Jumat, 16 Juni 2017

Istana Pulau Es 8 Tamat

Istana Pulau Es 8 Tamat
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Istana Pulau Es 8 Tamat
Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan
pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan
tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang
dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan
langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya Suma Hoat
mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
“Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee berkata singkat lalu
meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan
membebaskan totokan.
Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan
hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan
perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jaihwa-
sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang
Hok Ci sambil tertawa-tawa.
”Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku yang akan
membunuh tikus besar ini!”
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan
Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya
masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di
tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan
kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.
Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang
menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang
melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih
berlangsung ‘seru’ dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!
Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu
ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapa
pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang
pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana
perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah. Untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya,
sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan.
Selain itu dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi
dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat
bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang
ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan
serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan
melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas
tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk
membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan
hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen.
Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa
pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapa pun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar
dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya
yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah
mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat,
tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
“Tahan! Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu
terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat
kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!”
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api
kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang
telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar
kesadaranku aku menjadi pengawalmu!”
”Kam-siauwte...!”
“Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi
dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!”
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia
menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari
hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara.
Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja
hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?”
“Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawabawa
kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa
Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukanpasukan
Mancu, ha-ha-ha.”
“Mari kita pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian
Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, “Aku tadi
melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, “Kami
sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang.
Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya,
sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat
Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka
tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.”
“Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu mengomel.
Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh
tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki berkata,
“Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya
dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan... dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia
teringat akan sikap sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam
keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang,
tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara
banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu
melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu
saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus
jantungnya. Namun karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap
pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan
menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kamtaihiap
dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”
“Suheng, dia adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari... ahhh, Coasupek...!”
Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis tersedu-sedu.
“Heiii... ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.
“Khu-lihiap... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”
“Dia mati terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di
hutan pohon pek...”
“Suma Hoat?” Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang
yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik pula.”
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa
Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoi-nya
itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran
Dhanu dan berkata, “Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak
melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.”
“Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali
kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan
menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah mengenal
aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?”
“Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu memperkenalkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar
nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata,
“Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak
Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling
berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah
perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak
dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak
kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk
mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang
gagah.”
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima
kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang
telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa
dan negara.”
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti
kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar,
kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara
terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk
menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Itulah tanda-tanda bahwa
negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga
Taihiap. Sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan
siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah
keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu
memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidakadilan
itu.
“Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan
kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin
tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau
Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau
menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami
dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi
seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum
menyadarkannya.
“Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona.
Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”
“Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan
tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah
menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan,
sedangkan anak kedua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba
mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat
hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak
perempuan itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aaahhhh...!” Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia
merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
“Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan
lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak
pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah
menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri,
hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita
tidak ada sangkut-paut lagi!”
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki
dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa
pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah
cukup membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.
Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han
Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan
sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan
Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib
sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih
mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan
mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu
dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biar pun
tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee
sebagai orang-orang gagah yang biar pun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami
penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.
Ada pun dia, biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung,
karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan
dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor
kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh
cinta kepada Khu Siauw Bwee!
“Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi
meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.
Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan
mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas
ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain,
termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan
kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum
terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan
tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.
Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat,
masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih
sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu.
Kemesraan! Sebelum sembuh, suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu
kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak
menemukan lagi kemesraan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi
kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang
terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku
belaka.”
“Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah
kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa
ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng.
Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang
tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita
pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng,
marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan,
ketenteraman yang penuh damai di sana.”
“Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada
Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satusatunya.
Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi,
merupakan siksa yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es
bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suheng-nya
kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa
senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta
dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu
amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
“Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke
Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....” dia tidak dapat
melanjutkan kata-katanya.
“Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan
aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”
“Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi,
celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa
kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku
ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara
seperguruan yang saling mencinta.”
“Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka
dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas
panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah
yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya
mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja,
betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang
cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan
menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul
tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak
seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.”
“Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapa pun
beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kau cinta. Tanpa
keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es.
Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela
menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus
menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak
merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm, agaknya
engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh
mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke
Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke
Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih
dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk
Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
“Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat.”
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk
melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya
akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka.
Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata
tajam menyelidik.
“Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan
kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan
tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?”
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah
bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram
penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati
kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam
telah padam di hatimu?”
“Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam
adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara
manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati
dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan
kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan
dendam sakit hati padamu?”
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku!
Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”
Han Ki menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat,
mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?”
“Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh
besarku!”
“Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari
sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andai
kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh.
Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap
dunia-kangouw.blogspot.com
dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau
perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang
harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik
membalas budi mau pun membalas dendam!”
“Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga
menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?”
Han Ki menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang.
Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang
dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang
menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah
artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya
pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan
yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan
menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang
lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”
Siauw Bwee terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum
pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia membantah, “Akan tetapi,
Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi?
Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!”
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata, suaranya
bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan
seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”
’’Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan
berusaha untuk membalas budi itu!”
’’Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat
dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain
pula!”
’’Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!”
’’Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut
disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain
berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan
hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh, kebenaran
pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan
menyimpang dari pendapat umum.”
’’Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan,
karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai
pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar, maka
terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari
tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan
dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan
pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat.
Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si Sebab
pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari
ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”
“Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku,
kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
”Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”
”Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!”
”Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan
engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau
membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan
kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang
bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik
kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai akibat
perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di
hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?”
”Aku tidak takut!”
”Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam
mata rantai dendam-mendendam.”
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang
dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya memang akibat
perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebabsebab
tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat
membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid
Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam
membela gurunya.
”Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau
lakukan asal saja engkau...”
Melihat keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”
”Asal engkau tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang
suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan
tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami
isteri untuk selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan
dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
”Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta
birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau
Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba
di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata
penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau... tentu akan
kembali secepatnya ke sini, bukan?”
”Dia tentu dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah laut
menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan tetapi tahu
pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum
membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu
pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya
mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan
ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.....
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
“Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?” para pengawal penjaga gedung
Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal
berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
”Minggir kalian dan biarkan kami masuk!” Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang
pedangnya.
”Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biar pun engkau komandan pasukan,
akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-taiciangkun!”
”Wuuuuttt... ciattt!” Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir
putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya.
Tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para
pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Sertamerta
mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan
pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan
pengawal yang telah mengurung gedung itu.
Biar pun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun
ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat,
melaporkan kepada Suma Kiat.
”Celaka... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu...!”
Pada sore hari itu Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya,
Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa
Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini
mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan
pemerintah Yucen. Akan tetapi sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan
oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat
setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya!
Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga
dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjinah dengan
puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong
puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah
ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung
mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri
tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat
dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib
malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena
putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila
dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya,
dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur
membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka
seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
”Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah
berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan.
Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia
dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?”
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan
napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur,
pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan
geram dia berkata kepada para penjaga, “Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!”
Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya.
Mereka melangkah ke luar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar
berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia
hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua
tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran, ”Sungguh
amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan
secara memaksa. Apa kehendak Koksu?”
Biar pun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan
Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenal sebagai seorang yang
dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma
menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh
terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir, “Sikapku ini
sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang
panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat,
menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!”
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan
suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira
saja, “Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak
dahulu keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!”
”Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biar pun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi
belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara
dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki
tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!”
”Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?” Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
”Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki
tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di
tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Sengjin?
Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami
tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!”
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah
dibunuh setelah disiksa untuk mengaku. Akan tetapi dia lebih kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah
melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya
kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
”Anjing penjilat, kau kira aku takut padamu?” Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu
dengan kecepatan luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya.
Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang,
punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing.
Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya.
Namun Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerakgerakkan
dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mukjizat dan ampuh sekali. Karena itu,
Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan
dengan Suma Kiat.
Suma Kiat memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepadanya sehingga para pasukan
pengawal itu menerjang maju, disambut pasukan pengawal Koksu. Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat juga
sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang
Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu. Akan tetapi jumlah
pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal
Bu-koksu, apa lagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat sudah menaluk ketika melihat gelagat buruk,
bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan
sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini
amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan
dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia kerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun beberapa orang panglima dan pasukan
segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam
keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus
bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan
menerjang ke luar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh
orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama
dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apa lagi setelah dua orang
pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat mengaku bahwa mereka
adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini
sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan
para panglimanya. Tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat
mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu. Coa Sin Cu terkejut dan cepat
menangkis.
“Trangggg... trakkkk!” Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur
membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya.
Lehernya putus terbabat golok!
”Keparat...!” Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas
dan dahsyat ke depan.
Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhu-nya berusaha mengelak dan menangkis,
dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh
sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima
yang membantunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu,
akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu.
Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang
mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.
”Suhu... lebih baik kita pergi...!” Siangkoan Lee berseru. “Subo sudah terluka...!”
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu
Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi
tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar
pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan
memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan
selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke
atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani
mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang
anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat
diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka
menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba.
Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para
pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik
diperkosa sampai mati. Kemudian seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya
berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia
sedang berduka sekali melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos.
Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran
Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim
pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa
melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sinkauw
dan Thian Ek Cinjin.
Dengan bantuan muridnya yang setia, Suma Kiat berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat
dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan
betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak
pernah berhenti. Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin
baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau
pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen.
Akan tetapi dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah citacitanya.
Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka
bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk
menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri
memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu
gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
”Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita
menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?” Siangkoan Lee mengajukan usulnya di
tengah perjalanan melarnkan diri itu.
Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika
menjawab, “Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk
rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang
lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi
itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati dari pada
menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus
dunia-kangouw.blogspot.com
melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap
sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku.”
Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali. “Terima kasih, Suhu...,” katanya terharu. “Teecu bersumpah
akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!”
Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap
kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda,
akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja. Suma Kiat menahan
kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang pengejar itu.
”Ayah...!”
Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini dengan muka dan baju basah oleh peluh
karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya.
Mereka bertiga yang duduk di atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata
mengandung penuh penasaran.
”Ayah..., aku... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu... Aku cepat ke Siang-tan, tapi terlambat... lalu
mengejar Ayah...”
”Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!” Suma Kiat membentak
penuh kemarahan.
Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat. “Ayah... mengapa...?”
”Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah
kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar.
Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja. Mulai saat ini, engkau bukan
puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!”
“Ayaaahhh...!” Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.
“Cet-cet-cet!” Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat.
Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada
waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan
berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi
kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun.
Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat
memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir,
kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan
pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan
hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!
Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia
menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya.
Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw
Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan
Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki
pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya,
bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apa lagi artinya hidup ini baginya?
Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum
kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati? Orang-orang gagah seperti Bukoksu
adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong yang terkenal karena
kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja
membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andai kata dia tidak hendak berbaik kembali
dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu
persekutuan kotor itu.
Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata
sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau
marah. Dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk
meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu
akan membakar terus hati ayahnya.
Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri
amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan
mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan
batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan
bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun
sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di
Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya berusaha menyenangkan hati suhu-nya itu dengan
membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda
untuk suhu-nya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya
kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan,
terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua
kedukaan ini ditambah lagi oleh tingkah polah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat
betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita
ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya
tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.
********************
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan
musuh di Siang-tan. Biar pun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam
keadaan menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru
melakukan penyerbuan ke Siang-tan.
Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sianyang,
Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suheng-nya
dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suheng-nya, dia harus ‘menebusnya’
dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan
hatinya!
Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil
keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap
pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta bala bantuan
ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa,
melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar.
Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan
itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak
Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu. Mendengar dari para penyelidiknya bahwa
bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di
Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima
dunia-kangouw.blogspot.com
Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini
menjadi besar dan kuat karena memperoleh bantuan.
Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat
besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul
kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih
belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu.
Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar
tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan matimatian.
Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa
pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu
pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa
melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga
mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat
bergerak di mana-mana? Namun dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian
untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan.
Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan
Mancu? Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang
menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai pasukanpasukan
Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari
Yucen.
Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan
pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai
pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri diamdiam
berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siangtan
dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah
yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.
Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam
keadaan terjepit itu Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya!
Pek-mau Seng-jin girang sekali, lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan
pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dan dengan cepat melakukan perjalanan menuju
Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok
benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan
hari lamanya, hanya berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi
akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar.
Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng
dan memperkuat penjagaan.
Maya memimpin pasukan-pasukannya. Diam-diam ia merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur
pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun
pasukan-pasukannya mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk
membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal
dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung
sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat
dipertahankan.
Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan
Mancu. Akan tetapi pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung,
hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuanpenyerbuan
lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang
ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya,
tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu
terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang
memekakkan telinga. Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan
makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang
lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.
Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik,
lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu. Ke mana pun sinar pedangnya
menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh.
Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia
mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan
senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan
ini dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan
yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh
dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga sering kali mereka terpaksa mundur dan
terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung.
Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu
berseru menantang, “Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai
seorang di antara kita roboh binasa!”
”Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?” Bu-koksu membentak.
Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di
lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia
langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan
dahsyat.
Andai kata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, betapa pun lihainya Bu-koksu agaknya
bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi bertanding di
atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya
kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang
ditunggangi memegang peranan penting. Biar pun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun
pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biar pun gerakan
tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga
kalah.
Karena inilah pertandingan berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan
yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang
tidak terlalu parah biar pun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapa pun juga,
diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona
itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang
lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu
memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan
untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.
”Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!” Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya
menyambar dengan sinar berkilat.
”Tidak begitu mudah keparat!” Bu-koksu membentak dan menangkis.
”Tranggg...!” Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu.
Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini
mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Tahan senjata...!” Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata
orang itu adalah Suma Hoat!
Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat
mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu
terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu. Maka keduanya lalu menarik
senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka
dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil
menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa
Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini
timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian,
sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati!
Biar pun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak
dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada
kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia
merasa tidak tega. Apa lagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis
yang dicintanya.
”Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!”
Maya membentak nyaring.
”Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka
bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau
malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa,
membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?”
”Suma Hoat, mulutmu palsu!” Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. “Engkau
sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!”
”Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah
seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan
Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat
akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar
Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...”
”Jangan sebut-sebut nama guruku!” Maya membentak.
Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa
lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng,
apa lagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
”Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk
menghancurkan bangsa sendiri...”
”Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung!
Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena
pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan
sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk
membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah
kuampunkan. Sekarang minggirlah!”
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah
menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri
tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya
dan harus dilawan mati-matian.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Trang-cring-trang...!” Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu
harus membantu siapa.
”Sumoi...!”
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke
belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas
punggung kuda. Namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting
roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
”Suheng...!” Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia
terpental tadi.
”Kam-siauwte...!” Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu
amat sakti ini.
Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya
dan memandang dengan alis berkerut. ”Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan
kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau adalah keturunan orang-orang
gagah perkasa yang lebih baik mati dari pada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir
darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan
bangsa sendiri?”
”Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku,
telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!”
”Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan
perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia
sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang
membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?”
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suheng-nya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata,
“Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku
sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa
denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat
bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es,
engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku... padahal hanya engkau seorang harapanku...! Engkau
telah menghancurkan harapan dan cintaku... engkau....” Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia
menekuk pedang dengan kedua tangannya.
”Krekkk!” Pedang itu patah berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.
”Llhat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka
bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan
tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini dan akan mengamuk terus
sampai mati!”
”Ohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat.
Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya,
yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu
Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan
di depan banyak orang, maka dia hanya berkata, “Sumoi, mari ikut aku pergi...!” Tubuhnya berkelebat ke
depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi Han Ki telah menotoknya dan berlari
pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoi-nya dalam kempitan.
”Kam-taihiap, tunggu...!” Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap.
Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal
jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi
penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han
Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah
tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, biarlah menjadi isterinya kalau ditolak oleh Kam
Han Ki, penghuni Istana Pulau Es!
Perang berlangsung terus biar pun Maya telah pergi. Akan tetapi tentu saja semangat berjuang para
pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu
lenyap. Apa lagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi
kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh.
Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran
karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.....
********************
Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit,
mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung
raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan
kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu
berkilauan permukaannya. Bangunan istana di tengah pulau yang telah lama ditinggalkan penghunipenghuninya
sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah
Han Ki, bersama dua orang sumoi-nya kembali ke pulau.
Biar pun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan
cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera
menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada
suci-nya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara,
senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci
di hati mereka. Kini setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan
timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
”Sumoi..., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...”
”Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang
mohon maaf kepadamu...”
Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoi-nya itu. “Nah, begitulah,
kedua sumoi-ku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada
kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini sesuai dengan kehendak Suhu.
Karena itu baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini.”
Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda
itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya
membentak, “Akan tetapi, Suheng...!”
Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas. “Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita
bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang yang
terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara
semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya.” Han Ki menudingkan telunjuknya.
Ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan keadaan istana tua itu, mereka menjadi terharu
dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu. Ketika mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera
bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.
Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab, “Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri
di sini, hatiku merana setiap hari, apa lagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini.
Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang
kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati.”
”Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu.
Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?” Siauw Bwee mencela.
”Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa
apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!” Maya juga mencela.
Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua
orang sumoi-nya, senyum gembira. “Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang
lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang
kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!” Dia memperlihatkan tiga bongkah batu
pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap
kekecewaan mereka.
Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sinkang yang
menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.
”Dengan memiliki sinkang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni
Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka,
terutama sekali pada tengah malam. Kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju di waktu hawa sedang
dinginnya. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk
dapat melatih Swat-im Sinkang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari
cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini.”
”Nanti dulu, Suheng,” tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw
Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju,
duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sinkang.
”Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?” Han Ki bertanya.
”Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun
yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang
masih kecil! Memang latihan Swat-im Sinkang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan
ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja
Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting.”
Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak. “Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang
kulupakan?”
”Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau
mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau
kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau
menerima aku sebagai isterimu?”
”Maya-sumoi!”
”Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi
karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa Khu-sumoi
mencintamu pula. Ada pun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan
mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
menentukan, untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan
pilih untuk menjadi isteri?”
Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa
tentu suheng-nya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih
dia, kini menjadi cemas melihat suheng-nya kelihatan bingung.
”Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoi-nya. “Bukankah sudah adil
dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan
sejujurnya?”
Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah,
namun dia benar-benar tidak sanggup untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara
begitu jujur mengenai urusan cinta! Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju
sekali akan pendapat Maya itu. Suheng-nya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar
tidak menyiksa hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.
Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak
Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua
itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih
hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan
menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu?
”Maya-sumoi dan Khu-sumoi... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan
kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoi-ku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang
kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian
seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua
orang sumoi-ku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?”
Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya,
cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoi-nya itu. Maya dan
Siauw Bwee memandang kepada Han Ki dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu
hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki.
Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suheng-nya itu telah
menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu, ingatan suheng-nya belum
pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suheng-nya. Sekarang
lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi,
seorang dara yang amat disayang oleh suheng-nya.
”Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku
pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib
sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka aku mempunyai
usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini.”
Dengan penuh harapan Han Ki mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu.
Kecantikan Maya inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta Siauw
Bwee, akan tetapi Maya... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang wajah sumoi-nya yang memiliki
kecantikan yang luar biasa dan khas itu!
”Apakah usulmu itu, Sumoi?” tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari
kesulitan yang membingungkan hatinya itu.
”Karena Suheng tidak dapat berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak mau menyiksa
hati kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua sebagai isteri
Suheng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pucat seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga
Siauw Bwee memandang wajah suci-nya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga
memandangnya dan kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata
di antara kedua orang dara itu.
Pada detik itu Siauw Bwee dapat menyelami hati suci-nya dan melihat ketidak-mungkinan apa bila Suheng
mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang akan
dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan perpecahan.
”Aku tidak melihat jalan lain dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju
dengan usul Suci.” Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.
”Tidak! Tidak mungkin itu...! Kalian kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah batinku sehingga
mempergunakan keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andai kata kalian rela sekali pun, aku akan
mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!” Han Ki yang menjadi bingung itu menutupi muka dengan
kedua tangannya.
Siauw Bwee dan Maya saling pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas
dan dingin. ”Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap seorang jantan! Apa lagi seorang pemuda seperti
Suheng, murid langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat
mengambil keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang Suheng
beratkan? Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andai kata engkau memilih Maya-suci. Katakanlah
bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku
akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu kebahagiaan kalian.”
Han Ki menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan
tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening, kemudian
terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
”Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap
paling sakti, paling kuat dan paling jantan, ternyata amat lemah. Engkau tidak berani mengaku terus terang
akan cintamu karena takut melukai hati seorang di antara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua,
engkau tidak berani menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata
keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua ke sini?
Mengapa tidak kau biarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami
dengan keraguan? Suheng, perlu apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami
bukan anak-anak kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan.”
”Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan
Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!” kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah meloncat
berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.
”Nanti dulu...!” Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. “Maya! Siauw Bwee!
Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil keputusan dalam
hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan,
sebagai adik-adik kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan
selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian? Benar-benar amat berat dan
sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana,
membuat arca kita bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil
keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sinkang
di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai.
Nah, kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan pilihanku.”
Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan
hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biar pun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi,
hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!
”Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?” Maya bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Kalau demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan,” jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun
sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.
Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk
menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan
hati mereka. Biar pun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka
dapat melatih diri dengan Swat-im Sinkang, tidak akan terasa terlalu lama.
”Baiklah, aku setuju, Suheng,” kata Maya.
”Aku pun setuju,” kata pula Siauw Bwee.
Han Ki menarik napas lega melihat dua orang sumoi-nya telah duduk kembali di atas salju. “Kuharap saja
tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swatim
Sinkang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca kita.”
Dengan penuh perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki,
kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sinkang yang mukjizat itu.
Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sinkang mereka di waktu dahulu, mereka berdua
menderita sekali, apa lagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin. Namun berkat kekuatan tubuh
mereka yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki Jit-goat-sinkang,
mereka dapat mengatasi penderitaan itu. Pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan kedua orang
sumoi-nya yang ia percaya akan mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.
Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee
tekun berlatih sinkang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat
melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Ada pun Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam
Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu
pualam. Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya.
Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoi-nya ini, cintanya makin mendalam dan
dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bwee-lah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta
Siauw Bwee!
Akan tetapi ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoi-nya ini dan jantungnya berdebar
penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoi-nya ini, apa lagi
ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh sumoi-nya. Maklumlah dia bahwa
birahinya condong kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya
selalu tergugah.
Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri
lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka! Kalau dia memilih
Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguh pun Maya akan merupakan
isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu
merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita.
Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan
selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang sumoi-nya itu yang memiliki watak jauh
berbeda. Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah
bersaing. Apa lagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan
menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga!
Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah dari pada tiga
buah arca yang dibuatnya dahulu dan telah dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur,
tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga
bulan yang diberikan kepada dua orang sumoi-nya hampir tiba dan dia masih belum mengambil keputusan
dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoi-nya dan bagaimana dia
akan mengambil keputusan?
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sinkang sampai tingkat terakhir.
Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak
berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan
mencoba Swat-im Sinkang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air.
Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sinkang dahsyat itu telah membuat air
membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee
gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah
mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat
tiga hari belum juga suheng mereka muncul!
”Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?” Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan
Istana Pulau Es.
”Mungkin arcanya belum selesai, Suci,” kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
”Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga
bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini.”
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau
menyatakan di depan suci-nya karena dia hendak melindungi Han Ki. ”Tentu ada sesuatu yang
menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka
bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita.”
”Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!” Setelah
berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalam ruangan
tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak
mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama suci-nya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah
yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu. Tiga
buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka
bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua
orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata
terbelalak kagum.
Benar-benar suheng mereka tidak membohong. Tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah dari pada
yang dibuatnya dahulu. Apa lagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda
dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca ini
menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah
dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan
keharuman mereka. Akan tetapi, ke mana perginya Han Ki?
”Suheng, di mana engkau?” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan
suheng-nya di dalam ruangan itu.
”Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!” Maya berkata, menuding ke bawah.
Siauw Bwee menghampiri dan bersama suci-nya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.
”Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan
aku terlambat beberapa hari.”
”Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!” Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran
huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini Siauw Bwee merasa tidak senang. “Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka
Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah
dunia-kangouw.blogspot.com
marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benarbenar
mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu
Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.”
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoi-nya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar.
Ucapan sumoi-nya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoi-nya kepada Han Ki, dan
tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah
sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki
tidak ada di situ.
”Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri!
Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita
hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan.
Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata!
Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung
pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali
menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri
dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!”
”Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?” Siauw Bwee timbul
kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
”Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andai kata kita
berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri
menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita
harus lenyap!”
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. “Maksudmu...?” tanyanya untuk mendapat
ketegasan.
”Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai suci-mu
tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan
jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan
Kam-suheng!”
”Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin
bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah
perebutan hina...”
”Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang bekas panglima
perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada
bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang
kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini,
urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!”
Siauw Bwee marah sekali. “Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan
menanti datangnya Suheng.” Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat ke
luar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, “Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan
engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!” Kemudian dia membalikkan
tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam
di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk mencari suheng-nya. Mungkin suheng-nya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan
menjauhkan diri dari pulau untuk mencari ‘ilham’ menghadapi persoalan yang ruwet itu.
Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi suci-nya itu. Kalau dahulu
sebelum meninggalkan pulau saja, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apa lagi sekarang,
setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki
Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sinkang. Dalam Ilmu
Swat-im Sinkang pun kekuatan mereka seimbang.
Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak suci-nya yang gila itu. Kalau
mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan mala-petaka hebat. Andai kata dia kalah dan
tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan suci-nya terluka
atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suheng-nya? Kalau menurutkan hati marah,
tentu saja ingin dia melayani dan melawan suci-nya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi cinta
kasihnya terhadap suheng-nya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai,
apa lagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke
sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali
tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khikangnya dan
mengeluarkan suara melengking nyaring sekali memanggil suheng-nya, ”Kam-suheng...!”
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking
nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya
sendiri.
”Suheng...!”
”Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!”
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya
dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
”Suci, mau apa engkau?”
”Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!”
”Aku tidak sudi!” jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
”Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!”
”Aku pun tidak sudi pergi!” jawab pula Siauw Bwee.
”Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Cabut pedangmu menandingiku, atau pergi dari sini!”
”Kalau keduanya aku tidak sudi...?”
”Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!” Maya mengelebatkan pedangnya.
”Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!”
”Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarutlarut.
Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang
mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan menyerangmu!”
”Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak
takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng
dunia-kangouw.blogspot.com
makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya, maka aku rela berkorban perasaan menghadapi
penghinaanmu ini...”
”Cukup! Lihat senjata!” Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang
mendalam.
Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini
tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit
pun tidak gentar.
Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah
menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus
dada itu!
”Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!” Maya berseru
marah sekali. “Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku,
melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan
aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?”
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak
ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan
suci-nya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut
hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
”Singgg...!” Pedangnya telah tercabut.
”Bagus, mari kita selesaikan!” Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
”Trang-cring-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari
satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka
yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan
pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah
mengambil keputusan untuk membunuh sumoi-nya dalam pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena
bencinya terhadap sumoi-nya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau
kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan
yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han
Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih
hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoi-nya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung dan
kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini sumoi-nya
telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu
perang saja!
Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha
menyelami dan mempelajari intinya. Namun sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung
dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut,
lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sinkang-nya.
Dahulu sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sinkang-nya masih menang sedikit dibandingkan
dengan sumoi-nya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat
tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis,
dengan maksud untuk membuat pedang sumoi-nya patah atau terpental.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Cringgg...!” Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung
mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
”Aihhh...!” Tak terasa lagi Maya berteriak kaget.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sinkang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini
tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sinkang.
Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya
kini bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama dari pada dia kalah dan kehilangan Han Ki!
Kalau dia menghendaki, biar pun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari
pertandingan itu sebagai pemenang. Namun di balik kemarahannya dara ini masih sadar bahwa dia tidak
boleh melukai suci-nya, apa lagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya
hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah maka dia selalu menjaga gerakannya agar
jangan sampai mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia
hanya akan mengalahkan suci-nya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biar pun dia dapat menandingi suci-nya karena
ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sinkang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak. Betapa pun
lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sinkang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki
kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat
suci-nya menjadi bingung dan terdesak.
Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan
terluka, bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran dan
Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suheng-nya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan
dahsyat suci-nya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka
dan mungkin terancam maut!
Karena itu mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan suci-nya dengan
jurus-jurus dahsyat. Biar pun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suheng-nya, namun dia
memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit
bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya
membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang
lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!
”Aihhh...!” Maya terhuyung dan biar pun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh
miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan kirinya
seperti lumpuh.
Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. “Suci...!”
Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak
demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia
mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk
membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dengan tubuh masih rebah miring dia membabat dengan
pedang di tangannya.
”Singgg... crakkk! Aduuuhhh... Suci...!”
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha
yang buntung.
”Suci... kau... kau...!” Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga.
Pedang sumoi-nya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoi-nya tadi bukan menyerangnya,
melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya
dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoi-nya yang memandangi kaki yang buntung.
”Sumoi... aduh... Sumoi... apa yang telah kulakukan...?”
”Suci...!”
”Sumoi...!”
Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoi-nya dan
memeluknya.
”Sumoi... kau ampunkan aku...” Maya memeluk dan menciumi sumoi-nya.
Akan tetapi melihat sumoi-nya diam tak bergerak, disangkanya sumoi-nya telah tewas, maka dia menjeritjerit
memanggil nama sumoi-nya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee
yang juga pingsan.
Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu
betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang
berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu
itu diombang-ambingkan gelombang.
Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoi-nya, Han Ki mengerahkan
seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil meminggirkan perahunya dan
meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan
pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.
Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoi-nya itu bertanding mati-matian di atas
tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoi-nya bahwa
badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi istana itu sunyi, kedua orang sumoi-nya tidak berada di
situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang
tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia
hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!
Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoi-nya saling berpelukan dan
bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa
kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir
pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu
mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan
menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang
sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah
mengejar sumoi-nya!
Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andai kata dia dapat bergerak pun akan terlambat,
karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,
”Siauw Bwee...! Maya...!”
Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu
dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani
turun! Betapa pun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoinya
yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Maya-sumoi...! Khu-sumoi...!” kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu.
Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu
akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan
oleh tenaga manusia.
Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu
karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut
yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.
Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan
terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari
permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking
panjang,
”Maya...! Siauw Bwee...!”
Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadangkadang
terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak
dengan pengerahan khikangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoi-nya tanpa hasil. Kedua
sumoi-nya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai.
Mengerikan dan menyedihkan.....
********************
Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak
sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh
mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah
lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya
yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan
betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya, karena kalau dia tahu akan hal ini,
mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran
ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan
sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi
itu. Betapa pun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di
jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya
melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan
pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di
daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia
ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw
Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan
Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan
ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kangouw
hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada
kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya. Kini dengan berperahu kecil, tanpa
petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari
pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti
seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya
tenggelam dalam nafsu birahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal
makanannya sudah lama habis, dan untuk menyambung hidupnya Suma Hoat terpaksa makan ikan laut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia
datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit.
Betapa pun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada
artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan
akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali
dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan
kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak
tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan
gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Sungguh mengerikan melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu. Semua yang
melihatnya tidak akan ada yang menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat.
Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya
dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya
dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan
tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak
diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk,
akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia
selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada
lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan
kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah
mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat
tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia
memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang
ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan
tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti
bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri.
Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang.
Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan
nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya ke luar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya
sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu
Jit-goat Sinkang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat
melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau
yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di
Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara
bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas merasa
tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguh pun tubuhnya masih
lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya.
Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang
menipis habis di pantai datar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia
bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut.
Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau!
Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang
lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
“Istana...? Istana... Pulau Es...?” Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau
manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah
timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali
tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa
dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk.
Sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dua orang dara itu memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat
sekali, apa lagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin
mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu,
ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia
tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak
mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja.
Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan
depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa betapa
istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang,
seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Perlahan-lahan dia segera menuruni anak tangga dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup,
menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar,
kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh
kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia
tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mulamula
suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara
merintih.
Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah... atau diri kalian sendiri?
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi
dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia
mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan
berwibawa sungguh pun suara itu masih menggetar penuh perasaan.
Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang, hidup terasa hampa,
mengapa...?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta, haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
dunia-kangouw.blogspot.com
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta, tak ingin jasa!
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia
disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus
akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita
yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta?
Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun
bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali,
namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum
dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu
Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa
itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki lakilaki
di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih
tertutup.
“Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?”
Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata, “Harap Kam-taihiap sudi
memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti,
kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya
tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut
oleh badai yang mengamuk.”
Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat
orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti
ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan
itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata
Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat
tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!
“Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu,
mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini
engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut
namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab, “Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah
saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya
menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di
antara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak
perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka
dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia.”
Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian
dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata, “Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada
lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!”
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca
dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat
dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat,
berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua
buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee,
cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca
itu buntung! Ada pun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat
cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
“Apa... apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?” Hati Suma Hoat merasa tidak enak
sekali, apa lagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi
sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma
Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam
yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sinkang. Setelah mereka berdua duduk, dengan suara
yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki
lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil
mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding.
Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke
bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia
tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata
yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
“Jadi... me... mereka... telah tewas...?” Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya. “Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau
bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...”
“Ahhhh...!” Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung
lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah
dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri
yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apa lagi
dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar
diri begitu saja di dalam gelombang!
”Mengapa...? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke
dalam gelombang badai? Mengapa...?” dia berteriak penuh penasaran.
”Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kau ketahui juga,”
Han Ki berkata tenang dan tegas.
“Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa
untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, “Andai
kata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri,
mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka,
namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali
mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai
kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau
rindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih
dan bedanya dengan keadaanmu apa bila engkau memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat
tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta birahi belaka!”
Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapa pun
menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya.
Betapa pun juga dia merasa penasaran dan bertanya, “Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu,
Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu,
bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?”
Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk
mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia
melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan
sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurang-sadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup
manusia sendiri.
Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun raguragu
untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh
rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia
mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.
“Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati.
Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya
menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai
dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa,
menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu,
iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu,
apa lagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!”
Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata,
“Aihhh... aku menjadi bingung, Taihiap... aku harus merenungkan kata-katamu itu... aku tidak mengerti...”
“Apa bila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada,
sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan
dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena
engkau sudah berada di sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku,
harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya.”
“Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua
orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti
mengumbar hawa nafsu birahi belaka. Saya akan bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup
sederhana dan melupakan wanita!”
Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu,
dia tersenyum dan menoleh, lalu berkata, “Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya
masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal dan makan
sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya
menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan
wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong
terlongong mendengarkan semua ucapan itu. Ia merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia
melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi
keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi.
Selama beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia
menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga
dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu,
atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka
yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan
dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.
Namun istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki
ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga
buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia
melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung
kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat
dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang
dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara:
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari membelai
sayang betapa ingin hati
menjeritkan cinta...
Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan
kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi
bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang
menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi ceraiberai
oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es
dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh
cinta gagal pula!
Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di
Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sinkang. Pulau Es merupakan
tempat yang amat baik untuk melatih sinkang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan
hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahuntahun
lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya. Pemuda tampan putera bangsawan yang sudah
biasa hidup mewah itu hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya.....
********************
Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai
beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma
Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan
diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah
istana itu.
Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena
tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor
ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup
besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali.
Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus!
Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan
mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya
makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang,
Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum,
ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua
melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya
itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang
dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan
matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa
panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari
atas ranjang lalu... sadar dari mimpi!
“Aughhhh...!” Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh
keringat yang memenuhi muka dan leher, bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh.
Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut.
Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari ke luar.
Biar pun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya
panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu birahi yang mengguncangnya dan menguasainya.
Nafsu birahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah
diperkosanya, benar-benar membuat dia makin tersiksa.
“Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu
mengandung racun perangsang birahi!”
Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sinkang-nya untuk melawan rangsangan nafsu birahi
yang tidak sewajarnya itu. Namun racun ini benar-benar hebat sekali. Terlalu banyak dia makan daging
ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama
tiga hari tiga malam.
Andai kata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu
dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit
lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan
mau pun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah,
akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.
“Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang
merangsang nafsu birahi saja tidak kuat bertahan! Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki!” Sekarang dia
melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang
dialaminya sendiri!
Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu birahi karena datangnya
segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andai kata
dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa
disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi
sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biar pun berada di pulau kosong
seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja
nafsu birahi akan timbul, baik dengan racun ular merah mau pun tidak!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena
rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma
Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang
belum terbuka mata batinnya.
Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan
ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit
dan tak dapat dikendalikan lagi. Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok
lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri
apa bila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi,
lahir batin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran
akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir mau pun batin, dia itulah yang
akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi.
Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka,
benci, munafik, birahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.
Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap
persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menujukan pandang matanya ke luar, mencari sasaran,
mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan. Andai kata manusia suka
menujukan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan
itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru.
Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke
empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama
tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan. Selagi dia menghentikan
perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia
mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana.
Dia terkejut dan heran. Cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan
makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke belakang.
Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali
jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari
belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin
juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.
Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat
menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana dia
meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh
memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah
batu besar. Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan
tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya itu kasar dan
buruk jadinya.
Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu
membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah,
memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk agaknya, tanah di bawahnya menjadi
istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh
dengan Pulau Es?
Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai
peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat
mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke daratan yang
diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.
********************
Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri,
membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kang-ouw
menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang selain amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga
amat berani.
Dalam petualangannya yang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja
yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, mau pun puteri seorang ketua partai persilatan
besar, anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan membangkitkan birahinya, tentu akan
dibujuknya atau dipaksanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah
tidak dikenal orang. Selain itu juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah ingin
membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan menaruh dendam karena
murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian.
Namun sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh
di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian
tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga
jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya.
Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan
menyimpan rahasianya sampai mati.
Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya
sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang
sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan, membasmi
gerombolan perampok, membela yang tertindas dan sering kali membagi-bagikan harta benda yang dia
rampas dari sarang-sarang perampok. Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya
karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang
menggerakkan hatinya, baik secara halus mau pun kasar!
Di antara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah
Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Sering kali mereka berdua bersamasama
berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan di antara kedua orang ini
terdapat kecocokan watak. Namun semua nasehat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk,
yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagilagi
memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.
Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho,
terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan
kesakitan. Kiranya sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal
barang-barang berharga sedang bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok
barang dan menculik wanita.
Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik. Jerit itu
keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh
rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan
kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!
Biar pun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya
dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang
raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu
tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam
dalam darah yang memenuhi tempat itu.
“Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!” kepala rampok itu tertawa-tawa.
“Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!” seorang perampok melapor sambil
cengar-cengir.
“Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!”
Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu
dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya
menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.
”Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau... ha-ha!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pergi! Jangan ganggu anakku!” Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu
mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar ke luar dari kereta!
“Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat...! Tolooonnggg...!” Ibu dara itu menjerit, akan tetapi
kembali tubuhnya terlempar ke luar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah
menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil
dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor
kelinci yang ketakutan.
Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat dia terlempar dari kereta
sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera
menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai
merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
“Bretttt!” Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit,
akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa
senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.
Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok menjerit-jerit dan menggunakan kedua
tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan
membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah
berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah
dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!
“Lepaskan dara itu!” Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang
bangsawan memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya.
Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata, “Kiranya masih ada yang belum
mampus, keparat!”
Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala
Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal
lengan kanan yang buntung!
“Singgg...” crottt!” Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya terjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia
berkelojotan dalam sekarat!
Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang
berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu
Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya
terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.
Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa
itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah
berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang
lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata.
Akan tetapi laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya
berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi
seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas,
kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri,
kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit
perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!
dunia-kangouw.blogspot.com
Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang
saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan
mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini
tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.
Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi
hormat. “Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap,” kata Si
Ayah.
“Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu.
Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik,” terdengar pendekar itu berkata.
Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah
sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya.
Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak
akan berdebar dan tertarik?
“Pertolongan Inkong lebih berharga dari pada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,”
dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra,
menyuruhnya bangkit. “Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkanmu, Nona.”
“Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan yang hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami
mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?” kata
pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
“Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah karena memang saya pun hendak ke Lokyang,
sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku
yang akan mengemudikannya.”
Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya, “Milik
siapakah barang-barang di dalam kereta kedua di belakang itu?”
“Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami
hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang
apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini.”
Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa
benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk
dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.
Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung,
dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum
dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan
apa bila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!
Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan
kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada
malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya
terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan
si korban begitu saja. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian.
Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini, dan di dalam diri Bi Kiok dia seolah-olah menemukan
sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga
dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu birahi seperti biasanya?
Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang
berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat ‘jinak’, tidak
pernah keluar rumah. Apa lagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong
mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah
atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang
ternyata amat mencintanya.
Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu
mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya mala-petaka, tentu dia akan menikah secara
resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya
tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya
tentu akan dimusuhi pula.
Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat
berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari
sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lokyang.
Biar pun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apa lagi melakukan
perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.
Pada suatu malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang
pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah! Dia menengok dan
memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang
seperti biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh
kepuasan dan kebahagiaan. Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati
sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan
sekali berkelebat, dia telah meloncat ke luar dari kamar membawa pedangnya.
Tepat seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima
orang telah menghadapinya!
“Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!” seorang di antara mereka membentak.
Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka.
Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya,
maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan
pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar
dari kota Lok-yang.
Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio,
telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget
mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi,
hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,
“Harap engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa
engkau tentu mempunyai seorang gadis.”
Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata, “Memang, Twa-suhu,
kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi... mengapa...?”
”Lekas, lihat ke dalam kamarnya!” Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalaukalau
Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.
Biar pun ragu-ragu dan heran, Kwa Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang
menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil
nama anaknya.
Tak lama kemudian terdengar jawaban, “Ehmmm...? Siapa...? Eihh, ke mana perginya...?”
“Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?” Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung.
Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika
melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya. “Eh, ada apakah, Ayah?”
”Omitohud...!” Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega. “Untung bahwa Tuhan masih
melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian.”
Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut. “Jai-hwa-sian...?” Tentu saja mereka telah mendengar nama
penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.
“Ya, benar, baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat
cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman pinceng.
Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari
tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan
akan terus melakukan pengejaran.”
“Tapi... tapi...” Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.
“Biar pun teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau
membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya
pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah menjadi mayat.”
“Lo-suhu, siapakah yang kau maksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan
Jai-hwa-sian, melainkan... eh, suamiku... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...” Bi Kiok yang mendengarkan
dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biar pun dia belum
menikah secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri,
maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal di
mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.
“Omitohud... suamimu...? Apa artinya ini...? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma
Hoat... haittt!” Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari
sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya,
kemudian melompat bangun dan berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.
“Jai-hwa-sian...!” Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang
dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.
“Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!”
Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah
pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua
puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat ke luar dari
rumah, melarikan diri.
“Engkau hendak lari ke mana?” Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini
memeluk dan menangis.
“Engkau... engkau... benarkah engkau Jai-hwa-sian...?”
Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.
“Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku
mencintamu, bukan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa
muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil menangis dia hanya
mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah
laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian,
penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji?
Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!
“Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan
bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi
benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut
kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa
engkau telah menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawabawa,
akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah
engkau.”
“Suma-koko... aku mau mati di sampingmu...” Bi Kiok menangis.
“Suma-taihiap, bagaimanakah ini...?” Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.
”Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini.
Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki
Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kau tanya-tanya di
sana tentu akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, kalau membawa surat ini
tentu dia akan mellndungi Bi Kiok sampai Bi Kiok melahirkan, dan sebelum itu aku akan berusaha untuk
menyusul ke sana...”
Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi. “Ini adalah uang emas untuk bekal di
perjalanan. Nah, berangkatlah...”
Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari
ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri.
Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang
lagi mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan
setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.
Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar
olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk
dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta birahi, melainkan cinta seorang
suami terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!
Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat ke luar rumah dan di depan
rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata, “Apa
kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?”
“Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw
akan selalu mencarimu!”
Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang
mengeroyoknya hingga terdengar suara senjata beradu keras sekali. Suma Hoat mengamuk dan setelah
merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang
yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar
dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan
ayah bundanya.
Setelah dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke
kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar agar
jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san,
memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak
berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang
yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat
lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.
“Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu ke sini?” Im-yang Seng-cu cepat menyambut
sahabatnya itu dan menegur gembira.
Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru, tentang Bi Kiok dan orang
tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.
“Sudah lebih dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari
mereka tidak ada di sini, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan
di jalan...” Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan kekasihnya.
Im-yang Seng-cu memandang heran. “Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku
bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kau cari ini?”
”Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!”
“Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak
pernah mengenal cinta, apa lagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!”
“Sungguh aku tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satusatunya
yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan... dan dia
sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia...! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa
halangan. Aku harus pergi sekarang juga!” Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan
penuh kekhawatiran.
“Eh-eh, ke mana, sahabatku?”
“Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan
menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!” Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang
Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Aihhh... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!” Im-yang Seng-cu yang biasanya
memang suka merantau menjadi tidak kerasan di pondoknya, dan beberapa hari kemudian Im-yang Sengcu
juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat
sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa.
Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya
masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu. Maka begitu dia memasuki
daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng
San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!
Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon
yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian
kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!
Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat
karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah
empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat
Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di
dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang
tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?”
“Omitohud...!” Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. “Engkau sendiri
telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami
mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?”
“Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang
macam kalian ini! Sekarang isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya.
Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!” Suma Hoat mencabut pedangnya.
“Siancai... orang ini benar-benar tak tahu diri!” Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah. Seruannya ini
agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma
Hoat.
Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para
pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang
Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun dia
sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia
mengamuk seperti seekor naga terluka!
Namun jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-sanpai
terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biar pun dia berhasil
merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher,
pundak dan lambungnya! Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh
para pengeroyoknya.
Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan
pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan
yang lebat. Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan
kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk
mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri,
juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu
akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini
membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di
dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
”Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah,” Im-yang
Seng-cu berkata.
“Musuh-musuhku... terlalu lihai... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...”
Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali engkau tak pernah
menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw.
Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San
Hwesio. Ada pun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!”
Suma Hoat terkejut. “Aahhh... pantas kalau begitu... aku tidak penasaran terluka parah... akan tetapi, tidak
mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...” Ia berhenti sebentar dan menerima air
yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. “Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw
yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri
darimu, entah bersembunyi di mana.”
“Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!” Suma Hoat berkata penuh semangat
dan kepercayaan.
“Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua
manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu
mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya.”
“Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!”
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. “Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang
yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu
membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!”
“Ahhhh... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung... anakku...” Suma Hoat
terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran.
Melihat ini Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari
perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.
“Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat
parah dan berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu.”
“Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa
menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan
budimu.”
“Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan
keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya
aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?”
Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya. “Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah
berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu
dia di mana, bukan? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...”
Im-yang Seng-cu mengangguk. “Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi
pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.” Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh
sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.
Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang
diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu
memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika
mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal
dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang
perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa
tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan dia bersama isterinya tentu tidak
akan terluput dari kebinasaan!
Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andai kata dia
membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula
kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencaricari
penjahat itu. Karena pikiran inilah, biar pun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong,
Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan,
menuju ke kota Nan-king!
dunia-kangouw.blogspot.com
Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh
sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama
keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya
dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat.
Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak
kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun
(sastra) dan sama sekali buta silat!
Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Ada pun Suma
Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena
persekutuan dengan pihak Yucen itu melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan
muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka
mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi mereka tidak lupa membawa banyak harta
benda.
Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma
Hoat menghadap. “Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!” bentaknya. “Im-yang Seng-cu, kalau
tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh
sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!”
Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia
tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah
mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhu-nya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil,
kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa
sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan
kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi
tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.
“Suma-locianpwe,” katanya dengan berani. “Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang
menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega
membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andai kata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan
terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri.”
“Tutup mulut! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang
Seng-cu, aku dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang tidak
pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku, terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita, “Bagus sekali, dasar
manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!”
“Maya...!” Tiba-tiba Suma Hoat yang berlutut berusaha melompat, akan tetapi roboh kembali karena
tubuhnya masih lemah dan menderita pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi yang benar-benar
membuat hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak melihat
betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh Suma Kiat!
Kakek yang masih lihai sekali ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan
pedang di tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat ke luar.
“Keparat, hendak lari ke mana?” Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru
sampai di pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat ke luar meninggalkan suara
melengking dan mengerikan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Ci Goat yang lihai itu telah berhasil bangun lebih dulu dari pada Siangkoan Lee yang merangkak dan
terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak. Bu Ci Goat cepat
menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang melukai leher dan dada suaminya.
Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya dan ketika melihat Suma Hoat, bangkit lagi kemarahannya,
seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan mala-petaka itu. Telunjuknya menuding, “Pergi...” Pergi kalian
dari sini...!”
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya ke luar. Anak murid
In-kok-san yang berbaris di depan hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri dan tadi
ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.
Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biar pun serangan pedang itu
mendatangkan luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih hebat dan
membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan pembaringannya.
Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu.
Suma Hoat mengeluh minta diturunkan, lalu berkata, ”Im-yang Seng-cu, apakah engkau melihat dia tadi?”
Im-yang Seng-cu menggeleng kepalanya. “Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa
dia seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga aku tidak dapat
mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma Kiat.”
“Dia adalah Maya... penghuni Pulau Es...”
Im-yang Seng-cu terkejut bukan main.
“Akan tetapi... mungkin hanya rohnya saja... dia... dia sudah mati...”
Mendengar ini, Im-yang Seng-cu makin bingung dan meraba dahi sahabatnya. “Engkau panas lagi. Harap
jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah.”
“Im-yang Seng-cu, engkau satu-satunya sahabatku. Kau penuhilah permintaanku. Kau tinggalkan aku di
sini dan pergilah kau cari Bi Kiok.”
“Akan tetapi engkau perlu perawatan,” Im-yang Seng-cu membantah.
Tiba-tiba terdengar jawaban seorang wanita, “Biarlah aku yang akan merawatnya, Im-yang Seng-cu.”
Im-yang Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat telah berdiri di
situ. Biar pun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak cantik dan pakaiannya
mewah.
“Jangan kau kawatir, biar pun ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya,
aku yang akan merawatnya di sini.”
Im-yang Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata
lemah, “Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu. Ibu tiriku akan merawatku di sini.”
Legalah hati Im-yang Seng-cu dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat.
Setelah Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa keadaannya.
“Hemm, kulihat engkau telah diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah
adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?”
Suma Hoat menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu...”
“Akan tetapi, engkau tadi menyebut nama Maya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mungkin dia, aku tidak yakin. Dia sudah mati ditelan badai... andai kata benar dia, agaknya dia kaget dan
takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah...”
“Dia lihai bukan main!”
“Dia penghuni Pulau Es, tentu saja amat sakti...”
Mengingat akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak
buahnya membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh Suma
Kiat yang juga jatuh sakit.
Setelah Suma Kiat jatuh sakit, maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai
memimpin. Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah dikumpulkan
untuk menyenangkan hati gurunya amat tunduk dan setia kepadanya. Juga ilmu kepandaian Siangkoan
Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu gerakan telah dia kuasai, dan biar pun dibandingkan
dengan Bu Ci Goat dia masih kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi
seorang yang sukar dicari lawannya.
Munculnya Suma Hoat menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat. Biar pun wanita ini secara diamdiam
telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi anak buah In-kok-san, namun
begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya, maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil
menemukan Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri
yang pernah menjadi kekasihnya itu.
Akan tetapi dia segera mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah
menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan dengan suara dingin bekas
Jai-hwa-sian ini berkata, “Bu Ci Goat, harap kau jangan menimbulkan lagi persoalan hanya untuk
melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat
perbuatanmu. Ketahuilah, pada saat ini di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku
telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat melayani hasratmu, dan
engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku ini terserah kepadamu!”
Tentu saja Bu Ci Goat merasa malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada
Suma Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi kebutuhan anak
tirinya itu. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan nafsu birahinya yang selalu mendesak, mulailah dia
menggoda Siangkoan Lee yang biar pun rupanya buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan lakilaki
yang tidak pernah bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan birahi Bu Ci
Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria yang berhati teguh ini!
Dan dia berhasil. Akan tetapi, karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua
orang ini kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pertemuan di dalam kamar Bu Ci Goat yang
hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih siang, kedua orang yang mabuk
nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara
mereka, turun dari pembaringan dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.
“Ci Goat...!”
Suma Kiat mendorong pintu, terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas
tempat tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta dan dipercaya,
terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal! Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh,
menekan dada kiri dengan tangan kanan, menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan
robohlah kakek ini ke atas lantai!
Serangan batin yang hebat ini tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak
sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci Goat
dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di depan peti mati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat yang masih lemah datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya
meninggal dunia. Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan,
“Apa gunanya setelah mati ditangisi?”
Ucapan itu ditujukan kepada selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu,
yang selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang sesungguhnya tidak
patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat
Siangkoan Lee menjadi marah sekali karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia
dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa
berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,
“Mengapa Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biar
pun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata
demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan di sini menuntut
warisan dengan kekeraaan?”
Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi
kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu. “Bedebah, kau sombong sekali,
Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil,
kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kau kira aku takut kepadamu?”
Melihat ini Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri, “Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ributribut
di depan peti mati!”
Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu
tirinya itu. “Kalian dengarlah baik-baik. Biar pun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui aku
sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan
menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang
dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku.” Setelah
berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang sampai peti
ayahnya dikubur.
Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidupnya penuh dengan kekecewaan dan
kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat.
Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa
kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan
membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara
berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.
“Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal
sehingga tidak ada yang tahu. Kedua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan
mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini.”
Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha
menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup,
kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.
Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah
menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya
orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!
Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di
lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf:
MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil
bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan
manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga
sering kali dia dianggap berotak miring.
Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh
Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya mau pun Khu
Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang bertemu dengan
seorang di antara mereka.
Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang
sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu,
berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena
tidak pernah memperkenalkan namanya. Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Keanehannya adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusia dewa yang menjadi dongeng di
dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu! Karena itu
banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu
memberi ilmu kepada siapa saja yang memintanya.
Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia
dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu
kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia.
Yang jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri sendiri.
Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul
duka yang lain. Yang penting mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri.
Kalau sudah mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka,
bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran yang mengingat masa
lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan
penekanan, tidak akan menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka,
menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri sendiri lahir
batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan duka.
Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu paling suka berkelana di tempat-tempat
sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat tingkah polah manusia. Akan tetapi
kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga
arca buatannya sendiri, dan setelah membersihkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah
meninggalkan lagi Pulau Es.
Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoi-nya, bahkan kemudian sama sekali tidak
mencarinya. Namun sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia
meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh
surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es.
Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor beruang salju yang berbulu
putih, meninggalkan beruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga!
Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia
ramai.....
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments