Minggu, 20 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Terbaik Suling Emas Naga Siluman 1 Lanjutan Jodoh Rajawali

Kho Ping Hoo Terbaik Suling Emas Naga Siluman 1 Lanjutan Jodoh Rajawali Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Terbaik Suling Emas Naga Siluman 1 Lanjutan Jodoh Rajawali
kumpulan cerita silat cersil online
-
Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar matahari
pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan
segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan. Salju yang menutupi
puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen Yunga, dan
Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh
dengan emas murni.
Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak
segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau.
Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir
tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.
Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah
dan amat indah. Kata-kata tidak ada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah
kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun
di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.
Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang
surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di
kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!
Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan
paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal
batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan.
Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi
dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet,
Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan
Kancen (Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan
Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam,
mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera.
Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet,
sungguh pun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh buruh tani belaka karena semua
sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping
para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini.
Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran
air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena
hawa sangatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang
petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah. Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke
atas mereka bertelanjang sehingga nampak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan
pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.
“Sudah lelah? Heh-heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah
semangat?” temannya menegur.
Laki-laki bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh
paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet.
Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si
Penyanyi ini menengadah seolah olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncakpuncak
yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat
disuka oleh para petani miskin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjang!
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tanganku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang di hasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!
Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah dari pada seekor domba!
Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu Cangpo,
tenggelamkan aku di airmu yang dalam!
Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh
mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka
terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan
dinding batu gunung. Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka
segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu
itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir saja menimbulkan pemberontakan.
Akan tetapi, biar pun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih
digemari oleh para petani.
Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang
terkenal sebagai satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa
gemblengan, sungguh pun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang
merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di
lereng Pegunungan Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang.
Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut
yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi
mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih
lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya
sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang. Dia pun seorang tosu dari aliran lain, tetapi
merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di
dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari julukannya
saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan
memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya.
Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh
itu sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang
pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya
daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali
orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para
tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik para tokoh kang-ouw
seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melainkan suatu berita yang datangnya
dari kota raja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana
kerajaan!
Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan, satu di
antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang
terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling
masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu
memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka
Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!
Tentu saja kota raja menjadi geger. Pedang ini telah dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan
keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang orang pandai untuk mencari jejak
pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Koai-liong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa untuk melindungi keamanan
atau keagungan keluarga Kaisar, tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap
sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada
desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena
pedang itu ampuh bukan kepalang!
Maka bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya
dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk
untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang
untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin
memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!
Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang
pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw
untuk berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib
memperebutkan pedang pusaka itu. Atau setidaknya, mereka akan mendapat tambahan pengalaman.
Daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia
persilatan!
Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari partaipartai
persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan,
penentang kejahatan. Ada pun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang
berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum
sesat!
Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan
juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih,
bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya
tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.
Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan pembunuhan dan
penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para
pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat
tentu akan diintai malaikat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian
tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya
lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka.
Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka
Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka mereka pun datang berkunjung
melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi
bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Akan tetapi,
dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagipagi
sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.
Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tak asing
dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Huisiang-
kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya.
Bahkan dia bisa sampai berada di situ pun karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti
kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia
menarik napas panjang.
“Siancai....!” kata tosu muda ini. ”Agaknya di ujung dunia yang mana pun, kita selalu akan bertemu dengan
manusia-manusia yang selalu berkeluh kesah karena merasa hidupnya sengsara!” Dia dapat menangkap
keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.
“Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu
menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.
“Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja,“ Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit
seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya
nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang cukup kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?
“Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng Cu bertanya.
Ciok Kam tosu menarik napas panjang “Sebagian juga mencela kita sendiri, Toheng. Bukankah karena
ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?”
Sebelum kedua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang
bergema ke bawah, “Ahooii.... kalian yang berada di bawah!”
Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang
kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak
mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.
Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu segera berteriak dengan mengerahkan khikang sehingga suaranya
bergema sampai ke atas tebing, “Sobat, kau mau apakah?”
Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan sekarang dia berkata lagi, “Hati-hati, jangan lanjutkan
perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya!”
Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu
menjawab nyaring, “Terima kasih atas pemberitahuanmu....”
Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandangan mata petani yang masih
menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.
“Ahhh, apakah yang dikatakan orang itu tadi?” tanya Ciok-tosu kepada kedua orang sahabatnya. Hok Ya
Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.
“Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita
bertiga membasminya!”
“Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki
tangan kita!” kata Hok Keng Cu.
“Hemm, kalau begitu dia iblis?” tanya Ciok-tosu dengan heran.
“Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis,
melainkan seekor makhluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan
yang mukjijat, tidak masuk akal!”
“Ehhh.... ?” Tosu muda itu makin kaget.
“Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi Kongmaa La itu,
sungguh pun sebenarnya paling baik jika mengambil jalan dari gunung itu, di mana terdapat jalan buatan
manusia yang mudah dilalui,” kata pula Hok Keng Cu.
“Toheng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.
Yang ditanya menggeleng kepala. “Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti.”
“Kalau begitu, mengapa Ji-wi Toheng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis
atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!”
“Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah
mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandai
dunia-kangouw.blogspot.com
pun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata
tajam dan kecepatan gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan
seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi makhluk seperti itu?”
Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi
karena hatinya tertarik sekali. “Seperti apa macamnya, Toheng? Aku ingin sekali melihatnya.”
“Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti
beruang, ada pula yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia
berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!”
Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan mayat mayat yang kita
lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!”
Dua orang sahabatnya termenung, kemudian mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu
dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di
atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.
“Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah
Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar
To-yu.”
“Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata
tajam,” Ciok-tosu membantah.
“Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang mana pun juga!” kini
Hok Ya Cu ikut bicara.
Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing masing dan cerita
tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka.
Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di
kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak
keindahan pemandangan di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang
sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan
dan salju. Hawa masih dingin sungguh pun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.
Di sebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan
kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan
harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.
“Gunung apakah itu?” Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.
“Itulah Kongmaa La....,“ jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jeri.
Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula
dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya
itu bukan orang lemah, melainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
Mengapa kini memperlihatkan sikap yang demikian takut dan pengecut? Sikap kedua orang temannya itu
tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.
“Pinto mau mendarat di sana!” tiba-tiba dia berkata.
“Ehh....?” Hok Keng Cu berseru.
“Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!” seru Hok Ya Cu menyambung.
“Kalau Ji-wi Toheng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!”
Melihat dua orang sahabatnya itu hanya saling pandang dan ragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu
kemudian menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud
untuk mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan
berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut dan saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Kemudian Hok
Keng Cu berkata. “Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”
Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suheng-nya. Mereka kemudian mendayung
perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini
memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu
menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.
“Ini namanya Lembah Arun!” berkata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah
Himalaya itu.
Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh
menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan
salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah
tubuhnya tertutup salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti
menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama
hidupnya, Ciok Kam menahan napas.
“Betapa hebatnya kekuasaan To!” dia menggumam karena takjub dan terpesona oleh keindahan itu.
Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tiada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu
menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan
secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan
pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka
segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan
keindahan itu, berusaha mengabadikannya di dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya
menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!
Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang
luas di alam maya pada, terasa sekali kemukjijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari
tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari
setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada
kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan
memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di
dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib.
Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang
sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua
keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama
dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut
semua itu menjadi pengetahuan teoritis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan
pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik
akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta
kehilangan cahaya dan apinya itu!
Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu
sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar
membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang
mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air
kecil yang amat jernih.
Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur, merupakan lembah sungai yang paling
curam di dalam dunia ini. Suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh
luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun
liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang
tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen
Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.
Di depan adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda
dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan
minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka
terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan
sampai perut mereka terasa kenyang.
“Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja
kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dahulu menjadi tempat
pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya
tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!” kata Hok Keng Cu yang sudah
berpengalaman di tempat itu.
Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau
muncul kembali bayangan makhluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya
kepada Hok Keng Cu.
“Toheng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?”
Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan
makhluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan makhluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena
dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, “Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh.
Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya makhluk. Jadi Yeti dinamakan makhluk dari daerah berbatu
oleh bangsa Tibet.”
Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran
dan bertanya lagi. “Mengapa dinamakan makhluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya
apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?”
“Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!” Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.
“Tidak mengapa,” Hok Keng Cu berkata. “Ciok-toyu bukanlah bermaksud menghina melainkan karena
memang ingin sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat
menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita,
hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas!
Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa makhluk itu
menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan
tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya
tinggi besar menakutkan.”
Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu
menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi suasana
menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi.
Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolaholah
dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di
angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup
salju.
Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biar pun
tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hatihati
kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah
naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat baying-bayang pendek di belakang mereka.
Mereka berjalan beriring-iringan karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki
mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan ginkang sehingga tubuh
mereka dapat bergerak ringan sekali. Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu
disusul sute-nya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak
pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang dia lebih unggul dari pada dua orang sahabatnya sehingga
melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru
tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar
itu.
Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia
memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk!
Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dua orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena
muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang
pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka
yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.
“Lihat ini....!” Ciok-tosu berseru.
Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka telah mengambil pedang dan golok,
mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah
rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang
dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang
cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang
mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun
dua buah senjata itu rompal dan rusak!
Mereka bertiga saling pandang. Sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang
sama. Yeti!
“Mari kita melanjutkan perjalanan!” akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar
dan tidak lancar.
“Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....,“ kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua
mayat itu.
“Ahh, kita tidak ada waktu, Toyu, jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini
penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya
menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat
manusia berserakan seperti itu tak terurus.
Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di
depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega.
“Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!” Biar pun
mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini
merasa lapang dadanya karena tidak ada makhluk mengerikan itu mengganggu mereka.
Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di
depan, meloncat ke belakang dan berseru, “Siancai....!”
Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tidak jauh dari situ, tertutup rumput yang
agak tinggi, nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan
melihat darah yang masih berceceran di mana mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas
diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan
menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau
dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya
terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.
Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang
pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada
perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat
orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orangorang
yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang
berserakan di tempat itu.
Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah
ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama,
yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-po-kiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja
secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini
berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?
“Hei, manusia atau makhluk jahat, lekas keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!” teriaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang sahabatnya terkejut sekali. “Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu
sebelum terlambat!” seru Hok Keng Cu.
“Toheng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang
melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!” kata Ciok Kam
yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.
“Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau suka menurut dan tidak usah menyusahkan pinto.
Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!” kata Hok Keng Cu dan nada suaranya
terdengar marah.
Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu
adalah orang-orang pandai, dan kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia
sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.
“Baiklah, Toheng, mari kita pergi!” katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap
memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.
Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua teman seperjalanannya itu ke dinding
gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah goa
yang tertutup oleh sebuah batu besar.
“Bantu pinto menggeser pintu batu ini!” katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu
bundar besar yang menutupi lubang goa.
Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan lahan batu bundar itu
dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang goa yang cukup lebar. Mereka segera memasuki goa
itu. Goa itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.
“Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan
kita aman sudah,” kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. “Sekarang lebih dulu kita mengambil air
untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita
melanjutkan perjalanan.”
Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak
bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu goa, menampung air
itu di gentong batu yang terdapat di dalam goa itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Mereka
bertiga lalu duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore
masih memasuki goa dari pintu yang terbuka itu.
“Besok pagi kita ke manakah?” Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.
“Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di
sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para
pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang
mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu.”
“Masih jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak
sebuah lereng di sebelah timur. Di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau
tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan.
Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah.”
“Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?”
“Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayursayuran.”
Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa
aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan
minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu goa batu. Tidak lama kemudian
api unggun itu padam, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking
lelahnya.
Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup
lubang goa ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar
matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan
merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata
seekor makhluk yang menakutkan! Akan tetapi dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit
duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.
“Hemmm, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya,” gerutunya.
Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan goa itu
menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit
berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu
yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia
memperhatikan.
Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup goa itu.
Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu
begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di
luar goa. Cepat dia menghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka
dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.
“Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!”
Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah
pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri
dengan mata terbelalak.
“Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu berkata dan tangannya
meraba sakunya.
Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera
putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata
cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang
tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang
pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tak
bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam goa batu itu, mata mereka memandang ke arah batu
bundar penutup goa, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk.
Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu
itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar.
Hok Keng Cu berteriak. “Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!”
Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan sinkang yang
besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi ada kekuatan dahsyat dari luar
yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat,
dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan
dan menegangkan.
Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu
menggetarkan bumi sampai ke dalam goa. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong
batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong
ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!
“Lepaskan dan terjang ke luar! Di dalam tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat
kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong
terbuka dari luar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan
dan terbukalah goa itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka
sudah berloncatan keluar goa dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan
membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat makhluk yang berdiri
di depan mereka.
Makhluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat
kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di
bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut,
seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia dari pada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu
menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersiung.
Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang
sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar.
Akan tetapi makhluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia dari pada monyet atau
beruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan
tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan
makhluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan
itu sampai ke belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak
lama pedang itu menancap di paha makhluk aneh ini.
“Yetiiii!” Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.
Makhluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu
mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher makhluk itu.
“Aurgghhhh....!” Yeti itu mendengus dari tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun
mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menebas ke
arah lengan yang diangkat itu.
“Trakkkk!” Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat
orangnya terhuyung ke belakang.
“Dia kebal!” kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah
dilolosnya tadi dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi
suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata makhluk itu secara bertubi-tubi!
Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk
putih itu mematuk-matuk.
“Tak-tuk-tak-tuk!” terdengar suara dan seperti juga pedang tadi, seolah-olah ujung sabuk yang sudah
menjadi kaku karena digerakkan dengan sinkang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi
baja!
Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa
menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah
menyelamatkan senjatanya itu.
Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya
menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu ini menjadi sangat jeri. Ada
pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan
panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga
membentuk sinar sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang
menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari
tosu muda Kun-lun-pai ini!
Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan
setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak
dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh makhluk ini
kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawatkawat
baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan
melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan makhluk ini ditembus pedang yang masih menancap,
berarti bahwa makhluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha makhluk itu,
mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung
mengarah paha makhluk itu.
“Trak-trak, tringgg....!”
“Aihhhh....!” Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang
telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan makhluk itu dan tanpa
disengaja, makhluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di
paha makhluk itu dan.... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di
tangan kiri yang menusuk paha kiri makhluk itu terpental kembali!
“Dia kebal dan lihai, mari kita lari!” Hok Keng Cu berseru.
Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kunlun-
san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha
kanannya ini tidak mampu menang?
Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah
keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Biar pun
pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas
dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala makhluk itu!
Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri
dari serangan dahsyat ini.
Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga
ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai
beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus
menggelundung masuk ke dalam jurang!
Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan
pedang dan sabuk sutera.
“Crattt!” Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan makhluk itu.
Makhluk ini mengaum. Tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya
sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku yang amat panjang, kuat tajam
dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu
melepaskan diri.
“Tidaaaak.... jangaaaaannn.....!” Tosu itu menjerit dan matanya terbelalak, akan tetapi makhluk itu sudah
menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk dan menggurat. Terdengar kain robek dan
kukunya telah merobek kain berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga
terobeklah perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi dan mandi
darah.
Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan mampu
melawan makhluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, dengan sekali lompat
saja, makhluk yang kelihatannya lamban itu sudah mengejarnya. Sekali tangannya bergerak, jari-jari
tangan yang kuat itu sudah menampar ke arah leher.
“Krekkkkk!” Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu saja dia pun
tewas seketika!
Yeti itu masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia mendengus-dengus,
kemudian melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha kanannya tertembus pedang, memasuki
goa. Di dalam goa dia mengamuk, mengobrak abrik kayu-kayu bakar dan melempar-lemparkan batu-batu.
Setelah puas mengamuk lalu dia keluar dan biar pun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat
mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan semak-semak belukar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa angin yang
lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar matahari pagi. Burung-burung yang
tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang
tahan hidup di daerah dingin seperti Lembah Arun ini.
Mayat Hok Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat Hok Ya Cu
rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak seperti ketakutan.
Kurang lebih dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar dari dalam jurang.
Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia terguliing ke dalam jurang dalam keadaan
pingsan, ada semak-semak yang kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke
dalam jurang yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan, maka makhluk
aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah mati maka meninggalkannya.
Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak,
menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua
mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan
menguburkan mayat kedua orang tosu dari Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir
kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam goa, tanpa menutupkan batu
bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu telah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal
tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.
“Makhluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!” Setelah berkata
demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat,
membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi
pedangnya sehingga kini dia memiliki lagi sepasang pedang, sungguh pun ukuran dan beratnya tidak
sama.
Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi
bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berubah. Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini
baginya berubah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan
sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar.
Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang
terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih mau pun
golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang
dari timur dan langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki
dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara.
Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir,
berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerakgerik
mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau
setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya.
Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu (pengawalpengawal
bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok (Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju
mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang)
di dada kiri, sungguh pun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan
sekedar hiasan belaka karena memang semua anggota Pek-i-piauw-kiok mempunyai keahlian
melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat.
Di antara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima
puluh tahun, bertubuh kurus akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya
menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak
pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin dari Pek-i-piauw-kiok sendiri bernama Lauw Sek, dan
julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli
yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga
mereka semua mahir melontarkan pisau terbang.
Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggota piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting. Dia bersama
dunia-kangouw.blogspot.com
sebelas orang anak buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang
pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul oleh para
anggota piauw-kiok.
Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal
dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada
Lauw-piauwsu. Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu
seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu.
Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang telah tua namun yang
juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat
dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendaki, dan kadang-kadang dia masih
harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua.
Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka
dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah
maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan
kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar
saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggota rombongan dan disebut Siauw Goat (Bulan Kecil).
Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan
yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring,
nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka.
Tiada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil.
Mereka mendengar kakek itu menyebut ‘Goat’ kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu
menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau
ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya ‘Goat’.
Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia
hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu ‘Kun’. Maka terkenallah dia
sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik
riwayat kakek ini.
Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu
dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi
tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu,
kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan
kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan
agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya
untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang.
Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan
segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam
dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan
sikapnya gagah biar pun gerak geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering
kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian
yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan
lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam
rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia.
Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, masih terdapat pula beberapa orang pedagang, yang
karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya, tidak berani melakukan
perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar
uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu,
rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang
barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang.
Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah
mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis.
Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini pula
keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh.... kami telah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?” seorang di antara
mereka mengeluh.
“Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!” tiba-tiba
Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.
Pedagang gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak
lelah!”
Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, kemudian mengangkat dada dan bertolak pinggang. “Aku
tidak selelah Paman! Buktinya, hayolah kita berlomba lari!” tantangnya.
Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi
diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.
“Sedikit lagi,” kata Lauw-piauwsu. “Kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding ke depan dan
memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat.
Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar
matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat
melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai lambai membuat orang ingin lekas-lekas
mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang.
Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu, Siauw
Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, sebab dara ini pun senang sekali melihat
hutan di depan itu setelah semenjak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat
langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena
jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan
beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka tentu saja sebuah
hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.
“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun berkata, tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului
semua rombongan itu.
Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.
“Jangan khawatir, Kongkong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan.
Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke
arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia
berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa
cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan
tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan
muda itu.
Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar
mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek yang biasanya bermuram durja dan termenung
saja itu, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda
sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang ‘berisi’. Memang keduanya, dalam sikap
mereka yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing
adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguh pun keduanya kelihatan
seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah.
Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena
malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran.
“Kau peduli apa?”
Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil
dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya
menegur, dia merasa kepalang tanggung dan sastrawan itu melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa
terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak
membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan
langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah
pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengar dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan
pertanyaan pula. “Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda?”
Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya,
karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dia sekarang bertemu ‘batu’ dan
kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini
bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu!
“Baiklah,” katanya lirih. “Jangan kau kira bahwa aku datang ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Sama
sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi!”
Sepasang mata yang tadinya mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa kasihan
mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak
acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan
sastrawan muda tadi. “Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai
siapa-siapa lagi selain aku!”
Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan
itu. Ia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan.
“Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.
“Untuk mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya,
sengaja menjauh.
Sastrawan itu kembali terkejut. Dia semakin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang
sembarangan, biar pun sama sekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya.
Siauw Goat sudah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau
segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang
ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal.
Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek robek di sana-sini. Di
dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat
sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak
pinggirnya. Jelas dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur.
Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tiada
orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di
kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi
mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?
Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah
marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat
kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri,
dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin
memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah
gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun.
“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.
Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat
sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata
itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini
tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hei, Lo-kai....!” teriak Siauw Goat sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk
membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan sekarang terdengar dia
mendengkur!
“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan terus
mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.
“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang
jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa
kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan
gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah
memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya.
Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia
mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia
menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu. Dengan menggunakan
rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing.
Siauw Goat merasa yakin bahwa siapa pun juga, kalau dikilik seperti itu, tentu akan merasa geli dan pasti
akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini.
“Ehhh....?” Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut.
Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak merasakan
kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya,
dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu
tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.
Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ihhh, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau
disiram air!”
Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat
rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kongkongnya
dekat karena tentu kongkong-nya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang
pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada
araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia
lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!
Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga
yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat
ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu
minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak
itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki
mulut!
“Wah, kau habiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis
yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang
araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi.
Siauw Goat menjadi marah. “Apa?! Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh
orang sembarangan, ya? Tidak tahu malu, engkau sendirilah yang minum habis arak itu, sekarang
menuduh aku yang menghabiskan. Hihh!”
“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang
mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu sekarang kau habiskan!” Kakek jembel itu
marah-marah dan bersikap seperti anak kecil.
“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah,
tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat
kemudian membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Tetapi baru kira-kira tiga
meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang
menghalangnya untuk melangkah maju terus.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi
begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”
Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil
sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang orang pandai ilmu silat, oleh karena
itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan
yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.
“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh
bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah
minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya
yang jernih tajam.
“Ha, kulihat engkau tidak datang sendirian. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku!”
“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kau minum sendiri!” Siauw
Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.
“Huh, kalau begitu, harus kau ganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu berkata.
Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan
ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah. “Aihhh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau
tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali dan suka minum darah
manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”
Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu
menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak
tiga meter!
Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang
piauwsu yang berada paling depan terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta
seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke
arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa
tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguh pun mereka tidak tahu
secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw
Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.
“Kau kenapakah, Siauw Goat?”
“Kakek jembel itu.... dan aku.... aku tidak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang meronta-ronta,
seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.
Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan
tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu
mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering
tertiup angin keras.
Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorong
tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah
melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat
orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang
banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu
kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi
melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu
masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut
ada enam buah pisau terbang menyambar nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari
kakek jembel itu!
Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali.
Tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan
begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali sehingga menyerang
pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa!
Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja
dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut
sepasang siang-to (golok sepasang) yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan
sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali
ke pinggangnya.
Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan mencampuri
urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah
menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.
Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak
buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis
pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa
betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah
kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka
dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!
Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya
yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian
Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan
terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius?
Kalau hendak berurusan, baiklah engkau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung
jawab!”
Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan.
Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara,
mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan
ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam
kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang
orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya.
Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan
kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat
yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau
berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak
kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak
lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia!” Suaranya penuh tantangan ditujukan
kepada semua orang yang berdiri di depannya.
“Bohong! Dia bohong, Kongkong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!” teriak
Siauw Goat dengan marah.
Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih semua dan matanya yang mencorong menyambar
kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.
Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kau katakan siapa yang mengambil
guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”
“Memang aku yang mengambil, aku pula yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua
ke dalam mulutmu! Hayo kau sangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat dengan sikap menantang.
“Tetap saja perbuatanmu itu membuat arakku habis, baik masuk perut atau pun masuk tanah. Engkau atau
orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu bersikeras dengan sikap kukuh.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya.
Apakah Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong?” Semua orang menoleh, juga
pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang
sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!” Dia mengangkat guci
arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.
Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi.
Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari
dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan,
tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya
peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan
yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak
dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya
dan sinar kuning emas itu pun lenyap.
“Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.
Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang.
“Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia pun meneguk sekali, mengecapngecap
bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia
menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak.
Anak ini lalu berlari mendekati kongkong-nya. “Kongkong, kau bunuhlah siluman jahat ini!” katanya
merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan
diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!
Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpandangan luas, dia tahu
bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya
tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik
tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu.
Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh
kemarahan, tertarik pergi menjauh.
“Kongkong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus
menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kongkong tidak
menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”
Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tak ingin mencari perkara dengan kakek
jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya,
dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain.
“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata.
Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu
bergerak-gerak.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu.
“Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu,
coba kau ambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata
demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur.
Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi
kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya, dan tangan itu seperti ketika dia ‘menahan’ Siauw Goat tadi,
diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang
di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah
Kakek Kun!
Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga
sinkang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguh pun penyerangan itu hanya
merupakan suatu ujian belaka.
“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang
bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun
yang melayang-layang ke arah dirinya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh tenaga lain yang
datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek
pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang
kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti
terjepit di antara dua kekuatan dahsyat!
Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama
makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling
mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu!
Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh
ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah
mencapai setinggi itu, tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini.
Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar
merupakan orang orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!
Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang
mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota rombongan itu, di samping dua
orang kakek yang saling bertanding tenaga sinkang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang
amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka
ke alam baka!
Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sinkang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk
ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu akan terancam bahaya dorongan hawa
sinkang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sinkang yang
berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka
sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka
masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan
tidak ada yang mau mengalah!
“Ji-wi seperti dua orang anak kecil sedang berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba terdengar sastrawan itu
berseru. Dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara
kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara.
Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang ke bawah.
Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa
terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari mala petaka. Kini mereka dengan
mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek
Kun sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang demikian
dahsyatnya, sungguh pun dia sudah tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan.
Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan
memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh
mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja
mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.
Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan akan tetapi pandang matanya
yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu.
“Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing.
Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat
digunakan untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi
pengemis!”
Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si
Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Bukankah itu
ajaran terkenal dari Khong-sim Kai-pang?”
“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi,” jawab sastrawan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang paling
terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis
lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia
pengemis.
“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, yaitu Sai-cu Kaiong?
Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kai-ong?”
“Beliau pernah menjadi guruku.”
Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan
bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah
mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah ‘pernah menjadi guruku’.
“Aihh, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat
kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benar benar merupakan pertemuan
yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah
meninggalkan kedudukan pengemis untuk berubah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah
salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.
Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja ia juga pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun,
seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di
samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura
dengan hormat.
“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah
salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman
segolongan sendiri.” Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal
nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biar
pun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.
Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan
kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat
lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalah fahaman tadi.
Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah
julukanmu?”
Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba tiba Siauw Goat
berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kongkong, hati-hati, di balik air tenang ada ikan
buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya!”
Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan
kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran
dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.
“Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan
dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak
merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang jembel tua bangka seperti aku!”
Ucapan dan sikap kakek pengemis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai sama
sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun sejenak memandang
dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh
pandang mata sastrawan itu yang mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek
ini seperti merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali. Padahal dia tahu bahwa dalam adu
tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan
tetapi sekarang kakek itu menunjukkan gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat
hebat, sungguh pun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan
kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.
Akhirnya terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak ingin
mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya
dunia-kangouw.blogspot.com
membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan
pergi dari situ.
Sejenak kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah dan dia
tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan orang-orang tinggi hati dan besar
kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.
Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan perjalanan dan
bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka mengertilah dia bahwa pengemis tua itu
benar-benar seorang yang pandai sekali dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud
mengganggu barang-barang kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti
Kakek Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.
“Kita mengaso di sini dulu,” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang saudagar gendut itu. “Malam
nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di
depan itu dan tiba di dusun Lhagat, dari mana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”
Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah pohon,
melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebut-ngebutkan kipas yang mereka bawa untuk
mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada. Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu
itu pun menurunkan pikulan mereka dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan
dan minuman.
Sastrawan itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah seperti biasanya, agak sayu dan
muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya menjauh sedikit, duduk bersila dan seperti orang
bersemedhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal mereka roti kering sambil minum air jernih dari
guci. Agaknya kakek itu mengomeli cucunya, sebab tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam
dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak pernah mau diam.
Setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun terpaksa memperlihatkan
ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jeri dan sungkan, tidak berani sembarangan
menegur, apalagi bersikap sebagai sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan
segan dan takut-takut. Agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau didiamkan
saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!
Setelah makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya. “Kita tidak
boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di lembah itu karena sekeliling daerah ini
hanya hutan bambu itulah tempat yang paling baik untuk melewatkan malam,” katanya dan semua orang
tidak ada yang membantah, biar pun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh. Mereka
adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka mengharapkan keuntungan berlipat
ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.
Memang amat luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau dia
sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan! Perjalanan itu amat
melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui daerah yang berbatu dan batu-batu yang
runcing itu seperti hendak menembus sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja,
akhirnya dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di hutan bambu yang
dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang yang memikul barang
bawaan mereka itu, mereka mandi keringat ketika menurunkan barang barang itu, menumpuknya di dekat
rumpun bambu yang tinggi melengkung.
Tanah di hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk di atas kasur
saja.
“Hati-hati kalau malam nanti membuat api unggun,” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun harus
dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan kebakaran dalam hutan, walau pun hal
itu agaknya tidak mungkin karena kurasa malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat
satu api unggun besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat saling
menjaga.”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu yang tadi
mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi dengan muka pucat dan napas yang
dunia-kangouw.blogspot.com
memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada
mayat....!”
Semua orang lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan setelah tiba
di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang yang biasa dalam pertempuran dan
sudah sering kali melihat orang terbunuh, kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat
mengerikan sekali apa yang mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan
karena tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti ‘dirobek-robek’, bahkan ada yang kaki
tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat itu masih berceceran darah yang
mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.
Tentu saja para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja pingsan, lari
menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang tetap tenang, walau pun kakek itu
melarang cucunya mendekat, kemudian membawa cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang
menyeramkan itu.
Lauw-piauwsu lalu mengajak anak buahnya untuk menggali sebuah lubang besar dan menguburkan lima
mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek Kun yang mencorong itu dan
dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang ternyata, dalam keadaan seperti itu, meski dia
seorang yang biasa menggunakan kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan,
namun masih memiliki peri kemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang
sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi seram dan semua orang
merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi termenung, kini bangkit berdiri dan
melangkah pergi.
“Taihiap, engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan bertanya sambil
menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia menyebut taihiap karena dia maklum bahwa
sastrawan itu adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek
pengemis itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah dan
menoleh.
“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu melanjutkan
langkahnya.
Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi
pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar
pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun makhluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu
ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan
semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah
melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan
penjagaan secara bergilir.
Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan
oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang terasa amat menyeramkan, dengan bunyi daundaun
bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang
saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama
sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.
Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggota rombongan sudah
tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang, tiba-tiba
terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang.
Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak
terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul
barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka
namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!
Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup
mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka
terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan
mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah
dunia-kangouw.blogspot.com
jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu
sudah luka luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh
dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan
berkelojotan!
Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar sinar berkilauan
menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.
“Tring-tring-cring....!”
Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to
yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat
menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.
“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang
tinggi besar itu yang tertimpa sinar api unggun.
Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah
dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul
barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orang--orang kasar yang mengandalkan
tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!
“Kalian anggota Eng-jiauw-pang...?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam
hatinya.
“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang ‘kuli’ itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu
peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru
merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu
intan besar.
“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang
persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada
suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima
kasih,” kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.
Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa bisa sampai ‘kebobolan’ dan tidak
tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di Se-cuan menyamar sebagai
dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun
dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggota Engjiauw-
pang.
Dia segera mengenal dua orang anggota Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu,
yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggota Eng-jiauw-pang yang tidak banyak
jumlahnya akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan
dengan pihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah
merampok barang barang yang tidak berharga.
“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main
sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah
memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!”
“Tidak mungkin kalian dapat melarikan peti itu tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu membentak dan dia
sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan
orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar
kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah
seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari
kegirangan di antara mereka yang bertempur mati matian.
Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung
tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biar pun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang
dunia-kangouw.blogspot.com
piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu
memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak
dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara
mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.
“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur.
Dengan sendirinya kepungan itu menjadi berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan
kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan
mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun
yang berdiri dengan wajah bengis.
“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.
“Kun-locianpwe, harap engkau jangan mencampuri urusan antara Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!”
seorang di antara mereka berseru marah.
“Hemm, aku tak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan
kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!”
Dua orang itu membentak keras dan mereka menubruk dari kanan kiri. Kakek Kun cepat menangkis dan
balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang
Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua
orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini
mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang keluar dari
tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa
menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung!
Betapa pun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat oleh karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh
Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri.
Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matian. Namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkalikali
mengadu tenaga mereka dengan sinking, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung
tenaga sinkang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh aduh,
sukar untuk bangkit kembali!
Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan
tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”
Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus
marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya,
nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jeri terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu
mencari kesempatan. Kini sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan
mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan
mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!
Melihat sinar mata dua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya
terdengar lirih sekali. “Pergilah.... pergilah....!”
Kedua orang itu kemudian mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu
yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat, “Kunlocianpwe
telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima
kasih....”
“Kongkong....!” Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lainnya terkejut melihat
kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.
“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan
tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat
sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali,
sungguh pun wajahnya masih amat pucat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kongkong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kongkong telah terluka parah, masih
melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat mengomel.
“Kongkong....!” Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa
kakeknya amat menderita.
Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini
merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut
didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidak senangan hatinya.
“Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya,
sedangkan para anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua
orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas.
Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat
berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan
tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia
lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya
dengan obat gosok panas itu.
Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, dan
menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh serta
memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.
“Lauw-piauwsu....,” katanya lemah.
“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”
“Dekatkan telingamu....,“ katanya semakin lemah.
Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik bisik menceritakan
riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan
sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan
terkejut.
Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak
dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari
tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan
dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!
“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau
akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama
untuk mengubur rahasia itu!”
Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi,
memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat
dia lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya
dengar dari Kun-locianpwe saat ini.”
Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.
“Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?”
“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka
membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apa pun juga.” ,
“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan
Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu....
dan kau harus membantunya sampai dia dapat bertemu dengan orang tuanya....“
“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tidak minta tolong secara cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji
(Anak Goat)....”
Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik bisik dekat telinga
Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Sekarang dia lalu memenuhi permintaan kakeknya
merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.
“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia
menyerahkan kantung kain hitam itu.
“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”
“Terimalah.... dan bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw
Sek tidak berani membantah lagi.
Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati.
Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia
terbelalak.
“Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?” katanya gagap, terpesona
oleh benda yang berkilauan biru itu.
“Kau.... mengenalnya....?”
Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”
“Sudahlah.... laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila.
Tangannya masih mampu menangkis saat Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia
dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki
bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri. Ini adalah cara
duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk
seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk
atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang.
Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk
mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah
keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar
teriakan Siauw Goat, “Kongkong....!”
Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih
duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Anak
perempuan itu tak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya. Lauw
Sek memandang wajah kakek itu, ia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu
untuk merasakan denyut nadinya.
“Dia sudah meninggal dunia!”
Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana
baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang
sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala
Siauw Goat.
“Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, janganlah engkau berduka lagi,
Nak.” Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya
sedang mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok,
agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan
mengakibatkan tewasnya.
Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar sinar, namun
tidak nampak dia menangis sungguh pun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia
sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata, “Aku
dunia-kangouw.blogspot.com
bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan
perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!”
“Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan....“
“Kau peduli apa?” Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi pemuda sastrawan yang
tadi mencelanya. “Semalam Kongkong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para
piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan saat itu engkau bersembunyi di
mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus,
ya?”
Sastrawan itu terbelalak, tersenyum urung dan mukanya berubah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya.
Ketika mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah
mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu.
“Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil
menemukannya,” dia menggumam.
“Yeti....?” Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya,
bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri. “Di.... di mana.... dia....?” Lauwpiauwsu
bukanlah orang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah
ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa makhluk itu kalau
sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka
tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan.
Sastrawan itu menggerakkan pundaknya. “Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa
orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya.”
“Tapi.... biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali.... kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu
ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan
melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita
harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera
melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!”
Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak
mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk
kaki tangannya agar dapat rebah telentang.
“Biarkan saja!” tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang. “Kongkong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu
jenazahnya!” Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan
kongkong-nya.
Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai ramai para piauwsu
lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah
Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu,
kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si
Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi
sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak
ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.
“Luar biasa.... anak luar biasa....,” Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri.
Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda.
Piauwsu itu kelihatan bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil
ditumpuk.” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu.
Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas
kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum
dan terkejut, tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam
baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si
Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok,
kakeknya belum tentu akan mati!
Rombongan itu kemudian melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun,
menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah
para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti
berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan. Mereka tidak banyak bicara
selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena
mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat
yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang
mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.
“Siauw Goat, Kongkong-mu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu,
mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu,” di dalam perjalanan itu Lauw Sek
mendekatinya dan berkata lirih.
Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.
“Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa
bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada
Kongkong-mu, Siauw Goat.”
Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh
selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya,
karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih. “Baiklah,
Lauw-pek.”
Walau pun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, akan tetapi pendengaran yang
tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dan dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan
dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan
yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka.
********************
Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar. Lhagat
merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat
pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau pun
sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan
mereka dari negaranya masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai
negeri yang bertetangga.
Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya secara
resmi, Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh
dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar,
sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu
memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan
peraturan peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri.
Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala
Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat
perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh
bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang
yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.
Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada
hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka
untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam
hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi
dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya.
Yang pertama adalah orang-orang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan
sikap aneh-aneh dan biar pun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan
yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam
senjata tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kangouw
dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal hal yang amat hebat.
Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat.
Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di
sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari
datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong
itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu
ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Meski peristiwa ini dihubungkan
dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja
menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.
“Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia,” kata seorang kakek penghuni asli Lhagat.
“Selama hidupku belum pernah aku mendengar ada Yeti mengamuk karena makhluk itu bukan sebangsa
binatang buas pemakan bangkai. Kalau sampai ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi
yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”
Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi,
wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauwpiauwsu
memasuki Lhagat. Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat,
bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan
rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagarsaudagar
dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai.
Maka biar pun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak memiliki hotel karena
banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu
untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauwpiauwsu,
akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal
menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan
Lauw-piauwsu dan rombongannya.
Lauw-piauwsu kemudian menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan
perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah
aman dan baik. Dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan
dioperkan kepada kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri. Lauw-piauwsu sendiri
bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala
daerah sambil merawat dan mengobati dua orang yang terluka itu.
Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan sudah memisahkan diri setelah membayar biaya
pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang
mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan
barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda. Juga sastrawan muda
itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia
tidak merasa menumpang, hanya ‘kebetulan’ saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu.
Lauw-piauwsu mendengar dari para prajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing
itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena
pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga
pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti
ingin mati konyol.
Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin
banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai
salju itu. Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan
tentang ditemukannya mayat-mayat disekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu
menjadi panik.
Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan
adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan prajurit untuk melakukan penyelidikan
dunia-kangouw.blogspot.com
dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai sekarang belum ada kabar beritanya! Mereka
semua kini menanti-nanti dengan gelisah.
Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat kedua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak
kesempatan untuk menyendiri. Namun dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian
kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.
“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.
“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para
pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula
sekarang terdapat badai salju, tidak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu
berbahaya sekali.”
Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas
tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan
para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat
Lauw-piauwsu!
“Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya
yang baik di ujung dusun.”
Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan. “Busur dan anak panah? Untuk apa?”
“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat
melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”
“Ahh, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”
“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah
untukku!”
Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak
diperjual belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan
cadangan baru. Lauw Sek kemudian memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan
segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera
mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.
“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek,” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi. “Lihat,
aku akan memanah batang pohon itu!” Siauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon
yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan
terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di
tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini
bukan pembual, pikirnya. Ilmunya memanah memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung
dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari
seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.
“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang
melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau
sembarangan menggunakan anak panah untuk melukai orang.”
Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya, lalu disimpannya kembali
ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. “Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini
pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan anak panah itu,
busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri.”
Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik
ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan
mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah
dunia-kangouw.blogspot.com
hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang,
golok, tombak atau toya misalnya.
Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak
perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi pagi sekali anak perempuan itu
telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya,
akan tetapi biar pun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat
menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja
dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.
Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat. “Dia pagi tadi ikut
bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”
Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala
Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya! Mau apa anak itu
ikut dengan rombongan pasukan,yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya
kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang
terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat.
Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari
penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim
pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematiankematian
aneh yang terjadi di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam
dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut!
Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu
bahwa gadis cilik ini adalah ‘puteri angkat’ dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini
tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu
menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa
gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul
dan mencari pasukan pertama.
Biar pun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut
bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya
seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu
dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar
rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya.
Menjelang tengah hari, pada saat dia tiba di puncak sebuah bukit dan memandang ke bawah ke arah
barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang
berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu
menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia
mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan
dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata
menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!
“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.
“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.
Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke mana lagi kalau tidak
mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”
Siauw Goat tersenyum. “Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”
Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek. “Ahh, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu
bahwa dia ikut bersama kami? Ahh, maafkan kami, kami kira dia sudah memberi tahu dan....”
“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak melanjutkan karena
pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia
bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para prajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah
korban apa.
“Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan
sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka
yang berada di dasar jurang itu,” kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.
“Siapa.... yang melakukan itu?” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua
orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!
Komandan itu mengangkat pundak, kemudian berkata lirih. “Kami tak menemukan siapa siapa di sana,
hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“
“Jejak....”
“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak makhluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman paman ini untuk
melanjutkan perjalanan mencari makhluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak
membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk
membunuhnya!”
“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa seram,
memandang ke kanan kiri.
“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?” Hemm, kalau Kongkong masih hidup, tentu
kongkong akan mencarinya dan membunuhnya supaya dia tidak lagi membunuhi banyak orang.”
Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini
minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh
banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat
membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia
mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat,
Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh
pergi tanpa pamit.
“Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau
tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”
Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak
menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam
perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang
yang melihat mayat-mayat para prajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan
pertama secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan sekarang mereka
membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau makhluk iblis itu akan
muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.
Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para prajurit yang tewas itu menangisi kematian
mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap
berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu
di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga makhluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap
dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua
ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti
mengamuk.
Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah
Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik
pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga
berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam
istana. Dan pembunuhan pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja
kalau bukan Yeti pelakunya.
Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan
memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan
dunia-kangouw.blogspot.com
marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh
tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!
Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya
dengan senyum gembira. “Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang
menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.
“Ceritakan apa lagi?” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati oleh iblis
terkutuk Yeti itu!”
“Siocia....!” Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka
pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan makhluk yang sakti dan
dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu
iblis terkutuk!
Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan
Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu
berkata, “Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, akan kuhabiskan semua anak
panahku untuk membunuhnya!”
Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut
warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya
bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut
busuk....!”
Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan
Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya
omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi
Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang
anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si
Pemabok.
“Tringgg!” Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak
muncrat dan menyiram mukanya.
“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani engkau....?”
Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata, “Ssttt.... kau sudah mabok
rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”
Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujukbujuk
meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak
pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.
“Hemmm, engkau makin angkuh saja....!” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk
seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang
yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka
gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.
“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah
yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian
manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku.
Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan, sastrawan muda
itu lalu bangkit berdiri dan berkata. “Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku.”
“Kalau aku suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya....“ dia
menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal.
“agaknya saat ini aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu
pun hampir tak kuat menahan senyumnya. “Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan....
ehh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Untukku teh panas saja!”
Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan
asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para
pelayan, kini dengan suka rela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti
rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.
“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman
juga pernah melihatnya?”
Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri,
membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya
tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika
melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.
“Hei, apa yang kau pandang?” sastrawan itu berseru.
“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum
atau tertawa, sebaliknya selalu bermuram saja yang menyelimuti ketampananmu?”
Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan
watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan lahan wajah yang muram itu
berseri. “Engkau pun manis sekali, Siauw Goat.”
Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya
sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau
tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan
mengenai tubuh orang itu!
“Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”
Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberitahukan orang lain, bukan?”
Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam sekali dan agaknya mampu menjenguk isi
hatinya. “Bagaimana engkau bisa menduga begitu?”
Siauw Goat mengangguk-angguk. “Kau ini seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan
rahasia dan keanehan. Kau tahu, bahkan namaku pun dirahasiakan kakek, setidaknya, nama lengkapku
dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan
nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya
siapa namamu, karena andai kata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Tetapi, boleh aku bertanya,
engkau hendak pergi ke mana, Paman?”
Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata, “Ke mana, ya?
Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah
puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah
gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi....“
“Aihhh senangnya....!” Siauw Goat berseru, kemudian menengadah seperti orang yang membayangkan
semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum!
Sastrawan itu memandang heran. “Apanya yang senang?”
“Tidak senangkah engkau?”
“Entahlah....“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu senang sekali.” Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar
jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa. “Lihat, engkau seperti
burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!”
Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata, “Siauw Goat,
engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu....”
“Apa? Dia hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?”
“Dengar baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya dia mengeluh,
merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan tenang dan aman....“
“Ohh.... ahh.... benarkah itu, Paman?” Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan itu menimbulkan
kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini membayangkan betapa bahagianya hidup bebas
lepas seperti burung di udara, akan tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya tidak
merasakan kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!
Memang selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu merindukan
sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila manusia yang tinggal di tepi laut
merindukan keindahan alam pegunungan, sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan
keindahan pantai lautan!
Manusia yang belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan dari pada
keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik dari pada miliknya sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya,
yang terbaik dan terindah itu selalu berada di sana, sedangkan yang berada di sini selalu membosankan,
buruk dan tidak seindah yang di sana! Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas dari pada permainan
pikiran yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayangan-bayangan kesenangan masa lalu
yang menjadi kenangan, bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan, maka dia dapat membuka mata
dan memandang dengan wajar, memandang dengan waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh
perhatiannya, kepada apa adanya di saat ini!
Dan kalau sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa dikotori
perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan bayangan yang hanya
mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun kita kepada kebosanan, kekecewaan dan
kesengsaraan. Hanya kalau mata kita terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan
nampaklah segala yang ada pada apa adanya itu. Dan apabila dalam penglihatan hasil pengamatan ini
masih ada ‘ini baik dan menyenangkan’, ‘itu buruk dan tidak menyenangkan’, maka pengamatan itu pun
akan menjadi kotor dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang
selalu menjangkau kesenangan!
Maka, dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar mau pun di dalam diri, mengamati
segala macam benda di luar kita dan segala macam gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita,
tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau
pikiran yang mengamati.
Pengamatan seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini melahirkan
tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi. Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan
hanya dalam kebebasan inilah cinta kasih dapat menembuskan sinarnya.
“Paman Sastrawan, jika memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor burung, mengapa
tidak kau hentikan saja?” Siauw Goat memang seorang anak yang cerdik, maka kini dia mendesak pemuda
sastrawan itu.
“Karena aku tidak mungkin berhenti, aku harus mencari....”
“Mencari apa? Mencari siapa?”
“Mencari isteriku....”
“Ehhh....?” Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya, merupakan satusatunya
orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan hatinya sehingga dia mau bicara
tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada suara berat. “Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke
seluruh kolong langit.... dan aku sudah hampir putus asa....”
“Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa namanya,
bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!”
Menghadapi pertanyaan bertubil-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah sadar lagi dan
kini hanya menggeleng kepala.
Siapakah sebenarnya pemuda sastrawan ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai Bhok Sun
bahwa Sai-cu Kai-ong pernah menjadi gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau menduga siapa adanya sastrawan muda ini.
Sastrawan muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam Hong. Dia
adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah menggegerkan dunia persilatan.
Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk
Sin-siauw Sengjin (Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang
hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan kitab-kitab peninggalan Suling
Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan
langsung dari pendekar sakti Suling Emas.
Ketika masih kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang merupakan
keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi sahabat baik Suling Emas dan menjadi
pendiri dari perkumpulan pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Sengjin menyerahkan Kam
Hong kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek
yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw
Sengjin untuk dididik. Jadi, dua orang kakek ini telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing
untuk digembleng, dengan maksud agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan
juga agar dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu berusaha
untuk membasmi keturunannya.
Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin itu diculik orang
dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia
mengambil anak perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih!
Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka menjadi dewasa, akhirnya Kam
Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu. Akan
tetapi Yu Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia, agaknya
tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia tadinya menyamar sebagai
pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang menolongnya pernah membuka bajunya dan
melihat rahasianya bahwa dia seorang dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa
malu dan mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu Kaiong
bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam Hong, dia menjadi marah
lalu melarikan diri minggat!
Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari
nenek moyangnya, yaitu Suling Emas. Dan memang dia berbakat sekali maka akhirnya dia dapat
menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw Sengjin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat
sukar, dan Sin-siauw Sengjin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap
gagal sungguh pun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh puncak di dunia
persilatan.
Kini, pemuda keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmuilmu
yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian yang
sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Sengjin sendiri, mau pun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong,
kini bukan tandingannya! Akan tetapi, biar pun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra) dan bu (silat)
yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita. Telah bertahun-tahun dia berusaha mencari
dunia-kangouw.blogspot.com
Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang bahkan telah diakui sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu,
namun hasilnya sia-sia belaka.
Kam Hong sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu apakah
tunangannya itu mencintanya, sungguh pun mudah dugaannya bahwa tentu Yu Hwi tidak mencintanya,
bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah
ada ikatan perjodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua pihak wali mereka
semenjak mereka masih kanak kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat memutuskannya begitu
saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan
dan nama keluarga! Apalagi kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas
dan keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan yang amat baik.
Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang mewakili dua keluarga itu adalah urusan
kehormatan, maka bagaimana pun juga harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah
maka dia mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai dapat, ke mana
pun dia harus pergi.
Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya karena dia
sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan kepadanya itu, melainkan terdorong oleh
kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar
dan baik. Dan bukan Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu.
Bahkan sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari tradisi,
kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu membentuk kita menjadi manusia-manusia
yang tidak bebas, terikat oleh ketentuan ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang
bergerak menurut apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau pun oleh
pandangan umum itu.
Kita ingin dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala perbuatan yang
dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka jelas perbuatan itu adalah palsu
adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, maka di balik perbuatan yang
dilakukannya itu terkandung pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap
perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai sebagai baik atau buruk, pikiran
tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik.
Tradisi atau kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai garis
ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti pelawak-pelawak yang bermain
di atas punggung! Kita tak berani menanggalkan itu semua karena takut akan pandangan orang, takut akan
pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena dengan
menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi!
Betapa hidup kita hanya merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu kita mencandu dan merasakan
kesenangan dan keenakan palsu, seperti halnya keenakan orang merokok atau minum arak. Keenakan itu
timbul karena kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik keenakan itu terdapat pengrusakan terhadap diri
sendiri tanpa kita sadari lagi, karena kita mabok oleh keenakan itu.
Semua panca indera kita telah tumpul kecanduan oleh kebiasaan yang ditanamkan kepada kita sejak kita
masih kecil. Baik penciuman, penglihatan, pendengaran, selera dan segalanya telah dibentuk sedemikian
rupa oleh kebiasaan ini. Oleh karena bentukan bentukan inilah maka selera setiap bangsa selalu berbedabeda,
baik dalam hal penciuman, penglihatan, pendengaran dan sebagainya, dipengaruhi oleh kebiasaan,
oleh keadaan setempat dan sekeliling. Kita akan merasa terganggu oleh sesuatu bunyi musik yang asing
bagi kita, padahal orang-orang dari mana musik itu berasal akan menari-nari karena bagi mereka suara itu
amat merdu dan enak didengar. Kita mungkin akan muntah untuk makan sesuatu yang menjadi makanan
kegemaran bangsa lain, dan sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik buruk bukan terletak pada suara kita,
atau pada makanan itu, melainkan ditentukan oleh selera yang telah dibentuk semenjak kita lahir.
Mendengar penuturan Kam Hong, Siauw Goat merasa tertarik dan entah bagaimana dia merasa amat
kasihan kepada sastrawan itu! Ketika pertanyaannya tidak terjawab, dan melihat betapa pemuda itu hanya
tersenyum saja, senyum yang baginya merupakan sesuatu yang menyembunyikan tangis, Siauw Goat
bertanya lagi, “Siapakah namanya, Paman? Dan siapa namamu?”
Kini Kam Hong menatap wajah gadis cilik itu. Baru dia merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada
anak ini, mengapa kalau selama ini dia merahasiakan keadaan dirinya, kini secara terbuka dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan tentang tunangannya kepada Siauw Goat? Apakah yang menyebabkan dia percaya dan
tertarik? Apakah mata yang bening dan polos itu? Apakah mulut yang kecil mungil dengan bibir merah
merekah seperti sekuntum bunga yang masih menguncup itu? Ataukah ada suara yang merdu itu?
Ataukah karena dia merasa kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal mati kakeknya dan hidup
sebatang kara di dunia?
“Siauw Goat, aku sendiri sudah hampir melupakan namaku. Kalau kini kuberitahukan maukah kau berjanji
untuk merahasiakan namaku dan nama isteriku?”
Siauw Goat mengangguk. “Aku bersumpah untuk merahasiakannya, Paman. Kongkong sendiri pun selalu
merahasiakan keadaan keluarga kami.”
“Baiklah, kuberitahukan kepadamu sebagai satu-satunya orang yang mengenal namaku yang selama
bertahun-tahun ini selalu kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama Hong, sedangkan isteriku itu she Yu
bernama Hwi.”
“Kam Hong dan Yu Hwi.... akan kuingat baik-baik nama-nama itu Paman.”
Tiba-tiba mereka tertarik oleh munculnya empat buah tandu yang digotong oleh orang orang yang bertubuh
kekar. Setiap tandu digotong oleh empat orang dan pintu tandu itu tertutup tirai sutera berwarna-warni, ada
yang merah, ada yang hijau atau kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah tandu ini menarik perhatian
orang dan ketika para penggotong tandu itu berhenti di depan rumah makan itu, Kam Hong dan Siauw
Goat memandang dengan penuh perhatian.
“Turunkan tandu!” tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang duduk di dalam tandu pertama.
Mendengar ini, empat orang penggotong tandu pertama itu menurunkan tandu di atas tanah, dan tiga
tandu lain yang berada di belakang juga diturunkan oleh para penggotongnya. Agaknya tandu pertama ini
merupakan tandu pimpinan!
Tirai-tirai empat buah tandu itu tersingkap dari dalam sehingga semua orang yang memandang, terutama
kaum prianya, menahan napas dan mata mereka terbelalak penuh kagum memandang kepada empat
orang wanita yang cantik-cantik! Kini wanita yang duduk di tandu paling depan keluar dari tandu dan tiga
orang yang lain juga mengikutinya. Makin kagumlah semua orang melihat bahwa selain berwajah cantik
cantik, juga mereka itu memiliki tubuh langsing menarik.
Akan tetapi wajah-wajah yang cantik jelita ini memiliki sepasang mata yang sinarnya tajam sekali, berkilat,
dan wajah itu pun kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun tidak mengandung senyum. Lebih lagi di
punggung mereka nampak gagang pedang dan sikap mereka demikian gesit dan gagah sehingga mudah
diduga bahwa wanita-wanita cantik ini bukanlah wanita-wanita lemah. Oleh karena itu, pandang mata
kagum dari para pria yang berada di sekitar warung itu mengandung perasaan segan.
Empat orang wanita itu berkumpul di depan warung, memandang ke kanan kiri penuh selidik. Ketika itu,
Kam Hong dan Siauw Goat telah selesai makan dan mereka sudah keluar dari warung. Melihat Kam Hong
dan Siauw Goat yang membawa busur dan anak panah, seorang di antara empat wanita itu, yang paling
muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya sedangkan yang lain-lain sekitar tiga puluhan, dan yang
berpakaian baju hijau, melangkah maju dan bertanya kepada Kam Hong, nada suaranya ketus dan angkuh
sekali seperti seorang nona majikan bertanya kepada pelayannya. “Ehh, apakah kamu melihat dua orang
anak laki-laki kembar yang usianya sekitar empat belas tahun lewat di dusun ini?”
Semenjak melihat munculnya empat orang wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat sudah merasa tidak
suka. Dia menganggap empat orang wanita itu sombong dan angkuh sekali. Kini mendengar seorang di
antara mereka mengajukan pertanyaan kepada Kam Hong dengan lagak seperti itu, muka Siauw Goat
telah menjadi merah karena marah. Selagi Kam Hong memandang dengan sikap tak acuh, agaknya
merasa enggan untuk menjawab, Siauw Goat sudah melompat maju ke depan wanita baju hijau itu, lalu
menudingkan ujung busurnya ke arah hidung wanita itu sambil membentak.
“Huhh, engkau menyapa orang dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu saja! Manusia tak tahu sopan
santun macam engkau ini tidak berharga bicara dengan pamanku!”
Wanita cantik berbaju hijau itu memandang kepada Siauw Goat dengan mata berapi-api dan alisnya yang
bagus bentuknya itu, dengan bantuan penghitam alis, agak berkerut dan sejenak ia hanya memandang
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan mata tajam bersinar-sinar. Akan tetapi, Siauw Goat juga membalas pandang mata itu dengan
sama tajamnya, bahkan mengandung tantangan!
“Bocah siluman, mulutmu busuk. Kalau kau besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik kuenyahkan
sekarang!” kata wanita baju hijau itu yang telah merah kedua pipinya karena marah dan malu mendengar
dia dimaki-maki seorang anak perempuan di depan umum.
Tentu saja Siauw Goat menjadi seperti api yang disiram minyak, makin berkobarlah kemarahannya.
Dengan sepasang mata terbuka lebar dia lalu memaki-maki. “Engkaulah siluman rase, siluman kucing,
siluman anjing! Engkaulah iblis busuk yang harus dibasmi dari permukaan bumi!” Setelah berkata
demikian, Siauw Goat sudah menggerakkan busurnya, menyerang dengan cepat.
Wanita itu terkejut dan marah melihat betapa ujung busur itu langsung menusuk ke arah tenggorokannya
kemudian dibalik karena tidak mengenai sasaran dan menusuk ke bawah pusar! Dan saat itu, tangan kiri
Siauw Goat sudah maju mencengkeram ke arah buah dadanya!
“Cih, Iblis kecil ini benar jahat!” teriaknya melihat serangan-serangan yang dianggapnya kasar dan selain
berbahaya juga tidak patut.
Tangan kirinya mengibas dan dari tangan kiri itu menyambar hawa pukulan yang membuat Siauw Goat
terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah marah sekali dan dengan sinar mata penuh benci dia sudah
melangkah maju dan menyusulkan pukulan tangan kanan, juga pukulan jarak jauh mengandung tenaga
sinkang yang dahsyat. Serangkum angin menyambar ke arah kepala Siauw Goat yang masih telentang di
atas tanah.
“Tahan dulu!” Tiba-tiba Kam Hong berkata halus dan dia pun menggerakkan tangan ke depan, menangkis
pukulan itu. Dua hawa pukulan sinkang bertemu dan akibatnya wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang!
Wanita baju hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan tenaga yang
amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik kembali tenaganya dan akibatnya
dia terhuyung seperti disambar angin taufan. Wajahnya menjadi pucat dan dia memandang kepada
sasterawan itu dengan mata terbelalak.
Wanita di dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di dagu, berbaju
kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia
memandang tajam kepada Kam Hong. Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang sekarang
menunduk dengan sikap menyembunyikan diri itu, Si Baju Kuning menarik napas panjang.
“A-ciu, jangan membikin ribut!” tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat tangan, dia memasuki
tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para
penggotong yang bertubuh kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi
penonton itu.
“Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil bangun dan
mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.
Para penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan yang bandel dan
tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa orang orang diam-diam
mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali kepada Kam Hong dia kemudian pergi dengan
langkah lebar untuk kembali ke tempat pemondokan Lauw-piauwsu.
Kam Hong sendiri kemudian pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena perbuatannya ketika
menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan tenaga sinkang jarak jauh sehingga orang tidak
melihat dia bergerak untuk bertanding. Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi
empat buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang jalan
bertanya-tanya tentang ‘dua orang anak laki-laki kembar’…..
********************
Pada saat terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami
kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong pelancong dan pedagang-pedagang
mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini
ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui
Lhagat, dari arah selatan dan barat.
Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah
kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh
dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali.
Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap,
membekali setiap anggota rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui
daerah yang dingin dan diliputi salju, berangkatlah rombongan ini.
Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauwpiauwsu
telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang
tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan
itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah
menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah
menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan,
maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan
jauh sekali pun!
Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak
membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu
yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras.
“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti
penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!” Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini
dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.
Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali
begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali. Kadang-kadang dia
mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam
yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu
ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.
Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang
yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya
dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan
perjalanan cepat seolah-olah mereka berlomba dalam mengejar sesuatu. Sering kali ada rombongan yang
mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak
hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biar pun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang
pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini,
namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini
tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih
nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk
seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang
mengamuk selama berhari hari itu.
Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah
dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula!
Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih
merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin
gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat
perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti
pengemis.
“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat
menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh
kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak
membantah dan diam saja.
Pengemis itu menggeliat kemudian terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah
pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya.
Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar
matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan
jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.
Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis
muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara
tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik
mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak
terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan halhal
yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.
“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung
dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek
tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan
pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe
keadaannya. “Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak
itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah
berbatu di mana terdapat banyak goa untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”
Mereka melanjutkan pendakian. Kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga
menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan
pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap
mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Akan tetapi ternyata banyak juga
orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan
piauwsu ini untuk menemukan sebuah goa kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
“Ihhh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya ketika mereka memasuki goa, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh
manusia rebah di sudut goa dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah
remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam
Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal,
akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat
itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.
Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang
kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi
semakin gemas.
“Ehhh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar!
Kalau bukan, lekas kau keluar dari goa ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”
Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah amat keterlaluan menghina orang. Lauw Sek
sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah olah tidak mendengar maki-makian
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang
rendah. Dia duduk sambil menggaruk garuk lehernya.
Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para
piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang
mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut goa. Tibatiba
pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam goa itu, amat menyeramkan
seolah-olah di sebelah dalam dari goa itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian
pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!
Cinta itu gila
gagah itu lemah
pintar itu tolol!
Mulut semanis-manisnya
membohong sebesar-besarnya
tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam goa seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu
tertawa-tawa lagi. Tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak
dan suasana menjadi hening sekali, hening yang menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan.
Pengemis itu menangis!
Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya,
menyuruhnya diam.
Seorang piauwsu yang merasa kasihan kemudian bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya
sepotong besar roti kering. “Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami,” katanya.
Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu dan menciumnya beberapa kali, terkekeh dan
kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih
menghadap ke arah dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu. “Memberi roti berisi racun!
Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah makhluk palsu, jahat dan keji,
makhluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”
Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah
bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi
pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu
adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina
dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Segera dicabutnya goloknya yang besar dan
tajam berkilauan itu.
“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau amat menjemukan. Hayo
keluar dari goa ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!” Untuk
menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang!
Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya
menggertak saja. Memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam goa dan mencari tempat
bermalam lainnya karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak.
Lagi pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti tadi,
menandakan bahwa di balik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.
Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang ke arah golok yang
menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan
golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur
sampai dekat dengan mulut goa.
“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok
itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai
dunia-kangouw.blogspot.com
tangannya sendiri. Dia tak berani menarik goloknya yang dicengkeram oleh karena takut kalau-kalau
goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua
orang terbelalak.
“Krakkkkk....!” Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan
kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu kemudian melemparkan pecahan
golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor,
kemudian melangkah lebar keluar dari goa dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya,
sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.
Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung
tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan
mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya. Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui
benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja
golok itu patah patah, dan bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja?
Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang
sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....,” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara
agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”
Biar pun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi sangat menyeramkan setelah terjadinya peristiwa
itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kangouw,
akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat
masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw
seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.
Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh
pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya bagai
pengemis sebab memang dia tak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian
pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya
sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan
mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca cerita KISAH JODOH RAJAWALI yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan
merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini
adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam KISAH JODOH
SEPASANG RAJAWALI diceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, lalu
mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?
Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal
segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari pada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek
Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya
sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.
Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapi ikatan jodoh yang
akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu
selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari
Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan
Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya
dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!
Biar pun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita
karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal
berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari
kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak
pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi
terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!
Dan agaknya, walau pun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula
akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh kang-ouw
berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke
dunia-kangouw.blogspot.com
Pegunungan Himalaya, sungguh pun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan
semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!
Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini
memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo
dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang
membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk
Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun
tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman
pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah
sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak
ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam goa besar yang dijadikan tempat bermalam para
piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari goa untuk melanjutkan
perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi. Akan tetapi
matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena
kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek
Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.
Pada waktu mereka melewati goa-goa yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang
melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata goa-goa itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka
itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa. Lauw-piauwsu maklum bahwa
mereka itu adalah orang orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga
berlomba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak
ingin untuk ikut berlomba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpln rombongannya jalan seenaknya
karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.
Biar pun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhl permukaan bumi, menaburi
batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi
menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang
merasa seperti dalam dunia mimpi.
Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka
melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh
rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam
pertempuran itu.
“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada
suara khawatir.
“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung
seorang piauwsu.
Kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat
orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai
itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai
tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan.
Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita
cantik itu. Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berubah menjadi
gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan
senjata mereka yang bermacam macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang.
Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar sinar
pedang yang berkilauan itu.
Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya
lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu
itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.
Tiba-tiba Siauw Goat berteriak. “Itu adalah empat siluman rase yang jahat!” Dan anak perempuan ini
membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar. “Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.
Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenali Siauw Goat, anak perempuan yang pernah
menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan
mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut
dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.
Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih
dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biar pun baju hijau berlari seperti
terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah
memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita
baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang
anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi
serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus
berlari menghampiri.
Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti
menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.
“Hayo cepat kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.
Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak
mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi
hormat sambil berkata. “Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku.
Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”
“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekali pun, engkau tetap harus menyerahkan bocah
setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga sombong sekali, pikirnya. Akan
tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat
itu. Betapa pun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat
orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.
“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak
kecil yang belum tahu apa-apa....“
“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu
yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak
memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”
“Terlalu!” membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap
wanita itu, maklum bahwa tiada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan
mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.
“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”
“Peduli amat!” Wanita baju hijau itu membentak dan dia telah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw
Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.
“Tranggg....!”
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika
menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah
lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan
beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu
sudah terkurung!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing
memegang sebatang pedang dan mereka itu langsung menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main
hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju warna kuning, yang tercantik di antara
keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang
piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.
Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan
senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas
dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini
ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu.
Biar pun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang
wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang
membuat Lauw Sek terhuyung mundur.
Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati matian, mereka dua
belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu!
Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi
ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu
semua tewas oleh tusukan tusukan pedang!
Melihat ini Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat, “Siauw Goat kau
larilah.... cepat....!”
Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw
Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa siasianya
melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil
membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita
yang amat sakti itu. Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar
saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi gerakannya ini dapat dilihat
oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”
Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia
lengah sehingga sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai pundaknya, membuat pundak itu
terluka parah. Dan ketika sebuah tendangan menyusul mengenai pinggangnya, maka robohlah Lauwpiauwsu!
Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para
piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!
Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya,
melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi,
agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!
“Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh
serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.
“Siapa.... siapa kalian....?” Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang
anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan
pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena
hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.
Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini
seperti senyum iblis dari neraka! “Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa
kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!”
Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada
Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning
itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang
penggotong tandu itu duduk seenaknya saja semenjak tadi menonton pertempuran di dekat tandu-tandu
kosong mereka, seolah olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa
arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang
mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan
para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh
salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.
Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang
lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita
pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah
bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.
Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan
hawa dingin yang luar biasa membuat dia makin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan di tubuh
dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biar pun napasnya
seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari
tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, mendadak salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah
sehingga tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya ‘bukit’ itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju
sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu
menjadi runtuh.
Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin,
kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti,
akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali
rebah miring di atas salju, dan biar pun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang
sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi dia teringat akan nasehat-nasehat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang
tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai
yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.
“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti,” demikian kata piauwsu itu. “Padahal, tidur di atas salju
amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali
untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju, itu merupakan tanda
bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!”
Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas
kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka
dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya
lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang telah hampir mogok
itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari.
Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi,
sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita wanita yang mengejarnya, melainkan
bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah
kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum
membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.
Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis
cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka saat melihat
gadis itu berguling-guling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak
di atas salju.
“Ahh, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!” Seorang di antara mereka
berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang kedua tidak menjawab akan tetapi
ikut berlari.
Mereka adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap
mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu.
Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya
membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan
membayangkan kecerdasan. Pria kedua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang
gagah membayang kesabaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu
turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lokyang
di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di
Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu
tertarik akan berita tentang makhluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu permburu
berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap makhluk itu
yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan
tetapi biar pun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga
berhasil berjumpa dengan makhluk itu sendiri.
Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah
sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun
pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim
Tek, adik dari ayah Hong Bu.
Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adikadiknya
Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan
Sim Kun sedang berburu beruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun
dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek
pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup
sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah daerah liar untuk
berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita
tentang Yeti.
Di dalam kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca
kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui
Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan
kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis
cilik itu.
“Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya hanya kedinginan dan kelaparan,” kata
Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu.”
Sim Hong Bu cepat-cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya.
Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas
kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan
nekat dia siap untuk melawan.
“Siapa kalian....?!” bentaknya.
Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan
sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu saat meloncat dan mengepal kedua
tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.
“Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu.
Kami adalah pemburu-pemburu....”
“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana
mereka itu?”
“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.
“Mereka yang mengejarku! Empat orang iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling
dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak
dan bahkan banyak yang sudah roboh.
“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga,” kata Sim Tek heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah
dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil tangannya mengangkat busurnya yang besar ke
atas kepala.
Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran
panjang.
“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan pedangmu, aku harus
melawan mereka mati-matian!” katanya.
Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan kemudian menyerahkan
pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan
menghadapi mereka!” Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya
dikeluarkan dari tempat jauh.
“Siapakah mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang lebih berhati-hati itu
bertanya kepada Siauw Goat.
Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan
seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang
begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang
menjadi persoalannya maka gadis itu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di pihak
salah? Bukan tidak mungkin itu!
“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang
mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”
“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.
Mendadak terdengar suara melengking nyaring dan keempat orang wanita itu kini telah muncul dari balik
bukit salju dan gerakan mereka sangat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Tetapi Sim Tek dan Sim
Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan
Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang
diterimanya dari Hong Bu tadi.
Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah,
empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap
Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. “Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong
sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di
pihak salah.
“Harap Nona sabar sedikit,” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan kekerasan
terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang.”
“Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa
kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh tiga temannya disebut A-ciu itu.
“Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”
Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah
menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat
batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak
panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud
membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang
wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang
menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja
menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan
suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang
dihantamkan ke arah kepala A-ciu.
“Plakkk!” Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu.
Melihat itu Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan
pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, tapi wanita cantik baju hijau ini hanya
tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran
senjata ketiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw
Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.
“Plakk! Aughhhh....!” Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari
tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.
Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar,
kini lebih jauh lagi.
“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku hanya hendak
menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo segera menggelinding
pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan
bertolak pinggang.
“Kami adalah lelaki sejati, tak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa
melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya
ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa keempat orang wanita ini sangat kejam dan agaknya akan
membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.
“Lebih baik mati dari pada membiarkan dia kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak dan dengan nekat
anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya,
menahan rasa nyeri di pundaknya.
“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!” A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan
terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua
orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka
terlempar.
“Mampuslah!” A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.
“Hemm, sungguh ganas!” Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh Aciu
terdorong ke belakang.
Wanita berbaju hijau ini terkejut, memandang orang yang baru datang dan yang serta merta menangkis
serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.
“Ahhh, kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata
adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan
restoran tempo hari!
“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau
sampai dapat membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang
itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”
“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?” Anak
perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan.
Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan sekarang dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong
saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas
oleh empat orang wanita ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. “Huh, engkau setan cilik menjadi garagara!
Mampuslah!” bentaknya.
Dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga
sinkang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika.
Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
“Hahh....?!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak
dapat digerakkan lagi!
“Plakkk!” Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai
pipi kiri A-ciu!
Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya ‘tidak seberapa’ wanita iblis ini, pikirnya
dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu
yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kakinya untuk mengelak dan
dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat
digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.
“Ngekkk!” perutnya kena dihantam dan walau pun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya
mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang menyambut pukulan, ternyata seperti juga
kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya
telah dilumpuhkan orang.
Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung
dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi
mereka segera tahu mengapa terjadi hal sedemikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang
berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang
mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sinkang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat Aciu
tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!
“Desss!!”
Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, tetapi
Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang
menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit tangan Siauw Goat.
“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik lengan gadis cilik itu.
Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita berbaju kuning, yang tertua
dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh
dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena
marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.
“A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada
di sebelah kanan Kam Hong.
“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam
Hong.
“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segi Empat, kalian tahu apa yang harus
dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.
Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, diam tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan
ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka dari pada menggunakan matanya.
Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak
penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik.
Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan
semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil
mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau
diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.
Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah mulai menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah
punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee
juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.
Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang
dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir
menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang
dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walau pun seluruh tubuh masih nampak
tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak,
seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan
kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua
serangan empat pedang lawan!
Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat,
mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi
adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu
dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal, berdiri
tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari
ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu
warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah
mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat
orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah
yang tertulis di permukaan kipas putih itu.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut mampu menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat kalimat itu adalah
kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis
itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian
baru, hati dan pikiran haruslah kosong. Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara
kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam
pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalamdalamnya
segala persoalan yang dihadapinya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan
dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring
suaranya saja. Demikian pula kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan
menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.
Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Meski disebut pengemis, orang
yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tak
pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan oleh karena
merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi sehingga orang beginilah yang patut
disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa
tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa
yang ditempuhnya!
A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan
mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur
rapi, oleh karena memang mereka mempergunakan Barisan Segi Empat yang amat teratur. Pedang
mereka gemerlapan dan menyambar nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin
serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu
membuktikan betapa kuatnya sinkang dari empat orang wanita itu.
Akan tetapi Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya
berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang sangat tegap. Kipasnya bergerak cepat,
dunia-kangouw.blogspot.com
kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua
serangan pedang itu gagal karena tertangkis dan membalik. Kadang-kadang kipas itu tertutup dan
dipergunakan untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah
yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk
mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas
karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!
Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin
cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi
Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkalikali
Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.
“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”
Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandangan matanya dari pertarungan itu. “Bukan main
lihainya, hanya dengan kipas.... padahal empat orang wanita itu amat tangguhnya....”
“Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”
Pamannya menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh kagum karena kini
gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka
terpaksa makin melebar.
“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong
Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran
itu.
Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa
Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang.
“Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang
mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang
menjadi semakin seru itu.
“Tidak mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang
Kongkong-ku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, lalu tibatiba
ia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii,
Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”
Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar
Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu
berloncatan mundur.
“Tahan!” seru A-hui sambil melintangkan pedang di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi
seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda
sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.
“Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”
Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Bukan apa-apa.”
“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau adalah musuhnya?”
“Hemmm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang
pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi dan
jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau sudah membunuh banyak orang
dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum....“
“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!” Siauw Goat berteriak lagi.
Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Katakan dahulu siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti
oleh tiga orang temannya.
“Pergilah....!” Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan
menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang,
pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju!
Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan
kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang
sebatang suling terbuat dari pada emas yang sinarnya berkilauan.
“Suling Emas....?!” A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu
dengan mata terbelalak.
Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biar pun
pernah dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka,
namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu. Dan
kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan
tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu sekarang sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan
mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi.
A-hui kemudian menjura ke arah Kam Hong. “Kepandaian Taihiap sungguh hebat, kami mengaku kalah.
Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal sebagai Su-bi Mo-li (Empat Iblis Cantik).
Agar kami dapat menyampaikan pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap
Taihiap sudi memberitahukan nama dan....“
“Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!” kata Kam Hong dan sekali menggerakkan
kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.
“Suling Emas....?” Kembali A-hui tergagap dan kemudian dia memberi isyarat, mengajak teman-temannya
pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
“Enaknya pergi begitu saja!” Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola
salju itu ke arah A-hui.
A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.
“Plokkk!”
Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan
tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
“Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.
Tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut
Pendekar Siluman Kecil tadi?”
“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman
Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar
Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”
Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat
itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong
merasa kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”
Sim Hong Bu mengangguk bangga. “Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Honam.”
Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan
memberi hormat. “Harap Taihiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim
Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Taihiap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau tidak ada Taihiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh
karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Taihiap.”
Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seakan-akan pernyataan terima kasih orang
membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, “Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para
piauwsu itu.”
Mendengar ini Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan dengan cepat
Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat telah merasa lelah sekali dan sukar untuk
menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja
lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh
kagum.
“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil,” kata pula Sim
Hong Bu penuh kagum.
Pamannya menghela napas panjang. “Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama
Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman
Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan
kesusahan.”
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi seperti tidak
mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, “Sayang kita tidak
mengetahui nama dan julukannya.”
“Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya
wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguh pun kipasnya itu juga luar
biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi ke sini untuk menyelidiki
tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju
tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang
berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat
menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.
“Ke mana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
“Aneh sekali.... tidak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas
dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini....“
Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang
dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat
pergi dari situ.
“Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam?”
“Hemmm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan
piauwsu itu hendak membawamu?”
“Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La....”
“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu?”
Gadis cilik itu memandang tajam, kemudian menarik napas panjang. “Lauw-pek tadinya memesan
kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu,
Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang
Kongkong kepada Lauw-piauwsu.”
Diam-diam Kam Hong amat terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini
berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang
Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat?”
Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, tetapi akhirnya dia
menjawab juga. “Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku
menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu
dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku
dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kongkong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku.
Kongkong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kongkong
melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian
berkelahi dengan kongkong. Kongkong lalu berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kongkong
menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong pada hari itu juga mengajakku pergi,
katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia
masih menderita luka hebat dan akhirnya....“ Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya.
Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. “Jangan khawatir, Siauw
Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku
yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan
tetapi siapakah nama orang tuamu?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Kongkong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya,
dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar
semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu....” Gadis cilik itu memejamkan mata dan
nampak berduka karena betapa pun juga hatinya merasa perih bahwa dia tak mengenal orang tuanya, baik
nama lengkapnya mau pun wajahnya.
“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”
“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kongkong hanya untuk menggunakan
nama sebutan palsu saja. Kata Kongkong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku
disebutnya Goat (Bulan)....“
“Ah, Kongkong-mu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan
purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap?”
“Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun....”
“Ahhh! Kau maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?” Kam Hong bertanya
dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.
“Hemm, kau mengenal Kakekku!” Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aslinya saja,
Ci Sian, berseru girang dan bangga.
“Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”
“Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kongkong. Biar pun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan
tetapi melihat betapa Kongkong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu,
tentu agaknya Kongkong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari
musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun
tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai
kongkong-nya.
“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kongkong, akan tetapi ketika Kongkong bertengkar dengan mereka,
kudengar Kongkong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”
Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu persis siapa itu Sam-ok dan Ngook,
dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai
datuk-datuk kaum sesat yang ilmu kepandaiannya amat tinggi! Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua
orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe
Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi
dunia-kangouw.blogspot.com
memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ahhh, dia mulai
dapat mengerti.
Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan
dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih
belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat
membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biar
pun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang
tidak diketahui oleh Ci Sian. Namun mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngook
saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berpihak kepadanya dan melindunginya.
“Baiklah, Siauw.... ehh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau
kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah
ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”
Ci Sian menurut saja. Mereka lalu menemukan sebuah goa di mana mereka melewatkan malam dan Ci
Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak
terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh
bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu pun mereka telah tiba di dekat Kongmaa
La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong
terpesona, meninggalkan goa di mana dia telah membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi
sambil meniup sulingnya. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun akan
tetapi sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu
bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan
penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian.
Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar
kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang
dara cilik seperti bulan purnama yang selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa
pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
“Paman Kam, suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas
rumput.
“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran
mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan
nyaman!
“Mainkan lagi, Paman....“ Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu
Kam Hong.
Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong
menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat
jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong sebagai
pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong dan pemuda itu lalu
meniup lagi sulingnya.
Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali
menjadi penuh pesona yang mukjijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah
Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan
mengalun di udara.
“Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh,
akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat
yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang
membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya
melawan dan menolak.
“Paman.... kau.... kau kenapa....?” Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya
dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.
Kam Hong cepat sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. “Tidak
apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke goa.”
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya. Alisnya berkerut dan berkali-kali
bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, “Hwi-moi.... Hwi-moi....”
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La.
Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki
mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian
dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki
dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah
berceceran di atas salju yang putih.
“Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman....?” Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar
lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik
tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Dua
tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi
mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke
depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian
memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan.
Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan
mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan
robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu
menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati hati. Angin semakin kencang dan
salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang
mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan
orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan
tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang
amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak
peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang lukaluka
dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di
antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju.
Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan
tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan
gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia
menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang
kepada makhluk itu dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam Hong menghadapi makhluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa
makhluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu
besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah
coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan
panjang. Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka beruang atau juga mirip muka manusia,
hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke
dunia-kangouw.blogspot.com
atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan makhluk ini tidak berekor.
Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang
berkilauan.
Makhluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak
sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerakgerak,
jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau
itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.
Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa makhluk ini tentu memiliki kekuatan yang
luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan
bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi, namun
mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan makhluk ini.
Makhluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya dari pada harus mempertahankan diri diserang oleh
makhluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya
dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi serangan makhluk
buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang
amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan
cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada makhluk itu
dengan pengerahan tenaganya.
“Dukkk!”
Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh makhluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan
tetapi anehnya, makhluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu
seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!
Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah
muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya untuk
menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diamdiam
Kam Hong merasa terheran heran.
Kalau makhluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan
tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sinkang amat
kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar? Hanya lawan yang memiliki tenaga
sinkang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah makhluk ini memiliki tenaga sakti pula?
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk memikirkan hal aneh itu karena
kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, makhluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali
Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran.
Makhluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya! Ini hanya gerakan dari ilmu ginkang yang sudah
masak, pikirnya. Mungkinkah makhluk yang seperti binatang ini selain memiliki sinkang yang kuat juga
memiliki ilmu meringankan diri? Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu
siluman? Ataukah semacam makhluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di
dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan makhluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya
ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram saat Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak
kurang cepat mengelak.
“Brettt!” Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu!
Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Makhluk itu terlalu
kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak.
Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi makhluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya demikian tajamnya sehingga mengatasi semua
kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali
dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan makhluk itu terlalu cepat,
dan agaknya makhluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit
pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan
yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya,
yaitu keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan makhluk ini. Akan tetapi, makhluk itu
benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan
pendekar ini. Kaki makhluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan
cepatnya, dan makhluk itu agaknya menjadi semakin marah.
“Singgg....!”
Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata makhluk itu. Makhluk yang disebut Yeti itu
menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
“Wuuuttt.... dessss!”
Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu
meleset dan mengenai pundak, dan makhluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya
meraih ke depan dan pada waktu Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena
dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu
terjengkang di atas salju.
Sambil menggereng makhluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan
kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya dia hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek
tubuh lawan. Tetapi Kam Hong telah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak
ke depan, menusuk mata. Makhluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya
yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum makhluk itu sempat
bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
“Takkkk!!” Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan
suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya
panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka walau pun di luarnya
tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, akan tetapi ternyata makhluk
itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat
mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari
mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan
lebih dahsyat lagi dari pada tadi!
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan makhluk itu yang membuatnya
kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan
matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, makhluk itu nampaknya sama sekali tidak
terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan
hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat
besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga
yang amat besar maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya
menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri makhluk itu mencengkeram ke arah perut!
Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri
yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang
diangkat ke atas.
“Desss! Dukkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental
dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal
tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga
dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju.
Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan!
Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula
untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi
sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan tergulingguling
di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua
tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan
tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan
diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya
yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam
Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika makhluk itu hendak menarik
putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang
sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong
itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah suara gemuruh itu.
Mendadak Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping,
lalu dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti
terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah
puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa
sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang
amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
“Ci Sian....!” teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja
dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi.
Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat,
menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan
karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi
ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut
bergerak longsor terbawa dari atas! Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih
dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul
dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan
kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi…..
********************
Runtuhnya sebagian tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh
yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai
tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus
salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah
kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di
dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban
yang sama sekali tak dapat terselami oleh pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari
beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala makhluk, semua adalah
berjalan dengan wajar dan oleh karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala
kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti
yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun
kenyataannya tidaklah demikian! Secara ‘kebetulan’ mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki
gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan ‘kebetulan’ pula Kam Hong
dunia-kangouw.blogspot.com
dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biar pun
keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balok-balok es sebesar itu, namun mereka tidak
sampai tewas. Lebih ‘kebetulan’ lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal
ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan mampu bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi
bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari
pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada
bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia
masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk.
Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran.
Tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan.
Muka yang manis itu kini kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit antara kedua alisnya masih berkerut
tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia
masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan
berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia
membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti
itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya.
Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya
membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian.
Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya
yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia
berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan
melihat celana kirinya robek dan penuh darah. Ternyata di dekat pergelangan kaki kirinya telah patah
tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya.
Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian
indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan
punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es
di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka? Demikian hatinya berbisik karena dia teringat
akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu
dia merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika melihat Kam Hong duduk
sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata
gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada
yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya
menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?” tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk
kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang
dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya
tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir
saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
Tidak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es
yang besarnya seperti gajah, ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat
sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur
saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
“Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah....,“ kata Kam Hong, namun biar pun mulutnya
menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi
karena memang dia sendiri merasa seram!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu.
Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah
dunia-kangouw.blogspot.com
terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan.
Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka.
Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat
kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih
utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah pada saat dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan
dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan eraterat,
memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang,
dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah
dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan
membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.
“Ehh, kakimu kenapa, Paman?” tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
“Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda itu menggigit bibir
menahan nyeri.
“Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan dua tanganmu takkan mencapai
kakimu yang dilonjorkan.”
Ci Sian lalu membersihkan luka itu, menggunakan sapu tangannya. Darahnya sudah membeku, dan
dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki
itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.
“Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?”
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan
mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.
“Ci Sian, aku sendiri tak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku agar tulangnya
yang patah itu dapat bertemu kembali. Kemudian kau pergunakan obat penyambung tulang ini, campur
dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”
“Baik, Paman.”
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas senti, kayu dari
ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut
dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.
“Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu
untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda,
engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?”
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia
mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya
itu, mempergunakan kedua tumit kakinya untuk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia
memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.
“Nah, mulai tarik!” kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian
dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir saja dia melepaskan kaki itu ketika melihat
betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya,
kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul
keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa
olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
“Le.... pas.... perlahan.... lahan....“ terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian
mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!”
Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada
sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar
luka, lalu dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia
membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berubah lagi letak
tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung
jubahnya.
“Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru