Kamis, 10 Agustus 2017

khopinghoo cerita silat kisah sepasang rajawali 9

khopinghoo cerita silat kisah sepasang rajawali 9 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-
Dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat
menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg...!”
Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang
poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin
mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor
kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar
pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”
Terdengar bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi
cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci
Pok. Sebuah totokan yang sangat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada
saat itu, batang pikulan Liauw Kui datang menghantam punggungnya yang biar pun sudah ditangkisnya
dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang
pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.
“Wuuuttt... desss!”
Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin
sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im
Sinkang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah
menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan
pukulan jarak jauh tadi.
“Enci Hong Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata Kian Bu sambil menghampiri wanita
yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar
penuh keheranan.
“Kian Bu, awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu
saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.
“Plak-plak-bresss...!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan
dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung
hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang
Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang tertangkis membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri,
sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia
merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.
“Awas peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh.
Tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak
akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri,
dunia-kangouw.blogspot.com
menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak
mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di dekatnya, memegang tangan
kanannya lalu menciumi tangannya itu.
“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam eraterat
dan dibelai oleh wanita itu.
“Kian Bu... kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti,
sungguh mati aku tidak menyangkanya... kau hebat, aku kagum sekali padamu...”
“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat
betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu
menatapnya. Jari-jari tangan wanita itu lalu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya,
pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat
olehnya akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh
dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu.
Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata, “Kiranya engkau
adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah
orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat.
Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia
menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan
nafsu birahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas
mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergilagila
kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia
melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya
lebih tinggi dari pada kepandainnya sendiri.
“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tak suka
kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong
Kui, wanita biasa saja...”
Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya
engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari
Ketua Pulau Neraka...”
Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang
hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat
bahwa aku cantik jelita?”
“Engkau memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biar pun
engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah
menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...”
Kian Bu telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik
kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki
daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ularular
merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan
sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
“Ehhh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang
lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap,
engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga
di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti akan
membantumu mencari dia, Kian Bu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”
“Kau tetap nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku menemanimu.”
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di
sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan
akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat,
baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai,
membuat api unggun.
“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang
berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun,
memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong
Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan
tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku? Selain menolongku
dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini
hendak membantuku mencari Siang In. Mengapa?”
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang
sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Pemuda yang
masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan walau pun di dalam
sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tak akan
mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti
yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius
atau obat perangsang.
Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat
menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan
bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan
melepaskan semua hasrat petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa
mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika mendadak dia melihat wanita cantik
itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!
“Ehh, Enci..., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan.
Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir
seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, “Pertanyaanmu
mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika
menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak
berpura-pura dan bergaya memikat.
“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab
dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat
oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak
memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang
berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi apakah engkau akan sudi
membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut..., karena itu aku membantumu sekuat
tenagaku hanya... hanya agar supaya engkau menaruh kasihan kepadaku...”
“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekali pun, kalau memang
aku dapat membantu, aku tentu tidak akan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan.
“Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi menolongku? Aku... aku adalah seorang sebatang kara,
tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...”
“Ada suheng-mu...”
“Suheng-ku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari
kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”
“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa bahwa dia
telah tewas...”
“Andai kata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang
kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang
dapat membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat
saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”
“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang
akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan
depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa
muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku
dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku
sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu, aku mohon kepadamu..., sudilah engkau
membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan
menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian
Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah,
aku akan membantumu.”
“Terima kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan
pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena
dia merasa gembira dan berbahagia sekali.
“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara
manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah
semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”
“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu
barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini
adalah mati hidup bagiku.”
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan birahinya karena dia
tak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat
membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan
mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di
dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu!
Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar
mati oleh racun itu pun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong
Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya,
kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu
menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik
yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu?
Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya!
Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suheng-nya dan kini sedang menjalankan siasat untuk
menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan
lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya.
Betapa pun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya saat
dia dilatih sinkang di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang
mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik
jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan
pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang
pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabui oleh Hong Kui. Wanita
ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya
bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui
oleh pemuda lihai itu.
Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas
atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapa pun
diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah
sesuai dengan isi pikiran yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari
keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apaapa,
paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.
Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu saja mampu membedakannya.
Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga
bajunya itu tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat menggairahkan,
melakukan siu-lian sambil rebah hingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala
bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat
pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya,
menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu birahinya telah terangsang dan ingin dia
segera merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui
menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Pada dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat romantis. Dia
memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah
benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan
tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga
ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung
wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.
Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa
tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa
memang ada hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong
Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada
batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi
selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak
berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar,
kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan
digelitik pengalaman tadi.
Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara
sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah
yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.....
********************
Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya hingga bumi seperti terengahengah
kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering
diganggu mendung dan hujan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan
kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguh pun
tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.
Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua
pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya namun
ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supeknya
yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku
jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya.
Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan
pandai.
Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat
kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang
penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li,
sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala
petaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas
dirinya!
Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu
demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan
sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.
Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan
menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya,
belum juga dapat ditemukannya! Ah, kenapa nasibnya begini buruk?
Ayahnya..., ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan!
Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup
yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dulu selalu
gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya
beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.
“Hemm, sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.
Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia
tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini.
Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.
“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung
getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguh pun wajah yang kasar dan buruk itu tidak
membayangkan apa-apa.
Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya
mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah
tidak kuat menatap pandang mata itu.
“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba
Ceng Ceng bertanya.
Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...”
Ceng Ceng menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya
sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali tahu apakah engkau ini adalah seorang kakek tua renta,
seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”
“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan
panggilan itu...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan
menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu
demikian tingginya hingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...”
“Aku memang sudah tua, Bengcu...”
“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”
“Terserah kepada Bengcu...”
“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari
para perampok dan maling itu. Apa lagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”
“Ehhh...?!” Topeng Setan berseru heran.
“Aku bukan she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng, nama
terkutuk...”
Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”
“Paman, maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman,
maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng
Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...”
“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih,
Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran
yang menimbulkan duka.”
Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi,
perlu apa aku berduka?”
“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau tidak akan
mati...”
“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu kau memberi harapan kosong.
Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih
dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar
Super Sakti ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau... Ban-tok
Mo-li guruku sendiri yang telah mati...”
“Ahhh...! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”
“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari
Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat, akan tetapi itu pun masih dapat
disembuhkan oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena
latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku
mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri,
maka aku tidak dapat tertolong lagi...”
“Cukup, Ceng Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan
menyembuhkanmu.”
“Siapa...?”
“Aku sendiri!”
“Aihhh... Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali... katakanlah sejujurnya, apakah benar
engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil loncat berdiri dengan mata terbelalak.
Wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, dan kedua matanya menjadi basah
karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku
pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba
perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”
Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan
pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar
sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu.
Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, “Maafkan aku harus meraba pundakmu
untuk memeriksa, Ceng Ceng.”
“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku
sendiri.”
Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lama dia meraba-raba
pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.
“Bagaimana Paman?”
“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...”
Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu sebulan?”
Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada orang yang mengobati, akan
tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku pasti akan menyembuhkanmu, apa
pun yang akan terjadi!”
Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata
Topeng Setan.
“Dia memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan
racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku
mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu
yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo
lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan
kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari
cengkeraman hawa beracun itu.”
“Dan obat itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal paling buruk sekali
pun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari
tubuhnya.
“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang
berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas.
Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi
kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”
Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan
tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan
minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri
lalu duduk bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.
“Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti kulakukan kepadamu,
janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan
berbisik.
Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan seluruh urat serta menyimpan
semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah
cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee
mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak
berbahaya bagimu? Paman... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang dan
hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan otomatis.
Nah, aku mulai!”
Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut
punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali,
akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan
tubuh sedikit pun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk
ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang mungkin dapat
mengancamnya dalam cara pengobatan ini?
Gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta pundaknya itu kemudian berhenti,
lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung
atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan
itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka.
Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya
beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua
pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!
Kedua tangan yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng
Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan
menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari
tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang
keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.
Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan
kenapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan
batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.
Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari
dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng belum menyerahkan seluruh
keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin
karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.
Namun dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya,
yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia
merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa
yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya. Tak dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah kental
menghitam yang cukup banyak!
Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng.
Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”
Bagai terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan diri terlentang. Bajunya
masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan
lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya,
terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak
lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!
Ketika terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar
sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai
menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia
teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah
dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan memakai kembali bajunya.
Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang
memanggang sesuatu.
“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, ehhh...
apa yang kau lakukan ini?”
Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan
kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman.”
“Ehh, kau... kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa
bangkit berdiri.
“Ceng Ceng, janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus,
sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku... aku tidak suka engkau
bersikap demikian. Pula engkau memang telah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau
masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan
kakek iblis itu.”
Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang
seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau
engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa
engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”
“Karena... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”
“Ahh, harap engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan
kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi dari pada kepandaianku, namun engkau
merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku
menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek
Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat
sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau selalu menolongku?”
Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin karena aku merasa
kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari
kita makan ayam panggang ini saja dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci
penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan
sisa hawa pukulan itu, sungguh pun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mukjijat
itu.”
“Anak naga...?”
Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang masih mengepulkan uap itu.
Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apa bila perut sudah lapar dan tubuh
membutuhkan tenaga baru. Apa lagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk
lagi! Tidak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci
itu, Ceng Ceng bertanya, “Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita
menangkapnya?”
“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar
Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi
ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia
bertelur dan kalau telurnya menetas, dan biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan
membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga
matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap
ular besar itu.”
“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng Ceng
berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh obat mukjijat itu, akhirnya aku
akan mati juga?”
Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu
adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan
menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya...
karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu
engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih
ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi
pengaruhnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jalan apa, Paman?”
“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”
“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...”
“Aku tahu, Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar
membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah makanya engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari
Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain,
yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan.”
“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar
tentang itu.”
“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya terlebih dahulu sebelum melatih diri
dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari
tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo
Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu
kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan
kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama
ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut
kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat
yang dikenal sekarang.
“Ceritanya begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar
gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian......
********************
Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556
M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan
kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk.
Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat
pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus
dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka.
Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin
berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi
empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh
dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-limpai
sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu
Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari
Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.
“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat
yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari
negara lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih asli dan kini
menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat
menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa
beracun di dalam tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”
Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya dengan giat.”
“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh
berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan
sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua
belas gerakan.”
Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai
dunia-kangouw.blogspot.com
nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat
sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.
Gerakan Pertama :
Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30
senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan
kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat
membengkokkan lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak
tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan
kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan
tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.
Gerakan kedua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung.
Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari
(ditegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari.
Lakukan ini berulang 49 kali.
Gerakan ketiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, jangan
pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu
keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.
Gerakan keempat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai
lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan
napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.
Gerakan kelima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai
jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal
kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke
samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Lalu bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan
tangan menghadap pundak. Kemudian keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan.
Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu
angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali
keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus
dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat
tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai
49 kali.
Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan
tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap
ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai
menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Kamudian tarik
kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah
sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi
49 kali.
Gerakan ke sebelas :
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur
dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan.
Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.
Gerakan kedua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan
kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak
terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan
lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.
Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh
Topeng Setan kepada Ceng Ceng.
“Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua belas sebanyak tiga kali, dan
lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan
ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan.”
“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak
seberapa berat bagiku.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab.
Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya
dengan pengerahan sinkang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.
Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri
dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng
Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan
menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.
“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng berseru kagum
melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.
“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”
Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di
atas tanah.
“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tik ada
yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya
dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau
menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”
“Wajah siapa yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di
balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.
Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka
memandang dan menjawab, “Siapa lagi jika bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang
musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil,
maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa
gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng
mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali,
sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!
“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh
besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran oleh karena merasa kasihan.
“Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri,
maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm..., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”
“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir
bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari
Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah
kita, Namun tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai
gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”
Hening sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, “Mana mungkin
aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”
“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti
aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”
Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta,
kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang
dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan
daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta
kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.
“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,” katanya penuh gairah karena
hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.
“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang
pensil bulu.
“Entahlah... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.
Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah
bulat. “Begini?”
“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras
berlekuk tengahnya...”
Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.
“Nah... nah, begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya
agak tebal disisir ke belakang, kuncirnya panjang membelit leher dan pundak... ahh, tidak menutup telinga,
Paman. Telinganya masih nampak... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya
begitu...”
Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.
“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah,
bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja
dan bibirnya membayangkan kekerasan hati... aihh... mengapa berbeda...?”
Ceng Ceng lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan
sebelah dan mulutnya menggerutu,
“Hemmm... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia... ahhh,
tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”
“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”
“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti
binatang buas...”
“Ehh...?! Seperti binatang buas?”
“Ya, seperti... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam
seekor domba!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihh, aneh betul mata orang itu.”
“Memang aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya
menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh api. Nah, begitu, Paman... ya, ya... tulang pipi dan
dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan... ehh, dan jahat seperti seekor harimau jantan
yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira
sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!
Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke
atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan
seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan
musuh besar Ceng Ceng itu.
“Beginikah dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng
Ceng.
Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan
berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan
Topeng Setan.
“Plak-plak! Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!”
Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkepingkeping.
Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjakinjaknya
dengan kedua kakinya penuh kemarahan.
Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng
akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hatihati
Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng
mereda, dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”
Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. “Benci? Tak
ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat
mati meram apa bila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”
Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan
berkata, “Alangkah hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali
kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya.” Orang tua bermuka
seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?”
Ceng Ceng menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dapat
kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar
dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan
satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia,
aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman.”
“Ke mana engkau hendak mencarinya?”
“Ke mana saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas
dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu... ahhh,
gambar itu kurusak...” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia
mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya
tadi.
“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu mencoret-coret
lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari
pada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu,
kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.
Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka
membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka,
setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan
sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang
mengukus bakpao di dekat pintu.
“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang
cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan
pandang mata pria di mana pun dia berada.
“Tentu saja, Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum
bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.
Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya
sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana
dia berada?”
Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak,
keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet.
“Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah... ehhh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona...
hemm...”
“Heiiii...! Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo
berada di sini...?”
Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah berdiri di belakangnya,
seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti
ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja
itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat
memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ.
Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main
sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia
berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera
pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka
hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.
“Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?” Ceng Ceng menegur
setelah dara remaja itu menghampirinya.
“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku
ditinggal begitu saja, maka aku lalu menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat
ayahku?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”
“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang lincah itu tanpa
sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo.
Apakah dia pacarmu?” Biar pun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang
disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap
genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali
engkau tahu orang ini di mana.”
Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. “Sayang aku tidak tahu, kalau
aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang
menyenangkan.”
Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar
lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan
dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk
mulai belajar ilmu itu.”
Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi
meninggalkan warung itu.
“Eh, Nona... agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku... ehh, aku
pun masih membujang.”
Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa maksudmu...?”
Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik, tidak baik melakukan
perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini
dan aku akan membikin Nona hidup selalu senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu tidak dapat
melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam
uap panas dari tempat bakpao dikukus!
Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao
yang sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang
sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah
menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!
Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah
Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”
“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”
“Hei...?!” Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?” Tentu
saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo
memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?”
Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang
amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis
yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apa bila kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini ketika dia
memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah
aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu,
menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subo-nya. Karena ingin
bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia kemudian membebaskan aku...”
Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”
“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Bantok
Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku.”
Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah
seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena
tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat
nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari.
Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk dipergunakan sebagai
ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang
hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai
mengalami hal yang membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya
dan berjalan sambil menundukkan mukanya.
Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh
keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan sekarang makin heranlah dia ketika melihat sepasang
mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu.
Topeng Setan menangis!
“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya
sambil menundukkan muka.
“Paman, engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat
hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu
menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku
akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau
jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”
Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau...
mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”
“Ya...? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”
“Dia... dia telah mati...”
“Ouhhh...? Maafkan, Paman...”
“Dia mati... karena aku yang membunuhnya...”
“Aihhhh...!”
Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang
lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali
perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.
“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau mencinta
wanita itu, bukan?”
Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila... aku telah
melakukan dosa besar dan karena itu... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan
menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...”
“Aihhh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau
bibi itu, wanita itu... sampai mati olehmu, tentu dialah yang bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak
dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...”
“Cukup...! Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”
Melihat keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan
mengalihkan percakapan.
“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah lalu. Yang jelas, Paman adalah
seorang yang paling mulia bagiku...”
“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung habis...”
“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh,
kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa
sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari.
Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobekrobek
gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari
mencari obat anak naga itu, Paman.”
Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh
besar Ceng Ceng.....
********************
“Aughhhh...!” Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyutdenyut,
tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan
dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini dia tidak merasa lagi
tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya
berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras
dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat
pelipisnya.
“Bagaimana...? Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari
perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu
ketika hanyut...”
Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan
nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia
teringat dengan kaget dan membuka matanya, apa lagi ketika perasaannya mulai makin sadar, membuat
dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas
pangkuan seorang wanita!
Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi
saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh
sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya
daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!
Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan
menegur, mukanya merah sekali, “Aihhh... Enci Hong Kui...?”
Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau
gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku... ehh,
memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...?”
Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar
demikian mencintanya bagaikan seorang kakak perempuan yang mencinta adiknya? Akan tetapi...
sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan
kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.
“Ti... tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...,” dia teringat akan janjinya untuk
membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi
mencari mereka...”
Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak
cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka
tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan
air sungai yang ganas semalam.
Melihat wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata,
“Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami mala petaka dan masih dapat
menyelamatkan diri mereka.”
Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu memandangnya dengan penuh
harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”
“Mudah saja. Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam, bukan? Yang pertama
adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang kedua adalah
bahwa mereka jatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua mala petaka
itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andai kata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang
terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi.
Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai kata mereka itu tertawan atau
terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi
aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”
Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia
merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi melihat gadis itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau
hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah
mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tidak kusangka ternyata amat
sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih dapat memuji-muji aku
yang lemah dan bodoh. Huiii... sungguh menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya
adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.
Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. “Kian
Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”
Kian Bu memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li,
biar pun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, maka bisa berbahaya. Janganjangan
wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada!
Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya,
lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan
seorang wanita. Kecantikan seorang wanita dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar yang
bagaimana sakti pun!
Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam
segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul
sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini
tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.
“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.
Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan mendekat. Kepala yang
berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau
harum oleh hidung Kian Bu.
“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali
harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau,
sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari
tubuhku dapat dibersihkan.”
Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini
memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena agaknya wanita ini menggantungkan harapannya
kepadanya.
“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat
menjadi sehat kembali.”
Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau... engkau baik sekali...” Katanya
terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu
menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu.
Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang
memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti
akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan
tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra
dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil
pasangannya di waktu malam!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun usianya baru tiga puluh tahun,
tetapi telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia
sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah
selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia
mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan
lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tak
diingatnya lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya
timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali
ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor
kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang
lebih kuat!
Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda,
akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian
hebat, lebih tinggi dari padanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat
romantis!
Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia bersikap hati-hati dan biar pun
tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali
pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat
memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain
kasar!
Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang. Dia
adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan
tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang
pemuda hijau.
Andai kata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu
singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andai kata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa,
tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini
dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga
setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita
ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan
menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hekhwa
Kuibo.
Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan
keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan
terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan
segenap kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan
keracunan di dalam tubuh Hong Kui.
Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon
yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi
ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu
sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan
tubuhnya telah bergerak meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia
memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!
Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.
Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada ular...!” matanya terbelalak dan
telunjuknya menuding ke atas pohon.
Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara
daun-daun di cabang pohon itu.
“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”
“Aihh... maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluh dari dahinya
yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu... aku... aku paling takut melihat ular...”
Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan
pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali dia menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu
sudah tidak tampak lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu?
Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”
“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku
pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...”
“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”
“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu
saja ada sebabnya... tapi... ehhh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia
belasan tahun itu...” Wanita itu lalu menunduk.
Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya
menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis
dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu
sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.
“Enci Hong Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu?
Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat
seekor ular kecil tadi.”
“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan
memperhatikan daging yang dipanggangnya.
“Pada suatu hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan...
dan... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin
bergerak-gerak di dalam... celanaku, di paha...”
Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar
memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.
“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku
menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali
kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”
Hening sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan
tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang sehingga beberapa kali dia menelan ludah. “Memang...
memang mengerikan...,” komentarnya pendek.
“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di
Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah
begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya,
jangankan anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ.
Dan ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya sangat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa
tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin
mandi.”
“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”
Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum.
“Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku
selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir
kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”
“Baiklah...” Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari
jalan kecil itu.
Memang siang hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada
agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin
tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In, tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah
menjadi wataknya. Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak
pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali
mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh
tubuhnya dan menggoncang jantungnya!
“Eiiihhh... ular... tolong... Kian Bu...!”
Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget
hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan
seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu
menyeberang anak sungai.
Celaka, pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu
tentu akan kehabisan napas dan tewas! Karena itu dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai
yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.
Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak
berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan
mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan
hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan
mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian
wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.
Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu
lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini,
dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas
semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan
matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia
menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama
barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah
memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!
Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh,
kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, “Ular... ular...”
Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan
seperti anak kecil ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”
Wanita itu kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat
ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. “Ehh... ahhh... aku tadi sedang mandi... ada ular hitam
menjijikkan...”
“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”
“Dan aku...” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang
bahkan amat manis dan menarik hati, “...aku tadi sedang mandi... kutanggalkan pakaianku...”
Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci
Hong Kui.”
“Aihhh... engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”
Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap
di cabang pohon mau pun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di
dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun,
bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu
secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.
Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui
yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang
amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus
menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu termenung. Dia
tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar
karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah
berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi yang berkobar.
Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan
selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia
melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan
birahinya. Apa lagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit
memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam tersenyum atau
berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan
halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada
suaranya yang mesra.
Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya
yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan
daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya.
Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia
mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan
lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata
sambil tersenyum manis.
“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak kurayakan. Engkau tentu mau
menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”
Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari
ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.
“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”
Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam
cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki
dan berbahagia, Enci”
“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.
“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”
Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya umurku
sekarang, Kian Bu?”
Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua dari pada
nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan suci-nya,
mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan
menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak
keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar
dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, “Menurut dugaanku, usiamu
paling banyak dua puluh tahun, Enci.”
“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kau
kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun.
Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan?
Setua nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.
“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan... dan...”
Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.
“Ya...? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”
Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu
menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa
menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka!
Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok
gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak telah membuat tubuhnya gerah dan
melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya
memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.
Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang di Pulau Es, di atas salju yang
amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju
yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sinkang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari
seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok
mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya.
Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular
besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu
menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara
merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu
berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu
menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan
mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.
Ketika kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut
dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh
atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya
Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang
terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang
seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.
“Enci...” Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.
Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini malah membuat tubuh
yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal
ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu
yang tadi tidur pulas.
“Kian Bu... Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan
menangis, lalu memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.
“Enci... apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.
“Artinya... bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah aku...,” tangan Hong Kui terjulur ke
arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak
membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh
nafsu.
Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia
telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah
mengusahakan agar nafsu birahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika
melihat Kian Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan sering kali melihat pandang mata
pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki.
Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok
sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu
hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu birahi yang
dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga
makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan
oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.
Keesokan harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah
menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang
bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu birahinya.
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk
berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan
dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam
hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai dari pada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi ini, dia
merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.
Demikianlah, Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas
Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui,
lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu
birahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.
Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan
memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri, juga adalah seorang pemuda yang
romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan
mereka menuju ke Telaga Sungari sering kali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk
mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.
Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian
Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah
mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.
Mendadak terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”
Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan
meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang
tadi menegur sambil tertawa mengejek. Kemudian dari belakang mereka sudah muncul pula Si Petani
Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi
kaki tangan mereka.
Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi
orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong
Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap
mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu
karena dia dapat mengenali nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu
memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil
menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang
muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu
dan... senjata rahasia itu meledak di udara!
“Aihhh...!” Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.
Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata
lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita pergi!”
Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan
depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah
mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.
“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.
“Bresss!”
Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan
dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si
Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan
kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan
terus melarikan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang
seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti
menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa
aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah...!”
“Enci Hong Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita yang menjadi kekasihnya
itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya
lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.
“Haiii... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan berlari lagi... berhenti...!”
Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah
lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah
menulikan telinganya dan sama sekali tidak mau mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai
akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.
Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. “Kian Bu,
kekasihku... kau telah menyelamatkan aku...”
Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk
menyambut ciuman kekasihnya.
“Tempat ini sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh orang...” Hong Kui yang sudah turun
dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.
“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai
benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus pada
waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”
Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus
berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.
“Dia memang bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar namanya
saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin
senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan
suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak
terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara
guru-guru dari Tambolon.”
“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar
meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khikang yang mengandung kekuatan sihir
untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sinkang, atau kalau kau menulikan telinga tidak
mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu
dengan Ayah tentu celaka...!” Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa tidak
semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.
Akan tetapi, pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu
bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar
telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan
riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan)
Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang
amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul
dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es,
Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.
Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya, dia lalu pura-pura tak
menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan
mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin
bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman
karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah salah seorang putera Pendekar
Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia
hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.
Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita
bersembunyi di sana!”
Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui
merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di
dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga
Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dirinya sendiri memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya,
namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu
pun tajam bukan main.
Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah
berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tidak lama kemudian mereka melihat bahwa
dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan
ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera
hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.
Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah
Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat
wanita itu tersenyum manis.
“Eh, kenapa kau tersenyum?”
Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu.
Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”
Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau
mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka
ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan
ginkang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang
halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat
mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.
“Hi-hik, enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki
dan tangannya sudah memeluk.
“Hishhh... jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela
sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga
Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke
depan.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki
kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal.
Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke
atas, berpoksai di udara dan kemudian hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh
merupakan kepandaian yang mengagumkan.
Namun kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika melihat orang itu yang melihat
kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke
arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur
yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu
terbakar habis sampai menjadi abu!
Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang
yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orangorang
liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu
hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Alangkah
tabah hati kekasihnya yang cantik ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda
suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki
bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri melihat betapa kuda
tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap
hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat harap suka
menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!”
Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian menghendaki
sedekah? Nih, maju dan terimalah!”
Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar
sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.
Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut,
terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak
matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang
amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...”
“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan
tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa
kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan
herannya.
Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua tangannya menegang lalu saling
menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama
kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya menggaruki
mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus
digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan
terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu
seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta.
Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.
Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah
mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda
itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian,
mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah
dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.
Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan
dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan
tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.
Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat
turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak
membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai
lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu.
Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka begitu lihai, sedang kita masih
dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”
Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini
merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan
menghadapi nenek iblis itu saja sudah amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan
kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton, akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada
rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian
kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat
pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!
Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu
melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena
bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka
karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu
ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daundaunnya
menjadi kuning dan rontok.
“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari
dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan
cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua
orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang
lihai tadi berada di belakang.
“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui berbisik, kemudian
membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar
matahari senja.
Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan
percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka
bahwa rombongan ini adalah kelompok anggota dari perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan
orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan sedang melakukan perjalanan ke
Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di
dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.
Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua
Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama
beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan
selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian
dua orang musuh besar yang amat lihai.
“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu
akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.
Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan
Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam)
adalah suheng-ku.”
“Hek-tiauw Lo-mo?”
“Benar, mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru karena mempelajari ilmu dari
kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”
Kian Bu hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja
yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena
memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang
membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah
Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan
Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.
Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran
dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi
mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin
melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang
dipelajarinya dari kitab curian itu.
Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di
permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak
naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang
amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun juga.
Malam itu terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan
langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri
kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka
pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman
Kucing itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apa lagi Ketua
Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan
seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menahan diri hingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara
kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya
merintih lirih.
Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan
sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu rebah terlentang memandang
langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara
gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.
Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang
penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki
bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang juga besar dan jubahnya yang
lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.
“Ehh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.
“Ssssh...” Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun
membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.
“Wah... dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang
ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke
depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.
“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan
kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan
itu.
Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan
berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba
hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka
tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.
“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa
Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab
kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah,
Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!”
Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan
keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang
dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang sedang mengawal ketua mereka.
Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana
berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu
malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek
mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah
lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan
penyelidikan dan pengejaran.
Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab
pelajaran ilmu mukjijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan
sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak
manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang
mereka butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengan mengejar
kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa
Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para
anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa
Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Ada pun anak buah Lembah Bunga Hitam
sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama
itu sekarang berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang
lihai itu.
Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka
menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak
mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka
sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga andai kata
mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka
menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar
mereka.
Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak
kubantu...”
Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas
musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya.”
“Eihhh...?”
“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”
Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan
penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu
kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding matimatian,
di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!
“Ehhh, lihat ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan
menuding ke kiri.
Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan
ringan berloncatan kemudian berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi
ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek
berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.
“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke
arah kereta di belakang itu.
“Darrrrr...!” Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai itu cepat menengok, dan
melihat kakek itu mereka terkejut sekali.
“Dia mencuri kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat
ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua
orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.
“Wah, jadi ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orangorang
Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar
seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.
“Hayo kita ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan
pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak
ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah
larinya semua orang itu, yaitu ke utara.
Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai
itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang
seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi itu. Kakek tua itu
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan
mampu menang.
Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah
dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki
sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik
warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia menjadi
bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng
kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.
Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan
sikapnya bengis muncul di depan warungnya. Pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin
bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan
bersembunyi di balik meja!
Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat
menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo
memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini
tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi
kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!
Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut
sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di situ,
dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan
hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya
yang lapar di warung itu.
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena
bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek
berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka
melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke
pintu dan membentak, “Bocah hina mundurlah!”
Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan ‘bocah hina’ tadi, maka ketika
melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia
memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!
Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan
hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun
yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!
“Aihhh...!” Dia berseru.
Tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru kini dia teringat siapa
adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena mendendam dan merasa benci kepada Hek-tiauw Lo-mo
yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan
kepadanya, kini mempergunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.
“Dessss...!”
Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng
terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lomo
yang hanya tergetar tangannya lalu memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.
“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”
Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata
kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, “Paman, bunuhlah orang ini!”
Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati
perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya.
Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet,
sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga
Hek-tiauw Lo-mo!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua
bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa
gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab
curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.
“Cuuss...! Dessss!”
Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan
tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari
pintu warung!
Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan
bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si
Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng
ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan
pukulan mautnya.
Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua
oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai
bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.
Hebat sekali sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi
juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi
Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan
terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biar pun dia mampu menandingi dua orang
datuk itu, tetapi dia pun tak dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau pertandingan
dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini
memang sudah tinggi sekali.
Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir dari pada para
anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat pula menyusul ke dusun itu dan tiba di
depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding
melawan kakek pencuri kitab, tetapi bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi
ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia membuka mulut
memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng
adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.
Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa
malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua
perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa
hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, ia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng
Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.
“Aku... aku mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui
yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.
Sementara itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu
mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali
Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran
sambil mencabut pedangnya.
Topeng Setan terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan
kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.
“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok
tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah
punggung Mauw Siauw Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita ini amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun,
dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat hingga hampir saja pundak Ceng Ceng
terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
“Ceng Ceng mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang
belum sembuh benar.
Pada saat itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang
Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi
pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng
yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga,
sekarang meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu oleh kakek
berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulanpukulan
beracun.
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak Topeng Setan, membalik dan
pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di
antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih
dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri kitab
adalah kakek rambut putih itu.
Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk
pedang!
Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya,
kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan
tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan
melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, langsung dia terjun dan menyerang kalang-kabut
untuk membantu Topeng Setan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba
dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar.
Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi
masuk.
“Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”
Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong
Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.
“Kian Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri
sambil mencari kekasihnya.
“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh...!”
Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah
tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang
sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha
untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun
nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah
melarikan diri.
Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam,
akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah
pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.
Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul tubuh kakek berambut putih
yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng, terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri
secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh Topeng Setan yang memondong
tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana
bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan
istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan
dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.
Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian
suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, kemudian menggunakan ilmu kepandaiannya yang
tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan
memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya.
Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri
Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.
“Bibi Puteri Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan
basah air mata.
“Bibi... apa yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.
“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”
Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya.
Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua.
Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi pemuda yang gagah
perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari
tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah
menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang
lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan
menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.
Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng,
kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru
sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga
merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau
pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!
Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan
Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”
“Ehh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”
“Hmm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan
keluargaku....”
Dengan singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan
pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran
melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi
pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun
suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.
“Nah, karena itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai
isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.”
Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.
“Ahhh... Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.
Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu
perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan
adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng
pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”
Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus membawamu, yang jelas kita harus
keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota
raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”
Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi karena jenazah suami puteri ini
masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya.
Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi.
Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana
ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang
berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su,
sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah
mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.
“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan
hati terharu.
Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa mala petaka
yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana
ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri Milana.
Milana yang berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat
berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan
tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah
utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat
adalah melalui pintu gerbang utara.
Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum
kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh
mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang
utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan
girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah
saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah
malam itu.
Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di
pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diamdiam
dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya
berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.
Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak
mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, “Adik
Milana, tunggu dulu...!”
Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya
tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak
malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.
Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik.
Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguh pun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah
tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat
menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya
tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang
Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri
itu.
“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan
ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri,” wanita itu
berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”
“Ahhh, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib
sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok
seorang musuh besar kita?”
“Lu Kim Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita
yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim
Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah
memperkosa dua orang wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).
Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang
mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam mengikutiku?”
“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani
memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah
meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”
“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”
“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan
tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...”
“Hemm, apamukah pemuda itu?”
“Dia itu puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa dia telah membantu
pemberontak... akan tetapi... demi perkenalan kita... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka
mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir
akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!
Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci Siok Bi.
Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”
Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam
tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri
Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan
gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang
mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan
selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui
kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu
saling mengenal itu.
“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?”
Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok
Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung
mengarah ulu hatinya.
“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”
“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku terus
terang siapa ayahnya.”
“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa
yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun
Beng itu?”
Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini. Wajahnya menjadi
pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam
dan mendengar penuh perhatian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga demikian... dan engkau tentu
menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu,
bukan?”
“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa
jahanam Gak Bun Beng itu...”
“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama
Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan
saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang
telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”
Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat
selamat, biar pun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan
kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang Thian Pa...”
“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu,
bukan?”
Siok Bi mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi
bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”
Milana menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau begitu... aihhh, sungguh kasihan
sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu
adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”
“Tentu saja! Habis mengapa?”
“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku,
dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun
juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu
sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...”
“Ahhh...!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat
wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biar pun puteranya itu tampan akan tetapi sedikit
pun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!
“Apa... apa maksudmu...?”
“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan
fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gaksuheng
dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee.
Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”
Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia
dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak
Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang
mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat
dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!
“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan
orang itulah, dan orang itu pula yang sebetulnya menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”
Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara
gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku dapat percaya ceritamu ini...? Setelah belasan tahun
aku percaya demikian... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”
“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan
orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa mala petaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi
aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan
terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee
untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia
dunia-kangouw.blogspot.com
telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee
sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang
melakukan perbuatan keji itu masih... anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui segalanya
di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...”
“Ya Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”
“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi.
Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...”
“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”
“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak
Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar.
Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih
hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.
“Sungguh kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, kini... puteranya juga
melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan mempergunakan namanya.”
“Ahhhh...! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang
menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin
tertekan.
“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas.
“Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari
keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut
dikasihani.”
Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”
“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya
apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat
dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar
pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena
disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya besar sekali
dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa
besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan
diri sendiri sampai terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia
telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad
untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”
“Ahhhh...!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus
dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain beliau bukan musuh kami... juga mana mungkin anakku mampu
menandinginya?”
“Agaknya engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi
sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah
yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak.
Mungkin dia masih berada di kota raja.”
“Kalau begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu berlari meninggalkan dua
orang puteri itu menuju ke kota raja.
Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya belasan tahun yang lalu telah
terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”
Milana menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng,
dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa
dan hebat...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri ini lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya,
kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang
ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat berjumpa lagi dengan satusatunya
pria yang dikasihinya itu.
“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti
wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.
“Ke mana...? Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau
kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku
ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...”
“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang
lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”
“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, maka akulah
yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau
dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”
Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak rombongan pasukan berkuda
mendatangi. Milana memandang tajam dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan
kekerasan pula?” Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan
khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat
dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.
Akan tetapi, ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa
pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao
Liang.
“Gi-hu...!” Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan
cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.
“Syukurlah... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”
Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao, apakah engkau
mengejar untuk menangkap aku?”
Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh
penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah
mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berduka cita atas mala petaka
yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka
bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti
Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu
yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”
“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan
bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia
harus diantar kembali ke Bhutan.”
“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.”
Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”
Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau
aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani
pulang sendirian, tidak perlu dikawal...”
“Ahh, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar
sendiri, tapi dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa
engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat
mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang
pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau
berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat
tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi... jangan biarkan
Paman Gak merana...”
Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian membalapkan kuda itu, diiringi oleh dua
losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringi oleh pandang mata Milana yang
berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.
Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal
Kao Liang kembali ke kota raja.....
********************
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan
menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki
sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di
daerah yang sunyi sekali.
Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang
amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan
pedang itu mengandung racun pula.
“Ahhh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal
muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah Louw Ki Sun... aku pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng
berseru lagi.
Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau suka
membantu. Tolong carikanlah air yang jernih... dia memerlukannya...”
Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak
cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang
tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang
diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.
Namun ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas
lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding
rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng
Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang
jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi
mengapa sekarang menangis?
“Paman, kau... kau... menangis?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi
topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah
telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.
“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.
Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati
karena membantuku, Ceng Ceng.”
Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan
lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat
hatinya berduka.
Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah kakek itu
dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali
karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, terpekur dan
mengheningkan cipta.
dunia-kangouw.blogspot.com
Topeng Setan kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Telaga Sungari.
Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi,
mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap
anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.
Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa lagi setelah dia mulai melihat
berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang juga melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama.
Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa,
melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!
“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng Setan berkata
lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”
Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng
Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai
yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk
kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam,
orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud
pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin
banyak menuju ke telaga ini!
Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat
seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan
ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking
dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak.
Karena luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu
di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan
karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apa lagi
terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman!
Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar
karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak ‘pesiar’ di Telaga Sungari dan menyewa perahu
mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang
sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!
Namun, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki
kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena
kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri
betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan
kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari
tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum
anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan
mereka sendiri.
Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar
keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan
yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga
itu.
“Begitu banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.
Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang
sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan.
Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang,
menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua
orang dengan jantung tegang berdebar.
“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orangorang
yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di goa dan di tempat terasing, yang
dunia-kangouw.blogspot.com
pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga
itu.”
“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian
yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?”
“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau
hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang
berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan
siapa di antara mereka yang paling pandai.”
“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,” kata
Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari
pendekar sakti itu.
Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong
tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang
menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi
berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur
bagaimana tingginya...”
“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.
“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan
ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tak bisa dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka
yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”
Topeng Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu
seperti dewa... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi
kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...”
“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan
manusia, Paman?”
“Kenyataannya demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk
mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu
menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda
dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar
telaga itu.
“Eh... engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan
memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.
Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus
dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain
adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang
bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta
kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya,
pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena
perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.
“Ohhh... Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.
“Aih, Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan
engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku
penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan
pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih
pucat... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai,
engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...”
Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada
Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah
dia, Nona Ceng?”
Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata,
“Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”
“Topeng Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.
“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana
Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng
bertanya.
Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan
Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.
“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau
mendengar dari Kakak Milana tentang engkau... ahhh, kasihan Kakak Milana...”
“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.
“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan.
Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong
Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk,
membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan
dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana.”
Ceng Ceng kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan.
Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar
bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.
“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.
“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang... dan aku berterima kasih
sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.
“Mengapa, Pangeran?”
“Ahhh, engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong
tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau
bayangkan betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau... aku tidak
mungkin dapat menikah dengan wanita lain... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil
keputusan untuk minggat lagi...”
“Ahhh, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah
kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa memandang.
“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang
Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga
tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku
mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku
segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini
sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan
girang bukan main.
Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena
pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu.
“Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang
tidak selayaknya kepadaku itu. Mengapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran?
Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...”
“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh.
Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”
“Ouhhh...! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”
Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan
kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan
kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...”
Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan
segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku
dan sekarang pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak
mengharapkan apa-apa.”
“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua
kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Topeng Setan!
Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel
dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya
seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.
Topeng Setan cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka jangan merendahkan diri
seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat
saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”
“Terima kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang
hendak dicari di telaga ini?”
“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”
“Aiihhh...?” Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di
tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”
“Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan suara
lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang
gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum mala petaka kehidupan
menimpa dirinya.
Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. “Lucu...!
Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang
biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolaholah
permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ benar akan muncul anak naga? Ha-ha-ha,
pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui pula dongeng
menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”
Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa
gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak
menulis sajak?”
“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu menuding ke kanan. “Aku datang
bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalanjalan
sendiri... tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa perlu ditulis pun
rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengarlah...”
Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat indah pemandangannya. Lalu
terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan
merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa.
Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian
besar manusia.
Merah nyala matahari,
dunia-kangouw.blogspot.com
membakar langit senja kala,
di atas Telaga Sungari.
Air terbakar merah seperti neraka,
sebagai isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!
Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimana pun juga, pangeran
yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!
“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”
“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.
“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu
harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya
secara langsung dan terang-terangan.
“Tunggulah sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan
hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau
tunggu sebentar, aku takkan lama...” Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan
pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.
Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari
matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.
“Paman, mari kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.
“Ehhh...?” Topeng Setan berkata bingung.
“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tak akan berhasil
mendapatkan anak naga itu... Dia... dia... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”
Topeng Setan hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera
didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah
tak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan
mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.
“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.
“Dia seperti orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.
“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”
“Sudahlah, Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu.
Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”
Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah banyak. Agaknya semua orang
kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masingmasing.
Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai
karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu
berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk
berebutan dan jika perlu menggunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam
perebutan itu!
Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram dan aneh-aneh. Ketika
Topeng Setan pelan-pelan mendayung perahunya sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah
perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng
Ceng.
Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus meluncur dengan angkuhnya.
Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras perahu
itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu
jaraknya tidak terlalu jauh dari perahunya.
Penumpangnya hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya bengis. Orang-orang di
dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan
seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja,
di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar
itu.
“Tarrrrr...!”
Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh
tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan
cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang
cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut
dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.
Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah
membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan
berhasil mengelak, lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak
tiang layar perahu besar itu!
“Hebat...!” Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi
kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru
perbuatan tosu itu.
Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak
panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara
tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu
meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan
tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti luncuran anak panah-anak
panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu
benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun
tak boleh dibuat main-main.
Tubuh tosu yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang
terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu
kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi
seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.
“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan
perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.
“Hemmm...!” Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan... perahunya ‘selulup’ ke dalam
air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali di depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung
perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguh pun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!
Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orangorang
pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi
makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan
akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.
“Cluppp...!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.
Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir
sekali dan menduga-duga, kemudian bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”
Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga
apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu,
bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya?
Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari
sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling
mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.
“Brakkkk...!”
Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu
dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang besar kedua perahu itu patah dan
tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan
oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.
Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang
bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi
dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan
tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua
orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu
mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji
keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak
terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.
Perahu kedua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan
perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja
Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari bilik perahu, dengan marah menyambitkan
obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon.
Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang.
Mendadak jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat
ke luar dan... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah
menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena
dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Tetapi
ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke
arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.
Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memakimaki
dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia
merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir
yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.
Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka,
telah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi
kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar
dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.
“Itu dia...! Naga sudah muncul...!”
Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah
berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu, maka
suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih
menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air
gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik.
Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan
terang keemasan, namun belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahuperahu
kecil terombang-ambing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka
terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa
setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak
menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.
Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata
semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh
urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu muncul.
Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apa lagi
anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya ‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja
air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan
air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan
seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang
mencorong.
Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu,
lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang
bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan
mudah menelan seorang manusia dewasa!
Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka
menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih
tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir
dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya
bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.
“Koaaaakkk...!” Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang
ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar.
Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair.
Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang
usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.
Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala
dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai.
Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah
berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan
masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak
yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.
Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya
pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu sedemikian hebatnya. Saat mengamuk tadi,
nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter.
Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah
tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga
mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap
menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak
kelihatan.
Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga
yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat
tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam
mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang
demikian mengerikan dan berbahaya?
Betapa pun lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan
dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya,
selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri anaknya
dari dalam moncong!
Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang
kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguh pun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, akibat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang
meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam
karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!
“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana
mungkin menangkap anak ular itu?”
Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng
dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan
telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air.
Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak
ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada
bahaya mengancam.
“Aaiiihhh...!” Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.
Cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas
tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan
tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat
melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan
dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.
“Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke
kiri.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru