Selasa, 29 Agustus 2017

Komik KPH Suling Emas Naga Siluman 5

Komik KPH Suling Emas Naga Siluman 5 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Komik KPH Suling Emas Naga Siluman 5
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan
perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang
nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja,
yang lain-lain tidak ada lagi!
Kiranya tiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah
diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa
bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sungguh sayang…..
Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya
belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke
depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya.
Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di
depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda
itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan,
agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.
“Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan
menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap
dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu.
Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis
puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman,
merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan
tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak
nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan
tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek
itu nampak.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat, akhirnya terpaksa Ci Sian berhenti di lereng
bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu
Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah
dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir.
dunia-kangouw.blogspot.com
Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin
dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau
harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan
sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian
hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang,
seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar
Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut?
Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulihlah kembali semangat dan keberaniannya dan
mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi.
Hari telah makin menua, matahari mulai ke barat, dan biar pun dia mulai merasa khawatir lagi, namun
diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia
melihat tapak kaki di atas salju tebal.
Ketika tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh
perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-ngaung dari arah kiri. Tadinya dia mengira
bahwa itu suara suling dari Kam Hong, tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan
kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi
dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan
menyanyikan lagu aneh.
Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau
mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan
adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui
untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain dari
pada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.
Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui
bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti,
memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya
bahwa suara mengaung-ngaung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi
tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara
itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar
biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar,
sebesar pondok?
Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biar
pun dia sering kali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis!
Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba
suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi
yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang
diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan
sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah
orang di dalam batu ini?”
Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucu pertanyaan
yang dikeluarkannya itu. Biasanya, jika orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah,
tetapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?
“Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu ini?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang
dipegangnya itu pada batu besar.
Mendadak terdengar suara dari dalam batu itu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan
tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”
Bukan main girang hatinya. Tentu itu Kam Hong! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam
Hong? Meski biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah
mengakui dia sebagai sumoi-nya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu
berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali
Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia
tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya
dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng
dari pada menyebut paman kepada Kam Hong.
“Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja
tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.
“Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi
miring otaknya, jika tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya
lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?
“Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak jika berbantahan dari luar dan dalam
batu!
“Tunggu sebentar....!”
Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam
batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana
masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab
semua keheranannya.
Mendadak batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, tetapi dia
menahan diri ketika melihat betapa di balik batu itu kelihatan lubang hitam yang makin lama semakin
melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam goa yang tersembunyi di balik batu
besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun
terkejut ketika mereka saling pandang. Lalu wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.
“Engkau....?”
“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau ehhh...., Siauw Goat dan kita
pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara
ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik
jelita seperti ini.
“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.
“Kau tadi kusangka Sumoi....”
“Dan engkau kusangka Suheng....”
Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu
membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sekali sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang
hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan
percakapan itu menjadi kacau!
“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat
mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?”
Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum,
mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang tidak ada bedanya dalam
pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm,
cantik jelita sekali, Siauw Goat!”
Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk
menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak
kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah
adanya Sumoi-mu yang tadi kau sebut-sebut?”
“Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tetapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bertanya tentang
namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan
orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi
nama itu sama sekali tidaklah indah....“
“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... ehhh, Ci Sian!”
“Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoi-mu itu?”
“Sumoi-ku? Ahh, Sumoi-ku bernama Cu Pek In....“
Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu
berubah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu
ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap
mengancam.
“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah,
suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!”
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada
Hong Bu!
“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri saat
dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup
dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tak bicara lagi, melainkan menyerang semakin ganas.
Harus diketahui bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang
amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang
melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti.
Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang
besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu
dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sinkang dan kematangan ilmu silat, dia telah
jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu atau pun Cu Seng Bu.
Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam goa di mana ia pernah diajak
oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai
melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan, terutama sekali Ilmu Pedang Koailiong-
kiam itu.
Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan tentu tidak sukar baginya untuk
merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi,
Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang
aneh dalam hatinya. Ia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima
tahun yang lalu itu. Kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan
terheran-heran saja. Sedikit pun ia tak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadangkadang
saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan
Ci Sian.
Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa
Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah
mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tiada hasilnya sama sekali membuat dia
penasaran dan hampir menangis.
“Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus
menyerang.
Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu
agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu
itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak
tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.
“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.
dunia-kangouw.blogspot.com
Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa
kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu
untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa
penasaran dan juga kedukaan itu.
“Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, lalu menyerang tanpa
alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu saat ia terjatuh tadi.
Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak
terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sinkang yang lemas sehingga dara itu pun tidak
sampai terluka tangannya.
Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaga
dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!
“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa
geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya
begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat
meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.
“Bukan main nyerinya.... pukulanmu tadi kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah,
biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci
Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”
Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci
Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimana pun juga, pemuda itu sama sekali tidak
mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan
dengan muka tetap cemberut, biar pun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu,
bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai
sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh
Suheng-ku dan sudah berjanji tak akan lagi memakai nama Suling Emas.”
“Ehh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama
sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku
yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.”
Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi goa itu. Ci Sian sudah tak marah lagi sungguh pun
ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuhmusuhnya
yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak
membunuhnya, bahkan pada waktu menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan
ancamannya?
“Nah, sekarang ceritakanlah kepadaku, apa artinya semua ini, Ci Sian?”
“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka,” kata Ci Sian.
Hong Bu tersenyum, kemudian menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biar
pun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, akan tetapi tidak mengurangi daya tariknya yang amat
kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada
alasannya yang kuat, karena itu biar pun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela
memaafkan gadis itu!
“Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja,” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus
merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku terbawa oleh
rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... ehhh, di lembah keluarga Cu itu dan
karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli
waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya
aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang
Suhu-ku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku dapat menjadi murid mereka, Ci Sian.
Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jika engkau murid mereka, mengapa engkau kini berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang
terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.
“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam goa di balik batu ini, Ci Sian, karena telah
tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau
mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam goa itu.”
“Dan kau sangka.... aku.... Sumoi-mu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”
“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”
“Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!”
“Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.
“Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?”
Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?”
“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang
ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang
suka sekali berpakaian pria.”
Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tiada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada
dara yang senasib dengan dia itu.
“Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?”
“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....”
“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dahulu pernah menolong kita itu? Yang senjatanya mempergunakan
suling emas dan kipas?”
“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan
Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk
menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she
Cu itu....”
“Ahhh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya
dapat dikalahkan orang.
“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.
“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu
buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga halnya pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka
lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.”
“Andai kata benar begitu, suling itu sudah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan
secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga diwariskan kepada kami oleh pencipta suling itu, maka Suhenglah
yang berhak menyebut diri Suling Emas yang asli.”
“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu
dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan
keselamatan keluarga Cu.
“Hemm, kalau Suheng tidak ingin memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka
yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling
Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“
“Kalau begitu, mana Suheng-mu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku
Suheng-mu itukah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah garagara
Si Banci.... ehhh, Cu Pek In itulah.”
“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”
“Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di
puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia
diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....”
“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.
“Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak
senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya
gerakannya.”
“Ahhh! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”
“Hemm, kalau aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang
melakukan pengejaran.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suheng-mu menghadapi dua orang kakek itu dan
menolong Sumoi.”
“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di
sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoi-mu itu dalam keadaan selamat.”
“Benarkah? Benarkah Suheng-mu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan
kubantu Suheng-mu?”
“Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya.
Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini.”
Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian.
Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke arah mana sumoi-nya dilarikan
dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran?
Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?
“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam goa, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat
dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.”
“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?“
“Hemm, bukankah Suheng-mu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walau pun dia belum
pernah memasuki goa ini. Dan andai kata Sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat
menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan
Suheng-mu.”
Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci
Sian mengikuti Hong Bu memasuki goa itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu
mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang goa itu! Diam-diam dia
merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan
pemuda itu!
Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan,
dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan goa itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia
lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak
membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayatmayat
yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan
Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan
malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali
kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu!
Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya,
lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara
itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik
dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!
Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu,
dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur.
Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika
Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan goa
itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur
pulas.
Hong Bu berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi
hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur
miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biar pun di
situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur
meringkuk kedinginan, dia kemudian masuk ke dalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci
Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun…..
********************
Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena
dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar
biasa, dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali
tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya
dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut.
Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat
menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok
dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua
setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek berkepala gundul dan berpakaian
hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw Siang-cu
atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok!
Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan
mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tidak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia
mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka
menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera
mempercepat lari mereka!
Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki
bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun yang lalu, karena kuil itu
tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan
keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong sampai di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang
dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini,
akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin dari pada di puncak bukit yang tertiup salju.
Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum
sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tak boleh disamakan dengan
menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa
dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui
jurusan mana pun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang
di depan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring.
“Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!”
Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam
kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?”
Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khikang yang amat kuat dan tahulah
Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!”
kata Kam Hong terus terang.
“Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang membentak marah
dari dari dalam kuil itu.
“Bukan keluarga, bukan teman, bukan apa-apa, tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa
apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, telah lama aku mendengar nama besar
kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah kini aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah
penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?”
“Sombong....!”
Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek
gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi
menggelundung bagai seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main
sampai angin pukulannya terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong
maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan
menangkis.
“Dukkk! Bresss!”
Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun
dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu.
Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan
dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang
yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok.
Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip sekali dengan seekor gorilla. Gerak-geriknya
halus dan meski wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum
ramah! Dia inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil
ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan,
agak kemerahan mengerikan. Dia inilah Ji-ok Kui-bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini.
Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak. Dia memakai mantel merah dan
pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban-hwa
Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam
Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang
kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila.
Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam.
Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata.
“Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang sudah tersohor. Mengingat akan
besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan dapat bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka
membebaskan gadis ini, dan aku bersedia minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin
menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut,
akan tetapi merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terusmenerus
dalam kehidupannya.
Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran
mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis
serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan!
“Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.
“Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau
sudah bosan hidup? Ehhh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis kau mau
apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.
“Kalau Ngo-wi tetap memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis
ini dengan menggunakan kekerasan,” kata Kam Hong.
“Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah maju menerjang dan
gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tak segansegan
menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.
Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan
merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang
paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis
sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong!
Namun pemuda ini semenjak tadi sudah siap, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang.
Cepat-cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu
perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, tetapi bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In
yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara
itu dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan ginkang-nya yang
sekarang sudah meningkat dengan hebat sekali semenjak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun
khikang melalui ilmu bertiup suling.
Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan
kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk
merampas tubuh Cu Pek In. Serangan ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok.
Akan tetapi, sayang sekali bahwa justru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi ginkang-nya di
antara para saudaranya, maka walau serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih
mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Suok
sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya.
Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Su-ok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh
dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia
membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang pula mengeroyoknya!
Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan
tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga
orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini
caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa
dia harus mengalahkan mereka lebih dulu!
“Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya.
Dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian cepat gerakannya sehingga para
pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan seakan mereka berhadapan dengan
lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khikang sehingga setiap kali mereka
beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah
kuat!
Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya
sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan
berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat
dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim
pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu.
Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh
tenaga khikang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia
masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu
kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biar pun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun
cukup membuat mereka menjadi agak jeri dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan
hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok
oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja
mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini
sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia
kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?
“Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok
yang sudah bergulingan itu.
“Dukkkk!”
Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk
menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga
sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kudakudanya
tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.
Karena pihak lawan minta perkelahian dihentikan dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan
dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan
karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat
yang paling curang dan paling jahat.
“Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biar
pun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami.
Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kau ketahui sama sekali.”
“Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu jika aku harus mendiamkan saja melihat
seorang dara diculik orang?” jawab Kam Hong dengan suara dingin.
“Ah, kau salah paham, sobat muda,” kata Sam-ok dengan nada suara mengejek. “Kami tidak bermaksud
mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui
kami....“
“Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas.
Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela.
“Mengapa harus menawan puterinya?”
Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak
membela mereka?”
“Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah
Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana.”
“Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan
pedang pusaka yang kami kehendaki....”
“Hemm, Koai-liong Po-kiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut
pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang
pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.”
“Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi
dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah
mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih
lihai dari pada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang
pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan
berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia
mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai Sanhoat
(Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang telah diwarisinya dari peninggalan nenek moyangnya, dia
melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokantotokan
dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tak mampu
mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat
dahsyat. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga
lantas menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang
dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang
kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar
sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin
penasaran, akan tetapi juga geram ketika mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.
“Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih
tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!”
“Ji-ci, dari pada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!”
kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.
“Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!”
“Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin
bahwa biar pun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini.
Kepandaiannya sendiri tidak lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, meski sampai sekarang dia belum
mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun
pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.
“Hi-hik, kau lihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.
“Singggg.... cuiiiiitttt....“
“Ehhhhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri
dari sinar kilat pada saat telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat
yang amat dahsyatnya.
“Hi-hi-hik, engkau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan
mempertimbangkan,” kata Ji-ok.
Namun Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok
yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang
yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk
mencapai kemenangan.
“Siapa takut padamu?!” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan
terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Mereka terkejut bukan main ketika
melihat betapa kini pemuda yang mereka keroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan.
“Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”
Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka
serentak mereka pun menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.
Namun Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara,
membentuk huruf Thian (Langit). Dan empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret dari kiri ke kanan,
dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul
dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan.
Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan
gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau ‘menulis’ huruf di udara menggunakan suling,
sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Su-ok dan juga
membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa
gentar.
“Hayo serang dia!” Toa-ok memberi komando.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah
sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja
dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khikang-nya sehingga suling yang dimainkan itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.
Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, tetapi mereka terserang oleh suara
melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus
jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sinkang untuk melindungi diri dari
ancaman suara khikang suling itu dan bersiap untuk mengepung, mendadak saja Kam Hong meloncat ke
arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri
setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan
ginkang-nya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan
langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa
dipermainkan oleh pemuda itu.
Biar pun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga
khikang yang terhimpun di dalam tubuhnya, tapi para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang
menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, mempunyai ginkang yang amat hebat.
Apalagi Kam Hong masih harus memondong tubuh Cu Pek In.
Dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya.
Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak cepat lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada saat
itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu
dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri
ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon.
Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam
Hong untuk dapat berlari cepat. Kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam
jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batubatu
di sana akan dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya.
Dia teringat bahwa biar pun dirinya tidak kelihatan, akan tetapi kelima orang itu masih dapat mengikutinya
dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka teramat penting untuk di
jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan
akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah
cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya.
Harapannya itu memang tidaklah sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa
menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan
menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan
mengikuti jejak kakinya.”
Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelap dan amat berbahaya untuk
melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan
punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijitmijit
kaki tangannya yang terasa lemas.
“Kiranya engkau malah yang telah menolongku....,“ katanya lirih.
“Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.”
“Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk yang tidak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke
lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu,
mereka pasti takkan diberi ampun. Ehhh, di mana dia?”
“Siapa?”
“Anak perempuan itu, ehhh, Ci Sian....”
“Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngook
dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan
perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan....”
“Aku mengenal tempat ini, akan tetapi di malam gelap begini tidak mungkin kita dapat melanjutkan
perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita
bisa ke sana dan minta bantuannya.”
“Suheng-mu? Bertapa?”
“Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai walau pun dibandingkan
Ayah.”
Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu
ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan
bahwa keluarga mereka masih mempunyai ilmu pusaka, yaitu Koai-liong Kiam-sut yang mereka harapkan
kelak akan bisa mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka
tidaklah aneh andai kata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang
bertapa dan bahwa suheng ini mempunyai kepandaian yang tidak kalah lihai dibandingkan dengan
kepandaian ayahnya.
Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu.
“Sekarang kau tidurlah, Nona, biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tak dapat menyalakan api
unggun untuk membantu menghangatkan tubuh, sebab jika kita lakukan itu tentu mereka akan melihat dan
akan datang.”
Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan. Kini dia merasa lega, segera merebahkan diri
miring dan tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan.
Melihat hal ini, hanya melihat remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit
sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada
tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua,
seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!
Sebetulnya, baik Ci Sian mau pun Pek In sudah mempunyai kepandaian dan tenaga sinkang yang cukup
kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat
mengerahkan sinkang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti
anak kecil kedinginan. Ada pun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu
dengan penyaluran sinkang-nya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun. Dia cepat merenggut jubah itu dari
tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk
bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.
“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.
“Terima kasih untuk jubahmu ini,” kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang
menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”
“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.”
“Aku tahu jalannya, marilah.”
Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biar pun Pek In sebagai
penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam
menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah
mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit.
“Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa,” kata Pek In dengan nada suara girang.
“Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua
datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.
“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.
“Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah
sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!
“Ahhh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain,” katanya
menghela napas.
Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari
sendiri saja.”
“Terserah.”
Mereka lalu berlari mendaki bukit itu. Akan tetapi Kam Hong maklum bahwa betapa pun lihainya nona ini,
namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau
terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini
terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin
dekat.
“Nona, mereka telah datang dekat,” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona
itu, meski pun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih
sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu.
Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!”
“Kalau begitu, cepatlah kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona,”
kata Kam Hong.
Dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri
dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh
kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat goa tempat suhengnya
‘bertapa’ dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki goa
itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya, maka kini dia pun tidak ragu-ragu
lari menuju ke situ.
Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya kelima orang Im-kan Ngo-ok, kini
sudah berhadapan dengan mereka.
“Im-kan Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah tokoh-tokoh besar
dunia kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh wibawa.
“Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!” bentak Sam-ok sambil memandang
ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat
menarik hatinya.
Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar mengenai keluarga Suling Emas yang meninggalkan
pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mukjijat, dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka jadi bercabang,
sebagian masih menginginkan Koai-liong Po-kiam akan tetapi sebagian lagi menginginkan suling emas
pusaka itu!
“Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat,” kata Kam Hong.
Dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang lebih
dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan
larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu, karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman
lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka.
Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang
semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
yang luar biasa lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan
merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju. Dipimpin oleh Toa-ok yang
mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong.
Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya telah berjungkir balik, berloncatan di
atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih.
Su-ok juga sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu hingga dia nampak seperti seekor
katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan
Katak Buduk.
Ada pun Sam-ok Ban-hwa Sengjin, yang biar pun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki
kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas di antara para
saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda lalu tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan
seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari ilmu yang paling dia
andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi).
Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan
dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan yang berubah berkilauan itu. Dan
orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan
kiri, kelihatannya dia seperti tidak memasang kuda-kuda, tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat
berbahaya.
Melihat mereka berlima telah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong
menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai. Sulingnya berubah
menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu.
Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah
telinga itu.
“Huhhh....!” Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu segera menyambar. Lengannya
menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan.
Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, bersiap-siap melanjutkan
serangannya. Kipasnya dibuka, kemudian diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok
sekaligus. Lalu, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara
secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara,
mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat,
sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekelilingnya itu
disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf
Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar.
“Ohhh....!” Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan
Kiam-ci.
“Dessss.... takkkk!”
Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, tapi tetap saja mereka terpelanting dan
mengalami kekagetan hebat karena mereka merasakan seolah-olah serangan suling tadi bagaikan
serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan
bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga
serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung.
Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak
berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring. Tiba-tiba
gerakan sulingnya berubah. Ia telah menyimpan kipasnya dan kini sepenuhnya mengandalkan sulingnya
dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang hebat luar biasa. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar
kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan
menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.
Sementara itu, dengan lari secepatnya akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah goa yang dijadikan tempat
berlatih Sim Hong Bu, suheng-nya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia
melihat suheng-nya itu duduk di luar goa yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di
depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya, maka begitu Hong Bu bangkit
berdiri dan memandang kepadanya, serta dengan mata terbelalak berseru,
“Sumoi....!”
Pek In lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suheng-nya itu dan menangis!
“Ehhh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main.
Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini
keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoi-nya menangis, hal yang amat jarang terjadi
karena sumoi-nya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau
setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa.
“Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah…. telah menangkapku.... dan
aku.... aku tertolong oleh....“
“Di mana mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking
suling itu.
“Penolongku sedang menghadapi mereka.... kau bantulah dia, Suheng....,” kata Pek In dan mendengar
suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun.
“Itu.... itu suling Paman.... ehh.... Suheng-ku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu.
Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoi-nya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang
diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki goa, mengambil pedangnya, lalu menutup
kembali batu di depan goa dan menarik tangan sumoi-nya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari
menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.
Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada di situ dan mendengar
dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu.
“Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang
sudah perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tidak tahu malu.
Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!”
Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh
semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa. Akan tetapi dia pun amat
kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu. Dan karena
memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia
merasa makin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum
bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke
depan, menghunus pedangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar aku membantumu!”
Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, tetapi juga mulai khawatir. Tadi
dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu
saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah
perkasa sekali.
Ketika melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan
kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya pernah bertemu dengan pemuda
perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena sudah dibikin kagum bukan
main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar
sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking
suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan ilmu pedang yang luar biasa.
“Ahhh, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya hendak diserahkan kepada kita, ha-ha!” Samok
tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya
menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu,
bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk
sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah
bukan main sehingga baik Pek In mau pun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan
juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking
dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling
mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali.
Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik
sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan
terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok
oleh belasan orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini,
bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa
dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah di jadikan rebutan oleh dunia kangouw.
Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu
roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang
berdarah terkena sambaran pedang! Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling
yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat
nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan
sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah
lehernya!
“Tak perlu membunuh!” terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung
suling yang mengenai tengkuknya.
“Cringgg!” nyaring sekali suara susulan disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis
pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok.
Baik Kam Hong mau pun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat-cepat mereka
memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak.
Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang
kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat
itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.
“Tak usah dikejar musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri,” kata pula Kam Hong melihat
Hong Bu hendak mengejar mereka.
Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu
menjura. “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat
menikmati ilmu Taihiap yang sungguh amat mengagumkan sekali.”
Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng
dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu
bukanlah omong kosong belaka, “Engkau pun memiliki kepandaian yang amat mengagumkan hatiku, orang
muda....”
“Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu....”
“Hong Bu pernah menolongku pada waktu Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... ehhh, Suheng....!” kata Ci
Sian.
Mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara ini, yang
tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suheng-nya, maka kini menyebutnya suheng. Dan
memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoi-nya, mengingat bahwa mereka berdualah yang
berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak
menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng
Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan
dunia-kangouw.blogspot.com
sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu
menjawab.
“Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu
dan sekarang pun menolongku pula.”
“Ahhh, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri. Sesungguhnya bukanlah aku yang menolong Taihiap,
melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoi-ku....”
“Ehh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap
kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar,” Ci Sian mencela.
Kam Hong tertawa. “Benar apa yang dikatakan Sumoi, Hong Bu. Mulai sekarang jangan menyebut Taihiap,
sebut saja Toako, cukuplah.”
“Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum
pulang. Kau antarlah aku pulang agar supaya Ayah dan para Paman percaya apa yang telah terjadi,” kata
Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.
“Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sudah sepatutnya kita menghaturkan
terima kasih.”
“Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka.
Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. “Sudahlah, di antara kita,
perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?”
“Suheng, marilah!” Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian
dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan
duka karena mereka harus berpisah itu.
“Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?” Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar
penuh perasaan, penuh harapan.
Sinar mata Sim Hong Bu dan suaranya ini tidak lepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam
dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang
wanita dan biasanya, seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah
sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh
kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu.
Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In
dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri. Cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang
untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada
seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?
Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik,
gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun
akan bersikap biasa dan ramah saja terhadap pemuda itu. Tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra
dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul
perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. “Hong
Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah, Hong Bu.”
Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi sangat mesra, maka
tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharap dengan sangat akan
pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata ‘jodoh’ segala!
Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suheng-nya dan berkata, “Marilah Suheng!”
Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci
Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.
“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya
bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi
kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan
memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan
kemarahan!
“Paman.... ehhh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau
telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... ehhh, siapa
namanya...., Cu Keng Ong itu?”
Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar
ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja boleh,
bahkan memang engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.”
Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Ehh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?”
“Kenapa bagaimana?”
“Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang
dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?”
Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk
menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk
sikapnya tadi, “Ahh, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti
itu....”
“Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu,
seolah-olah....”
“Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” dengan cepat Kam
Hong berkata dan agaknya kata-kata ini baginya merupakan berita menyenangkan yang harus
disampaikan secepatnya kepada Ci Sian.
Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan
hatinya. “Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di
antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.
“Ahhh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat saja sikapnya ketika
memandang kepada Hong Bu, saat bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu....”
“Huh, dasar banci tidak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng.”
Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya
tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia
tidak mau bicara tentang ini.
“Entahlah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat
sekali....”
“Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-ngaung ketika aku
lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup goa ini. Dan dia mendorong batu besar
ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul
olehku kemarin....”
“Engkau memukulnya?”
Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri
menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka,
Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera
menganggapnya musuh dan menyerangnya. Iia tak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul
dadanya sampai dia terpelanting, dan kemudian kami berbaikan. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya
dunia-kangouw.blogspot.com
kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang
mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....”
“Benar sekali, kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara
dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han Bu.
Hemmm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan
tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.”
“Tidak mungkin!”
“Apa maksudmu, Sumoi?”
“Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu.”
Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar dara ini memuji diri
Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang
pemuda yang gagah perkasa dan baik.
“Mungkin saja dia sendiri tidak, tetapi bagaimana kalau masih ada anggota atau murid keluarga Cu yang
lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita?”
“Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!”
“Bagus sekali semangat itu, Sumoi. Tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita
harus mempelajari ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih,
Sumoi.”
“Baik, Suheng.”
“Sekarang aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Ke timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata
ini. “Kenapa Suheng?”
“Aihh, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi,
seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri
janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan
secara resmi dan terhormat.”
“Ke manahah engkau hendak pergi, Suheng?”
“Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku
sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti
kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada
hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan
dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian
diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek
Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka
mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.”
“Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?”
Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi
meninggalkan daerah yang dingin bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari.
Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku,
Sumoi. Ataukah.... kini engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....”
“Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau
seoranglah yang kupunyai di dunia ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah yang tampan dan biasanya sangat tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinarsinar
dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita
pergi!”
Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai
nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini
melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan
keajaiban itu…..
********************
Sudah terlalu lama kita tinggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang
jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga
sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang
yang gila.
Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan
yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak
tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon
mantu Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami
seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu,
betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau
percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!
Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan
kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk
menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata
mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya
untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri
merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka
menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!
Biar kelihatannya seperti orang gila, tetapi pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah
menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah
dilakukannya pada masa muda. Hal ini dapat dibuktikan betapa sering kali dia termenung dan mengeluh
panjang pendek, bahkan kadang-kadang lirih terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan
hal inilah yang membuat orang-orang menyangka dia gila. (baca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan
JODOH RAJAWALI)
“Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah
bertobat....!”
Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan
sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi supaya dia memperoleh kesempatan untuk meminta
ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak
menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa
sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dirinya yang cintanya
penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.
Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju
Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di
Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai ia
terbawa oleh orang-orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, bahkan lalu dia terlibat
dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi
pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja ia tak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih
keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat. Dan karena
merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya, maka dia
melakukan perjalanan kembali ke timur.
Meski dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek
Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia
masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang telah bertobat benar-benar, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapa pun juga, dia tidak memiliki sedikit
pun perasaan benci atau ingin mengganggu.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi
hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan
membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan
tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dahulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup
menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan
kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya
bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang,
biar pun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!
Beberapa bulan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiukiang,
sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wuouw,
yaitu sebuah telaga yang besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena
dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya.
Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan
hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial
baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan
sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih
tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota.
Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia
pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa
jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat
mendengarkan orang-orang bercakap-cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah
jembatan ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang
dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri jika mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya.
Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita dengar atau lihat, barulah kita
dapat merasakan alangkah lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percekcokan
suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih
pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percekcokan
di antara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati.
Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan
melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, menjadi sebuah jembatan untuk mencapai
sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat,
membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran
dan kepalsuan.
Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap
sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang
lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat
Tek Hoat menjadi tak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya
sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya demikian untuk sekedar ‘menghukumnya’!
Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan
kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan
pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik
hatinya.
“Kalau dia tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena
membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.
“Ahh, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja,” terdengar suara
orang ke dua.
“Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thiowangwe
mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau
melukisnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lima belas tail?” seru suara pertama.
“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”
“Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat
membujuknya,” kata orang ke tiga.
“Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia
mau!”
“Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.”
“Aihhh, harus hati-hati, supaya dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh-heh,
mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan
uang lima belas tail?”
Ketiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka ada seorang
pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si
Jari Maut!
Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah
sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang
yang biasanya melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Salah
seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok yang tergantung di pinggang dan selain
bertubuh besar juga nampak bengis.
Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi.
Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi
Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini, pengurus itu kelihatan takut-takut dan
menyambut dengan sikap menjilat.
Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?”
“Di.... di sana, paling belakang, tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengganggu tamu kami....”
Sementara itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya
menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman
seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri,
bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apaapa!
Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak
yang agaknya tengah digubahnya.
....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....
“Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia
bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu
dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.
“Siapa di luar?”
“Pouw-lo-siucai.... harap suka buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!”
Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti pernah kita kenal, sastrawan pelukis ini ketika dia
mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang
pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan
yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia,
dunia-kangouw.blogspot.com
bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang
amat terkenal, yaitu Puteri Milana.
Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah yang menjadi
siucai? Aku tak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Losiucai
segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”
“Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.
“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tidak perlu dikunci.
Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka,” kata Pouw Toan.
Daun pintu didorong dari luar. Diam-diam Tek Hoat telah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap
melindungi kakek itu jika tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan
genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat
tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia
mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun
ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.
Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan
alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“
Salah seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua
orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, “Pouw-lo-siucai....”
“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”
“Eh.... ehh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biar pun kakek itu nampak kurus kerempeng,
harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya bagai seorang pendekar gagah perkasa.
“Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....”
“Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“
“Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik
melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.”
“Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa
yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekali pun. Aku tidak mau
dipaksa melukis seorang raja sekali pun, atau setangkai bunga indah sekali pun kalau aku tidak
menghendakinya.”
Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Heiii, pelukis tua yang sombong! Thio-wangwe hendak
memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulanbulan
engkau tidak akan mampu memperoleh uang sebanyak itu!”
Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu. Dia
tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tak membutuhkan
apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja
yang mendatangkan kebahagiaan dalam hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”
“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba
dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu.
Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena
maklum bahwa Si Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela.
Dia ingin melihat bagaimanakah sikap kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan
selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi
ancaman itu.
Kakek Pouw Toan adalah orang yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali
menghadapi ancaman mala petaka, maka tentu saja penodongan ini hanya merupakan hal kecil saja
baginya. Biar pun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah
dunia-kangouw.blogspot.com
memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang
kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.
“Hemm, sungguh untung sekali kau!” katanya sambil tersenyum kepada penodongnya.
Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang gemar
mempergunakan kekerasan serta ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini ia
bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak
takut, sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia yang untung!
“Ahhh, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.
“Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau mereka berada di sini, aku terpaksa akan
menaruh rasa kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak
menggertak.
“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak? Kalau mau, mari ikut dengan kami ke
gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar
mengancam.
Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang
berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas
panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan
tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.”
“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kau lukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata
utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “Mari kita
berangkat!”
Ketiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik
napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang
dikhawatirkannya. Dengan sikap tenang-tenang saja Pouw Toan mengikuti mereka, sedikit pun tak
kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang
pergi ‘jalan-jalan’ bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung!
Tidak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah
Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.
Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw
Toan, mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang ‘pengantarnya’ masuk ke dalam ruangan tamu di
samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan
pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya
membawa ‘senjatanya’ saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek
Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.
Untuk peristiwa luar biasa yang sangat menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan
para selirnya menonton ketika dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun
ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang
mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman, dan hartawan ini duduk di atas kursi
empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya.
Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang
dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan
dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan
juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!
Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biar pun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata
dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biar pun tidak
memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang,
melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Tetapi dia tetap menanti
di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempatnya bersembunyi, dia tidak dapat melihat
dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah
tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas,
memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, “Sudah selesai!”
Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir
saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama
benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biar pun semodel dengan wajah Thiowangwe,
akan tetapi mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang
makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan
kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain
mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam
cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu
membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah birahi dan kegembulan, muka seorang
pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!
Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya telah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun
berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu berlari menghampiri pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat!
Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah
yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan
melemparkannya ke atas lantai.
Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki keinginan
melukismu, Wangwe. Dan oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang
bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, namun aku
melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat
nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berubah menjadi
menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....”
“Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawalah dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga
orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi.
Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat pada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar
dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan sikap uring-uringan Thio-wangwe melemparkan
upah kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.
“Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah
lukisan itu dia tidak mau berikan.”
“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.
“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.
“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata utusan itu dan
Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu
luar gedung.
Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh, mirip memang!”
“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan sehingga kita yang tidak
memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.
“Sabar, kawan,” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya
memukul orang tua lemah seperti dia.”
Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan
kecewa dan marah-marah itu. Tidak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diamdiam
dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidaklah mengecewakan hatinya. Pelukis
tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri
saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan
dunia-kangouw.blogspot.com
nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena
telah disadarkan!
Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras
memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di
kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.
“Ehhh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.
“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.
“Melukis apa?”
“Melukis neraka!”
“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”
“Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?”
“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.
“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya,” kata Si Tinggi Besar yang
mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di
tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.
“Ehh, apa yang kau lakukan ini?”
“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si
Tinggi Besar menodongkan goloknya, namun pada saat itu tampak bayangan berkelebat.
“Desss! Aughhhhh.... !”
Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tidak dapat menahan
kesabaran lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum
dibunuh pakaiannya disuruh buka!
Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani
memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang
menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.
“Krekk! Krekk!”
Lengan kedua orang itu patah tulangnya pada saat bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduhaduh
dan memegangi lengan yang patah tulangnya.
“Jembel busuk, kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang
dengan goloknya.
Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan
tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih
di tangan.
“Creppp!”
Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan kali ini tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri
menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian
bersama kedua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik
Pouw Toan.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan
hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, “Ha-ha-ha,
sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia
membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia tidak peduli dan
membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun
tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia
melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah
jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di
atas jembatan tadi.
“Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan dari pada losmen itu!” kata Pouw Toan. “Wan Tek
Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?”
Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui
she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu
bahwa she-nya adalah Ang!
“Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai,” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari mana kau
tahu aku she Wan?”
“Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka
begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku
yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung
bibimu sendiri, bukan?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan
orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, walau pun harus diakuinya bahwa Milana adalah
puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya!
“Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah berkata demikian,
Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas.
Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada
pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran
sekali bagaimana seorang puteri cantik bagai bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada
pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin
keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justru karena Si Puteri itulah! Patah hati.
Dia tidak tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan antara pendekar ini
dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan
dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu
dengan pendekar ini!
Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat
kalau tidak muncul Si Jari Maut yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu.
Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus
mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia
bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andai kata dia tidak yakin
bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba
dituntun ke pejagalan begitu saja.
Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian
dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa
bahagia, dimana pun juga dia berada.
Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu
kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang sebab tidak terhalang awan. Agak jauh dari
bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil
sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya
karena amat tertarik.
....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
dunia-kangouw.blogspot.com
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....
Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang
maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya
menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh
kesepian diri, karena kerinduannya yang tidak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti
bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak
cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi.
Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat
meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau
mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andai kata dia dapat
menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah
bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti
pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!
Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa
kesepian yang mencekam, sungguh pun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir
batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak
memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan
berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.
Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri
kepada apa pun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan
hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti,
lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan,
kepada negara, dan sebagainya lagi.
Namun pada hakekatnya, akar dari pada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku
yang ingin lari dari pada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang
ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang
menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk
mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu
keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah ‘ku’
nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan
aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.
Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau
di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu
dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan
kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh
alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita,
yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di
mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan
burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di
dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi
pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas dan kecewa, hidup mati dan
sebagainya.
Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera
memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu
menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas
dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justru keinginan inilah yang meniadakan segalagalanya,
kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian
karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang
mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya!
Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan yang menyeluruh, keheningan di mana tidak
terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena
tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari
dunia-kangouw.blogspot.com
keheningan, membuat kita kemudian memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu
kesenangan lahir batin.
Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan
pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di
tempat-tempat sunyi, di dalam goa-goa atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang
penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena
kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun.
Bebas berarti hening. Tidak akan dapat didaya upayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat,
takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama
masih terikat oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini,
mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan
dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu
bukanlah yang sejati. Yang sejati tidak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan
terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar
cinta kasih.
Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ.
Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia
terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek
Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.
“Selamat pagi, Wan-taihiap,” kata Pouw Toan.
“Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru kini dia mendengar ada
orang menyalam selamat pagi padanya.
“Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri dan mengembangkan dadanya dengan
membuka kedua lengannya serta menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya.
Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini, Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian.
Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tak melihat sesuatu yang patut
untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh!
“Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya.
Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu
menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!
“Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.”
Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang,
tetapi dia masih samar-samar ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum.
Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan kemudian berkata, “Agaknya ada
sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku? Silakan….”
Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu
semalam, ketika engkau membaca sajak di dalam kamar losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat
mengulang bunyi sajak empat baris itu.
Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng
dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian.
Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat
hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan.
“Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di atas genteng ketika
tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan
dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan
tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan
menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat
menyusahkan hatimu?”
“Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak
membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, kenapa aku harus susah?
Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan
berarti telah memiliki segala-galanya dan oleh karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan
tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu,
menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan
sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang
kau inginkan tentu dapat terlaksana. Andai kata engkau mencinta seorang wanita dan amat
merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri,
menyepi dan menjauhkan diri?”
Semua ucapan itu benar-benar mengenai hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua
penderitaannya kepada siapa pun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan
menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas
panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang
waras.
“Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan
balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang
sudah bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendiri tanpa memandang
kepada pelukis itu, maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja
sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat di
atas jembatan, memecahkan kesunyian.
“Andai kata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andai kata mau mengampuniku,
belum tentu dia masih mencintaiku. Andai kata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ahhh,
hidupku sudah hampa....!”
“Aihh, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tak nampak sama
sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berubah, matahari akan bersinar kembali! Memang
kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih
berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tak perlu berbesar kepala
selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi
suka-duka sajalah yang bebas. Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan?
Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap
penuh kerinduan?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. “Tidak
mungkin.... tidak mungkin....“
“Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki
ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.
“Sungguh keras kepala....,” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan
dan naik ke jalan yang masih sunyi.
“Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!”
Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!”
“Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kau tolong malam tadi....”
“Lupakan saja!”
“Wan Tek Hoat, setidaknya kau lihatlah lukisanku ini!” seru Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah
lukisannya dan berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang
dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya
terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan
memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi!
Mata itu, hidung itu, bibir itu....!
Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke
depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan, kemudian diangkatnya orang itu tinggi ke atas
seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja.
“Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali
seperti kertas.
Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dahulu dia menjauhkan
diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang
wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?”
Sejenak kedua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak
gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya
dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara bagai orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan
dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan
dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan!
“Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia....”
Pouw Toan terkejut sekali, akan tetapi juga amat girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifatsifat
baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kekecewaan dan kedukaan saja yang membuatnya
menjadi seperti itu. Dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan
hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.
“Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti
bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran
Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dan
dengan singkat Pouw Toan memberi tahu letaknya pulau itu.
Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata
bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.
“Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih....”
“Nanti dulu, belum sempat kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan
lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....”
“Dia.... dia masih ingat padaku?”
“Ingat? Ahh, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari
banyak tokoh kang-ouw.”
“Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk
segera mencari kekasihnya.
“Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasehati
pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu.
Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka jika tak mendapat nasehat
yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua
orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin
seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya?
Pada saat itu nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri
menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw telah minta kau
dunia-kangouw.blogspot.com
berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan
kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari.
Bukan main kaget hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat
kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan
melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan
sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata
mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar!
“Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat. Kedua tangannya telah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan
kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat
mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri!
“Paman Pouw menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan
sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar.
Cara mereka mengelak, kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya, sudah membuktikan bahwa
mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek
Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih
keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin
menguji mereka.
“Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu segera menggunakan
kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah
mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan
terbuka.
Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong.
Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat
karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan
Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw
Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi melihat tamparan-tamparan
tangan yang jelas mengandung tenaga sinkang yang amat tangguh itu.
Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu
orang jahat yang entah melakukan hal apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua
yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu
dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan
tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya
tidak begitu asing, bahkan seakan-akan ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu
silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun
terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, mempunyai ilmu silat
tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.
Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang
pemuda kembar itu yang tak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapa pun juga, apalagi kepada
orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat
adalah seorang pendekar, biar pun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab.
Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang
banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan ‘penyakit’ para pendekar yang
suka sekali akan pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton!
Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya, Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu
silat itu merasa khawatir juga dan dia pun cepat maju dan berseru keras, “Jangan berkelahi....! Kalian
masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!”
Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada
Tek Hoat dengan terheran-heran. Masih keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa
adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak
mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar
mata bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung
kalian.”
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini
dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan
berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapa pun juga, mereka tidak meragukan
keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.
“Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu,” kata Jit Kong.
“Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar
Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!”
Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera
kembar setampan dan selihai ini.
“Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi.
Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!”
“Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan
cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia
manusia aneh.... kasihan sekali....“
“Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan
dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“ Goat Kong berkata.
Pouw Toan menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Setiap manusia boleh saja mempelajari
segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu
membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka.
Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah
kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.”
Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima
tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw dan berkeliaran
di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita
ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid
utama dari Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja.
Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong,
akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu
memaki Ci Sian sebagai siluman ular, lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi
Mo-li. Kiranya mereka berdua memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa
menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!
Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal
pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biar pun usia mereka
baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka pada waktu
mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton,
jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding
dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri
pedang itu!
Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biar pun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu
saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang
pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini
tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada
seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi
kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi ‘merantau’ untuk meluaskan pengetahuan!
Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu.
Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tiada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah
lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada
dunia-kangouw.blogspot.com
yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena
kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan
juga Jit Kong merubah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak
sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekanpekan,
mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.
Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah, tidak
mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan
anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan
melindungi diri sendiri.”
“Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak
orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.
“Betapa pun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari
pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun
dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu
mengkhawatirkan mereka?”
Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang
kedudukan panglima dan memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak,
maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka walau pun kekhawatiran kadang-kadang
masih mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang
diucapkan suaminya itu memang benar. Betapa pun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau
sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya
sendiri!
Demikianlah asal mula Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa
arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlomba mencari pedang pusaka yang jejaknya
dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan
Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina
Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu.
Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari
Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka kedua
orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur. Untuk
menjaga supaya mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian
yang menolong mereka.
Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri.
Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau dua orang anak kembar itu
menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri.
Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan
menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi
kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Samthaihouw
atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan.
Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka
adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah
seorang puteri istana asli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguh pun neneknya itu puteri selir
saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang,
malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang
akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana,
cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!
Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah ‘menolong’ mereka dan merusak
permainan sandiwara mereka. Betapa pun, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa
merantau di tempat itu sungguh berbahaya sekali karena ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang
pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san,
apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian
mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak
Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan
tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka
pergi merantau.
“Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu
diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Lagi pula, kalian masih terlalu
muda untuk pergi mencari pengalaman di luar,” demikian antara lain ayah mereka menegur.
“Kemana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah akan
tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah.
“Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke
Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat
menemukan kembali pedang pusaka istana itu,” kata Jit Kong.
Milana terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa geli. “Ah, Ayahmu ingin
sekali ikut mengejar ke barat, dan andai kata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.”
Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin
sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Tetapi biarlah, hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja
kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah
orang kang-ouw pergi ke sana?”
“Banyak sekali, Ayah. Di sana amat banyak orang-orang aneh dan orang-orang pandai,” kata Goat Kong.
“Dan bagaimana pula kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan pencurinya dan
pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana.
Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka semua itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke
istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk masing-masing diri sendiri.”
“Ahhh....!” Milana berseru kecewa.
“Tidak aneh, apakah engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda
pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” tanya Bun Beng.
“Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang,” kata Jit Kong.
Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya,
mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi
kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?”
“Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....”
“Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak marah.
“Aku pun tidak mengenal nama itu,” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak
pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru.
“Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada kedua orang puteranya.
“Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”
“Ahhh, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali
mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat
lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?”
“Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk
menghadap Sam-thaihouw. Kami sengaja tak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin
sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan dia lantas mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat iblis
betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!”
Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada
isterinya karena banyak hal, akan tetapi terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran
Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw
dan dia mengerutkan alis, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat.
“Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri
dan pulang ke sini,” katanya kemudian.
Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak
mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka
ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang
mengalahkan Su-bi Mo-li.
“Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong.
“Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong.
“Eh, ehh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan
Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana.
Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk
ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami toh hanya pura-pura
menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur
bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang
amat lihai.”
“Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang merasa tertarik.
“Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?”
kata Goat Kong.
“Ah, jangan berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kau kira asal orang bermain atau mampu
mendatangkan ular-ular lalu kau anggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari
Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?”
Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku
bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan
semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat
keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.
Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri
pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang
anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang
mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat
lagi.
Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng
sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena
sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka belajar
ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Mereka mengenal betul siapa
Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biar pun tidak pernah
belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir
semua pendekar sakti di dunia ini.
Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di
lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya.
Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat
mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri
kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih
dunia-kangouw.blogspot.com
tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan serta memilih hidup sederhana
namun tenteram.
Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini
menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya!
Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang.
“Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu
adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja memiliki keberanian dan jiwa petualang,
dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini
pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguh pun aku
tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!”
Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu
menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang
putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu.
“Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi.
Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka
menerima mereka menjadi murid.”
“Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat kukagumi malah
menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapa pun juga, hati siapa takkan merasa
bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya,
namun, untuk mematangkan mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak
mereka merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai.”
“Terserah kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu belajar
selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang lebih berat dan mendalam. Selain
itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya Sam-thaihouw menculik
anak-anak kami.”
Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini menerima dengan
girang perintah ayah mereka, apalagi pada saat mendengar bahwa mereka selain diajar ilmu kesusastraan
juga akan diajak pergi merantau oleh Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi
karena kakek itu pandai melukis dan pandai sajak.
Demikianlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak pergi merantau
oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat itu. Dan pada hari itu, seperti telah
diceritakan di bagian depan, kakek itu bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek
Hoat dan ketika dia dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang muridnya
itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang penguasa dusun tak jauh dari
kota itu yang terkenal sebagai penindas dan pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak
melarang, bahkan menganjurkan dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka
pelajari dari orang tua mereka untuk melawan kelaliman di mana pun mereka berada.
Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di dusun itu,
mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan harinya mereka memaksa kepala
dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan
kepala dusun mengucapkan janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah
selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun dan kembali ke kota di
mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang laki-laki jembel.
Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan bersama dua orang
murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak dua orang muridnya merantau ke kota
raja…..
********************
Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak
pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak
putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan
dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!
Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya
terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu pula di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh
penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui yang disebut Toanio (Nyonya
Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti
karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang
bermata dingin ini berdarah dingin pula dan betapa mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang
luar biasa lihainya!
Pesta apakah gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka
menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti
Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang
tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.
“Enci Hui....,” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci
dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa
sih enaknya dirayakan ulang tahun kita jika kita sudah berusia tiga puluh tahun? Kiraku, tidak ada wanita
yang suka memamerkan ketuaan umurnya!”
Ouw Yan Hui tersenyum. “Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja,
dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku,
bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik
jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara
mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, pesta ini akan kita jadikan sebagai suatu kesempatan bagimu
untuk memilih jodoh.”
“Enci....!”
“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biar pun engkau
memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad! Lihatlah
diriku! Aku memang tetap cantik, tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kau sia-siakan
hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara
mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara
semua pria yang pernah kau kenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan
mempersuntingmu!”
“Enci....!”
“Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang
dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu
mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tidak pernah
padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kau cinta sudah tidak
peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak,
Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang sangat sayang kepadamu akan menentang ini!”
Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena
penasaran itu, Syanti Dewi tak dapat banyak membantah. Betapa pun juga, dia pun sayang kepada wanita
ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini.
Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur
birahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan
sesama wanita karena dia pembenci pria. Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti
Dewi tidak sudi melayani hasrat birahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan
birahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau saudara, atau bahkan
seorang ibu!
Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biar pun kasih sayang itu
sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu
membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, dia pun diam-diam melihat kebenaran dalam
pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu
dunia-kangouw.blogspot.com
masih dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu
menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti yang dikatakan oleh
Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!
“Tiga puluh tahun! Ahhh, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia
bahwa aku sudah tua sekali?”
“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau
sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan seorang kanak-kanak lagi, akan tetapi
juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan
cantiknya dibanding dengan seorang dara berusia tujuh belas tahun!”
“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”
“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Enci-mu, bukan?”
Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya lalu menjadi merah
sekali. “Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coato
ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!”
Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui kemudian merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh
wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan
sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul. Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan
Hui terasa lebih menyeramkan dari pada rangkulan seorang pria yang tak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui
juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil
menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul
anaknya.
“Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung
rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria
yang cocok untukmu, bukan karena melihat uangnya, tapi semuanya. Ya ketampanannya, ya
kegagahannya, ya kedudukannya, ya hartanya. Pendeknya, seorang pria pilihan!”
“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, lalu meninggalkannya.
Dan mulailah persiapan dilakukan. Undangan-undangan dibagikan dan pengumuman-pengumuman
disebarkan sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus juga disampaikan kepada Pangeran
Mahkota Kian Liong! Turut disampaikan pula undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk
menjadi tamu undangan, pemuda putera dari para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawanhartawan
dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat.
Pendeknya, Ouw Yan Hui berusaha mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di
seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk pula Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah
lama menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi! Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumumanpengumuman
itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti
Dewi, akan tetapi di samping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa
Sang Puteri cantik itu hendak menggunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita
desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri
yang amat cantik jelita seperti bidadari itu.
Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai
hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang. Dan kalau orang naik perahu
layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai di pulau itu.
Kota Tung-king berada tidak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah
Sungai Huai nampak lebih ramai dari pada biasanya. Memang kota ini sedang diramaikan oleh tamu-tamu
yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!
Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king ikut menjadi sibuk pula karena hari itu Pangeran Kian
Liong juga datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima
undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang
indah. Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tungking
dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang
menjadi sibuk bukan main!
Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Namun alangkah bingung
dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup
kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi
ditemani wanita. Baru sekali ini selama hidupnya Lu-taijin, kepala daerah kota Tung-king itu, mendengar
dan bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di
kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita!
Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali. Diam-diam dia memperoleh
kenyataan akan kebenaranan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang
sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya
sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.
Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena
pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan
bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah. Selain itu, mereka adalah pasukan pengawal
pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga
mendatangkan kesenangan.
Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang
makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biar pun tiga orang itu berpakaian biasa
saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang
berpemandangan tajam.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun,
pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena
yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih
panjang hitam itu besar melingkari lehernya. Meski kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun
sesungguhnya orang ini dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup
terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pei karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang
dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun, bernama Liong Bouw dan julukannya
adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup
sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani
dan di samping kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.
Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih
lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini
menjadi utusan untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa
setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan
penyelewengan-penyelewengan.
Meski pun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan
kalau ternyata murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, maka Siauw-lim-pai berhak untuk
mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para
pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu, untuk melakukan
penyelidikan di kota raja. Mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang
telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai
isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu
pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila.
Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara
pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi.
Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran
Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya
yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan
secara menyamar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan
cara ini ia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka
tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar. Dan karena
tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka tiap kali terjadi mala petaka
yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang
bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa
dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!
Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam
melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka sedang berbisik-bisik dan bicara dengan
serius, dengan nada suara penuh khawatir.
“Benarkah penyelidikan kalian itu?” Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan
dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan
mereka didengar orang lain.
“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu benar digerakkan oleh
Sam-thaihouw....“
“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”
Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan
dia pun duduk kembali. “Apa kau bilang? Sam-thaihouw....?“
Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan
bencana, walau pun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali,
dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus
menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya sudah tidak mampu mencegah
segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh.
Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani
mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian?
Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang
puteranya dan tiada seorang pun tahu siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan
penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang
kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman bagi menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orangorang
yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga
namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.
Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan
khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya
dengan hati tertarik, “Apakah yang sesungguhnya terjadi?”
“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu jika
Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena
itu, persekutuan antara mereka sudah memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu, atau paling tidak
membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar.”
“Ahh, mana mungkin? Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.
“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata sudah berubah menjadi seorang pria
lemah yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang sudah membuatnya
tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh
Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar juga telah setuju untuk menggantikan
pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan
semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk
membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”
“Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Dari mana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?”
“Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan kini menjabat pangkat komandan muda
dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang sudah melakukan semua penyelidikan itu untuk kami,
dunia-kangouw.blogspot.com
sebab sebagai murid Siauw-lim-pai dia menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki
kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”
Hening sejenak dan ketiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya
bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu.
Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, “Menurut kalian, apakah yang akan terjadi dan bahaya
apa yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, “Apakah kalian kira
Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?”
Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu tidak akan mungkin
terjadi,” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan mereka sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau
mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw
akan mencarinya dan mereka tentu tak akan berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu
hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, biar pun sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu
amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati.”
“Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”
“Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum
Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh
Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami itu hanya dapat menangkap bahwa mereka telah membicarakan
tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal
yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula.
Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran.”
“Betapa pun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal
yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamutamu
di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran,” kata Liong Bouw.
Setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, lalu meninggalkan rumah makan itu
dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar lebih
leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui oleh pihak lawan.
Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tak mengetahui karena segala
sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan
keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, serta selalu
riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang
kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan
ukuran kesenangan duniawi, maka kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan
kehidupan keluarga kaisar!
Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara
sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan
pada lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan ‘ban-ban swe’ (hidup selaksa
tahun) sebagai pengucapan penghormatan dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai pangkal
sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh
dendam yang amat mendalam
Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adatistiadat
dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam
terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan
persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.
Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih memiliki ambisi yang besar
sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka, bahkan yang disusul oleh
kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang pada waktu mudanya amat sayang
kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini
dipendamnya di dalam hati. Oleh karena itu, dia lalu menaruh dendam mendalam kepada Milana dan
keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu. (baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI)
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga, dia ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung
Ceng. Kaisar ini di waktu mudanya adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi
murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah
menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan
kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulai lenyaplah sifat-sifat gagahnya dan mulailah
dia menghambakan diri pada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu nafsu menjadi majikan dari
batinnya.
Banyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasehatinya dengan halus dan kadang-kadang
nasehat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Akan tetapi, di samping mereka yang menasehatinya,
lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena
hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah sehingga mereka itu
dapat merajalela!
Di antara para penasehatnya, majulah Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran yang tadinya amat dekat
dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Akan tetapi, pengaruh nasehat Pangeran Yung Hwa
ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar
sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran
Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat
menjadi gubernur di wilayah barat, di propinsi Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi
kedudukan, tapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana! (baca
cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI)
Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu
semakin berani saja, makin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan
Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik,
yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir cantik jelita yang dirampasnya dari tangan seorang
pembesar istana pula!
Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi
untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar!
Melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak
dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk
menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan
Putera Mahkota Kian Liong!
Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui
oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan
yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak
isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak
akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.
Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya.
Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber
segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk
mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang sangat memuakkan hatinya. Dia
lebih senang merantau dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa
pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini
pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja sering kali dia terancam
bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.
Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke
Kim-coa-to, bukan menyamar, tetap sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam
pertemuan itu, kedua pihak merasa amat kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang
wanita yang sedemikian cantik jelitanya, berdarah bangsawan bahkan puteri dari Raja Bhutan, dengan
kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai
menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang
hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini tertarik untuk bersahabat.
Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah
dari pada kecantikan lahiriah, dan jika dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah,
bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi,
dunia-kangouw.blogspot.com
melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang
melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara
tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat. Biar pun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja
untuk olahraga menjaga kesehatan, akan tetapi Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar
pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia
benar-benar mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.
Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biar pun usianya lebih muda namun
telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda
dengan semua pria yang mendekatinya. Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu
memandang kepadanya dengan mata terpesona penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang
mata itu terdapat nafsu birahi yang bernyala-nyala. Akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari
pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga
mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biar pun usia mereka
berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama
sekali tidak canggung.
Pada waktu menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan
dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan
perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan
Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang
menghadap.
Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan
pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa
sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan
kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari
pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.
“Harap sekali ini Paduka sudi untuk mendengarkan nasehat saya dan tidak melakukan perjalanan tanpa
dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan juga amat berbahaya bagi
keselamatan Paduka, Pangeran,” demikian komandan tua itu membujuk.
“Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku sering kali pergi merantau sendirian dan menyamar
sebagai orang biasa, ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup
dan selamat,” kata Pangeran itu sambil tersenyum.
Souw Kee An menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa kali Paduka
terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang sakti yang kebetulan
melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka
menerima undangan acara resmi, apa salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang
Pangeran pula?”
Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir tokoh-tokoh kangouw
di Kim-coa-to, baik dari golongan bersih mau pun dari kaum sesat, dan bahwa menurut desas-desus
yang didengarnya ulang tahun itu dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu
silat sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan
dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw Kee An kemudian
memilih anggota-anggota yang memiliki kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat
persetujuan kaisar, pergi ke Kim-coa-to.
Demikianlah, karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti di Tungking.
Souw-ciangkun telah mengatur penjagaan yang ketat karena dia maklum bahwa semakin dekat
mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu
banyak terdapat orang-orang kang-ouw di kota Tung-king itu.
Dan dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat bermalam
Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi pertemuan-pertemuan antara tiga orang
gagah yang diam-diam melakukan perlindungan pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw
Kee An sendiri pun maklum akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan justru oleh
karena itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal. Dan pengawalan
Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seolah-olah pihak
yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jeri dengan adanya pengawalan pasukan yang
terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu hanya sementara saja dan pihak lawan itu memang ada dan
sedang menanti saat baik! Untuk melihat siapa adanya pihak lawan itu marilah kita mengikuti mereka
semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan Sam-thaihouw!
Di dalam kamar rahasia itu, sesaat sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan
pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah
menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah
Su-bi Mo-li yang memang bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi
Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini pernah menculik Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong, tetapi usaha mereka itu gagal karena percampuran tangan Ci Sian.
“Maaf, Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan membunuh Pangeran
itu?” Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata kepada nenek yang berpakaian indah
itu.
Itulah Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya
masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal. Alisnya sudah habis, akan tetapi sebagai gantinya
dibuatlah coretan alis hitam kecil dan panjang yang melengkung!
Im-kan Ngo-ok adalah orang-orang yang terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja Sam-thaihouw
tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat
mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan dan halus walau mukanya mengerikan seperti gorila.
Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, namun karena Sam-ok
adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk
bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja. Karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan
perundingan dengan para pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan
permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li yang memang sudah
biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.
“Aihhh, Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada Toa-ok,
seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang tengah membantu ‘perjuangannya’. “Enak saja kau
bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran Kian Liong? Jika engkau melakukan hal itu, tentu
engkau akan dimusuhi oleh para pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan
marah kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!”
“Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran....“
“Menghancurkan namanya, kedudukannya, pengaruhnya, tetapi bukan orangnya! Sekali namanya telah
rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan hal-hal buruk, nah,
namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih mudahlah untuk memindahkan kedudukan
pangeran mahkota kepada yang lain. Mengertikah engkau akan maksudku?”
Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak dimengerti. Dia
mengangguk-angguk. “Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu amat mudah dan sudah pasti kami
dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran
Kian Liong sudah berubah dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang
dikutuk dan dicela, baik oleh rakyat mau pun para pejabat.”
“Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!” kata nenek itu, saking girangnya lupa menyebut Loenghiong,
tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang sesungguhnya tidak suka disebut ‘enghiongenghiong’-
an segala.
“Harap Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka dengan
taruhan nyawa,” dia memperingatkan dengan suara halus.
“Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar berada dalam
kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian berlima diangkat menjadi orangorang
yang berkedudukan tinggi di kota raja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka dia pun kemudian mohon diri dan pergi meninggalkan kamar
rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi Mo-li yang akan membantunya
melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang
mereka menggunakan tangan maut membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk
menghancurkan nama baik pangeran itu. Dan melalui kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang
murid mereka yang lihai dan cerdik itu, dibantu pula oleh anak buah mereka, Toa-ok merasa yakin bahwa
rencana itu sudah pasti akan berhasil. Sukses…..
********************
Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu
sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi
mau pun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur. Oleh karena itu,
dengan wajah berseri gembira, pada hari berikutnya Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung
pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan
dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya.
Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang
perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai
kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan
menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat
tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu.
Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betapa kehidupan
menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan,
membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia
pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum
setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua
wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka.
Setelah kereta meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah
pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia
menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi.
Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan
yang sunyi dan tenang.
“Aih, sejuk sekali di sini!” kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih
banyak menikmati hawa yang sejuk dengan harum daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka
melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, tetapi
karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa
yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.
Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua
pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam
sekali, mungkin menembus jantungnya.
“Kepung kereta!”
“Lindungi Pangeran!” teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan
menjaga kereta.
Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan
kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang
menarik keretanya.
Gerakan mereka itu bagaikan bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa
mereka itu rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua
memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam
pula, menyembunyikan bentuk wajah asli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa
beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi lalu membentak, “Tinggalkan kereta
dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!”
Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang
berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar, pikir
Souw Kee An yang cerdik dan telah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.
“Sobat, bukalah matamu baik-baik!” teriaknya nyaring. “Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang
sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian suka menyingkir dan tidak
mengganggu kami yang sedang bertugas!” Teriakan ini diucapkan oleh Souw-ciangkun bukan karena dia
takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi mengawal dan menjaga
keselamatan pangeran.
Akan tetapi wanita berkedok itu berseru nyaring, “Pangeran atau Raja atau siapa saja harus membayar
pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran itu untuk minta uang tebusan!”
Melihat lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu, dan mendengar betapa mereka hendak
menangkap seorang pangeran mahkota untuk meminta uang tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat
menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat lucunya.
“Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan menawan
pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Bukan main…. ha-ha-ha, bukan main!”
Semua perampok berkedok sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang pangeran muda
yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam dan penuh wibawa, dengan suara
ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat, dengan sikap yang benar-benar mencengangkan. Mereka
menduga bahwa tentu pangeran itu ketakutan, ternyata pangeran itu sama sekali tidak takut bahkan
tertawa geli.
“Serbu....!” Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggota perampok dan
mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang sudah turun dari masing-masing
kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu.
Para pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka
dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu, dengan keyakinan bahwa dalam waktu
singkat saja mereka akan mampu membasmi para perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka
ketika mereka mendapat kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok
biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi mereka!
Souw Kee An juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin
gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama sekali tidak pantas
menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah curiga dan menduga bahwa perampokperampok
yang tidak gentar mendengar nama Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan
hendak menculik pangeran mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang
menyamar sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita berkedok itu.
Akan tetapi hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat wanita-wanita yang
amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia tidak
mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun
cepat-cepat meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran sampai titik
darah terakhir kalau perlu.
“Pangeran, harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!” teriak Souw Kee An sambil
memutar pedang melindungi.
Namun pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi, seolah-olah semua
pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja! Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda
bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh, sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi
di dalam kereta pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas sekali
pun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun tahu bahwa
tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tiada alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin
dunia-kangouw.blogspot.com
menawannya, dan mungkin perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai
sandera untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik dan menegangkan hatinya!
Akan tetapi kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan mendesak Souw Kee
An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan menjadl kritis dan berbahaya sekali! Tibatiba,
setelah menangkis pedang Souw Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, salah seorang di
antara wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak menyambar hendak
menangkap Pangeran Kian Liong.
“Wuuuttt, plakkk....!”
Tiba-tiba di atas kereta itu nampak seorang laki-laki tinggi besar bermata satu yang melayang turun dari
pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi besar itu sudah
menyerangnya dengan sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan
yang amat seru di atas kereta.
Pangeran Kian Liong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari jendela untuk
dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa
sekali pangeran ini. Nyalinya amat besar dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan
yang demikian mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil melihat
tontonan yang menarik!
Pertempuran di bawah kereta juga mengalami perubahan dengan munculnya dua orang pria yang bukan
lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang mengamuk,
membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Mereka berdua menggunakan
senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu.
Keadaan pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal kini memperoleh
semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok. Sedangkan
pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok di atas kereta pun berlangsung
dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi
permainan golok dari kakek mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang
membuat wanita berkedok itu kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan
yang amat kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa
orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal menjadi semakin besar dengan adanya
bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka kenal itu.
Selagi keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul seorang anggota
perampok lainnya yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng. Perampok ini bertubuh tinggi besar
seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul, sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran
itu dan begitu kaki tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang terpelanting. Hebat bukan main
kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan tetapi siapa yang
berani datang mendekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh tamparan tangan atau tendangan kaki
sembarangan saja!
Melihat betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun kemudian meloncat dan menyerang kakek itu
dari kanan kiri, menggunakan toya yang mereka mainkan dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan
toya ini, kakek raksasa itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang
rendah, lantas kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik toya agar tidak
terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari tamparannya ini
datang angin keras yang hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya
sekuatnya. Dua batang toya bertemu dengan dua buah lengan.
“Dukkkk! Dukkkk!” Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh bergulingan seperti
daun kering tertiup angin!
Kini kakek itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw
yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah terlempar dari atas kereta
karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia
terlempar! Wanita itu sudah mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.
“Cringgg!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Untung bagi Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak terbanting jatuh
telentang, kemudian menggunakan pinggulnya menyentuh tanah, terus bergulingan sehingga ketika wanita
itu menyerangnya, dia mampu menggerakkan golok menangkis lantas melompat berdiri dan kembali dia
menghadapi serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang tinggi besar
itu yang tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa?
Karena ternyata tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak seorang jembel
mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar yang menjadi terkejut sekali oleh karena
suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel
yang rambutnya awut-awutan dan mukanya brewokan ini mempunyai kepandaian hebat dan tentu saja
hendak membela pangeran. Maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat mengirim hantaman
dengan tangan kanan dan disusul tangan kiri. Terdengar suara angin bercuitan saking hebatnya pukulan
kedua tangan itu.
“Heh-heh-heh, hebat juga engkau!” kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa saja dan
kedua tangannya kemudian menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya Si Jembel ini memang
hendak mengukur tenaga orang.
“Desss! Dessss!”
Akibat dari adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si Jembel itu
terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun terjengkang
dan hampir jatuh! Kereta itu berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda
yang semenjak tadi sudah menjadi panik itu. Akhirnya kusir itu meloncat turun, dan cepat melepaskan tali
yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta. Tiga ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepaknyepak
karena mereka dibebani seekor kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas
sekarang dan berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi besar sudah
bertanding lagi dengan hebatnya!
Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu tentu saja
amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari
Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi
dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan
pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu dan melihat betapa pangeran mahkota terancam
perampok-perampok.
Tadi, selama para pengawal masih menang angin, apalagi saat dibantu oleh tiga orang kang-ouw yang
perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika muncul perampok tinggi besar yang
memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas
kereta untuk menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tak dapat ditandingi oleh mereka yang
melindungi pangeran.
Pertandingan antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa kakek
itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban-hwa Sengjin adalah seorang datuk
kaum sesat yang mempunyai ilmu kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang nama aslinya adalah
Pendeta Lakshapadma ini, yaitu nama Nepal, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah
dipelajarinya, juga memiliki sinkang yang sukar ditandingi saking kuatnya.
Dia pun memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini dimainkan dengan
berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat cepatnya hingga sukarlah bagi lawan untuk
mengarahkan serangan mencari sasaran, sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang
mencuat keluar serangan yang tidak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.
Karena Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak berani
mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw karena dia takut jika ketahuan
rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya.
Sebaliknya, Sam-ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus
dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut.
Dia merasa mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh kaum
sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan ganas, tetapi sudah beberapa kali sepak
dunia-kangouw.blogspot.com
terjangnya malah membantu pemerintah, membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan
golongan hltam. Sekarang, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan menentangnya tanpa
alasan apa pun juga! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi pelindung pangeran, apalagi
kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas
nampak sengsara dan terlantar itu!
Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan terus menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua
serangannya mampu ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak berani mengeluarkan
Thian-te Hong-i, dia pun tidak dapat mendesak Si Jari Maut ini.
Kembali kedua tangan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan pada kedua
kaki mereka.
“Krekekkk....!”
Mendadak atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, tetapi keduanya dengan cepat sudah
meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu amat berbahaya bagi
mereka selagi menghadapi lawan yang selihai itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap
kereta pecah itu. Akan tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar
tubuhnya turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si Jari Maut,
pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang tadi bertempur kini menonton
pertandingan yang amat dahsyat itu.
Sam-ok bukanlah seorang bodoh. Kalau pertempuran itu dilanjutkan dan menjadi pusat perhatian, akhirnya
orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i,
sungguh bukan merupakan hal ringan, sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi
pasukan pengawal yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi
teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya lalu melarikan diri
sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam pertempuran itu. Para pengawal melakukan
pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang tidak berani meninggalkan pangeran segera mengeluarkan
aba-aba memanggil mereka kembali.
Setelah semua orang berkumpul, dan dicari-cari, ternyata tiga orang pendekar yang tadi membantu mereka
kiranya sudah tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga orang pendekar itu tentu melakukan
pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka
tidak ingin memperkenalkan diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel
yang tadi bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih berada di situ,
diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan orang-orangnya dan ternyata ada dua
orang yang terluka berat sedangkan selebihnya hanya terluka ringan saja.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini memandang
penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki wajah yang gagah dan tampan,
hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan
itu menutupi sebagian mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga
tersembunyi yang hebat. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar yang hidup
mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang sengsara. Namun diam-diam pangeran
ini merasa heran, mengapa orang yang begini gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan
terlantar.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenal dan mengetahui namamu yang
terhormat?” Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.
Wan Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang. Keduanya terkejut
karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan, sebaliknya Tek Hoat
melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun mengandung wibawa yang membuat setiap orang
akan tunduk hatinya. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.
“Paduka adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah seorang
jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan maafkan saya!” Setelah berkata
demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari
tempat itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Kee An yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih, “Pangeran,
sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti pengemis tadi tentulah seorang di
antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya hebat bukan main.”
Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”
Souw Kee An merasa amat heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran itu
seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, “Dan perampok-perampok itu jelas
bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi
besar seperti raksasa itu, dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu
melindungi Paduka.”
Namun pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya maut, tidak menjadi
lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya. Dia hanya berkata dengan nada suara
gembira, “Ah pengalaman yang mengasyikan sekali tadi itu!”
Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda lain dan biar pun atas kereta itu sudah rusak, namun kereta itu
masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengah hari mereka tiba di pantal laut. Ternyata
tempat itu, pantai laut dekat muara Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak
menyeberang ke Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu milik
majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut pangeran!
Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau itu sendiri,
terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua
pelayannya adalah wanita belaka, wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka adalah
yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin
Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada
keperluan penting.
Perahu besar yang dikirim untuk menjemput Sang Pangeran itu lengkap dengan anak buahnya, sebuah
perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka
menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan Sang Pangeran untuk segera menaiki
perahu.
Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu banyak. Maka,
hanya Sang Pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya yang dapat naik ke perahu itu,
sedangkan delapan belas orang pengawal lain, termasuk yang terluka, terpaksa harus mengikuti perahu itu
dengan perahu lain. Kehadiran Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang juga hendak pergi
ke Kim-coa-to turut menonton pula dan diam-diam di antara mereka itu yang mempunyai niat
mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya melihat kehadiran pangeran mahkota.
Mana mungkin mereka bersaing melawan pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil
sama sekali.
Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai
meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan
perahu besar itu, agaknya untuk ‘membonceng’ kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa perahu
layar kecil, yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada sangkutpautnya
sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to.
Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang
dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti
pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik
pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya
tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Sekarang Souw Kee An dapat duduk
dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan
berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.
Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu
yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai
oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada orang melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah
mereka.
Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah ke
atas perahu besar itu orang-orang berpakaian ringkas dengan muka bertopeng lagi! Tentu saja Souw Kee
An cepat-cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara
mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan
orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.
“Hai, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak.
Souw Kee An menoleh dan kaget melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia
meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam
perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya tadi ke atas
perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua
perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.
“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya
menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Loncatan yang barusan dilakukan oleh Souw Kee An adalah loncatan yang jauh dan berbahaya, oleh
karena kurang jauh semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah
perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam
perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.
Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke
arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu
besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak
dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw
Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya
berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.
“Celaka, hayo lekas kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung.
Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang
melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!
Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya
maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, tetapi mereka ini pun
dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar layar mereka.
Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya dapat menemukan dua
perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat
dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang
Pangeran, bahkan dia kemudian mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala
daerah di kota Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapa pun dia hendak
merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak
orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting
menjadi gempar.
********************
Biar pun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah
berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa
loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya
itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu dengan cerdiknya membakar layarlayar
dari perahu yang mengejar.
“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali
dipergunakan dalam perang lautan, sungguh pun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan
dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran
itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan
naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!” katanya.
Para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas
punggung kuda dan segera ikut pula membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami
peristiwa yang amat menegangkan hatinya, sebab belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia
sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh.
Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik
dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para
penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dirinya
hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda
seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.
Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan
mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang
biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang
yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu,
berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami
hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke
sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan
berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak
dan mengaku pangeran, tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri
kami sendiri.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia
berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini
melarikannya, karena rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi. Rombongannya
membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala
jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar.
Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa,
sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.
Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar
dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah
akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan
pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah
bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga
bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota!
Dengan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguh pun saat ini
dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.
Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan
dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang
wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke
dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan
badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.
Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu
beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya sedang
dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang sangat tipis
sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka
itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikanbisikan
yang memikat dan mencumbu.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk kemudian
berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari
sini!”
Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapa pun juga, selain
mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat
berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh
dunia-kangouw.blogspot.com
lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak,
“Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”
Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, hanya meninggalkan bau
harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian
semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.
“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu
menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura
dengan hormat.
“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau
menerima kebaikan dari kami.”
“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang
biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susahpayah
menculik dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok temantemanmu
di hutan itu bahwa tujuan kalian hendak minta uang tebusan?”
“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar
ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang.” Si Mata
Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.
Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan
terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh
wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka masih menyembunyikan
kehendak mereka yang sebenarnya?
Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, dan tidak akan
tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah sering kali dia diselamatkan oleh orang-orang
pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan mengharapkan pula agar pengemis itu yang
akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu
adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu,
maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak
tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan
pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!
“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama
Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran. Kita suruh pelacurpelacur
itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan
pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa
dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok
dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata
Juling.
“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana,” jawab Si Mata Juling.
Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah susah payah membawa tujuh orang pelacur kota yang
termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok
dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok,
dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orangorang
penting melihat serta ‘menangkap basah’ pangeran itu sebagai seorang pemabok dan pemuda
hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh hal ini merupakan siasat yang amat
keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.
Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng,
setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, lalu diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke
daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir yang
sering dikunjungi kaum hidung belang dari kota-kota di sekitarnya!
Akan tetapi mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan
Pangeran!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan
Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di
dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam
hutan, tiga orang pendekar ini kemudian menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai
ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.
Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat
Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, namun karena yang
dikejar itu menunggang kuda semalam suntuk, maka mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan
harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika melihat Pangeran digandeng oleh
banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, dan pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka
menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.
Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka
berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan
kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang
Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-suhu dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami
berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”
“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan
menariknya pergi.
“Ehh, ehhh.... hemm, biarkan aku menonton pertandingan ini....,” Sang Pangeran yang setengah mabok
itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.
Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang
dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.
“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita
baju kuning yang tadi bicara, tetapi hatinya penuh penasaran serta gelisah melihat Pangeran dibawa pergi,
padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.
Meski dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, tetapi nama besar datuk-datuk kaum sesat itu
pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu
dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar
demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan
tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju
merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat.
Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee
yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari
Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai
pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus
kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak
kanannya sehingga berdarah.
Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras
dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh
dua orang kakek itu. Bagaimana pun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun
orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.
Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok,
berjalan terhuyung-huyung bagaikan orang mabok dengan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi
kesan bahwa pemuda yang digandeng memang sedang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolaholah
tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak
kanan bercucuran darah.
“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan
memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak
seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.
“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan
pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua
orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.
Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang
terdiri dari seorang pria setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang
wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu
datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan
itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang
ditangkap penjahat itu!”
Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak
sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biar pun dia sudah mengelak,
tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si
Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.
“Cringgg....!”
Pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya
cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima
tahun, berpakaian seperti nikouw tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang
tasbeh yang terbuat dari gading.
“Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”
Su-bi Mo-li segera memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, tiga
orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang
menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi
apa-apa yang aneh.
A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau
mampus di ujung pedangku!”
Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Amithaba, kalau engkau dapat
membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”
A-hui berteriak nyaring dan menyerang. Nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan
terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!”
Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.
A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang
kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah
menghadang dengan pedang terhunus.
“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu
memaki sembarangan saja, namun hal ini sangat menusuk perasaan A-kiauw oleh karena memang
mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).
“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.
Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke
depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil
mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu.
Dan dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”
Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak
mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Su-ok dan Ngo-ok berubah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, Toaso dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak
mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak
nampak keluarga Cu yang sakti di situ.
Ada pun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik
yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid
itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang
pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak
mereka.
Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama Akiauw
juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan
saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw
itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu adalah Nandini, bekas panglima
perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun
Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!
Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah
Bu Siok Lan. Namun melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demikian mudahnya, Si Mata Juling dan
empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!
Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid
mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang
datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang
tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.
“Siapakah engkau?” Tanya Ngo-ok tanpa melepas pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok
juga tetap memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.
Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. Walau pun dia pernah menjadi seorang pendekar yang
namanya menjulang tinggi di dunia barat sana, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok
dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.
“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu,” kata
Bu-taihiap dengan suara tenang.
Su-ok tertawa. Dia lebih tenang dari pada saudaranya. “Ehhh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”
Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu,
harap kalian sudi melepaskan dia.”
Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat
betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat luar biasa,
demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa
gebrakan saja oleh wanita-wanita itu!
Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana,
berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang
dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah
Suling Emas, maka sekarang dia tak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh
harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran
masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!
Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena
untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua
pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tak mereka kira bahwa di sini
akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini.
Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya,
tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok
dunia-kangouw.blogspot.com
dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut, hanya dia harus bersikap
cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal
yang baik sekali!
“He, sobat, engkau tak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau
mengenal dulu siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”
Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, tetapi sedikit pun tidak nampak perubahan pada wajahnya yang
tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar
kalian suka melepaskan dia.”
“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”
“Ha, sobat, bagaimana jadinya kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini
hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini
menggunakan gertakan.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang telah dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia
hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti seluruh percakapan itu dan kini dia tertawa
sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup
dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! Heiii, kau hwesio cebol dan tosu
jangkung, apa kau kira hidup lebih enak dari pada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan
habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang
gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum
siksa. Ha-ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”
Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan
menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang
begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat diucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar
tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.
“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah sebaiknya kita menggunakan dia
sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.
“Taruhan?” Sekarang Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari ‘atas’ dia
memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.
“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar
dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja
kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana.
Beranikah kalian?”
Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring
otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka
padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah jelas mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?
“Hemmm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!” kata Ngook
marah.
“Ha-ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun sudah tidak bisa lagi mempertahankan
kepalaku. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh
kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!”
Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian
pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin benar akan kemampuan Bu-taihiap, maka
mereka hanya memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka
bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh dan dengan hati gelisah. Bukan hanya
rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka
juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka
sangka-sangka akan muncul ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa
tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil
berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Marilah kita layani dia.”
Mereka kemudian mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan
mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak.
Menghadapi orang yang tidak mempedulikan Sang Pangeran sama sekali, maka tiada gunanya untuk
mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera.
Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang
Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka
tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan
saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan
tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir, dengan harapan akan mampu
menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan bisa melanjutkan siasat mereka merusak nama
baik pangeran.
Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat
yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biar pun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyumsenyum
saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan
siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat-cepat dia
melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya lawan
yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati hati, tidak seperti orang ini yang
begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.
“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama,” medadak Su-ok berkata untuk membalas pandangan
ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa
engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!”
Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-haha,
yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya.
Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui
nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan
namaku, sampai lupa. Hanya she-ku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”
Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka siapa lagikah
orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan
sebutan Bu-taihiap itu?
“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira
tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”
Bu-taihiap merasa disindir. Permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu agaknya
telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu
banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.
“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini
penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.
Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu
menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang
dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan dua tangannya mendorong dari bawah. Hawa
pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya
menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang
kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup
membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal
keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga-duga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat
ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari
pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh
dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari
atas!
Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigap sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki
ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki
watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau
merubah diri menjadi katak, dan yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung....
heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari
bawah.
Tadi dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang
berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut.
Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi tepat mengenai ubun-ubun
kepalanya, kiranya sukar bagi dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil
bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu
Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga telah
mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!
Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, tetapi sudah berbeda dari aslinya, mirip pula
ilmu silat Kun-lun-pai, namun juga tak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu
saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan
terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu
silat India dan Nepal.
Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu
dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga
Bu-taihiap memiliki sinkang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan
Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu
dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.
Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat
ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia betul-betul mengenal, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama
sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?”
Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat
meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu
bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya itu sama
sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan
sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok!
Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu
dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara.
“Kekkk!” dan tengkuknya sudah dicekik kuat.
Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan sekarang tengkuknya dicekik,
maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biar pun kedua tangannya masih mengenai dada lawan,
namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan
sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri
bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan dua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah
di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini
meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru
meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.
“Heii, apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di
atas tanah sedangkan dua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.
“Plakkk!” Kedua tangannya seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.
“Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang
dan tumpang tindih.
Kiranya saat Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap
oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu
tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia ‘berdiri’ di atas kepala saja. Akibatnya,
tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tindih seperti itu. Ketika
mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil
bertolak pinggang dan tertawa.
“Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang,
akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!”
“Bedebah!” bentak Su-ok.
“Keparat sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada
tadi.
Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki
Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas
tanah!
Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila.
Mana ada orang berkelahi dengan cara duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan
menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh
kesempatan baik untuk membunuhnya.
Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Suok
untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, oleh karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan
tubuh merendah, lantas dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mukjijat dari bawah itu. Kalau
lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.
Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik,
menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia
pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.
Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka
merasa yakin bahwa biar pun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka
akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, di antaranya
adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal
dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam
bentuk Teratai, yaitu bersila dengan dua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan
tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti
sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila
seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang
bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang
buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.
Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang
mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan
kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu
Ngo-lian-hud ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika kedua orang lawannya itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan
maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di
atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi
kekuatan dahsyat. Dari perutnya keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking.
“Hiiaaaattt....!” Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.
“Dessss! Dessss!”
Akibatnya hebat luar biasa. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti
disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biar pun mereka telah menggerakkan
tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang
serta terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut
mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!
Sekarang tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang
kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang
she Bu!”
Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam
telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sial karena mereka bertemu
dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!
“Ha-ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya
bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar.
Melihat ini, Bu-taihiap segera menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian
belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran
memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap lalu
merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai
kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya
dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang
Pangeran segera menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran ketika melihat seorang pria
setengah tua sedang membersihkan bibir dan dagunya dengan sapu tangan.
“Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”
Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang
wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ahh, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana
mereka yang telah menculikku tadi?”
“Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”
Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat engkau mengalahkan dua orang tinggi
dan pendek itu. Aihhh, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... adalah wanita-wanita yang perkasa.
Siapakah Paman yang perkasa ini?”
Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan.
“Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba
adalah Bu Seng Kin dan semua mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali,
akan tetapi melanjutkan juga. “Mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia lalu
memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu
memberi hormat.
“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“
Sang Pangeran memuji.
Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Ketika
melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang
sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat
menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk
bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih
kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan
para penculik itu!”
Souw Kee An terkejut sekali dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit
menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan
Bu-taihiap yang sudah menyelamatkan Sang Pangeran.”
Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama
artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, oleh karena kalau pangeran mahkota yang sedang
dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal,
maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran.
Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, lalu Bu-taihiap berkata
kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira sangat tepat ucapan Souw-ciangkun ini, yaitu bahwa
kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapa pun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya,
tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.”
Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya lalu mempersilakan Bu-taihiap dan
keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah
menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi
peristiwa yang cukup mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani
membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tak dapat menolak dan bersama
keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke
Pulau Kim-coa-to.
Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih
dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia
di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang
Maha Kuasa.
Manusia agaknya merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk
memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam dari pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera,
memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari
bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tak dapat
terjangkau oleh alam pikirannya. Kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, bintang-bintang, dan
dunia, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak mau pun yang tidak.
Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih
berkuasa dari pada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang
mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan
pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang
Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan,
Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau pun tradisi atau agama masing-masing.
Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya
ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah selalu mempersiapkan di bibir sebutan Tuhan itu, apakah kalau
kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?
Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang
dinamakan atau disebutkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan
sebutan ini! Kita selalu lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu!
Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya.
Kita agungkan sebutannya belaka hingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling
bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-
Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU
yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka
dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu
dunia-kangouw.blogspot.com
keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain
sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.
Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah?
Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan
Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat
kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan
sebagainya.
Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama
sekali. Baru setelah terjadi akibat dari pada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita
menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu. Kenapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita
mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan?
Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri,
mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua
kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata
yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan
merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata
sebenarnya, yaitu manusia yang berperi kemanusiaan?
Manusia ber-Tuhan, berperi kemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-
Tuhan sudah pasti berperi kemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini
baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan
dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi
dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinlah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperi
kemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya.
Kalau pun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, maka itu hanya ucapan si-Aku, dan tentu
dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula.
Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing?
Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masingmasing?
Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan.
Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang
jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau
hanya mulut mengaku berperi kemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap
manusia atau manusia-manusia lainnya? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus
membongkarnya dengan berani!
“Harap Paduka suka hati-hati karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tak boleh dipandang
ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan berbahaya sekali. Karena itu,
sebaiknya jika Paduka memperoleh pengawalan yang kuat,” Bu-taihiap memberi nasehat.
Pangeran itu tertawa. “Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu
terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada
seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi
dari Pulau Kim-coa-to.”
“Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal
Paduka.”
“Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa
kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana.”
“Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?”
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. “Pertanyaan itu saja jelas
menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar
akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!”
Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan
nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja,
dan biar pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak
pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!
Memang yang dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi
makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas. Itulah nafsu!
Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama
semakin dalam.
“Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung....” Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia
melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang
isterinya! “Ehhh.... ohhh berkunjung ke sana mengawal Paduka....,” sambungnya cepat.
“Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?!” Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
“Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui Bi.
“Dasar mata keranjang!” Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan.
Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat bijaksana dan mudah
menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, “Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku
dikawal. Lihat, pengawalku sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul
mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi.”
Betapa pun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat
penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan kesempatan baik itu untuk minta
bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin
Liong.
“Jenderal Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu tanpa disangkasangka
berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang isterinya memandang girang. “Jangan
khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi
perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi.”
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu
Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran,” berkata Bu-taihiap. “Biarlah
hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana.”
Demikianlah, setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahuperahu
besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap
sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan
penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan
Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Meski berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa oleh mereka
yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan
anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti
Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan
yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik
saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi
karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat
meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk
keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya
kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang
dunia-kangouw.blogspot.com
kabarnya memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang
mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Pada saat perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang
Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan
main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung
induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu
adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai
berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga, pangeran mahkota itu memiliki
nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi
kegagahan. Tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya
Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang
Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan
itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang
tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan agar
Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak
mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika
dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri,
sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka,
tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan
kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena
itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata
untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon
jodoh sahabat atau muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para
mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat
atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.
Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa
perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya.
Sementara itu, setiap tamu menyerahkan hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia
khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuktumpuk,
dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil
yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah
dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah
pondok terdapat meja bundar di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil
bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh
beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alatalat
musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup
mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian berkata
dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun
ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik
Syanti....”
“Ahh, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,” Syanti Dewi
memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu sudah
sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau
mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah merah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar sendiri, Adikku.”
Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil
panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun
besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup
pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw
Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar
mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang,
kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”
“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya
itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya
seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan
tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw
Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi
sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering
dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
“Betapa pun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan
tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasehat dari
adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi
Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini
mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan
dapat salah pilih.”
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak
lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban
dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu
atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun
mengundurkan diri meningggalkan kedua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu,
sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang
percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas
langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang
menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman
bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang
berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara
celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, hingga
dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu berubah menjadi benda-benda berkilauan.
Agaknya dua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar
jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan
masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka
segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke
dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan
suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali
kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya,
kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula,
seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun
lenyap, tidak terasa lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”
“Ahh, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak
dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara
pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar
baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang
sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”
“Ahh, tidak apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya pemilihan calon
jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak
ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ahh, saya hanya
menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju.
Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya
sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ahhh, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.
“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru
paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini
bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu,
tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”
“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang istimewa,
seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana,
karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”
“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia
tiga puluh enam tahun?”
“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”
“Ahhh, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari
dari Bibi Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum
mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia ingin mempunyai
seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk
memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai
seorang suami?”
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua
tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam
saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya,
setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi
menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian
Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang
mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua
rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang
juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan
semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja
Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw
Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu
sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai terpaksa meninggalkan
istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang
pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah
seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”
“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih
mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia
tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya
tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat
jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci
Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya raguragu....
apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang
lebih besar lagi....?”
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan
wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti
kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
“Kalau memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu,
Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat
pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti
ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu
adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku
akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan
kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati
Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan peri kemanusiaan dan
kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya....
tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, kemudian
menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan
kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau
rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta
kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran, harap ampunkan dia....”
“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku
muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat
semua calon mundur, juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak
enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama
sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah mengecewakan hati Ouw-toanio.
Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal
di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang
sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan
karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau
berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang
dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa
memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak
Ouw Yan Hui!
“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya
dan....”
“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau
isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai kata aku mengambil sepuluh
orang wanita sekali pun.”
“Ahhh, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka,
Pangeran.”
“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”
Pada saat itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buahbuahan
segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat
karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan
minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil
menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.
Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir
cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia
tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!”
Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi
sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan
bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah
sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok,
suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung,
Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”
Syanti Dewi kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan pedang
terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang.
Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut
ruangan itu.
Biar pun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun
dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang
dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam
penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria
bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan
ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu
adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat
berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang
cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih
mau pun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang
yang dikeroyok itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia dapat
menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu
perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya
cepat-cepat pergi meninggalkan taman.
“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal
menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja
taman itu tidak nampak ada pengawalnya.
Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini
menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia
telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan
untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan
Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.
Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini
membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di
taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu
memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak
ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak
lagi, dan pada waktu diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan
lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih
berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal
keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An
yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang
Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan
suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk
menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok
yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu.
Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan untuk
memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu
dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang
tengah kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon
pengampunan dari Paduka Pangeran.”
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souwciangkun.
Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga
berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki
kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus
mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit
pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium
asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman
mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang
nampak mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat
perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke
dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang orang jahat dan
pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri
dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya kepada Ouw Yan Hui
dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula
yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil
tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.
Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat hendak
mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata
memiliki nyali yang demikian besarnya!
Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak
tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersenda-gurau di pondok-pondok
penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi,
karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan
hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.
Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan
mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan
keselamatan Pangeran, apalagi setelah mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to
Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi
tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
********************
Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah
mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam
sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu
saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar serta
ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang
tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang
tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan
Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno,
campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya!
Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh
karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan
dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk.
Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak
tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat.
Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki!
Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu
memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda
yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!
Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun
dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman
anggur dan mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang
mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula!
Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga
terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah
kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar
memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan
cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak
hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan
itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia
enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi
berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya
berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika
puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti
Dewi tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi
sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat,
yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis
oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua
matanya menjadi basah.
Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi
calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik
napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti
Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan
tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran,
diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan
kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat
kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota
yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya
di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar supaya Sang Pangeran dapat
menang.
Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat pertolongannya,
kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di
antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang
Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang
Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi.
Dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat
dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi
penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang
mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika saja para
pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat
Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orangorang
itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah
orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka,
apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai pangeran, entah
dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena jika hal itu yang dikehendaki
mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik
dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam
keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga
dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara
satu-satunya yang terbaik baginya ialah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun
bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang
menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan
depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi ditelan kegelapan malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya.
Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa
mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas,
maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia
pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
“Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak datang.... biar
hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik
kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat
menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
“Ahhh, kenapa Paduka....?”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru