Selasa, 29 Agustus 2017

Cersil Mandarin Suling Emas Naga Siluman 7

Cersil Mandarin Suling Emas Naga Siluman 7 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Mandarin Suling Emas Naga Siluman 7
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pek In tidak membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke depan,
akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Tunggu dulu. Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan
Pek In menghentikan langkahnya, menoleh.
Pada saat itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang itu pun
melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala dan kini mereka bertiga bersicepat
mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga
orang yang kepandaiannya amat tinggi! Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia menyeberang, dia
memberi isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu menurunkan lagi tambang itu sampai
tidak nampak tertutup kabut yang bergantung di dalam jurang.
“Siapa kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?” Pek In membentak setelah dia
berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan mendapat kenyataan bahwa selain
orang pertama, yang buntung lengannya dan bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda
yang berdiri di depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.
“Nona, benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi bahwa di sinilah
Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami bertemu dengan para penghuni
lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan
mereka.”
Sampai beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik, kemudian tiba-tiba
dia berkata sambil bertepuk tangan, “Aih, bukankah aku berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Kao Kok Cu dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini memiliki
pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat mengenal mereka.
Dan memang Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan, “Dan kalau
Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah isteri Paman dan dia ini tentulah Jenderal Kao Cin
Liong, putera Paman!”
“Hemm, siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng bertanya,
sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.
Cu Pek In tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang orang-orang
kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak keterangan dari ayah dan para
pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu. Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan
cacad pada lengan yang buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria
berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu, tidak sukarlah baginya
untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao
Cin Liong yang telah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.
“Namaku Cu Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!”
Setelah berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan menggunakan seluruh
kepandaian ginkang-nya untuk berlari secepat mungkin. Tentu saja maksudnya untuk menguji kepandaian
tiga orang ini. Dia memang memiliki ginkang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja. Setelah lari
cepat beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya melihat bahwa
tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja
namun tak pernah tertinggal sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun
Pasir sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan malah diam-diam dia merasa khawatir sekali karena
dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah maksud bermusuh.
Dan pada saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng Bu,
sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga Sim Hong Bu yang boleh
dunia-kangouw.blogspot.com
diandalkan itu masih berada di dalam goa. Betapa pun juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh
kepercayaan bahwa bagaimana saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia
percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.
Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang
tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu
Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihat
kedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat
rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah
mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah.
Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai
datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan
gembira, “Ayah, Paman, tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?”
Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu
dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu
hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga
gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi
pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti
dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat
menduga seperti kakaknya.
“Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh
kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan
puteranya?”
Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi
amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya,
akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.
Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang. “Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga
Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”
“Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya
bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya
kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan
mari kita bicara di ruangan tamu.”
“Terima kasih.”
“Silakan!” Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu
Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang.
Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan
duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar.
Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar
dan tegas, namun penuh hormat, “Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah,
silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami.”
Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikul bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan
merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw
bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya,
maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapa pun juga, dia dan isterinya hanya
membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.
“Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koailiong-
pokiam!”
Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perubahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang
memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang. Cu Han Bu memandang
dunia-kangouw.blogspot.com
tajam dan berkata, “Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan
pedang pusaka itu seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?”
Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung.
Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya. Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata,
“Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah
Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali
pedang Koai-liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang
lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini.”
Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat
menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan
akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar
lain lagi soalnya! Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai
pemberontak!
Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa
melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini
berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walau
pun sebagai utusan Kaisar. Dan kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka
harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh
jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.
Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata, “Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam
gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap
sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami
yang dulu hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu!
Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana.”
“Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liongpokiam
itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan.
Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu.
Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang,
sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini
dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, supaya memudahkan tugas kami sebagai utusan
Kaisar.”
Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama sekali tidak
berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri
permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walau pun ibunya, Wan
Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merandahkan diri!
“Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang.
Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan penghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata
pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.
“Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu berhasil mendapatkan pedang
itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau
pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?”
Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Orang muda, engkau terlalu mendesak!”
Kao Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah. “Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap
engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”
“Kalau aku tidak mau memberi tahu?”
“Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”
“Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik
keluarga kami, maka bagaimana pun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin dianggap
dunia-kangouw.blogspot.com
memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang
itu sekarang berada....”
“Ayah....!” Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk
kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Untuk mendapatkan keterangan dari kami, lebih dulu Sam-wi harus dapat mengalahkan keluarga Cu!”
“Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!” bentak Wan Ceng
yang sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang, dan dia menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Lalu
ia menghadapi Cu Han Bu dengan suara yang terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah,
namun terdengar penuh wibawa, “Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anakanak
kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan
kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan
memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat
yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”
Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan
rasa jeri di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang
tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga,
tak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu
karang di tengah laut.
“Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu. Kami berdua akan maju
mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar,” kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan
sebutan utusan ‘Kaisar’ untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun
Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.
“Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil,” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian.
Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?”
“Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah,” sambung Cu Han Bu, tenang.
“Bagaimana kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.
Cu Han Bu tersenyum. “Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian
harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang.”
“Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.
“Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan.”
Cin Liong mengepal tinju. Kata ‘keberatan’ itu sama dengan ‘takut’!
“Baik.” jawabnya. “Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian
dalam urusan pedang, dan aku sendiri akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti
tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!”
“Cin Liong....!” Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.
“Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah,” katanya tenang.
“Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.
Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam. “Kalau kami yang kalah, kami akan
memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala
dan mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio.”
“Ayah....!” Pek In berseru kaget, mukanya pucat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Tadi Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan
kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami
mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir
merupakan kekalahan yang terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”
“Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako,” sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum
mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya
mengambil keputusan ini.
“Baik sekali. Nah, kita boleh mulai,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan ia pun bangkit berdiri, siap untuk
bertanding.
Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya. “Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu.”
Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah
mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biar pun masih muda, namun Cin Liong
bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang
pandai pada saat menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.
Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju
lebih dulu mewakili keluarga Cu.
Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu masih
muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biar pun
pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin
memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang
baru saja dewasa.
Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah. Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya
dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu akan melampaui dia kalau
pemuda itu sudah dapat menguasai Koat-liong Kiam-sut secara sempurna.
Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa
dia tentu seorang ahli ginkang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan
tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak
bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut
pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan
pemuda itu.
Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan
menyelidik.
“Kao-goanswe, kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih
dahulu!”
Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang
lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah. “Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silakan
mulai lebih dulu, aku menanti,” katanya.
“Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya.” Cu Seng Bu pun tidak
mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring, “Jaga
seranganku!”
Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan
yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runcing
melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang
terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main.
Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan
dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip, dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri,
mengelak dan mencari lubang pada lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi
kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merubah serangannya.
Sekarang dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala,
sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar!
Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda
dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya
meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah.
Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu
selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.
Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada
ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya. Sedangkan tangan
kanannya, pada saat itu juga, selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan
dengan tangan miring, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki
itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya
remuk sama sekali.
Namun, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda
itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat
mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga
menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling
bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.
“Dessss....!”
Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing
merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.
“Haiiittttt....!”
Cu Seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan
merupakan serangan gertakan, tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang
mencuat dari bawah lengan kiri itu, dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan
kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di
Bawah Daun).
Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perubahan, maka dia pun mengelak dengan
menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya tiba-tiba telah merubah gerakan,
tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar
dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat
mengarah pada dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!
Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari
Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuh Cin Liong meliuk-liuk bagai seekor
naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang
dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah
sekali.
Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran. Ketika dia
melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping
mengarah pelipisnya, dia pun lantas mengerahkan tenaganya dan menangkis sambil membentak keras.
“Dukkk!”
Kedua lengan itu bertemu dan keduanya telah mengerahkan sinkang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin
Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari
kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi,
menggunakan kekerasan. Terdengar suara ‘dak-duk’ menggetarkan jika lengan mereka saling bertemu dan
berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau terhuyung.
Perkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang,
sungguh pun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali pula dia menyeringai
seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia
mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya. Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang
diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima
kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu
menjadi semakin nekat.
Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua
tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu Han Bu sampai
menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah ingin mencegah adiknya.
Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong
maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking
nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, bagaikan
seekor naga yang sedang terbang! Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biar
pun ilmu itu untuk seorang yang berlengan satu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong.
Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan
tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke
depan.
“Bressss....!”
Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada dua bintang
bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian
terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya
menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang
lemas.
Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkgsa itu masih berdiri tegak dalam
keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan
berpedang, hal itu amat memalukan sebab merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak
tahu diri dan tidak mau kalah.
“Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu sambil
memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut.
Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang
berkali-kali, kelihatan menyesal sekali. “Adikmu ini tiada guna, Twako,” katanya dan tiba-tiba dia
muntahkan darah segar.
“Mengasolah, Adikku,” kata kakaknya.
Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat
duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di
sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi.
Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau
dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andai kata dia kalah
pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas
sehingga dia harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.
Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru, “Sambutlah, Ayah!”
Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang
mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling
emas! Cu Han Bu memegang suling emas itu, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu
menggeleng kepala.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, Pek In! Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!”
Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling
Emas dan sejak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi
mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan
seperti ejekan saja.
Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh
kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk
emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.
Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, dengan
sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah
bangkit dari tempat duduknya.
Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata, “Ayah,
akulah yang wajib melaksanakan perintah dari Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku telah
gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan terlebih dahulu. Marilah, loenghiong,
mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“
Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan
sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali mempunyai sahabat seperti keluarga Kao
yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya
oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya kereng ketika dia
berkata,
“Kao-goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah
olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau mengeluarkan senjatamu!”
Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua
tangan dan kakinya seakan-akan sudah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah
memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di
pinggangnya kalau dia berpakaian dinas hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun
dia tidak membawa senjata.
Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan
suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.
“Cin Liong, terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai
mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya
dengan manis.
Itulah pedang Ban-tok-kiam! Pedang ini sangat berbahaya karena mengandung racun-racun yang amat
hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk
bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut.
Biar pun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, akan tetapi jangan disangka bahwa Cin
Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata,
terutama ilmu pedang!
Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi
lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata,
“Orang muda, lihat seranganku!”
Tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin
Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan
yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri. Entah mana di antara
keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang
mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan
bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai dari pada Cu Seng Bu tadi.
Sedangkan terhadap Cu Seng Bu ia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa
sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia
pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut
cengkeraman tangan kiri lawan.
“Tringgg.... Plakkk!”
Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan
betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa
tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi
karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar
keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.
Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring.
Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar
menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Dia
merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya
menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!
Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk
emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda
itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian
secara mendadak gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu
dengan gerakan lambat.
Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan
begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu
sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga
yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya! Tahulah dia
bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha
untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan
senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah kuat dibandingkan
dengan orang ini.
Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah
ada gulungan tenaga yang tak nampak sehingga tiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas
menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu,
setiap kali menyerang sabuk emas tidak dapat dielakkan lagi karena biar pun gerakan sabuk itu lambat,
namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak! Oleh karena ini, pemuda itu
terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena
memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali
menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!
Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang
hingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia
berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat
dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi
semakin lemah. Betapa pun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu
Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya, dia masih mampu bertahan sampai
seratus jurus dia belum juga kalah, walau pun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.
Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia
mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biar pun dia juga
maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri
sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.
Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal
hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biar pun andai kata dia masih hidup, namun dia dan adiknya
seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala
mereka. Inilah sebabnya mengapa dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah
serangannya itu akan menewaskan lawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat betapa lawannya itu semakin kuat dan semakin ganas, mendadak Cin Liong mengeluarkan pekik
melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hokte
dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh
pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah
oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.
“Trannggg.... plakkkk....!”
Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah
dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao
Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.
“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya.
Pemuda itu pun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan
juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biar pun tulang pundaknya tidak patah,
namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada
pundaknya. Jelaslah bahwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan bunuh diri, maka dia pun
menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh ibunya yang segera
memeriksa pundaknya.
Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa
panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya
menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan
Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.
Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu, sekarang
keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”
“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.
“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.
Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah
kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya serta
menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.
Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakangerakannya
dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan
sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat
sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara
sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang
dimiliki keluarga Cu ini.
Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya.
Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Ketika menghadapi Cin Liong, orang ini kadang-kadang
mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak
memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, lalu dia mengubah gerakannya menjadi
lambat-lambat sekali.
Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat
berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan
lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak
dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan
lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu
menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang seranganserangan
Cu Han Bu itu biar pun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi.
Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan
khikang-nya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!
Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali
menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan cara sembarangan
saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan.
Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah!
Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan padanya! Gerakannya
dipercepat hingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi makin lebar, dan tubuhnya lenyap
sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!
Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak
dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang,
menyerang ke depan, dan lengan baju kirinya yang ‘kosong’ itu bergerak-gerak dan seperti hidup!
Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan
dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarik
kembali dan otomatis gerakan sabuk itu pun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat,
menghantamkan tangan kirinya.
Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan
Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mukjijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis
dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai
beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang
sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!
Cu Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelas dia menderita luka
dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Kok Cu, kemudian mengerakkan
tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!
“Wuuuut.... tranggg....!”
Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang
meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak
membunuh diri.
“Hanya kaum pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdengar suara
Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung penuh kekuatan, sedemikian dahsyatnya
sehingga seluruh benda di sekitar tempat itu pun ikut tergetar.
Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk,
bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya, oleh
karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia
tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh
ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya
dengan air mata menetes di kedua pipinya.
Suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan
berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan
keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki
kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek
In, dan mereka menanti.
Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya
terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan
mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.
“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena
engkau telah mengingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut
menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama
dunia-kangouw.blogspot.com
Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya. Dan sekarang, dialah yang
berhak atas pedang itu, bukan kami.“
Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat
keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan di mana adanya Sim Hong Bu itu, Loenghiong?”
Cu Han Bu tersenyum pahit. “Goan-swe, engkau boleh menangkapku, membunuhku, akan tetapi jangan
harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi
muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”
Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang mata dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum
bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan
nyawa dari pada harus mengkhianati orang sendiri.
“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim
Hong Bu?”
Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”
“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong, tetapi ayahnya mencegah.
“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia
sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi
kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu
menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu, dan maafkan semua
perbuatan kami.”
Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan
berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan
membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.
“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak
akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami
itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai
dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan
kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”
Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian
kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah
jurang penyeberangan.
Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau pihak tuan rumah
menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andai kata dirusak saja
jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagai mana harus keluar dari lembah yang terasing dari
dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, kemudian Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan
tambang diangkat naik, gadis itu pun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang
tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat
jalan!”
Kao Cin Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona, dan maafkan kami.”
Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat, kembali menuju
ke lembah. Kao Kok Cu lalu menarik napas panjang. “Sungguh sayang, Cin Liong, kita sudah menanam
bibit kebencian di dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”
“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.
“Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas
perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan perorangan
dunia-kangouw.blogspot.com
dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya
masih belum berubah, yaitu keras dan berani.
Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan
puteranya, betapa pun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu,
nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah
pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah
menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran
baginya dan keturunannya.
Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata
dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Barusan kita telah mengalahkan keluarga itu, dan
kini, bagaimana pun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan
merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”
Kao Cin Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada
jauh dari lembah ini!”
Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah
melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka. Apalagi,
seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah goa rahasia untuk melatih ilmu
Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.
Dan karena selama beberapa hari mereka menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka
melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu
Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi, kemudian membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.
“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik
kepada suaminya.
Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun ingat, itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya,
yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat.
Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik,
seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu. (baca Kisah Jodoh Rajawali)
“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan.
Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid
keluarga Cu yang berilmu tinggi, walau pun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid
mereka.
“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah,” bisik Kao Kok Cu.
“Sebaiknya kita bertanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat
keluar, diikuti suaminya dan puteranya.
Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan
dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan
dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.
Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali
karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia
terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan
juga gembiranya dia lantas berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun
Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”
Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar
seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan kekasihnya pernah pula bercerita tentang pertemuan
kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kao
Liang, ayah dari pendekar sakti ini.
“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang tajam wajah gadis itu,
akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”
Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tidak pernah
didengarnya, yang hampir dilupakannya itu. “Ahhh, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Angsiocia
lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berubah dan dia tidak
melanjutkan kata ‘tunangan’ itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”
“Ahhh....!” Cin Liong berseru, kecewa.
“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” tanya Kao Kok Cu.
Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura
dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali
dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya
ini.“
Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa dan bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang
merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik
cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong
Bu....?”
“Sim Hong Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka
boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk
menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas
yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah, dan
menandingi, atau kalau mungkin mengalahkan Suling Emas?
Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka. “Paman, jangan beritahukan! Ayah
dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”
Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar
mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana
adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”
Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan
isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku
tidak peccaya....”
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin supaya pedang pusaka yang
dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”
Mengertilah kini Yu Hwi dan dia pun menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya.
“Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang,
menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat
memandang saja.
“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus
dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang lalu mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah.
Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah,
dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke goa tempat persembunyian
Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya
karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan
dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang
mengasingkan diri!
“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan kemudian meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri
sebagai pendeta, aku ingin terlebih dahulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa
terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah
dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi
untuk mengurus lembah ini. Akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah,
asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar
dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian….” Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas
panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.
“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan
engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau sekarang menjadi buronan
pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa
engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”
“Teecu bersumpah, Suhu,” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Dengan taruhan nyawa, teecu akan
mempertahankan pedang ini!”
“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain
mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang
terpaksa kita rubah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koailiong-
kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan
ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian
harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”
Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak.
Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan
pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak. Apalagi kalau dia teringat kepada Ci
Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum bahwa dia tidak dapat menolak
permintaan suhu-nya ini.
“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”
“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-Suhu-mu telah terluka dan terpaksa menjadi
hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa jika engkau sudah
menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar
kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir. Atas nama kami, balaslah kekalahan kami untuk
mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”
Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhu-nya. Suhu dan susiok-nya ini
kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya
tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu
keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada
yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti
tokoh dewa dalam dongeng?
Tetapi dia tahu, suhu dan keluarga suhu-nya memang amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan
karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tidak pernah
terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, dan nenek moyang mereka yang
menciptakan benda-benda pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.
Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat
membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi, “Hong Bu, ketahuilah bahwa
kami tidak memiliki dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara
mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi,
jika engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh
mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”
“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan,” akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia
mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga
dia sudah terlanjur berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoi-mu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini
untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu,
Hong Bu.”
Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan jantungnya
berdebar-debar tegang.
Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan
membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoi-nya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun
sudah dapat menduga dari sikap suhu-nya bahwa suhu-nya juga setuju untuk mengambil dirinya sebagai
mantu. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid suhu-nya. Tanpa disengajanya,
tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.
“Suhu.... tentang hal ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal…. soal perjodohan....”
Cu Han Bu menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau
kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu. Urusan
perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku tadi hanya mengatakan akan
berbahagia kalau kalian berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isyarat membubarkan pertemuan
itu oleh karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di
dadanya.
Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sangat sederhana,
dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah,
serta disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya,
Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan
menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu
sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.
Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah kuil yang
berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli
rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji
mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!
Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah menikah, mereka
telah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di
dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang mengabarkan mereka bahwa gadis itu
hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya!
Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi
bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia
mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.
“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya,” demikian
Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir?
Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak
mungkin dirubah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”
Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata
isterinya. Andai kata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa
Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai
pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria…..
********************
“Suhu....”
Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan
mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari.
Memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kangouw
yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di
dunia-kangouw.blogspot.com
Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu
Hwi yang telah memilih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa legi selain menanti kematian.
Hidup ini baginya banyak dukanya dari pada sukanya, banyak kecewanya dari pada puasnya.
Kekecewaannya yang terbesar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti,
seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah
gagal menjodohkan keturunan Kam dengan keturunan Yu, dan ini baginya merupakan pukulan berat,
merasa bahwa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.
Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia
beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan
kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata ‘hauw’ atau bakti sering dijadikan semacam
pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya,
dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk
melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!
Berbakti adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih!
Jika orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang
berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya
sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?
Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih,
penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi
karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa
pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap palsu dan
dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin
berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguh pun di dalam hati
memaki-maki. Pada lahirnya memberi ini dan itu padahal di dalam hatinya tidak rela!
Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa adanya,
menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih,
maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih
sayang saja!
Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan
mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin
seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih
karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui
kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejarkejar
itu hanyalah asapnya.
Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat
dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan
sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan
perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan
sebagainya.
Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan ‘terbuka’, kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku,
yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari-cari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk
menyenangkan diri sendiri, lahir mau pun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta
kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih
seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.
Ada yang berkata, “Tidak mungkin itu!”
Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Marilah kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah
sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, lalu melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa
segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat
dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
“Suhu....!” Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang
mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam Hong….”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?”
“Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong,” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa
suhu-nya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia
dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.
“Dan Nona ini siapa....?”
“Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwe,” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong.
Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar.
Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!
“Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, kita sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas,” kata Kam
Hong.
Sai-cu Kai-ong terbelalak. “Apa….? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah
engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”
Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia
bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari
tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari
pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati
sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas.
Kakek Itu menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama
tunangannya....”
“Cu Kang Bu....?”
“Benar, dan memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh
kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus....”
“Harap Suhu suka tenangkan diri. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang
bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan
hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar.”
Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami
sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin diubah lagi. Siauw Hong,
sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Sengjin telah meninggal dunia
beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak berapa jauh dari sini. Aku sendiri yang
telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”
Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya sebab memang kakek itu sudah
tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan
keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih
sayang.
“Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sinkiang....”
“Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada
keperluan apakah di tempat liar itu?”
“Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”
“Ah....?” Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. “Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali.
Mau apa kalian hendak ke sana?”
“Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo,”
jawab Ci Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan
memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar dari pada hidupnya dia hanya
menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.
“Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa jika gerombolan liar dan jahat
macam Hek-i-mo tak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi, orang-orang tidak berdosa, akan menjadi
korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha
yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk
membantu teecu.”
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi,
Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoi-mu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo?
Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai
kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya.”
“Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapa pun juga, untuk menentang
kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”
“Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga
yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”
Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu
Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang
banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin!
Melihat keraguan sumoi-nya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap
yang bernama Bu Seng Kin....“
“Ahh, pantas kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!”
Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu
sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari, dan dalam
kesempatan mana Ci Sian memasakkan makanan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seakanakan
sudah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Dan
setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Sengjin, Kam Hong bersama Ci Sian
meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini
memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata.
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu
Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh
mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan.
Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu
itu.”
Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Sengjin, diikuti juga
oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suheng-nya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu.
Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni
puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu,
untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan amat ganas dan lihai sekali bagaikan
segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya…..
********************
Kita tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan
yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang
terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis
Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang
menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan
pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’ atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan
mereka terjamin lancar.
Bukan hanya mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang
bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh
perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu,
bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal
dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekali
pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.
Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani menentangnya.
Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha menentang kekuasaan hitam ini,
namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang
pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk
menyerahkan nyawa begitu saja.
Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar
memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tak pernah merampok karena
mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan
tahun tanpa terganggu.
Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek
yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal
dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju
hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan.
Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya
seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan
tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis,
mengandung ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua,
dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu
ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih.
Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan
she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain
ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang
dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula
memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orangorang.
Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tak mau
mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang
jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat,
ditundukkannya pula semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran,
semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang
sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut!
Phang Kui menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat
mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia
akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan
orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia
mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat,
karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu
dua macam ilmu hitam.
Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang tangguh sekali.
Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya
sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini
dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo
(Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid
inilah yang mengurus segala urusan, dan juga mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-imo.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang
cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersemedhi, makan enak, pestapesta,
dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu
silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar
sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo
saja.
Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau pun di
bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik
yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata
keranjang dan pengejar wanita, tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala
perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanitawanita
muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia menggauli mereka.
Juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun usia mereka
sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan
dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu
bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain!
Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan
terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapa pun juga, suhu
mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga
pembesar atau keluarga golongan ‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita
dusun dan wanita-wanita gunung saja.
Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong
tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar
bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk memperkuat ilmu hitam mereka.
Tetapi tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan
penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang
menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang
menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada
mereka, harus dia sendiri yang menentukan.
Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius
memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah
gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin
yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di
belakang gedung.
Semenjak tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat
itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang
tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul
hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti
pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan
di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka
yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang
saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali.
Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.
Kemudian di bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran
lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun
merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa
(Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh
tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti
arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.
Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari
situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo,
juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai
dunia-kangouw.blogspot.com
sebuah gelang warna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga
mereka nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala,
melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.
Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tibatiba
menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke
arah belakang gedung dengan sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga
delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan
dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.
Memang Ketua Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang
serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang
perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu
dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi
mungkin cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.
Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah
tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan
dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua
mereka atau juga guru mereka.
Lingkaran itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan
yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang
berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat
puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang
lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada
luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali
tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya
dengan sinar mata penuh kebencian.
“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.
Salah seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat
lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang
Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti
kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah
tertawan, mau bilang apa lagi?”
“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama
Cia Kun itu membentak.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.
“Putera dari mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.
“Gadis itu?”
“Puterinya.”
“Keduanya belum menikah?”
“Belum.”
“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus
nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”
“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata punya sekali pun,
tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau
sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”
“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.
Dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga, ngeri hati
mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian
Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh
delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah
semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi
kepandaian gurunya ini.
Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara
delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di bagian
belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan
memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam
maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi
membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.
Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala!
Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun malam itu ada angin lembut bertiup,
namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak
bergerak.
Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua
tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu
membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang
tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Ketiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia iblis
itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat
menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti
murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut
duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan
penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani
bergerak.
Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih
itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan.
Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan....
beberapa helai rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah
mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan
tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua
ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala
gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.
Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang
tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.
“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.
“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia
menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu dan benar saja, setelah ketiga orang
tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun
mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah
dan hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli pembuat boneka,
akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan?
Kekurang sempurnaan pembuatan boneka ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli
mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam
Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka
itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera
dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh
perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.
Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu
mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerakgerak
seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan
mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang tawanan itu, yang
kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan
boneka-boneka itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu
ikut pula bergerak.
“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita
sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah,
aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”
Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan mendadak
dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.
Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk
memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum
itu yang mengeluarkan sedikit darah.
Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia
melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke
tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan
kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua
tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i
Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.
Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah
keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah
kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak
mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk
nampak bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh
pakaiannya.
Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri.
Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa
mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh
kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia
hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka
dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan
menanti datangnya maut saja.
Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan
jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit tertahan, tubuhnya
berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai
lemas dan tak bernyawa lagi.
Sejak tadi dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan
jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah
ada tali yang tak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak
bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega
karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka
kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka
berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail
perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i Mo-ong, masih mencoba untuk
membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa
dua orang yang tidak ada artinya itu.
Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu,
juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha
untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi
usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang
membuatnya lumpuh kembali.
“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang
telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu. Tusukannya
tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.
Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada kepalanya,
menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik
rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya.
Mengerikan sekali.
Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan
kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa
sakit-sakit dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas.
Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa dari
pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang
sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.
Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata,
terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Sekarang tubuh pemuda itu,
terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya
makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin
yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.
Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggota
Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan,
membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu.
Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh
kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong
melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu
yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.
“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau
berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”
“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu?
Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk
kepadamu, Iblis berwajah manusia!”
Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah
mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk
mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan
dengan gadis ini.”
Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai
rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap
tidak sudi untuk menakluk.
Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan
dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke
arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis!
Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu
untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.
Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannya
bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya
terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras,
dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar
seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang
menutupi tubuhnya.
la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya.
Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata
yang penuh gairah! Dan seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri
Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua
tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila,
atau seorang yang kehausan karena nafsu birahi.
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan
tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut
itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin.
Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih,
tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang
bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan
dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai
terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak
mendatangkan mara bahaya bagi kita.”
Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira
sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu
meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Moong,
dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa
mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggota Hek-i-mo
mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!
Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu.
Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu,
Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang
musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.
Pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat para
anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin
dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu
birahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu
dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.
Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai
sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan
Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah
sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba
menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian
besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka akhirnya mengalami kematian
menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama
sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng
tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang
yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan
piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling
atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu
tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan
tengkorak seperti itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil
dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi
suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama
para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung di
dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!
Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh mendekat.
Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih
seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa
yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolaholah
alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.
Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi yang
mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya
belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran
yang tak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.
Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerakgerak
oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan
dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang
mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat
kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan
para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah
diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua
yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan
seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya,
akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua
orang muda yang telah berada di tempat itu!
Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu.
Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersemedhi itu sama sekali
belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya
sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang
muridnya yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya
mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan.
Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua
melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka
dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak
empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu
berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun mengerahkan
tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar
dari semedhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah
berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan
dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru merekalah yang sudah
melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di
dekat telinga masing-masing.
“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”
Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin mereka,
dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri
dunia-kangouw.blogspot.com
mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan
menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.
Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati
gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam
dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak
nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang
itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam
dongeng kuno.
Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat
mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat
penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan
amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran
Cu Keng Ong itu.
Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh
kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai
dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini,
Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di
tangannya, juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang amat
berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena
suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada pedang pusaka.
Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu
bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong
mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam
dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan
suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
“Sumoi, jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”
Mendengar bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling
emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling,
jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara
ini bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun
pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan.
Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali, yang
mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir mereka sehingga uap hitam
yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah
kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi
juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu memecahkan
pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan
tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan
tempat itu.
“Pat-mo, mundur!”
Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka
itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.
“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar
manis, bahkan bersahabat.
Tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati sumoi-nya dan
mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua
pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja
mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan
mau pun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja. Ci
Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian
terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang
yang menyeramkan itu.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang
dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian, atau
jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap
yang berani itu, malah merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda
yang penuh keberanian.
“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah
murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”
“Bagus!” Ci Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah
menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosadosa
kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”
“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum
pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati
mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”
“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”
Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku....
ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana....
Sim Loan Ci? Siapa itu?”
“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng
Kin....“
“Oohhh.... ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya
untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai.
Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa
hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”
“Engkau telah melukai mereka!”
“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa
lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu
bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”
“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam
atas kematian Ibuku itu!”
“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa.
Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa
saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini
sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”
Ci Sian merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat
bebas dari tanganku?”
Gadis ini pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya
di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus
pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan
iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan
berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh.
“Sett-sett sett....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!”
tiba-tiba Kam Hong berseru.
Pemuda ini melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat
menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan
orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya
mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki
perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orangorang
pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula,
pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu,
baru kemudian andai kata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan
maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah lelah dan kurang kuat
untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong
maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan
membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.
Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi
muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia
dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan
tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya
pemuda itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya
lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andai kata muridmuridnya
kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga
lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.
Juga Ci Sian merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis itu.
Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan,
melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan
mendengar ucapan suheng-nya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap
di tangan kanan.
Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan diri
dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil
memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diamdiam
dia memperhatikan dan dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini
bukanlah ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang
kecepatan mereka.
Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia
dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang yang tidak boleh dipandang
ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik
jubah hitam mereka.
Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan. Orang-orang
yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki
tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk
membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang
cukup ampuh dan mematikan.
Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke
kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai
dengan ilmu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan
kekuatan telinganya.
Tapi, beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir
saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti
gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam
gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.
Maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh
mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang
kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama
sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak
mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan
gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah
menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan
cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua
matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga
sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.
Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak
berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini
menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu ternyata hanyalah gerak pancingan belaka
karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada
di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya
dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!
Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang
begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya. Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis
bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah
miringkan tubuh sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, tetapi dari
sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.
“Plakkk!”
Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat,
juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!
Akan tetapi kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu.
Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung.
Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan
silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini
benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoi-nya tadi, karena
biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu
bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.
Delapan orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan. Kam
Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru
dan kadang-kadang dia mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi
bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang
berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.
Dia tahu bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak
tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw
Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa)
dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena
ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan
pat-kwa itu.
Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah
menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam
kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara
berkerincingan itu!
Sungguh aneh sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut
gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan
dunia-kangouw.blogspot.com
suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia.
Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga,
bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!
Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan
orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang
disertai gelang hitam kemerahan itu serentak menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng,
tapi dari delapan penjuru!
Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan
mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa gabungan tenaga itu akan kuat
bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya
mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan
mereka di tengah-tengah.
Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas, juga
dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas! Kam Hong maklum bahwa
dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut
suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang
diputar-putarnya.
Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan
sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat
kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung
ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri
mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda itu
dengan melongo.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup
suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama
pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan
sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling
Emas....!”
Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia
tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong,
keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam
kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang
kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”
Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan
tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!
“Tikkk....!”
Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang
amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.
Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka mengeluarkan
sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan
sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak
perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka
bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan
tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itu pun menyambarnyambar
mengeluarkan suara berkerincingan.
Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang,
pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak
tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali,
dan ia merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan memanglah, Kam Hong semenjak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia
mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian
Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, tetapi
delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Meski Kam Hong dapat membela diri dengan
sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang!
Kemudian Kam Hong mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia
mengubah Pat-sian Kiam-hoat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu silat yang gerakannya dilakukan
dengan membuat huruf-huruf di udara, merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena
ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata
memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang,
lalu Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya serta
menggabungkan dengan sulingnya dalam permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).
Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali
dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka
menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera
mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walau pun delapan orang
Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak
dari Hek-i Mo-ong yang mengatur semua gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.
Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui
Seng-siauw Sengjin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata
semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini
benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak
dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.
Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah
berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini,
juga dia teringat akan nasehat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo
itu amat berbahaya.
Memang tadinya Kam Hong tak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia
telah memiliki banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak
akan menggunakan Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu
masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati
pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya.
Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk
mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan
sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoi-nya tidak mampu menahan raja
iblis itu.
Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling
yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai
dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi
melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi.
Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaungngaung
seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi
dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya
sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!
Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suheng-nya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan
memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan terkejut dan bingung melihat betapa
delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara,
akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara
suling pemuda itu!
Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong
memainkannya dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang
telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja,
dunia-kangouw.blogspot.com
sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah
mengurung dan mendesak delapan orang lawannya.
Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit
lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika
mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua!
Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.
Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam
perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani
menentang guru mereka, dan biar pun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan
pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi
semakin lihai. Maka, kini ketika menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa
penasaran bukan main.
Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah
membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini
yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu
sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan
kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar
oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti, “Auuuummmm....!”
Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti
memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup
masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh
suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.
Namun pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat
menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan
saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khikang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia
tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya,
telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari
telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlah
kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biar pun suling itu tidak dimainkan
lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai
kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.
Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang
bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk
menjatuhkan lawan masing-masing!
Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan walau pun langsung ditujukan
kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga dara ini pun mengerahkan
sinkang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini
hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.
Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman
mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai
daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Patmo,
suara itu merupakan mala petaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara
auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang
menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka
bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka
lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya
mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!
Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak
mengadu nyawa dan dia sudah tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia
menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa
dia pun memperkuat pengerahan khikang-nya, disalurkan melalui suara suling.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengkinglengking
itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong
sendiri terpaksa harus mengerahkan sinkang buat melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan
tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan
dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin
lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga
penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.
Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan
teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas. Tangan kirinya sudah mengeluarkan
sebuah kipas merah sedangkan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak
Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar
ganas ke arah pemuda itu.
Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya
kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya.
Betapa pun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah
oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman
lawan.
Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu
terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi
karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan
merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika
merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi
karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga
dia kurang dapat menjaga diri.
Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa
lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan
amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong.
Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh
dibandingkan dengan suheng-nya yang sudah lebih lama melatih diri. Akan tetapi Ci Sian telah menguasai
dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguhsungguh,
sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang
luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan
lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.
Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang
murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main kenapa tadi menyuruh mereka maju.
Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan
yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.
Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak
melengkung seperti gigi serigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat
berbahaya, telah bertahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Ia mainkan Long-geepang
ini bagai orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah
tangan saja, yaitu tangan kanan untuk memainkan Long-gee-pang.
Sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu sebab tangan ini lebih sering memainkan
kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang
gerakan-gerakannya hebat sekali. Tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar
tombak itu nampak berkelebat sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari
tiap gerakan tombaknya.
Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking. Sungguh pun tak sehebat
permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut.
Biar pun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokantotokan
kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan
khikang yang hebat.
Betapa pun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai
merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya saja maka dia masih mampu
menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut.
Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan
tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimana pun juga, dia harus membantu sumoinya.
Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu
sumoi-nya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja iblis itu. Dan dalam
jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu
bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia
harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa mala petaka kalau dia berhadapan
dengan Hek-i Mo-ong.
Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah
terdesak hebat, Kam Hong sudah siap-siap untuk membantu sumoi-nya. Akan tetapi pada saat itu,
terdengar bentakan nyaring.
“Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi
Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya,
bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mukjijat.
“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah
merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat
lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suheng-nya telah terluka dan tidak dapat
maju lagi.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda
yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya
dibandingkan dengan dara remaja ini!
Ada pun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian,
mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan
main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam
ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga
Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut!
Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan
suling emas oleh sumoi-nya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai
lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang
amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena
begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi
bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!
Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan
nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak
pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu lalu ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang
menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit
banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya
keluarga Cu di lembah itu.
Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan
saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu
malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi
lengkap! Dan dia melihat pula hal lain!
Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat
mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu
mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali,
sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah
dunia-kangouw.blogspot.com
berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi
dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh.
Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andai kata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci
Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu,
maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka
kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh,
Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!
“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong
mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!
Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak
tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci
Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua
pun selisihnya hanya satu atau dua tahun.
Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih
dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat
tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, dan
juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus
mengundurkan diri, dia harus tahu diri.
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan
orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa
kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya.
Ketika anak buah Hek-i Mo-ong hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong telah menyerbu dan
menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan
biar pun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di
tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan
sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggota Hek-i Mo-ong yang roboh.
Dan para anggota Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian,
akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena
gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka
sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah,
dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah
berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang
sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini mengalami ambang kehancuran.
Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya.
Begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan
nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu.
Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”
Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah
lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka
pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya
yang mengancam lebih besar. Kini mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku
dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu
sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.
Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggota
Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia
beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu
runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok.
Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah
lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Dan
akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggota Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
ketua mereka telah lari meninggalkan mereka, sisa anggota Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di
malam gelap.
“Ehhh, di mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suheng-nya tidak berada di tempat itu.
Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong
Bu dan dia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua
musuh pergi dan sebagian lagi roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.
Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam
Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.
“Suheng....!” Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak
pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.
“Mungkin dia mengejar Mo-ong,” kata Hong Bu.
Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia
sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Moong
itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian
sudah meloncat ke depan.
“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”
Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh
dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan
rendah. Biar pun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih
dapat dibaca.
“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meninggalkan surat ini!” kata Hong Bu.
Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.
Bu-sumoi yang baik,
Selesailah sudah tugasku mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Kini tidak ada gunanya lagi bagimu
aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa
perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.
Suheng-mu : Kam Hong.
“Ah, Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa
kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suheng-nya
meninggalkannya?
Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suheng-mu pergi
meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”
Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang.
“Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan
sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”
“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suheng-mu
itu hendak pergi?”
Ci Sian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami
melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo buat membalas dendam atas kematian Ibuku, dan di
sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ahhh, tak kusangka dia akan pergi
begitu saja....”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada
lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa
memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.
“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”
“Kita....?”
“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini.
Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”
“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.
Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci
Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan
tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan
telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan
terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka
duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.
“Kita menanti sampai pagi di sini saja,” kata Ci Sian.
Hong Bu mengangguk. “Sebaiknya begitulah.”
Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat
merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu
bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.
Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang,
membayangkan semua pengalamannya semenjak kecil sampai dia bertemu dengan Kam Hong dan
mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua
hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang dahulu mereka temukan berdua,
dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo.
Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa
berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam
Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini.
Kembali ia menarik napas panjang.
Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main
karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega.
Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suheng-nya, dan merasa hidupnya
kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.
“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di
sini,” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.
Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia
menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia
menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang
terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk
di sini sampai pagi. Ehh, Hong Bu, bagaimana kau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku
menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan
hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan
sendiri lagi.
Hong Bu tersenyum, tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan dari pada nasibmu,
Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa
tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku
merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak
dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar
untuk menemukan aku!”
“Ehhh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”
Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”
“Koai-liong Po-kiam?”
“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau pasti sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini.
Walau pun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada
di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari
istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu.
Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang dulu menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai
ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”
“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam goa itu,” kata Ci Sian.
“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan
Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu
Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu
kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang. Sebaliknya kalau
utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya....
Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”
“Hah....?!” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”
Hong Bu mengangguk.
“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut
Suheng, saat Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh
kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia bersama puteranya yang telah
mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”
“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang
mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguh pun hal itu juga amat mengherankan hatinya.
Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa
jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!
“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”
“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”
“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan
mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan
mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”
“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”
“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa aku akan
mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah
menjadi ahli-warisnya. Betapa pun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa.“
Diam-diam Ci Sian memandang khawatir. “Ahh, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak,
Hong Bu.”
Hong Bu menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Tetapi bukan menghadapi Naga
Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi....
Suheng-mu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suheng-nya melakukan pi-bu (adu ilmu silat)
melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong
Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang
Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”
“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“
Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali
tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci
Sian sudah segera meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!
“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih
penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang
tumpulmu itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”
“Eh-eh.... Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, tetapi dia sudah
disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu
bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.
Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Oleh karena datangnya serangan demikian dahsyat
dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari
cengkeraman maut!
“Ehhh, nanti dulu, Ci Sian....!”
Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa
lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyembar dengan dahsyatnya.
“Tringgg....!” Bunga api berpijar pada saat pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di
tangan Ci Sian.
Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka
dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis
itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian
sama sekali tak boleh dipandang ringan. Gadis itu kini telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai,
bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.
Terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebat di waktu menjelang pagi itu. Suara
beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benarbenar
amat hebat. Baik gerakan pedang mau pun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh.
Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara
berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang
gagah!
Ci Sian menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya
ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh
dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak
mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dari itu, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin
hebat. Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian
menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan perasaan duka karena suheng-nya telah pergi
meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur
hidup!
Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta pada gadis ini, seorang
gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut
dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci
Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur. Akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju
dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya hingga terpaksa dia harus
membela diri.
Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci
Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu,
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa
enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.
Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk
mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan
dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia
dapat menyelami bagai mana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya.
Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, tetapi juga balas menyerang karena
dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan
serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khikang dahsyat yang keluar dari suara suling itu
ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.
Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam
Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang
dimainkan dengan suling, ciptaan Si Pencipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong
Po-kiam adalah ilmu pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah
membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan ilmu pedang ini lalu disempurnakan oleh Ouwyang Kwan.
Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini menjadi amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu
inilah yang menjadi sumbernya, maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.
Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus
melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu
selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu
terdesak. Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding!
Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan dia sudah lelah sekali karena malam tadi dia sudah
banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini.
Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan
merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan,
menang tidak kalah pun tidak!
Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong
Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti
menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan seranganserangan
pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah
kepadanya.
Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk mendesak
dengan sekuat tenaga, tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang dia
kalah tenaga dari Hong Bu. Maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan
napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya,
beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!
“Tring-trangggg....!”
Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.
“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”
“Siapa menangis? Ahhh, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli
betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.
“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu,
Ci Sian.... ahhh….”
“Tranggg....!”
Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh
tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu
menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!
“Wuuuuttt....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak,
maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke arah pundak pemuda itu.
“Desss....!”
Tubuh Hong Bu terguling roboh. Biar pun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian sudah memiliki
sinkang yang sangat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak
mengerahkan sinkang itu terpelanting.
“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.
Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya.
“Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka
sampai menangis....”
“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai
seorang di antara kita mampus!”
Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak sanggup lagi
melawanmu, Ci Sian....“
“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian menggerakkan sulingnya ke atas,
lalu suling itu menyambar ke bawah.
Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap
menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu berhenti dan ujung suling
itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan.
Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya
tersenyum pahit.
“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”
“Hayo bangkit engkau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu
menempel lebih ketat.
“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Memang lebih baik mati dari pada aku
harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tak bisa memusuhimu, Ci Sian, dan aku rela mati di
tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”
“Ihhhhh....!” Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu kini telah
berubah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas
kedua pipinya.
“Kau.... kau....”
Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas. Ia menjadi bingung,
penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi
pengakuan cinta itu. Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi
bingung dan karena bingung itulah ia menangis!
Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci Sian....
mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... Aku tahu bahwa aku tidak berharga
untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita
saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku
melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiamsut
itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”
Tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut, akan tetapi
gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ci Sian....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, dua tangannya diulur ke
depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, lalu menundukkan mukanya yang
menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu
akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang
dicintanya itu.
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Tidak akan ada habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di
dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta
asmara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuatnya
pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya bisa
mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yang
selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, tapi dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejamkejamnya.
Betapa pun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan
tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang
dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah
cinta kita kepada orang lain!
Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajikan, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada
apabila batin sudah bersih dari pada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting
adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka.
Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati
kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu. Lain tiada…..
********************
Setelah meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil menundukkan
mukanya. Ia tak tahu ke mana kakinya melangkah, pokoknya kembali ke timur. Ia harus mencari suhengnya.
Ia tak mau menerima begitu saja sikap suheng-nya yang meninggalkan ia hidup sendirian di dunia
yang kejam ini. Ia sungguh tak mengerti sikap suheng-nya. Suheng-nya itu nampak demikian cinta
kepadanya, tetapi mengapa tiba-tiba saja suheng-nya meninggalkannya?
Dan bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap dan kata-kata
Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya. Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya
hal itu memang benar. Buktinya, selain Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk
dibunuhnya dan sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa
mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja, Hong Bu memang jatuh
cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suheng-nya itu tidak cinta padanya?
Dan bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia juga dapat
membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap suheng-nya? Ci Sian bingung sendiri
menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui
adalah bahwa ia merasa kehilangan dan bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong. Dan ia juga amat suka
kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan pemuda itu di sampingnya,
sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau
saja pemuda itu tidak lancang menyatakan cintanya!
Cinta asmara adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara manusia dengan
benda atau dengan gagasan. Ikatan seperti ini dapat timbul melalui kebiasaan, melalui pergaulan.
Seseorang yang dekat dengan seorang lain, yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya
itu, akan menjadi biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah dari orang
lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang tuanya atau pun sahabatnya. Bahkan
dengan benda pun dapat terjadi hal seperti itu.
Cinta asmara atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul dari
kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk mengikatkan diri kita secara
batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan. Dan justru ikatan inilah
yang menjadi sebab utama dari pada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukan perjalanan ke timur
itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia
dunia-kangouw.blogspot.com
semakin merasa betapa ia seorang diri saja di dunia ini. Berdiri menghadapi padang rumput yang
sedemikian luasnya, di lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda
adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di situ hening sekali.
Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan
angin berombak-ombak amat indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di
saat itu.
Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit. Kesepiannya yang mencekam itu
membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah sejak kemarin dulu ia tidak bertemu
manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah
ia tiba di puncak itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak.
Di sana, di padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang makan
rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi pandang mata Ci Sian melekat
kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi pemimpin kuda-kuda itu. Kuda hitam yang bertubuh
ramping dan nampak kuat sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah. Dan dari puncak
itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat hatinya lega. Bukan hanya
sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang amat indah dipandang, akan tetapi juga atap
rumah-rumah dusun itu. Ia sudah dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan
dapat makan makanan yang pantas.
Dengan hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu. Matanya tidak
pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali
karena ia maklum bahwa kuda itu amat baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua orang laki-laki
yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam itu meringkik dengan nyaring,
mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan
kuda itu lalu lari cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak biasa
dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.
Dan Ci Sian melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia pun
mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan sekali. Seorang di antara
mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan gerakan seperti seekor burung terbang telah
meloncat ke depan kuda itu dan mengangkat kedua tangan.
Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk laki-laki kurus itu.
Tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas, kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan
hidung mendengus-dengus, tiba-tiba ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso
yang dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali tali laso itu meluncur dan
si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan
meronta-ronta.
“Cepat naik ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.
Si Kurus Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang ginkang dari Si Kurus itu
hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke atas punggung kuda hitam itu, dan sudah
duduk di atas punggungnya.
Kuda hitam meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan meloncat-loncat,
mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk melemparkan orang yang menempel di
punggungnya. Akan tetapi Si Kecil itu agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti
seekor lintah dia menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biar pun kuda itu berusaha
melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggung sejadi-jadinya. Sampai
lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu dengan susah payah berusaha bertahan, diberi
semangat oleh temannya dengan teriakan-teriakan.
Ci Sian yang menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak membebaskan diri
dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak kepada si kuda hitam, mengharapkan
kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu
menjerit-jerit dan meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan tentu
dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu tergencet!
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang tinggi besar itu terkejut sekali dan berteriak, “Cepat pergi!”
Tentu saja Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat, maka ia dapat
melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri sehingga tidak sampai tergencet! Ci Sian
hampir bersorak gembira ketika kuda itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak
karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah
menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali laso dan menahan, menariknya dengan kuat.
Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga,
melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia
menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan
tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga
dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang
agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang,
maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!
Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu
kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar
dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali
ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara
ketawanya tidak sampai terdengar orang.
Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan
mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu
berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyunghuyung
seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya
gemetaran.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. ”Pencuri-pencuri kuda busuk!”
Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda.
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk kudanya itu diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia lalu menghampiri dua
orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang
berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu
karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si
Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lasonya.
Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh
obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu, sedangan kawannya yang lihai
menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan
tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil
bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa
melihat kenakalan seorang anak-anak saja.
“Ehh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?” bentak Ci Sian dengan suara lantang.
Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah
tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah
agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.
Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah
seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa
senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian
heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar.
Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke
telinga.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh, gadis manis, minggirlah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu
yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!”
“Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci Sian dan memang
apa yang dikatakannya itu benar.
Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah
sekali pun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling
kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan
seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.
Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berubah merah,
bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, “Bocah setan, engkau memang
bosan hidup agaknya!”
Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian
dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah
kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan
tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya
malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!
Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja
itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, ia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung
dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan
ganasnya.
Akan tetapi, jika hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini
melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biar pun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai
kecepatan yang lebih dari pada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit
tubuhnya, membiarkan ruyung lewat.
“Plakkk!”
Terdengar suara begitu tangan kirinya menyambar, dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal
telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini
agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia
melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!
Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan
serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar
dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali laso itu.
Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dan tidak dapat bangkit
lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar
telah berhasil melaso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali laso itu tidak
membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!
Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan
kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba, sambil
membentak nyaring ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras! Si Tinggi Besar
terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan
seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu
takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tibatiba
saja, tubuhnya menyelinap pergi.
“Brukkk....!”
Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu menubruk tempat kosong dan
tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan
melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan
pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari
tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.
“Tukkk....!”
Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya, Si Tinggi Besar itu
mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan kejang. Pada saat itu pula, Si
Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.
“Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!” kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah
bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena
terbanting tadi.
Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut
sebatang golok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci
Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang.
Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunya, segera membentak.
“Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”
Akan tetapi Ci Sian berkata halus, “Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak
tidak berani lagi mencuri kuda.”
Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek
pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam
bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang
pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.
Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan
usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari
kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan amat mudah Ci Sian
mengelak ke sana sini, ke kanan kiri dan kadang-kadang melompat tinggi, dan semua sambaran senjata itu
tiada yang mengenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!
“Lepaskan senjata!” Mendadak Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal
yang aneh.
Dua orang itu, seperti anggota pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata
mereka masing-masing! Sebenarnya tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu,
melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir,
melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok
pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka
seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang
itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tibatiba
Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan melontarkannya
ke arah Si Tinggi Besar.
“Brussss....!”
Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak
menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya lantas terpelanting bergulingan.
“Ehhh, Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.
“Dan engkau menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.
Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang bukan main kuat mencengkeram
tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakkan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.
“Brukkkk....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di
sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan
melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!
“Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.
“Tar-tar-tarrr....!” Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya hingga meledak-ledak dan ujung pecut itu
menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian.
“Pencuri-pencuri kuda harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula.
Sengatan-sengatan ujung pecut membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat
mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan
cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti
suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi
hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.
“Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”
Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung
kurus akan tetapi wajahnya masih nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di
tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.
“Engkaukah yang memiliki kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam
yang masih berdiri dengan kepala tergantung.
“Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah
pencuri kuda biasa, Nona. Andai kata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak
akan sudi menyentuh kuda.”
Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam
itu saja.
“Hek-liong-ma....? Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang
keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”
“Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasanya dipergunakan orang
untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa
mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”
“Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil
mencuri Hek-liong-ma.”
”Itulah yang sedang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ahhh, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan
kuda ini kepadaku.... coba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan
pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku
terlalu mencinta kuda ini.... dan celakanya, selama berada bersamaku dia selalu menarik datangnya
penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”
Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah
orang itu tidak berubah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu
menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain?
“Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada orang
memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”
“Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata
tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!”
“Siapa dia, Paman? Bagaimana ceritanya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit
cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan
kurang baik terpelihara. Dia menyerahkan kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan
selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah
datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kau lihat sendiri, Li-hiap.
Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang
ingin mencurinya.”
“Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu....”
“Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang
baik dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak
menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan
kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, memang sudah
sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu
kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dengan Taihiap yang memberi kuda
ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak
dan penurut sekali.”
Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok
air dan memberi minum kuda hitam itu. Tidak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan segar
kembali. Dia tidak meronta sama sekali ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.
Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap,
dara itu menerimanya. “Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali.”
“Tidak lebih baik dari pada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Lihiap,
aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang
dibawa orang. Habis perkara.”
Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar
atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana
perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.
Ci Sian memandang kepada kakek itu. “Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali
lagi terima kasih.”
“Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau
tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!” Dan kakek itu lalu
membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.
Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan
berlari seperti terbang saja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin
di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak
dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh
Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali!
Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari
pemiliknya.
Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah
pedusunan. Di tengah jalan di luar dusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara
mereka berdiri, terang mereka sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan.
Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya.
Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke
atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si
Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biar pun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi,
namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda tentu masih keras melekat pada
tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah seorang yang
berpakaian seperti pendeta, dengan jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang
pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan
alis yang sangat tebal menyeramkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si Tinggi Besar
dengan nada menantang.
“Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian.
Dia memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk
dan tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang
kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu
menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.
“Hei, mata iblis! Engkau lagi memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di
batang pohon.
“Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biar muridmurid
keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat
kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”
Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka
menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka
kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa
marah bukan main. Betapa pun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.
“Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang
bernama Ti Pat Kai itu?” Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai
adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata
keranjang dan malas dan suka sekali makan.
Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan
main. Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya.
“Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia
kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!” Setelah berkata demikian, saikong itu
mengeluarkan suara gerengan yang nyaring.
Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu
Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa
dan ilmu yang berdasarkan tenaga khikang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan
yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah
mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mukjijat yang membuat
calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walau pun tingkatnya
masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat.
Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justru dara ini memperoleh kesaktiannya
berdasarkan latihan khikang tingkat tinggi melalui sulingnya, justru ilmu meniup suling dan Kim-siauw
Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Hokang
dari saikong itu seperti mainan anak-anak saja bagi Ci Sian!
“Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak
disembelih!” Ci Sian mengejek.
Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu birahinya melihat dara jelita ini, sekarang,
ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu
kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berubah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi
merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking memuncak marahnya,
dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua
tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan
yang mudah saja Ci Sian mengelak.
Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar
setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini
memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum dia membalas, kakek itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah
kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.
Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang
penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa
kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan
tangannya dari samping.
“Wuuuuttt.... plakkk!”
Dan saikong itu terpelanting. Biar pun saikong itu memiliki gerakan yang cepat untuk menyambung
serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biar pun dia sudah
berusaha mengelak, tetap saja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus akan tetapi mengandung
tenaga kuat itu sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat
dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.
“Plak-plak-dukkk!”
Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu
dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai
kesakitan. Akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan
remuk rasanya.
“Singgg....!” Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji.
Amat besar, lebar berkilauan tajam dan mengerikan sekali.
Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan
kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat
itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu
melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar.
Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong itu memiliki keistimewaan yang
sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalik dan menyambung
serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu
golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khikang-nya.
Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci
Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, maka terdengar suara yang amat nyaring….
“Plakkk!” dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling olehnya.
Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tidak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak
mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya
kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.
Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena
kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari
dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput
lain yang agak tandus.
Pada saat dia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang
lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok.
Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman
dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat
pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.
“Singgg....!” Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut
sulingnya.
Akan tetapi mereka segera tertawa geli. “Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”
“Aihhh, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa
mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai.
Karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat
dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat
bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah!
Tentu saja mereka lalu memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek.
Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololan teman-temannya yang
memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini
menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini?
Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur
teman-temannya dengan nyanyian dan tarian?
Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi
melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau
membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada
merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka
menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa
seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum.
Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masih saja menembus masuk,
malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh
pingsan semua!
Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak
kaki kudanya. Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat
menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.
Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di
sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali
merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat
kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan
begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan
celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah!
Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang mau
pun khikang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke
dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!
Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang
penuh lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru
beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja!
Ci Sian yang masih memegang sulingnya cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh
dan patah-patah. Tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin merosot ke bawah dan kini
lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau
saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara
mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang tidak
sudi dia lakukan.
Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan
panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang.
Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!
Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. “Ihhh, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara
seperti itu?”
Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tak nampak seorang pun manusia akan
tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coanim
Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara
sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!
Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta
daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang
di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian
memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar
dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah!
Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang
berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam
gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya
dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!
Ci Sian menjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia
berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba
di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang
semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi
antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi
kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita
kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.
Ci Sian sudah marah dan sudah memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi, ketika orang-orang itu
mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengkinglengking.
Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya.
Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya
berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, “Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi
pengeroyokan ratusan orang anakku!”
Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun
akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama,
akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan
mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat!
Ci Sian menjadi terkejut dan marah. Dia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remajaremaja
yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang
mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu
pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya!
Maka tahulah Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil
mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat.
Menurut petunjuk suheng-nya, suara yang mengandung getaran khikang ini akan mampu menolak
pengaruh sihir yang kuat sekali pun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya,
Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun
tidak lagi nampak bayangannya.
Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Ketika dia menembus hutan
yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana
dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati
karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia
segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke
punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hekliong-
ma.
Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang,
kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh
kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi
kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput
hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti
Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi.
Dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak
sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa
kuda hitam itu ternyata sama sekali bukanlah Hek-liong-ma, juga bukan berwarna hitam, melainkan kuda
coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.
“Ihhh....!” Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran.
Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu
teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi
korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya
didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia
terjebak dalam lumpur.
Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda
biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas
punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya.
Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.
Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit.
Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian
menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti
patung tidak jauh dari situ. Dia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas,
dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja.
Seorang laki-laki yang tak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa
orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian dan bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang
sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan
pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia
merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda, pikirnya. Ia harus berhati-hati.
Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka,
untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun
kuda menghampiri orang itu yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya
diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu.
Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, dia bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke
bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan
suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya
matahari. Tentu seorang laki-laki yang telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban
semua. Akan tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda.
Setelah tiba agak dekat sekali pun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut
panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada
pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapa pun juga, karena harus melewati orang itu dan
tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka dia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan
perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada
batang pohon itu.
Mendadak laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci
Sian terdengarlah suaranya, “Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu.”
Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana
ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya.
“Mengapa?” tanyanya dengan nada suara tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan
mengapa?”
“Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana,” kata orang itu tanpa menengok
sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.
“Kenapa?” tanya Ci Sian penasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua. “Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah,
dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau pasti akan
menghadapi kesukaran.”
Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci
Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia
tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah,
mengapa pula ia harus ikut-ikutan merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya
lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya.
Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak
mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.
“Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!” Ci Sian coba menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok
itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut.
Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang
laki-laki yang nampak berwajah tampan dan gagah. Melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam
tahun atau sebaya dengan suheng-nya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya,
hanya sekitar dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan!
Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu
menggerakkan tangan kirinya.
“Pergilah, Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci
Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih.
Ci Sian terkejut. “Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan
kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?” Tiba-tiba dia teringat akan cerita kakek itu.
Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh.
“Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”
Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya,
akan tetapi laki-laki ini memperlakukan dia seolah-olah dia tidak nampak olehnya. Laki-laki yang sombong,
pikirnya dan dia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang
diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.
Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas
punggung kudanya dan menjalankannya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa amat lapar dan
ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya
dan memandang ke bawah.
Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi
mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung!
Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia
melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu.
Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walau pun wajahnya nampak cantik manis sekali dan
tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan.
Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang
selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah
dekat, ia dapat melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan
membayangkan kecerdikan.
“Berhenti! Berhenti dan turun kau!” Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga
amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali
kudanya dan berhenti.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa.... apa katamu....?” tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai
pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk
menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.
“Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!” kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa
sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya.
Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia
harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan
menghampiri wanita berpayung itu.
“Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya
dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak
tahu malu!”
Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya
sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun
cepat mengerahkan sinkang-nya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang
tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan
telunjuknya.
“Siluman betina! Jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau
adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”
“Eh, ehhh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau
memang patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan
tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.
“Plakkk!”
Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu
bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan.
Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita
berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.
“Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!”
“Perempuan galak, siapa takut kepadamu?” Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia
pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan
terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya.
Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini!
Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.
“Ahhh, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!” Suara
wanita itu berubah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil
menemukan permainan baru.
Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang
terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu
dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga
jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!
“Bagus!” Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat,
berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi
melengking penuh dengan getaran hawa khikang, dan sekaligus dia menangkis tiga kali.
Wanita itu memandang kagum oleh karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total,
bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat
melanjutkan penyerangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, “Cukup, jangan
berkelahi!”
Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti
kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi!
Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan
dengan sama ganasnya.
“Aihh, dua-duanya keras kepala!” terdengar laki-laki itu berseru.
Dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia
terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan dia bahwa dirinya telah
terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma!
Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, demikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia
itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengahtengah
antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang
saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang
tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak
secepat itu!
“Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur,” kata pria itu kepada Ci
Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.
“Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan
menyerangnya?”
Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah
karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. “Bagus! Ia muda dan cantik
dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?”
“In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!” Pria itu berkata dengan
nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka.
Akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air
mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu
perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah pria itu. Wajah
seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah
pula.
Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah
ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak sangat berduka? Tiba-tiba ia teringat.
Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti
kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.
“Taihiap.... bukankah Taihiap ini adalah.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia memberanikan diri
bertanya.
Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata
Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walau pun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan
pandang matanya.
“Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?” Suara
pendekar itu halus, tapi mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci
Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.
“Saya sering mendengar nama besar Taihiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan sering
kali bercerita tentang Taihiap.”
“Siapa Suheng-mu itu, Nona?”
“Suheng saya she Kam bernama Hong....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”
“Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas,” kata Ci Sian dengan bangga.
“Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita
bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salahsalah
bisa bentrok dengan sahabat sendiri.”
Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menarik napas dan menghampiri, lalu
memegang pundak Ci Sian. “Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian
lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”
Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian segera merasa terharu dan balas merangkul.
Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.
“Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”
“Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dia nampak manis
bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang
nama kami....”
“Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari
Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu
siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”
“Memang Suheng-mu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In,
seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....” suaranya mengandung keluhan
lagi.
“Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau
bisa sampai ke tempat ini?”
“Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat untuk membasmi Hek-imo,”
katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.
Suami isteri itu saling pandang. “Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.
“Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan
diri,” kata Ci Sian dengan bangga.
Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. “Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan
Pendekar Suling Emas.”
Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya
Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam kisah Jodoh Rajawali, Suma Kian Bu, yaitu putera
dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang
In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan
kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu
merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama
keluarga Suma.
Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh
keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka sekali. Sementara itu, Suma Kian Lee
yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan
tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri.
Akhirnya, suami isteri itu tak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka
berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguh pun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya
mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya
mereka sampai di daerah barat, di dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda
berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya
mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga
mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah
mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk
menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya
mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.
“Di mana sekarang Suheng-mu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian.
Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, dia telah meninggalkan diriku
dan aku sekarang justru sedang mencarinya, Taihiap.” jawabnya sejujurnya dan dengan suara
mengandung kedukaan.
Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain,
dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka dia
pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong dari pada
hubungan suheng dan sumoi belaka.
“Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apa pun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah.”
Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat
menyambung, “Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi
dengan kesabaran.”
Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak
menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suheng-nya itu setidaknya merupakan
hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu
seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.
Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. “Adik Ci
Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”
Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat
sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, dia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah
datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang
usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus
sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang
bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.
Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka
berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat
itu melangkah maju.
“Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian
hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”
Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya
yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti
penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.
“Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan
dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari
keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar
dan kami menyesal sekali.”
Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. “Gara-gara
kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”
“Salah paham apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada teman-temanmu
yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian
bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya seram.
“Aha, agaknya kesalah-pahaman ini berasal darimu, Nona,” tosu itu berkata sambil tersenyum.
“Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau
hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang
lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda
itu, sehingga timbul kesalah pahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda
itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”
“Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku
mencuri pula. Huhh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya
sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian membentak.
“Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang.
“Hek-liong-ma adalah kuda milik kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!”
Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak
disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai
pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!
“Ahh, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu, Enci?” Ci Sian bertanya heran.
“Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukanlah pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang
mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan
kami yang tidak mencari keributan,” kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.
“Ho-ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu
pun bukan pencuri-pencuri kuda, walau pun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma.”
“Omongan apa itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”
“Siancai.... Nona muda amat keras hati,” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar jelas bagi
Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan
kuda terbaik di daerah ini. Pada waktu kami melihat Hek-liong-ma, kami tahu bahwa itulah kuda yang harus
kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, lalu
membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami
berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang
‘terpaksa’ mencuri kuda terbaik.
Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti rajaraja
kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan
didapatkannya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas
itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu
bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya.
Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu. Bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa
sekali pun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguh pun
penguasa-penguasa ini juga membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil
ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena
perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena
berlomba kedudukan dan kekuasaan.
Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan,
Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang
menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlombaan kekuasaan itu pun
mengambil bentuk lain. Sekarang bukan lagi perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan
jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, atau perlombaan kuda dan beberapa macam
ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan,
dunia-kangouw.blogspot.com
karena dalam kemenangan ini mereka yang menang akan merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih
segala-galanya dari yang kalah!
Yang paling sering diadakan perlombaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan
kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri,
bahkan ada yang mendatangkan dari jauh, dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar
perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang sangat mahal. Setiap tahun sekali tentu
diadakan perlombaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu raja-raja kecil ini juga saling
berlomba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlombaan
mencari kuda terbaik.
Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki
wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Pada waktu mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring
banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum
pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik
sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam
kuda hitam itu untuk keperluan perlombaan beberapa hari yang akan datang.
Akan tetapi, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian
seseorang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat dipinjamkan atau disewakannya. Hal inilah yang
membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan pula
mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.
“Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka memaklumi keadaan kami.” Sambung tosu itu.
”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlombaan berlangsung dan
majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang,
pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi
kesulitan sekarang.”
“Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang
engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.
Tosu itu tersenyum. “Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang
tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja
kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan
begini!”
Dan mendadak kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon
oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas
dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan
tongkatnya itu!
“Hemm, permainan kanak-kanak saja!” Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In.
Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu
silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su.
Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.
“Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!”
Ci Sian terkejut sekali karena ketika dia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon,
terikat kendalinya seperti tadi, sedangkan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap
seperti asap saja!
Melihat ini, kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang
wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian
memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter
dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang
mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, kemudian terbentuklah
dunia-kangouw.blogspot.com
seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk
Siang In!
Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai
penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan.
Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak
merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata,
“Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?” Dan aneh sekali, tangan kirinya itu
seperti berubah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun
dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!
“Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!” kata tosu itu.
Dan kini dia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada
tanah tercongkel tongkat dan tanah itu berhamburan, lalu berubah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak
sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang
terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berubah, ada bayangan kengerian pada wajah
cantik itu. Memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita.
Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat-cepat ia pun
menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang
mengandung wibawa amat kuatnya.
“Asal tanah kembali jadi tanah!”
Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berubah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu
itu mengangguk-angguk dan memandang heran. “Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan
main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru
Toanio dalam ilmu sihir?”
Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan
kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu dia menjawab. “Kenalkah Totiang kepada See-thian
Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir.”
Tiba-tiba saja sikap tosu itu berubah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. “Ahh, kiranya
Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan
kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu
dan berkata. “Ahhh, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tak boleh
diganggu....“
Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat seperti mereka itu,
membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat
tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?
“Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip
dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan
sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!”
kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga
tangguh.
“Habis, kalian mau apa? Mau tetap merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah maju
sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.
Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas
bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. “Nona, kami bukanlah
perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya
bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”
“Hemm, kalau aku menolak?”
“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak
kami kembalikan bersama uang sewanya,” kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan
dunia-kangouw.blogspot.com
dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya juga sudah siap dengan senjata masing-masing,
untuk menggertak supaya nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.
Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar
Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si
Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat
dilihat dari kerutan kedua alisnya. “Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan
senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!”
Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orangorang
itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki
pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang
mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu
terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu
telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah.
Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi
pemimpin atau juga guru mereka!
Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan
orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh
amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar
Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat
tangguh!
Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali.
“Siancai....,” katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, “Kami orang-orang kasar seperti
buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang
yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Alangkah bodohnya
kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang oleh keadaan terpaksa bersikap
kasar.”
“Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!” kata Si Botak. “Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda
hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!” Dia mengeluh panjang pendek.
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, “Coba ceritakan
tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya?”
Tosu itu lalu menarik napas panjang. “Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan
terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan tanah yang jahat, kejam dan sewenangwenang,
karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai
tukang jual beli wanita yang amat kejam.”
“Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing,” kata Kian Bu tertawa.
“Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Taihiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti
pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gaji besar dan hadiah. Sama sekali tidak! Jikalau pinto membela
majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan
tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat
mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw.”
“Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu,” Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali
mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.
“Kami tidak tahu banyak, Toanio,” Tosu itu melanjutkan. “Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouwthicu
(Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liongma
ini, bahkan sudah memperoleh ahli penunggangnya pula, yaitu seorang wanita cantik yang amat
terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw
sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm....“ Siang In saling pandang dengan suaminya. “Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma
itu tentu seekor kuda betina, bukan?”
“Benar sekali, Toanio.”
“Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!” Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya
Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.
“Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sinkiang,
pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah
berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena kawannya hilang itulah
maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada
pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu.”
“Dan kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian,” Ci
Sian menyambung.
“Ahh, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!” Si Botak berseru keras.
“Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami,” kata Siang In.
“Dan biarkan Hek-liong-ma berlomba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk
mengalahkannya. Aku pun mau menjadi penunggang Hek-liong-ma,” kata pula Ci Sian.
“Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kau kalahkan,” Siang In berseru gembira.
Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan
mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu
Thio-thicu.
Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus
terang. “Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari
Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik
sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?”
“Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti
Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan
dengan keluarga Kao,” kata Kian Bu.
Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan
isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu.
Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga
mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga
mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka.
Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai
seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi
dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justru karena urusan
ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang.
Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga sering kali sakit-sakitan.
Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah
kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali. Wataknya yang dahulunya amat
riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.
Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi
urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlombaan kuda itu
merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andai kata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat
bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi
hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan
hidupnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang
bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi
sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar
bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu padanya, datang
mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang
akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambut dengan segala
kehormatan. Dia bersama isterinya dan kelima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah
tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggota keluarga lain.
Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan
yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma pun tadi sudah disambut oleh para tukang kuda,
dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan
rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.
Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang
tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In
dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini dari pada
Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam
saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar
matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan
pendekar ini.
“Sungguh menyesal sekali kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan
karenanya merepotkan Sam-wi saja,” antara lain tuan tanah Thio itu berkata. “Tetapi, orang she Bouw itu
sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya ia hendak menentang campur tangan
pemerintah, ingin memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang
pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini.
Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini
mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol.
Walau pun kini belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi
pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya.”
Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala
pemberontakan, maka penting juga baginya. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau
Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah
membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan.
Tetapi bukan itu saja, sebenarnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk
mencegah terjadinya perang lagi, karena semua perang hanya berakibat mendatangkan mala petaka dan
kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biar pun ibunya adalah puteri Mancu, namun
ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh
bangsa Mancu.
Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa
Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa dari pada penjajahan. Dan dia tidak
menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak
sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini.
Akan tetapi dia sendiri bingung, tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya adalah puteri Mancu! Dan ayahnya
ialah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau turut
mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang, sebab yang jelas perang akan
mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.
Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada
penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah
yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Thio-wangwe,
apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, amat jahat dan
juga hendak memberontak?”
Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguhsungguh
dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. “Harap Toanio
jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu,
dunia-kangouw.blogspot.com
dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya
sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masingmasing
memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun
tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan
untuk mencari keunggulan dalam perlombaan-perlombaan, terutama sekali lomba kuda. Kami semua telah
sadar bahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang sangat tidak baik dan
membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orangorang
pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya
melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi,
semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang
terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang
luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!”
“Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?” pancing Siang In.
“Penjinak kuda? Memang, akan tetapi dia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan dia kejam bukan main.
Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai
hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya,
terpaksa kami mengeluarkannya.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru