
“Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini.”
Kao Kok Cu mengangguk, paham bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal
diri gadis Siauw-lim-pai itu. Kemudian dia mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan
Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah
mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat
oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong
yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak akan
mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami
isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu
mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir
pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau
Kim-coa-to.
Tetapi Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya. Pandang matanya lebih
banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng
dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal
mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.
“Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, dan
ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri
yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda
suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi
ilmu silat yang baik.”
Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterlaluan. Biar pun dia seorang
kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula.
Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja,
apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi?
Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya
belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?”
“Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coato
selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari
bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu
kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk
menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa
sungkan sedikit pun juga meski pun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri
pendekar yang selama ini amat dikaguminya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas
bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri
bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang,
“Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!”
Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, tetapi sebelum dia membantah, dan
kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah
memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya,
dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi,
pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok
hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya.
Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw lalu menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa
dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang
menjadi Ibu tirinya itu.
“Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw.
“Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat,” balas Sri Baginda Kaisar.
Sam-thaihouw lalu memutar tubuh dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas
bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat
seperti gerakan teratur seorang pemain wayang, Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan
tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka
Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda sudah makan pagi bersama
dengan seorang pengkhianat.”
Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu
dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?”
“Tentu Sri Baginda telah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam
menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi
semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi,
untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.
“Di mana?” Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.
“Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!”
“Ahhh....” Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.
“Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong juga telah ikut membantu pemberontak itu,
membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan
para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong
adalah seorang pengkhianat!”
Wajah Kaisar berubah merah serta sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia
memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada
Sang Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa
Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.
“Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang tadi sudah dikatakan oleh Sam-thaihauw?”
Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan
penuh aturan.
Pangeran Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang
gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu
datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kunjungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhunya
dan Paduka. Jadi urusan tadi malam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada
hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah
dunia-kangouw.blogspot.com
hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid dari Siauw-lim-pai. Hamba juga
menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauwlim-
pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka,
dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkan gadis itu demi
untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka tetap
menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda
Kaisar!”
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang
telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suheng-nya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua
itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suheng-nya yang datang bersama isterinya
yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu. Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal
itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biar pun dia kurang puas karena
seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun
betapa pun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-limpai
terhadap dirinya.
Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat
kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran
ini dari ayahnya, dan untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap
Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban
Pangeran Kian Liong, dia menjadi kecewa sekali.
“Sungguh keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya pada Pangeran Muda itu.
“Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis
itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya!
Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak
membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai
musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap
pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan
para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki
istana....”
Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia
memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar
cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki
tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?”
Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, tetapi dia cepat menegakkan leher dan berkata dengan suara
mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhan dan keyakinan akan kekuasaannya, “Apa salahnya aku
menggunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka
adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan
negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati Negara, bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw kembali
menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat.
Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung. Dia hanya menoleh kepada dua orang itu
berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biar pun masih muda namun sebenarnya dia sangat cerdik
dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia
tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban
inilah yang ditunggu-tunggunya.
“Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang
Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya hanya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka
terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa
adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya
orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok? Siapakah adanya Sam-ok Ban-hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali
hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat. Dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah
Kaisar, kemudian kepada wajah Sang Pangeran dan mulutnya sedikit bergerak-gerak, akan tetapi tidak
mengeluarkan suara apa-apa.
“Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang kini menjadi orang
yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari
Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita.”
Kaisar terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu, yang sejak dulu kelihatan
amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia
cepat menoleh dan memandang kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu
menjadi pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian panjang itu
menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang!
“Harap Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini kelihatan marah
terhadap nenek itu.
“Saya.... saya.... tidak tahu akan hal itu.”
“Sam-thaihouw tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan Ngo-ok
berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha untuk merusak nama saya dan
semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan
hal itu tentu sudah terlaksana kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang
Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Su-bi Mo-li itu pun pernah menculik putera kembar Paman Gak
Bun Beng. Mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Samthaihouw
dengan mempergunakan tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah
semata-mata untuk menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan
Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?” Serangan ucapan
Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan wajah nenek itu nampak semakin
ketakutan.
Kaisar semenjak tadi terus mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah Sam-thaihouw. Tanpa
diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta dan sayang, juga kagum kepada puteranya
itu, maka segala usaha nenek itu untuk memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan
usaha yang sia-sia, bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari akan hal ini,
dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal, bingung dan juga ketakutan.
“Benarkah semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan bukti-bukti!”
Sam-thaihouw sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya.
Kaisar menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek, itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan
mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak memerintahkan pengawal untuk
menangkapnya, melainkan hanya menudingkan telunjuk ke arah pintu sambil berkata, “Pergilah, Samthaihouw!”
Nenek itu lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa menit
saja telah berubah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah. Setelah tiba di luar pintu, dia
dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya
sendiri, dia roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian, sebelum
dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan
jantungnya yang memang kurang begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan,
kekagetan dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan mengakibatkan dia
tewas seketika!
Kematian Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau setidaknya
menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan
diketahui pula oleh suaminya dan oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak
mata keranjang itu telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di pagi
hari itu, kata-katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, seakan membayangkan kehendaknya
agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara tinggal di istana sebagai tamu agungnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, mendadak
datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal ini tentu saja
mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera diakhiri.
Peristiwa kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong, untuk meninggalkan istana dan pulang
ke Bhutan tanpa menemui Kaisar lagi, cukup berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka
tidak mau dikawal oleh pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya
membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi.
Demikianlah, bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan
mengurung mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan mungkin
sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja, melakukan perjalanan yang amat
jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka berdua, bagaikan sepasang pengantin baru
melakukan tamasya di tempat-tempat sunyi nan indah. Mereka menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan
kadang-kadang berhenti untuk mengaso atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan
terbentang luas di depan mereka, seolah-olah menjadi hadiah bagi mereka berdua yang sudah bertahuntahun
lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan.
Biar pun Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh tangkap semua
kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan melempar mereka ke dalam tahanan, namun
demi menjaga nama baik keluar istana, kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi.
Bahkan Kaisar melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan bela sungkawa
dari negara-negara tetangga.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua
orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini
lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar.
Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamannya ketika beberapa tahun yang lalu mereka
ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar.
Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini ia telah berdekatan dengan
orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka.
Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkar pula kepalsuan Lan-thaikam, orang
kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan
menggantikan kedudukan Kaisar Kang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta
kekayaan yang banyaknya luar biasa, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail
emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya!
Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat
erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati
dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang
meracuninya! Maka, tidak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas
pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak
menimbulkan keributan.
Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao
Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal
muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau
melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang.
Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri
pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran
dan tidak puasnya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu.
Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami
kegagalan.
“Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali
pedang pusaka itu,” kata Kaisar antara lain, dan lalu melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat
penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini
menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana
akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak
mampu menangkap seorang maling saja?”
Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke
rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ
mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang
Koai-liong-kiam. Di depan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar
akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali
pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan
oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang
didengarnya dari Tek Hoat.
“Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu
dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas,” kata Kao Cin Liong. “Betapa pun juga,
perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana,
maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu, tak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran,
hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman
Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil
jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.”
Sang Pangeran mengerutkan alisnya. “Tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat
itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatlah jauhnya dan sukar sekali. Pula, menurut Paman Wan
Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat dari
pada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”
“Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran,” kata Kao Kok Cu dengan
tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong-ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan
membawanya kembali ke istana.”
Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau
pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan
kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya
itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.”
Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada
hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.
Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah
Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka.
Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan
mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana santai
dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu
bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu.
Tentu saja Kao Cin Liong terkejut dan merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang
gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik,
tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis
itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang.
“Ahh, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan
pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorang Panglima Nepal yang tangguh
sekali!”
Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong bercerita tentang usaha
menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan
bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan,
puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan
musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu.
“Nah, demikianlah ceritanya,” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal
nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka
tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah sekali. “Ini
penghinaan namanya!”
“Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah
menyelamatkan Pangeran....”
“Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekali pun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima
musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata
lagi dengan marah.
“Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang akan datang menemui Ayah Ibu
dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka.
Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan
bertanya, suaranya sungguh-sungguh, “Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau
dan Nona Bu Siok Lan itu?”
“Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.
“Mendengar penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara kau dan dia terdapat hubungan persahabatan,
sungguh pun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang
terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”
Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat
Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dan dia lalu menjawab
tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi
hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.”
“Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.
“Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.
“Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka
kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi
perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak
mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!”
“Ahhh....!” Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak pernah disangkanya bahwa Panglima Nandini,
yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan
puterinya yang tunggal itu dengan dia!
“Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin,” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang
kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada
hubungan cinta, Cin Liong?”
“Tidak, Ayah.”
“Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan
perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri.
Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu
bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau
tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”
Pemuda yang sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang
besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa
malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.
“Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”
“Jadi, berarti engkau menolaknya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, tetapi karena aku belum
mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”
“Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang
menemui kami.”
Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan
isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka
mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga
hari kemudian.
Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi
rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan
yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di
antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini!
Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan
yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan
adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah
disusul oleh ibunya dan ayahnya.
Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan
bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima
musuhnya. “Ahh, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah
Paman dan para Bibi yang lain ini?”
Semenjak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepada
pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah perkasa itu, juga dia sedikit
terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan lagi, dia dapat
menduga siapa adanya pria berlengan satu itu.
“Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan
pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah
dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat
mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam.
Dia pun cepat membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa tentulah
pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”
“Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan
dalam untuk bicara,” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan
rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram.
“Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya
adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Taihiap. Dan dia adalah
Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka
bertiga adalah isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu
memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik.
Terpaksa Wan Ceng membalas pengbormatan mereka, tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan
cemberut. Akan tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng
mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk.
Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan
ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan
segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat
datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi
dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?”
Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada
pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku
dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.
“Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Namun sebelum saya mewakili
keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya
apakah Taihiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian
Liong?”
Si Naga Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami sudah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau
telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk dapat mengadakan ikatan jodoh antara anakanak
kita.”
Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan
kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Ia akan lebih
suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas dari pada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal
yang tidak amat enak. Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga
Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak
wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus
dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak
dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.
“Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benar
demikian, Taihiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Taihiap yang gagah perkasa,
akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan
putera Taihiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Taihiap. Dan untuk
membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Taihiap
sekeluarga.”
Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan,
seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah
membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu
menjawab dengan suara tenang namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau
kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami
mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil
keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk
mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapa pun juga.”
Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain
semua memandang pada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah
mengatakan, bahwa ‘ada apa-apa’ antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul
perjodohan ini sudah pasti akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan
amat mengejutkan. Apalagi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia
menoleh kepada isterinya, Nandini.
Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, tetapi pemuda itu
bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, lalu bangkit berdiri dan
menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?”
Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat
menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah sikap seorang tamu yang baik?
Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?”
Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada
Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap
sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan
puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalih belum ingin mengikatkan diri dalam
perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermainkan puteriku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian,
apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”
“Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian
sudah saling mencinta!”
Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan
muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan....
aku yakin dia pun cinta padaku....”
“Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang
hal ini,” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa.
“Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderal
Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya menatap ke arah gadis itu, sehingga tidak
dapat disangsikan lagi kebenarannya.
Dengan suara gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?”
Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan
betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terangterangan
menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!
“Dia memang tak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya.....
ahhh, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!
Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh tidak tahu
diri! Mana mungkin puteraku bisa jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan
bagaimana pun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!”
“Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!”
“Huh, kau mau apa? Kau kira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang.
Kedua orang wanita itu sudah saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang memperebutkan anak
mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik,
“Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus kita hormati.”
Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah, kita adalah tamutamu
dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar, mengapa harus ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini
dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap
suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin
orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami
mohon diri.”
Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap Bu-taihiap tidak
terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau
mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”
“Kami mengerti, selamat tinggal.”
“Selamat jalan!”
Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan
muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat
dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguh pun hal itu
bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapa pun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh
peristiwa ini.
Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat
meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan
dunia-kangouw.blogspot.com
merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari
gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu…..
********************
“Bu-koko, sebaiknya jika engkau menanti dulu di sini, biarlah aku yang lebih dulu masuk menemui kakek.
Setelah aku bicara dengannya, barulah aku akan memanggilmu. Hal ini untuk melancarkan pembicaraan
antara kakek dan aku.”
Mendengar kata-kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan kekasihnya.
“Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan
yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang
keputusan untuk membatalkan ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang
keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong.
Matahari telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali. Akan tetapi, rumah
besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali, sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Taihang-
san itu. Berdebar rasa jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu.
Tempat yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja di tempat ini,
apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat menyeramkan, seperti rumah kediaman
para iblis dan siluman.
Tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi terdengar jelas
oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku seorang tua yang sudah tidak ingin
berurusan dengan siapa pun....!”
Mendengar suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kongkong...., ini aku, Yu Hwi yang datang....”
Hening sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap gema suara
gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti sejenak dan dari dalam nampaklah seorang
kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan
amat tua dan tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan saling
pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut.
“Kongkong....!”
“Yu Hwi.... engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?”
Kakek itu mengejap-ngejapkan kedua matanya memandang wajah yang menengadah itu. Selama
bertahun-tahun dia terus mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan kemudian pergi merantau
bertahun-tahun mencarinya, sampai akhirnya membawanya ke Pegunungan Himalaya, namun semua
usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa
tubuhnya telah terlalu tua dan sahabatnya, yaitu Sin-siauw Sengjin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa
di sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal dunia, kakek ini
tak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tak lagi mengharapkan kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya
itu telah tiada lagi di dunia ini, dan harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas
sudah membuyar.
Akan tetapi, pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan cucunya itu!
Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat membuat kakek ini memejamkan
mata dan menahan dua butir air mata yang hendak runtuh. Betapa pun juga, dia adalah bekas Raja
Pengemis, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda,
menangis merupakan pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan
seorang yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang sekali.
“Cucuku....!” Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu.
“Kongkong...., ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata dengan
suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali.
Semenjak kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi gurunya yang
tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan semenjak kecil dia terpisah dari kakeknya. Kemudian,
dunia-kangouw.blogspot.com
setelah mereka saling bertemu kembali, ia melarikan diri ketika mendengar bahwa sejak kecil dia
dijodohkan dengan Kam Hong! Dan sejak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang
mereka saling bertemu kembali.
“Yu Hwi.... Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku mencaricarimu
Yu Hwi....”
“Maaf, Kongkong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kongkong selama
ini.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemmm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan kecewa
padaku, bukan?”
“Maaf... agaknya demikianlah... Kedatangan saya ini hanya untuk meresmikan putusnya pertalian jodoh
yang Kong-kong adakan dahulu antara saya dengan Kam Hong.”
Akan tetapi ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang memang
sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia menarik napas panjang. “Sinsiauw
Sengjin juga sudah meninggal dunia...., dia kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan
ikatan itu tidak mungkin dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang
bersangkutan, yaitu Kam Hong....”
“Hal itu sudah beres, Kongkong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua sudah
membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasehatkan agar saya datang kepadamu dan
memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang hal itu.
“Sesukamulah.... sesukamulah...., tetapi kalau boleh aku mengetahui, kalau engkau masih menganggap
aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya maka engkau memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada
kecocokan antara engkau dengan Kam Hong....?”
“Sesungguhnya karena saya.... saya sudah menemukan calon suami saya sendiri, Kongkong.”
“Hemmm....”
“Bahkan dia pun mengantar saya menghadap Kongkong, tetapi saya suruh menanti di luar agar tidak
mengejutkan hati Kongkong. Kalau Kongkong memperkenankan, saya akan memanggil dia masuk....” Yu
Hwi memandang kepada kongkong-nya dengan ragu-ragu, lalu bangkit berdiri.
Untuk beberapa lamanya kakek itu memandang wajah cucunya. Harus diakui bahwa cucunya itu telah jauh
lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang wanita, cucunya itu telah lewat batas usia
kepantasan untuk menikah dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini.
“Cukup, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?”
Yu Hwi tersenyum. “Tentu saja, Kongkong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan tahun.”
Sai-cu Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu? Berapa
usia calon suamimu itu?”
“Dia sudah berusia tiga puluh tahun, Kongkong....,” jawab Yu Hwi.
Wajah kakek itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon suami yang
sepadan usianya.
“Tentu saja aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu Hwi.”
Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan orang yang
berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko, Kongkong telah memperkenankan
engkau masuk. Masuklah, Koko!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi mengandung
getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan dapat dikirim sampai jauh. Itulah
semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang mengandalkan khikang yang amat kuat.
Dia sendiri pun belum tentu sekuat itu!
Dan dari luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh seorang pria
yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok dan setelah pria muda itu tiba di
depannya dan memberi hormat dengan sikap yang amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang
sekali. Keadaan pria ini sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa
kekecewaan atas terputusnya tali perjodohan antara cucunya dengan Kam Hong. Pria ini sungguh tidak
mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan jantan! Akan tetapi, di samping rasa
puas ini pun dia merasa terkejut karena dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda
tinggi besar dan gagah perkasa ini.
“Ehh.... rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....,” katanya sambil memandang
wajah itu penuh selidik.
Pemuda perkasa itu segera menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami sekeluarga di
Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan Locianpwe beberapa tahun yang
lalu.”
“Ahh, sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang sakti itu!”
Kembali Cu Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.”
Tentu saja Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang sekali. Dia pernah
menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok,
orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan
dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekali pun! Gagal mempunyai cucu mantu seperti Kam Hong
akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu mengecewakan!
“Dan Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?”
Kang Bu adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia cepat berkata,
“Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena keluarga kami sejak dahulu tidak pernah
menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi
suami isteri dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.”
Sai-cu Kai-ong tertawa gembira. “Ah, tentu saja! Sejak dahulu, bukankah Yu Hwi telah menentukan
pilihannya sendiri? Yu Hwi, anak nakal, bagaimana engkau dapat bertemu dan bersahabat, hingga
akhirnya berjodoh dengan Cu Kang Bu?”
“Kongkong, sesungguhnya Kang Bu Koko ini masih Susiok saya sendiri!”
“Susiok-mu? Engkau menjadi murid siapakah?”
“Cui-beng Sian-li Tan Cun Ciu adalah Subo saya....”
“Apa?! Orang yang sudah mengambil pedang pusaka dari istana itu?” Sai-cu Kai-ong menggelenggelengkan
kepalanya.
Pantas saja cucunya menjadi demikian lihai, kiranya menjadi murid wanita yang sudah menggegerkan
dunia kang-ouw ketika mencuri pedang pusaka dari gudang pusaka istana tanpa ada seorang pun yang
mengetahuinya. “Sungguh nasibmu amat luar biasa, Cucuku. Sejak kecil sekali sudah menjadi murid
seorang seperti Hek-sin Touw-ong, kemudian menjadi murid Cui-beng Sian-li, dan kini malah menjadi
jodoh seorang seperti Cu Kang Bu!”
Yu Hwi lalu menceritakan kepada kongkong-nya segala hal yang telah dialaminya semenjak dia
meninggalkan kakeknya itu dan juga tentang pertemuannya dengan Kam Hong. Setelah mendengarkan
semua penuturan Yu Hwi, kakek itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang.
Walau pun wajahnya masih memperlihatkan tanda bahwa dia merasa girang juga, kalau dia teringat betapa
hubungan antara keluarga Kam dan keluarga Yu terjalin semenjak ratusan tahun yang lalu, dan kini, pada
dunia-kangouw.blogspot.com
keturunan terakhir, dia gagal untuk mengikatkan perjodohan antara dua keluarga itu, hatinya terasa amat
berduka.
“Kongkong, setelah kami berdua datang menghadap Kongkong, dan Kongkong dapat menyetujui ikatan
jodoh antara kami, kami mohon agar Kongkong sudi bersama kami ke Lembah Suling Emas di mana kami
akan meresmikan pernikahan kami dan agar Kongkong dapat memberi doa restu kepada kami!”
Kini kakek itu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Sayang sekali, hal itu tidak mungkin aku lakukan, Yu
Hwi. Tentu saja aku tidak keberatan kalau engkau berjodoh dengan Cu Kang Bu, akan tetapi aku sendiri
tidak mungkin menghadiri pernikahan....”
“Kenapa, Kongkong?”
“Aku telah bersumpah untuk mengikatkan keluarga Kam dan keluarga Yu kita dalam ikatan perjodohan,
namun aku telah gagal. Aku telah mengecewakan leluhur kita, bagai mana mungkin aku dapat menghadiri
pernikahanmu dengan keluarga lain? Aku sudah tua dan aku akan tinggal di sini, mengasingkan diri
sampai mati. Aku tidak akan keluar meninggalkan tempat ini, apa pun yang akan terjadi di luar. Nah, kalian
kembaliiah ke barat dan jadilah suami isteri yang baik, tentu saja doa restuku menyertai kalian berdua.”
Jawaban ini menyedihkan hati Yu Hwi, akan tetapi karena semenjak kecil dia tidak bersama kakeknya,
maka dia pun dapat menguasai hatinya. Maka untuk terakhir kalinya dia lalu berlutut di depan kakek itu
untuk berpamit, diikuti pula oleh Cu Kang Bu karena kakek itu adalah calon kongkong-nya juga.
Melihat betapa dua orang itu berlutut di depannya, Sai-cu Kai-ong merasa tarharu juga. “Semoga Thian
selalu melindungimu, Cucu-cucuku, Dan kalau kebetulan kalian bertemu dengan Kam Hong, katakanlah
kepadanya bahwa sebelum aku mati aku ingin berjumpa dengannya, minta agar dia suka datang ke sini
mengunjungiku.”
Demikianlah, setelah mendapat doa restu kakek itu, Yu Hwi dan Cu Kang Bu lalu meninggalkan Puncak
Bukit Nelayan itu dan menuruni Pegunungan Tai-hang-san untuk kembali ke Lembah Suling Emas atau
yang sekarang telah berubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman. Mereka, termasuk juga Yu Hwi,
tidak merasa bersedih, bahkan sebaliknya, mereka merasa gembira sekali karena mereka kini menuju
pulang untuk segera melangsungkan pernikahan mereka! Mereka sudah mendapat persetujuan dan doa
restu Sai-cu Kai-ong, bahwa ikatan jodah antara Yu Hwi dengan Kam Hong telah putus secara resmi. Tidak
ada lagi yang menjadi penghalang atau ganjalan di antara mereka untuk dapat menikah dengan resmi.
Senang dan susah mirip ombak dalam samudera kehidupan, susul-menyusul dan datang silih berganti.
Tangis dan tawa merupakan bumbu-bumbu kehidupan seperti masam dan manis dalam masakan. Selagi
terbuai dalam kesenangan, kita tidak tahu bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu untuk
mendapat giliran menguasai kita, menggantikan kesenangan yang terbang lalu tanpa meninggalkan bekas
lagi.
Yu Hwi dan Kang Bu melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga Siluman dengan hati girang,
bermesraan di sepanjang perjalanan, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka melakukan
perjalanan itu, terjadi sesuatu yang hebat di lembah itu. Apakah yang terjadi? Mari kita menengok keadaan
lembah itu dan meninggalkan sepasang calon suami isteri, sepasang kekasih yang penuh kemesraan dan
kebahagiaan itu…..
********************
Pada pagi yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang selalu berpakaian pria,
dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar itu, sedang berjalan pulang ke lembah
dengan wajah riang. Dia baru saja kembali dari goa rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun ‘bertapa’
sambil menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Tidak ada orang yang mengetahui tempat
rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ memperdalam ilmu pedang
pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa
hari sekali datang menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.
Pada pagi hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang dicintanya
itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya gembira sekali pada pagi hari itu. Ia
berjalan sambil kadang-kadang berloncatan dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya
ini sepenuhnya suara wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya. Kalau dia tidak mengeluarkan suara, tentu
dunia-kangouw.blogspot.com
dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang gadis, kecantikan Pek In
biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah
seorang pria yang amat ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.
Sebagai puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada tiga pasang mata yang mengikuti
gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang
membayanginya itu jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia. Tiga orang ini baru melihatnya setelah
dia berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang ini mengintai di lembah itu.
Tiga orang ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Mereka sudah
tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang dimaksudkan sebagai tempat tinggal
keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini. Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka
mereka kemudian menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu
waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan.
Sudah sehari semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka melihat
Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja
dengan sekali pandang sudah tahu bahwa ‘pemuda’ yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis.
Mereka lalu membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu menuju ke
tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah mereka datangi.
Ketika tiba di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang, setelah merasa yakin
bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, kemudian dia mengeluarkan suling emasnya dari balik
bajunya dan meniup sulingnya. Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati ketiga orang
pengintai itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa, melainkan tiupan seorang
yang memiliki khikang yang kuat.
Tiga orang yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan
juga kekaguman ketika mereka melihat betapa dari dasar jurang itu kini nampak sehelai tambang yang
cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas dan akhirnya melintang menyeberang jurang.
Mengertilah mereka kini bahwa dara itu tadi mempergunakan suara suling untuk memberi tanda kepada
orang-orang di seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang yang
merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke bawah, tersembunyi kabut.
Memang benar dugaan mereka, karena sekarang dengan gerakan ringan sekali, dara berpakaian pria itu
meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan yang lincah.
“Cepat, aku akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang sana!”
bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya.
Wan Ceng dan Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka
mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng dan Cin Liong juga
meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang. Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar
berlengan satu itu telah berada di atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In
yang berjalan di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang mengikutinya.
“Nona, perlahan dulu!”
Ucapan itu mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada saat itu,
orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki
yang bertubuh tegap dan berlengan satu telah berdiri di atas tambang di depannya!
Pek In memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang berani
melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati atas kepalanya dan turun lagi ke
atas tambang di depannya. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu! Akan
tetapi, dia tidak sempat terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan
ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah berjalan di atas
jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan belakang!
“Siapa kalian?! Mau apa kalian?” bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa para penjaga
yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak berdaya karena kalau mereka itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang asing, itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan
tetapi dia juga karena dia berada di tengah-tengah antara mereka!
“Maaf, Nona. Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan para
penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah ke depan, mendahului
gadis itu menyeberang.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru