Senin, 07 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Paling Gres : Sepasang Pedang Iblis 8

Kho Ping Hoo Paling Gres : Sepasang Pedang Iblis 8 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf  Kho Ping Hoo Paling Gres : Sepasang Pedang Iblis 8
kumpulan cerita silat cersil online
-
"Tocu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang dan engkau Tocu
dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi
urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kau alami.
Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andai kata engkau membuka kerudungmu dan aku
melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati dari pada menceritakan isi hatiku. Akan
tetapi, berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari
gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam
hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat
mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan
hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada
keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta
kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku
dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku
mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih. Akhirnya
aku meninggalkan suamiku, sedangkan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus... dan
aku lalu membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal, aku telah
merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu...! Keng In... akulah yang membuat engkau
rusak... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela
berkorban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar yang
gagah perkasa dan terhormat...!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang terpancar dari
kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di balik kerudung itu
memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremasremas
mendengar penuturannya itu, biar pun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat
menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja!
Setelah melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun dengan
penekanan hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kau cinta itu?"
"Dia... dia pun seperti aku, dia... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu saja, biar pun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan mengaku bahwa
suaminya itu mencintanya?
"Dan engkau?"
"Aku? Aku sekarang... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua, yaitu menjadi
isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!" Lulu menggenggam ujung meja
saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kresss!" Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi tepung diremas
Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "Tocu, sekali lagi terima kasih atas pengobatanmu
terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak
menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu, biar pun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan cinta kasih,
aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi
ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia untuk memberi
hajaran!"
"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan membelanya!"
"Hemmm, kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di tanganku!"
"Itu pun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat tinggal!"
"Selamat berpisah!"
Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan dengan cepat
sekali meninggalkan markas Thian-liong-pang. Perpisahan yang aneh antara dua orang wanita yang aneh!
Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan
suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat
jahat koksu untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat
wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan
tangannya.....
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia, pemuda yang
berwatak lembut itu mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah
tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, di mana diadakan pertemuan oleh Thian-liong-pang. Setelah
selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan
menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur.
Dia telah berhasil merampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara
musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud
membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam
pribadi dengan Tan Ki. Ada pun Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka
yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan tetapi musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai dari pada Thai Li
Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik
Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir
dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja, karena kurang hati-hati dia
terluka.
Ia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam goa rahasia di
bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum dia menghadapi musuh-musuhnya yang
sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok-mo-kiam, karena pendekar
itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda
Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo-kiam!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih
ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok-mo-kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut yang amat
dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat
pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu!
Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo-thian Kiam-sut tanpa berhenti.
Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua
Thian-liong-pang sendiri pun tak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas
binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-liang-san, di
tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia
berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan
menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju sebab tanah yang kering itu menghamburkan debu
tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.
Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena
rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bangsa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada
orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara mereka adalah orang-orang Han. Akan tetapi
melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata-senjata pedang yang
tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rombongan itu
terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru
menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke
mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa
aneh dan tertarik sekali. Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han bersatu dalam sebuah
rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang
paling ‘tinggi’ karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?
Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk
mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterangan bahwa baru saja
rombongan itu lewat dan mereka tidak berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian
malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan
dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka tidak berhenti di dalam dusun?
Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di
tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak
menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam dari
pada di sebuah dusun.
Bun Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia mendengar
bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota
raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jenghan dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki
Ong dari istana, dia makin tertarik, apa lagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan
sebuah persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana sendiri! Tentu
merupakan persekutuan gelap, pikirnya.
Ketika rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke selatan, dia akan
sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan tetapi, rombongan itu besok pagi tentu akan
membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik
hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan itu. Tetapi, malam itu ketika ia mengambil
keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar percakapan yang benarbenar
mengejutkan dan menarik perhatiannya.
Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki
Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas
kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang
gagah yang dipusatkan di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat ‘api abadi’, yaitu daerah
setengah tandus di mana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya.
Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang
membuat api tak pernah padam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biar pun dia tidak
berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu sebab
dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia
mendengar bahwa pasukan orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan
pasukan khusus untuk menghadapi Thian-liong-pang!
Hemm, mereka juga memusuhi Thian-liong-pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan
orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu.
Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela
Thian-liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian menyelamatkannya
dari bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya
dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri
Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi
dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!
Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di
tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan bangunan-bangunan darurat di luar kota
yang jauh dari masyarakat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.
Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang
sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan
berkepandaian tinggi! Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati
pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap
ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan
sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung, berusia
empat puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.
Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota
rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun
Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi
orang bergolok itu.
Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan-lahan membuka
genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit
suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan
berturut-turut. Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat
bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biar pun gerakan golok pencuri itu
cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup
kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan
tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.
Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan
penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah
pondok darurat yang dibangun secara sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah
bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan
perempuan. Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur pasukan khusus
itu, pikir Bun Beng.
Dia memutari bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tampak
beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur. Ketika
ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada
di sumur itu agaknya, melainkan minyak! Benar-benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi
sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun
agaknya!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan melihat empat
orang menyeret pencuri tadi yang telah dibelenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia
telah disiksa karena matanya bengkak-bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali
merintih perlahan. Tampak empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah
mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu di atas
sumur, kepala di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di
atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba sumur. Kaki itu meronta-ronta, terlihat talinya
bergoyang-goyang, sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak-gelak,
kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula
yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan
orang-orang tertawa-tawa.
Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu
dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya.
Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng cepat loncat mendekati sumur. Malam telah hampir
lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat
itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik keluar pencuri sial itu.
Orang itu napasnya sudah empas-empis. Bun Beng lalu mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke
atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkakbengkak,
tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda
berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak
lirih,
"Persekutuan... hendak membunuh Kaisar... membunuh Pangcu..."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata-mata
agaknya!
"Engkau anggota perkumpulan apa?"
"Mereka... menyiksaku... aku tidak pernah mengaku... Thian... Pangcu akan dibunuh... auugghh..." Orang
itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang
anggota Thian-liong-pang, seorang mata-mata Thian-liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan
itu, akan tetapi tertangkap dan terbunuh.
Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu
meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat
itu terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa
ember-ember besar.
Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan
orang-orang itu dengan ember-ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong-gentong
besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentonggentong
kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong sehingga
berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!
"Haiii! Kenapa dia bisa terlepas...?"
"Wah, belenggunya putus semua..."
"Akan tetapi dia sudah mampus!"
"Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari
Thian-liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol."
"Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki
tangannya dan mampus."
Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh raksasa,
bertelanjang dada dan kepalanya gundul namun mukanya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan
seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, tetapi sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin di
situ sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.
"Kubur dia di sudut kosong sana!" Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang menggusur mayat itu, kemudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi, "Hari ini kita menimba
sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim besok.
Kemudian semua harus bersiap, karena kita hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera
bergerak ke selatan secara menggelap."
Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari dalam sumur
dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada
di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-diam dia
memperhatikan orang-orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus
meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu,
kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya?
Orang-orang itu kelihatan pandai, apa lagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orangorang
sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari
tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan
selanjutnya dari rombongan orang-orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi
tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu
sekalian berjaga, menjaga sumber minyak!
Untung bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh
buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan
tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan
lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia
tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak.
Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang
kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hokmo-
kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu
itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu
bernyala itu ke dalam sumur!
"Heiii! Tangkap pengacau!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang
Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari
jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan
kilat dan dengan tenaga besar.
Pada saat itu Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan berada di tangan
kanan. Agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan
terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap
hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas. Namun, begitu ujung pedang lawan hampir
menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat
dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh
laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam
sumur yang bernyala-nyala!
Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak disangkanya sama
sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk
melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup-hidup!
Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah berbondongbondong
penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biar
pun dia dikepung, kalau hendak meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia
menyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apa lagi karena mereka
tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus bermuka pucat itu
muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi
suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.
"Siapakah engkau?" Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.
"Namaku Gak Bun Beng," jawab Bun Beng sederhana.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mau apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian-liong-pang?"
Bun Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak disuruh oleh siapa pun juga, juga tidak mewakili siapa-siapa.
Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi
orang-orang yang mengadakan persekutuan!"
Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu
mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam. "Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu
tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di
sini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau
diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan."
"Bagus! Bagus...! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!"
"Tidak, kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!"
"Biarkan aku menghancurkan kepalanya!"
Si Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah. "Kita
adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap seganas itu? Tidak, pertandingan ini
akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi
mengeluarkan suara menjerit?"
Tidak ada seorang pun yang tahu. "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi
ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu
yang..."
"Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!" Si Kurus membentak. "Tentu ada yang berteriak
tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang
berteriak tadi?"
Bun Beng mengangguk. "Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang
menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."
Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur,
masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!
"Di mana dia sekarang?" Si Kurus bertanya lagi.
"Di dalam sana...!" Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya.
"Apakah engkau yang melemparnya ke dalam sumur?" tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah
kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
"Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku
sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur."
Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hiduphidup.
Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.
"Gak Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa
ijin, seperti maling. Kedua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ketiga engkau telah
membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Tetapi
melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau
membunuh begitu saja..."
"Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong-pang itu, ya?" Bun Beng
memotong.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggota Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya
seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Kau boleh membela nyawamu dalam
pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan."
"Hemmm, kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?"
"Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!" kata Si Kurus dan terdengarlah suara
orang-orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di
antara mereka adalah orang-orang kang-ouw dan liok-lim, dan mereka belum pernah bertemu atau
mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.
"Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?" Pemimpin kurus itu berseru.
Pertanyaan itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ mengangkat
tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan
kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!
"Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah? Agar urusan cepat selesai, suruh
pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriakteriak
itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!"
Si Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut ‘locianpwe’ oleh Bun Beng, maka kembali dia
mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata, "Ucapan bocah ini benar juga,
cukup masuk akal dan bisa diterima. Tetapi sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol
kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah
seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang kedua sesudah aku di tempat
ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang
waktu, biarlah aku menyuruh orang ketiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kau ketahui sebelumnya
bahwa pertandingan ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan
persoalan yang harus disesalkan."
"Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ketiga di tempat seperti ini cukup terhormat!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak buahku. He,
Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun
Beng ini!" kata Si Kepala asrama yang kurus itu.
Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun Beng hampir
tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut
sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat
menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang
terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti
kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia
membungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip
sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena
memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu.
Thai-lek-gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar suaranya
yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.
"Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik
engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa
lagi?" Ucapan ini disambut suara tertawa di sana-sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu
merupakan ejekan.
Bun Beng tersenyum. "Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai-lek-gu, kalau melihat matamu yang
kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai-lek-ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun
aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu."
Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia
marah sekali. "Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar
terhadap aku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!" Bun Beng
menggerak-gerakkan cuping hidungnya, "Menurut hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi
ada bau-bau tidak enak datang dari tempat kau berdiri!"
Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan
mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok-olok oleh
pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biar pun mereka semua maklum bahwa tentu
pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pemuda itu menggerak-gerakkan cuping
hidungnya, Thai-lek-gu otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada
ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak-gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar.
Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng
kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biar pun tubuhnya gendut sekali akan tetapi ternyata
gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian
menyergap dari kanan kiri hendak merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk
dan dipatah-patahkan semua tulangnya!
"Bresss!" Tiba-tiba Thai-lek-gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat
dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua
tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia
membalikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan
tersenyum-senyum.
Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan amat
sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu dan meloncat ke atas melewati
kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai-lek-gu.
Juga Thai-lek-gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa
pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari ginkang-nya yang istimewa, bersikap hati-hati
dan tidak lagi berani memandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar
dapat menghadapi lawan dengan tenang.
Setelah memasang kuda-kuda, mulailah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti
menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahutahu
kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat
keras sehingga terdengar anginnya mengiuk berulang-ulang.
Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak
tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk
pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku.
"Plak! Tukkk!"
"Wadouuhhh...!" Thai-lek-gu berteriak keras sekali.
Ia cepat meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu
menyeringai kesakitan, kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan,
yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak
benjolan sebesar telur ayam!
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh
seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai-lek-gu ini
dahulunya adalah seorang jagal babi!
Betapa pun marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan kegagahan, maka
sambil menahan marah, menggerak-gerakkan sepasang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan
dada dalam keadaan bersilang dia berseru, “Ayo keluarkan senjatamu!"
Bun Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang-orang ini dan
biar pun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula berpihak kepada
Kaisar Mancu. Andai kata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia
dunia-kangouw.blogspot.com
pun tidak mau mengganggu mereka. Apa lagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai
kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan
kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.
"Thai-lek-gu, tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik hati untuk
menyediakannya untukku. Nah, seranglah!"
Thai-lek-gu memandang heran dan ragu-ragu. "Orang muda yang sombong, jangan kau main-main. Sekali
sepasang golokku ini keluar, tak akan masuk sarungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan
senjatamu!"
"Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kau pinjamkan kepadaku itulah!" Tiba-tiba Bun
Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata
lawan.
Thai-lek-gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat membacok
ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba merendahkan diri,
gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu
mengeluarkan seruan tertahan dan memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah
tersenyum-senyum memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara
cepat dan aneh oleh pemuda itu!
"Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini
kepadaku, Thai-lek-gu."
Thai-lek-gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah
berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia
mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.
"Trang-trang-trang...!"
Tiga kali Si Pendek gendut itu menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari
tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya
dan setiap tangkisan membuat Thai-lek-gu terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thailek-
gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut dapat
ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!
Tentu saja Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu
dengan golok diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudian golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng,
dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan
merupakan serangan mati-matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia
sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan, sedangkan tangan kirinya
menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok pergelangan tangan.
"Krekk... dessss!"
Golok di tangan Thai-lek-gu patah-patah. Dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke belakang dan
lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapa pun diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap
saja dia terbanting roboh dan karena lengan kirinya lumpuh, terpaksa dengan susah payah dia merangkak
bangun.
"Maafkan aku dan ini kukembalikan golokmu. Terima kasih!" Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang
meluncur ke depan.
Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan golok untuk membunuh Thai-lek-gu, akan
tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah di depan pemiliknya.
Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor beruang marah dan tanah seperti tergetar ketika
seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun
Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang
kaku dan parau,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau.
Orang muda, majulah kau, mari mulai!" Baru saja menghentikan kata-katanya, raksasa itu sudah menubruk
ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng.
Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang sangat hebat, hal ini diketahuinya dari angin
sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana
kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli
gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Namun alangkah
kagetnya ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali
tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas, memutar-mutar tubuhnya sambil
tertawa-tawa!
"Kiranya tenagamu tidak seberapa hebat, orang muda. Nah, sekarang pergilah kau!" Sambil berkata
demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan
tubuh Bun Beng ke depan.
Tanpa dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur jauh ke
depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng
dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu ginkang-nya dia berjungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini
membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah
lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda lawannya itu tahu-tahu telah
berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil bibirnya tersenyum-senyum mengejek!
"Engkau masih belum pergi juga? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!" Gozan membentak dan kini
dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergantian dan
bertubi-tubi menghujankan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng.
Walau pun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur,
dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat
besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia
mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan
ke belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan
napasnya terengah-engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya dan memandang dengan
mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,
"Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri?
Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah
seranganku!"
"Begitulah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!" Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada raksasa
itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu.
Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga-duga.
Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar dari kanan kiri dan tahutahu
lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya! Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan,
raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan
ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas
kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi
lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan
membantingnya ke atas tanah.
"Wuuuttt... brukkk... ngekkk!"
Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika
menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa
tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat
tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya
terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri?
Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya
dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun
Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu
tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan
raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan
membantingnya, ditambah dengan tenaga sinkang-nya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak
mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga
dia pingsan seketika!
"Wirr... siuuuuttt...!"
Bun Beng cepat merendahkan tubuh, kaget sekali melihat senjata yang menyambar. Kiranya Si Muka
Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar-benar amat luar biasa.
Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi
yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal
dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini
amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.
"Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam
keadaan bernyawa!" Liong Khek berseru dan menerjang maju dengan senjatanya yang aneh.
Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli
silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan
ingin sekali melihat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.
"Singgg... siuuuttt...!"
Kembali sinar kecil itu menyambar. Bun Beng cepat mengelak dan mengulur tangan berusaha menangkap
tali pancing itu. Tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik
kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju dan sekarang menggunakan gagang pancingnya
sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh perhatian
menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali.
Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing
melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali
dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing
menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar-benar senjata yang tak tersangkasangka
ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara memasuki
markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang
pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang
mata-mata, komandan pasukan berkata marah.
"Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!"
Selosin orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-orang gagah yang
berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng.
Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khikang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki
mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara
lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya
tahu-tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya
telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa
pemuda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian
yang amat tinggi!
Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya
yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk
caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di
depan dada sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi
tubuhnya di atas pagar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar
sambil menyerangnya.
"Wuuuttt... wirrrrrr...!" Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng
bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!
Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak melompat ke
luar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi
dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan
puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.
"Heii, apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?" Bun Beng berteriak sambil melompat ke kiri dan
menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!
"Kami adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!" bentak Si Komandan
pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau
mendengar nama Koksu.
Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. "Kalau kalian anjing-anjing pengawal dari Koksu, aku
belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!"
Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar bahwa
pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya. Empat orang anggota
pasukan segera roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduhaduh
karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Namun, orang-orang gagah yang dipimpin
oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan-utusan Koksu, mereka tidak
mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak-teriak dan mengepung Bun
Beng.
Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tibatiba
tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun-ayun
di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.
Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. "Kepung, jangan biarkan dia
lolos dengan mencuri kuda!" teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di
mana Bun Beng berdiri. Komandan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
"Crappp!" Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak,
bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
"Auuwww... aduuuhhh...!"
Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan, sekali
tangan kiri Bun Beng bergerak, tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu,
komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka
dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.
"Crepp! Creppp!"
Dua batang tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali Bun
Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang
menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa
berputaran, kemudian sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan.
Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga dia tertimpa
tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling.
Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya terbentur
keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang dikeroyoknya tadi telah
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang
tombak, yaitu tombaknya sendiri!
"Mundur kalian semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!" Bun Beng membentak sambil menempelkan
ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan, bermuka pucat dan
menggigil.
Melihat hal ini, Si Muka pucat segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja
keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu lebih penting, dan kini dia yakin bahwa
pemuda yang mengacau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau
tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengeroyokan dengan jalan
kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.
"Mundur... hentikan pertandingan!" teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju
menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,
"Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa
engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?"
Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, "Ha-ha-ha! Kalau ada
maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri.
Namun kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku
bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini,
melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!"
Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. "Jika begitu, kami menerima salah, harap engkau suka
membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."
"Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda," kata pula Bun Beng.
"Seekor kuda...?" Si Kurus memandang tajam.
"Ya, seekor kuda yang paling baik di antara semua kuda di sini."
Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk segera mengeluarkan kuda
tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda
pilihan.
"Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya," katanya.
Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda.
Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu
dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang
bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan
kanan ke atas dan membentak,
"Jangan bergerak! Biarkan Gak-kongcu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!"
Bun Beng melarikan kudanya dan menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, "Terima kasih. Pemberontak
atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!" Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa
ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.....
********************
"Haiiiiii...! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban
teka-tekimu. Hayo keluar, jika tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"
Yang berteriak-teriak ini adalah Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya
bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan
gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak
lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apa lagi bersama
dunia-kangouw.blogspot.com
gurunya yang sakti, sungguh pun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka
berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau.
Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak
mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka
melintangkan tombak menghadang dan berkata,
"Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar...!"
Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, dan....
“Krekkk! Plakkk!” Empat kali terdengar suara dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat
orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri!
Ada pun kakek cebol itu masih berteriak-teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat
muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. "Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu,
suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar...!"
"Ser-serr-serrr...!"
Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerakgerakkan
kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan oleh gurunya dan belasan batang anak panah yang
menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
"Ha-ha! Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?" Bu-tek
Siauw-jin tertawa mengejek, sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri dengan alis
berkerut marah.
Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu tiba-tiba terbuka dan muncullah
Bhong-koksu bersama Maharya beserta belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu
Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata
lengkap!
"Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan
merobohkan penjaga. Sungguh tidak tahu aturan!" Maharya berkata sambil tertawa mengejek.
Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot. "Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan
teka-tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kau ambil pisau penyembelih babi,
lekas!"
Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sinkang, maka mempunyai
wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itu pun sampai terpengaruh dan
otomatis bertanya heran, "Pisau penyembelih babi? Untuk apa?"
"Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu
perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu,
kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula
menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!"
"Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bersombong. Orang macam
engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu..."
"Apa? Pertanyaan licik yang penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar
baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kau tanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu
sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa.
Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"
"Ihhh, engkau gila...!" Maharya membentak dengan muka merah.
"Paman guru, perlu apa buang waktu melayani orang gila ini?" Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut
pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian
dunia-kangouw.blogspot.com
mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini, lalu mencabut senjata mereka
dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.
"Suhu, teecu rasa tidak perlu lagi melayani mereka ini!" Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat
mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!
"Serbu...!" Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh
belasan orang panglima itu.
Memang Koksu telah siap untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek
itu bersama muridnya yang memegang pedang mukjizat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan
pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang
pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
"Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan
pengawal itu menyerbu.
Namun Kwi Hong tidak seperti gurunya. Dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya
yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mukjizat itu
menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.
"Singgg... trang-trang-krek-krek-krekkk...!"
Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah-patah, disusul pekik kaget dan
kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari
sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!
Melihat ini terkejutlah semua anak buah pasukan. Mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati,
dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa
dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu, Kwi Hong
tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah-tengah, pedang melintang depan dada, tidak
bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri
menanti gerakan lawan.
Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian
tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan
pengurungan yang amat nekat.
Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba. Puluhan anak buah
mereka bersama dua belas orang panglima itu serentak menerjang Kwi Hong, dibantu oleh anak buah
mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang
yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar-nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa
batang senjata lawan, namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan
keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata
sehingga yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat.
Betapa pun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena
dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan
tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat.
Sementara itu Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia
meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang
maju melawan Bu-tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan
cambuk di tangan kiri.
"Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang-tukang keroyok yang menjijikkan!" Bu-tek Siauw-jin
tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena
ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhongkoksu
ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tarrrrr...!" Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima
begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak
tangan Bhong-koksu lecet-lecet!
"Serang lima tempat dari mata ke bawah!" Maharya berseru, dan kini Bhong-koksu menerjang lagi
membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar,
dan bawah pusar!
"Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!" Setelah berkata
demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Dua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang mengandung hawa
panas, kadang-kadang dingin sehingga Maharya mau pun Bhong-koksu berlaku hati-hati dan tidak berani
menghadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan-serangan
balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna
karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya
menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran
cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang
kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh
kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Betapa
pun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini
repot juga dan biar pun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari
hujan serangan maut itu.
Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari
kepandaian Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini bahwa dia kebal terhadap ilmu sihir
biar pun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak
ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal
kekuatan sinkang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sinkang-nya.
Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong jelas lebih payah. Dua belas orang panglima itu
berkepandaian tinggi, dan andai kata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu
menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat
puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah
sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena
yang datang jauh lebih banyak dari pada yang roboh.
Sekarang enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan
pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu
menyerbu Bu-tek Siauw-jin.
"He-he-he, bagus...! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan!"
Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, lalu berputar dan tahu-tahu
kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jangkrik menyentik atau Si Kuda
menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jangkrik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh
Maharya dan Bhong-koksu, sehingga biar pun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin
tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah
sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur!
Pada detik-detik berikutnya terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan
kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andai kata Maharya atau Bhong-koksu
yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang
panglima yang tingkat sinkang-nya kalah jauh itu, begitu terkena sepakan pada dada mereka, seketika
tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!
"Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti halilintar menyambarnyambar
ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin.
"Aihhh... wuuutttt!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu
mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan
dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara
nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan
main, melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.
"Aduhhhh...! Aduhhhh...!" Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh,
merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang
kedua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.
Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu sekarang menerjang maju dengan hanya menggunakan
pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.
"Kwi Hong, kau larilah!" Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong-koksu
dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi,
begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau
yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!
"Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!" Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah
berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong-dorong roboh beberapa orang pengeroyok,
membantah.
"Hushh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu,
Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan kenapa membiarkan kita dikeroyok tanpa
membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!"
"Suhu yang harus pergi!"
"Hushhh, aku masih belum kenyang main-main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas
kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku,
kelak aku pun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!"
"Tapi, Suhu sendiri..."
"Ihhhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini.
Pergi, atau minta kugaplok?"
Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar-benar
akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya belum roboh, tetapi dia
mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.
"Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu, Suhu!"
"Weh-weh! Kau kira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!"
Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan
dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong
berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li-mo-kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan
anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar
dari tempat itu.
Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin. "Kakek tua bangka
keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im-kan Seng-jin takkan mau sudah!"
"Singg... siuuutt...!" Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong-koksu menyambar dari kanan dan tombak
bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri.
Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan
serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan menggunakan jurus
tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki
taman.
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
"Bunuh...!"
Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, namun yang berkelebat lebih
dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang
besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.
"Celaka, jangan-jangan dia telah berhasil melarikan diri...." Bhong-koksu berkata.
"Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya," kata Maharya sambil
mencari terus ke seluruh taman.
Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada
seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
"Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada di sini!"
Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk
ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, tampak pakaiannya tergantung di cabang
pohon.
Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang
berdiri di tepi telaga di dalam taman.
"Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi." Setelah
berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga.
"Byuuurrr!" Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak
hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur
sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka
dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!
"Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah dari pada seorang siauw-jin (manusia
hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!" Maharya berseru dan
kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan.
Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu
jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air
dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin memandang kepada Koksu dan Maharya,
terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.
"Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk
mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa
aku harus mandi dulu?"
Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu menahan gejolak
kemarahan hatinya. Maka dia pun tersenyum lebar, sungguh pun senyumnya agak pahit, kemudian
berkata, "Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar
tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau
mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."
Jawaban itu dikeluarkan dengan suara yang halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang
menyakitkan hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia
tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa
mengelabui aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung bukan untuk membersihkan batin melainkan
untuk memupuk ilmu agar dapat kau pergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau
memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk
mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu
orang, seperti seekor serigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu
lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus
membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!"
Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para
panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia.
Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek
Siauw-jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam.
Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu-tahu dia telah
muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan.
Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu-batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah
benda kekuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua
buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan
Maharya.
"Plok! Plok! Uuhhhgg... hak... haek-haek...!"
Dua orang panglima itu muntah-muntah karena dua ‘benda’ yang mengenai mulut dan hidung mereka itu
adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya
mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya
pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan
ketika ia membuang air besar diam-diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan
untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan ‘senjata rahasia’ yang luar biasa itu!
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!" Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi
terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah
seperti hujan menyerang dirinya.
Terjadilah main kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia
menyelam, lalu timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya
permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-jin, apa lagi ketika dia berhasil
mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur, membuat dua orang sakti itu
memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil
menjulurkan lidah.
"Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!" Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan perintah.
Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu-tek Siauw-jin terkejut dan khawatir.
"Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!"
Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka telah menanti di tepi
telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sambil memaki-maki.
"Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"
"Singgg... cuppp...! Wirrrr!"
Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan
mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas lalu menancap di atas tanah di depan mereka.
Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, dekat pedang di atas
tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thianliong-
pang!
"Pa... paduka...?" Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong-pang
yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?" Maharya juga berseru.
"Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak
mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu
orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak
merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!"
Ketua Thian-liong-pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya
mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im-kan Sengjin
Bhong Ji Kun tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura-pura
hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan
hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!" Bhong-koksu melintangkan pedang di depan alisnya
sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.
"Haiii... engkaukah Ketua Thian-liong-pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu-tek Siauwjin
tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kecoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!" Butek
Siauw-jin berteriak-teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian-liongpang.
Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap
tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa
kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!
"Kakek sinting, pergilah!" bentaknya ketus. "Aku tidak butuh bantuanmu!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali
betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian!
"Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah
mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau
tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"
Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan
kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya
karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui
rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat
membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis
pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah
membabat ke arah kedua kaki lawan!
Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti,
maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang,
namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada
dan muka lawan!
"Wuuut! Wuuutt!"
Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepatcepat
mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima
pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat
mendesak Bhong-koksu yang dibencinya.
Biar pun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat
mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat
dengannya dari pada Bhong-koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini
karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.
Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat
menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak, "Robohlah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan
bentakannya tadi mengandung pengaruh mukjizat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki
sinkang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang
penuh kekuasaan mukjizat itu tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan
getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sinkang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi,
tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari
leher tombak menyambar ke arah Nirahai!
"Pendeta curang...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua
oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai
sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andai kata tidak dibantu Bu-tek
Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.
"Singgg... wuuusss... hayyaaa...!"
Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya!
"Wah-wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong malah
membalas dengan niat membunuh!"
"Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!"
"Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka
ini?"
"Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu,
baru nanti kita bicara tentang bantuan!" Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk
mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara
pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan
bertubi-tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang
wanita berkerudung yang sakti itu.
Bu-tek Siauw-jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat
ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali
dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirnya selesai juga dia berpakaian.
"Thian-liong-pangcu! Lihatlah, aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uhh-uhh! Pikiran gila yang
menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan
cacing-cacing tanah ini!"
Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar-putar seperti gerakan seekor anak burung belajar
terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta
inilah yang dicarinya! Begitu Bu-tek Siauw-jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri
menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun
kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih
mengeluarkan suara "cuhhh!" meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar
senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia
tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!
"Siauw-jin manusia kotor!" Dia membentak setelah mencelat berdiri sambil menyerang ganas, dibantu oleh
beberapa orang panglima.
Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki
tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel. "Heh-heh, kau kira engkau ini
manusia bersih? Mana yang lebih baik, kotor luarnya tapi bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau
yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja sudah
manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian mau
pun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mampuslah!" Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar
kilat berkelebat.
Namun dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang
sebatang golok di tangan seorang pengawal yang coba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan,
diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.
"Desss! Augghh...!" Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua
orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.
Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai
secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya
berteriak-teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau
belakang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah
banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.
Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu-tek Siauw-jin,
sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun-tahun lalu memperoleh
kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.
Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang
membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung
ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-koksu. Tiba-tiba muncul belasan orang
Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi dari pada
kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini
mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!
Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling
membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan
melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk
melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.
"Kita harus segera keluar dari sini," tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.
"Hemmm, apakah engkau takut?" Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan
seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun
kembali.
"Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak muncul batang
hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!"
"Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!" Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai
marah. "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."
"Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!"
Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang
bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.
"Apa kau bilang? Mengapa untung?"
"Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!" Bu-tek Siauw-jin berkata
lagi. "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pang-cu, aku
menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu
sedang dihancurkan oleh mereka!"
"Apa...?"
"Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini,
kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa
bergelak,
"Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis,
ha-ha-ha!"
"Singgg... tranggg...!"
Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar
hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan
Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para
pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali.
Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan
sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari
taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai
keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia
sendiri ingin mencari muridnya di samping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan
ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang
juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga
membantunya!
Ada pun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan,
berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang
lebih hebat dan mati-matian.....
********************
Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biar pun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan,
namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari,
mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan
para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.
Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali.
Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang
belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi
pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin
perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh
Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima
yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan
Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.
Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan
persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya pergi meninggalkan markas untuk membuat
perhitungan dengan Koksu, dara jelita ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat
dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan
Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya.
Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada
kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain
pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa
pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran
Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika
terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang
amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata
anggota Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biar pun pasukan tentara lebih
besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak
korban di pihak tentara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapa pun para tokoh Thian-liong-pang
membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari
Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, tetapi pada
saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal serta dua orang Tibet
pembantu Thian Tok Lama.
Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi
Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat
di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai
setengah hari lebih!
Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ,
akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas
oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga
terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan
karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apa lagi setelah
dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu
Lo-mo, para anggota Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana, Thian
Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan
dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang
tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang
tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw
Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang
yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan
terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah
mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya.
Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi
besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa
persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh
kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena
Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan seperti sekarang, baik
kepada Nepal, Mongol mau pun Tibet.
Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan
perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang
berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa
dan bergembira tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyinyanyi
dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan
karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang
bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.
Kadang-kadang suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan
mereka bersendau gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap
tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang
dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya
terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia siap untuk melawan dan memberontak jika terdapat
kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan
mala petaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia
dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki
tangannya.
Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Panglima Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama
dan yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang
ini, terutama Thian Tok Lama yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar
amat lihai.
"Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu,"
terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke
depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapa pun juga, dia adalah puteri Ketua Thianliong-
pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh
lebih tinggi dari pada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat
duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong mau pun Thian Tok
Lama.
"Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu
menghadapi kekalahan dan berkeras kepala." Kembali Bhe Ti Kong berkata karena dia pun tahu bahwa
dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan
membuat dia merasa tidak enak sendiri.
Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata, "Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau
sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"
Sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah
depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu, jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit
kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi
menyeramkan dan menegangkan sekali.
"Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan
semua tenaga untuk mengawal dia," kata Thian Tok Lama.
Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal. Pasukan itu
bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
"Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?" Bhe Ti Kong bertanya.
Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. "Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan
dapat memberi keterangan nanti," kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal
yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Ada pun yang enam orang lain telah mendahului gerakan
pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui
aman.
Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima
dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda,
dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah
mulai suram dan agak gelap.
"Haiii...! Lihat di depan itu...!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan
Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang
bersorban membujur di atas tanah.
Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang
rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi.
Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti
Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para
jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri
yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua
orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah
mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, ada pun yang datang dari depan adalah
seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengahengah
kepada Thian Tok Lama, "Celaka... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang
turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluarkan suara yang
nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.
"Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati
mengganggu kami dan membunuh empat orang anggota pengawal pasukan kami?"
Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan
itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun
belum juga ada jawaban.
Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu. "Hem, mengapa
kalian begini ketakutan?" Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang dibencinya itu.
Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu
kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga
bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan
ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya
membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan
cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari
Milana tadi.
"Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas,
melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!"
Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah.
Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat
dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan
rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang
membuat dia merasa khawatir.
Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang
yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat
merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan
biar pun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul
untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat,
dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.
"Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!" Kembali Thian Tok Lama
mengeluarkan seruan dengan pengerahan khikang hingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.
"Blarrr...!" Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam.
Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga
jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.
"Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini sama sekali tidak berbahaya...!" Thian
Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun.
Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang
melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka dia pun hanya berdiri dan
bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan
bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.
"Wir-wir-wirr-wirrr...!" Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama
kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.
Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang
menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan
yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang
tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keparat, siapa engkau...?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.
Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama terasa
seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan
matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!
"Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan
menyerang!"
Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah
pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap,
akan tetapi karena senja mulai datang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada
sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka sekarang dia melangkah maju
dan memandang penuh perhatian.
Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja,
akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis,
mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari
Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan
pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang
tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguh pun dia dan pasukannya tidak
dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah
itu.
"Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul
sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"
Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka
bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa
cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di
atas kudanya, memandang kejauhan.
Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu,
mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang
rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata
penuh kemesraan!
Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu
memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah
merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apa lagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak
ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thianliong-
pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi
pemuda yang masih amat muda itu.
"Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah
engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali Thian Tok Lama bertanya.
Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah
Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak,
mengeluarkan dengus menghina, lalu ia berkata, "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan
nama pasukan pemerintah. Aku tahu ini pasukan apa, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu
bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tak melihat betapa kalian membasmi Thianliong-
pang? Sungguh bagus...!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggota
pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka
semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.
"Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?" Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi
karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan
urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Tetapi engkau telah
berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm..., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja.
Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"
"Manusia sombong...!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali.
Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat
orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang
pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu
merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.
Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan
langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang
bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar
dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala,
leher, dan dada Wan Keng In.
"Plak-plak-plak... bressss...!"
Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih
berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke
arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali ia menangkis dan yang terakhir kalinya
disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut
dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.
"Tahan...!" Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya
menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi
Wan Keng In yang tersenyum mengejek.
"Orang muda, engkau siapakah dan apa kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun
tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat.
Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya,
pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan."
Pendeta itu memang cerdik sekali. Biar pun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai
terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu
telah mengalahkan Bhe Ti Kong secara lihai bukan main, dalam segebrakan saja. Apa lagi kalau diingat
bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik
membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu
akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.
Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang
membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona
Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut
itu."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu!
Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau
Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga
terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar,
bahkan tersenyum dan berkata,
"Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan
segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru
mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu
(Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Namun, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang
sendiri oleh Koksu, Sicu harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu
yang telah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu,
kalau Sicu suka memperkenalkan nama."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi
bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang
Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang dipuja semua manusia
karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!
"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut
dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan.
Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam
pertandingan ini!" Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah
mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan
pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
"Aihh... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"
Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi
pinceng menguji dan marilah Sicu langsung ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu." Gentar juga
pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, lalu dia menjawab, "Dengan
dua syarat!"
"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."
"Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus
disyahkan menjadi isteriku. Kedua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"
Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala
dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Koksu adalah seorang yang ahli dalam
memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan
suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini... ehhh...!"
Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang
ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar
percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini
menjadi makin cemas.
Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga
dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan
mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka
habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri
membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil
mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke
mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih...!" Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan
cepat sekali.
Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan
tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam
menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu.
Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh
belakang kuda yang membalap.
Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena
pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali
yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut
tubuh Milana yang terlempar ke atas.
"Ehhhh...?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas.
Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun,
bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya
sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk
di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini
mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon supaya
gadis tawanan itu jangan sampai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus, dan dia pun belum mengenal siapa
adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu.
Akan tetapi baik Milana mau pun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan
mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka
itu, mau tak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka. Dia merasa heran dan marah bukan
main!
Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di
perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam
hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali
Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh
gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia
segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu.
Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu,
bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat
jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas
punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati.
Tentu saja paling utama dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali
kepadanya. Namun dia maklum bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menolong Milana dari tangan
pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apa lagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka.
Karena inilah dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.
Mula-mula dia pun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama,
bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia
mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya
pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk
menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan
berusaha mengaburkan kuda.
Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng
cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana
melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini
hanya bisa terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali,
jantungnya berdebar.
"Kau...?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi
engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."
Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari?
Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau
suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."
"Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona..."
"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?"
Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. "Sombong!
Aku...?"
"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Tentu saja, aku..."
"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku
Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis... habis...?"
"Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau... sudah jangan mengenal aku lagi
kalau kau begini angkuh!"
"Eh... ohh... Nona... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini...!" Bun Beng menegur, terheran-heran
mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu
meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"
Bun Beng makin bingung sehingga memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan
dara ini keracunan, atau telah bingungkah pikirannya? Ia mengangguk.
"Aku... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku... dan ahhh... kau... kau tolonglah aku,
Twako...!" Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya,
dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita
guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat
Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu
tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang
Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan
kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang
telah terjadi dengan ibunya.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul
Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian
aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedusedu,
teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat
dipercayanya ini.
Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut
dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di
dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa
olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona... eh, Moi-moi (Adik)... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu,
percayalah..."
"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya
membacok Bun Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Prakk..., bresss...!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
"Aku tidak takut... ah, Twako... kau tidak tahu... mereka telah membasmi Thian-liong-pang... Bibi Tang Wi
Siang dan para paman... mereka telah tewas..."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thianliong-
pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
"Mana mungkin? Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu
dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan..."
Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
"Desss...!"
Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat
dan memukul juga terdorong kembali ke bawah saat pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun
Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng
In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada
orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan
kekuatan dahsyat!
"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Sekarang tak banyak waktu lagi. Mereka itu
benar-benar lihai dan jumlahnya banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi
atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat
jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini..."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati..."
Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini. "A... apa...?"
"Gak-twako, apa masih perlu aku menjelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan
melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. "Tidak
cukup...? Duhai... terlalu cukup, terlalu banyak... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana... betapa aku
berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi..., ahhh, kata-katamu tadi... Milana, orang yang paling
kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini... maafkan aku... akan tetapi
aku cinta padamu... dan... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati...? Benarkah
pendengaranku?"
"Singg...! Krekkk... plakkk! Aduhhh...!"
Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya terpelanting, tombaknya patah dan
kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang
matanya dari wajah Milana.
Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. "Gak-twako, mengapa baru
sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"
"Milana... betapa aku berani... kau... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar
Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta!
Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apa pun yang akan
terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati.
Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak...! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa
engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana,
dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali.
Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super
Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu...
hemmm... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako..."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau,
memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku
terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!" Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir
bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya
lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah
kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak
melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga
sinkang mengejutkan pendeta itu, apa lagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan
dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana kau?" Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang
Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap.
Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah
Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan
telapak tangannya pula.
"Dessss...!"
Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang
saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin
pucat wajah Wan Keng In dan biar pun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini
sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak sangat
terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek
setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!
Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke
depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!"
Empat orang anggota pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman
kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya
yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal
tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan
memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biar pun dia
berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada
kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajahnya yang
berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingatingat
siapa gerangan pemuda tampan yang wajahnya berseri-seri tertimpa cahaya obor yang dinyalakan
oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana
dan kapan.
Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tak pernah disangkasangkanya
atau diharapkannya itu, membuat hatinya sangat riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak
memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau
Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang
menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apa pun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan
kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan
kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan
membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama
Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu,
Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu
pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Ada pun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang
telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang
rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu...!"
"Wuuuuttt... plakkk!"
Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting saat dia tergopohgopoh
menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan
tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan
pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti
cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan
serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata
itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang
pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan
menyambut terjangan mereka.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok
oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti
ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk
beberapa orang Nepal dan panglima.
Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi
penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang
mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu
oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Ada pun anak
buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di
tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai
terselimut malam gelap.
"Kok-kok-kok heeehhhh!" Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian
menyusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya
dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg... syet-syet-syettt...!"
Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani
memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapa pun
cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok
berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt... singgg... cing-cing...!"
"Hemmm...!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika melihat sinar kilat menyambar
ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga
dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan
mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang
Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir
balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
"Syuuuuutttt... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biar pun dia sudah bergerak cepat sekali,
masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu
dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah
menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata
mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua
buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri.
Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka
menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara
berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam
setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok,
berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah
punggung Bun Beng!
"Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali.
Tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh
lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan
siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti
Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg...!"
Bhe Ti Kong berseru kaget. Cepat ia menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi
tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok
rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk
membunuhnya.
"Singgggg...!" Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti
Kong.
"Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang
diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok
besar itu patah menjadi dua potong!
"Trangg-tranggg...!"
Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis
serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya
mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah
menerjang lagi. Biar pun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat
sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk
menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok
buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang
panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali
sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi
mereka dengan tombak di tangan!
Akan tetapi, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan.
Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lammo-
kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk
menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun
Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapa pun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikit pun
juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk,
merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu
terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan
Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil
sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan
untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai
dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.
Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa
seperti akan pecah dan napas menjadi sesak. Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan
bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya
sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.
Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil
membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih
sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan.
Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak
dari tusukan Lam-mo-kiam, kemudian menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama.
Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah
pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani
menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng,
akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!
Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi
nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari
tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
"Desss...!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang
menyeleweng tidak jadi mengenai kepala melainkan hanya menghantam pundak Thian Tok Lama. Biar pun
menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi hantaman
yang keras dari Keng In itu pun membuat Bun Beng terjengkang!
Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang
pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil
membunuh pemuda yang berbahaya ini, apa lagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya
menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.
Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa
dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak
tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Pengerahan
tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin
banyak keluar dari mulutnya, tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe
Ti Kong yang terdorong ke depan.
"Crappp.... auggghhh...!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan
betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya.
Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia...!" Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In
mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia perlu apa
dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban...!" Kembali Lammo-
kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mokiam.
Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja,
dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita..."
"Hmm..." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah
punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
"Desss!"
Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biar pun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan
mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, namun tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan
sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh
pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia telah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan,
dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok." Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu
bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama membantah dan Wan
Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan
kecewa telah kehilangan Milana. Betapa pun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia
menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jeri juga.
Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian
lihainya, apa lagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus
bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia
dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga
mempunyai banyak orang pandai itu.
Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, mereka pergi keluar dari hutan
menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di
atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama dan Wan
Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap
waspada. Baik Wan Keng In mau pun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama
menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.
Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda,
bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah
dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di
hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri
Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak
haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah
menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah
bebas! Dia akan menyambut kematian atau apa pun juga dengan senyum bahagia!
Ia mengerling ke arah kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang
golok. Hemmm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhongkoksu
atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian
gurunya.
Bun Beng mencoba mengerahkan sinkang-nya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab
pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan!
Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin
membawa maut.
Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda
Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya
hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada
harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama.
Kalau dia melanjutkan pengerahan sinkang-nya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!
Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biar pun agaknya ketika dia pingsan dia menderita
pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia
belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih
mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan
tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.
Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal
dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota
raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan
hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik. Tiba-tiba terdengar suara
teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun
bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka
mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini
menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi
ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah
rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar
suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang
bambu.
Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun
bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata
hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang
menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya.
Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang
bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh
dengan perut tertembus batang bambu, sedang Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas
punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
"Tawanan lenyap!"
"Kejar...!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka
terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata Wan Keng In
yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikutikut,
kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat
melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama.
Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!"
Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jeri mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek
Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa
memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thianliong-
pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk
pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil
memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih
terbelenggu kaki tangannya.....
********************
Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri
yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak
menduga bahwa di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan
untuk menjatuhkannya.
Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang
tak lepas dari pada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah
Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya.
Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah
seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan
melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan
ayahnya sendiri!
Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita
muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari
kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk digunakan
sebagai ‘persembahan’, dan tentu saja dengan harapan akan mendapatkan balas jasa.
Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan
persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang
masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, sudah pasti mereka menderita dan tentu saja akibatnya
memungkinkan terjadinya pelanggaran dan ketidak setiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung
dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan
pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka
merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai
orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik
mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah
mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali
dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara
ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak
melihat sendiri, mendengar penuturan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki
kecantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan,
seorang dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa. Para
thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya
suka mengeluarkan perasaan iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani
mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para
pelayan sekali pun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang
bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis
persembahan Koksu yang datang menghadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain dari pada
biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan
yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu.
Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan,
dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan
memerintahkan Si Juwita datang menghadap dan melayaninya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan
lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah
kasur-kasur tebal yang memenuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan
bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah.
Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar. Thaikam
berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan
lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar
langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya berbisik-bisik
mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar
selalu dijaga oleh pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan
wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar
apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan.
Empat orang pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka
yang duduk bersimpuh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar ke arah
kamar dan jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Biar pun mata mereka tidak mungkin menembus
dinding kamar untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat dari
papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara
yang lirih sekali pun, seperti berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas.
Dara itu benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang dan bersih, tampak putih
kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk
selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh
yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu tiba di depan
pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga
kedua lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka,
rambutnya tergerai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari celahcelah
rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar dari selimutan sutera, tampak
putih bersih dan halus bagaikan lilin diraut!
Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi
atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak
terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus, "Bangunlah...!"
Tubuh yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak
itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk. Wajahnya tampak cantik
jelita dan segar kemerahan kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu,
senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan
pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi,
leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk
dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang
bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juwita sayang... jangan takut dan malu, ke sinilah...," kembali Kaisar berbisik.
Muka itu makin meriunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah
dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri
Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak
berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan
pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan
tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit
bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar
pucat sebentar merah.
Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan
yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu
roboh tewas, dan seorang di antara para gadis pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian
nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai.
Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti
gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan
yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya! Tanpa terlihat oleh
Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan
jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala
Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu tiba-tiba
mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi
terkejut sekali, serta-merta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke
arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah
dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menjatuhkan diri
berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa engkau sungguh berani
mati sekali! Pengawal...!"
"Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris Paduka juga
terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan
dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya
mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan
sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis
terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar
terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa... apa yang telah terjadi...?" Kaisar bertanya tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.
"Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang bertindak lancang ini. Persekutuan pemberontak telah
merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang
bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam
pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa
perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun
tangan membunuhnya."
"Apa...?! Pemberontak? Koksu?! Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar...!"
Tepat pada saat itu pula muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan
tangan dan dua batang pisau terbang meluncur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke
depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar,
kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua
orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhhh... lekas ceritakan dengan
singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini. Pemberontakan
direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu beserta kaki tangan mereka, bahkan di
perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol
dan Tibet. Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam..."
"Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu?
Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para
pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan penuh kepadamu."
"Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi
pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah
perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat
keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela
napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar
menekan tombol di sudut kamar.
Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran
senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas
sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok
mereka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing... crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata tajam, akan tetapi
Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal itu, membalas
serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas
membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang
Nepal dan tiga orang Han, dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka
bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi
dengan golok.
Akan tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar
biasa. Biar pun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok,
Lulu sama sekali tidak mengelak, bahkan kedua tangannya mengembang menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan
patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa
kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena ‘bacokan’ kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia...!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut.
Orang ini berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum
arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal,
dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu
dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah
mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas. Dia diam tak bergerak, hanya kedua matanya saja yang
bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka
itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula
Lulu memandang rendah, sungguh pun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali
memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang
masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil bernyanyinyanyi
memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk
menundukkannya.
Tak tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu,
terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan
menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di
kedua tangan, dan orang ketiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya
serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak
lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambut serangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari
terbuka mencengkeram ke depan!
Tanpa disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu,
yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khikang saking marah tadi. Akibat dari terjangannya yang
dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya
oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi
terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ketiga langsung terhuyung-huyung
mundur ketakutan!
Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui
kepala para pengurungnya karena pada saat itu sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok
menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka
oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu
telah berada di atas sebuah meja!
Orang-orang Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang
sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan meja itu
bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah
pertempuran yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja, tidak mudah bagi
pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung hawa sinkang
yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu
dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia
yang dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu.
Betapa pun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani
bersikap sembrono dan memandang rendah. Ia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan
setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat
orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke
atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak
buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari
guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng,
dan disemburkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu.
Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal
itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan
mendorong sambil mengerahkan sinkang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main
melihat betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus
menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke
arah meja yang diinjaknya.
"Desssss!"
Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan
mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah
kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Biankun!
Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah Lulu, tidak
tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat
menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak
tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan
tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!"
Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika
merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sinkang
yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam
pukulan halus yang amat berbahaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lulu memperoleh ilmu pukulan mukjizat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau
Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa
tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima
pukulan ini secara terbuka seperti itu.
Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti kemasukan
api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak
tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan
muka berubah hitam!
Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan
mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara
mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di
dalam kamar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah
mereka menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu
berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian,
muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh
menjadi makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang
demi seorang!
Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan pembunuh roboh,
daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang
kaget saat mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang
si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak marah.
Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja
karena dia percaya kepada Koksu. Tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liongpang
juga merupakan pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan
pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai
dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia.
Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus,
mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan kiri dan lima
orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun
kaget sekali.
"Biarkan hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang, sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah
melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan dan tempat yang jauh berlainan dari
yang pertama, dua orang wanita sakti ini saling berhadapan!
Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama
puterinya? Telah kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu
dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu
terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai
sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha
mereka membobol keluar dari kepungan.
Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah
memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang.
Akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thianliong-
pang, dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan
bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang
memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan kaki tangannya kurang
dunia-kangouw.blogspot.com
kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan
dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang istana Koksu.
Mereka lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke markasnya, sedangkan
Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari
tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana...!" dia memanggil dengan hati merasa tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan
kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.
"Ibu...!" Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak enak lagi.
"Apa yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak.
Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian
Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar
tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah
bukan main.
"Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun...!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana berkata penuh sakit hati.
"Bagaimana engkau dapat lolos?" Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. "Dia memaksa aku
melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm..., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak disangka. Milana, sekarang juga kita harus
menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu kerajaan dan
membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang
pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan
langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani
mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di
istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang bersorban
tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar
yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar untuk
membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya.
Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap menantang!
"Hemm, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi
tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh
Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut
kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita
berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu
ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana bagian puteri dan
cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua
pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar lagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah untuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan,
menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah
seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bunhoat
dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu
menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!
"Aihh, ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu
malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!" Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus dan Lulu tersentak
kaget.
"Kau... kau... siapakah...?"
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru