Jumat, 09 Juni 2017

Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat

Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat
Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian
pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi
adalah kuda-kuda pilihan yang cepat-cepat larinya.
“Wah-wah-wah... celaka bakso-bakso ini!” tiba-tiba Hauw Lam berseru.
“Kenapa?” Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam.
Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan menutupi mulutnya yang
tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan
berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang berada di kantong kanan kiri
baju sudah berloncatan ke luar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyikan dalam
kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam celana, keluar dari panci dan karena bakso
itu digoreng, keluarlah minyaknya membasahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam.
Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana
dan berlompatanlah bakso-bakso besar bundar-bundar itu keluar dari dalam celana, menggelinding ke atas
tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat
terakhir tangannya masih sempat menyambar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam
mulutnya. Ia mengeluarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh
bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh.
Bakso itu pun sudah ditelannya.
“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.
Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak
melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat baksobaksonya
hilang. Ia pun tidak gentar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua orang itu
berhenti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang menyerbu,
melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung menerjang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di
tangan.
Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Dua
orang muda itu seakan berlomba dan pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh
Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan!
Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu
mengangguk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan. “Kau
makin hebat saja, Mutiara Hitam!”
“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.
Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus
meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini mengeluarkan
suara tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong! Dan di belakang
mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka.
Hauw Lam terkejut sekali, apa lagi melihat wanita berkerudung yang sikapnya begitu menyeramkan. Ia
sudah mendengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng mau pun
dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan
pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.
“Srattt...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. Hauw Lam kaget sekali. Ia
hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh.
Kiranya sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam
tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini terpegang
kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu!
Hebat bukan main! Biar pun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat
ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh! Ia
mengharapkan gerakan bantuan Kwi Lan, akan tetapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan
memandang ke arah wanita berkerudung dengan kening berkerut gelisah.
“Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?” Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti
suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.
Kwi Lan menggeleng kepala. Ia bukan tidak berani, sungguh pun ia tahu percuma saja melawan gurunya
ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain
lagi. Kini tidak ada siapa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau
melawan gurunya yang betapa pun juga sudah berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti seorang ibu
sendiri. Apa lagi kalau diingat bahwa guru ini adalah bibinya, bagaimana ia dapat melawannya?
Pak-sin-ong berkata kepada Hauw Lam, “Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani
membikin huru-hara di sini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek Couwsu dalam keadaan
hidup seperti dikehendakinya, kalau melawan, terpaksa kuhadapkan sebagai mayat!”
Hauw Lam juga seorang pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh yang
nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan mati-matian melawan. Akan tetapi
kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya tertawan,
masih ada harapan membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas kalau
Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong
kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada ‘isinya’.
“Ha-ha-ha, seorang bijaksana mengetahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara!”
“Ikat dia di kuda!” perintah Pak-sin-ong.
Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya tanpa
perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa. Ia diikat di atas kuda, kepalanya di
belakang dekat pantat kuda, tubuhnya dilibat-tibat ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik
akan tetapi masih menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.
Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda
yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening,
Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama sekali Hauw Lam ketika mereka
digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melarikan diri sudah
tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka, sungguh pun tidak berat
namun membutuhkan waktu untuk istirahat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.
Ketika Kiang Liong bersama Pangeran Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di tengah jalan mereka
dicegat oleh Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan kelihaian Kiang
Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera menerjang dan akhirnya merobohkan
pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang di antara
mereka, mungkin ia masih mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat
sebelah. Apa lagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya karena keadaannya
masih payah.
Ada pun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, dicegat oleh Bu-tek Siu-lam dan
Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung
bahwa Bouw Lek Couwsu sudah berpesan kepada sekutu-sekutunya agar para tawanan yang lari itu
ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat,
dengan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian dengan Tang
Hauw Lam. Karena marah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebaskan
tawanan dan sudah membunuh banyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyuruh algojo-algojonya untuk
menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada kakinya! Pemuda ini digantung dengan kaki di atas
dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing yang
digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak
berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa!
Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali
terkekeh dan berkata, “Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang
dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih
sengsara!”
Kiang Liong menghela napas. “Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira
bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan kecerdikannya yang
luar biasa.”
“Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan
kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayangnya
tanganku dibelenggu, tapi kalau kugerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar.”
Mulailah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga
pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya
Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.
“Hi-hi-hik...!”
“Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?”
“Berandal! Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu
menggelinding keluar semua! Hi-hik!”
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu
kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!” Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar
dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki.
Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari itu bergerak,
bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jari tangan. Ia membuka bungkusan itu, dan kembali
menggunakan lweekang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya.
Setelah selesai, ia membungkus kembali obat itu, lalu menggunakan tenaga lweekang menyentil
bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara yang sama.
“Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!” Kwi Lan berkata ketika mendengar dengkur orang dan melihat
bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah
seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!
Akan tetapi Kiang Liong mengeluarkan suara kagum. “Dia tentu pernah mempelajari ilmu semedhi secara
jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu.”
“Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan, teringat akan
cerita pemuda lucu itu.
“Aahhh...? Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu pernah
bercerita tentang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah meninggal dunia...“
Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh,
akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak. “Huah-hah-hahhah! Suling
Emas bocah tolol itu mana tahu...?”
Para tawanan saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara
setankah itu? Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan terheran lebih lama lagi karena pada saat itu pintu
kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang penuh
perhatian dan ketegangan. Jelas bahwa pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud tertentu, dan
agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek
Couwsu ketika ia memandang para tawanan itu seorang demi seorang.
“Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan terakhir! Kali ini pinceng tidak akan
bicara kepada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilihlah seorang saja
yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawab seorang wakil itu. Satu mati semua
mati, seorang menolak berarti semua harus mati. Nah, siapa wakilnya?”
Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biar pun tak seorang pun di antara mereka
bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas.
“Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan
dia?”
“Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!” kata Talibu dengan suara gagah.
“Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi
kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli
lagi mau kau bunuh atau kau siksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kau
lakukan. Bicaralah!”' kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan
tenang.
Bouw Lek Couwsu tersenyum. “Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran Talibu
harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia
dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya,
Panglima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis
baju kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali
melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka membantu kami
di samping gurunya yang kami hormati. Ada pun kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha
mengadakan gerakan dari dalam kota raja apa bila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan
panglima Sung.”
Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih
tergantung kakinya.
“Kalau kami menolak?”
“Kalian berikut anjing yang tergantung itu akan mampus!”
Tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba
mengeluarkan suara seperti anjing kecil, “Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”
Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya
tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata, “Mutiaraku, kau tahu
aku mimpi aneh sekali!”
“Mimpi apa?” Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.
“Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit
seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan!”
Kwi Lan tertawa, juga Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul
buntung. Siapa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?
“Bagaimana jawabanmu, Kiang-kongcu?” tanya Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan tidak
mempedulikan Hauw Lam.
“Bagaimana kalau seorang di antara kami menolak?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harus menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!”
“Kalau begitu kami menolak!” teiak Pangeran Talibu.
“Kami menolak!” seru Puteri Mimi.
“Aku pun menolak!” kata Yu Siang Ki.
“Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.
“Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang Liong.
Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati
orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan jawaban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati?
Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut
akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan suara Hauw lam.
“Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam berteriak-teriak.
Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong,
suaranya penuh ancaman, “Hemm, kau kira begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus
menyaksikan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu
saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam dan berkata, “Kau memilih yang mana?”
“Heh-heh, biar hitam, mutiara namanya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia.”
“Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani
melakukan di depan semua orang.”
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu
dengan pandang mata lahap dan haus.
“He, dengar! Kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngosian!
Di mana kegagahan kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek
Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?”
Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu mengangkat muka memandang
Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut. “Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu
Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?”
“Siapa memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu. Memang
yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar
aku memilih! Aku belum memilih dan aku berhak untuk bicara!”
Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapa pun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar,
maka benar-benar tidak tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia
memberi kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya?
“Hemm, kau bicaralah.”
Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam melihat betapa sinar mata pemuda itu bersinar-sinar dan
wajahnya berseri-seri. “Ah, bocah ini cerdik,” pikirnya, “agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu
atau setidaknya mengulur waktu.”
“Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang kau kemukakan
kepada teman-temanku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa
mengancam sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek
Ngo-sian boleh membantumu! Kalau di antara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan
membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak ada
yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh! Bagaimana, sanggupkah
kalian?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan temantemannya
juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena digantung seperti itu sejak tadi, terlalu
banyak darah mengalir ke kepalanya membuat kepalanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan
macam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa
juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab?
Bouw Lek Couwsu yang terheran-heran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan menganggap pemuda ini
gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki
macam apa yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.
“Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya,” kata Bu-tek Siu-lam.
“He-he, benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat melarikan diri terbang ke langit,” kata Siauw-bin Lo-mo.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalaukalau
ditipu. Maka ia bertanya, “Bocah gila, kau ulangi syaratmu tadi agar kami dengar baik-baik.”
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut kalah karena hanya pengecut
yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan
kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku.”
“Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan
itu. Turunlah!” Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai
yang menggantung tubuh Hauw Lam dan... rantai pada kakinya itu terlepas dari langt-langit dan tubuh
pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu!
Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan
kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum,
karena tanpa ilmu ginkang yang tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan
terbelenggu seperti itu.
“Berandal, apa kau gila? Kalah menang kau tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan
ketegangan hatinya.
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, Mutiara, apa artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir ini, aku
menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak tertebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang
sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini
masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw!”
Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengumpat. “Kau tunggu saja bocah,
kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara!”
“Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!” bentaknya.
Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang sekali
karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap
Mutiara Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu. Tadi
keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat
menolong. Kini karena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu dalam siasat
mengulur waktu ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa dan
bagaimana.
Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya, membusungkan
dadanya. “Guruku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman
Bu Kek Siansu datang ke sini, baru guruku saja, kalian akan dibikin kocar-kacir.”
“Hemm, siapa gurumu, bocah sombong?” Thai-lek Kauw-ong, si Tukang Cari Lawan, tertarik sekali dan
hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.
“Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berharga untuk mendengar
namanya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!”
Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat
untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan
sesuatu dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang. Tadi...! Benar sekali, tadi sebelum muncul musuh, ada
suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara siapakah itu?
Ia mendengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah seorang kakek yang
edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di
hatinya dan ia mulai mengerti mengapa Hauw Lam menggunakan siasat mengulur waktu. Agaknya dia
menanti pertolongan gurunya!
“Teka-tekiku adalah teka-teki hitungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan guruku karena siapa lagi
manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini terdapat angka-angka terpendam
dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syairnya!" Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang
nyaring dan cukup merdu, sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti
irama lagu nyanyiannya.
Terang bulan memancing kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?
"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair itu tadi? Pergunakan otak,
jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"
Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu
dengan kagum. Benar-benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas... disebut berandal. Masa
memberi waktu setahun? Betapa pun juga, siasat itu berhasil karena kecuali Kam Sian Eng, mereka semua
mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak,
kadang-kadang memandang ke arah Kwi Lan, kadang-kadang termenung, tarikan wajahnya tersembunyi di
belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.
Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa
disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan
kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh
mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening.
Lucunya, melihat para kakek ini memeras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan Pangeran Talibu
ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular! Ketika
Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw Lam, mereka saling berkedip menahan senyum.
Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanyatanya
dan terheran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara
mereka berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang KI untuk
bersemedhi memulihkan luka-luka mereka.
Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali,
akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyang-goyang
pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata,
"Heh-hehheh, sudah terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat mudahnya!"
"Jangan tertawa dulu, kakek banci!" kata Hauw Lam berani. "Dan jangan katakan dulu tebakanmu, menanti
yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh! Nah, lebih mudah bukan?"
Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh,
maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan
jawabannya.
"Sudah siap? Nah, boleh katakan seorang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti
baru kukatakan siapa benar siapa salah," kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar-debar karena
gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cerdik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil.
Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan
berdiri tak acuh akan tetapi sering kali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan
akalnya sebagai lanjutan dari pada akal teka-tekinya.
Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan
jawaban pihak musuh, apakah sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar
mulai dengan jawabannya.
"Hi-hi-hik, orang muda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur
satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mudah saja.
Jawabannya adalah angka TUJUH! Betul tidak?"
Hauw Lan tersenyum. "Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kau jadikan dasar
tebakanmu, supaya diberi tahu. "
"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam
tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan dan kura-kura.
Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jernih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah
bulan, bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya tujuh. Nah, angka
yang tersembunyi tujuh!"
Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang. "Bagus sekali
uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"
"Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang
tersembunyi adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada
dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh!" kata Bouw Lek
Couwsu.
Hauw Lam berseri-seri wajahnya, senyumnya tetap gembira. "Siapa lagi?"
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang parau besar, "Bulan purnama berarti tanggal lima belas.
Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu LIMA BELAS."
Hauw Lam mengangguk-angguk. "Bagus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"
"Tidak ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan
bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan, bayangannya, dan emas, maka tentu
angka TIGA yang dimaksudkan," kata Pak-sin-ong tenang.
Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban siapa yang paling
tepat. "Siapa lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"
"Ha-ha-ha, kau bocah edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai harus
menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti engkau ini mana mengerti arti yang
dalam? Tentu kau maksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut
adalah lima ekor kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan.
Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN!"
"Boleh kau terka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?" Hauw Lam menghadapi Kam
Sian Eng. Sepasang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.
"Jangan ganggu aku, tolol!" hardik Kam Sian Eng.
Hauw Lam menahan napas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat
menghadapi para penebaknya dan berkata, "Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh,
Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan
Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan begitu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang kakek mengangguk-angguk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat
tebakannya.
"Ketahuilah, biar pun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian
ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang benar! Mau tahu jawabannya yang betul? Nah,
jawabannya, adalah angka EMPAT!"
Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali.
"Aihhh, kenapa empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.
"Kalian yang bodoh, kecual Sian-toanio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang
dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi LIMA EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau
ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kurakura
tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas,
cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima
ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang satu hanya terbawabawa
akan tetapi sama sekali tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai
sebutan untuk empat ekor kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding)!
Ha-ha-ha-ha!"
Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas
maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang teratur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa
Tanpa Tanding). Ia mengumpamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas.
Sisanya empat kakek itu ia sebut sebagai Bu-tek Su-kwi! Inilah siasat memecah belah, memperingatkan
Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang kakek.
Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.
Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bukanlah orang bodoh. Mereka kini
maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek
Couwsu, mereka tidak berani turun tangan.
Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata, "Bocah gila,
kau tunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan.
Sebelum kau mati terakhir, kau saksikan dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan rencana
kita tadi."
Bu-tek Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh
kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi tegang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan
berkata, "Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja Bu-tek Siulam
ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat! Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian.
Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini
menghadapi seorang gadis remaja seperti Mutiara Hitam saja takut-takut dan begini pengecut? Coba
Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking takutnya. Ha-ha-ha!"
Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang mendengar ini dan berkata, "Ah,
mana dia berani, Berandal? Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia mirip...
eh, kadal buduk!"
Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan
dua kali. Terdengar suara keras dan... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu
bebas!
"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu
melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"
Kwi Lan merasa lega. Biar pun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia
akan melawan mati-matian dan tidak menyerah begitu saja seperti kalau dia dibelenggu tadi. Sambil
mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan seluruh kepandaian dan
mengerahkan seluruh tenaganya menyerang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih
sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi,
dengan penahanan dan dalam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ketika mengelak dan balas menyerang. Pertandingan terjadi dalam ruang
tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini ia bertangan
kosong dan biar pun ia merupakan seorang gadis remaja yang jarang bandingnya dalam bersilat tangan
kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat. Bahkan kini
karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali lengan mereka beradu, Kwi
Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci
ini makin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha.
Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siulam
menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget
dan jengah. Serangan ini kurang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan
dirinya dipegang? Ia menjatuhkan diri dan bergulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika
terdengar bunyi kain robek.
Kiranya serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju Kwi Lan terus
direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga pakaian gadis itu, baik yang luar mau pun yang
dalam sebagian besar berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi
Lan. Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah
telanjang. Bahkan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak
nyata!
"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"
Bu-tek Siu-lam terkekeh-kekeh dan membawa robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot
dan berseru, "Aihh, wangi...! Mari kita main-main, Nona manis!"
Hauw Lam berseru, "Coba dengar sombongnya si Tokoh Banci! Biar pun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia
berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru
dihina! Kalau murid dihina berarti guru dibunuh! Di depan Sian-toanio si Banci menjemukan ini berani
bermain gila. Sungguh tak tahu diri!"
Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah melangkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak
melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan Pangeran Talibu,
Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di
balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang
mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.
Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking
mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan mencengkeram
pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi
Lan.
Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuhnya terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi bukan
sembarang cengkeraman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju
dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah si Banci menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia
kesakitan bercampur marah dan keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan
menerjang maju.
Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam
yang sebetulnya adalah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi hitam.
Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam!
Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan
jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat,
cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga belas jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya
mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga jangankan terluka, baru tergores sedikit saja sudah
mendatangkan maut!
Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih
belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih).
Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi,
dunia-kangouw.blogspot.com
tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya terdapat dari kerangka-kerangka manusia di
bawah tanah!
Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali tetapi ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran
sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil
terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah
berkelebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot
menghindarkan diri dari jarum-jarum.
"Plakk...! Auuuukhhh!" Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya menyembur darah segar.
Ia sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata
beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng
membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan napas.
Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti kulit muka gadis remaja,
hidungnya mancung dengan cuping bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun
sinarnya aneh bergerak-gerak ke kanan kiri, dan senyumnya membuat bulu tengkuk berdiri. Senyum
wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan kehangatan. Akan tetapi senyum ini dingin
sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan kerudung hitam di tangan kiri,
diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar sapu tangan sutera, tangan kanannya bergerak ke
pinggang dan... sebatang pedang tipis telah dipegangnya.
"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan manis,
namun didorong ancaman yang mengerikan.
Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum
bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa
tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda,
kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian Eng,
sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan.
Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini menjadi semacam
senjata ampuh. Kerudung itu terbuat dari pada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus,
maka biar pun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada hasilnya, malah
guntingnya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Ada pun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam
Sian Eng yang sambil tersenyum membetot kerudungnya, membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia
papaki dengan tusukan pedang mematikan!
Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak mengira bahwa ia akan mati demikian mudah di tangan wanita ini, akan
tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuhnya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat
memejamkan mata menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.
"Tranggg...!" Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu
menangkisnya.
"Toanio, tak boleh kau membunuh tamuku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan
tongkatnya.
Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu
beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsihsia.
"Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian!" Inilah
suara Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang
luar biasa lihainya.
Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang. Permainan
pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan Bouw Lek
Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Awas, Bibi...!" terdengar Kwi Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan
kini melihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia memperingatkan gurunya.
Namun Sian Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga
batang jarum yang ia sambitkan namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang roboh
berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit tak
tertahankan. Rasa nyeri yang amat hebat membuat tokoh banci ini seperti gila, guntingnya bergerak
menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya
buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam keadaan tubuh terpotongpotong
gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.
Andai kata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw-ong satu lawan satu saja
agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dikalahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi
Bouw Lek Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong, malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju
mengeroyoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja ia menjadi repot sekali.
Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah,
lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok,
ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.
"Kwi Lan, kau bebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!" teriak Hauw Lam, Siang Ki, dan
Kiang Liong.
Akan tetapi dalam kemarahan meluap-luap gadis itu tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika Thai-lek
Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuhnya berputaran seperti
gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu bergerak lagi!
Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak, "Tak
tahu malu! Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani
mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh
mampus oleh Sian-toanio!"
Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat
orang pengeroyoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyunghuyung
dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung,
namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya.
Lambungnya robek.
Kam Sian Eng memekik marah dan tendangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat
Pak-sin-ong terlempar, akan tetapi pada saat itu tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata gembreng Thai-lek
Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sinong
sudah bangkit dan hanya terluka ringan.
"Wanita hebat...!" Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biar pun ia
sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.
Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang kakek
itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada
artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga
muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya?
Bouw Lek Couwsu dengan muka geram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena
sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya
berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya menunduk.
"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu bertanya kepada pemuda itu.
Ia hendak menjenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini.
Suma Kiat berkata, suaranya menggetar. "Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu dan anak telah
membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis sialan ini telah menjadi korban.
Couwsu, berikan gadis itu kepadaku, aku ingin membalas dendam ini kepadanya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini. "Boleh saja, asal kemudian
dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan." Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi
Lan yang pingsan dan dibawa ke luar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu
dan berkata,
"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian semua
kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"
Sunyi tiada jawaban dari para tawanan muda. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul sorak-sorai.
Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya bagi
keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan
iblis, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan
gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di pinggang, topinya lehar dan
sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.
"Suling Emas...!" Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua kakek itu terkejut seperti
disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di sekeliling
markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat.
Suling Emas tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan
sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya
mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.
"Di mana Mutiara Hitam...?" tanyanya. Suaranya tenang dan halus, seperti sikapnya.
"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio..." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke
arah mayat Kam Sian Eng.
Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang
cantik dan tersenyum aneh. Sedetik Suling Emas memejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak
tak bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan... gunting besar milik
Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya. Suling Emas menyambar gunting dan terdengar
bunyi nyaring dua kali ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas
melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kau kejar dan ambil kembali Mutiara Hitam."
"Baik, Suhu!" Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian
berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki yang kini sibuk membebaskan teman-temannya.
Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong, "Kauw-ong, selamat berjumpa kembali. Agaknya
sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan Bertiga)
terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."
"Suling Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek Couwsu berseru
dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan
Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal mengacau di Khitan karena Suling Emas,
maka sekarang ia hendak membalas dendam, menggunakan kesempatan selagi ada teman-teman sakti.
"Suling Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.
Thai-lek Kauw-ong yang sudah mengalami kelihaian Suling Emas membunyikan gembreng dan menerjang
maju secara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biar pun bertangan kosong kini menerjang maju
dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun.
Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata
bergulung-gulung seperti naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mundur. Namun ia
dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Tempat itu
kurang luas untuk menghadapi pengeroyokan, apa lagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek
Siu-lam.
Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar
sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya mundur, ia
melesat ke luar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat
dunia-kangouw.blogspot.com
menyusul. Kiranya Suling Emas sudah menanti mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil memalangkan
suling di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya gagah bukan main dan biar
pun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan
sikap tegak berdiri, dadanya bidang.
"Hyaaaahhh!!" Bouw Lek Couwsu memekik dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya
miringkan tubuh menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke arah lambung ketua
Hsi-hsia ini.
Dengan menyontekkan tongkat ke samping Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya. Pada setengah
detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan
suling, berusaha menempel gergaji dengan sinkang. Akan tetapi pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah
menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu sehingga Suling Emas terpaksa
melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang, membiarkan gembreng lewat. Siku kirinya menotok
pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menyerang sehingga kakek ini meloncat ke samping,
kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan. Selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali
gembrengnya, pendekar sakti ini sudah memukulkan suling ke arah kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja
tidak mau kepalanya dipecahkan suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke belakang
karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai
iganya dapat mematahkan tulang iga.
Pertandingan terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat namun
karena empat orang pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa bertubitubi
menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya. Setelah pendekar sakti ini
mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya mencorat-coret huruf-huruf sakti di udara barulah dia dapat
mematahkan semua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguh pun ia masih belum
dapat membalas serangan.
Sementara itu, di luar terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya melawan
orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini memang mencari Pangeran Mahkota
mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan berhasil
kalau saja tidak bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang memimpin mereka
memasuki markas tanpa diketahui sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak. Karena jumlah
mereka lebih banyak dan karena pasukan Khitan ini lebih berpengalaman dalam perang, maka pihak Hsihsia
segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.
Sementara itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah mereka
beristirahat sebentar untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu,
mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam yang
terpotong-potong! Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan Pangeran Talibu sendiri cemas melihat
ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya,
teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil mendesak dan menang.
Ketika mereka tiba di luar, hati mereka makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri
menghadapi pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta yang cebol
berkepala besar dan tertawa cekikikan. Yang paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal
kakek ini yang bukan lain adalah kakek aneh luar biasa, Bu-tek Lo-jin yang menjadi gurunya hanya untuk
beberapa hari lamanya.
Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek
Couwsu mengeroyok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang sebatang ranting kecil mau
pun Suling Emas yang bersenjatakan suling dapat mendesak kedua pengeroyok masing-masing.
Akan tetapi pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang
dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk mengeroyok dua orang
pendekar sakti itu. Mereka ini jumlahnya ada dua puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa
meninggalkan peperangan yang terdesak untuk membantu dan membela guru mereka.
Melihat munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera meloncat maju
menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak
mau ketinggalan. Pangeran ini sudah mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mimi, dan kedua
dunia-kangouw.blogspot.com
orang muda bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu menyerbu dan membantu Siang Ki dan Hauw
Lam.
Sebagian dari hwesio-hwesio itu menyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar
membantu Bouw Lek Couwsu. Suling Emas menjadi marah melihat datangnya banyak hwesio jubah merah
yang otomatis mengeroyok kakek cebol. Ia membuat gerakan panjang, gulungan sinar suling yang
sungguh luar biasa melibat bayangan Thai-lek Kauw-ong.
Kauw-ong kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi pedang. Untuk
menjaga diri, Kauw-ong lalu berputaran seperti gasing, sepasang gembrengnya menjadi sinar yang
membungkus tubuhnya. Akan tetapi ia kena diakali Suling Emas yang memang hanya menggertak saja.
Setelah kakek raksasa yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh tenaga
dan perhatian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya berkelebat, sulingnya melengking bagaikan sinar kilat
menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong tidak ada pembantu karena sahabatnya sedang
berputaran seperti gasing. Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedangkan tali
pancingnya menyambar ke arah kaki Suling Emas.
"Cringg... krekkkk!" gergaji itu patah-patah menjadi beberapa potong.
Pak-sin-ong hendak meloncat mundur akan tetapi alangkah kagetnya ketika gerakannya itu terhalang oleh
tali pancingnya sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas. Kiranya pendekar sakti itu telah
menangkap pancingnya dan karena talinya diikatkan pada pinggang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri!
Ia menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba menubruk maju.
Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling.
Pak-sin-ong mengulur tangan menangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga sehingga suling
itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa
mempergunakan kedua tangan melawan tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas
mempertahankan suling dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan yang
ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa mengeluarkan suara Pak-sin-ong
melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.
Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu telah melompat jauh
melarikan diri! Ia tidak mengejar, melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini
dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua mengeroyok si Cebol ini
untuk membantu guru mereka.
Si Kakek Cebol benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia dapat menduga
siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh
seperti kanak-kanak dan kepala besar seperti raksasa? Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga
kalau melihat mukanya orang yang pernah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan
tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa tokoh ini.
"Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan Locianpwe!" kata Suling Emas sambil menerjang
maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo.
"Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu siapa? Aku hanya ingin menghajar monyet-monyet gundul
berpakaian pendeta ini!"
"Brettt... brettt...!" celana dua orang hwesio jubah merah robek dan putus tali kolornya.
Tentu saja dua orang hwesio itu kedodoran dan tersipu-sipu, kemudian mundur untuk membenarkan
celananya yang robek. Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara sinar
senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.
"Hayo Bouw Lek Couwsu, lepaskan celanamu!" kembali kakek cebol itu tertawa dan menerjang.
Ia tidak pedulikan para hwesio yang menghalanginya. Dengan lincahnya ia melejit dan menyelinap, tahutahu
ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau tadi ia belum berhasil adalah karena
selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai, kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lomo.
Kini menghadapi kakek cebol seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat
kuningnya yang berat digerakkan menghantam tubuh Bu-tek Lo-jin.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Desss...!" Dan Bouw Lek Couwsu melongo.
Jelas tadi ia melihat tongkatnya secara tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi mengapa kini hanya
tanah saja yang dihantamnya dan ke mana perginya si Cebol? Tiba-tiba terdengar bunyi kain robek dan
Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kiranya Bu-tek Lojin
sudah berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang, celananya di
bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak buah pantatnya yang besar menghitam!
"Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet, ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terbahak-bahak.
Bouw Lek Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok lagi kakek
cebol itu dan seorang murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu.
Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia memutar tongkatnya lagi menerjang si Kakek Nakal.
Pertandingan antara empat orang muda melawan para pendeta jubah merah juga berjalan seru. Para
pendeta itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pribadi, maka
kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan pengawal Hsi-hsia yang membantu sehingga
empat orang muda itu harus bekerja keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan
tetapi jumlah pihak lawan makin banyak.
Betapa pun juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan membabati
mereka karena tingkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi. Puteri Mimi bersama Talibu
sudah mundur karena Sang Pangeran terlalu lelah oleh luka-lukanya. Dia dibimbing Puteri Mimi yang siap
melindunginya. Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan tetapi Yu Siang
Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka
ia lalu memutar senjata memberi jalan ke luar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran
mengaso dijaga Puteri Mimi.
Siauw-bin Lo-mo repot sekali menghadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling di
tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya mengalami jungkir-balik dan babak
belur, kalau ia kurang cepat sedikit saja, tentu nyawanya telah melayang. Karena maklum bahwa ia bukan
tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak, tangan
kirinya membanting bumbung, juga tangan kanannya meraih bola yang bergantungan pada pinggangnya.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam warnanya mengebul
memenuhi tempat pertandingan itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi peringatan kepada anak buahnya
yang lari cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah
roboh berkelojotan, ada yang terkena besi, ada yang menghisap asap beracun.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah
membantingi bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh telentang. Akan tetapi
mereka tidak melihat di mana adanya Suling Emas, Bu-tek Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam!
Apakah mereka berempat juga sudah menjadi korban?
Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan tadi, keadaan amatlah berbahaya sehingga orang-orang lihai seperti
Siang Ki dan Hauw Lam sekali pun belum tentu dapat menyelamatkan diri karena mereka sedang
menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat
dan terbang melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya Suling
Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa ‘terbang’ Hauw Lam! Setelah
dilepaskan di atas genteng, dua orang muda itu segera bertekuk lutut menghaturkan terima kasih.
Bu-tek Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau lumayan, aku tidak
kecewa. Apa lagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan sekutunya, hebat!"
"Berkat bimbingan Suhu," kata Hauw Lam merendah.
"Heh, bimbingan apa? Aku tidak pernah mengajarmu bersyair!"
"Suhu telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"
"Kenapa? Aku belum ada kegembiraan."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukankah tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya?"
"Uuuhh, berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan jangan takut berkelahi dan berani
berkelahi jangan takut mati! Perlu apa mesti kutolong? Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki,
mengapa kau begitu sembrono? Hatiku sampai berdebar tidak karuan. Bagaimana kalau kebetulan di
antara mereka ada yang menebak tepat angka empat? Kau tentu kalah.”
Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia
masukkan hati. "Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Walau pun ada yang menjawab empat umpamanya,
teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."
"Heeeii, bagaimana ini?"
"Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat angka atau jumlah bermacam-macam.
Kura-kuranya empat, emasnya satu, bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas.
Kalau sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa saja kita mencari bilangan dari
satu sampai seratus! Tentu saja semua tebakan bisa teecu salahkan!"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kau tipu mereka mentah-mentah!"
"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali
permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."
"Ha-ha-ha, orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tak mau
kalah denganmu. Kau lihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat
ini!" Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam
lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelintir-lintirnya menjadi
semacam pel. "Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kau keluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas,
dan kau... eh, jembel muda."
Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu.
Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup
berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu
mengorek lubang hidungnya.
Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia sudah kena
dipermainkan juga, maka ia lalu mengambil kotoran tanah yang menempel di bawah sepatunya, "Bu-tek
Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang
diambilnya dari bawah sepatu.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu menuding dan menghitung
baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar kutambah lumpur!"
Kakek ini lalu mengumpulkan tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari
Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng.
Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal
kecil yang warnanya tidak karuan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!
"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun!" kata Suling
Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemuda dan kakek nakal.
Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang sudah tewas.
Melihat empat orang ini melayang turun, Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri.
Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan prajurit-prajurit Khitan yang sudah berhasil
menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia.
Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di tengahtengah.
Pangeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para prajurit yang segera mengurung tempat itu
dan tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan. Para prajurit ini bersorak girang melihat bahwa
pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguh pun Pangeran Mahkota itu tubuhnya
luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat-cepat maju menghampiri membawa sebuah jubah indah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu
mundur lagi setelah memberi hormat.
Dengan wajah keruh Bouw Lek Couwsu melangkah maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya.
"Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh!" Setelah berkata
demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya
yang semua melempar senjata ke atas tanah.
Orang akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat pengecut
atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak akan dapat menjadi pimpinan
orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh. Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu
saja mengenal siapa Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal
memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh
yang tidak melawan lagi! Sedangkan kalau dia dan murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia
dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.
"Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak
menghendaki permusuhan dengan bangsa apa pun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak menghendaki
permusuhan. Oleh karena kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pemerintah Sung yang berhak
memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi
pelajaran bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung mau pun dengan Kerajaan
Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"
"Eh-eh-eh, nanti dulu!" tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Suling Emas, kau membebaskan
mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka
kau bebaskan untuk mati, apa bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang
hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke
arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam
tidakkah terasa gatal dan sakit?"
Bouw Lek Couwsu benar-benar menarik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal
dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun
makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couwsu,
menuding sana-sini, ada yang lehernya sakit, ada yang punggungnya, pundaknya, pahanya pendeknya di
mana kakek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apa bila dipakai menarik napas
panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.
"Ha-ha-ha! Bouw Lek Couwsu, tahukah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian
semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang dinamakan batu
hitam dari goa kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang
terkena, ya. pahanya dipotong, kalau pinggang atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"
Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-muridnya menggigil ketakutan. Mana
ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher dipotong berarti mati!
"Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"
"Bouw Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Butek
Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukulan-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada
beliau."
Bouw Lek Couwsu dengan sikap angkuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa, "Apakah
omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"
"Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa sih isinya omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi itu
kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang
menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia
dan anjing sama! Luka-luka kalian adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami
yang melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian
rasakan. Padahal andai kata kami di bawah dan terkena racun juga, tidak mengapa karena aku
mempunyai obat pemunahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Goa."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Omitohud...!" Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang
mencengkeram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu pinceng
mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."
"Tadi maki-maki sekarang minta-minta. Inilah watak manusia kalau membutuhkan sesuatu! Obat ini
mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang goa itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani
mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepasang goa itu. Hanya dengan
kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpulkan sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan
debu angkasa. Bayangkan saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini," Bu-tek Lo-jin mengeluarkan
sekepal ‘obat’ yang sudah ia bungkus kain kuning.
Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia
membikin mampus padanya dan merampas obatnya. "Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu.
Kalau perlu dibeli, katakan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."
"Heh-heh-heh, kita sudah saling bertanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana
ada jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan
semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan dengan
gratis!"
Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke arah Bu-tek
Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras,
berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri,
mukanya pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Orang telah mempermainkan dan menghinanya di
luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan kemarahannya.
"Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sendiri, akan tetapi seluruh dunia
akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak patut!"
"Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari
berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku,
engkau harus berlutut!" kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia
membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan sekepal ‘obat’ itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala
sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya. "Obat ini adalah obat
paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lainlain,
bahkan dewa sekali pun dapat disembuhkan!" Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh butir, dan
membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil berkata, "Telan sekarang juga
sebelum terlambat!"
Bouw Lek Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia merasakan betapa ‘pel’ itu kasar dan agak asin, terus
ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu.
Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik napas panjang bagian tubuh yang keracunan
itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil
mengerahkan sinkang dan... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali lalu menjura
kepada Bu-tek Lo-jin.
"Omitohud, Lo-jin telah menyelamatkan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar.
Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman, memungut
tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya.
Atas isyarat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsihsia
ini lewat.
Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai
bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara ketawanya ia berkata, "... lucu... ha-ha-ha...
lucu!"
Mereka yang tidak mengerti, termasuk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali,
mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya,
segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama sekali
tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama
sekali tidak terancam maut, karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bahwa ‘obat mustajab’ itu adalah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di
telapak kaki.
Orang-orang Khitan yang mengerti bahasa Han lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada
teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai terpingkal-pingkal dan
Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi
hidung disebut batu hitam dari sepasang goa, tentu saja sepasang goa adalah sepasang lubang hidung
dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi adalah kotoran di telapak
kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng!
Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama
Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian ditugaskan untuk mengurus
mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menyebut pangeran kepada
puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disediakan oleh
pasukan Khitan, minta diri dari Suling Emas dan Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki
dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah
rombongan itu.
Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak
bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya, pertemuannya dengan Mutiara
Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat bertemu
dengan ibunya yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu.
Bu-tek Lo-jin mendengarkan penuturan ini dan segera dapat mengambil kesimpulan bahwa muridnya ‘ada
hati’ kepada Mutiara Hitam. “Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”
Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali. “Bagaimana Suhu tahu?”
“Heh-heh, kau kira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap
menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?”
Hauw Lam menghela napas, “Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi... ah,
seperti hendak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari. Terlalu tinggi....“
“Uaaahh! Siapa bilang? Biar pun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin! Gadis mana yang
terlalu tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekali pun, kalau aku yang melamar untukmu, akan diberikan!
Kenapa kau tidak mengawininya? Dia ke mana?”
Hauw Lam maklum akan sifat gurunya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu
akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal seperti ini, maka ia
menjawab, “Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu
sesungguhnya adalah Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas
duduknya perkara, tapi....“
“Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khitan! Nah, sampai jumpa di
Khitan!” Kakek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru, “Haii, Suling Emas! Aku
pergi sekarang!” Tanpa menanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.
Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki hanya melambaikan tangan ke arah kakek
itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sungguh dan serius dengan pemuda itu.
“Kau sendiri sudah kalah olehnya?” Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Butek
Lojin tadi.
“Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,” jawab Siang Ki yang tadi bercerita tentang Suling Emas palsu yang
menantang-nantang Yu Kang Tianglo!
“Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kau bilang tadi? Dan dia pandai
menggunakan hui-to (golok terbang)?”
“Benar, Locianpwe.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling Emas mengangguk-angguk. “Hemm, urusan ini penting, harus kubereskan sendiri. Akan tetapi aku
masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kau buatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo
dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khongsim
Kai-pang di Kang-hu.”
“Tapi, Locianpwe...,“ Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.
“Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita
lihat saja nanti.”
Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga
datang berpamit hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki
hendak mengerjakan perintah pendekar sakti itu, ada pun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak
menyampaikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.
********************
Kwi Lan masih pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari ke luar.
Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari menuju ke selatan. Perang
tanding telah terjadi dengan hebatnya, namun Suma Kiat tidak mempedulikan semua itu. Ia membalapkan
kudanya dan karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka tidak
mengganggunya. Prajurit-prajurit Khitan juga tidak menghalanginya karena pemuda yang membawa lari
gadis pingsan itu tidak menyerang mereka. Satu dua orang yang mencoba-coba menghalangi, roboh oleh
pukulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat pertempuran dan terus membalap ke selatan.
Setelah hari menjadi petang, berhentilah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini adalah kuil
yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam mereka yang kemalaman di jalan.
Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan memasuki kuil.
Baru saja ia menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak. Suma Kiat cepat
menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar tidak mampu bergerak karena kaki
tangannya menjadi lemas. Gadis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang
dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek
Kauw-ong yang lihai. Kemudian ia melihat cahaya api menerangi kegelapan.
Ketika ia melirik, ia melihat Suma Kiat sudah menyalakan lilin. Agaknya para penghuni kuil yang
kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan oleh Suma Kiat. Kemudian
pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai, wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan
berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka karena baru saja ia tertotok di luar tahunya.
Ia tahu bahwa suheng-nya ini memiliki watak yang aneh, bahkan tidak normal seperti gurunya. Dan ia
sama sekali tidak dapat menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia
dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan
suheng-nya ini tidak kurang berbahayanya dari pada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi Lan
membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.
“Suheng..., bagaimana dengan Bibi Sian?”
Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka dalam pelukan lengannya.
Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya bergoyang-goyang, sampai mengguguk. Mau tak mau Kwi
Lan agak terharu juga. Betapa pun juga pemuda ini bersama-sama dengan dia sejak kecil dan kini ditinggal
mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah
mati.
Akhirnya tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, memandang Kwi Lan dengan
sepasang mata merah, “Ibu sudah meninggal dunia...,” katanya, suaranya parau, “Aku ditinggal seorang
diri. Karena itu engkau harus menolongku, Sumoi.”
“Tentu saja, Suheng,” jawab Kwi Lan halus. “Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu.
Tapi kau bebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan begini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Kau kira aku begitu bodoh?
Membebaskanmu kemudian engkau menyerangku, ya? Ha-ha, Suma Kiat tidak begitu bodoh, Sumoi. Haha!”
Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila
suheng-nya ini.
“Aku tidak akan menyerangmu, Suheng. Aku berjanji takkan menyerangmu.”
“Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku! Ha-ha, aku tidak bodoh. Tidak boleh kau
meninggalkan aku. Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati... huu-huuuk-huuuk...“ Ia
menangis lagi, “Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku
hanya punya engkau. Hanya engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau
tidak boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok.”
“Apa maksudmu, Suheng? Menjadikan kau pangeran?” Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga
makin gelisah.
“Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi suamimu, berarti
aku mantu Ratu Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak menggantikan ibumu, menjadi Raja
Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi isteriku, Sumoi.”
Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pikirnya. Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos?
Ia harus cerdik.
“Ah, mana bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku, aku pun tidak cinta kepadamu. Ingat, sejak kecil kita
saling bertengkar saja, mana mungkin menjadi suami isteri?”
“Ha-ha-ha, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Sumoi,
tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, sering kali aku rindu kepadamu? Engkau cantik jelita,” Suma Kiat
membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan mencium pipinya!
Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang! “Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang
wanita yang mudah ditundukkan. Sekali aku bilang tidak mau, sampai mati pun aku tidak mau. Kalau aku
tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa? Lebih baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku. Kita bicara
dengan baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu.”
“Ha-ha, jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku, akan tetapi aku
punya cara untuk memaksamu.”
“Suheng, jangan gila!”
“Heh-heh-heh, memang aku gila. Bukankah Ibu juga dianggap gila oleh orang lain? Mau tidak mau engkau
akan menjadi isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan Lan-moimoi yang
cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini sebabnya mengapa kau kutotok. Aku akan
memaksamu malam ini juga menjadi isteriku. Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa
menolak lagi besok? Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum kawin? Kalau
malam ini engkau menjadi isteriku, engkau akan terpaksa menerima aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku
akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan rencanaku?”
Kerongkongan Kwi Lan serasa tersumbat! Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan melakukan
rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak, “Suheng! Biar pun sekarang aku
tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan kubunuh! Percayalah, kalau
kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang hancur tubuhmu!”
Sesaat sinar takut menyelubungi wajah tampan itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang
ia tahu memiliki kepandaian lebih lihai dari padanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti bicara kepada diri
sendiri. Melihat ini, Kwi Lan melanjutkan.
“Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat menjadi
mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat yang hancur lebur dagingnya.
Lebih baik kita bicara baik-baik, kau bebaskan aku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tiba-tiba wajah itu tersenyum-senyum lagi, seakan telah mendapat sebuah pikiran baru,
kemudian Suma Kiat tertawa, “Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku. Kau kira aku begitu tolol
memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan? Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka
rahasia dan rencanamu. Kalau kau tadi tidak bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan besok
kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak membunuh
dan mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini? Aku tidak akan membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh
jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa menjadi isteriku sampai... ha-ha-ha, sampai
kau mengandung! Nah, kalau kau sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung
keturunanku, masa kau masih mau membandel!”
Sesak jalan pernapasan Kwi Lan. Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang. Alangkah akan ngeri
dan sengsaranya kalau rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya, kalau dilaksanakan ia tidak akan
dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup seperti mayat, makan dipaksa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka
hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka! Hampir ia menjerit saking ngeri dan
cemasnya. Apa akal sekarang?
Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek Siu-lam di kamar tahanan. Teringat ia
akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw
Lam, si Berandal! Ah, terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar
cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal. Pemuda yang
cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam
mencintanya. Akan tetapi... di sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap
Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain.
Aihh, mengapa ia teringat yang bukan-bukan? Bagaimana andai kata Hauw Lam yang menghadapi
persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia sekarang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw Lam.
Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu sambil memperpanjang ancaman dan memperlebar kesempatan.
Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan
kematian gurunya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis
sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama
hidupnya, belum pernah ia melihat sumoi-nya menangis seperti ini.
Dahulu, semenjak mereka kecil, kalau mereka bertengkar dialah yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya
Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi sekarang menangis terisak-isak begitu
menyedihkan! Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh
yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.
“Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis? Aku
tidak akan menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak
tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti... eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu
jagoan!”
Hiburan ini bukan mengurangi kesedihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin
sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini? Ia
dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana
engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akalnya!
“Suheng..., apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin?
Suheng, lebih baik kau bunuh saja aku...“
Suma Kiat merangkul lebih erat, “Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaimana aku dapat membunuh orang
yang paling kucinta di dunia ini? Jangan khawatir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah, aku
sayang kepadamu...”
Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai membelainya, bahkan
dengan gerakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia
pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia cepat-cepat berkata.
“Suheng..., dengarlah kata-kataku. Eh... aduh, tolong kau sandarkan aku di dinding, jangan sentuh aku dan
dengarkan dulu baik-baik... aku... aku menyerah, akan tetapi ada syaratnya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Kiat menarik kembali tangannya, menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh
perhatian, penuh kemesraan. “Apa, manisku? Kau mau bilang apa?”
Mengulur waktu, harus mengulur waktu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, teringat akan kecerdikan dan akal
Hauw Lam. “Suheng...,” suaranya ia buat manis dan halus, “setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita
sudah kehilangan Bibi Sian, kalau tidak saling tolong, bagaimana lagi? Dan kupikir-pikir... eh, engkau
bukan seorang pemuda yang buruk. Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Tidak kecewa menjadi isterimu.
Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh-heh, jangan kau menipuku, Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebaskanmu, tak mungkin. Aku tahu
kelihaianmu. Engkau akan menjadi isteriku dalam keadaan tertotok...”
“Sesukamulah, Suheng. Aku sudah menyerah. Akan tetapi... kuminta dengan sangat, jangan... jangan
malam ini! Lupakah engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia? Bagaimana kita
dapat melakukan... eh... hal itu malam ini? Ini amat tidak baik dan durhaka, Suheng. Kau boleh totok aku,
aku toh tidak mampu lari. Tapi malam ini jangan..., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah,
bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau menjadi mantu Kerajaan
Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!”
Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam kuil itu, lalu
berjongkok dan... “ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya.
“Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi... kalau sekarang, mengapa sih?”
Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar
kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila ini.
“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku. Tidak mau aku
mendurhakai guru melakukan... hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan
mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh
diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat mengangguk-angguk, “Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah
sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!” Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi
Lan dan sebentar saja sudah mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kedap-kedip memandang api lilin yang hampir padam. Suramsuram
keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk
sementara terhindar dari pada mala-petaka hebat. Selanjutnya bagaimana? Ia tetap tidak melihat
kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih
tiga jam lagi pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan
alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan. Api
lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu
seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu
jam, dua jam... hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar.
Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata,
mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan... pada
saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali
seperti tadi. Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya.
Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu
habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan
sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur. Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik
sehingga biar pun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa
meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahayanya melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan
mata, silau oleh sinar matahari. Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk, lalu tersenyum dan
terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga
mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan
seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita
menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi...“ Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk
hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan
di belakangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!”
Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan... Kiang Liong! Pemuda
berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak
menonjol ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh Suling Emas untuk
mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada prajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa
Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda ke selatan.
Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di
dalam hutan, ia melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya.
Hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang
hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan
muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya
bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biar pun gadis itu dalam keadaan tertotok,
namun tidak lebih dari pada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar
dari pada penghinaan yang hebat.
“Piauwheng (Kakak Misan)... kau... menyusul ke sini? Ah, Piauwheng... Ibuku telah... telah meninggal
dunia...” Dan Suma Kiat menangis!
“Suma Kiat!” Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu
melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kau lakukan tadi?”
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti
agaknya mengapa kakak misannya marah-marah. “Dia ini...? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku,
Piauwheng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya!”
Kwi Lan cepat berkata. “Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak
kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan
membunuhmu!”
“Heh...? Tapi... tapi... malam tadi kau berjanji... kau akan menyerah pagi ini... kau...”
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam
tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan
tangannya bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!” Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar.
Biar pun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun tetap saja tamparan-tamparan itu
mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba
kedua pipinya lalu mewek, menangis!
“Piauwheng... Piauwheng... kau... kau mau bunuh aku...?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir, “Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat
keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat membalikkan tubuh lalu... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis
dan memegangi kedua pipinya!
Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk
perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan
tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi
membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim. Kwi Lan berhenti dan mendengarkan,
terpesona. Indah bukan main petikan yang-khim itu, suaranya mengalun merdu. Kemudian terdengar suara
pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru dan
dunia-kangouw.blogspot.com
iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda
yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.
Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah.
Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu. Kiang
Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan
menarik napas panjang, melangkah maju dan memanggil.
“Kiang-kongcu...“
Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh.
Mereka berdiri berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi
hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah. Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan
pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir
gelap dan resah! Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali menerima
pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang terkenal di kota raja,
pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling Emas, agaknya juga... jatuh cinta kepadanya! Jelas
tersinar dari pandang mata itu!
Kwi Lan menunduk, lalu berkata, “Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku dari pada
mala-petaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”
Kiang Liong menjura, “Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di
dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya
perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya,
namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang baik selalu dilindungi Thian.”
Kwi Lan bergidik. “Tidak sangka..., Suheng makin gila...“
“Maafkanlah dia, Nona. Suheng-mu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan... dan baru
saja kehilangan ibunya...“
Kwi Lan menggerakkan pundak. Setelah apa yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya, sukar baginya
untuk memaafkannya, biar pun ia tahu bahwa pemuda itu gila. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium,
tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang keji! Cepat-cepat ia
mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.
“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana
dengan... Pangeran... dan teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran
Talibu, penuh kekhawatiran.
“Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui
kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita
semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan
yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan
Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku
tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh mengejar Suma Kiat untuk
menolongmu.”.
Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu
dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liong disuruh menolongnya?
“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma-suheng dan menolongku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku
memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat
mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih
mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain. “Bagaimana dengan mereka? Ah, jangan-jangan...“
“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan
kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita
tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berkeberatan, kita melakukan
perjalanan bersama.” Pandang mata pemuda itu penuh harapan.
Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya.
Semua mencintanya. Tapi di sana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini, kalau disuruh memilih,
sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan dan kebaikan masing-masing!
“Aku ingin ke Khitan, akan tetapi, baiklah kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin sekali mendengar
bagaimana dengan akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia itu.” Tentu saja, bagaimana ia dapat pergi
ke Khitan menyusul Pangeran Talibu kalau ia belum mendengar tentang keadaan Pangeran itu?
Berangkatlah mereka ke kota raja. Kiang Liong mempersilakan Kwi Lan naik kuda sedang ia sendiri
berjalan di samping kuda. Pemuda itu nampak gembira bukan main. Besar harapannya melihat sikap gadis
itu yang selalu manis dan ramah kepadanya. Ia merasa betapa hatinya benar-benar jatuh terhadap Kwi
Lan. Belum pernah selamanya ia menaruh simpati begini besar terhadap seorang gadis, yang
kehadirannya membuat matahari bersinar lebih terang, bunga-bunga mekar lebih indah. Ia tidak mau
secara sembrono menyatakan cinta kasihnya, dan mengharap senyum itu dapat dimengerti gadis ini. Kelak
kalau sudah tiba saatnya, ia akan mengajukan lamaran secara resmi!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa kegembiraan mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika mereka tiba di
luar kota raja, mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan pertempuran di markas Bouw Lek
Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas orang Hsi-hsia dihancurkan oleh Suling Emas dan
pasukan Khitan, bahwa Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan
kembali ke Khitan, juga tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh Suling Emas yang
dibantu oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa yang amat aneh dan lihai!
Dua orang muda itu menduga-duga dan Kiang Liong berkata, “Tak salah lagi, kakek aneh itu tentulah Butek
Lo-jin!”
“Guru Berandal? Betul-betul dia datang?” tanya Kwi Lan, tertawa geli kalau teringat kepada Hauw Lam.
Muridnya begitu ugal-ugalan, entah bagaimana gurunya!
“Tentu dia, siapa lagi kakek begitu aneh yang dapat menandingi orang-orang seperti Siauw-bin Lo-mo?
Akan tetapi, agar dapat mendengar keterangan lebih jelas, mari kita memasuki kota raja. Mungkin Suhu
masih berada di kota raja.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Di depan pintu gerbang kota raja, mereka disambut pasukan kota raja
sebanyak dua losin orang yang dikepalai seorang komandan. Begitu bertemu, komandan itu lalu
membentak.
“Kiang Liong, lebih baik engkau menyerah!”
Kiang Liong terkejut bukan main. Ia mengenal komandan ini, seperti juga komandan yang lain. Dia sudah
terkenal dan selalu dihormati mereka. Bagaimana sekarang komandan ini membentak suruh ia menyerah?
“Heii, apa maksudmu?” ia balas bertanya, terheran-heran.
Komandan ini berkata angkuh, “Lekas berlutut dan dengarkan firman Kaisar!”
Melihat betapa komandan itu mengeluarkan segulung surat perintah, Kiang Liong segera berlutut,
mendengarkan bagaikan mimpi suara komandan itu yang lantang membacakan surat perintah. Hampir
tidak percaya ia ketika mendengar bahwa surat perintah itu adalah pernyataan Kaisar bahwa dia adalah
seorang pemberontak yang memancing permusuhan dengan bangsa Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah
dunia-kangouw.blogspot.com
damai dari Kaisar! Ia termenung tak dapat berkata-kata. Ketika komandan menghampirinya membawa
belenggu, ia menyerahkan kedua lengannya tanpa membantah, wajahnya pucat.
“Heii, lepaskan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan menerjang maju dan si Komandan terpental jauh, jatuh bergulingan
dan pingsan! Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan mengamuk. Begitu kaki tangannya bergerak,
enam orang tentara sudah terpelanting, roboh!
“Nona, jangan...!” Kiang Liong berseru menahan.
“Jangan bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa begini lemah? Biar kaisar biar setan kalau perintahnya
tidak benar perlu apa ditaati? Kau tidak bersalah hendak ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau
boleh menyerah, akan tetapi aku tetap tidak membiarkan kau ditangkap!”
Kiang Liong bingung, apa lagi melihat nona itu mengamuk terus dan setiap orang tentara yang
mendekatinya tentu terpelanting roboh. Ia menghela napas, kemudian mengambil keputusan untuk
sementara lari dan mencari suhu-nya minta pertimbangan agar mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang
dapat menimbulkan bencana lebih besar lagi.
“Baiklah, Mutiara Hitam. Mari kita lari!”
Mereka berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat. Pasukan yang kehilangan komandan karena komandan
itu masih pingsan menjadi bingung dan hanya dapat menolong mereka yang terluka dan pingsan.
Setelah lari jauh, dengan suara penuh harapan Kiang Liong bertanya, “Mutiara Hitam, engkau... mengapa
kau menolongku mati-matian?”
Kwi Lan tersenyum. “Siapa bicara tentang tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat kau ditangkap
begitu saja? Nah, kita berpisah di sini. Aku akan terus ke Khitan.”
“Aku mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu Khitan. Nona hendak menemui ibumu?”
Di dalam hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan hanya ingin menemui ibunya, melainkan terutama sekali
menyusul... Pangeran Talibu. Akan tetapi ia menjawab dengan anggukan kepala dan melanjutkan, “Nah,
sampai jumpa.”
“Sampai jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih. Kelak aku akan berkunjung ke Khitan.”
Ketika Mutiara Hitam membalapkan kudanya, Kiang Liong berdiri mengikutinya dengan pandang mata
sampai bayangan manusia dan kuda lenyap ditelan debu yang mengebul tinggi. Kemudian Kiang Liong
melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan akhirnya mendengar bahwa Suling Emas setelah menghadap
kaisar lalu meninggalkan kota raja dengan wajah muram. Ada tokoh pengemis yang mengetahui bahwa
Suling Emas pergi menyusul Yu-pangcu ke Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.
********************
Pagi hari itu kota Kang-hu kebanjiran... pengemis! Dari segenap penjuru kota berbondong-bondong datang
para pengemis, bahkan banyak pula datang dari luar kota. Berita telah tersiar luas, berita yang amat aneh,
yang menarik perhatian bukan saja para pengemis baju kotor, bahkan para pengemis baju bersih,
golongan kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw juga tertarik.
Maka pada hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran kaum pengemis, bahkan bermacam orang kangouw
datang berkunjung. Berita apakah yang begitu menarik? Bukan lain adalah berita penantangan Yu
Kang Tianglo kepada Suling Emas! Sha-gwee Cap-go. Bulan tiga tanggal lima belas, itulah harinya!
Perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang sudah mempersiapkan panggung besar di depan rumah
perkumpulan. Sebuah panggung dari papan yang luas, yang biasa disebut panggung tempat pibu (adu
silat). Yu Siang Ki atau Yu-pangcu sendiri yang mengatur segalanya, sesuai dengan pesan Suling Emas.
Dan malam tadi Suling Emas sudah datang, kini berada di dalam rumah perkumpulan, mengenakan
pakaian tambal-tambalan.
Bagi mereka yang mengerti duduknya persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo sudah
meninggal dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah Suling Emas yang
dunia-kangouw.blogspot.com
sebenarnya, menantang Suling Emas palsu! Yu Kang Tianglo tidak ada dan kini berarti Suling Emas tulen
berhadapan dengan Suling Emas palsu, atau lebih tepat, Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan
Suling Emas palsu!
Yu Siang Ki sendiri yang menyampaikan surat tantangan dari ‘Yu Kang Tianglo’ kepada ‘Suling Emas’ di
Lembah Ang-san-tok di Gunung Heng-tuan-san, dan mendapat jawaban siap oleh ‘Suling Emas’ bahkan
menentukan jamnya di waktu pagi!
Demikianlah, ketika jam penentuan sudah dekat, Suling Emas yang berpakaian sebagai pengemis itu
keluar dari dalam rumah perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku di atas panggung. Sorak-sorai
para pengemis menyambut munculnya tokoh ini, terutama dari para anggota Khong-sim Kai-pang yang
mengenal bahwa tokoh besar inilah sesungguhnya Suling Emas tulen! Yang tidak tahu duduknya
persoalan dan tidak mengenal Suling Emas, mengira bahwa tokoh ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh
Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti apa maksunya orang
memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo! Tentu ada rahasia tersembunyi di balik kejadian
ini. Juga ia merasa penasaran dan ingin menguji kepandaian orang yang memalsukan namanya.
Tepat pada jam yang ditentukan, tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dari jauh, disusul suara orang.
“Suling Emas tiba! Adakah Yu Kang Tianglo sudah tiba?”
Suling Emas terkejut. Bukan main suara itu. Jelas bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi,
memiliki khikang yang hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan mampu menirukan lengkingnya
yang khas Suling Emas! Ia lalu bangkit berdiri dari bangkunya, berdongak dan membusungkan dada,
kemudian menjawab dengan pengerahan khikang sehingga suaranya dapat mencapai tempat jauh, ke
arah dari mana suara tadi terdengar.
“Yu Kang Tianglo siap menerima kunjungan Suling Emas!”
Keadaan menjadi hening. Mereka yang hadir dan memenuhi tempat di bawah panggung menjadi tegang.
Tak lama kemudian tampak berkelebat bayangan dan bagaikan seekor burung besar, di atas panggung itu
muncul seorang laki-laki tua yang meloncat turun seperti burung terbang cepatnya. Ketika semua orang
memperhatikan, terdengar suara ketawa di sana-sini.
Laki-laki itu sudah tua, lebih tua sedikit dari pada Suling Emas. Tubuhnya kurus sekali, jenggotnya panjang,
hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keangkuhan. Akan tetapi yang lucu adalah pakaiannya.
Pakaian itu terlalu besar gedobyoran akan tetapi di bagian dadanya jelas tersulam sebatang suling dengan
latar belakang bulan purnama, persis seperti tanda gambar pada pakaian Suling Emas!
Bahkan Yu Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendongkol menyaksikan pemalsuan yang mentertawakan
ini. Orang ini bukan muncul seperti Suling Emas yang terkenal kegagahan dan ketampanannya, melainkan
sebagai seorang badut! Betapa pun juga, harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini datang benar amat
mengagumkan, sesuai dengan ilmunya yang tinggi.
Kalau semua orang memperhatikan dan mentertawakan, adalah Suling Emas yang memandang dengan
serius dan terkejut. Orang ini bukan semata-mata hendak memalsukan namanya, pikirnya. Pemalsuan
yang dibuat untuk berolok-olok, memperolok Suling Emas karena orang ini jelas sengaja memakai pakaian
yang kebesaran dan kedodoran seperti hendak memperlihatkan bahwa Suling Emas hanya seorang badut.
Ia cepat menyambut dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia bertanya.
“Benarkah yang saya hadapi ini adalah Suling Emas yang menantang Yu Kang Tianglo?” Sambil bicara,
Suling Emas sengaja hendak menguji lawannya, mengerahkan sinkang pada kedua tangannya yang
mendorong.
Orang itu balas menjura, menangkis dengan sinkang pula, dan biar pun tubuh orang itu agak doyong ke
belakang sedikit, namun Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga sinkang orang itu tidak lemah. Orang
itu pun biar tahu bahwa lawannya benar bertenaga hebat, tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum
mengejek dan balas bertanya.
“Sebelum saya menjawab, saya hendak bertanya apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu Kang
Tianglo yang gagah perkasa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling Emas tercengang, menduga-duga siapa gerangan orang ini. Ia merasa disindir dan menjadi tidak
enak sekali. Bagaimana ia dapat menuduh orang palsu kalau ia sendiri juga palsu? Segera ia berkata lagi,
suaranya tetap halus.
“Sepanjang ingatanku, di antara Yu Kang Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang erat,
bagaimana sekarang terjadi permusuhan? Apa kehendak yang tersembunyi di balik kelakuanmu, sobat?”
“Tidak salah!” Orang itu menjawab, matanya menentang tajam, “Memang dahulu terjalin persahabatan
yang erat, akan tetapi persahabatan erat dapat putus kalau seorang di antara mereka berkhianat!”
Suling Emas makin tidak enak. Pandang mata orang itu biar pun membayangkan kekerasan hati, namun
menyinarkan keberanian dan kejujuran! Maka ia merasa tidak perlu pura-pura dan berkata, “Sobat, terus
terang saja, aku tidak mengenalmu. Tidak perlu memalsukan nama Suling Emas, lebih baik menggunakan
nama sendiri. Ingat, Suling Emas masih hidup!”
Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali, tanda bahwa lweekang-nya sudah matang,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Memalsukan nama orang yang sudah mati saja ada orang berani
lakukan, mengapa memalsukan nama orang yang masih hidup tidak berani? Sedikitnya, yang terakhir ini
lebih jujur dan berani dari yang terdahulu!”
Merah Suling Emas. Ia merasa disindir-sindir. Apa hak orang ini menyindirnya kalau ia mengaku bernama
Yu Kang Tianglo? Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo yang sudah mati, dan ia pun menyamar
bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu maju selangkah dan berkata, “Sobat, engkau Suling Emas
palsu. Akulah Suling Emas!”
Kembali orang itu tertawa, “Begitukah? Apakah engkau ini sebangsa bunglon bisa saja berganti-ganti nama
seenaknya? Kemarin mengaku Yu Kang Tianglo kini mengaku Suling Emas? Ho-ho, tidak begitu mudah,
sobat. Akulah Suling Emas!”
Suasana menjadi makin tegang dan di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada yang
berteriak, “Hantam saja Suling Emas palsu ini!”
“Enyahkan si badut!”
“Buka kedoknya!”
Suling Emas makin mendongkol, “Hemm, kalau kau berkeras berarti engkau menghendaki kekerasan?”
“Terserah! Demi kebenaran, aku tidak takut kepadamu!”
“Baik! Majulah!” bentak Suling Emas.
Dua orang itu lalu bergerak maju. Suling Emas yang ingin mencoba kepandaian orang itu sudah menerjang
dengan pukulan-pukulan berat. Namun orang itu ternyata lincah sekali, dapat mengelak cepat dan
menangkis, bahkan balas menyerang! Ternyata bahwa ilmu silat tangan kosong orang ini cukup lihai dan
memiliki daya tahan yang kuat luar biasa sehingga kalau ia melanjutkan pertandingan tangan kosong itu
tentu makan waktu yang lama. Apa lagi kalau ia pikir bahwa tidak sekali-kali ia ingin mencelakakan orang
ini sebelum ia mengetahui apa latar belakang perbuatannya yang aneh.
Maka ia lalu mengirim pukulan sambil melangkah maju. Ia mengerahkan tenaga ketika melihat betapa
lawannya menerima pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan yang sama, agaknya untuk
mengadu tenaga,. Dua telapak tangan bertemu keras sekali dan akibatnya... tubuh keduanya terpental ke
udara dan mencelat ke belakang! Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya berjungkir balik satu kali saja,
lawannya berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas papan panggung!
Sorak-sorai tepuk tangan menyambut demonstrasi ini. Dalam penglihatan mereka yang kurang tinggi
ilmunya, gerakan ‘Suling Emas’ itu lebih indah karena sampai tiga kali berjungkir balik, akan tetapi dalam
pandangan yang mengerti, kakek yang memalsu nama Suling Emas itu jelas kalah kuat tenaganya.
Kini mereka sudah berhadapan lagi. Suling Emas ingin menguji apakah pemalsunya juga mempunyai
suling, maka sekali tangannya bergerak, sebatang suling emas berkilauan berada di tangan kanannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Yu Kang Tianglo yang sudah mati kini hidup lagi dan senjatanya berubah
menjadi suling emas! Sebaliknya Suling Emas yang sudah puluhan tahun tenggelam entah ke mana kini
muncul dengan tongkat di tangan!” Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat rotan kecil
dari tangannya, dan langsung menyerang Suling Emas. Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan
mengeluarkan bunyi melengking-lengking!
Melihat ini, Suling Emas dan Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat menangkis
dengan sulingnya dan ketika lawannya menerjang terus sampai belasan jurus secara bertubi-tubi, ia cepat
mencelat ke belakang sambil berseru.
“Tahan dulu! Sobat, pernah apakah engkau dengan Yu Kang Tianglo almarhum?”
Orang itu memandang Suling Emas dengan mata melotot, “Kau sudah tahu almarhum, kenapa masih tega
memalsukan namanya? Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dikagumi seluruh dunia kangouw,
mengapa menjadi pengecut, menyembunyikan diri seperti penjahat dikejar, kemudian menyelinap
bersembunyi di bawah nama Yu Kang Tianglo? Mengapa orang yang sudah mati diganggu, biar pun oleh
sahabatnya sendiri? Seorang laki-laki sudah berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak nanti
melarikan diri dari pada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui semua perbuatannya, yang tidak
berani menghadapi kenyataan pahit sebagai akibat perbuatannya, tidak patut disebut laki-laki! Hayo, kalau
mau dilanjutkan aku akan melayani sampai mati!”
Suling Emas seperti ditusuk jantungnya. Ia memejamkan mata menahan keperihan hati. Kata-kata tadi
amat menusuk perasaannya karena tepat sekali menyindir keadaannya. Puluhan tahun menyembunyikan
diri, melarikan diri dari Ratu Yalina, dari musuh-musuh mendiang ibunya. Kemudian ia melihat akibat
perbuatannya dengan terlahirnya Kiang Liong, terlahirnya Talibu dan Kwi Lan. Akan tetapi ia tetap masih
menyembunyikan semua itu, dengan dalih menjaga nama baik mereka! Ah, lebih tepat menjaga nama
baiknya sendiri. Ia memang pengecut selama ini!
“Sudahlah!!” katanya dengan keluhan berat dengan dua titik air mata membasahi matanya dan sekali
renggut robeklah jubah pengemis dan tampak pakaian aslinya, pakaian Suling Emas! “Akulah Suling Emas
dan memang aku pernah mempergunakan nama mendiang sahabat Yu Kang Tianglo! Akan tetapi hal ini
tidak menyinggung siapa pun juga. Siapakah engkau ini yang mencampuri urusanku?”
“Tidak menyinggung orang lain akan tetapi menyinggung aku, Suling Emas!” kata kakek itu sambil merobek
pula jubah ‘Suling Emas’-nya dan ternyata ia berpakaian ringkas sederhana. “Namaku adalah Ong Toan
Liong dan aku suheng dari Yu Kang Tianglo! Ketika engkau menyamar sebagai Yu Kang Tianglo, aku
besusah payah membantu Kauw Bian Cinjin membalaskan kehancuran Beng-kauw! Dan engkau enakenak
saja mempermainkan kaum pengemis dengan penyamaranmu.”
Suling Emas tertegun dan pada saat itu, Yu Siang Ki melompat naik ke atas papan panggung, langsung
berlutut di depan kakek itu sambil berseru, “Ong-supek (Uwa Seperguruan Ong)...! Mendiang Ayah banyak
bercerita tentang Supek... kenapa baru sekarang Supek memperkenalkan diri?”
Ong Toan Liong atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan
pundak murid keponakannya, “Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul
urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia
ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai
pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi
pangcu.”
Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik
seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, “Suhu...!”
Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti
diremas dan kembali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya, “Liong-ji..., (Anak Liong...),
mengapa kau menyusulku...?”
Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini suhu-nya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar
seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa
kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya.
Kiang Liong memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini
dunia-kangouw.blogspot.com
dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapa pun ia menggigit
bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.
“Suhu... Suhu... teecu..., ahhh...“
Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa yang amat hebat
maka muridnya yang biasanya tenang ini sampai menangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke arah
Ong Toan Liong dan berkata, “Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua kesalahanku dan selamat berpisah.
Siang Ki, kau turutlah semua petunjuk supek-mu. Hayo Liong-ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong
dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.
Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia
mempersilakan supek-nya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan
pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya
agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis, Siang Ki mohon kepada supeknya agar sudi membimbing
Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas pengetahuannya.
Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat
menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi ketua Khong-sim Kai-pang. Beberapa
hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul
Song Goat, tunangannya!
Ada pun Suling Emas membawa muridnya keluar kota. Mereka berhenti di tempat sunyi jauh di luar kota,
duduk di pinggir jalan. Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat
sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.
“Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam
mengamuk dan merobohkan para prajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung
dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap pemberontak dan
tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang
juga teecu akan berangkat ke kota raja.”
Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara
tentang hal itu, lebih dulu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li,
ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri.”
“Suhu...!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.
Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan
dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik
manis mau pun pahit. Orang tidak bisa lari dari pada pertanggungan-jawab perbuatannya. Sudah berani
berbuat harus berani menanggung risiko, betapa pun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak
seberat kalau dijadikan ganjalan hati.
“Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu
karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang murni, yang diputuskan orang
karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta...“ Suling Emas
lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong. (dalam cerita Cinta
Bernoda Darah).
“Demikianlah, cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah
mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka engkau
diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh
ayahmu maka dia membiarkan engkau menjadi muridku.”
Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki
Suling Emas sambil mengeluh, “Ayahhh.....!”
“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kau sebut ayah
padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling lagi dari
kenyataan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah..., kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”
Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu Yalina! Akan
tetapi ia menekan perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”
“Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar
menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku... aku... mohon Ayah sudi
melamarkan....“
“Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu,
Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa.”
“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam,” kata Kiang Liong sambil
menundukkan muka.
Untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan
melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Harus diakui bahwa Suling
Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal,
bahkan dalam menghadapi bahaya maut sekali pun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta
dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan!
Timbul penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya,
tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan semua peristiwa dahulu, semua
perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai akibat dari pada perbuatannya dahulu. Akan tetapi
mengakui sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidak tega. Ia
sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun mengingat
puteranya, ia tidak sampai hati.
Dengan suara halus ia berkata, “Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan,
marilah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Hanya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang
karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa membendung pertahanan hatinya.
********************
Seperti juga mendiang ibunya, betapa pun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan
dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan
Kiang Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan! Ia tidak berani untuk kembali
ke kota raja, karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek
Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan
yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!
Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan
lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa
orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan
perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!”
Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri dibawa ke istana menghadap
Ratu Khitan.
Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat
menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. “Aduh, Bibi... keponakanmu ini mengalami
penderitaan yang hebat.”
Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain
bicara, “Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh...!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan
mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama
orang muda itu. Biar pun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu
kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan, apa lagi seperti orang muda itu.
Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma
Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada
putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng
menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan.
Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam
keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?
“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.
“Nama saya Suma Kiat....”
Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak
angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.
“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau
menangis?”
“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba... yang sudah sebatang-kara ini.”
“Heh? Ke mana Ibumu?”
“Ibu... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”
“... puteriku? Siapa...?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.
“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan si Mutiara Hitam?”
Berdebar jantung Ratu Yalina. Jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?
“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.
“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”
“Ceritakan semua..., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan
Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam.
Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para pelayan
terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu
mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikankebaikan
ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan
dengan akal cerdik ia berkata, “Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika
ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi...”
“Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa
berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia
akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu
hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal
watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apa lagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan
pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi ibu
dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”
Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biar pun Enci Sian Eng telah menculik
bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. “Kasihan engkau, Enci Sian Eng,”
demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan, anakku,” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan
simpati.
“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan
pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya
dibunuhnya... uuh-huk-huk... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan
sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi
seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”
“Aahh... begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”
Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak,
seperti... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.
“Kau... kalah olehnya? Bukankah kau suheng-nya?”
“Sumoi lihai sekali, dan saya... saya tidak tega untuk melawannya...”
Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini.
Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara
Hitam.
“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak
kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.”
Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di
kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma
Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.
Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan.
Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa,
sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana,
bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.
Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana adanya
Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan,
dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak
menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.
Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di
lingkungan istana, di sebelah kiri di mana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya. Mendengar
ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan
kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena istana selalu
aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk
tanpa diketahui penjaga.
Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau
menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang
tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari
kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan. “Demi
Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri...!”
Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya
sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya
ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik
(nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara
orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok.
Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di
belakang pondok, di ruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu
cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya,
dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas
bertabur batu permata.
Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati.
Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri
Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling
berpegangan tangan saling pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang
itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepatcepat
menekan dinding pondok dengan tangan. Tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan
perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan
membalikkan tubuh.
“Eh, kau... Mutiara Hitam...!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.
Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat
melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa
sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu...? Mari
kuantar kau menghadap....”
“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku...!” Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan
tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk.
Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan!
Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.
“Sumoi...!”
Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan
pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang
dengan mata lebar.
“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu...!”
“Kau...? Di sini...?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.
Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan... dan pesan
mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku!
Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku. Dan aku akan menjadi pangeran mantu!”
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya?
Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu
mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya
tentang perjodohan dan Ibunya... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya.
Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.
“Keparat...!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh... eh, Sumoi... eh...!” Suma Kiat mengelak dan menangkis.
Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan
membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang
ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya
hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung
pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok.
Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan! Kemudian ia
menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat
Pangeran Talibu.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali
melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai
menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri
begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi
cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak
mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar
kepada Mutiara Hitam.
Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh
Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi
Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin
matanya berapi ketika ia berkata.
“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah
berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang
juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam
sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka
bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.
Kwi Lan berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang, akan tetapi
gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam
sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di antara mereka, mengerahkan lweekang
membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh
bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.
“Tangkap penjahat...!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal
yang mencabut senjata.
“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun
kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.
Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan
mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita
setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona,
keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.
“Engkau Mutiara Hitam...?”
“Engkau Ratu Khitan...?”
Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua lengan
dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan
dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.
Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya, “Kau... kau... telah belasan tahun
menyiksa hatiku... kau...“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya
bercucuran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang
menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti
orang membuang sampah?”
“Haaahhh...!” Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya
terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan... Mutiara
Hitam... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar.
Akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi ibu
kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung
oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila
macam Suma Kiat!
Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk, mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan
tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.
“Kau anakku... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan penuturanku agar kau
tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang
membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu si
Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa.
Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka.
Kini kau datang... Anakku, kenapa kau bersikap begini...? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku...
betapa rinduku... ah, Anakku...“
Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua
macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu
menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir ke luar melalui celahcelah
jarinya.
Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras
sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapa pun inginnya ia memeluk, ia menahan hati
dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.
“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”
“Ibu... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahuntahun
lamanya di istana bawah tanah. Kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu... menjodohkan
aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”
Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan
halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma
Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan
mengenai perjodohanmu dengan siapa pun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau
tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang...”
Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku
tidak mau menikah dengan siapa pun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu!”
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika
mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti
berdetik, kepalanya pening.
Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak
seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil, “Ibu...!”
Dan melompat menghampiri.
Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan
Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu... dia...
dia cinta padamu... dia... ingin menikah denganmu... oohh, Anakku...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. Ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan,
menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin
basah oleh air mata ibunya.
“Kwi Lan... Anakku... aduhhh, kasihan sekali kau... ketahuilah, Anakku... dahulu kau terlahir kembar...
engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng... dan... dan
kakakmu... kakak kembarmu... dia Pangeran Talibu...”
Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya,
pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar,
Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya
kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata
terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.
“...Anakku... Kwi Lan anakku...,” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan
dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.
“...Adikku... Kwi Lan...,“ suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya
dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya,
kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.
“Plak-plak...!” Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyunghuyung.
“Kwi Lan...!” Ratu Yalina menjerit.
Kwi Lan membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung
seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu
Yalina memegang kedua pipi puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih,
penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.
Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata
lirih, suaranya menggetar, “Adikku... sudah selayaknya kau pukul aku... kalau belum puas pukullah lagi...
aku seperti mempermainkanmu... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu... aku sudah tahu engkau adikku,
seharusnya kuberi tahu. Akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai
puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi... dan tentang... tentang peristiwa itu... kau tahu kita keracunan...
Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu...?”
Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan
pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu... kaulah yang harus memaafkan
adikmu...!”
Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya
pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya, “Adikku sayang, ketika aku
mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa
engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak
terpatahkan oleh apa pun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang...!”
Mereka berpelukan.
Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk ibunya dengan penuh
kasih sayang. “Anak-anakku..., anak kembarku..., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan,
sampai mencinta kakak sendiri.... Ini semua akibat dosaku...“
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi... tidak... bukan
kau yang salah. Aku yang berdosa... ya, aku yang berdosa...!”
Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah masuk
dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan di belakangnya ikut masuk pula seorang pemuda
yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak
menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguh pun mereka saling
pandang dengan heran namun tidak berani melarang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat Suling Emas, Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas
sambil berkata lirih, “Anakku... Kwi Lan..., beri hormatlah kepadanya... ini dia... ayah kandungmu...!”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti
ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya!
Begitu bahagia rasa hatinya, begitu malu, dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak.
Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku...!”
Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling
Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata
berlinang-linang, “Dosaku... semua dosaku, laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung
jawab... menyembunyikan dosa dan noda... sampai anak-anak sendiri saling cinta..., ya Tuhan, masih
belum cukupkah hukuman hamba...?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk-batuk.
Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua
merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh
getaran hati yang patah, “...kau adikku..., adikku...“
Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua
orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka oleh asmara gagal. Orang-orang
yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri! Hari itu merupakan hari di
mana sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang
diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan
dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang.
Untuk ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.
********************
Pesta-pora diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai
berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Ada pun yang dirayakan adalah bermacammacam.
Terkumpulnya kembali keluarga Ratu, dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu
dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak
mengundurkan diri.
Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas di depan istana yang biasanya dipergunakan untuk
berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah
memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga,
daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.
Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu
Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai
mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik dari pada biasa karena kebahagiaan...
hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti
bintang.
Di sampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar
Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, suling emas terselip di pinggangnya.
Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di
dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu.
Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan
gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di
belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang
ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik
jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang
Khitan.
Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat
duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang
bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung
sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sri Paduka Ratu
yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung
dengan sikap agung.
Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu
menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan
berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang, seolah-olah
semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.
“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir
sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khikang, “Kalian semua sudah tahu
untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga
kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tibatiba
ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambll keputusan untuk bicara
dengan kalian, untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”
Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga
ditujukan kepadanya.
“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya
kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di
selatan saya pernah bersuami, dan suami saya adalah dia ini...“ Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas
berdiri.
Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia
pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang tercengang, agaknya
heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling
Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah soraksorai,
tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang
menonton pertandingan sepak bola!
“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan...!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin
menggema.
Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal
yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati dari pada yang mereka
khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.
“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan
kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak. Yang pertama
sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami
angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”
Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum
memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali
meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersuka-cita mendengar bahwa ternyata
Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina
membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Ada pun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping
kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam...!”
Kwi Lan meloncat dan berdiri di samping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan
kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam...!”
Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya. Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi
basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!
“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia
dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan
keadaan kami. Betapa pun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai
dunia-kangouw.blogspot.com
bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku
mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru
yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri. Ratu
Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak
mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara
kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun,
saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan
bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali
mundur dan duduk di tempat masing-masing.
Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya,
Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu
menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyumsenyum,
mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga
ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.
“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.
Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwi Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan
keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih
sayang antara saudara yang mesra.
Dan dimulailah pesta itu. Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi
pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang
menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling
Emas sebagaimana mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda
yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu
menghampiri tempat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol
berkepala besar.
“Bibi Bi Li...!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah
dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”
Nyonya itu memang Phang Bi Li, dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia
ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.
“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah
keluarga sendiri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan betapa pun juga, nyonya itu kelihatan
sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.
“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut
pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.
Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan
tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”
Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii,
Kiang-kongcu!”
“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku sendiri,
kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”
“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu...!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua
orang pemuda bangsawan itu tertawa.
Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata,
“Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”
Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak
orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, mereka berbisikdunia-
kangouw.blogspot.com
bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatanperbuatan
yang lucu dan mengagumkan (dalam cerita SULING EMAS).
“Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak makin maju
saja. Heh-heh-heh!”
Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah
siapa lagi!”
Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata, “Rejekimu besar, Ratu Yalina.
Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah
muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu si Mutiara Hitam yang galak itu agar
menjadi isteri Tang Hauw Lam.”
Kata-kata yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana hening,
bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke
arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini
harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam
memang tidak mengecewakan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani
memutuskan, apa lagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan, yang
pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu
menoleh ke arah Kwi Lan.
Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan
puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa
mau diajak serta. Kini melihat keadaan di situ dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu
sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan diri
berlutut di depan Ratu Yalina.
“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”
Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan
keputusannya kepada anak kami sendiri.”
Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya
terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si
Berandal meminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang
yang pertama-tama ia akan pilih andai kata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam
Liong. Setelah ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang
berkenan di hatinya.
Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan ia tidak
suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana jadinya pemuda itu yang dahulu
terseret ke dalam dunia sesat. Ia memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan
pemuda ini, teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia teringat kepada
pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan
padanya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa
bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis
Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.
Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada
gadis itu, “Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara
Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku...
tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”
Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”
“Jadi...?”
“Jadi... apa...?”
“Jadi kau setuju...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo!
“Tapi terus terang saja, biar pun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”
Luar biasa percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta
seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh
pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.
“Orang macam aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kau cinta. Aku
mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan.
Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kau ingat
atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu,
menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku.”
Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan petuah yang amat
menusuk hati.
Memang sebagian besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan
meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi! Cinta itu adalah kasih
sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain
namanya, melainkan mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia yang
dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.
“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”
“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu,
tak usah kau tinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”
“Kalau aku mati?”
“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”
Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti
muridku? Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”
“Aku suka sekali mempunyai adik ipar si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada
pemuda ini berkata.
“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.
Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak
suka tinggal di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung
dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di
angkasa, bercumbu dengan angin.
“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil duduk kembali.
“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.
Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apa lagi melihat peminangan dan
penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu
dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan dengan godaangodaannya.
Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua
calon pengantin itu.
Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang,
diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan
setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak
patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang
baik dan perbekalan yang cukup, ditambah sekantung emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula, sebagai anggota
keluarga,” hati Kam Liong menerawang.
Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah merupakan
hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat seperti Hauw Lam,
ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!
Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh
bersama seorang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan,
juga rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka
merah.
Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah
manusia-manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling Emas juga
mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti
Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat, adalah dua
orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit
menyambut dan menjura.
“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”
“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghikionghi
(selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid kami,
Siangkoan Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk
muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.
Suling Emas terkejut. Benar saja dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang
benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun
cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biar pun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun
pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.
“Mutiara Hitam adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan
kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan
dengan pemuda lain.”
Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah
yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam
Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biar pun masih
pendiam dan serius, namun matanya liar!
“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.
“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka
masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak,
tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih
minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.
“Mutiara Hitam gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua,
mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta
lagu apa kuturuti. Hayoh...!” Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia
senang berkelahi, baik saling maki mau pun saling gasak!
“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah
di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keributan,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus,
namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.
Dua orang kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biar pun berada di negara orang. Akan
tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu
yang memiliki tingkat lebih tinggi dari pada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat
mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang lihainya
luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orangorang
sakti.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita
bereskan. Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siangkoan Li, kau
bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam-kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu
pergi dari situ tanpa pamit lagi.
Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan
meriah.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi
dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan.
Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang
dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa. Ada pun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami
Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari Pegunungan Go-bisan.
Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan
di mana ia hidup tenteram dan melayani Mimi dengan kasih sayang.
Kam Liong meninggalkan Khitan, pergi merantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah
selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia
melayani kasih sayang seorang wanita cantik di mana saja, hanya sebagai keisengan belaka, bukan
karena dorongan asmara. Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya menyeleweng dari pada
kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia
tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat
pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya
terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.
Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Songyok-
san-jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan mencairkan
kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan
urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai
pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.
Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat
kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi
Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andai kata ia
menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping
Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.
Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke mana perginya pemuda yang bernasib malang itu.
Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir
kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huruhara
di tempat lain.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman
kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu
berdua dan gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya Kam Han Ki?
Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan
terluka parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang
cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!
Sampai di sini cerita MUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga merupakan
bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain cerita! Salam damai.....
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments