Kamis, 18 Mei 2017

Dongeng Silat Suling Emas 5 Seri Ke 2 Bu Kek Siansu Kho Ping Hoo

Dongeng Silat Suling Emas Seri Ke 2 Bu Kek Siansu Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Dongeng Silat Suling Emas Seri Ke 2 Bu Kek Siansu Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
Dongeng Silat Suling Emas Seri Ke 2 Bu Kek Siansu Kho Ping Hoo
Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun menurut isi kitabkitab
yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sinkang-nya menjadi hebat luar biasa.
Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baja dan
kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang.
Berbahaya sekali perbuatan ini.
Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sinkang-nya, namun rambut tetap merupakan benda yang
lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan
merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah
permainan yang banyak resikonya.
Coa Kim Bwee kaget sekali melihat betapa pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, terutama
setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lweekang-nya dan
berseru keras sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan
tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir terdorong oleh
tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung
kembali ke depan dadanya.
Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya
beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia
yang berada di bawah angin, maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya
berubah merah karena marah.
"Aku masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali
untuk mencegah libatan rambut lawannya.
Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah lehernya, tubuh Lu Sian yang
duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya, dan
pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee. Hebat
sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi selir raja itu.
Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik
ini memang berilmu tinggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya
mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri
dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat menarik kembali
pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang.
Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak,
berpisah dua meter lebih. Seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada,
tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan
bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang
telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan
mulut tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam ia merasa girang karena telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini. Melihat
gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sehingga untuk
merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut
sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang
ahli, ia dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerakgerak,
cuping hidungnya berkembang-kempis. Tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang
ke depan dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini karena gulungan
sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim
Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin diserang seperti tadi.
Lu Sian duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat senjataku!"
Dan kini sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat ke depan merupakan ratusan ribu batang
kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu
Sian mempergunakan ‘tenaga halus’ sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat
terbabat putus, bahkan sebagian lagi terus membelit ke arah pergelangan lengan tangan yang memegang
pedang, sebagian membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit leher terus mencekik!
Kim Bwee kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik membuat ia tidak
mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar
suara ketawa cekikikan lalu disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar
ke sudut kamar!
Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan
andai kata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andai kata dalam hati Kim Bwee tidak ada maksud hendak
mengeduk ilmu, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti
ini! Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana.
Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti
perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan
dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya dari pada ruginya kalau ia
dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik, dan demi tercapainya maksud hati ia rela melakukan
hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam
pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah,
dan mari kita duduk dan bicara yang baik." Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim
Bwee dan seketika Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi
jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?"
Kim Bwee mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."
"Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita
tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."
"Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?" tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu
yang dianggapnya amat hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar
dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."
Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut.
Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!"
Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak
boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku
panggil adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini. Mengerti?"
Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika
ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh kau memberitahukan
orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu
lalu pergi dari sini. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian
bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.
"Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku dalam istana ini. Aku tahu bahwa di antara
engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh
mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang
dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana,
terdapat banyak sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka
dan menyenangkan hati ‘gurunya’ ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar
dengan ilmu!
"Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang
indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka
mengalah. Dan...jangan khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal pangeranpangeran
muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!" Ia tertawa genit.
Lu Sian tersenyum manis. Terhadap perempuan liar ini tidak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia
mengangguk tanda setuju.
Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu
dalam istana Kerajaan Hou-han. Ia tidak mendapat gangguan karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang
menganggap dia seorang kakak misan sendiri. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi
pangeran-pangeran dan pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk
membalas ‘jasa’ dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada
Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang
mendasari ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!
Segala macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali keliru
melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai
dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua
tetes, setelah termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan.
Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula
kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai
‘pekerjaannya’ dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian
dunia-kangouw.blogspot.com
pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu birahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila
dan makin haus!
Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek.
Kalau di waktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia
takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh
gelombang permainan nafsunya sendiri!
Manusia memang makhluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan
lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya.
Sebaliknya jalan menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih, sesal
pun tiada gunanya. Dalam kesadaran dan penyesalan, hendak bertaubat sekali pun akan merupakan
perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang
berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini,
banyak timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk
berdiri sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah Jenderal
Kam Si Ek yang berjiwa patriotik dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di
dusun Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san.
Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau
Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan
Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan yang baik sebagai pimpinan para panglima dan penasehat
raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama
berdiri ini roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-
947).
Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biar pun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak
putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai
menggabungkan diri dengan jago tua ini. Selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, mereka ini juga
selalu mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak
bekerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak
mempunyai pusat kerajaan, para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang
tidak mau bekerja sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglimapanglimanya
ketika mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru
selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian di dalam
istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga
bulan setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan
yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu
singkat saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat
berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung telah terbang melompat pagar tembok dan lenyap
ke dalam lingkungan istana!
Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu malang-melintang mandi
darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari
itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua puluh lima
orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di sekitar bangunan-bangunan
istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.
Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para
pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan
tetapi di ruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biar pun jarang
terlihat penjaga, namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya
sakti, berdiri di sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran.
Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian
menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan bantu!"
Para penjaga kaget dan heran. Biar pun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan. Karena
Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang
penjaga sudah menerjang maju untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di
antara tiga penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol! Mundur dan jangan bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee.
Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang
berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa
mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka
begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat!
"Siauw-moi, keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata.
Gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadangkadang
ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai
dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan
ilmu silat tinggi, maka gerakan pedangnya sudah amat berbahaya biar pun baru belajar beberapa bulan.
Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung
dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang
yang kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke
depan dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan barisan ini
kedudukan Coa Kim Bwee menjadi terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang
dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang
dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia tarik kembali dan
gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi
tubuhnya.
"Siauw-moi, mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh
Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong!
Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum
meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum
itu dengan pedang. Pada saat itu pula mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau
harum keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!" seorang di antara mereka berseru kaget.
Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian
melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat. Selain ilmu silatnya yang tinggi
dan wataknya yang ganas, yang juga membuat ia terkenal terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan
Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi
serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka berhadapan
dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak pula seorang di antara
mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berarti harus mati.
Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil tersenyum dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biar pun
menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut. Kini bahkan mereka berbareng
menerjang dengan gerakan pedang yang dahsyat.
"Kau menghianati suamimu...!"
Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi.
Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari
dari kitab yang ia curi dari kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah
menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya.
Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba menggenjot tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuttt! Singggg!" dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas.
Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua
gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang
pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu
Sian bergerak.
“Plak! Plak!” terdengar suara dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan
yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa
pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat, Cici...!" Coa Kim Bwee berseru girang sekali.
Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."
"Mari kita pulang," kata Lu Sian tenang saja.
Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan,
lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda."
Memang pada waktu itu pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang
mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.
Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum. "Cici
kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya
memanggil Cici menghadap."
Lu Sian mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan.
Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan khawatir, beliau hanya akan menyampaikan
penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas.
Pula... eh...," wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana akan hadir
semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan
mereka?"
Lu Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran pucat dan panglimapanglima
bopeng (cacat) saja!"
"Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti
gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau
jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah
berhasil. Barangkali Cici..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi
beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih...."
"Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat...."
Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi
pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat
kagum. Dan benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan
dan panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian.
Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang
ingin meruntuhkannya, oleh karena ini ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia
menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah
kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan
memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar
yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan
perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau
mau...."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki
setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari
sini."
Coa Kim Bwee tertawa. "Jangan khawatir, Cici. Saya dapat membujuk Raja dan menyatakan bahwa kau sudah
menjauhkan diri dari pada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana
pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "Hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku
dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar!
Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah
berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa
malu-malu lagi bahwa di antara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang
panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah
Pangeran Kang yang kulit mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau.
Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti
seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan
dagunya. Hemm...!" dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan
mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici
mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa
bilang mereka akan berani menolaknya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan
tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga
orang muda ini tentu saja tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio
(Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan malu-malu, mereka
merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini. Dan bau semerbak harum di kala mereka makan
bersama membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir
ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka
adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Siantoanio
benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang
Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orangorang
muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di
waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau
orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangankemenangan
ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan
menjadi kekasihnya, setiap saat ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglimapanglima
gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang
sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati. Setiap kali Lu
Sian datang, dia melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan
tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu
Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu
kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada
masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat
bahwa yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan
duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benarbenar
rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu.
Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan
diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio."
"Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku
mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai
di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar,
Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat
dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio
jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi
permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih
merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak.
Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada
dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan
terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat.
Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun juga ia
seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari
kemenangan.
Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya.
Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak
sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakanakan
tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" tantang Lu Sian
sambil tersenyum.
Cu-ciangkun masih belum mau percaya. "Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju. Kedua tangannya
cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya
mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan
meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda).
Dengan ilmu ini ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat
dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua
lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat
dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang
menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu?
Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat,
membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
dunia-kangouw.blogspot.com
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya,
juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu
menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia
akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan raguragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda
yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari,
mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan
kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas,
"Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kau
bekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan
kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini
memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang masih hijau ini. Mana bisa ia tidak merasa
‘tersiksa’ ketika kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang
lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan
tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekali pun
akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan
patah?"
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang
membekuk leher. Untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian.
Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut, kepalanya menjadi pening, dan napasnya
terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang
merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil,
betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah
kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biar pun nafsu muda yang
sudah selayaknya itu mulai bergelora, namun ia masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda
itu merasa semakin ‘tersiksa’.
"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."
"Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus.
"Saya... eh... saya khawatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu
berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia
menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat ‘merosot’ ke luar dari pelukan ketat
itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang
dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya
merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kuthoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah dipelajari, akan tetapi dasarnya harus kuat. Seperti kukatakan tadi,
berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk
mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam
tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak
melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi
syarat agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat
tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini
terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia pun berkata, "Ciangkun harus duduk bersila menyatukan
perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu.
Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke
arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita
duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum
pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biar pun hanya
bersila!
"Terserah... kepada Toanio...," jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada
tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga, biar nanti aku yang membantumu menyalurkan
tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling
menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa
mukjijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau
yang semerbak harum itu!
Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sinkang (hawa
sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak
tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula
lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos
dari ikatan apa pun juga," Lu Sian berbisik. "Tanpa menggerakkan tubuh sekali pun kita dapat meloloskan diri
dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!"
Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang. Ia tidak
melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu-ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu...," kembali Lu Sian berbisik perlahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apaapa
lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk
lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua
telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan
tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak
dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora
menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya
mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak
berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada!
Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio...." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang
kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau
yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya.
Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah
lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah
lampu di sudut kamar sehingga padam.....
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami kehidupan yang penuh kesenangan di mana ia
dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakanakan
tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama
itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula
ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee
yang tentu saja menjadi amat girang.
Biar pun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah
puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglimapanglima
muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini
adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itu pun merupakan hal yang menguntungkan. Semenjak ada
Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalau pun ada, tentu akan disapu bersih
oleh wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga
keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya ke luar istana dan mulai membantu melakukan
pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini
belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan
dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.
Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat
dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian. Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha
membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak
berpakaian sebagai panglima. Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling
aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda
Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota
raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah
membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian yang berpakaian sebagai seorang penduduk biasa pergi menyelidiki
rumah tua di ujung kota yang sunyi di sebelah barat itu. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia
mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya
rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak
berdaun lagi itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tergerak ketika ia melihat
seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan.
“Siapakah kakek ini?” pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya
berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak.
Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku
mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku
adalah patriot-patriot konyol seperti kalian ini, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami
tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol.
Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong
Lo Sengjin! Ia memandang penuh perhatian. Melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan
lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah,
kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh
kedua kakinya? Dan orang kedua itu pun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman
betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar
menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!" runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia
memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili dari pada harus berkenalan dengan
golokku!" bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi
sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun,
panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari
kematian mengerikan!" suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.
"Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan
golokku!"
Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali. Goloknya lenyap berubah
sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu.
"Singgg...!!"
Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya!
Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar
biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemana pun berkelebatnya bayangan
kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain
cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat ginkang-nya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun
menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka dan
pada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan
lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri
menyambar ke arah kepala Cu Bian.
Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan
ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua yang mengarah
kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung
lengan baju.
"Plakk!" perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian
terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya.
Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan
meluap, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat sambil menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya.
Hanya dengan menggerakkan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan
Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan
tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat
lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira
diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat
gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!" teriak si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut
goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira.
Mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok.
Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang prajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis
dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah
mencelat ke luar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja. Ia telah
melesat jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tempat itu sambil membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat
bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan
mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang
tangkas. Maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak
senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawannya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja.
Penjagaan diperketat, di seluruh kota tampak para prajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan
penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang
menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja
ia melompati pagar tembok yang mengurung istana tanpa terlihat oleh para penjaga, kemudian menyelinap
dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana. Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba
di atas istana sambil mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah karena Cu Bian merupakan
seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai
itu, dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik.
Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh yang amat lihai itu. Akan tetapi
ia tidak takut sekarang. Bahkan ingin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah
dunia-kangouw.blogspot.com
menandingi kesaktian si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sinkangnya
untuk melakukan pukulan jarak jauh.
Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara
agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama. Telinganya yang
terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar. Akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak
bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi
ginkang-nya, sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara, tengah mendekati kamarnya. Selama
ini ia tak pernah berhenti berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biar pun sinar itu menyambar dari
belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk
tidak bergoyang sama sekali.
"Capp...!"
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung
golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini tertancap golok di atas meja. Benda yang berlumur
darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya.
Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu
Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia
memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata
terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar
Beng-kauw!" terdengar suara memaki dan mengejeknya di luar.
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya
berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang ke luar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman
bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang
menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
"Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga
bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. Kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak
kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang. Aku seorang patriot
sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau
telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Patjiu
Sin-ong Liu Gan..., benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong
bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampuni dirimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan
Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya matimatian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungan apa denganmu? Kau peduli apa?!”
"Wah, benar keras kepala! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan
untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata
Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus
telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Trang-trang-trang-trang-trang....!" lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang
sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter.
Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan
mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan
pengerahan sinkang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental,
bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi
marah dan penasaran.
Di lain pihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya.
Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik
oleh lawan dan tangannya terasa gemetar, tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia
lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar
ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar
berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran!
Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan
jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjin sambil mengerahkan
tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan
kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh
hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini
merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat
kedahsyatan pukulan si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang
di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan
dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sinkang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi
akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka
saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sinkang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat
seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran
sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya
sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin.
Kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena
dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama
sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring, lalu tubuhnya mencelat pula ke atas
menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang
pohon dan dekat pula dengan ujung atap.
Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka
meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata.
Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap
dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan. Sejenak mereka tak
bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biar pun baru beberapa gebrakan,
dunia-kangouw.blogspot.com
namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sinkang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit
lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek.
Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biar pun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek
ini memang wataknya tidak pernah mau kalah. Kemarahannya memuncak ketika mendapatkan dirinya hanya
dapat bertanding seimbang saja dalam menghadapi seorang wanita muda. Sambil menggereng liar ia
menerjang maju. Tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang
mengeluarkan bunyi bersiutan.
Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya
bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang
sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sinkang seperti tadi, melainkan
mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago
ginkang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu
pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main. Tubuhnya seakan-akan
sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang
melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.
Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biar pun kedua kakinya sudah
lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang
kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju
yang kesemuanya merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu tongkat,
ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya
seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak...!" tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang.
Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak
tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riapriapan
untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling
pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan
dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah membuka matanya lagi, Kong Lo Sengjin tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya
kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas
minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring.
"Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh
orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera
mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu
melayani segala macam anjing!" tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui
kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" kata Lu Sian.
Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir. "Eh, Cici, kau... kau
terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya. "Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cuciangkun
di dalam kamar itu."
Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah
menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya
sendiri....
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli
lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah menjadi korban
asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia
mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di
hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa.
Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga
keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan
selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti
jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini
disangka seorang gila.
Akan tetapi keadaan hidupnya berubah semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin, saudara kembar
Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua
di Neraka Bumi. Timbul pula kegairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena ‘nenek’ yang ternyata
seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang
ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua,
melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita
pertama yang menggugah cinta kasihnya.
Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka
bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang
berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri, puteri dan juga muridnya ke gunung Min-san, di mana
ia hidup berbahagia dengan mereka. Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, ada pun Kwee
Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupakan matahari
ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin
membahagiakan hati Kwee Seng.
Ada pun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun.
Ketika masih kecil mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa
kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis
itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis
remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya.
Ada pun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap,
berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya
telah terdapat dasar-dasar ilmu silat. Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya, hanya
saja ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok,
menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai
mengusir halimun pagi yang tebal. Dalam usianya yang empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan
tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggot dan
kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua dari pada dahulu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun isterinya yang amat cinta kepadanya juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping,
senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan
pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari
mendekat puncak sambil berseru.
"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlomba mencari kayu!" tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat
cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya
cantik berseri-seri.
Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali.
Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti
seorang pelajar yang lemah, melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis
hitam tebal berbentuk golok. Matanya lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan
bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan
sifat tegasnya. Sayang, wajah yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering
kali keningnya berkerut.
"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau
berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat dari pada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" biar
pun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman
bermain sejak kecil selama belasan tahun. Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam
sebuah hutan di puncak.
Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak dapat disangkal lagi,
mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang
penuh kepuasan.
Isterinya mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka, sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar,
amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang...."
"Mengapa sayang, isteriku?"
"Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, rumah tangga orang tuanya
berantakan, ayah bunda bercerai. Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur
keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita.
Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya. Apakah masih belum cukup dan
haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang
berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu.
Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya...."
"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau sayangkan, apakah itu?"
"Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguh pun tidak
sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang
kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"
Kwee Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai
bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia
begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta
kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut
jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman
dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk
melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi,
aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik dari pada
dunia-kangouw.blogspot.com
aku sendiri. Karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh dia berlatih
siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sinkang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini.
Kelak, kalau ia mengalami penderitaan hidup karena ketidak-mampuannya bersilat, baru akan terbuka
pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi
kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya
kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan
dapat kita tinggalkan mereka...."
"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat dari pada hidup tenang dan
tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan
pertumpahan darah?"
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepatcepat
ia mengusap air mata itu dengan sapu-tangannya. Dengan muka tunduk ia berkata, "Suamiku, memang
aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup
kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku yang
terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu
denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok,
memperkosa, menghina... Suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin
kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikit pun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, di
waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap
malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah,
suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isteriku. Jangan kau kira bahwa aku pun tidak
peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampur-adukkan dengan
urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena
keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda mala-petaka.
Andai kata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam
perang, mana bisa kita membalas kepada seseorang?"
"Memang betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya. "Dan memang
aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan
Dinasti Tang, karena mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah
menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga
dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga...."
"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kau kira aku dapat melepasmu begitu saja? Sekali kita
berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang
pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."
Gin Lin memegang lengan tangan suaminya. Matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata
terharu, "Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali...."
Mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini,
wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya,
mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia
kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku
demikian.
Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah
lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampai mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut,
bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan
membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan
demikian berarti sudah menang perang?"
"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han
Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan
Paman kabarnya makin payah...."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Merah wajah isterinya ketika menjawab, "Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi
menyelidik ke kota raja...."
Kwee Seng terkejut. “Hemmm, kiranya isteriku ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara.”
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ. Kedua
kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang dipegangnya menggantikan kedua kaki untuk
berdiri.
"Paman...!" Gin Lin berseru girang.
"Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu," kata
Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.
Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata,
"Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."
"Tentu saja boleh. Silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."
"Tidak di situ, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya
sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"
"Paman! Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget.
"Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula.
Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?"
"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanilah, bantulah...." Ucapan
nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya.
Agaknya ia sedih sekali mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!"
Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin
berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata, "Kim-mo
Taisu, kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"
"Duduklah di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita
yang tentu akan mengganggu saja."
Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah, lalu duduk di
depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat
bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.
"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa mala-petaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut
semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua
dunia-kangouw.blogspot.com
kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha
membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para pemberontak."
Kwee Seng mengangguk.
"Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"
"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda Tang yang tentu
harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng sejujurnya.
"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan mala-petaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin
isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus
terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu
mengundurkan diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang
Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak
pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain,
akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku
kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama
empat tahun saja (947-951)!"
"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"
"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang
keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang?
Betapa pun juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan
Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan
musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah, Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah
kau membantuku?"
"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun
tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian. Dalam perang
tentu keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri
saya membalas secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itu pun hanya memenuhi tugas
mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Ada pun tentang membantu Paman, agaknya sudah
sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapasiapa
pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus
kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan
membantumu."
Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah kuduga kau akan banyak
membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara
mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan, Pouw-kai-ong si Raja
Pengemis baru yang jahat, Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauwkwi...."
"Ahh...?" tanpa sadar Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siauw-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi
tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam.
Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh
kakek sakti ini.
"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah
saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang
menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan
Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau
membantuku atau tidak menghadapi mereka?"
"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk
memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan...."
Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil
suaminya disertai pekik minta tolong.
"Celaka....!" bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari
ke puncak.
Kakek lumpuh itu pun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya
sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak. Dari jarak jauh ia melihat
isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut
panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di
tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu
pedangnya, dan isterinya yang memang kurang berlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan
bahaya.
"Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya
terancam bahaya.
Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan ke luar dan sudah mengancam hebat. Mendengar
teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya
terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun
terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan....
"Blessss...!" ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng
terlambat.
Melihat hal mengerikan ini Kwee Seng mengerang. Tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.
"Krakkk!!!"
Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang
yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat ke luar dan
otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih
menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya
sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur
karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap
terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya.
Gin Lin membuka matanya dan tersenyum. "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan
nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja
datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu
merangkul leher suaminya, mencium pipinya. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu...
Song..." tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada. Sejenak ia memejamkan mata, menahan napas. Kemudian
ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia
keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu
dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat tantangan Ban-pi Lo-cia
ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan
Kerajaan Han!"
Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah
surat tantangan! Ditanda-tangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara
Sungai Kuning di Laut Po-hai.
"Aku akan mencari mereka!" kata Kong Lo Sengjin dengan suara geram.
Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak
berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan
menemui mereka, biar pun mereka bersembunyi dalam neraka sekali pun!"
Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk. "Begitu pun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka
berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan
kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san.
Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika
mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Terdengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song
yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hancur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti
dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan....
"Ayah...?!" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke
atas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...!!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng
memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya.
Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung,
bersemedhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan
puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan.
Biar pun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita,
namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang
menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak
pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja
terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biar
pun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo
Sengjin dan isterinya.
Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi
sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore
hari itu Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya, hanya melihat Bu Song
yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab.
Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya
terharu ketika ia berkata, "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak
baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa
dilawan. Bukankah akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"
Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan
muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama
itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang
mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng
Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng
selamanya."
Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan
sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"
Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu
dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"
Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja, Suhu. Teecu mencinta Adik
Eng Eng."
"Mencinta seperti adik kandung?"
"Benar, Suhu."
"Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."
Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?"
Kim-mo Taisu memegang pundak muridnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti
seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"
Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini...
ini..."
“Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" Dengan hati perih Kim-mo Taisu
bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti
apa yang dialami mendiang ibunya.
Bu Song mengangguk. "Memang teecu... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani
mengaku...."
"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song. Kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"
Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia
mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu
menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan,
mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang
mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi.
Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini?
Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak
hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."
Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah?
Katakan padaku."
"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu
pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja...."
Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun
dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus
ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu ia dapat
memaklumi isi hati calon mantunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah
bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus
melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudahmudahan
sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi
mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?"
Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan
tenggelam berduka cita, Eng-moi pun turut bersusah hati sepanjang hari. Kalau Suhu tidak mau makan, Engmoi
pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis
setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."
Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu
Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan dan
kurang tidur! Jangan bohong."
"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung.
Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung
merana."
"Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"
Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau
tentang maksud suhu-nya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena
perubahan suhu-nya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat
mendaki sebuah puncak. Ia yakin tentu Eng Eng berada di sana.
Bu Song tidak tahu betapa suhu-nya mengawasi dari belakang, lalu menarik napas panjang dan berkata
seorang diri, "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari
bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian
isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan ilmu
silat dalam peristiwa ini!"
Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi,
menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan
tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya
bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.
"Eng-moi...!" ia memanggil lirih.
Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian
ia menangis lagi sambil berkata, "Koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri...,"
tangisnya makin menjadi.
Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri
seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu
maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut
merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku
melihatmu sehari-hari menangis begini...."
"Song-koko...!" gadis itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di
depannya.
Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia
perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya.
Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata,
pipi yang agak pucat dan kurus.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu,
akan menemanimu selamanya, Moi-moi."
Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan
Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata
dari pipi.
"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu.
Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan
kedua tangannya pada dada Bu Song. Biar pun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga
lweekang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan
memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi,
mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.
"Song-koko... apa yang kau lakukan tadi...??"
"...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."
"Engkau nakal!"
"Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.
"Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, sebab kau memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa
hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini
memandang marah.
"Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku...."
Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium,
melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu
mukaku bersih kalau mencium?"
Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di
puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan
adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!
"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."
"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar
lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"
"Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan
menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau bohong!"
"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi
gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh
gadis itu berdiri.
Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"
"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau janji dulu!"
"Janji apa?"
"Lain kali mau cium, harus bilang."
Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song
juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga
memiliki ginkang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah
Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu
tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan,
hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil.
Semenjak kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil,
karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak
dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang
harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya
perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng
Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai
seorang wanita! Seperti cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak
dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru
dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng
Eng sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak
jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata
mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai
paman ibu gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran.
Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo
Sengjin yang suaranya parau.
"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau
tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu
terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang
gagah?"
"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku,
tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan.
Kau lihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot
sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang
sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh kita sama. Nah, kau
pergilah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan
berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis. Bu Song tak berani
bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya
tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak
mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia
datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun
perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil
bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu
menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak
menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu
meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia neneknenek?
Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena
perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin menjadi wanita ternoda
dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang
mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang
gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu!
Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo
Taisu membentak marah.
"Aha, kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku
tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak
melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku
sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau
menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu.
Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira
bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan
membasmi musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu
bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah
menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha,
alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekali pun
engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila,
menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku,
memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah
kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak
ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah
mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya
terhadap asmara.
"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu
Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya.
Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu
kandungnya....
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru
setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak
keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang
menangis. Ada pun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata
guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit
ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke lereng barat
dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menegaskan. Ia mengenal Kui Sam si
pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam
perantauannya.
"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah
untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak
hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahuntahun.
"Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu
sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja,
mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang
akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barangbarang
itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah
kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah
menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia
pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak
berani menanti lebih lama lagi. Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke
dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu
girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau
barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ,
Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja
Bu Song menyampaikan semua pesan suhu-nya yang diterima baik oleh Kui Sam.
Bu Song kemudian bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman
berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?"
"Kebetulan sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu
kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang di antara penduduk Hek-teng yng mewakili
Kui Sam menjawab.
Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biar pun aku benar murid Suhu, namun aku bukan
belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh
orang?"
Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang
pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat,
tentu muridnya lihai sekali. Lagi pula kami bukan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."
"Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?"
"Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"
"Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum.
Pernah ia bersama suhu-nya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin
besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song
menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhu-nya segera menerangkan, "Bukan, burung itu
adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman
untuk bersarang dan bertelur."
"Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu
mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba dan dibawanya terbang
dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala."
Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang,
bagaimana kalian dapat mengejarnya?"
"Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang
sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya, tentu dia akan lari ketakutan
dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!"
Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"
"Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab
mereka.
Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan
di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu
pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum
pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.
Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan
kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan
dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang
bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati
mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di
puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.
Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba
terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi
gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang ke luar dari atas batu karang. Inilah si
Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.
"Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor.
Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke
bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar
seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan
mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang,
hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul
dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
"Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat secara
bersamaan mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru
kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.
"Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah.
Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan
tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk
ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan tetapi kibasan sayap yang besar dan amat kuat itu sekaligus
memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah!
Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka yang langsung roboh bergulingan bersama
orang-orang yang tertimpa. Biar pun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali burung itu menyambar,
akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan
mengacung-acungkan ke atas.
"Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol.
"Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama,
dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain.
"Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas.
Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah goa," kata Kui Sam.
"Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata.
Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main
menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. Ketika melihat penuh perhatian ke arah
puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali
karena tidak berbulu, matanya melotot.
Semua orang berdongak memandang.
"Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam.
Usul ini lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga
semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan
gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun
telinganya sehingga robek.
Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan
melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah
ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali,
maka begitu melihat anak burung itu tergelincir ke luar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima
burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima
dengan tangannya, ternyata sebesar bebek!
"Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras.
Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo
Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song
yang memegang anak burung itu di tangannya.
"Sekarang aku mengerti," kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya.
Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal
mereka bukan di sini."
Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan
menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat
dunia-kangouw.blogspot.com
anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk
menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas.
Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah
menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun burung itu tidak
menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang
ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.
Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah goa yang besar. Kiranya di dalam goa itulah sarang si
Rajawali karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya,
dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song
tertawa dan mengelus-elus kepala mereka.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh setumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar
kering. Ia teringat akan cerita suhu-nya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung
wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung
rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke
arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun.
Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas
karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak
kepada musuh!
Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan dan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia
segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah
jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia
sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya."
"Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang.
"Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang kedua.
"Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak
aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya
mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu
akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini dari pada harus bermusuh melawan burung ajaib
yang amat berbahaya itu. Untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"
Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke
puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang
gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup
menduda selama tiga tahun di samping puteranya, Kam Bu Song. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee
Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan
Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari
puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang
kehilangan Bu Song agak mereda, sungguh pun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya
yang sulung itu.
Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biar pun ilmu silatnya
tidak amat hebat, namun kepandaiannya terkenal sekali dalam hal mengatur barisan dan menggunakan siasat
perang. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih
besar bala tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun berkali-kali pihak musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat
dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal Kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan
dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si. Tadinya Li
Ko Yung ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai
ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun
kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa
Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak!
Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Akan tetapi pada hari ia
hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang
pasukan Khitan yang amat besar. Biar pun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li
Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka
ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya
yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki
berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian
Eng.
"Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung?
Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" antara lain isterinya memperingatkan.
"Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li,
melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi
tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."
Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan
yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat
jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian
terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka.
Pertama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong
itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka
menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan
kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia
mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat,
dibantu panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan
bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia
amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktuwaktu
kedudukannya dapat goyah karena Tayami adalah Puteri Mahkota yang sebenarnya. Ia mencari
kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.
Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, prajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua
hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan
sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biar pun bekas
Puteri Mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh
kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di
samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil.
Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besarbesaran
terhadap Shan-si yang digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan
memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang prajurit
yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan
tetapi isterinya merasa khawatir.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk
memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat
bahwa di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya.
Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut," demikian kata Puteri Tayami.
"Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."
"Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang
puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh."
"Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat, Yalina yang masih kecil."
"Dia anak kita, anak orang-orang peperangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan
berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah
penyerbuan ini, suamiku."
Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin
suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang
berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa
ini menyertai suaminya.
Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah
disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan
menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri
orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak
berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap.
Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai
di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami
menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong
puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang,
mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan
Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini
hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata
lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini
mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin
pasukannya.
Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan
Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan
sampai pula ke tempat itu. Pertempuran menjadi makin hebat, dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek
terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita
Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghancurkan kepungan.
Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu
pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat
agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada
pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan
musuh yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami roboh dari atas kudanya, bukan terkena
anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya
sendiri! Mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk
menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami!
Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan
melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja dan
mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa
dunia-kangouw.blogspot.com
membahayakan nyawanya sendiri. Puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu
saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan
selamat!
Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri
perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat
kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat
betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di
depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh
melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri
Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh!
Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya.
Setelah ia roboh, Puteri itu tetap memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi
Kuning. Robohnya Puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula
anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguh pun mereka
tidak takut.
Melihat musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari
depan dan kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan
dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang prajurit wanita biasa,
lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah
lapangan mendekati tempat prajurit wanita tadi roboh.
Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam
keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang
bersinar kuning dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia
merasa heran sekali mengapa seorang prajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan
keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar
kuning yang berada di tangan kanan mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah
puteri keturunan asli Raja Khitan, dan bahwa prajurit wanita itu adalah Puteri Mahkota!
Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si
dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke
atasan, mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak
kecil itu, anak Puteri Yalima yang kemudian dibawanya pulang.
Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang membawa seorang
anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati
isterinya.
"Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng," kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu.
Anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis.
"Siapakah namamu, anak manis?" berkali-kali Nyonya Kam bertanya.
Anak itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini. Akan tetapi agaknya ia cerdik dan mengerti
maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin... Lin Lin...!"
"Ah, agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya Kam gembira. "Baik, Nak. Mulai sekarang kau adalah anak kami
dan bernama Kam Lin!"
Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li
yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasajasanya,
maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya,
termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah sungai Han yang tanahnya subur
ini, ia hidup bertani dengan aman dan tenteram.
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
"Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh Ibu dan
membasmi keluarga Ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, Ayah!" dengan suara merengek
Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
"Tidak bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti. Aku sendiri belum tentu dapat melawan dan
menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut."
"Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa?
Nama baik lebih penting dari pada maut!"
Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali! Karena itulah maka aku harus pergi
menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama
baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga."
"Ayah...!!" tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti
mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau.
Kim-mo Taisu dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis
menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai
isterinya."
Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang
mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.
"Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal
perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar
ilmu silat sungguh pun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik dari
padanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia.
Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini.
Karena itu dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu
baru kalian menikah, dan kalau sudah begitu hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram."
"Ayah...!" kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.
"Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan
lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu
bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian.
Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu
Song."
"Ahhh, aku... aku malu, Ayah..."
"Malu? Malu kepada siapa?"
"...Siapa lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan kami... hanya berdua..."
"Ha-ha-ha, anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa malu?"
"Dulu lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis..."
"Sstttt!" tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri melesat ke depan.
Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.
"Kau...? Belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?" Suara Kim-mo Taisu
jelas membayangkan ketidak-senangan hatinya. Sebetulnya ia memang membenci kakek ini yang ia tahu
dunia-kangouw.blogspot.com
memiliki watak aneh dan tidak baik, sungguh pun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia
lahir batin kepada Kerajaan Tang.
"Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya mengapa
engkau belum juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang tiada gunanya hidup. Apa lagi
mempunyai cita-cita! Baru berniat hendak menuntut balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Hehheh,
Kim-mo Taisu, ingatlah. Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang pendekar,
sejak kecil engkau mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai, kau hanya menyembunyikan diri,
menjadi korban perasaanmu sendiri. Apakah engkau lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang
pendekar? Berbakti kepada negara tak pernah! Semenjak muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu,
patah hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi masih hidup tidak
mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa hidup lebih lama lagi? Hanya memenuhi dunia
belaka!"
Pucat wajah Kwee Seng.
Melihat ini Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia berkata kepada
kakek itu, "Kong-kong (kakek), mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu betapa hancur hati Ayah
karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi
meninggalkan kami!"
"Ha-ha-ha, Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan keluarga ibumu
seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu
oleh laki-laki yang kini menjadi Ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu
adalah seorang berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"
"Kong Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah kujanjikan bahwa aku akan
mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku
takkan melanggar janji. Mengapa kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"
Kong Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking tinggi. Lengking
tinggi yang aneh dan mirip orang tertawa, akan tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang
manusia, patutnya lolong serigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa. Tubuh Eng Eng
menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan mengerahkan sinkang untuk memperkuat
daya tahan puterinya. Kong Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala
dimiringkan, wajahnya tegang.
Suara melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo Taisu cepat
mendorong tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di sana!"
Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai.
Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang akan tetapi keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan
kedua tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara ketawa. Ada pun Kong Lo
Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat mengukur kelihaian orang yang
akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat tinggi
ilmunya. Karena belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil menduga-duga mereka menanti
dengan hati tegang.
"Heh-heh-heh-heh, Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!" terdengar
suara yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat jauh.
Kong Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil mengerahkan
khikangnya ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman atau manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah,
jangan main sembunyi dan menggertak seperti anak kecil!"
Baru saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncul di situ seorang
kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan
rambut riap-riapan dan cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu, pakaiannya
dunia-kangouw.blogspot.com
sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang matanya seperti mata harimau, berwarna
merah, sedangkan paruhnya runcing kuat berwarna seperti emas. Baik Kong Lo Sengjin mau pun Kim-mo
Taisu tidak melihat bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat ilmu
kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain adalah Bu Tek Lojin
yang pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak
mengenalnya, bahkan belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini.
Maka ia hanya dapat memandang dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan kakek cebol
ini dan mengapa datang-datang menuduhnya mengambil suling emas!
Kalau tadi Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia tertawa bergelak dan
menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi jenggotnya yang panjang, "Ha-ha-ha-ha!
Lucu sekali! Apakah kau sudah sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi, Kimmo
Taisu?"
Kim-mo Taisu menjura dan menjawab, "Lo-cianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan sekarang inilah
saya benar-benar gila."
"Huah-hah-hah! Betul..., betul sekali...! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu sepasang
senjata, kipas dan suling? Aha! Kalau begitu tentu kakek buntung ini merampas suling emas untuk diberikan
kepadamu!"
Kim-mo Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin yang dibiarkan
dan seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan
tongkat kirinya ke atas batu sambil berteriak, "Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau datangdatang
menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas berada padaku, apa kau kira
aku masih tinggal di tempat ini?"
"Kong Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong memang kau sudah terkenal
jahat. Kini engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan.
Siapa tidak tahu bahwa engkau telah membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya,
kalau dia terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo kembalikan kepadaku
kalau kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"
"Sombong!" kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya. "Kau berani bicara macam ini di
depanku?"
"Ha-ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah dipensiun!
Pelarian yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali kalah dan keok dalam memperebutkan
kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku
suling emas!"
"Orang gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal dan marah.
"Ho-ho-ha-ha! Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang
membunuh sastrawan Ciu Bun."
"Betul aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku, juga tidak ada
padanya."
"Wah-wah engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan marah.
Kim-mo Taisu sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat aneh wataknya, maka
segera ia berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau
menyangkal perbuatannya. Kalau dia mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu. Hayo kalian lekas
keluarkan suling itu sebelum aku habis sabar dan main paksa...."
"Setan keparat! Siapa takut padamu?" tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar datang, tongkat kirinya
terayun mengemplang kepala kakek cebol itu.
Hebat serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah, tapi tidak keburu. Namun
kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya. Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu
menyambar angin dan tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang
besar!
"Celaka...!" Kong Lo Sengjin berseru kaget.
Cepat ia mengerahkan tenaga menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir balik dan dapat
turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya terengah, perutnya terasa panas
biar pun hanya terkena sambaran hawa serangan yang keluar dari kepala kakek tadi. Ia tahu betul bahwa
andai kata ia tadi kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala si Cebol, tentu nyawanya takkan tertolong
lagi!
"Ho-ho-ha-ha! Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo kalian maju
berdua!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua
tangannya melancarkan serangan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin
pukulannya sudah terasa amat hebatnya.
Kim-mo Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang terpaksa ia melayani.
Pula ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam
hal ini kalau terjadi pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya pukulan
yang amat ampuh, Kim-mo Taisu yang sekarang merasa sudah kuat hawa saktinya sengaja menangkis sambil
mengerahkan tenaganya ke arah tangan.
"Dukkkk!!!" dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu.
Kuda-kuda kaki Kim-mo Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tubuh
kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini
terlempar karena kalah tenaga. Sama sekali bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih
berpengalaman dari pada Kim-mo Taisu.
Melihat Kim-mo Taisu berani menangkis dan menghadapi pukulannya secara keras lawan keras, kakek ini
sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu memiliki tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula
melihat sepak terjang Kim-mo Taisu. Maka ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping menggunakan
tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga gempuran itu untuk membuat tubuhnya melayang.
Melayang bukan sekedar melayang, melainkan melayang ke arah Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi
tubuhnya melayang itu!
Kong Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman. Maklum bahwa pukulan
dari udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh
ini lalu mengangkat tongkat kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil
mengerahkan tenaga.
"Aiiihhh!" si Kakek Cebol berseru.
Tubuhnya yang masih melayang di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan seperti seekor burung saja
tubuhnya sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu saja hal ini membuat
Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan dua tongkat yang di
pegangnya. Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya seakan-akan
seperti orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia tentu saja menjadi repot.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan memukul tanah. Tenaga
pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena
agak terlambat dan kalah duluan, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu
Tek Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh terguling.
"Hua-ha-ha-ha, bagus... bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan menepuk-nepuk kedua
pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek si Kakek Lumpuh.
Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu yang sudah sempat memperbaiki
kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan jurus yang amat aneh dan cepat. Kelihatannya kedua
lengannya itu tidak mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang menari saja, akan tetapi begitu dekat
dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek
cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan kosong, akan tetapi
kekuatannya dapat merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.
Biar pun Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi ilmu seperti ini,
maka ia terjebak dan mengira si Kakek Cebol hanya main-main dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka
ia pun hanya menggunakan kegesitannya mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang
berat. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa
dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi
tubuh lawannya tiba-tiba miring seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya!
Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat.
“Brettt!” terdengar suara dan ujung baju Kim-mo Taisu telah robek dan hancur kena sambaran pukulan sakti si
Kakek Cebol.
"He-he-ha-ha!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena dalam dua
jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua orang lawannya.
Mendongkollah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja
melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka
kedua orang itu sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan enakenak
saja.
Bu Tek Lojin melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu
sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu
mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang
senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo
Taisu jarang menemui tanding!
Akan tetapi si Kakek Cebol masih enak-enak tertawa, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu yang
sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu akan pertempuran itu.
"Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau
memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap
kau orang tua suka pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya
ini."
"Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau
sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut? Heh-heh-heh!"
Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak
takut. "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak
tahu menahu tentang suling emas yang kau tanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak
menyimpannya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan hidup!" berkata demikian
Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada
bagian berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat.
Kembali tubuh si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat samping tongkat, mendekati Kim-mo Taisu
dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu menggerakkan kipasnya dan dengan
menutup kipas ia menyambut tendangan itu dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah
gerakannya itu telah menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik. Kini ia ganti
menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan secara mendadak! Angin menyambar
hebat dan biar pun kakek lumpuh ini sudah bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya
bergoyang-goyang seperti pohon besar tertiup angin.
Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek
cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan. Burung hantu itu
mengeluarkan suara keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang
mengeroyok majikannya!
Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia
adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw. Dalam perang mempertahankan dan membela
Dinasti Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi
sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian
belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus!
Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk
membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula ia
memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa.
Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara dentangdenting
yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang
suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa
sekali. Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air dingin.
Yang hebat adalah kakek cebol itu. Matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti
orang ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar,
"Dia datang...! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"
Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia
takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar
akan nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini
merupakan modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi
melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin jeri.
Tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.
Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya lalu melompat ke luar dari tempat
sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar
berbahaya sekali...," katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke
kanan kiri, pandang matanya mencari-cari.
Suara denting tadi masih terdengar terus, makin lama makin jelas. Eng Eng yang mendengar ini
membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat. "Ayah, kau dengarkah itu? Suara yangkhim
di tengah hutan! Siapa gerangan...?"
"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci.
Mari kita menyongsong beliau."
Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa
melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang
ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.
Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik
memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan
mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan
sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang
membaca doa.
Bahagialah kita sesungguhnya,
tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada penyakit di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biar pun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!
Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi
nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang
hanya tampak punggungnya saja itu.
Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda dari pada tadi,
akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
Penyelesaian kebencian besar yang masih meninggalkan sisa dendam,
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana memegang teguh perjanjian,
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu,
namun orang baik selalu dibantu!
Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama
Buddha, ada pun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo
Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan
keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir.
Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti. "Terima
kasih atas nasehat-nasehat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"
Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar,
tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu.
Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil
menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mukjijat dalam tubuh manusia, sudah
melatih diri dengan sinkang, lweekang, khi-kang, dan ginkang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas
batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti
berhadapan dengan ilmu sihir!
Kakek tua renta itu wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu
seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya. Sejenak kakek itu memandang Kim-mo Taisu,
kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik napas panjang dan berkata perlahan, "Segala sesuatu pun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu!
Namun kewajiban manusia untuk berusaha....."
Setelah berkata demikian, matanya bersinar dan wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu.
Dengan tenang tapi ramah kakek itu menegur, "Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak
bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah
menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu menempatkan diri sebagai
orang yang telah sadar dari pada segala ikatan karma."
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata, "Siansu, dalam pertemuan kita
pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun,
Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati
Siansu dengan memilih jalan gelap."
Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu
tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka
tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi, maka tidak pernah menghutangkan. Jalan
terang atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya
gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo Taisu menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi
sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya
semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya
akan saya isi dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak
orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh
bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuktumpuk
dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas
seorang gagah untuk membela negara?"
Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan
negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan
tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda,
Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta
kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaankerajaan
Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga
bangsa lain? Siapakah yang benar di antara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah
yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja.
Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan
karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada
hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah
yang sesungguhnya benar?
"Siansu, mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini
bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa
tak senang karena agaknya si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang
sudah roboh.
Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian
ia menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk berusaha, namun Tuhan berkuasa menentukan.
Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya,
ini berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja
untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia
hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus
ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar
dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini
tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas
dunia-kangouw.blogspot.com
tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah
memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan
baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia
ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu?"
"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah
dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekali pun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri
karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas
Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang
jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan
kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasehat,
marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu
takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang menyeleweng dari pada
tugas hidupnya tanpa ia sadari!"
Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapa pun juga, saya harus
melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu
jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap
Siansu."
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak menderita, isteri dan semua
keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling
bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."
"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."
Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. "Seorang
manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti
terjadi, tiada kekuasaan di dunia mau pun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi dan
turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Suara nyanyiannya terdengar makin
perlahan dan akhirnya lenyap.
Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan
puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat.
"Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasehatnya dan ikut pergi dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah dia, Ayah?"
"Dia seorang yang bahagia, Anakku. Seorang yang sudah dapat membabaskan diri dari segala-galanya, dia
disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."
"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek Cebol dan Kong-kong yang sakti lari
ketakutan?"
Kim-mo Taisu tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur
sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya,
terutama sekali karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci,
dan selalu mengulurkan tangan kepada siapa pun juga, tidak peduli orang baik mau pun jahat. Inilah yang
membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat
sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan
urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut
diturut nasehatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke
pondok sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak
sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan perang. Akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat
pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi
sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng. Seperti telah kukatakan
tadi sebelum datang gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini
bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."
Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shansi
di mana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang
kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh
Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang di antara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan
mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan
mendapatkan kedudukan.
Sementara itu Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song,
menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka
dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti
saudara atau kakak sendiri.
Sejenak ia tersipu-sipu ketika teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya, biar pun
bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak.
Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini,
gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali
ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak
beres pada rambut atau pakaiannya.
********************
Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah.
Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi
mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di dalam istana ini mulai membosankannya. Kini hatinya risau.
Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka hatinya,
hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat
merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan
akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam sunyi
kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.
Memang tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir hanya
akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir hanya indah apabila dikejar dan belum
dapat diperoleh. Namun, sekali berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, malah menimbulkan
bosan.
Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung dari gangguan
angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda
hatinya, rindu kepada puteranya! Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat
puluh tahun lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu hatinya untuk dapat
berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan
puteranya dan penyesalan menusuk-nusuk hatinya.
Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak
sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang
berilmu tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.
"Aku harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa
tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itu pun
hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia
kini merasa rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini
maklum bahwa usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi pasti ia akan diseret ke jurang kematian yang
tak dapat dielakkan lagi. Biar pun ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan
muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.
"Bu Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi buah bibir orang. Betapa sebagian
besar orang kang-ouw memusuhinya.
Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman dan kuat. Sukar bagi
musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam istana di mana ia mempunyai banyak teman dan
pembela, bahkan andai kata ia berada di luar sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya.
Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali. Bagaimana perasaan
puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila
laki-laki dan suka mencari musuh?
Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki yang baik oleh ayahnya,
Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi
kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!
Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar dari pada lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh
jauh di luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia
menarik napas panjang. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya
sama sekali tidak ada permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu
dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan.
Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikutpengikut
yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut
setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan
untuk membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela
Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut
keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?
Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat
mengatasi perusuh-perusuh itu, atau andai kata para pengawal itu kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee
yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun
tangan menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.
Sebetulnya, baginya sendiri ia tidak peduli akan keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi ia ingat
akan kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biar pun
suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang
datang, ia tidak ambil peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat
melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya riapriapan,
mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang. "Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengahengah.
Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya,
berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah
mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah, padahal terang
bahwa selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang
datang menyerbu.
Ia menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee, melainkan marah
karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat ke luar
dari kamarnya setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh
dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di tempat
pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja!
Lawan itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan
keadaan di situ pun tidak terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan
hanya mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian
berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke
dalam jurang yang tak tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas
sehebat itu hanya Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat
mengenal.
Karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi
girang dan cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"
Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok
seorang laki-laki berpakaian putih itu mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh
pemegang kipas yang lihai ini, dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat
mereka mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.
Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan
bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu
terarah ke muka mereka, Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah tampak agak tua,
akan tetapi masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati.
Kwee Seng? Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu berhadapan,
terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian. Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan
merindukan kampung halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia
menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa kegembiraan mendalam yang
belum pernah ia rasakan.
Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri
dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah
menawan hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan
Lu Sian di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu
Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah
sejak hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun,
akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?
Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu,
melainkan hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak. Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini
tentu sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!
Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak
saling serang. Bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke
atas genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itu pun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya
gerakan mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kimmo
Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya
menyambar, "Kwee-twako, kau ikutlah aku!"
Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang
menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim
pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi
kalau ia dapat bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga
melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! Sama sekali tidak boleh dikatakan
kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh
tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu ginkang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng
Tan Hui.
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil
mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat
kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu
betul bahwa Kwee Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat
mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!
Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan
yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan
yang muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak mau pun bicara sampai lama sekali.
"Kwee-twako...!" akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari menubruk
dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di dadanya.
Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki
itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. Semua rasa
kasih sayang yang bebas dari pada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini.
Selama ini ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan permainannya sehingga ia merasa muak dan
bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang mulus dan murni di samping perlindungan seorang pria.
Kini ia sadar bahwa andai kata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya tidak akan serusak
sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia?
Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama
ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosa dan penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua sepak
terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng
membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu
menegang, kaku dan dingin.
Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana.
Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! Jadi kedatangan Kwee Seng
adalah untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara
ketus. "Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi
aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? Lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"
Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah
merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia
menjawab, "Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."
"Kwee Seng...!!"
"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu Sian memang keras. Biar pun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak
pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu
bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada
keinginan hatinya untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih
ini.
"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang
lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo
Taisu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu
dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah mereka?"
"Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama
sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"
Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu
terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikit pun
juga pada diri Lu Sian, pikirnya.
"Hik-hik! Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara
engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang
hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai
permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan
dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi
aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan
perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu
merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau
marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu
apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biar pun ada seratus
orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina
itu sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."
"Siluman betina itu adalah isteriku..."
"Ohhh...?!?" Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang
suram muram itu.
Rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa.
Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil
menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo
Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis terisak-isak, kini
ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.
Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang
bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih
cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan
khas dari tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan seorang yang
mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan
dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia
mengeraskan hati dan meramkan mata.
"...ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan...," suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu
membuka matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil, mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita
itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti
orang menangis!
Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk
mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi
itu. Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakanakan
berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia
lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.
Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya
menantang. "Kim-mo Taisu, andai kata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"
Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah
tertawa seperti itu.
"Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu,
yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang
berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan.
Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku pun tidak takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam. Sekali
tubuhnya berkelebat, ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu. Cepat dan kuat sekali
serangan ini, tak boleh dipandang ringan.
Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata, "Kalau kau yang
menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu, Tok-siauw-kwi."
"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!" Lu Sian
membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya
gerakannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu
dan gulungan pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang.
Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak
mengimbangi serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan
kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan
melampauinya! Yang jelas, dalam hal ginkang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya
luar biasa sekali.
Ia sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena
perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu
Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu Kimmo
Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai San-hoat untuk
menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. Gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia
dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat
kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.
Lu Sian menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan tangguh, akan
tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang
dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini
seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat
membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan
mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam
jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah
muncul mengusir kabut pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai
membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.
Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya,
rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kimmo
Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah
mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti Merampas Semangat),
biar pun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang
lawan yang kurang kuat sinkang-nya!
Apalagi serangan rambut itu. Hanya seorang yang sinkang-nya sudah luar biasa hebatnya saja mampu
mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga
mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini
benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya
secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung.
Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam itu.
Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat
pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk
melepaskan diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!
Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak
terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum
bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar. Cepat tangan
kirinya mencengkeram ke arah pedang, sebab lebih baik mempertaruhkan lengannya dari pada membiarkan
tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi gerakan pedang itu sudah lebih cepat dan....
"Breettt!" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya!
Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga
sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih. "Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau
membunuhku?"
Panas hati Kim-mo Taisu. Memang dalam gebrakan terakhir tadi ia telah menderita kekalahan. Akan tetapi
kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah dikalahkan dan telah diampuni pula! Mukanya
agak merah, tapi suaranya tetap dingin ketika ia menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh
isteriku, kau tetap akan kubunuh!" setelah berkata demikian, ia mengeluarkan guci arak dari punggung,
menuangkan arak ke dalam mulut dan menggelogoknya, kemudian ia melangkah maju.
"Hemm, kau masih belum mau mengaku kalah?"
"Sebelum kau bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu terus dan tidak
akan mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kau jaga ini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang
maju, gerakannya hebat sekali.
Ia merasa penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu Sian, maka kini pendekar ini
mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua kepandaiannya. Setelah ia mainkan dua macam senjata,
kini gerakan-gerakannya hebat bukan main. Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Patsian
Kiam-hoat, sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam senjata dan dua macam
ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang amat serasi dan saling bantu, benar-benar amat hebat.
Inilah ilmu kepandaian inti dari Kim-mo Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini jauh lebih
masak karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di dalam Neraka Bumi.
Lu Sian juga merasa penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini dari pada bahaya maut. Mengapa
masih begini nekat? Akan tetapi ia pun kini merasa terkejut menyaksikan kehebatan serangan lawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ia menggerakkan pedang dan rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya
ketika rambutnya selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu mengeluarkan kebutan yang
luar biasa sekali.
Sedikit pun ia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu menggerakkan
kedua senjatanya yang aneh. Betapa pun ia berusaha dan mengeluarkan pelbagai ilmu silat termasuk ilmu
tendangan dan ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab yang ia curi, tetap saja semua itu berantakan menghadapi
perpaduan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai san-hoat! Betapa pun ia berusaha, tetap saja ia selalu harus
mempertahankan diri dari serangan Kim-mo Taisu yang menggelora datangnya. Dengan gemas Lu Sian lalu
mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik melengking lagi seperti tadi, malah lebih hebat lagi
sekarang, kemudian rambutnya menyambar menjadi puluhan gumpal menuju ke arah semua jalan darah
lawan.
"Bagus!" seru Kim-mo Taisu.
Memang serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang halus tebal itu terpecah menjadi banyak
gumpalan dan setiap gumpalnya kini menotok jalan darah dengan kuat dan cepat!
Kim-mo Taisu juga mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu Sian,
kemudian tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah angin menderu-deru yang
berpusing-pusing di sekitar mereka sehingga gumpalan-gumpalan rambut Lu Sian menjadi kacau balau
gerakannya, tersapu angin yang kuat ini, bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri!
Lu Sian kaget dan marah sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah kipas yang
mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang ampuh dari lawan ini. Akan tetapi
begitu pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu membuat gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula
terputar-putar, dan akhirnya tanpa dapat dicegah pula pedang itu terpaksa ia lepaskan, karena kalau tidak
tangannya bisa terluka hebat atau salah urat.
Pedang terlepas dari tangan dan menancap ke atas tanah, sedangkan kipas dan guci arak sudah menyambar
ke arah dada dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan kipas, akan tetapi agaknya tidak mungkin lagi
menghindarkan hantaman guci arak yang menuju kepalanya, terpaksa ia meramkan mata menanti kematian.
Akan tetapi hantaman tak kunjung tiba!
Lu Sian membuka matanya dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut Kim-mo Taisu yang
sedang menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki kerongkongannya. Ada pun pedangnya masih
menancap di atas tanah dan juga kipas lawannya menggeletak di dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah
sekali. Jelas bahwa dalam jurus terakhir tadi ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya terancam.
Jelas pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja membebaskannya. Kekalahan dan pembebasan ini merupakan
penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia menelan kekalahan.
"Kim-mo Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari
keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!" Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul
rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa
mengejek.
"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi engkau
hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"
Lu Sian mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kau kira pasti akan dapat menang?
Sombong! Kau terima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulanpukulannya
bertubi-tubi, sangat cepat namun mengandung tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Kim-mo Taisu cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam
mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut Lu Sian setelah wanita
ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi
sebagai musuh sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain keharuman
dunia-kangouw.blogspot.com
yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian kini meningkat secara luar biasa sekali,
sudah setingkat dan seimbang dengannya.
Kini pun dalam ilmu silat tangan kosong ia sama sekali tidak boleh memandang rendah, apalagi setelah
merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan kecil itu
mengeluarkan uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita
itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun
(Tangan Kapas Sakti) yang ia mainkan dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang
keluar dari tangan Lu Sian.
Biar pun kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru dari pada
tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka
kadang-kadang amat cepatnya, berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang
mereka bergerak amat lambat dalam mengadu tenaga sinkang. Karena kini mereka hanya mengandalkan kaki
tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar dan lebih banyak sehingga mereka berdua
makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk
mengalahkannya, sungguh pun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini
sudah mengalah terhadapnya.
Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi
Lu Sian bahwa betapa pun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam
hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang
betul-betul kalah atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk
mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut
yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke depan.
Kim-mo Taisu terkejut mendengar deru angin pukulan dan merasakan hawa panas yang hebat. Karena ia pun
sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan.
Maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.
"Plakkkk...!" dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat.
Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling
membuyarkan. Kini karena kelelahan mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi. Kedua tangan mereka yang
saling menempel itu lebih disebabkan oleh kelelahan mereka, seakan-akan dengan begitu mereka dapat
beristirahat, karena dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling
menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.
"Kwee Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua
tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.
"Aku pun lelah, kau hebat sekali..." kata-kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.
Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa
bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik
seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian asmara!
"Kwee Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."
"Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"
"Kwee Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kimmo
Taisu.
"Hemm...??" juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.
"Cantik sekalikah isterimu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi
pekertinya...."
"Uuhhh...!" Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia dimaki
bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong
sekuatnya sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu
juga cepat mengimbagi dorongan lawan.
Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo
Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut
membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan
kepalanya mencium tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak
tertahankan lagi!
"Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap
mengirim pukulan terakhir.
"Kalau aku yang menyuruh kau mau apa? Andai kata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia!" jawaban
ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil
mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian.
Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke dada Kim-mo Taisu.
Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat
indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru.
Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan
ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua telapak
tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan akibatnya Lu Sian terhuyunghuyung,
mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia
tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh miring.
Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim
pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut
dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian
berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!
"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum
bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. Wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya,
bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini. Bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu
Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya?
"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan giginya.
Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan
bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri,
bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapa pun juga. Kalau
ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kau katakan demikian sejak
malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.
Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin
hebat...," tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar
lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam
yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk
bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan
mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari
tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di
punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap
mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu
kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di
dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup, Kwee-twako..." katanya lirih.
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, saling
berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas
ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai
mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam
jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.
"Panjang ceritanya...," ia berkata setengah mengeluh.
Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang
menjadi sebab dari pada semua pengalamannya itu. Ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada
wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han?
Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi
isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"
Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat ke luar dari pelupuk matanya.
Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam,
kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya.
Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping
suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak
dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya...."
Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian
terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak lari ke mana kau sekarang?!"
Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada
pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka
membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara
belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai
dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!
Ada pun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini
selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan
istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya. Maka ia lalu
meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang
melintang di depan dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itu pun tidak suka
bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu
Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau
dunia-kangouw.blogspot.com
dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar
pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum, bahwa biar pun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun
mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi pada saat itu Lu
Sian baru saja sembuh dari luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka
pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang
mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam
keadaan para pengeroyok itu. Ia maklum bahwa andai kata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih
lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita
itu roboh.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang
pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian. Akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin
pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak
makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biar pun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa
saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental
ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah
duduk bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila
telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara
mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur,
"Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang
kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kongthong-
pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kangouw,
dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat membenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya
kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin
hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan
matanya?
Dengan sikap tenang berwibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu
berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan
kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja sehingga terjadi pertandingan yang
tidak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku)
maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!"
"Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina
itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu maka semua orang ini tentu akan
tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia
pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka ia pun berkata, "Pertandingan mencari kemenangan karena urusan
pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan
antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan
kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan
toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu
sungguh menyimpang dari pada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo
Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
"Akan tetapi kebenaranmu itu sendiri menyeleweng dari pada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar
kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang
membalas, bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai yang dibenarkan oleh semua
temannya. Sikap mereka mengancam.
Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak
mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali
tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku
tetap menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang orang yang sedang
terluka!"
"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, kapan dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala
perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini,
jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya
peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu
berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bambu! Saudara-saudara hendak membasmi siluman,
masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih
dulu, biar kami bantu!" suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di
tempat itu.
Kim-mo Taisu tidak mengenal mereka. Akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan
tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia
teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja
Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis
Pouw?"
Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat
memang gerakan mereka. Cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambil
membuat gerakan memutar sehingga terbebas dari pada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka.
Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua sudah maju pula
mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila
meramkan mata!
Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar
laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang
mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda
angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi
wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka
berdua.
Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat dari pada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan
Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan
kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada
yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga.
Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan
tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa
dunia-kangouw.blogspot.com
dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya.
Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan
kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia
pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok orang yang telah terluka. Apalagi
setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang
begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek
pengemis itu pun lihai sekali. Andai kata Kim-mo Taisu belum kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian
selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biar pun ia
masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya,
tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang
pengemis itu berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang
pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan
orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima
sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai.
Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andai kata orang lain yang terkena agaknya tentu
akan pecah lambungnya. Akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekang-nya ke arah lambung
hanya terlempar saja, dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapa pun juga, ia masih
mampu melompat berdiri. Sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang
pengeroyok.
Pada saat itu Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu
terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah. Lu Sian mengeluarkan suara
melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan
selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para
pengeroyok. Pada saat bersamaan tangannya bergerak, dan dengan jari-jari terbuka menampar dua orang di
sisi kanan kirinya yang langsung memekik ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya
pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika.
Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak
keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan
melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan, sedangkan Lu Sian berdiri di
sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak
bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari
pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh
Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah
menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti dari pada
keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu
mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kimmo
Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan
tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
********************
"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng.
Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan
tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia
pergi disuruh suhu-nya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan,
atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang
gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhu-nya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa
sekarang tidak ada?
"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil
lagi ke empat penjuru.
Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol,
lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika suhu-nya menyuruh ia memanggil
Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika
gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak.
Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam
bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk.
Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan
kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohonpohon
besar. Kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya. Ia teringat dahulu pun ia
tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok,
mengambil sebatang suling bambu dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.
Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar
memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhu-nya Kim-mo Taisu saja.
Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekali pun
kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun
gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng
dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak!
Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan.
Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik.
Suhu-nya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu, yang oleh suhu-nya disebut
Puncak Api. Pernah suhu-nya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar
sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor
apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang
indah ini.
Benar seperti dugaannya, hutan bunga itu pun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin
bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan
melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak
suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam
lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat
batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih, merah dan hijau tampak di
dasarnya.
Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang
ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para
sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo
Taisu dengan heran mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya dalam hal meniup suling lebih baik dari
pada bakatnya sendiri. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup
suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis.
Pendeknya, suhu-nya ingin menurunkan semua kepandaian bun (sastra) kepadanya. Semua kepandaian
seorang sastrawan dimiliki Bu Song!
Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari
di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main
dengan ujung rumput hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan
dunia-kangouw.blogspot.com
pohon-pohon cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang
merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat
menahan hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling.
Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu.
Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh menangis menanti datangnya
hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini
Bu Song mempunyai pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh perasaan,
sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu.
Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak
berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung.
Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan
kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera menoleh
dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya,
menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan
sedang menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air jernih.
Bu Song tersenyum dan merasa heran, mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar
pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi
sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng
dari belakang, lalu berhenti dekat punggung gadis itu.
"Eng-moi...," panggilnya lirih.
Kedua pundak Eng Eng bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak menjawab, juga tidak
menoleh. Mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya
sendiri.
"Eng-moi...," Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu, lalu tertawa karena
mengira gadis itu masih saja mempermainkannya.
Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya. Bu Song terheran. Ada apalagi
gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng bersikap seperti ini.
"Eng-moi, kau kenapa...?" ia bertanya, kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh
gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua
tangannya masih ditutupkan di depan mukanya yang menunduk.
Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang
gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit
muka yang merah sekali, merah sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tibatiba
ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata
olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu, halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak
menangis, akan tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu?
"Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini, mengapa
kau menutupi mukamu? Eng-moi, kau pandanglah aku...."
Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih
menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum.
"Moi-moi kau pandanglah aku, mengapa kau tidak berani memandangku? Kau... kenapa, Moi-moi...?"
tanyanya heran dan mulai gelisah.
Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song. Gadis ini menjawab tanpa mengangkat muka,
"...aku... malu, Song-ko..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Malu? Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?"
Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song dan menggigit bibir, lalu
berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang...
bahwa aku dan engkau... ahh...!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia
kembali menunduk.
Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng. Ia tertawa dan berkata, "Tentang perjodohan kita...?"
Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti
kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari sembunyi...."
"Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng. Jari-jari
mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan
diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.
"Mengapa malu?" Bu Song mengulang.
Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak,
"Ahh... malu ya malu....!" Lalu ia membuang muka.
"Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah perasaanmu
seperti yang kurasakan?"
Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan
Bu Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan saling menjenguk isi
hati masing-masing. Dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati. Kemudian Eng Eng
menunduk perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang
bidang!
Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke
dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian
pula Eng Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara
lagi, terayun dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai mimpi
indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut
kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu
mereka saling pandang penuh kemesraan.
"Eng-moi...," akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari
biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra, terbungkus kasih sayang yang membuat
hatinya sendiri menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil,
kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak
mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus
berpisah, hatiku serasa ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu kita dijodohkan! Alangkah
bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan
kebahagiaan seperti yang kurasakan."
Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moimoi!
Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita...."
"Bagaimana...?" Eng Eng mendesak tak sabar.
"Kita lalu kawin!"
"Ihh...!" Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal.
Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.
"Song-koko, kemarin dulu itu...."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya...?"
"Ketika kau... kau menciumku...."
"Ya, mengapa...?"
"Kau sudah tahu tentang... tentang perjodohan kita?"
Bu Song tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah
karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan...."
"Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan
memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!"
"Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri
segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil engkau sering kucium?"
"Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang...."
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"
Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi
tangan itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadi pun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapa pun besar
cinta kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup menghormatimu, aku menghargaimu dan aku
tidak akan merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa...."
"Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kau
lakukan di dusun tadi."
Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang
burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak
burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu.
Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah burung
yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Di sana itu, bukankah itu hek-tiauw (rajawali
hitam)?" Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu
terbang melayang-layang amat gagahnya. Biar pun karena jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda
dengan burung-burung lain.
Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri dan berkata,
"Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.
"Eh, Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar, akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat
bukan main.
Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu ginkang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh.
Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan
berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita...."
Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke
arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi
karena amat berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan
puncak, ia tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andai kata benar-benar ada bahaya,
dunia-kangouw.blogspot.com
ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka
tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isyarat dengan tangan
supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.
Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhu-nya, dan ia tahu pula bahwa
tidaklah percuma suhu-nya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhu-nya seorang sakti yang
bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng
dan ia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat
mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus
mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah
hutan yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan agak
gelap.
"Eng-moi, tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke
dalam hutan.
"Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.
Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar
jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri
dengan bingung. Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena
pohon-pohon besar itu berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng!
"Eng-moi, di mana kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang
menjawab dari semua penjuru!
Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri
melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas pohon. Kepala
ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan
bengis. Agaknya binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan tubuh menggigil Bu
Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi.
"Eng-moi...!!" Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari.
"Song-ko...!!" tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan itu.
Bu Song terkejut dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu sambil memanggilmanggil
nama Eng Eng, tidak peduli lagi akan kelelahan kakinya. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar
menjawabnya lagi. Selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan,
mendadak terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat
lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu
karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan
seekor binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada
yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang.
Gadis itu kelihatan lemah dan lelah.
Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat menduga
bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan
dua di antara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak.
Bukan main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya.
"Eng-moi....!" Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali
tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan yang baik dalam pertandingan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu Eng Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram
dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya terguling
roboh!
Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng.
Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak
dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya terhuyung ke depan. Pada saat
itu pula tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat.
Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia
melompat lagi sambil membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di
pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri
dan takut, gadis itu telah pingsan.
"Binatang jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari belakang,
berniat hendak merampas tubuh Eng Eng.
Biar pun gerakan Bu Song kaku, namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar dan kuat.
Sayang ia tak pernah belajar silat maka terjangannya itu pun kurang cepat dan biasa saja sehingga kembali
binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu berhasil
mendupak dada Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras untuk
membuat tubuh Bu Song terguling-guling ke belakang.
Namun Bu Song bertubuh kuat. Cepat ia sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan menubruk dengan nekat.
Ia berhasil menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung menjepit lehernya dalam usahanya
mencegah si Monyet melarikan Eng Eng.
Monyet itu menggereng, meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya terlalu
besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya. Di luar kesadarannya, dalam keadaan
penuh kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat
latihan pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat.
Sayang sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak dapat melanjutkan
perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu
dan merampas Eng Eng. Kini dengan bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya tetap menjepit leher monyet besar.
Sebaliknya binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian.
Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin
merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng.
Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia
melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh Eng Eng. Siapa kira monyet itu cerdik dan cepat sekali.
Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song terpelanting karena perutnya dihantam
sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan
dipanggul terus dibawa lari.
"Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar.
Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak
mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak
Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar
seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. Namun Bu Song tidak gentar dan terus
mengejar, walau pun ia mulai tertinggal jauh.
Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan
melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah
bawah. Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas
meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak.
"Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar
turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng.
Hajar monyet busuk itu!"
Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula
bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan
ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itu pun bukan
binatang sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam.
Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet,
kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp... kraakkkk!" sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robekrobek,
tulangnya patah-patah!
Monyet itu memekik keras. Karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu,
tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat
pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ
amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan
hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik
sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan
banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik,
kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu,
terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas. Andai kata rajawali
hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu.
Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak
menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu
terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyetmonyet
itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di
bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh
dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa
puncak ini tampak kemerahan seperti api yang menyala dari jauh. Namun pada saat itu perhatian Bu Song
seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan
cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi... Eng-moi...," Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat
gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan
pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan
merangkul Bu Song, kemudian berkata, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?"
Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan
berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding
dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?"
Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa
kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian
merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin
dunia-kangouw.blogspot.com
dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang,
ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa
sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya
terbelalak memandang ke depan.
Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri
pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu
merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah.
Taringnya yang putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh
ancaman.
Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau
sembunyilah!"
Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu,
sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu
ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia
melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri dari pada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum
kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang
meruncing ke arah pundak Eng Eng.
Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki
ilmu kepandaian yang lumayan sungguh pun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu
besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat
mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya.
"Bukkk!!"
Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras,
akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali.
Akan tetapi monyet besar itu pun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan
gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam.
Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang
itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti. Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi
melawan binatang liar ini sudah melompat maju. Karena si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam
pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya,
sedangkan lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song, namun
ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri,
mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh
monyet raksasa yang memekik-mekik marah.
Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biar
pun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah
memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia
mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan
ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!
"Koko, lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu
bergulingan dekat jurang yang curam.
Gadis ini loncat mendekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia
terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang
mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang,
maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang.
Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang
Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat
tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang
baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus
menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan
tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk
jurang.
Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song
berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah
mempergunakan sinkang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya
sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke
dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang
turun dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng
Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang
mengerikan.
"Koko...!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam
ini telah pingsan!
Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk
menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya
mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...! Tolonggg...!!"
Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat dari pada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih
cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang
lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi
bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. Melihat ke bawah Bu Song
merasa seakan-akan bukan mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang
melayang ke atas menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!" Ia menjerit lagi. Terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar
itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada
pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya sudah menyambar pundak Bu Song.
Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu
menolong mereka berdua. Ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk
leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.
Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok
monyet-monyet tadi. Maka betapa pun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke
bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga. Biar pun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan
gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun mereka masih terus meluncur tanpa
tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali
dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil
membalikkan tubuh sehingga tubuhnyalah yang berada di bawah.
"Brukkkk...!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan
yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama
sekali. Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerakgerak
tertiup angin.
Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak
dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak
dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh
karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh
atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan
darah!
"Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. Diguncangnya perlahan
pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka.
"Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng
tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.
“Dia pingsan,” pikir Bu Song.
Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biar pun lemah, dahinya yang
ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik
adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali.
Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu.
Kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba
tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan
binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah
dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan
mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi.
Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat
air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk
mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng
dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah. Dengan mata masih meram, bibir gadis ini
bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya.
"Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan
tetapi matanya tetap tidak terbuka.
"Eng-moi... Eng-moi...."
Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan
beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air di dalamnya. Gadis
itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng
Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.
"Song-ko...," Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan
gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan
dilontarkan bertubi-tubi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahantahannya.
Ia membuka matanya lagi, dan kini bulu matanya basah. "Koko... tiada harapan lagi...."
Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "...apa... apa
maksudmu...?"
Kembali Eng Eng meramkan mata, dan ketika membukanya lagi kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia
menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam...
dadaku... serasa terbakar dan akan pecah... oh...."
"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di
kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan
selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan...."
"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...!
Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"
Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu
menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku,
tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak
kita... menikah..."
Naik sedu sedan di dada Eng Eng, dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan
matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya
tersenyum. "Song-ko..." tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak
berlekuk, "...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan
pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh
jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan kau...," Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan.
Bu Song tak dapat menahan diri lagi. Air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi
gadis itu yang coba ia keringkan dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan darah yang masih
mengalir ke luar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi...."
"Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku...."
Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak
menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai
rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam
hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam
pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "Kau tidak akan mati! Kalau kau
mati, aku pun ingin mati di sampingmu!"
Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya
yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng
mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar
air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih
sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi
isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biar pun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun
suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya.
Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia
berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia
laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan
khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan
menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang
berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah... Koko, diamlah... kau sanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia
menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya
berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku ingin...." Ia berhenti, sukar sekali melanjutkan kata-katanya.
Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi? Kau ingin apa?"
"Ah, aku... aku malu... hik..."
Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi...?"
"...hemmm...? ...aku ...aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku
ingin... mati sebagai istrimu...."
"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya.
"Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran
membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.
"Mari kita bersumpah, Koko, marilah...."
Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak
berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan
hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras, "Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan
Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu. Ketika Bu Song menoleh kepadanya, gadis itu merangkulnya dengan
wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula
nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa
tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.
"Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng....
********************
Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya,
membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi
putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia
mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu
menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan
akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan
mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan
pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan
pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kau
miliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu.
Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan mala-petaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di
sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampai di kota
raja, kau carilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai,
tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan
mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia
menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... mala-petaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama
sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu...."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak
menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia dari pada hidupku. Mungkin engkau lebih
benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya.
Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhu-nya. Maka ia lalu
teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera
diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat berbuat
sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini
mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" tanyanya penuh
keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat
benda ini yang segera diambilnya.
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar
biasa! Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biar pun aku sendiri diberi waktu
seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau
mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi
kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau
merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala
macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..."
"Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan turut nasehatku, kau
makan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhu-nya sebelum orang tua itu
pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang
mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi,
baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut
dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air
mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan,
alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya
dunia-kangouw.blogspot.com
suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya
mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan
orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhu-nya, ia tidak boleh mengecewakan
harapan suhu-nya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian
berarti ia menjujung tinggi nama suhu-nya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan
dapat ia lakukan terhadap suhu-nya.
********************
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu
mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja
ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas....
Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu
yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa
membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang
mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di
dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih
mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua
dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh,
akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya
engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini
sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi...."
Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus
menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di
samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu
yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat
simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi
muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya.
Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "Ceritakan tentang dia...."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi
muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh dan bijaksana, tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak
mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat sebagai suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastra. Malah sekarang ia
hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian,
demi kebahagiaan puteramu, kau tentu setuju, bukan?"
Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku...."
"Dia tidak membenci siapa pun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia
meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!
Aku Tok-siauw-kwi!” Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi.
Diam-diam ia menarik napas panjang. Amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa
ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat
sekali kepada wanita yang merasa kehilangan segala-galanya itu. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang
wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang,
bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia
menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa
pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang
menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan....
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia.
Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua
peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sempurnanya.
Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan
pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil.
Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup
menderita oleh karena ia memetik buah dari pada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih
muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo
Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang
berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua?
Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong,
saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita
karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena
terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan
dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu
adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan
kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada
susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya.
Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu
menguntungkan mau pun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan
sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibatakibat
dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin
kuat membelenggu manusia.
Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa
dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam
yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat
pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi
musuh-musuh keluarga isterinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak
terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah
bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut
bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu.
Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat
menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak
mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat
melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinarsinar
lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan
sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa
kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang
dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan
tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu
dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung
sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur.
Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara
melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu
mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang lakilaki
tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua
orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya
sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan
cahayanya.
Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan si Wanita hanya
tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu
dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin
menyeramkan.
"Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga
tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur,
bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!"
"Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil
menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai
sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan,
berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. Sia-sia
saja mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat
rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan
mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila,
bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak semedhi.
Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut
mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan
sepenuh tenaga ke arah wanita itu. Ada pun kakek dari Kong-thong-pai itu pun mengeluarkan batang senjata
piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu
Song merasa ngeri.
Jarak antara kedua orang itu dan si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah
jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas
dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua
orang laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua
orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru