Selasa, 08 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Lanjutan Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis

Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Lanjutan Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Lanjutan Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis
kumpulan cerita silat cersil online
-
"Haaiiiii... hiiyooooo... huiiiiii...!"
"Eh, Bu-te (adik Bu), jangan main-main! Angin bertiup begini kencang, lekas duduk dan membantu aku.
Gulung layar itu, kita bisa celaka kalau angin sebesar ini dan layar tetap berkembang!"
"Yahuuuuu...! Wah, dengar, Lee-ko (kakak Lee), suara terbawa angin tentu terdengar sampai jauh.
Hiyooooohhhhh...!"
Mereka adalah dua orang anak laki-laki yang menjelang dewasa, berusia empat belas tahun, berwajah
tampan dan bertubuh tegap kuat. Mereka ini kakak-beradik yang mempunyai ciri wajah berbeda sungguh
pun sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tampan. Yang disebut Lee-ko adalah Suma Kian
Lee, sedangkan adiknya itu adalah Suma Kian Bu, dan kedua orang anak laki-laki ini bukan anak-anak
nelayan biasa yang bermain-main dengan perahu mereka, melainkan putera-putera Pendekar Super Sakti
Suma Han atau yang lebih terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan
Pulau Es!
Pendekar Super Sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai selama bertahun-tahun, tinggal di Pulau Es
bersama dua orang isterinya, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang isteri yang cantik jelita dan mencinta
suaminya dengan sepenuh jiwa raga mereka. Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan betapa
suami dengan kedua orang isterinya ini baru berkumpul kembali di pulau itu setelah mereka berusia empat
puluh tahun dan hidup bertiga di pulau kosong itu, mengasingkan diri dari dunia ramai dan saling
mencurahkan kasih sayang yang terpendam selama belasan tahun berpisah!
Dari curahan kasih sayang yang amat mendalam dan mesra itu, terlahirlah dua orang anak laki-laki itu.
Lulu melahirkan puteranya lebih dahulu, dan anak itu diberi nama Suma Kian Lee. Setengah tahun
kemudian, Nirahai juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Suma Kian Bu. Tentu saja
kelahiran dua orang anak laki-laki itu menambah rasa bahagia di dalam kehidupan mereka bertiga
sehingga tidak begitu terasalah kesunyian di pulau itu. Dan setelah kedua orang anaknya terlahir, demi
kepentingan dua orang anaknya, Suma Han tidak lagi pantang bergaul dengan orang lain, bahkan sering
kali dia mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Pulau Es mengunjungi pulau-pulau lain di
dekat daratan besar yang dihuni oleh nelayan-nelayan.
Karena kedua orang anak itu lebih mirip dengan ibu masing-masing, maka biar pun keduanya sama
tampan, namun terdapat perbedaan dan ciri khas pada wajah mereka, juga semenjak kecil sudah tampak
perbedaan watak mereka yang menyolok sekali. Suma Kian Lee, putera Lulu, berwatak lembut dan halus,
sabar dan tidak pernah melakukan kenakalan, juga pendiam. Sebaliknya, Suma Kian Bu, putera Nirahai,
amat nakal dan periang, mudah tertawa dan mudah menangis, bandel dan berani, akan tetapi juga amat
mencinta kakaknya dan betapa pun nakalnya, akhirnya dia selalu tunduk dan taat kepada kakaknya.
Padahal dia berani membangkang terhadap ibunya sendiri, bahkan kadang-kadang dia berani menentang
ayahnya!
Pada pagi hari itu, ketika kedua orang ibu mereka sedang sibuk di dapur dan ayah mereka seperti biasa di
waktu pagi hari duduk bersemedhi dalam kamar semedhinya, mereka berdua bermain-main dengan
perahu mereka. Kemudian timbul niatan tiba-tiba dalam kepala Suma Kian Bu untuk pergi menggunakan
perahu ke daratan besar dan mencari enci-nya (kakak perempuannya) yang tinggal di kota raja!
Memang anak ini mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Puteri Milana. Puteri Nirahai
adalah puteri Kaisar Tiongkok yang lahir dari seorang selir, maka anaknya yang pertama, yang bernama
Milana, juga seorang puteri, cucu kaisar! Di dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis dituturkan betapa Puteri
Milana, kakak Suma Kian Bu ini, oleh ayahnya diharuskan ikut kakeknya, Kaisar Tiongkok, untuk tinggal di
istana kaisar dan selanjutnya mentaati semua perintah kakeknya itu.
Akhirnya oleh kaisar, Puteri Milana yang cantik jelita itu dijodohkan dengan seorang panglima muda yang
juga berdarah bangsawan, setelah panglima muda ini berhasil keluar dari sayembara yang diadakan oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana. Dara bangsawan itu, cucu kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, hanya mau dijodohkan dengan
seorang yang mampu menahan serangannya selama seratus jurus! Dan kalau dia menghendaki, sukarlah
ditemukan orang yang dapat menahan seratus jurus serangannya. Akan tetapi ketika Han Wi Kong,
panglima muda itu memasuki sayembara, pemuda perkasa ini berhasil mempertahankan diri dan dialah
yang terpilih menjadi suami puteri jelita dan perkasa itu! Sesungguhnya, hal ini hanya dapat terjadi karena
memang Milana memilihnya di antara sekian banyaknya pelamar yang datang memasuki sayembara.
Ketika diadakan pesta pernikahan Puteri Milana, Pendekar Super Sakti bersama kedua orang isteri dan
kedua orang puteranya datang pula ke kota raja. Hal ini terjadi ketika kedua orang puteranya masih kecil,
baru berusia lima atau enam tahun dan itulah pengalaman pertama dari kedua orang anak ini melihat kota
raja!
Demikianlah pagi hari itu Suma Kian Bu membujuk kakaknya untuk pergi menyusul enci-nya (kakak
perempuannya) di kota raja. Tentu saja Suma Kian Lee menolak dan mengingatkan adiknya bahwa kota
raja amatlah jauh dan pergi ke sana tanpa ijin ayah mereka tentu akan membuat ayah mereka marah.
Akan tetapi, Suma Kian Bu merengek dan akhirnya Suma Kian Lee yang amat sayang kepada adiknya,
terpaksa menyanggupi dan berlayarlah keduanya meninggalkan Pulau Es!
Biar pun kedua orang anak laki-laki itu baru berusia empat belas tahun, akan tetapi sebagai putera-putera
Pendekar Super Sakti, tentu saja mereka tidak dapat disamakan dengan anak-anak lain yang sebaya
dengan mereka. Semenjak kecil mereka berdua telah digembleng oleh ayah bunda mereka yang berilmu
tinggi sehingga mereka merupakan dua orang anak-anak yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi
dan memiliki tenaga sinkang latihan Pulau Es yang mukjijat.
Betapa pun juga, mereka hanyalah anak-anak dan sifat kanak-kanak mereka yang suka bermain-main
masih melekat dalam hati mereka. Setelah mereka menjelang dewasa, jiwa petualang yang terdapat dalam
hati semua anak laki-laki bergejolak dan kini dicetuskan oleh Kian Bu yang mengajak kakaknya untuk pergi
merantau, menyusul enci-nya di kota raja.
Perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Es karena angin di pagi hari itu bertiup kencang sehingga
layar yang mereka pasang berkembang penuh. Akan tetapi makin lama angin bertiup makin kencang
sehingga Kian Lee merasa khawatir sekali karena perahu mereka sudah miring-miring dan meluncur terlalu
cepat. Sebaliknya Kian Bu masih bermain-main, berdiri di kepala perahu, bertolak pinggang dan berteriakteriak
membiarkan suaranya dibawa angin.
"Bu-te, cepat bantu. Berbahaya kalau begini, kurasa akan ada badai!" Kian Lee yang mengemudikan
perahu dengan dayungnya berteriak lagi.
Mendengar disebutnya ‘badai’, otomatis Kian Bu menghentikan teriakan-teriakannya dan air mukanya
berubah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggulung layar dan membantu kakaknya mendayung sambil
berbisik, "Benarkah ada... badai, Lee-ko?"
"Entahlah, mudah-mudahan saja tidak," jawab kakaknya. "Dan payahnya, mungkin kita salah jalan, Bu-te.
Mengapa belum juga nampak daratan besar?"
Dua orang kakak-beradik ini memang agak gentar terhadap badai. Pernah ayah mereka bercerita betapa
hebatnya kalau badai telah mengamuk di daerah lautan ini. Bahkan menurut cerita ayahnya, Pulau Es
sendiri pernah diamuk badai sampai tenggelam di bawah permukaan air laut! Betapa mengerikan. Kata
ayah mereka, dahulu pulau mereka itu merupakan sebuah kerajaan, akan tetapi semua penghuninya
dibasmi habis oleh badai dan hanya tinggal bangunan istananya saja. Biar pun mereka berdua yang sejak
kecil tinggal di pulau dan tidak asing dengan lautan, bahkan ahli dalam ilmu renang, pandai pula
menguasai perahu, namun mendengar tentang badai sehebat itu, mereka merasa gentar juga. Dan
sekarang, berada di tengah lautan, jauh dari Pulau Es, mereka merasa ngeri kalau-kalau ada badai akan
mengamuk.
"Lee-ko, bukankah daratan besar letaknya di sebelah barat?"
"Menurut ibu demikian dan tadi aku sudah mengarahkan perahu ke barat. Akan tetapi, angin kencang
mengubah haluan dan kita agaknya menyimpang ke utara. Awas, Bu-te, angin makin kencang!"
Kedua orang pemuda tanggung itu kini tidak bicara lagi, tetapi menggerakkan dayung dengan amat hatihati
untuk mengemudikan perahu mereka yang mulai dipermainkan ombak. Makin lama angin makin
dunia-kangouw.blogspot.com
kencang bertiup dan ombak makin membesar hingga perahu mereka diombang-ambingkan bagai sebuah
mainan kecil dipermainkan tangan-tangan raksasa! Mereka tidak dapat lagi menentukan arah, hanya
mempergunakan tenaga melalui dayung untuk menjaga agar perahu mereka tidak sampai terbalik.
"Tenang saja, Bu-te...," di tengah-tengah amukan ombak itu Kian Lee berkata kepada adiknya.
Kian Bu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Lee-ko, harap jangan khawatir."
Dua orang pemuda tanggung itu memang memiliki nyali yang amat besar. Biar pun keadaan mereka cukup
berbahaya, namun keduanya masih tenang saja, percaya penuh akan kekuatan dan kemampuan diri
sendiri.
"Dukk! Dukk!"
"Apa itu...?" Kian Bu berteriak kaget, cepat menggerakkan dayung untuk membantu kakaknya mengatur
keseimbangan perahu yang tadi terpental seolah-olah ditabrak sesuatu.
"Hemmm, ikan-ikan hiu...! Lihat itu mereka!" Kian Lee berseru sambil menuding ke depan.
Tampaklah sirip-sirip ikan hiu yang berbentuk layar itu meluncur di dekat perahu mereka. Agaknya ikanikan
itu sudah tahu bahwa perahu kecil itu ditumpangi dua orang yang tentu akan menjadi santapan lezat
bagi mereka kalau perahunya dapat terguling. Mereka tadi tidak sengaja menabrak perahu, akan tetapi
melihat dua orang di atas perahu, ikan-ikan itu lalu berenang di kanan kiri perahu, agaknya menanti
dengan tak sabar lagi sampai dua orang manusia yang akan dijadikan mangsa mereka itu terjatuh ke air
dan diperebutkannya.
"Setan air!" Kian Bu memaki. "Lee-ko, jaga perahu, biar kuhajar mereka!"
Tanpa menanti jawaban kakaknya, Kian Bu sudah meloncat keluar dari perahunya, dipandang dengan
mata penuh kegelisahan oleh kakaknya. Kakak ini maklum akan keberanian dan kenakalan adiknya, akan
tetapi kadang-kadang dia harus menahan napas menyaksikan kenakalan Kian Bu, apa lagi sekarang!
Kian Bu yang meloncat keluar itu menggunakan kakinya hinggap di atas sirip seekor ikan hiu besar,
sedangkan dayung di tangannya, dayung yang ujungnya dipasangi besi, dihantamkan ke kanan kiri
mengenai dua ekor ikan hiu lain, tepat di bagian kepala sehingga kepala dua ekor ikan itu pecah. Segera
terjadilah pesta pora, karena dua ekor ikan hiu yang terluka kepalanya dan mengeluarkan darah itu telah
dikeroyok oleh belasan ekor ikan hiu lainnya sehingga dalam waktu sebentar saja daging mereka terobekrobek
dan ditelan habis. Kian Bu sudah meloncat lagi ke atas perahunya dan sambil tertawa-tawa dia
membantu kakaknya untuk mendayung perahu meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi karena gelombang lautan masih amat besar, usaha mereka mendayung perahu itu hanya
sedikit sekali hasilnya, perahu mereka tetap saja diombang-ambingkan dan mereka tidak tahu lagi ke mana
mereka akan dibawa oleh perahu.
"Bu-te, lihat di sana ada pulau!"
Kian Bu menoleh ke kiri dan tampak olehnya sebuah pulau kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak
karena perahu mereka masih dipermainkan ombak yang naik turun bergelombang. "Lee-ko, mari kita ke
sana!"
Dengan susah payah kedua orang kakak beradik ini mendayung perahu mereka dan akhirnya mereka
dapat juga mendarat di pulau kecil itu dan menarik perahu sampai ke atas daratan yang tidak tercapai oleh
air yang bergelombang. Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh rendah seperti ada puluhan ekor anjing
menggonggong dan menyalak. Ketika mereka naik ke tengah pulau yang agak tinggi, tampaklah oleh
mereka pemandangan yang menakjubkan. Kiranya pulau itu merupakan tempat tinggal atau sarang dari
sekawanan anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor!
"Lee-ko, betapa lucunya mereka. Mari kita menangkap seekor anak anjing laut yang jumlahnya mungkin
lebih dari seratus ekor dan kita bawa pulang!" Kian Bu sudah berlari menuju ke tempat itu.
"Jangan, Bu-te!" Kian Lee melarang, akan tetapi karena adiknya sudah berlari cepat, terpaksa dia
mengejarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rombongan anjing laut itu makin hiruk-pikuk mengeluarkan teriakan-teriakan mereka ketika melihat dua
orang manusia yang berlari menuju ke arah mereka itu, dan dalam sekejap mata saja mereka telah terjun
ke air dan berenang ke tengah laut. Tampak tubuh mereka itu timbul tenggelam dan suara mereka masih
menguik-nguik sebagai tanda kemarahan karena ketenangan mereka terganggu.
"Bu-te, jangan ganggu mereka. Bukankah tujuanmu mencari enci Milana, mengapa kau hendak
menangkap anjing laut?" Kian Lee menegur.
Kian Bu tertawa. "Aihhh, aku sudah lupa lagi akan tujuan perjalanan kita, Lee-ko. Padahal, selain kita
masih jauh dari kota raja, sekarang kita bahkan tidak tahu lagi di mana kita berada."
Suara gerengan dahsyat yang menggetarkan pulau itu mengejutkan mereka. Ketika mereka membalikkan
tubuh, ternyata di depan mereka telah berdiri seekor binatang yang besar sekali. Besar dan tinggi binatang
itu ada satu setengah kali manusia dewasa dan binatang itu adalah seekor beruang es yang bulunya putih
seperti kapas, mata dan moncongnya kemerahan. Biar pun jarang mereka bertemu dengan seekor
beruang es, namun kedua kakak beradik itu mengerti bahwa binatang itu marah sekali. Mereka sudah siap
dan waspada menghadapi segala kemungkinan.
Sekali lagi binatang itu menggereng dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan. Walau pun tubuhnya
amat besar dan canggung, namun ternyata binatang itu dapat bergerak dengan cepat sekali, dan dari
sambaran angin tahulah dua orang kakak beradik itu bahwa beruang es ini memlliki tenaga yang amat
besar.
"Awas, Bu-te!" Kian Lee berseru memperingatkan sebab yang terdekat dengan beruang itu adalah Kian Bu,
maka pemuda inilah yang lebih dulu menjadi sasaran serangannya.
Suma Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat berani dan agak ugal-ugalan, terlalu mengandalkan
kepandaian dan tenaganya sendiri, berbeda dengan kakaknya yang lebih berhati-hati. Melihat beruang itu
menubruknya dengan kedua kaki depan diangkat hendak mencengkeramnya dari kanan kiri, Kian Bu cepat
menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dukkk!"
Tubuh Kian Bu terjengkang dan tenaga dahsyat dari beruang itu membuat dia jatuh terguling-guling.
Beruang itu agaknya juga merasa nyeri kedua kakinya ketika terbentur oleh lengan pemuda yang
mengandung tenaga sinkang itu, maka dia menggereng lagi penuh kemarahan, lalu secepat kilat dia
menubruk pemuda yang masih bergulingan di atas tanah itu!
Melihat bahaya mengancam adiknya, Kian Lee cepat menyambar dari samping, memukul ke arah kepala
beruang sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dahsyat. Dengan tenaga sinkang istimewa ini, Kian Lee
sanggup menghantam remuk batu karang!
Akan tetapi ternyata beruang yang besar itu gesit sekali, kegesitan yang dikuasainya bukan karena ilmu
silat, melainkan karena keadaan hidupnya yang setiap saat penuh bahaya, membuat dia gesit dan
waspada. Nalurinya tajam sekali dan perasaannya amat peka. Begitu pukulan dahsyat itu menyambar, dia
sudah dapat mengelakkan kepalanya, dan kedua kaki depannya yang tadi menubruk ke arah Kian Bu, kini
menyimpang dan menghantam pundak Kian Lee.
"Wuuuuttt... dessss!"
Kian Lee cepat mengelak, melempar diri ke kanan, kemudian dari kanan dia sudah menampar dengan
telapak tangan kanannya yang tepat mengenai punggung beruang es. Tamparan ini keras sekali, namun
agaknya tidak terasa oleh beruang itu yang hanya terhuyung sedikit, menurunkan kedua kaki depannya ke
atas tanah, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat dan menubruk orang yang telah menampar pundaknya
itu.
"Awas, Lee-ko...!"
Kian Bu yang terkejut melihat serangan beruang itu yang menubruk dengan cepat dan agaknya tak
mungkin dapat dielakkan oleh kakaknya karena jaraknya terlalu dekat, sudah berteriak dan menubruk ke
depan. Dia merangkul kedua kaki belakang beruang itu dari belakang sehingga beruang yang sedang
dunia-kangouw.blogspot.com
menubruk itu terguling, membawa tubuh Kian Bu terguling bersamanya! Karena Kian Bu mempergunakan
ginkang-nya, membuat tubuhnya ringan dan gerakannya gesit sekali, dia berhasil jatuh di bagian atas,
menindih tubuh beruang es itu.
Akan tetapi celaka baginya, binatang raksasa itu telah menggunakan kedua kaki depannya yang amat kuat
untuk merangkul pinggangnya dan menarik sekuat tenaga, agaknya berusaha untuk mematahkan tulang
punggung pemuda itu.
"Auggghhh...!" Kian Bu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, akan tetapi ternyata
binatang itu memiliki tenaga kasar yang kuat sekali!
"Plak! Desss!"
Tubuh binatang itu terlempar ketika pada saat yang tepat Kian Lee telah menolong adiknya dengan
memukul tengkuk binatang itu dari atas, dan tepat pada saat itu juga, Kian Lee telah menggunakan kedua
tangannya untuk menghantam dada binatang itu. Menerima pukulan Kian Lee yang dahsyat, seketika
pelukan binatang itu mengendur, maka ketika dadanya dihantam, dia terlempar dan bergulingan.
"Bu-te, hati-hati, dia buas sekali!" Kian Lee memegang tangan adiknya dan kini kakak beradik itu berdiri
berdampingan, siap untuk mengeroyok binatang yang amat kuat itu.
Beruang es itu pun berdiri di atas kedua kaki belakang, matanya makin merah menatap kedua orang muda
penuh kemarahan, mulutnya mendesis-desis memperlihatkan taringnya, tetapi agaknya dia gentar juga
menghadapi dua orang lawan yang cepat itu. Akhirnya, tidak kuat dia menghadapi tatapan pandang mata
yang amat tajam dan pantang menyerah dari kedua orang muda itu, beruang ini mundur-mundur,
kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari situ.
"Bu-te, mari kita lekas kembali ke perahu. Tempat ini berbahaya," kata Kian Lee yang segera lari diikuti
oleh adiknya, kembali ke perahu mereka.
Mereka cepat menarik perahu ke laut dan ternyata bahwa laut telah mulai tenang. Kini tampaklah sebuah
pulau memanjang yang berwarna hitam, tak jauh membentang di depan.
"Agaknya pulau itu tidak seliar tempat ini, Lee-ko. Mari kita ke sana, siapa tahu kita dapat bertemu dengan
nelayan dan kita dapat bertanya arah ke daratan besar kepadanya."
Kian Lee setuju dan mereka lalu mengembangkan layar. Angin perlahan meniup layar dan tak lama
kemudian mereka telah tiba di pulau yang kelihatan penuh dengan hutan liar itu. Tadinya mereka merasa
ragu-ragu untuk mendarat, akan tetapi ketika mereka melihat sebuah perahu kecil berwarna hitam berada
di tepi pantai, mereka menjadi girang dan cepat mendaratkan perahu mereka dekat perahu hitam,
kemudian mereka meloncat turun.
Akan tetapi baru saja kedua orang kakak beradik ini melangkah menuju ke tengah pulau, tiba-tiba dari
dalam hutan tampak belasan orang berlari-larian keluar dan yang mengejutkan hati kedua orang pemuda
Pulau Es itu adalah ketika mereka melihat gerakan belasan orang itu.
Gerakan mereka ketika berlari amat cepat, tubuh mereka berkelebatan seperti terbang, tanda bahwa
belasan orang itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi! Yang lebih mengherankan dan
menyeramkan lagi adalah seorang yang memimpin rombongan itu, seorang kakek yang usianya tentu
sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar dan dua pasang kaki tangannya yang
tampak sebatas lutut dan siku, penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar!
Siapakah mereka itu? Pertanyaan ini mengganggu pikiran kedua kakak beradik itu. Tentu saja mereka
tidak tahu dan mereka sama sekali juga tidak pernah menyangka bahwa mereka yang diserang gelombang
besar itu ternyata telah kesasar ke Pulau Neraka! Pulau Neraka adalah sebuah pulau yang baru dua tiga
puluh tahun ini terkenal sekali, bahkan sama terkenalnya dengan Pulau Es. Sebetulnya, Pulau Neraka ini
menurut riwayatnya masih ada hubungannya dengan Pulau Es (baca ceritera Sepasang Pedang Iblis).
Dahulu kala, ratusan tahun yang lalu, ketika di Pulau Es masih terdapat sebuah kerajaan kecil, Pulau
Neraka merupakan tempat pembuangan orang-orang yang melakukan dosa besar. Akhirnya, setelah
kerajaan di Pulau Es terbasmi habis oleh badai (baca ceritera Bu-kek Sian-su) sehingga seluruh
penghuninya tewas, Pulau Neraka dengan penghuninya merupakan daerah yang bebas. Bahkan di dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
ceritera Sepasang Pedang Iblis, Lulu isteri Pendekar Super Sakti pernah pula menjadi ketua atau majikan
dari Pulau Neraka ini.
Setelah Pulau Neraka kehilangan semua tokohnya dan tidak ada yang memimpin lagi, terjadilah perebutan
kekuasaan. Akan tetapi baru tiga tahun yang lalu, Pulau Neraka kedatangan seorang kakek raksasa yang
amat sakti, yang dengan kepandaiannya menundukkan semua penghuni Pulau Neraka sehingga otomatis
dia diangkat menjadi ketua.
Dia memperkenalkan diri dengan nama julukan Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) dan memang
dia pantas memakai nama julukan seperti itu karena selain tubuhnya seperti raksasa dan mukanya yang
terhias caling itu seperti iblis, juga dia datang ke Pulau Neraka dengan menunggang seekor burung
rajawali hitam! Lebih hebat lagi, di belakang burung rajawali hitam ini terdapat dua ekor burung rajawali lain
yang berbulu putih dan bermata emas, akan tetapi dua ekor burung rajawali ini masih muda dan agaknya
takluk kepada burung rajawali hitam sehingga dia ikut saja ke mana sang rajawali hitam itu terbang.
Hek-tiauw Lo-mo memang seorang sakti. Dia datang dari daratan negara Kolekok (Korea) dan di sana dia
menjadi orang buruan pemerintah karena dia merupakan seorang penjahat yang kejam dan dimusuhi
pemerintah dan semua orang gagah. Karena merasa tidak aman berada di negaranya sendiri, Hek-tiauw
Lo-mo melarikan diri dengan sebuah perahu ke selatan. Di dunia selatan, dia berhasil menjadi raja suatu
bangsa yang masih biadab dan yang tinggal di dalam hutan-hutan pegunungan yang amat liar.
Karena kepandaian dan kekuatannya, bangsa biadab ini tunduk kepadanya dan sampai sepuluh tahun dia
menjadi raja mereka. Selain dapat memperoleh ilmu-ilmu yang aneh dan tinggi, juga Hek-tiauw Lo-mo ini
ketularan kebiasaan dan kesukaan bangsa itu, yaitu kadang-kadang makan daging manusia, musuh
mereka dari lain suku yang menjadi korban perang! Agaknya kebiasaan memakan daging orang inilah yang
lalu membuat gigi calingnya menonjol keluar, membuat dia kelihatan menyeramkan, seperti seorang iblis.
Setelah tidak kerasan lagi tinggal bersama orang-orang liar dan merasa rindu kepada dunia ramai, Hektiauw
Lo-mo dengan membekal pengalaman hebat dan ilmu kepandaian yang tinggi, menggunakan perahu
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke utara. Kini dia tidak takut lagi dimusuhi oleh siapa pun juga
karena dia mempunyai andalan ilmu-ilmu yang tinggi dan sakti. Akan tetapi, ketika dia berlayar mencari
negaranya, dia tersesat jalan dan akhirnya dia tiba di sebuah pulau kosong yang tak pernah didatangi
manusia.
Di tempat ini dia diserang oleh tiga ekor burung rajawali tadi, akan tetapi karena kepandaiannya, dia
berhasil menundukkan mereka, bahkan membuat rajawali hitam yang liar dan ganas itu menjadi jinak dan
menjadi binatang tunggangannya. Ada pun dua ekor rajawali putih yang masih muda, menurut saja
kemana pun perginya rajawali hitam, maka sekaligus dia memperoleh tiga ekor binatang peliharaan yang
boleh diandalkan!
Setelah memiliki binatang tunggangan yang hebat ini, dia mencari lagi negaranya dengan menunggang
rajawali hitam. Akan tetapi kembali dia tersesat, dan kini rajawali itu membawanya turun ke Pulau Neraka!
Begitu melihat keadaan pulau ini dan melihat para penghuninya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian
tinggi, seketika hatinya tertarik. Dia menundukkan mereka semua dengan kepandaiannya dan mengangkat
diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka.
Karena selama perantauannya dia sudah membuang nama sendiri, melupakan nama itu yang dianggap
sebagai nama buronan yang rendah, maka dia memperkenalkan dirinya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. Nama
Hek-tiauw diambil dari nama tunggangannya, seekor burung rajawali hitam, dan nama Lo-mo diambilnya
karena dia memang merasa sebagai seorang iblis tua yang cocok menjadi ketua Pulau Neraka!
Demikianlah, selama tiga tahun Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua Pulau Neraka, dan dia malah menurunkan
ilmu kepada para penghuni Pulau Neraka yang kini hanya tinggal dua puluh orang pria dan tujuh orang
wanita itu. Empat orang di antara tujuh orang wanita yang masih muda, biar pun sudah menjadi isteri
empat orang penghuni Pulau Neraka, secara paksa diambil oleh Hek-tiauw Lo-mo sebagai selir-selirnya
sendiri! Dan dia menganjurkan kepada anak buahnya untuk mencari wanita dari perkampungan nelayan.
Dalam tiga tahun itu, bertambahlah penghuni Pulau Neraka dengan tiga puluh orang wanita lagi, wanitawanita
muda yang mereka culik dari perkampungan nelayan di sekitar laut itu.
Kedua kakak-beradik dari Pulau Es yang tadinya merasa girang melihat bahwa di pulau asing itu ada
penghuninya, yang menimbulkan harapan bahwa mereka akan dapat menanyakan arah menuju ke daratan
besar, kini menjadi terkejut sekali melihat orang-orang ini ternyata berkepandaian tinggi, bersikap liar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
rata-rata mereka mempunyai wajah yang pucat putih seperti dikapur, kecuali wajah kakek raksasa itu.
Lebih kaget lagi hati mereka melihat orang-orang itu telah mengurung mereka dengan sikap mengancam.
"Huah-ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak saking girang hatinya melihat dua orang laki-laki muda
yang bertubuh tegap sehat dan bersih itu. Mulutnya mengeluarkan air liur ketika seleranya bangkit!
Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali dan memandang dengan hati ngeri melihat betapa kakek
raksasa itu ternyata bercaling seperti beruang es yang belum lama ini mereka lawan!
Melihat sikap mereka yang mencurigakan dan mengkhawatirkan itu, Kian Lee sudah cepat mengangkat
tangan di depan dada, menjura sambil berkata, "Harap Cu-wi sudi memaafkan kami berdua kalau kami
mengganggu Cu-wi dan datang di sini tanpa ijin Cu-wi. Kami datang hanya ingin menanyakan sesuatu
kepada Cu-wi."
Mendengar cara bicara pemuda tampan itu yang halus dan teratur rapi, Hek-tiauw Lo-mo kembali tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, menarik sekali! Katakanlah, orang muda yang tampan, apa yang hendak kalian
tanyakan kepada kami?"
Kian Lee tak ingin berpanjang cerita, maka dia berkata singkat, "Kami berdua tersesat jalan karena terbawa
gelombang lautan dan kami ingin bertanya ke manakah arah daratan besar?"
Hek-tiauw Lo-mo menoleh ke kanan dan ke kiri memandang anak buahnya, tersenyum menyeringai lalu
berkata, "Dengarkah kalian? Mereka sudah datang ke daratan sini masih ingin mencari daratan besar.
Heh-heh!"
Semua penghuni Pulau Neraka yang kini telah datang berkumpul, tersenyum lebar menyeringai. Dua orang
pemuda tanggung itu menjadi makin gelisah dan mulailah mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal
yang tidak baik bagi mereka.
"Kalau Cu-wi tidak mau memberi tahu, biarlah kami pergi lagi saja dan kami tidak akan mengganggu lebih
lama lagi. Marilah, Lee-ko!" berkata Kian Bu yang sudah hilang sabarnya menyaksikan sikap mereka.
"Hai, nanti dulu! Kalian hendak pergi ke mana?" Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak
buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.
"Kami hendak pergi dari sini!" Kian Bu membentak, marah sudah.
Melihat kemarahan adiknya, Suma Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh kesabaran dan
ketenangan, "Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak pergi lagi dengan aman."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapa pun dia yang telah mendarat di Pulau
Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"
"Pulau Neraka...?" Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka
telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa
ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!
"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka?
Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.
"Ha-ha-ha-ha, mengapa kau katakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa
mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.
"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"
"Bu-te...!" Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.
Benar saja, kakek itu terkejut sekali, namun lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang
kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua tahu bahwa
majikan mereka yang dahulu sekarang telah menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka itu,
bertanya mendesak, "Benarkah demikian?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan
sesungguhnya, "Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi
sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang
putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."
Mendengar ucapan ini semua penghuni Pulau Neraka terbelalak. Serta merta mereka menjatuhkan diri
berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu! Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan
sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo
menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga
tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!
"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"
Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguh
pun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.
Hek-tiauw Lo-mo telah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan
kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.
"Bagus! Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super
Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging kalian yang
muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku
menjadikan kalian tahanan di sini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super
Sakti!"
Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya.
"Ji Song, engkau mau bicara apa?" Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya
tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.
Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi
orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan
Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Maka begitu
mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya. Kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan
hanya ketua Pulau Neraka, mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.
"Tocu, harap maafkan saya... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan... dengan Pendekar
Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan... dan sebaiknya kalau kedua
orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."
Raksasa itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara
aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia lain?
Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti
apakah Pendekar Super Sakti?"
"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu
berkata dengan suara mengejek. "Lagi pula tidak perlu ayah datang, kami berdua pun tidak takut
menghadapi kalian!"
"Bu-te...!" Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau
Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi benar.
Sebaiknyalah kalau di antara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."
"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah
kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang
belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Habis, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?" Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau
tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan kekerasan untuk
membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.
"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu
sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama kalian?"
"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap
kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami
akan kebaikan hatimu itu."
"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"
"Habis, kau mau apa?" Kian Bu membentak.
"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti
dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian
boleh pergi bersama ayahmu."
"Manusia sombong! Aku tidak takut, akan kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!" Kian Bu
membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak
ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan
banyak lawan yang mengurungnya.
Kian Lee yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah bersiap
untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan. Cepat dia meloncat di belakang
tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling
melindungi.
"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat
gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian ayahnya," kata
raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.
Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia
menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas
ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan
seorang di antara kedua pemuda ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya.
Tentu saja dia menjadi jeri sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu
juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti
membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh
lima orang pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.
"Tangkap mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak
buahnya itu.
Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja
mereka pun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati
mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua mereka itu! Akan tetapi
karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan
ragu-ragu membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu
meloncat maju mengurung dua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca,
sedikit pun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakan lima orang
pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap
siaga.
Lima orang itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua
orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling
memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang) seperti
yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo
mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia
sudah merasa yakin bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat
diringkus dan ditawan.
Tiba-tiba seorang di antara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati
saking tinggi lengkingannya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya. Teriakanteriakan
ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang
kuat sinkang-nya sudah akan dapat dirobohkan!
Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh disamakan dengan
dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua di situ (baca SEPASANG PEDANG IBLIS). Ketika Lulu masih
menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka
memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan sinkang mereka ditandai dengan warna muka
mereka.
Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi berwarna-warna,
ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya. Makin muda warna muka mereka,
makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat sinkang mereka. Ji Song yang kini menjadi pembantu
utama ketua baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi
sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah memberikan latihan baru dan
kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat demikian hebat hingga warna muka mereka telah
berubah menjadi putih semua. Putih seperti dikapur!
Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama
sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh
mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan
tenaga sakti beracun yang hebat!
Mendengar lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat
mengerahkan sinkang mereka. Biar pun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat
kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan lawan tangguh,
maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan khikang untuk merobohkan mereka
itu mereka menjadi terkejut sekali. Mereka mampu mempertahankan serangan suara khikang ini dengan
mudah, namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang.
Hal ini disalah tafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini
dianggapnya sebagai tanda bahwa sinkang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia tertawa bergelak dan
membentak, “Lekas tangkap mereka!”
Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang di
antara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu
sedangkan tiga orang yang lainnya sudah menerjang ke tengah-tengah di antara kedua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika
melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong di antara punggung mereka, keduanya terkejut
dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya
bergerak menyapu dengan kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting!
Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik
di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain.
Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah serangan
yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan
yang betapa kuat pun tentu akan terancam bahaya maut! Akan tetapi, seorang di antara mereka melempar
diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya. Biar
pun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin,
tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling!
Dia tidak terluka hebat, tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri.
Memang keistimewaan sinkang yang dilatih di Pulau Es adalah sinkang yang mengandung hawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan seperti gumpalan es yang dingin, sinkang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat
untuk menekan ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk
mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.
Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biar pun mereka tidak roboh terluka,
namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya dua
orang muda itu! Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Ia tadi sudah girang menyaksikan
gerakan lima orang anak buahnya dan ia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin
dengan baiknya.
Bahkan gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang memancing
perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua orang kakak-beradik itu terpisah
dan tidak saling melindungi dengan berdiri saling membelakangi. Namun, biar pun kedua kakak beradik itu
kini berpisah, pihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang pemuda
remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi. Akan tetapi agaknya mereka menganggap hal itu
tidak perlu.
Dan memang benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para
pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis, gerakan
mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti bahwa untuk menghadapi lima
orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata, “Lee-ko,
mundurlah dan biarlah aku main-main dengan mereka ini.”
Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap
tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya
akan dihadapi oleh seorang pemuda saja?
Pemuda itu masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biar pun menerima pendidikan
orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya. Hatinya merasa
penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika ia melihat lima orang anak buahnya telah menerjang
maju dengan gerakan berbareng, menubruk dari lima jurusan seperti lima ekor burung rajawali
memperebutkan seekor kelinci, mereka mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak
mencengkeram dan menangkap.
Kian Bu yang memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini
menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sinkang-nya. Sengaja dia hendak memperlihatkan
kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah dapat
menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak
kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui lengan yang
ditangkis, membuat mereka menggigil! Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut
Swat-in Sin-ciang (Inti Salju).
Melihat lima orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengar tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat
dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan cepat
sekali. Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari
ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan
mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.
“Bu-te, jangan lukai orang!” Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras
itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka
Untunglah bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak,
tentu mereka itu akan tewas!
Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada jalan darah
berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras
tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan
tergulinglah mereka ke atas tanah.
Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri
mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah
menyalurkan sinkang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima
dunia-kangouw.blogspot.com
orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur
mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan
akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam
segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin! Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan tangan pemuda itu tadi
amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya.
Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah dua orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat
hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu
menandinginya.
“Bagus sekali!” Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu
dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu. “Kalian ternyata memiliki
juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku. ”
“Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk
melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian Lee masih berusaha membujuk ketua
itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian takut?”
Mata Kian Bu yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kinl
meledak menjadi kemarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membentak, “Iblis
tua, siapa takut kepadamu?”
Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis
Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah, bahkan
tertawa. “Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku.”
Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya.
“Bu-te, perlahan dulu,“ tetapi kakaknya memperingatkan.
“Ha-ha, orang muda yang halus. Kau pun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah
kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”
“Kakek sombong!” Kian Bu membentak lagi. “Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan
malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!”
Kian Lee mengangguk kepada adiknya dan berkata, “Hati-hatilah, Bu-te, kau jangan sembrono.”
Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. “Ha-ha-ha, majulah kalian...”
Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua
tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti
seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walau pun penuh
dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan
lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.
“Hyaaattt...!”
Kian Bu yang sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia
menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Patsian-
kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Mula-mula dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya lantas menerjang dengan
pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Akan tetapi
secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya
menurun dan tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan
menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar Bayangan).
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, bagus!”
Kakek itu mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini
menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh agak merendah, kedua
lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak
menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Dukkkk!”
Pertemuan kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa
seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sinkang kakek itu kuat bukan main, sedangkan
tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan
lawan, tahu-tahu telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa!
Kian Bu mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah
tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga terkejut bukan main
ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu
memasuki lengannya!
Kian Lee lebih hati-hati dari pada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia
diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu
lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat
dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan
tangan kiri Kian Bu.
“Wuuuuutttt...! Plak-plak!”
Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu berhasil ditangkis dengan tepat
oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini,
terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda kedua ini pun hebat
sekali.
Dia makin penasaran dan mulailah mengeluarkan kepandaiannya. Tubuhnya bergerak-gerak seperti orang
menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada taritarian
bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini,
dia lalu menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat
yang pernah dipelajarinya.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh
dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri,
terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap
terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat ke sana-sini, sehingga bagi mereka sukar
sekali menentukan siapa di antara kedua pihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang
dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan
berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya.
Akan tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan mereka,
bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali
bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguh pun dapat dilawannya
dengan sinkang-nya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena
salju.
Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah
kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain
keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya,
juga ia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti
yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.
“Terimalah ini...!” Kedua tangan kakek itu bergerak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek itu tentu
menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka. Akan tetapi tiba-tiba tampak benda seperti kabut
atau uap tebal mengurung mereka dan ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah
sebuah jala yang terbuat dari bahan tipis sekali tetapi amat ulet dan kuat! Saat mereka berdua meloncat,
tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung
mereka hingga kedua orang pemuda tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapa pun mereka merontaronta
dan menarik-narik jala tipis itu.
Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi
dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat
menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah di antara senjatasenjata
yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa
biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang
hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam
sekali pun, dan memiliki sifat melar seperti karet.
Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan
memerintahkan kepada Ji Song, “Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan
jaga jangan sampai lolos, tetapi perlakukan mereka dengan baik.”
Ji Song meneruskan perintah ini kepada para anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak
dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song, “Suruh orang
menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”
“Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata. “Apa
gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Dia pun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik
kedua orang pemuda itu dibebaskan saja.”
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya. “Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku tadi mendengar dari
kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di
Pulau Es?”
“Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya
Pendekar Super Sakti pun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es.”
“Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan
mengalahkannya.”
“Dia sakti sekali, tocu.”
“Aku tidak takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut
apa?”
********************
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang sedang tertawan di Pulau Neraka dan dijadikan umpan
oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk memancing datang Pendekar Super Sakti, dan marilah kita menengok
peristiwa lain yang terjadi pada waktu itu, terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.
Negara Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok, merupakan sebuah kerajaan kecil namun yang rakyatnya
memiliki kebudayaan tinggi, menjadi perpaduan dan perantara antara Negara India dan Tiongkok. Karena
dihimpit oleh dua buah negara besar yang memiliki kebudayaan tinggi itu, Nepal atau Bhutan mencangkok
kebudayaan keduanya dan karenanya di situ terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua negara itu.
Daerah Pegunungan Himalaya terkenal sebagai pegunungan yang paling tinggi di seluruh dunia, paling
tinggi dan paling luas. Selain amat luas, juga pegunungan ini amat terkenal sebagai tempat yang suci,
bahkan bagi yang percaya terdapat keyakinan bahwa para dewa yang tersebut dalam dongeng-dongeng
bertempat tinggal di pegunungan inilah! Karena kepercayaan ini agaknya, dan terutama sekali karena
keindahan alamnya dan kesunyiannya, maka Pegunungan Himalaya menjadi tempat pelarian para
pendeta, pertapa dan manusia-manusia yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di sebuah dusun tak jauh dari kota raja, di kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi yang sejuk,
tampaklah belasan orang pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang berlatih ilmu silat. Tubuh mereka, dari
yang besar sampai yang kecil kurus, kelihatan kuat dan berisi tenaga besar ketika mereka bergerak secara
berbareng dengan tubuh atas telanjang, hanya memakai celana panjang dan sepatu, rambut mereka
dikuncir semua, mengikuti petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut seorang kakek berwajah tampan
gagah yang bertopi bulu.
Kakek ini usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada delapan puluh tahun, namun sikapnya masih
amat gagah, sungguh pun gerak-geriknya halus dan wajahnya tampan terpelihara. Suaranya masih lantang
ketika dia mengeluarkan aba-aba agar gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang
kaki tangannya masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan! Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!” demikian aba-abanya.
Makin cepat aba-aba dihitung, bertambah cepat pula gerakan mereka yang sedang berlatih hingga
terdengar angin bersuit dan buku-buku lengan kaki berkerotokan ketika mereka bergerak memukul dan
menendang.
“Hemmm, mengapa pula engkau, Ceng Ceng?” Kakek itu menghentikan hitungannya, membiarkan para
murid itu bergerak dengan irama mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke arah kanan sebelah kiri
rombongan pemuda yang sedang latihan itu, kemudian berhadapan dengan seorang dara remaja yang
tadinya ikut pula berlatih.
Dara remaja itu tentu belum ada lima belas tahun usianya. Wajahnya cantik manis, bentuk tubuhnya kecil
ramping namun juga padat berisi, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang panjang dan gemuk itu
dibagi menjadi dua kuncir yang besar dan panjang, bergantungan di depan dadanya. Kedua kakinya masih
memasang kuda-kuda seperti mereka yang sedang berlatih, tetapi kedua lengannya tidak melakukan
gerakan memukul-mukul lagi. Mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya yang lebar seperti
sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.
Dara itu tidak menjawab teguran kakeknya melainkan hanya mengurut-urut bahu dan lengannya,
kepalanya menunduk dan kedua kakinya diluruskannya kembali.
Kakek itu menghela napas panjang. “Hahhhh... kau... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak mentaati perintahku.
Mula-mula engkau akhir-akhir ini tidak mau berlatih di dekat para suheng-mu...”
“Kongkong (kakek), bagaimana aku tahan berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke sana-sini!”
Dara itu membentak.
Kakek itu menahan geli hatinya. Gadis yang menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk menyangkal
dan membantah, dan selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga kadang-kadang lucu. Memang tak
dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa baju itu di waktu berlatih mengeluarkan banyak keringat
dan gerakan cepat itu membuat keringat mereka memercik ke sana-sini!
“Sekarang, latihan yang amat penting ini kau abaikan juga.”
“Habis, kaki tanganku sudah pegal dan kaku semua, kongkong! Masa untuk satu jurus saja harus diulang
sampai lima ratus kali!”
“Hmm, kau tidak tahu keganasan jurus istimewa ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong
Membunuh Naga) ini merupakan satu di antara jurus-jurus pilihan dari ilmu silat kita. Diulang sampai lima
ratus kali pun kalau belum sempurna harus diulang terus!”
“Apa gerakanku belum sempurna?”
“Engkau sudah menguasai gerakan ilmu silat kita, tetapi para abangmu itu? Mereka harus diberi semangat,
dan dengan mencontoh gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun. Lihat, betapa besar semangat mereka
melatih jurus ini.”
Dara yang bernama Ceng Ceng itu menengok dan mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum mengejek,
cuping hidungnya sedikit bergerak. “Semangat apa? Mereka semua menoleh ke sini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu cepat menengok dan benar saja. Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata mereka semua
mengerling ke arah dara itu sehingga kelihatannya lucu.
“Ihh, engkau yang menjadi gara-gara!” Kakek itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke depan para
muridnya dan kembali terdengar hitungannya yang menambah semangat.
Kini para murid itu tidak berani lagi mengerling ke arah sumoi mereka. Terpaksa pula Ceng Ceng juga
bergerak lagi, akan tetapi biar pun gerakannya lemas dan baik, dia seperti tidak menggunakan tenaga
sehingga kalau para suheng-nya itu ngotot dengan pengerahan tenaga, dia kelihatan lebih mirip dengan
orang menari!
Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dulu dia bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di Tiongkok,
memiliki ilmu kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Namun nasib malang menimpa diri kakek
ini saat dia sudah mengundurkan diri sebagai pengawal dengan adanya peristiwa yang menimpa
keluarganya sehingga akhirnya dia mengasingkan diri di dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya ini.
Ketika masih berada di Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya, dan hanya
hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita bernama Lu Kim Bwee. Kurang lebih lima belas tahun
yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu Kim Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan
ilmu silat itu, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa! Akibatnya,
Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Sepasang Pedang
Iblis.
Melihat penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi meninggalkan Tiongkok.
Akhirnya mereka tinggal di dusun kecil di kaki Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil dan sunyi ini,
Lu Kim Bwee melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi malang sekali, ibu muda itu meninggal
dunia ketika melahirkan karena memang dia selalu berduka dan batinnya terhimpit oleh peristiwa yang
sangat memalukan dirinya itu. Anak yang terlahir selamat itu lalu diberi nama Lu Ceng dan sebenarnya
anak ini adalah cucu buyut dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diakui sebagai cucunya.
Biar pun kini kehidupannya di dalam dusun itu bersama cucu buyutnya dapat dikatakan tenteram dan
penuh damai, namun kakek yang tua ini masih selalu gelisah kalau mengingat akan masa depan cucu
buyutnya itu. Pernah dia ditekan dan merasa terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang berwatak periang,
cerdik dan jenaka itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara itu. Tadinya dia hanya memberi tahu kepada
Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu cepat membantah.
“Tidak mungkin itu, kongkong!”
“Apanya yang tidak mungkin?”
“Kalau ibu she Lu, mengapa aku juga she Lu?”
“Ahh... kau sebetulnya... ah, engkau memang she Lu, cucuku.”
“Hemm, kongkong menyembunyikan sesuatu dariku! Siapakah ayahku? Dan di mana ayah? Apa dia sudah
meninggal? Mengapa pula aku tidak diberi she (nama keturunan) ayahku?”
Dihujani pertanyaan ini, kakek Lu Kiong menjadi sibuk sekali sehingga akhirnya dia mengaku juga.
“Ayahmu bernama... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng...” Dara itu membisikkan nama itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu di dalam
hatinya. “Kalau begitu, namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!”
“Tidak, Ceng Ceng!” Kakek itu membentak dan terkejutlah dara itu karena selamanya belum pernah dia
mendengar suara kakeknya mengandung kemarahan seperti itu.
“Mengapa, kongkong?”
“Namamu tetap Lu Ceng!”
“Tapi ayahku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak! Kau tidak perlu memakai nama keturunan orang itu!”
“Mengapa...?” Wajah Ceng Ceng menjadi berubah agak pucat.
“Dia... dia... sudah meninggalkan ibumu, dia membuat ibumu hidup sengsara sehingga meninggal dunia
ketika melahirkan kau.”
“Ouhhh...” Ceng Ceng kecewa bukan main mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu mendugaduga.
Tak mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja tanpa sebab.
“Mengapa ayah meninggalkan ibu?” desaknya lagi.
“Entahlah. Dia bukan orang baik, karena itu kau harus memakai nama keturunan kita, nama keturunan Lu.”
“Aku akan mencari ayah, biar kutanya sendiri mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!”
“Jangan...! Takkan ada gunanya, dia... dia sudah mati...”
“Ouhhh...” Dan kini dara itu terisak menangis.
Lu Kiong menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenang semua peristiwa yang menimpa diri
cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak mau membuka rahasia itu, tidak
sampai hati dia menceritakan cucu buyutnya ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah seorang
anak haram! Dia tidak ingin melihat dara ini jadi menyesal dan berduka, merasa rendah dan membenci
ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang mendatangkan aib itu dikubur bersama meninggalnya Lu Kim Bwee
dan Gak Bun Beng.
Tentu saja dia pun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara ini, tewas di tangan ibunya
sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak Bun Beng dengan wanita-wanita yang lain yang juga
menjadi korban keganasan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) itu! Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu
Kim Bwee yang telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali tidak pernah menduga
bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka sangka telah tewas itu, sebetulnya sama sekali
belum tewas (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS).
Untuk mengisi kekosongan hidupnya di dusun yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya itu, kakek Lu
Kiong menerima murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja dia memilih dalam penerimaan murid ini,
dan setelah dia kumpulkan, hanya ada lima belas orang pemuda di sekitar daerah itu yang diterimanya
menjadi murid-muridnya. Tentu saja karena Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil sedangkan
penerimaan murid dilakukan setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun, maka biar pun Ceng Ceng
disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam hal ilmu silat dara ini jauh lebih pandai dari
pada semua suheng-nya.
Kekesalan hati Ceng Ceng di pagi hari itu bukan hanya karena dia jemu berlatih silat. Sama sekali tidak.
Sesungguhnya dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya amat baik. Akan tetapi pagi itu lain lagi. Ada
berita menggemparkan bahwa rombongan utusan kaisar Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam
perjalanan mereka menuju ke kota raja, untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok karena puteri
itu telah dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai Tiongkok di waktu itu.
Rombongan utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan hadiah-hadiah istimewa
sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui rombongan telah bersiap-siap untuk menonton!
Tentu saja Ceng Ceng, seorang dara remaja yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus
akan segala yang menarik hati, ingin sekali menonton, maka latihan-latihan keras yang diadakan kakeknya
pada saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.
Betapa pun juga, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi kepada kongkong-nya, apa lagi di depan lima
belas orang suheng-nya. Dan dia sudah ikut pula berlatih, biar pun hanya dengan setengah hati. Latihan
berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka yang mengikuti pukulanpukulan
tertentu, suara pernapasan dan suara kakek yang menghitung dengan irama yang khas.
Tiba-tiba terdengar suara tambur yang datang dari jauh dan makin lama semakin mendekat, kini terdengar
keras diselingi sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng hampir menangis. Suara tambur itu
dunia-kangouw.blogspot.com
seolah-olah mengejeknya, seolah mengiringi gerakannya berlatih. Ketika dia melirik ke arah kongkong-nya
dan para suheng-nya, mereka itu masih tenggelam ke dalam semangat yang tetap menggelora.
Hampir Ceng Ceng terisak-isak dan lari dari tempat itu, tetapi ia merasa malu kepada para suheng-nya,
dan takut kepada kongkong-nya. Betapa besar keinginan hatinya untuk pergi menonton rombongan utusan
itu! Utusan raja dari Tiongkok! Banyak sudah dia mendengar tentang kehebatan kota raja di sana, akan
tetapi hanya mendengar dari cerita kakeknya, bahwa kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan
lebih megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah besar di Bhutan yang
telah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan tiba dengan datangnya rombongan utusan
kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?
Pada saat itu seorang pelayan memasuki kebun tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu Kiong dan
memberitahukan bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan kakek Lu Kiong. Kakek
itu lalu menggapai muridnya yang pertama.
“Kau lanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini baik-baik. Aku akan menemui tamu.”
“Baik, suhu!”
Kakek itu pergi setelah menoleh ke arah cucunya, kemudian menghela napas dan pergi bersama pelayan
itu memasuki rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu, Ceng Ceng serta merta menghentikan
latihannya dan berlari meninggalkan tempat latihan menuju ke pintu samping kebun itu.
“Haiii... sumoi...! Kau tidak boleh pergi!” kata murid pertama yang mewakili gurunya.
Tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu kebun samping. Mendengar seruan twa-suheng-nya (kakak
seperguruan pertama), dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka
bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek suheng-nya itu,
kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu.
Twa-suheng-nya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoi-nya yang manja
dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan oleh sumoi-nya, dan tentu saja
dia tidak menghendaki hal ini. Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi
yang cantik jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang periang
dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoi-nya untuk menonton rombongan
utusan kaisar.
Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton
rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak
begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu. Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang
tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya
mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang
mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah.
Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para
penonton, menuju ke kota raja.
Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu
saja tak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar
istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton
keramaian ini.
Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki
pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak
berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang
yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak.
Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan
oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang
pundaknya oleh seorang penjaga.
Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu
mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada. Ceng Ceng menjadi marah,
dunia-kangouw.blogspot.com
kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa
nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng
menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain datang, seorang di antara
mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga,
termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal
mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah
mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda
mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara
itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi dengan
teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira ini pun hendak berbuat kurang ajar
kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itu pun
terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara
remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!
“Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!” Suara itu terdengar nyaring dan
dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih,
berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting.
Memang demikianlah sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang
yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak
seberapa tinggi, tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu
panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah
cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang
mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.
Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika
dia berkata, “Nona cilik, berani kau membikin kacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada
para penjaga untuk ditangkap!”
“Plak-plak-plak-plak!”
Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu
merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana
Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat
menangkis terkamannya sampai empat kali!
“Bagus, kau boleh juga!” Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan... bagaikan seekor ular
hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di
leher Ceng Ceng!
Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal
kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil.
Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya dari pada
menakutkan itu, membuat dia pun menggerakkan kepalanya dan... dua helai kuncirnya yang tadinya
tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
“Plakkkk!”
Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kuncir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa,
sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh
kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!
Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit
mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di
pintu gerbang istana itu.
“Sumoi...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut ‘sumoi’
kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan
jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Maaf...!”
Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang
dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah
ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi tentu saja dia pun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang
dara itu pun menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu
gerbang itu adalah gara-gara sumoi-nya, maklumlah dia karena dia pun sudah mengenal watak sumoi-nya
yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia berkata, “Sumoi, apa yang
kau lakukan di sini? Mengapa membikin ribut?”
Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat
wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata, “Aihh, suheng, siapa yang tidak
jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa
tahu di tempat ini sumoi-mu malah mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar.”
Perwira itu maklum akan kecantikan sumoi-nya. Dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang
bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng.
Untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura
dan berkata, “Harap maafkan kesalah pahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”
Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata, “Sungguh hebat sekali
kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan
merasa kagum.”
Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian
rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana
pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja
memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki istana!
Tentu saja hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam istana. Oleh
mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang di antara anggota rombongan utusan
sehingga siapa pun yang bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh
hormat. Sementara itu hari telah menjadi siang.
Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan
penyambutan ini dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang
diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja
menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim
utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itu pun belum pulang
sampai hari itu!
Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan
perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri,
penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan menghadap raja untuk
menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua hadiah perjodohan.
Setelah diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, maka oleh pangeran tua
rombongan tamu agung ini dipersilakan mengaso di dalam kamar-kamar istana yang telah dipersiapkan
untuk para tamu yang penting dan terhormat itu. Dengan perasaan girang Ceng Ceng juga ikut makan
minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suheng-nya. Sambil makan dia kemudian
menyatakan rasa kagumnya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang berjenggot panjang
itu.
Setelah rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suheng-nya
ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah ketika suhengnya
menyuruh dia lekas pulang agar tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.
“Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin
tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah.”
“Biar pun aku pergi tanpa setahu kongkong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton
keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati
orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng
ini, biarlah kucari tempat penginapan lain, di kuil atau di mana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang
puteri diboyong!”
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoi-nya ini dan dalam
keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan
kesibukan mengurus sumoi-nya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata, “Sumoi, tentu saja engkau tahu
aku tidak keberatan kau bermalam di sini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri
yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”
Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan suheng-nya dengan sikap manja, kemanjaan seorang
anak-anak kepada orang yang patut menjadi ayahnya. “Suheng yang baik, seorang gagah sudah tentu
harus berani mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, bukan?”
Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang
kepada sumoi-nya ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka kepada
Ceng Ceng yang menyebut isteri suheng-nya itu ‘so-so’ (kakak ipar perempuan).
Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh
kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan
Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas
menjaga keselamatan di kota raja. Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan
panglima perang juga selalu mendampingi raja.
Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal pilihan lain
yang jumlahnya semua dua losin orang. Perwira Jayin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apa lagi
setelah ilmu silatnya ditambah dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong
kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena kakek itu
mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah
perkasa dari perwira tinggi itu.
Dapat dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab
penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat
penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar. Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan
itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoi-nya. Maka setelah mengajak sumoi-nya ke
rumah dan ‘menyerahkan’ dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali ke istana untuk
menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.
Sore harinya dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata
masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan tidak ada
kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya
sebelah barat.
Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang
istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti seorang
puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar! Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan
terbangun dari tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap.
Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada
dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan
berindap-indap keluar dari kamarnya, mengintai suheng-nya yang terdengar bercakap-cakap dengan
seorang laki-laki lain. Pada waktu itu telah lewat tengah malam, tentu saja Ceng Ceng menjadi curiga dan
menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat selarut itu suheng-nya masih
menerima tamu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.
Kiranya terjadi hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suheng-nya kelihatan sibuk benar dan
malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana.
Tamu itu adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul
rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suheng-nya bahwa rombongan raja yang dikawal
oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami mala petaka!
Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan raja.
Terjadi perang kecil. Akan tetapi, walau pun raja dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin
panglima sendiri, namun jumlah musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang, maka tentu saja
pasukan pengawal raja menjadi repot dan kewalahan.
Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri, sementara sang raja yang dikawal oleh panglima sudah
melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai,
sekarang entah bersembunyi di mana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri
sampai tewas semua, terbasmi oleh pihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.
“Saat ini juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini.”
Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat
berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.
Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur?
Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kongkong-nya dan para suheng-nya akan melongo mendengarkan
ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika
raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba! Dan sekarang raja dan
panglima tidak tahu berada di mana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian
pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia
meninggalkan rumah suheng-nya melalui jendela dan berlari menuju ke istana.
Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apa pun juga yang akan terjadi, diperkenankan
atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi agar
kelak ceritanya kepada kongkong-nya dan kepada suheng-nya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti
menceritakan itu semua, pikirnya.
Tentu saja para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang
dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana dan
dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang
menyusul rombongan raja.
Dara ini tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan
sambil berkata, “Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi dengan
aku?”
Mendengar suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga
mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin ribut di
pintu gerbang, merobohnya para penjaga dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal
kepala dari rombongan utusan kaisar!
“Eh... kau lagi... nona?” Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.
“Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?”
Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong. “Ahhh, tidak...! Maafkan,
nona, tetapi... kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk.”
“Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suheng-ku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi
ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku,
untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana.”
Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin
dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan...”
“Husshhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan
kulaporkan kepada suheng...”
“Ah, maaf..., maaf... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk...”
“Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi
penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?”
Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir,
memberi jalan dan komandan itu berkata, “Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan bicara yang
bukan-bukan kepada ciangkun.”
Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum. “Aku akan melaporkan kepada suheng
bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah.”
Setelah dara itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu
meraba-raba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merubah
keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia merasa bangga karena
telah melakukan jasa.
Niat hati hendak mencari suheng-nya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di
istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan
hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu. Padahal
suheng-nya saat itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan para
panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan,
memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua anggota wanita dari keluarga kerajaan.
Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang
sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!
“Siapa kau?”
“Tangkap dia!”
“Dia tentu mata-mata musuh!”
Para penjaga wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng
untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng menjadi
marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan terpelanting roboh terkena dorongan
tangan dan tendangan kakinya.
Ributlah keadaan di situ. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan katakatanya
dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya. Betapa
pun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki
tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan, apa lagi membunuh seorang di antara mereka.
Namun, karena kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami
bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan wanita-wanita yang terpelanting
itu.
“Siapa berani main gila di sini?” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan
penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita.
Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih, terlindung bulu mata
yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan dibiarkan terurai di belakang
punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan
rambut yang dihias dengan seekor burung Hong terbuat dari pada emas dan permata.
Telinganya terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan tangannya. Pakaiannya
juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang
cantik jelita dan pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi pada saat itu, dia bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang sedang marah, yang
tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula, pedang yang gagangnya terhias emas
terukir halus.
Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya
dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia
menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan
putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka dia lalu merubah tangkisannya menjadi tangkapan.
“Plakkk...!”
Lengan tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan
dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan
orang jahat, aku mencari suheng-ku, Perwira Jayin!”
Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang
menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri
tegak dan memandang dengan penuh kagum.
“Dia...?”
“Benar dia...!” Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.
Dara jelita berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar
matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya,
halus namun penuh wibawa, “Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger
di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?”
Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya, “Kalau
boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?”
Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Alangkah
manisnya senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu,
bahkan yang seolah-olah langsung menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!
“Kabarnya engkau bernama Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang
akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Nah, akulah puteri itu.”
Mata Ceng Ceng makin melebar, bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak
dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut. “Ampunkan hamba... ahhh,
hamba tidak tahu...”
Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang di antara para pengawal wanitanya.
Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan
perawakan mereka pun tidak berselisih banyak. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan
kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.
“Paduka... paduka Puteri Syanti Dewi...?”
Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara
itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan
dan penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar
dan dia berkata sambil tersenyum lebar. “Nah, duduklah dan anggap ini kamarmu sendiri, Ceng Ceng.
Ehhh, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang
Mancu.”
“Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu
kepandaian tinggi itu?”
“Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka sangat baik terhadap hamba, padahal hamba telah
mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini...”
“Hushh, kalau kau tak merubah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng
Ceng. Tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah orang, setiap
hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu,
mendengar orang merendahkan diri dan menyebut diri hamba yang rendah dan sebagainya. Alangkah
rinduku diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan
manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan kata kau atau
anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku
menjadi tidak senang.”
“Habis...?” Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang
menyatakan pendapat seperti itu.
“Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku.”
“Ini... ini... mana hamba berani...”
“Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat denganmu lagi.”
“Ahhhh...” Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali... bersahabat...
hamba kagum dan suka kepada paduka...”
“Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau... eh, bagaimana kalau
sebagai saudara? Berapa usiamu?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Kalau begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua
setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik
perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan
atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?”
Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung,
diakui sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar
dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam
mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.
“Haiiii, Ceng-moi, apa yang kau lakukan itu?” Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng
mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.
“Ehh...! Ohhh...! Tidak... tidak apa-apa... eh, enci Syanti.”
Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga
mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.
“Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan
rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu,
mencubit paha sendiri?”
“Habis, tidak ada yang mencubit... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apa lagi
kalau dia seorang pria!”
Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli. “Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?”
“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih, pria yang kau cinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia
manusia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!”
“Ouhhh...!” Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran.
“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?”
“Hehh? Berpacaran?”
“Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang,
bermain-main bersama dan sebagainya.”
Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan
berkata kepada diri sendiri, “Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas di luar, tidak seperti aku
yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri...”
“Enci Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti.”
“Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah justru yang beruntung, tidak
dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?”
“Karena aku masih tak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri
Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang
mimpi, maka kucubit pahaku.”
“Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng.”
“Dan aku... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali
padamu.”
“Kalau begitu...!” Puteri itu meloncat. “Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Ahhh, kau tahu, adik
Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan
pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan
dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus
menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!”
“Apa...? Aku...? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di dada Ceng Ceng
berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
“Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran
seorang sahabat, seorang saudara yang sangat kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat
menggelisahkan hatiku ini” Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!
Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat. “Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!”
“Adikku...!” Saking girangnya puteri itu lalu menubruk dan memeluk Ceng Ceng, lalu mencium pipinya.
Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masingmasing
yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru
sekarang bertemu.
“Tetapi bagaimana kalau kongkong melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya,
bertanya ragu.
“Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan
perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kongkong-mu.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh gembira, kemudian tidur
bersama dalam pembaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.
Benar saja apa yang dikatakan oleh Puteri Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan kehendaknya
mengangkat Ceng Ceng sebagai pengawal pribadinya, pangeran tua sendiri pun tak berani melarang
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar akan perbuatan Ceng Ceng dan hendak membawa
pulang sumoi-nya itu, jadi ‘mundur teratur’ dan terpaksa dia mengirim laporan kepada suhu-nya di dusun
tentang keadaan Ceng Ceng yang kini diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi, bahkan sudah
ditentukan oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau tiba saatnya dia diboyong oleh
rombongan utusan kaisar!
Sementara itu, pada malam hari itu juga ketika merundingkan persoalan raja yang terancam bahaya
dengan para panglima dan pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan untuk mengirim pasukan
yang terdiri dari seribu orang prajurit, dipimpin oleh Panglima Jayin sendiri untuk mencari raja dan
menyelamatkannya dari ancaman bahaya.
Berangkatlah Panglima Jayin menunggang kuda memimpin seribu orang prajurit itu pada malam hari itu
juga. Bhutan bukanlah sebuah negara besar dan karena negara itu selalu berada dalam keadaan aman,
jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga tidak terlatih dan tidak banyak jumlahnya. Kalau
sekarang dikerahkan seribu orang pasukan adalah karena mereka hendak menolong dan melindungi raja
mereka. Obor-obor dipasang mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng kota raja.
Akan tetapi ketika barisan itu tiba di pintu gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga dan Panglima
Jayin cepat menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak berkelebat bayangan orang yang melompati
dinding benteng yang sangat tinggi itu dengan gerakan seperti seorang burung terbang saja.
“Kejar dia! Tangkap! Panah dia!” Panglima Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan suara
nyaring.
Beberapa orang prajurit ahli panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi karena gerakan bayangan
itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak panah itu sia-sia belaka dan dalam sekejap mata
saja bayangan itu telah lenyap ke dalam kota raja.
Panglima Jayin mengangkat tangan menahan gerakan barisannya, lalu mengumpulkan para perwira
pembantunya dan menyuruh mereka menahan barisan untuk berhenti di luar tembok kota raja karena dia
ada urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu membalapkan kudanya kembali ke kota raja, menuju ke
istana.
Dalam hati Panglima Jayin mulai merasa curiga terhadap para tamu agung, yaitu para rombongan utusan
kaisar. Bukankah mala petaka terjadi ketika rombongan itu di Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau ada apaapa
di balik kedatangan rombongan itu? Mereka datang pada saat raja berburu dan rombongan raja
dihadang oleh pasukan musuh yang kini dia tahu adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah lama
sering mengadakan gangguan kepada Pemerintah Bhutan.
Orang-orang campuran antara bangsa Mongol dan Tibet yang sebenarnya merupakan orang-orang
pelarian negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan
sebuah ‘kerajaan’ kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi, selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan
Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan sudah lama mereka
tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang
sedang berburu, tepat ketika rombongan utusan kaisar tiba?
Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kuncir, tanda bahwa bayangan itu adalah
seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin besar,
maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat
keadaan dan kalau perlu bertindak.
Ketika panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari
masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut.
Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika
mereka melihat Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin
rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan alis
berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa yang sudah terjadi?” tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang
berjenggot panjang itu.
Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi. Ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan
berkata, “Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan ini, panglima!”
Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu, “Hemm...
apakah sesungguhnya yang telah terjadi?”
“Ada orang menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri
sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri dan
lenyap.”
Tentu saja Jayin terkejut, “Benarkah? Seperti apa orangnya?”
“Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat
mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia
melarikan diri dari istana dan dari dalam kota raja?”
Biar pun ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di
dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang datangdatang
memperlihatkan kecurigaan pula.
Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu. Kecurigaannya terhadap
rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki
tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka!
Akan tetapi untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah
utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk
menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan
terlindung sebagai keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok.
Akan tetapi Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak hanya berpengalaman
dalam medan perang, tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata
dengan muka sungguh-sungguh, “Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga
menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya.” Dia lalu
menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di
mana dan bagaimana pula keadaannya.
“Kalau raja kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula.
Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu memiliki
kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap
ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja
kami.”
Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Tentu saja dia mengerti apa arti permohonan yang
diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini
minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia
akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia
tersenyum dan berkata, “Kami diperintah untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang
akan menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu.”
“Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar
tembok benteng kota raja.”
Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama kemudian
berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar dari kota raja dan memimpin
pasukan yang seribu orang besarnya itu. Obor di tangan para prajurit yang bertugas membawa obor dan
berada di depan, tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala
keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan Himalaya, ke arah
utara.....
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu untuk
menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada
hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada
hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokohtokohnya
merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi
seorang.
Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki
sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka
yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini
merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat.
Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk
menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di
sebelah samping sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan
sebelah dalam rumah makan itu.
Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan
diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga
menaruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu
tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya.
Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah melakukan
perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru
berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah
memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar.
Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak
melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah ‘matang’, gerak-geriknya tenang,
wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan
senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang
rendah kepada keadaan sekelilingnya.
Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah
seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang
Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tong-pai yang kini telah meninggal
dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sute-nya, hanya
mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja
Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.
Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis,
baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda. Biar pun akhirnya dia
bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat
membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu
membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak yang diberi nama Ang Tek
Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa
diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Butong-
pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi.
Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa
dinodai namanya dan pihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi
sebagai anggota Bu-tong-pai. Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu
meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin
Bu-tong-pai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal
yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.
Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Huang-ho.
Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor
angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Bu-tong-pai, juga dengan menjual perhiasan
pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup
dunia-kangouw.blogspot.com
berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puteranya turun
bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena
tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.
Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar
puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar, dan
Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala
domba di lereng bukit, kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu
telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.
“Mengapa, ibu?” tanya anak kecil berusia enam tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal dunia?”
Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini
tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata, “Ayahmu meninggal
karena dibunuh penjahat. Karena itu kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang
gagah pembasmi penjahat.”
Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya. “Siapa yang membunuh ayah?”
“Tidak perlu lagi kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu.”
“Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...”
“Eh? Mengapa sayang?”
“Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!”
Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju
anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala
pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), orang
yang bagaimana pun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biar pun Gak Bun Beng telah memperkosanya,
biar pun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu, namun
harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu
merupakan hal yang menusuk perasaannya.
“Ibu, siapa namanya?”
“Nama siapa?”
“Nama penjahat yang membunuh ayah itu.”
“Namanya? Namanya... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu.”
“Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati.”
“Orangnya sudah mati, akan tetapi namanya masih ada, bukan? Dan siapakah nama ayahku, ibu?”
Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada
gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus
sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang
sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya
adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab, “Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian
Pa.”
Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak
menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih
sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.
Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu hanya
bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya,
segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apa lagi
ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia
paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia
kecil diajarkan ibunya di samping pelajaran menulis dan membaca.
Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya
kepadanya, baik ilmu silat mau pun ilmu menulis membaca, sekali dihafal, dilatih, terus saja bisa.
Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua
ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itu. Ketika ibunya menyatakan
bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.
“Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?”
Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali.
“Pendekar? Aihhh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak gampang menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak
sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan
anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di
dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali.”
“Ada orang yang lebih pandai dari ibu?” tanya anak berusia empat belas tahun itu.
Ang Siok Bi tertawa. “Baru di Bu-tong-pai saja, paling banyak ibu hanya menduduki tingkat keempat!” Tibatiba
wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia,
padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai!
“Bu-tong-pai?” Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.
Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menaruh
curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid
Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata, “Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu
adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa
ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”
Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini. “Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?”
“Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi.”
“Siapa ketuanya, ibu?”
“Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kongkong-mu sendiri.”
“Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”
“Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi
dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokohtokoh
yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti
dewa saja.”
Tek Hoat membelalakkan matanya. “Benarkah, ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap
bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah mereka yang memiliki kepandaian
melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”
“Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat
terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar
Siluman.”
“Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?”
Ibunya tersenyum. “Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah
rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pendekar Siluman....” Tek Hoat berkata perlahan.
“Juga Pendekar... Super Sakti.”
“Pendekar Super Sakti....” kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.
“Dia Majikan Pulau Es!”
“Pulau Es... di manakah Pulau Es itu, ibu?”
“Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di
mana letaknya.”
“Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?”
“Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?”
“Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!”
“Eh, mau apa kau?”
“Aku mau menantangnya.”
“Kau gila?”
“Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Jika benar
demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai.”
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan,
anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di
mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es.”
“Tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu.”
Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah
habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari
puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.
“Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka orang yang dapat memperdalamnya
hanyalah tokoh-tokoh di sana...” Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh
kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tongpai?
Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang
membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak
mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca
cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan
anak tanpa suami!
“Ibu, aku akan pergi sekarang juga.”
“Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak.”
“Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau
menerimaku.”
“Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana...?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis. “Ibu,
mengapa kini ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa
tanding?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biar pun dengan air mata bercucuran, ibunya
membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang
menengok ibunya.
Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki
keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di
mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa.
Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang
kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada
yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh
seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak
yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk
memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai
sungguh pun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya.
Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggota pimpinan Bu-tong-pai yang
mewakili ketua mereka menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang
kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang
ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.
“Hemm, kami tak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang di
antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi
keturunan dari Ang Siok Bi.”
Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya telah memperingatkannya, akan tetapi dia
merasa penasaran dan berkata keras, “Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua
kalian?”
Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Tidak ada kakekmu yang pernah menjadi ketua
kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini.”
Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan
perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di
mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak
dihormati sama sekali, diusir dan dihina!
“Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusatnya orang-orang gagah,
akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tongpai!”
“Anak haram!” Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak,
tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat.
Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan
jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah
ulu hati lawan!
“Plak... brukkk...!” Tubuh Tek Hoat terbanting keras.
Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat
meter di mana dia terbanting keras, membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!
Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang
marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang
dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong.
Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah
lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus
darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang
dunia-kangouw.blogspot.com
berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang karena pandang matanya berputar, namun dia bangkit lagi
dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.
“Bocah hina, apakah kau ingin mampus?” Kakek itu berteriak marah.
Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.
“Bressss...!”
Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat
bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.
“Hemmm... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!” Tiba-tiba muncul seorang
kakek tua yang mukanya menyeramkan.
Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar
penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biar pun kedua kakinya tak dapat digerakkan
dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan!
Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.
“Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal
diam!” Kakek itu kemudian menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ,
diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.
Tek Hoat tadi sempat melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika mendadak
kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya ‘terbang’ cepat, dia terkejut sekali akan
tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi
cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata
kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.
“Kakek yang baik, aku ingin sekali menjadi muridmu,” tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di
dalam sebuah hutan lebat.
Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus
jenggotnya yang putih semua.
“Aku takkan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di
kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari
perkara? Tidak, aku tak akan menerima murid.”
Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biar pun
kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata
kakek itu pun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan
suaranya kaku ketika dia berkata, “Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa tadi
menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?”
Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa. “Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai,
bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah
engkau mencuri sesuatu?”
“Sudahlah, jika engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku
hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak
mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka
menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang
sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong.”
“Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?”
“Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana
aku dapat bertemu dengannya? Heiiii... engkau kenapa?” Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu
memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja kakek lumpuh itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini
berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir
dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari
Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS).
Seperti telah diceritakan dalam Sepasang Pedang Iblis, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang
pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di
kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya
di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai,
telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah
kedua kakinya lumpuh.
Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana
menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa
Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang
panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.
Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang
tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana
adanya Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng
dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya
merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana,
meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng!
Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!
“Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?”
Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk
Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan
tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!
“Apakah engkau Pendekar Siluman?”
“Ha-ha-ha-ha!” Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata.
Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biar pun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat
tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biar pun kini
kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun
kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!
“Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau
apakah kau mencari Pendekar Siluman”
“Aku mau menantangnya!”
“Heiii...? Kau...? Menantangnya...?” Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar
mengejutkan. “Mengapa?”
“Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong
langit, aku akan berguru kepadanya.”
“Bocah lancang! Kau kira begitu mudah untuk menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih
sukar dari pada mencari naga di langit. Ehhh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tongpai?”
“Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Butong-
pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak
baik, malah memukulku.”
Kakek itu memandang tajam. “Siapa kakekmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin.”
“Ang Lojin...?” Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena
ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai,
ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca ceritera SEPASANG PEDANG IBLIS).
“Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat.”
Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia
tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama
Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah
memperkosanya!
“Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu?” Tanyanya di luar kesadarannya sebab hatinya yang
bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu.
Tek Hoat tercengang. “Kau sudah mengenal ibuku?”
Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus-elus jenggotnya dan termenung. Dia mengenang semua
peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu
keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu
Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang
keji.
Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak
dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam.
Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di
Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang
selama ini mengganggu hatinya.
Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya
dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu
keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapa pun juga, melainkan orang
sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In
yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca cerita SEPASANG
PEDANG IBLIS).
Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak
Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?
“Anak baik, siapakah nama ayahmu?” Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga
bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu
agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.
“Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia.”
Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?
“Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?”
“Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu,
ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu.”
Kembali kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita
yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir akibat
perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak
ini.
“Ang Tek Hoat, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup
sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua tahun, dan
kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima
syarat itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh
itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata, “Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan
mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu.”
“Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan
yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!”
Mulai saat itu Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan ke mana pun juga kakek itu pergi, dia
mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali, lalu
mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat. Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sinkun
(Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya
setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan sinkang yang
mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil dari pada pemberian Nirahai setelah dia menjadi
lumpuh kedua kakinya.
Makin girang hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu ini. Mereka
melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu menghindarkan diri dari persoalan
dengan orang lain, bahkan selalu menyembunyikan diri karena memang dia sudah muak dengan persoalan
di dunia, apa lagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.
Patut disayangkan dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu ternyata sama sekali tidak mengacuhkan
tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan dia sama
sekali tidak mempedulikan tentang pendidikan batin.
Padahal ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat
menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang paling gawat karena
jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari
keinginan tahunya mengenai segala macam hal.
Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh
dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh,
sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu terbayang senyum, sedangkan
pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan hatinya.
Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut
nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri
dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya dia merasa tidak bebas. Biar pun
gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apa bila dia
melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa.
Dia tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak membawa hasil apaapa?
Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang tinggi dari Sai-cu Lo-mo, tetapi pemuda ini
belum merasa puas. Bekal uang yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya hampir
habis dan pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi.
Dia akan terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum
menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan kini
dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi untuk melawan kakek Butong-
pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu
merasa penasaran.
Demikianlah, pada pagi hari itu Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki
sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya. Hari masih terlalu pagi
untuk makan, tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk
dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya,
berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalanan tiga hari.
Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu tidak pernah
mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan
orang berlalu lalang di luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula
kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan hidangan
yang dipesan tamu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di
sebelah dalam itu. Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah
makan terkenal di Kota Shen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita, di samping
mendengar suara mereka yang merdu.
Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya
lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak peduli akan masuknya
serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan. Mereka ini terdiri dari
tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak
mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan
suara keras, tertawa-tawa, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Pendek kata, lagak jagoan-jagoan.
Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan, barulah Tek
Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan
ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawatawa
dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi kepada
mereka dan melanjutkan makan minum.
Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang
dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat
atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi
kaya karena kejagoan mereka, mendapat ‘sumbangan’ dari para hartawan yang membutuhkan
‘perlindungan’ mereka. Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi
mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela
menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat
menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang ‘dilindungi’ oleh Jithui-
houw!
Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan dalam
hati mereka, dan biar pun mereka tidak melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terangterangan,
namun sering juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian
dan nama besar mereka.
Para pelayan rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biar pun baru beberapa kali Jit-hui-houw
makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan sarapan di rumah makan lain yang
lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah
makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi
sehingga sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor.
Saat mereka melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka lalu
berbisik-bisik. Dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung
karena setengah mabok, menghampiri meja di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata,
“Perut kami mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang.”
Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat
dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan
tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona menyingkir.
Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan, semua
pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang
masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik,
bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditarik ke
meja mereka.
“Lopek yang baik, sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabatsahabat
baik? Ha-ha-ha!”
“Maaf... saya... saya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, apakah Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum
menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha-ha!” Tangan yang menggenggam
pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak
berani banyak membantah lagi. Dia duduk, akan tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam.
Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu. Apa lagi ketika
dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa
duduk menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alis, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu.
Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat
menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih
yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!
“Ampun... ah, jangan...!” Dan terdengar isak tertahan karena takut.
Cepat sekali Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan
belakang.
“Haiii...!” Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat
tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang
berkelompok, berdiri ketakutan.
“Di mana mereka?” Tek Hoat bertanya singkat.
Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun
pintunya.
“Brakkkk...!” Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat.
Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa
seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan
seorang di antara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah
terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita
berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang
padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan kedua. Agaknya, sedikit saja kedatangan Tek Hoat
terlambat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat
bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.
“Keparat!” Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang
menengok kaget itu.
“Prak! Prak!”
Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang
ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak
karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi
tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat.
Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut dua orang jagoan itu,
menyeretnya ke pintu kamar.
“Haiii... siapa dia? Hayo seret ke luar!”
Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh
melayang dari dalam dan menerjang mereka.
“Awasss...!”
Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka
sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.
“Celaka!” teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki
mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, sekarang
menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka
telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang
saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan
ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.
“Kalian juga sudah bosan hidup?”
Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama
sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat
percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini?
Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di
tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang
bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi
apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan ‘potongan’ jago
kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?
“Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?” tanya seorang di antara mereka sambil
melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.
“Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku sudah
turun tangan membunuh mereka. Dan kau mau tahu namaku? Aku bernama... Gak Bun Beng.”
Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh
ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan
nama itu. Dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang
tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja
untuk menggantikan nama aslinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama
musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
“Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?” Sambil membentak demikian, orang
berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat.
Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya
mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya. Akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki
kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan
pedang yang menusuk dadanya.
Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat
tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya
demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas
untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka
karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke
atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah
tangan!
Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sinkang yang amat kuat mematahmatahkan
pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pletok
dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan
herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang
menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.
Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara
dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya.
Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.
Empat orang anggota Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka
mengeluarkan teriakan dahsyat, kemudian berbareng maju menyerang dengan senjata mereka.
Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang serta golok berkelebatan menyilaukan mata. Para
pegawai rumah makan sudah lari cerai berai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan
mereka lalu melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan
ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat.
Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat
orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan
dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan.
Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar
sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia
meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang!
Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat
yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau
dengan senjata apa pun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang
dipegangnya.
Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya
sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masingmasing
karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan.
Mendengar itu Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah
melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang. Untung bagi
mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya
tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara
demikian istimewa!
Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang
memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat
dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan
cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran
mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat,
dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak,
“Lepaskan aku! Biarkan aku mati...!”
“Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tak perlu begini,” kata Tek Hoat sambil menyingkir dari depan kedua
suami isteri yang berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?”
“Taihiap (pendekar besar)... tolonglah kami... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri,
akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi...” Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil
menangis.
“Hemm, apa maksudmu, lopek?” Tek Hoat bertanya, hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap.
Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!
“Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap,” ajak kakek itu.
Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi
korban perkosaan.
Setelah mempersilakan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata, “Taihiap, anak perempuan
saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia
merasa malu sekali.”
“Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?” tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.
“Memang benar, namun taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang lakilaki
dalam keadaan telanjang bulat... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat...”
“Mengapa begitu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi
telah kubunuh mati?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan penjahat itu yang dia maksudkan, taihiap. Laki-laki itu adalah... taihiap sendiri.”
“Haiii...? Eh, bagaimana pula ini...?”
“Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini
tentu akan berekor panjang. Dari pihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena memang nama
Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di
warungku cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa
mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi
habis...” Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. “Kecuali kalau taihiap
menolong kami sekeluarga...”
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak
akan ada pembalasan dendam lagi!”
Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar dan ternyata
pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang
lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja.
Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggota Jit-hui-houw sudah tidak nampak
bayangannya lagi, sedangkan mayat tiga orang itu pun sudah lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil
membawa mayat ketiga suheng mereka!
Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan.
“Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi.”
“Taihiap, biar pun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan
tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila.”
“Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?”
“Dengan menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li...”
“Hahhh...?!” Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan
juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya.
Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas
tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu
menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tiga puluh tahun
lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya.
Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga mereka hidup
tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi mala petaka yang hebat dan kalau tidak ada
jalan yang baik, tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga
mereka.
“Demikianlah, taihiap. Hanya ada satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li
agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, mau pun untuk kami sekeluarga agar
terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”
Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah
sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan
bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata
dengan suara merdu halus dan penuh daya membujuk, “Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi
permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya.” Muka yang cantik
dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat.
Tek Hoat diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya, bibirnya yang
menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang tadi dirobek penjahat masih
belum dibetulkan sama sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang putih halus.
Sungguh pun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan ibu tirinya, namun Siu Li tergolong
dara yang cantik manis.
Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama mengingat akan kekayaan kakek
Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah.
Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini? Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya
kelihatan makin tampan, tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia
mengangguk.
“Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini.”
Kakek Kam Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya, “Anak baik...
agaknya Thian sendiri yang menurunkan kau dari sorga untuk menolong kami...! Kalau begitu, perayaan
pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh,
siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!”
“Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatang kara, tiada tempat tinggal tiada keluarga.
Namaku... Gak Bun Beng.”
Dapat dibayangkan betapa girang hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka.
Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya, apa lagi memperoleh suami
yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah
anak seorang pemilik rumah makan! Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan
memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan
cantik.
Dengan mata halus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Tentu
saja dia tak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua dari
pada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan
kecukupan dunia. Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya makin menderita dan
matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang
pria muda yang tampan.
Betapa pun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang
kehausan yang tidak pernah mendapatkan kepuasan. Namun sekarang, kesempatan terbuka lebar di
depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia
mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?
Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai
banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan ‘Gak Bun Beng’ ini
mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin sekali
menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah
merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!
Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi
ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang
entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.
Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak
mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang
pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh
seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggota Jithui-
houw, tidak saja terbebas dari mala petaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang
demikian gagah perkasa dan tampan!
Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak
tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima
orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru
saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang
datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh
tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!
dunia-kangouw.blogspot.com
Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan
mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari
tempat jauh walau pun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu,
berdiri agak jauh di pinggiran.
Dapat dibayangkan alangkah paniknya pihak tuan rumah. Walau pun mereka sudah menduga-duga bahwa
setiap waktu pihak Jit-hui-houw tentu akan datang mengacau dan membalas dendam, dan biar pun mereka
sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw
bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri
sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri
mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.
Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan
perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan
depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, baik yang dekat mau pun yang
menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas
melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.
Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat memandang empat orang sisa Jit-hui-houw dan
berkata sambil tersenyum mengejek, “Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian, apakah
kini kalian datang untuk menyerahkan nyawa?”
Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik.
“Suhu, inilah jahanam yang telah membunuh ketiga suheng itu!” kata seorang di antara mereka.
Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sinhouw
Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun,
tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw
yang terkenal itu.
Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian yang hebat, dan biar pun tidak dapat dikatakan luar biasa,
namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar
penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka
bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan
seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini, yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia
merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang
masih hijau ini?
Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar,
berdiri tenang tanpa senjata apa pun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya, “Kalau begitu
tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suheng-mu!”
Empat orang itu sebetulnya merasa jeri karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang
kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan
suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah
menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh
Tek Hoat.
Pemuda ini biar pun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat
dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali. Tubuhnya lenyap
menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya pun bergerak
sehingga terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para
pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan.
Kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong muridmuridnya,
Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan
berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul dengan robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
roboh dan berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan
dua jari tangan Tek Hoat!
Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai
yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas, terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat
menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh orang Jit-hui-houw telah tewas
semua, dan semuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini!
Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak, “Bocah kejam! Siapakah namamu?
Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!”
Tek Hoat tersenyum mengejek. “Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut
macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah
Gak Bun Beng.”
“Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus
mengadu nyawa denganmu!”
Setelah berkata demikian, kakek jembel itu kemudian menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena
tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang
masih begitu muda dan bertangan kosong, dengan menggunakan tongkatnya yang ampuh.
Melihat tongkat menyambar-nyambar serta berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran,
maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan
dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya tadi hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu
ternyata terbuat dari pada baja yang kuat dan berat.
Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajari dari ibunya.
Tubuhnya amat gesit saat mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan
menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.
“Haiit, kau murid Bu-tong-pai!” Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.
Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke
depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat
pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkalikali
dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat
aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu
muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat. Itulah ilmu silat gabungan Pat-siansin-
kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat
panas!
Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang
dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu
silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh
ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah
berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru! Kakek itu makin kaget dan
penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas
membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat
sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.
Tek Hoat juga merasa penasaran. Pemuda ini terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu percaya bahwa
dia akan sanggup mengalahkan lawannya yang mana pun juga, apa lagi setelah dia menjadi murid Sai-cu
Lo-mo selama dua tahun. Kini belum mampu mengalahkan kakek jembel itu biar pun mereka sudah
bertanding selama seratus jurus, dia merasa penasaran bukan main. Akan tetapi dia tetap keras kepala
dan tidak mau menggunakan senjata. Dia harus mampu mengalahkan kakek itu hanya dengan tangan
kosong saja!
“Mampuslah...!” Tiba-tiba kakek itu membentak dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
“Cuat-cuat-cuattttt...!” tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba
kakinya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali.
Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.
“Siuuuuttt... plakkk!”
Tongkat menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia tadi
hanya pura-pura terjatuh untuk memancing perhatian lawan. Ketika melihat lawannya menghantamkan
tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan menangkap tongkat itu di bagian tengah-tengah dengan
tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat.
Kakek itu mengeluh, dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah
membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan
Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat panas, sinkang yang dilatihnya di bawah
bimbingan Sai-cu Lo-mo.
Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Ada
pun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya seolaholah
mengeluarkan uap panas.
“Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai.” Sambil berkata demikian, pemuda itu
menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai
bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan tongkat itu ke atas
lantai, lalu melangkah maju menghampiri lawannya.
Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat. Dia tahu bahwa
dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah
pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati
dari pada mundur!
Dia mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti
seekor harimau. Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya Harimau
Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itu pun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang.
Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan
menubruk ini banyak sekali perkembangannya.
Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat dari pada kakek itu,
memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga!
Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti
cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu
dengan tangannya sendiri.
“Plak! Plak!”
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sinkang yang dilakukan tanpa
bergerak akan tetapi yang kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu
berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak
merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias
mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang
yang mengandung hawa panas itu.
Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu, akan tetapi lambat laun kakek jembel
itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu semakin mendesak dan semakin
membakar seakan-akan hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan
tenaga sinkang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan
membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali.
Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sinkang-nya sehingga dari telapak
tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya
gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan
tubuhnya gemetar semua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah
menekan tangan kiri lawan.
“Krekkk...! Aughhhh...!”
Sin-houw Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking
mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan kiri lawan dan
menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke
dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat
menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.
Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang
pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan
lega ini merangkul mantunya penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok
membereskan persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itu
yang datang untuk mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut apa pun, lebih-lebih karena Kam Siok berani
mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.
Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para
tamu. Nama ‘Gak Bun Beng’ terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda
yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu
seperti itu.
Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya
pemuda tampan dan gagah itu, oleh karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Ada pun kakek
Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika baru beberapa hari saja setelah
pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek
Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain
cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan
terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani
melakukan perjinahan dengan mantu tirinya ini secara berterang!
Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di
depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya! Ada pun Tek Hoat yang masih
hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok
Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman
dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Namun apa
yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada ‘Gak Bun Beng’,
dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka
berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di
dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!
Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu saat sebulan kemudian setelah pesta
pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika
mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan
tewas di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si
pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi
harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga,
dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang.
“Jahanam keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar!
Mengapa beraninya membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang
dan lawanlah aku!”
Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-huihouw
yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang
mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu,
Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya
tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek
dunia-kangouw.blogspot.com
Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan
mereka.
Namun, kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si
yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu.
Setelah nafsu birahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan. Demikian pula dengan
Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali
dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak
kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya
sengsara.
Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja?
Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biar pun tidak
setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Dan
akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki
kamarnya di mana dia memuaskan semua kehausannya.
Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui
genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di
atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali
tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati
dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak
peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas
genteng sambil mengerahkan khikang-nya berteriak keras, “Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?!” Dan
dia berkali-kali berteriak “Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan keluar.
Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal
adalah pemuda tetangga telah terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati
dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger. Tek Hoat lalu
menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan
kekasihnya, akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika
dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia
berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.
“Dia lihai sekali!” demikian dia menyambung. “Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan
yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya. Bedebah dia! Aku akan mencarinya
sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!”
Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya
telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian
dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan
nama ‘Gak Bun Beng’ menjadi kenangan mereka di kota itu.
Akan tetapi, banyak di antara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa
pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang
semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si
pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya! Mereka teringat betapa mayat lima orang yang
mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati
dengan kepala berlubang! Apa lagi si tetangga yang diserahi rumah makan mendapatkan kenyataan
bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, sedangkan semua harta benda yang berharga
telah lenyap!
Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan
timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri!
Apa lagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang,
terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa,
melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang
memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat
muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng,
telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak
menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam
Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi
sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu!
Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga
Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di
jalan.
Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang
bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah
perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena
perampok yang bagaimana lihai pun, begitu bertemu dengan pemuda ini tentu akan dihajar habis-habisan
dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya
seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi
Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku,
maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng!
Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia
merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai
seorang gagah nomor satu di dunia ini! Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia
harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman
Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.
Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan
untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya
bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan
juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan
bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!
Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan
itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang
hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan
dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima
orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!
“Haiii...! Minggir...!” Penunggang kuda terdepan berseru.
Namun Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum
sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, yaitu seorang berpakaian
perwira yang berwajah tampan dan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek
Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat
mengelak lagi!
“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?!” Bentak perwira itu sambil melemparkan
tubuh Tek Hoat ke samping.
Tubuh Tek Hoat lantas meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan ginkang-nya, tubuhnya melayang
perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang
penunggang kuda itu dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga
memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati
penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan perwira tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar
ke dalam hutan.
Tidak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka telah turun dari
kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedang mereka sendiri duduk di bawah
pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya,
seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan
tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah pakaiannya. Kudanya pun merupakan kuda
yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat
memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya.
Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk! Kuda
tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga
mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon
kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga tetap duduk
di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.
Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek
Hoat. Dia sendiri pun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apa lagi
melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut
dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali
kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan
wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang ‘terbang’ turun di depannya!
Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian sungguh pun kini dia baru tahu
bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.
“Bocah lancang! Mundurlah kau!” Terdengar bentakan halus dan mendadak Tek Hoat merasa pinggangnya
seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas.
Biar pun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya
ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih. Hampir dia tidak
dapat percaya bahwa ada orang, apa lagi hanya seorang wanita, bisa menggunakan sabuk sutera untuk
memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah
sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!
Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang,
pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggut lepas sia-sia belaka. Ketika
menoleh, dia melihat orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang
ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata
tajam.
“Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!”
Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke
arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk
tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak
mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga
tidak mampu berkutik. Ketika tubuh harimau itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan
sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya
terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke
bawah.
“Bressss!”
Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk di bawah
pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat
kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.
“Krekkkk!” Tombak itu patah-patah.
“Hati-hati, mundur...!” Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap
pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan
membantingnya lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak
melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali,
kuat dan kebal.
Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap
bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya
bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum
halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan
berkelojotan.
“Bunuh dia!” Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, kemudian menggunakan
tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan
panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu
seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau
mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!
“Heiiii...!” Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan
dengan pengerahan sinkang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.
“Plakkk...!”
Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu
terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan
tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia selalu mengagulkan
kepandaiannya, dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang!
Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa
memalukan!
“Hei, bocah lancang! Tunggu...!” Terdengar panglima itu berseru.
“Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian memang biasanya keras kepala dan sombong!”
terdengar wanita itu mencegah.
Tek Hoat berlari semakin kencang saja. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti
seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang
mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Ia mengepal tinjunya. Ia
harus belajar lagi. Ia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di
dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari
Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama
suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi
Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apa lagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun,
sungguh pun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak
mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu.
Betapa pun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya
terheran-heran. Apa lagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga
terpaksa dia lemparkan dari jalan.
“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata Milana.
“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip
sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali...!”
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana
sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In!
Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang
dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), akan tetapi kemudian
dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak
Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh
Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan
tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan
perjalanan dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang
dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa
tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya
sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tongpai.
Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun
itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan
tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia
memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang?
Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!”
Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat.
Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia
mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan
gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama
sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata
seorang di antara mereka.
“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap
kakap gemuk,” kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air di sini pun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap
saja, apa sukarnya?”
“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum
araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka
itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat
tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!
Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia
makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya
murung.
“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba
seorang di antara mereka menegur Tek Hoat.
Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia
hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari
ilmu!” kata pula orang kedua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar
angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku
telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh
binasa. Ha-ha-ha!” Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
“Huhhh!” Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang.
Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia mengagulkan kepandaian
sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri
lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku
meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr... trakkkkk!” Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah
dalam.
Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang kubidik tubuhmu,
tentu sekarang pun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap
gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya.
Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak
ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematah-matahkan paku seperti orang mematahmatahkan
sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan
pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di
balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan
segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan... muka
mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!
Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata,
“Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat.”
Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah
bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya
kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya
dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari
tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali.
“Jari... Jari Maut...” Bisiknya lirih, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan
rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan heran, kemudian mengambil uang yang
gepeng dan melesak di atas meja itu dengan cara mencukilnya dengan pisau.
Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja
dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan
dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan di luar kota raja, tentu dia tadi sudah
membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus semakin berhati-hati, tidak mencari permusuhan
karena kepandaiannya belum tinggi.
“Wan-kongcu...!”
Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan
lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khikang yang kuat sekali. Dia cepat
menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan
kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja
orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang ini memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik
yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar hidung dan
bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul,
ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya gendut pendek.
Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang itu keluar asap
tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja,
akan tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah
aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan
napasnya?
Dan dari dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya, kalau
perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti
katak, hanya agak jarang terdengarnya dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.
Sejenak kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang
aneh itu memandang dengan mata berputaran dan mulut yang menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan
diri berlutut dan berkata, “Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha,
akhirnya dapat juga kita saling bertemu!”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak segera
menyangkal dan dia malah memancing, “Siapakah engkau?”
“Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya? Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang yang
paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek.”
Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Neraka pun baru
sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan
segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh
ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.
“Kau mau makan?” Dia menawarkan.
Kong To Tek girang sekali, kamudian tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia
menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.
Kong To Tek adalah salah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau Neraka
yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua
adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo (baca
Sepasang Pedang Iblis).
Pulau Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau Neraka yang
penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sute-nya, Bu-tek Siauw-jin, saling bertanding sendiri hingga
keduanya tewas bersama, kemudian ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk
kemudian ikut suaminya, yaitu Pendekar Siluman ke Pulau Es. Lalu mengapa Kong To Tek bisa berada di
tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka? Biarlah kita dengarkan sendiri
penuturannya kepada Tek Hoat.
“Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka?” Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing.
“Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi.”
“Ha-ha-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu.
Kong To Tek dari Pulau Neraka yang asli!” Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan menggarukgaruk
kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Tek Hoat merasa ngeri juga
menyaksikan sikap liar ini.
“Kalau engkau betul Kong To Tek yang asli, coba katakan siapa namaku.”
“Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua
Pulau Neraka.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang
disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan
bahwa wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.
“Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku?”
“Ha-ha-ha, apakah kongcu main-main? Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong... dan karena
pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu.”
Tek Hoat pura-pura kaget. “Apa? Guruku... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?”
Si gundul itu mengangguk-angguk. “Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, sejak kongcu berlari pergi... dan
tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi...”
Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera
seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal
dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali lagi!
“Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka.”
Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biar pun berada di depan
majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar
yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan
penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih,
otaknya miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.
Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau
Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang
merupakan manusia-manusia sakti yang jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cuibeng
Koai-ong Si Mayat Hidup.
“Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia
mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan susiok-mu Bu-tek Siauw-jin yang
mengakibatkan keduanya tewas!”
“Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu?” Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan
cerita aneh ini.
“Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan sepatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu
yang dimiliki suhu-mu dan susiok-mu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia cepat melompat bangun dan menghardik. “Di
mana pusaka-pusaka itu?”
Si gundul tertawa. “Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta
huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat dan meniru gambargambarnya
itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang hebat ini, kongcu!”
Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik, kemudian menubruk pohon itu
dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.
“Heiii...!” Tek Hoat berseru kaget.
“Desss! Brakkkkk...!”
Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda
ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja,
bahkan dia mengejek, “Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri di depanku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba si gundul berlutut. “Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan
bahwa betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat
hebat.”
“Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!”
“Baik, baik... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam goa yang selama ini menjadi tempat
tinggal saya.”
Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan ginkang-nya dan sudah berlari secepat mungkin, akan
tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!
Goa itu berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah
dikunjungi manusia. Goa yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu
menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan
dengan jantung berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang.
Dicabutnya pedang itu dan matanya langsung menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya
kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau amis
bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama
pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)!
Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik
lembaran dua buah kitab itu. Dan ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat yang
mukjijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil
ciptaan Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding sampai
keduanya mati, Cui-beng Koai-ong yang agak jeri terhadap sute-nya telah berlaku curang, dengan mencuri
kitab yang kedua itu dari sute-nya.
Akan tetapi sebelum dia sempat mempelajari kitab sute-nya, keburu mereka bertanding karena masingmasing
membela murid mereka. (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS).
“Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang, kongcu?”
Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk. “Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali.
Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan
melupakan jasamu ini.”
“Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan yang kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi
akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhumu.
Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggung jawabkan kelak kalau aku tidak berhasil
menyerahkan semua ini kepadamu.”
Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada ‘gurunya’
yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, “Kong-lopek,
menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai di antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau
Es?”
Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. “Jangan... jangan... sebut-sebut
nama dia... dia... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti... ihhh... aku takut, kongcu.”
Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek ini pun
ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.
“Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?”
“Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat,
mengerikan... tapi kalau suhu-mu dan susiok-mu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang.”
Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab
wasiat suhu dan susiok-nya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat
menandingi Pendekar Siluman.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam goa bersama Kong To Tek yang melayaninya dan
yang selalu menjaga di luar goa di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda
ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biar pun hanya terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh
ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam,
kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sinkang dan bersemedhi menurut petunjuk di
dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya
digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.....
********************
Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mukjijat, ilmu yang amat hebat dan yang
kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong
To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk
melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti
pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang
prajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga
meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang
keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para prajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari
jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang
bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat,
maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api
merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang
rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di
sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang
menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan
persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan
penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, “Tanciangkun,
karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan
penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tanciangkun
suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia.
Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang
musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat.
Mereka menggunakan ilmu berlari cepat.
Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang
ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja
yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka
tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan
pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang
gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah
kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak
obor itu.
“Hemmm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa isi rumah itu,” kata Panglima Jayin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ssttttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku
merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarang obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah
buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar
lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari
mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh
kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena
tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya
dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan
penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang
menanti kita di sana...”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh,
Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya.
Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang
menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak.
Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya,
sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan
kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini
tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang
pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang
tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin
dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat,
bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat
masuk.
Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jeri dan tidak berani mengejar temannya, Panglima
Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya
terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu
dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat,
asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi sekarang menyerang mereka dari luar benteng obor dengan menggunakan anak
panah! Tentu saja kedua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat
mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang lagi oleh hujan anak panah.
Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka berpijak terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan
Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kanan untuk menangkis,
sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau
penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh
terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, seolah-olah orang yang
bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga
obor...!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri
sampai melalui tiga batang obor.
“Maju melalui sebatang obor...,” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor...!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus
menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu
rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal
raja berburu. “Masuklah cepat, dan untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah,
dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di
atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang
aneh.
Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan
segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan
jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling
menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada
sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat
kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di
belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di
depan Raja Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan
girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung
itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita
mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh,
kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari
kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar
bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal
itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera
menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia
berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang terlambat tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!”
Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya, berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya segala
kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah
dan mari duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah
seorang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin
rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki
buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan
lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han.
Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan
dengan berlutut.
Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat
terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja,
cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima
Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, yang membuat Pengawal Tan tunduk
dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri
hendak meneliti keadaan di luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke
pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor
yang dibuatnya.
Ketika melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah
mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi
mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapa pun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting,
dan jika makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi
berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi
mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi.
Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam
karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini
pula yang tadi ‘menuntun’ Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tanciangkun,
betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di
ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil
pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga
roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andai kata kita bertiga dapat menyelamatkan diri,
bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri
membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap
suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya
maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi
kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolaholah
berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, “Dapatkah disebut
perbuatan baik apa bila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada
pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa
harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik.
Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apa bila
dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja,
melainkan wajar dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu
kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan
kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.” Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang
masuk dan kembali dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga
untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.”
Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua
matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang
panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti
yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang
merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apa bila sedang
melakukan olah raga berburu binatang. Maka biar pun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan
raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tanciangkun
kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak.
“Sudah ada di antara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang
mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar
dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata,
“Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan
semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, pihak musuh tentu tidak berani
sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor,
kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu
dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau
obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak
dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia
seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan
kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti!
Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu dari pada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari
kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau
mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela
napas panjang, lalu berkata, “Aku hanya minta apa bila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar
mereka berada di sini, agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka
sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari
mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun,
“Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali pendekar itu menarik napas panjang. “Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga
ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam,
sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor.
Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan
juga di pihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapa pun mereka berusaha, mereka
tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati
terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu
jika semua obor sudah padam.
Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan,
tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu
mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah
yang disambit-sambitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan
tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan
menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang
bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah
padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu
sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan
musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah
pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil.
Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya
meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang
Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah
saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian
tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang
dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai ‘menghilang’ ini, dan tak lama
kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan
ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap
untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah
berseru keras, “Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok
musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang prajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus
ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman
telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah
musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tanciangkun.
Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali
akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa
pamit.
Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi
dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super
dunia-kangouw.blogspot.com
Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam
perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya
mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang
amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia
mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di
Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itu pun tidak mempunyai niatan
pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua
orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena
sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya
tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh dari pada segala keramaian
dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana
orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka
tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.
“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka
sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti
mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat,
tentu mereka menghadapi mala petaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!”
kata Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku
datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti
membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku
yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang
isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk,
dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu
mereka mempunyai anak, dia menjadi ‘orang kedua’!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau
tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.” Suara Nirahai
menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini
mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan
benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk
ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat
menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata,
“Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia cukup
bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.” Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya
dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah
kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka.
Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi
tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya
dunia-kangouw.blogspot.com
dan dia pun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai
sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan
bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan
mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm..., justru karena mereka berdua, bocah-bocah
bengal itulah, maka kehidupanku yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru
untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini
mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala. “Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah,
kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa
bulan...”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihhh, ke mana gerangan mereka?
Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Janganjangan
ada sesuatu yang menarik hati mereka...” Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu...!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang,” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda
putera selir ketiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan
utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong
puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu
yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama
meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari
Milana. Kaisar ini merupakan kaisar kedua dari Kerajaan Mancu.
Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh...! Bhutan...? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar
ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia
pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan
bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu.
Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke
Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi begitu!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah
mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera
Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan,” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang
suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana menunduk. “Aku... aku ingin sekali seperti dulu...”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami
kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihhh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu
dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan
merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana. “Ayah...”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah...,” suaranya lirih sekali, agak gemetar dan parau, “Pernahkah ayah mendengar tentang... dia...?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia
menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, “Aku tidak pernah
mendengar... entah di mana... kau... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...”
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru berani
membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi dia pun tahu bahwa
anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya
itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.
Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang
sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI dan
SEPASANG PEDANG IBLIS) kini menimpa pula diri puterinya? Kasihan Milana...!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri
Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biar pun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan
Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.....
********************
Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka.
Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu
dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu
saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.
Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan,
Kian Lee menyikut adiknya. “Lihat itu...!”
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan
setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan
seekor burung hitam yang besar sekali.
“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”
“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. “Kalian
mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan Tocu kami, dan yang dua ekor adalah
Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk
kami, he-he!”
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumahrumah
di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu
mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu
dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun.
Akan tetapi dua orang anggota Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya,
menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar
suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar.
Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi,
digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir
mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan
dipanggang!
“Lee-ko... aku... aku takut...” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.
Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut
itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
“Bu-te... kita harus dapat meloloskan diri... sekarang juga...,” bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka
berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk
itu!
Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta
pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak
buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali
sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan
usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
“Bu-te, sekarang...!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan
gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan ginkang mereka dan meloncat ke atas punggung burung
yang tinggi.
Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk
musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam
kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap
mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!” Berkata
demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya.
Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi
Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan
terbang pula!
“Yahuuu...!” Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa...!” Teriaknya pula
sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar...!”
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di
punggung burung besar itu duduk... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerakgerakkan
kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya
juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya. Dua ekor
rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tak
akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu
mengeluarkan pekik nyaring dan... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
“Eh-eh, heiiitttt... kurang ajar!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk
rajawali hitam yang ditungganginya.
Tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan
ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?
Ternyata Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang
ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia
kemudian mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya hingga dia mengamuk membabi buta.
Karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan
kemarahannya kepada rajawali hitam!
Ada pun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada
rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, “Rajawali yang baik, kau tolonglah kami
berdua...”
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat
temannya menerjang rajawali hitam, dia pun membantu dan menyerang dari belakang. Segera terjadi
pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa
tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik
dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa. Sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting
dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!
Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke
arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat dia pun
harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi
akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan
kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang
dirinya!
Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan
minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika
anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah
mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!
Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan
jeri, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapa pun Hek-tiauw Lo-mo
membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor
rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang
semakin erat.
Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah
pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
“Aduhh... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya!
Berwarna-warna, biru hijau kuning... dan pepohonan itu demikian kecil!”
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab,
maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biar pun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.
“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal dari pada yang ditunggangi Kian Lee.
Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu
yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan
menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala
ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan.
Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu
dan mulailah dia ‘menyetir’ burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu
mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
“Ah, di sana itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan
berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia
sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga
berwarna putih dan berkilau seperti itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya
menuju ke sana.
Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak
itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka,
Pulau Es!
“Ayaaaaaaahhhhh...! Ibuuuuu...!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana
Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu
berputaran di atas pulau.
“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun...!”
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapa pun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja
sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena
mereka merasa takut.
“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun...!” Kian Lee berseru keras ke bawah.
“Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!” Terdengar
lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok
dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan
gerakan mereka menjadi lemah.
Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan
tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini,
sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar
Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan
Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
“Kian Lee...!”
“Kian Bu...!”
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini
kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada
beritanya.
“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa, menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali
oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir
berbareng kedua orang anak itu berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”
“Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super
Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Mereka pun tahu
kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa
pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biar pun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal dari pada kakaknya, namun menghadapi ayah
mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak
menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga
kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguh pun jantungnya
dicekam rasa jeri. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan ‘petualangan’ kakak beradik
itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan
tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah
menjadi ketua Pulau Neraka. “Kalian sampai di Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang
terjadi di sana?”
“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan
tawanan oleh ketuanya.”
“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.
Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.
Mendengar suara ibunya, Kian Bu mulai berani membuka mulut. “Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung
Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau
Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan
menerbangkan kami sampai ke sini!” Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lomo,
ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan
tertarik.
“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu
menghampiri Kian Lee. Mereka berniat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan anak-anak
mereka dengan rantai besi panjang itu.
“Jangan buka belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han berkata.
Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka. Dengan suara tenang namun
penuh kepastian Suma Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung
dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka
harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan
bersemedhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati kedua orang puteranya dan
tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
“Bukk! Bukk!”
Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata
terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju
bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.
Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi,
barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka...?”
“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak
sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang
isterinya tidak berani membantah.
Mereka berdua hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara
seperti orang menangis ketika memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian sepasang
rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.
Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman
untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang
menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju
putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari semedhinya.
Melihat ibunya, Kian Lee hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.
“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersemedhi lagi. Ingat, tubuhmu
takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu
makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah
makan minum, mereka melanjutkan semedhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan
dua orang isterinya telah berada di puncak. “Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!” Suma Han
berseru dan suaranya yang disertai khikang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda
yang sedang semedhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan
menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.
Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, “Sekarang, kerahkan
hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba
renggutkan belenggu itu agar patah.”
Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersemedhi, mereka terlindung oleh hawa panas
yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sinkang di waktu hujan
salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sinkang
dan merenggut.
“Krekk! Krekk!” Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!
Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han
mengerutkan alisnya dan berkata lantang.
“Haiii...! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti bersemedhi, kemudian makan dan
minum?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa
ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidak pun dia tidak berani.
“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang
akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”
Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh...
kelemahan hati wanita memang sering kali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”
Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. “Eh... apa... maksudmu...?”
“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat
bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru saja mengalami ketegangan
hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak
terganggu, kiranya saat ini mereka sudah berhasil mengumpulkan sinkang yang sepuluh kali lebih kuat dari
pada sekarang!”
“Ohhhh...!” Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu
sebelumnya?”
“Tidak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat
menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang
mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian
masih jauh dari pada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan
orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu
kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak
kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah
mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”
Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari
itu mereka seperti berlomba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Ada
pun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka.
Sering kali dua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekedar untuk
terbang di udara, di atas Pulau Es.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot
ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah
mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia
mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.
“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, tetapi kalau
tidak ada terjadi suatu hal, aku pun tidak akan menyusul sejauh itu.”
Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami
Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat,
sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada
kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku
bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.
Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia
menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului
rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua
puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super
Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti biasanya kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sekarang mendengarkan pengalaman ayah
mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh
kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar
biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk
berlatih ilmu silat lebih giat lagi.....
********************
“Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti
yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...”
“Aiiih... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya
obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali... masakah kongcu sendiri tidak ingat?”
Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In
dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu!
Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, “Tentu saja aku ingat, Kong-lopek.
Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat dari pada ingatanmu!”
“Tentu saja... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat
ini...”
“Hemmm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu
sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan amat menakutkan?”
Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua bola matanya. “Hebat sekali
obat itu... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau
sendiri yang menerima obat buatan suhu-mu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan
keampuhannya yang mukjijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri... ahhh, dia sampai lupa daratan, hilang
ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman
yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam
racun, bahkan dia telah menjadi murid susiok-mu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiok-mu telah diberi makan
racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhu-mu! Nona yang kebal itu pun
menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mukjijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan
main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai dari pada susiok-mu.”
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti
dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa
dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. “Ha-ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu
aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang catatan
pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin sekali mencoba membuatnya.”
Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu menggeleng-geleng kepala, menarik napas
panjang dan berkata, “Terserah kepadamu, kongcu. Tetapi aku merasa ngeri... hemm, obat itu hebat sekali
dan amat berbahaya...” Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan
mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat
perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah
sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa
didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati
yang hanya bisa dia dapatkan dengan menggali kuburan!
Selain itu, apa bila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang
yang hendak dirampas ingatannya, ada pula manteranya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat
perampas ingatan ini bukan racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mukjijat dari ilmu
hitam!
Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia
berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia lalu memandang bubukan berwarna putih yang berada di
depannya.
“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi dari pada
ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”
Kemudian pemuda itu termenung. Obat mukjijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab.
Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara
membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan
satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang!
Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar goa membuat dia tersenyum.
Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil
tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan
dan yang merah adalah obat penawarnya, dan dia membawa dua bungkusan itu ke dalam goa.
Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke
dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam goa, Kong To Tek yang mencarikan
segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.
“Kong-lopek...!” Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan goa, guci arak dan dua cawan kosong
di tangannya.
Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. “Kau perlu apakah,
kongcu?”
“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil tersenyum
girang.
Namun Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk
apakah kongcu?”
Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu
menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan
hasil baik ini!”
Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua
cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan
girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera
ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan kedua yang diisi dari guci yang
sama.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat
betapa kakek itu berulang kali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam
kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur,
maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan
ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang
masih tidur di bagian luar goa yang besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali,
tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang
pundak kakek itu.
“Lopek! Kong-lopek, bangunlah...!”
“Hemmm... ahhh... masih mengantuk... ehhh, siapa kau...?” Kakek gundul itu membuka mata, menggosokgosok
kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu kembali memandang lagi kepada Tek Hoat,
kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.
“Di mana aku...? Siapa kau ini orang muda...? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu kelihatan
seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan
bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!
“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”
“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku... hemm... siapa pula aku dan di manakah tempat ini? Mengapa
aku tidur di goa?”
Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. “Lopek, masa
engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat...? Hmm, terdengar asing, tetapi
mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?”
Tek Hoat menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong To Tek!”
“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong
To Tek.”
Tek Hoat tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”
Seharian itu Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan goa sambil
termenung, agaknya kebingungan dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama
sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan
pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!
Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika
mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek.
Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.
Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek. Dia akan
memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. “Eh, lopek Ang
Tek Hoat, kau baru bangun?” tegurnya menggoda.
Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain
dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik
dan suaranya terdengar penuh wibawa, “Orang muda, siapa engkau? Namaku bukanlah Ang Tek Hoat,
melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa engkau berani memasuki goa rahasia yang menjadi
tempat persembunyianku ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di
bawah sinar matahari pagi, di depan goa besar itu.
“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...”
“Bohong...!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biar pun wajahmu mirip sekali dengan Wankongcu,
akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih
hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo
mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau...
kau... sudah lamakah berada di sini?”
“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin...”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru