Kamis, 18 Mei 2017

Cersil Suling Emas 6 Cerita Silat Seri 2 Bu Kek Siansu

Cersil Suling Emas 6 Cerita Silat Seri 2 Bu Kek Siansu Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Suling Emas 6 Cerita Silat Seri 2 Bu Kek Siansu
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Suling Emas 6 Cerita Silat Seri 2 Bu Kek Siansu
Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu.
Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu
menjerit keras dan... dada si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, ada pun si Kakek mendekap
dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. Hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak
mereka berputaran, lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi,
ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat
hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang
sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata
dengan suara keras.
"Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"
Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon,
menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil
mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas
panjang. Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak
dapat disingkirkan dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ini ia menang, apakah lain kali akan
dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban,
tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya
sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu,
menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya.
Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi ia melihat bayangan berkelebat dan kini
tahu-tahu didepannya telah berdiri si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek
itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali.
Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut pada mulutnya
membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik.
Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan
menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan
mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan
berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
"Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya, mengapa Bibi membunuh
mereka?"
Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda,
jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka
itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan,
sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati
membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita."
"Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau
takkan hidup lagi?"
Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat si Pemuda tertawa geli
mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!"
"Apa... apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak.
"Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup
kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
"Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran dari pada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya
mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku
akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan,
aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan
Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan
menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?"
Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku
tidak akan mati...!"
Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi
seorang yang patut dikasihani...!"
Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau
bilang apa tadi?"
"Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari
kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam
hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kau pegang dan kau
kuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang, mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan
orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini."
Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapa pun juga! Kau lihat sendiri tadi. Mereka
berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!"
"Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan
mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin
sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling
bunuh."
"Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?"
"Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi
Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"
Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya sudah diangkat ke atas. Dari tangan
kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu
Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan
membunuh orang tak bernama!"
Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa
setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan
dunia-kangouw.blogspot.com
menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku dari pada
belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang
membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo
Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama guruku untuk perisai nyawaku. Guruku
sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri!
Wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya
masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kasihan,” pikirnya. “Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak
waras lagi!” Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah
lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya
sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasehati dan
menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian menimbulkan kemarahannya yang luar
biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia
merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak
kandungnya sendiri!
Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa
ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat,
seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan
jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian
ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah hutan yang tak jauh dari tempat ia bertemu anaknya
tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di
depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu
selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat
membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah
pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim
yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. Sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani
mengganggu keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani
membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang
sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis? Tok-siauw-kwi menjadi
beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara itu, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila
memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan talitali
yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti
hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu
tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan
memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena
ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
pengerahan tenaga sinkang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak
main yang-khim.
Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap
memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa
kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya
tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih,
disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari
dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yangkhim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki
kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget
dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki
kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini
ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yangkhim
ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian lompat mendekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya
berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan
menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian
mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan
tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke
belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya
seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan
akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali.
Ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari
pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi.
Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak
memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa,
akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya.
Bagaikan menebarkan debu melawan arah angin,
yang akan menimpa dirinya sendiri!
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan
roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna
menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian
jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu,
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian,
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan?
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa,
engkau akan mencapai sorga, alam para Aria!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan,
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka
sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu
menyiksaku dengan kata-kata....!"
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan
peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia
akan kesesatan hidupnya dan sadarlah betapa dirinya rindu akan kehidupan yang wajar sebagai manusia
biasa dalam sebuah keluarga bahagia selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu
berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah
perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup
adalah buah dari pada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara,
bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang
menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lamalama,
maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut. "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau
tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah.
Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian
dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan
kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu
tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak
menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya
ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapa pun juga.
Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh
perasaan iba. Lu Sian menjadi terharu, lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.
Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang
kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara
terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan
Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di
Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis, dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh
pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu
Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan
seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya
suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua
perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak
ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Bengkauw
dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana
di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu
dalam nasehatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang
selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan
pikiran hampa.
dunia-kangouw.blogspot.com
--- dunia-kangouw.bogspot.com ---
Bu Song melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja Cou. Hari telah siang ketika ia tiba di wilayah kota
raja, di luar pintu gerbang sebelah barat kota raja. Hari amat panas, dan di sepanjang jalan raya yang menuju
ke pintu gerbang terlihat sunyi.
Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan yang membelok karena terhalang sebuah batu gunung besar, Bu Song
melihat seorang kakek berjalan terhuyung-huyung di atas jalan yang panas berdebu. Kakek itu pakaiannya
seperti seorang sastrawan, akan tetapi pakaiannya itu sudah tua dan kusut dan jenggotnya jarang-jarang.
Tangan kirinya memegang sebuah kitab kecil dan sambil berjalan terhuyung-huyung kakek itu menyanyi. Bu
Song mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu sebagai sebuah sajak dari pujangga Li Po.
Meneguk secawan anggur merah,
di antara bunga-bunga di taman indah.
tiada kawan, hanya bulan.
Wahai bulan, mari minum temani aku.
Kita bertiga, aku, bayanganku, dan engkau!
Kakek itu terbatuk-batuk, berhenti terhuyung memegangi dada, kemudian ia berdongak ke atas sambil
mengeluh, "Sayang, suling emas tiada padaku... kalau ada tentu dapat kutiup lagu merdu...!"
Tiba-tiba kakek itu terhuyung-huyung ke depan dan tentu jatuh kalau saja Bu Song tidak cepat melompat dan
memeluk pundaknya.
"Orang tua, hati-hatilah. Kau bisa jatuh!" Kakek itu memandang Bu Song dengan sepasang mata mabok, lalu
tertawa dan berkata sambil kepalanya bergoyang-goyang, "Heh-heh, jatuh ke bawah tidak apa! Celakalah
mereka yang jatuh ke atas, hah-hah-hah!"
Setelah berkata demikian, kakek itu jatuh benar-benar dan untung Bu Song cepat memegangnya sehingga
kakek itu tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk di tengah jalan. Pada saat itu terdengar banyak derap kaki
kuda dan Bu Song yang menengok ke belakang melihat beberapa orang penunggang kuda yang berpakaian
seragam mendatangi dengan cepat.
"Hayo kita ke pinggir, Kek. Itu banyak kuda membalap datang!"
"Huh, biarlah... setiap hari puluhan ribu orang rakyat sudah diinjak-injak, ditambah aku seorang lagi apa
artinya?"
Bu Song tidak mau melayani bicara kakek ini yang agaknya sedang mabuk keras, maka ia lalu menarik tubuh
kakek itu secara paksa, dibawanya ke pinggir jalan agar jangan berada di tengah jalan dan terancam bahaya
diterjang barisan kuda.
Rombongan kuda itu terdiri dari tujuh orang dan yang paling depan adalah seorang komandan yang bertubuh
tinggi besar dan bermuka hitam. Komandan itu sekejap melihat Bu Song dan kakek itu di pinggir jalan, lalu
mendadak timbul amarahnya karena si Kakek tertawa-tawa dan telunjuknya menuding-nuding ke arahnya.
Segera cambuknya meledak, menyambar ke arah muka si Kakek mabok.
Bu Song cepat memasang dirinya di depan kakek itu sehingga bukan muka si Kakek yang terhantam cambuk,
melainkan punggung Bu Song! Hantaman itu keras sekali dan baju Bu Song di bagian punggung sampai
robek. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa terlalu sakit, apalagi terluka. Hanya terasa agak panas
saja.
Komandan itu tertawa dan rombongan berkuda lewat cepat meninggalkan debu mengepul tinggi. Kakek itu
masih tertawa-tawa hingga Bu Song merasa mendongkol juga. Ia melepaskan kakek itu rebah di atas tanah,
lalu ia berkata, "Kakek, kenapa kau begitu nekat? Kalau tidak kutarik ke pinggir tentu mereka akan menubruk
dan menginjak-injak tubuhmu dengan kaki kuda."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha, apa salahnya? Paling-paling mati! Lebih celaka mereka itu yang menjadi anjing-anjing yang tidak dapat
menguasai diri sendiri. Mereka itu anak buah orang-orang yang sudah jatuh ke atas. Merekalah yang lebih
celaka!"
Bu Song tertarik. Cara kakek ini bicara seperti orang mabok, akan tetapi kata-katanya teratur dalam kalimat
yang amat baik. Ia lalu duduk di depan kakek itu yang juga sudah bangun duduk.
Mereka duduk berhadapan, saling pandang, dan kakek itu bertanya, "Kau ini seorang pemuda yang baik,
hendak ke mana?"
Bu Song lalu memberi hormat dan berkata, "Nama saya Bu Song she... Liu dan saya bermaksud untuk
mengikuti ujian di kota raja!"
Kakek itu memandang bengong lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Mengikuti
ujian? Apa engkau mempunyai bekal banyak emas dan perak murni?"
"Untuk apa, Kek? Aku hanya membawa bekal alat tulis dan ilmu kesusastraan!"
Kakek itu tertawa terbahak-bahak, dari mulutnya bertiup bau arak. "Ha-ha, kau lebih mabok lagi. Ujian tanpa
modal emas dan perak mana bisa berhasil? Semua pengurusnya adalah orang-orang yang sudah jatuh ke
atas."
"Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"
"Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka,
makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah.
Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh
ke bawah, akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan,
akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"
Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut
keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?"
"Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...."
"Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar pendiriannya seperti engkau ini, hanya mengeluh
dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para
pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus
bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan
kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang
memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya
menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja
akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup."
Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang
pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"
"Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena
nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya.
"Kau... lain dari pada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"
"Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."
"Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula
yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu untuk mencari kedudukan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastra kepadaku, sama sekali aku
tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."
Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau
begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"
"Apa, Kek? Apa maksudmu?"
"Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?"
Bu Song menggeleng kepala.
"Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah
Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biar pun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah
mendengar nama besar Bu Kek Siansu."
Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."
"Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di
puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu.
Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab
sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu
Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat
penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para
sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami
dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di
pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah
bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu,
orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau
ke sini untuk membebaskan aku dari pada tugas menyimpan kitab ini. Kau simpanlah kitab ini baik-baik, dan
kelak kau carilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai. Kau perlihatkan kitab ini, tentu suling emasnya akan
diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu.
Lekas simpanlah...!"
Kakek itu cepat-cepat memasukkan kitab kecil di tangannya ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam.
"Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka
meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song.
Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang
dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan
menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu
tergantung.
"Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu
Gwan Liong?"
"Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biar pun keadannya amat
terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar
negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"
"Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu
kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah
direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.
"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian
menangkap orang secara sewenang-wenang?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak si Muka
Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justru karena
kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur
dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan
menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan
seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada
pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!"
Sesaat si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat
orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak
perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri,
tolol!"
Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biar pun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat
nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula.
Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang
kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar
negeri?
"Kau menentang?!" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu
Song.
Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak. Kepalan tangan kanan ke
arah wajahnya memang dapat ia hindarkan, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul.
"Dessss!" pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang. Pada saat itu pula sebuah tinju yang
amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.
Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa
pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar
biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya
untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jeri juga terhadap pemuda aneh
itu.
Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka
berubah menjadi jerit-jerit mengerikan, dan mereka semua termasuk si Muka Hitam terlempar dari atas
punggung kuda. Ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah
mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya.
Dua bayangan melompat ke luar dari balik pohon. Mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan
menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas
dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada
seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."
Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi
Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."
"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana
sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu,
ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"
Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata sambil tertawa dingin,
"Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."
"Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan
kekerasan memaksa orang untuk ikut?" tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah
dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biar pun masih muda asal
ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan?
Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek
ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"
Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis.
Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk
membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian,
pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi,
tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"
Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi
kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini
diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu
biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang
penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikkan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan
menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"
"Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita
berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"
"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar
dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah
memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah
lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman
seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil
yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.
"Cringg!" golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.
Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang
kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu
Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari
ibu gurunya! Biar pun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun
kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo Sengjin!" seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang!
Belum lama ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan ia tewas di
tangan Kim-mo Taisu!"
"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah
menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kau lakukan kepada
kami?"
"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang
kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian!
Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"
"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali
golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang
kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu
sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas
dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lweekang tinggi.
Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri. Selain silau memandang sinar berkelebatan, juga ia tidak
tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh
orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas karena diserang sebuah hui-to setiap orang, dan
dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin tentu telah disembelih golok terbang. Apalagi sekarang kakek
lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri?
Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong
daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti
yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan
maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan
kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang
menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang
melingkar-lingkar.
“Trang-tring-trang-tring!” terdengar suara nyaring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu.
Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang
jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat
seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi
bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu.
Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan
tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah.
Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok
terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh.
Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itu pun kehilangan sepasang tongkatnya yang
menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biar pun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu,
dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan
atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-topang,
namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.
"Lo-cianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang
lumpuh dengan golok terbang!"
Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di
sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"
Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Lo-cianpwe...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas. Sebelum Bu Song tahu apa yang hendak
dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki
yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki
tengkuknya!
"Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin.
Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu
lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur. Akan
tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah
melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan
mendorongnya.
Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to mereka tidak berhasil merobohkan Kong Lo
Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan
senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu
saja Bu Song yang tidak terluput pula dari serangan-serangan!
Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan
dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke
depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya.
Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan
seruan kaget.
"Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru.
Tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya
yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik,
"Hayo cepat kejar mereka, tolol!"
Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya
menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan
langkah kalau terpaksa saja.
Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan
tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sinkang jauh lebih kuat dari pada
mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu mau pun yang mereka arahkan
kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari
hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan
melarikan diri.
"Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song.
Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak. "Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya
saya mengejar mereka, Lo-cianpwe?"
"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi.
Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu
menggantung diri!"
Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam
keadaan melayang ini sekali sambar ia sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan
Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.
"Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa
semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu,
tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu,
mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru, "Di mana kitab itu? Hayo katakan, di mana
kitab itu?" suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.
"Lo-cianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah...."
"Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kau sembunyikan? Demi iblis, kalau tidak
mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"
"Lo-cianpwe...," Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan
menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu si Sastrawan tua sudah membuka mata
dan berkata lemah.
"Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika
Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas!
Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Biarkan aku mengubur jenazahnya...," katanya
perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang
kuda tadi. "Dan mayat mereka juga...," tambahnya.
"Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?"
"Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Lo-cianpwe. Ada pun Suhu sendiri sudah
meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."
Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera
pergi dari sini!"
Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik. Maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon,
memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan
daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang
tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah ‘berdiri’ di atas kedua tongkat itu.
"Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhu-mu. Hal ini berarti
Suhu-mu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal
itu kepada siapa pun juga. Awas kalau kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan
kepalamu, mengerti?!"
"Mengerti, Lo-cianpwe."
Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang
membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai
dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari
telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan
pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.
Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya.
Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal
dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di
tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah
penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kota raja sebelah barat.
Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu
sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau
kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua
yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya. Dengan mudah Bu Song
dunia-kangouw.blogspot.com
mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah
gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu.
"Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang
losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"
"Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana."
Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan
kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam
lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.
Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya
biar pun tidak mewah namun cukup rapi.
Bu Song cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu
Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia
mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu.
Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan
memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kimmo
Taisu? Silakan duduk, silakan..."
Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja berbentuk
bundar. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan menganggukangguk.
Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju.
"In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian, dan mengingat akan budi yang
dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mungkin menolongmu, Hiante."
Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon
petunjuk."
Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus,
perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena
keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup.
Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus
hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun saya mengenal kepala bagian ujian,
yaitu Pangeran Suma Kong. Biar pun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu
Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."
"Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."
"Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah
melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak ada gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut,
akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu
ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah
ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan
perusahaannya biar pun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.
Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan
tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal
di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan
waktu ujian.
Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian
ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari
keuntungan besar bagi dirinya sendiri. Karena dia masih terhitung keluarga dengan Raja Cou Muda, maka
dunia-kangouw.blogspot.com
kekuasaannya besar juga dan biar pun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang
berani mengganggunya.
Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka
hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut,
melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang
sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan
seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka
setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut.
Ujian diadakan kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja. Dengan hati berdebar Bu Song
mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaanpertanyaan
yang diajukan dalam kertas ujian, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam
karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab
kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan
mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah.
Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan
tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang
seringkali menjadi ‘perantara’ bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh
pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa
Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!
Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang
semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu
terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno!
Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara
mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!
"Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan
dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"
"Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya
banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap
inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."
"Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu
akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup
memperjuangkan dan biar pun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman.
Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas
itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu
(silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan. Siapa orangnya tidak akan merasa heran dan
bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan
membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat?"
"Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo
Taisu?"
Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah kapan kembalinya. Dan untuk apa
kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada
hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja.
"Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah ke mana belum dapat saya katakan...."
Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu
perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah
sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun."
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih,
Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau...."
Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri
pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.
"Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?"
Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song."
Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya
menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah
tulisannya.
"Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat Ongya dengan penghormatan selayaknya!"
berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan
menerima surat sambil berlutut!
"Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan.
Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan
Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi
lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.
Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus
menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!
"Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya
tentu ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh
ketegangan.
Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan
mencabut ke luar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.
‘Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang
menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan.’
"Wah, kionghi... kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan.
Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia
harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima
sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu.
Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusastraan adalah karena memang ia suka membaca dan
menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian
hanya untuk mentaati perintah suhu-nya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar
ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguh pun ia sendiri tidak
pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu
silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastra.
"Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima
penawaran ini."
"Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan
yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau
diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Justru itulah yang membuat hatiku menjadi dingin, Paman. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi
pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?"
"Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat
tulisanmu yang indah, lalu ingin memberi pekerjaan. Itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang.
Ada pun tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih
diherankan pula?"
Bu Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit,
kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak
adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga, Paman."
Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat. "Liu-hiante...
memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah
dilindungi oleh Suhu-mu?"
"Apa maksudmu, Paman?"
"Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhu-mu dan untuk itu aku selamanya takkan
melupakan budi Suhu-mu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan
hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap
sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja
kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."
"Ah, begitukah...?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak
menghendaki hal itu terjadi.
"Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan
mulia Suhu-mu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana
memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah
berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan
bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman
menemaniku."
"Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang
paling rapi, Hiante." Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya
dengan wajah amat gembira.
Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka
bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat
menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan
setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi mengantar
keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!"
Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum
dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini. Betapa pun juga, ia merasa
amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu.
Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan
yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samarsamar
ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulu pun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar,
namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang
sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu. Menurut penjaga, sang Pangeran masih belum
bangun dari tidurnya! Akan tetapi penjaga itu agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang
diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat!
Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak
pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok ke luar untuk menikmati keindahan taman
bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan,
ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah
mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang
berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih. Pakaiannya seperti sastrawan pula,
akan tetapi begitu bertemu pandang, di dalam hati Bu Song mendapat kesan tak menyenangkan. Pada
pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya
pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang.
Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju. Begitu
pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubuhnya terlipat dua, mulutnya
berkata penuh hormat, "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"
Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah,
bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini,
dan siapakah Saudara ini?"
Biar pun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada
Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan, "Begini, Kongcu.
Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini
dipanggil menghadap."
Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda
itu pun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda
sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan
sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak
membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik
dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat
mereka yang suka menjilat.
Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong, namanya Suma Boan. Dia bukanlah seorang pemuda yang
tidak terkenal, mungkin lebih terkenal dari pada ayahnya. Selain suka bergaul dengan rakyat, pemuda ini juga
ia terkenal pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru
silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru,
ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar
ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat
membuka perguruannya.
Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata
keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini
kepandaiannya melonjak cepat sekali. Ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kaiong
yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda
bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan bahkan di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Lui-kong-sian
(Dewa Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat!
"Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang
kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.
Bu Song menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan
kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai
(pandai silat dan sastra) sekarang ini!" Ia berjalan ke luar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian
lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?"
Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter
tingginya, kemudian ia sambut lagi sehingga kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya
tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya. Kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu
terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.
"Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!" Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya
suka merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah
amat berat.
"Bagaimana, Saudara Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.
"Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."
Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang
pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang
lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat
orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan
mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.
"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil
menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana
dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.
Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" seorang di antara mereka
mengomel.
"Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja," Ciu
Tang memberi keterangan sambil tertawa.
Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa
tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biar pun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan
batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja,
akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tidak mampu mengangkat patung ini, tapi Sumakongcu
dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"
"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan
sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu
berlarian ke luar.
"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.
Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah
benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah
terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo
Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah
permainan kanak-kanak.
Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu
menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu
menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua
meter!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga
tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau,
jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.
Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang
terhimpun oleh latihan-latihan semedhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai
mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi
tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja.
Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat
menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andai kata
tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu
menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!
Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana
Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih
terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dari luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih
jauh? Tadi tidak di sini!"
Ia tersenyum, menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang
melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyanggoyang
ekor di depan majikan.
Bu Song bersikap hormat menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren. Di
antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, ada pula tercantum bahwa orang harus menghormat pembesar dan ini
merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya.
Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu muncul diikuti
oleh dua orang pengawal.
Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu
Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan suratsurat
pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus
perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana,
mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song
menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi
girang bukan main.
Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin
sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala
pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian suratsurat
yang terkirim dari Pangeran Suma.
Selain rajin Bu Song juga pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua
pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itu pun suka kepada Bu Song dan
seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman,
bermain catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi
Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan
banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera
majikan itu menjadi tak senang hati.
Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja
tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan
hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta
kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang
seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika
menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih
ditambah pajak-pajak paksa yang dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan
sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!
Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar
menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat
romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan
tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi.
Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena
dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Di tempat inilah ia
termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi
kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang
cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi
keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biar pun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu,
akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andai kata Pangeran Suma seorang
perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua
itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus! Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang
matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup
sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa
keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena
malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.
Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup
suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah
dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak
kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia
mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan.
Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun
terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa,
seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak
kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu,
ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahanlahan
melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia?
Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang
dewi kahyangan?
Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakanakan
melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar
bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan
dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu? Begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang
dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu, atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya
sanggul rambut itu, dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri
istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu
puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para
pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang
selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguh pun di dalam hati ia
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang
memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!
Ada pun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti
bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan. Seorang gadis yang
sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa
dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! Raut
wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini
menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada
berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua
kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya
tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu
pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri
berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat
kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang
mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar
jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa
saja...."
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu
Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis
itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang
selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji
kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi, lalu turun dan keluar dari
kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan
dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita mereka...."
"Apa maksud Siocia...?"
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik
seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."
"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...."
"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song
Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga...."
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song
sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat
dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...."
"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako,
maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."
"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu.
Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagu seperti itu? Tadi
aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia...."
Mereka kembali berpandangan, keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang
mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka
sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu.
Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam
meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya
dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan
sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi
hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri
majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita,
puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis
yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!
Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari
pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau
sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa
pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song
mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin
dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali
bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.
Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan
seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi
sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang
menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang
kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andai kata gadis bangsawan
itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah
seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling
itu terbayang terus. Suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya. Sepasang mata lebar
tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti
bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin
berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang
Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan
seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih
mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang
seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah,
menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambailambaikan
tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki
makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru
akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka
setelah hangus terbakar.
Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan
kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai
menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal mala-petaka. Cinta itu pangkal sengsara dan
pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan
wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.
Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas
seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang
menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh
berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk
memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa mala-petaka. Nafsu birahi disangka
cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran.
Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua
pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka
untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke
delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil
di ujung taman, meniup sulingnya.
Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat
menahan dirinya lagi sudah menyelinap ke luar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman,
ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah Suma Ceng tiba di depan
pondok, bukan karena lari tadi, melainkan karena debar jantung yang menggelora. Suara suling terhenti
karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari ke luar, mereka berhadapan dan
seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk
dan saling rangkul!
"Aku tahu kau akan datang..."
"Aku pun tahu kau menanti di sini..."
Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu
bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas
bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.
Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanakkanak
yang pernah kehilangan benda mainan tersayang, kini didekapnya erat-erat takut kalau yang telah
ketemu akan hilang lagi. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan
pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah
yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin
menjadi miliknya ini.
Keduanya mabok asmara hingga lupa diri, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu
birahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan
tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum.... mati!
Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman
menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih.
Nafsu adalah saudara loba, makin dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, dituruti sehasta ingin
sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.....
Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa
kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa
raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan
berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!
Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song mau pun oleh Suma Ceng. Malam yang
gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di
dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang di dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah
panas di dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sesosok bayangan berkelebat di depan pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. Bayangan itu mendekam
di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka
bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song mengantar kekasihnya, kemudian
sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.
Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song
terhuyung dan roboh, Suma Ceng menjerit tertahan. Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata
melotot!
"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.
Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya.
Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti
seorang jagal menyeret seekor domba yang dibawa ke penjagalan.
"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.
Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau
mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?
Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar
di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.
Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada
pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orangorang
yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas
tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.
Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah
pohon. Kemudian ia mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang
besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang
pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.
Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan dari suhu-nya yang tak
diketahui olehnya sendiri.
"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan....
"Plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke
kanan kiri.
"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta. Kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku
tidak takut mati."
"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah
perut.
Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga
membayangkan rasa nyeri dipukul, maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.
"Dukk! Duukk!" dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan
herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu
membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.
"Jaga dia di sini sampai pagi. Kalau banyak cakap boleh pukul mukanya, tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma
Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar
batu karang hiasan di belakang istana.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma
Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh
saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma
Ceng.
Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya
melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikit pun tidak
memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.
"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi.
Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu.
Mengerti?"
"Baik, Kongcu."
Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini
adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah
melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi
jangan kau salahkan dia."
"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw,
kau ambil secawan arak!"
Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak?
Akan tetapi ia tidak berani membantah, segera berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi
membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan
sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan
mengeluarkan uap! Tahulah si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh
lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak
beracun?
"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan
dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa
engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau
menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini.
Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan
menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu
padanya!"
A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur
pengantin...."
"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu?!"
A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah.
Ada pun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur
pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan
membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu
Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak
beracun itu ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat
hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan
mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan
tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguh pun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti
banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu
menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak
menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke
belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan
tidak terasa apa-apa lagi.
Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi. Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan
haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu
Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar
pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat
disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta
ampun dan tidak pernah minta minum.
Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi tentu umurnya takkan lewat setengah hari.
Namun sampai matahari condong ke barat, Bu Song masih segar bugar biar pun amat menderita. Hal ini
membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah
ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur
merah dan biru dan darah mulai bercucuran ke luar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan
tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada
pohon itu, agaknya pingsan.
"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam
nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki
istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah
dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu
dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan
dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati
benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat
dia mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui
bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia
yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."
"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? Sudah kau bikin mampus?"
Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita
untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita. Apa lagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal
dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan
orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon, makanan dan arak yang dikirim oleh seorang
pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih
lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang
pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau
keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh
Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau
tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah
dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kali pun?
Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah
mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat
muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin merasa seram. Pemuda ini
bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu
saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan
terikat pada pohon?
Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau
keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw tergantung
pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika
melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa... siapa...."
Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh
seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak mau pun mengeluarkan
suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu
Song.
Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi
muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai
Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa
adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan
menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki
dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia
melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan
membawanya pergi ke luar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song
yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu, dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu
segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka
hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan
sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa,
tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi minum racun
hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini
menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya
dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan
diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk
keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.
"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya.
Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri
Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki
hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang?
Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhu-nya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia
berkata.
"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan
menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang
dan andai kata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima
dengan hati rela." Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota
raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa
antara dia dan Suma Ceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri dari
perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat
teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan
terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.
Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala
pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami mala-petaka dan penderitaan karena cinta. Dalam
cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun
kepada muridnya?
Akan tetapi ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu
tentang Kong Lo Sengjin, tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya
yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang
terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam
hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah
musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat,
apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang
budiman?"
Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena
ia seorang lemah.
"Andai kata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan
mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu,
baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik mau pun buruk.
Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya
begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena
sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia,
kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka
buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak
buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan
menjadi jalan ke luarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan
tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan ke luar omongan yang baik-baik
bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun
dengan penuh perhatian.
"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka
kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan
orangnya! Biar pun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau
dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri dari pada hinaan orang-orang
yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami
penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan
sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat
sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan
dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolong orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan
tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya
beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang
lebih kejam dari pada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk
‘memintari’ orang lain yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kau
sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"
Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini
sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena
tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah
dunia-kangouw.blogspot.com
menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari
bun dari pada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu
benar belaka."
"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"
Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi
pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa
berterima kasih sekali."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya!
Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan
memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari
kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu
itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah
menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai
perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!"
Bu Song menubruk kaki suhu-nya. "Tidak... jangan, Suhu... ampunkan teecu, jangan Suhu lakukan hal itu...!"
"Hemm...!" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi
pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu
kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"
"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta
kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang
gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak
mungkin teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan
kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada
Subo...."
Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin,
puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah
puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.
"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..."
"Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."
"Tidak, teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...."
"Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta, muridku. Bahkan Tuhan
sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan
cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!"
Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun
ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini.
Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang
amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak
muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di
situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.
Semenjak saat itu mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat
tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia
dunia-kangouw.blogspot.com
telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di
depan suhu-nya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti
yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di
pusar.
"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu," terdengar suara gurunya.
Bu Song yang memejamkan mata menuruti kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di
sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhu-nya menempel pada
pusarnya dan dari telapak tangan suhu-nya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga
ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke
dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.
"Bernapas perlahan-lahan, akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu dorong
hawa itu ke arah pundak kanan."
Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa
hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari
tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka’ jalan
darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.
Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sinkang yang
amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk
sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastra.
Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya
yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.
Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhu-nya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon
sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, ginkang-nya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu
mengikuti suhu-nya berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia
dapat ia lakukan dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih
silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan semedhi mengumpulkan tenaga
sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan
hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan
seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.
********************
Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan.
Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-
960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan
kepada putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah
ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa
tak senang melihat bahwa yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin
berkuasa saja.
Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou.
Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal.
Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman
Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orangorang
penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.
Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian
raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. Bahkan ketika raja kecil atas desakan ibu
suri menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang
pemungutan pajak yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya
menyampaikan protes!
dunia-kangouw.blogspot.com
Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap
memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu
takkan tertolong lagi. Namun agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh
dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan
ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal
setia itu.
Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu
bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan
alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan
surat perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa
Khitan.
Sebagai seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah
rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan
menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima
Cao memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguh pun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam
kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara saja.
Para panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak
senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat
menduga bahwa perintah ini merupakan ‘pembalasan’ dari ibu suri sehingga tak mungkin kelak mereka akan
menerima jasa dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Di luar tahu Panglima Cao, diam-diam para
panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan.
Pada malam hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa hari dari
kota raja, tujuh orang panglima muda dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar. Mereka
bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan
kembali ke kota raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak
memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh
telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua
batang tongkat yang menggantikan kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan
kaget serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga dapat
kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang merundingkan urusan rahasia yang
gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti kakek ini amat mengejutkan. Serentak mereka sudah
mencabut pedang dan golok masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha! Cu-wi Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk membantu
kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"
Karena yang mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin
kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu
memanah, telah menggerakkan tangan dan....
"Serrr! serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher dan perut kakek itu!
Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang
anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata,
"Biarlah aku yang akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan
sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"
Delapan belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih bicara
dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena
kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu
kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki tenda
kami tanpa ijin?"
"Ha-ha-ha! Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara kalian
yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera
pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek
Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut
Kong Lo Sengjin!"
Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal.
"Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"
Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku
tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya,
dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"
Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orangorang
biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai
ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan
senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima
dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka
yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku
dekat meja sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"
Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.
"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini
menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh.
Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau
diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara
kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat
berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah
mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.
Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri
dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang
gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang,
kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari
mulutnya.
"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara
dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu
yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar,
kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik
pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi
jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau
hewan!"
Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian
seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan
orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu
benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song
selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau
Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai
pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam
membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini
memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat
kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu
saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.
Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi
hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diamdiam
ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima
kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan
tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak
memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan
tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para
pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan
dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai
kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha
manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu
menenggak araknya kembali.
"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo
Taisu...?"
"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di
punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi
orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"
Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin
dengan senjata mereka!
"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat
dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan
mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru.
Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.
Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah,
Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tibatiba
ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua
belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan
mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya
dunia-kangouw.blogspot.com
bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan
dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.
Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak
leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"
Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih
karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan
telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.
"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata
Kim-mo Taisu.
"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"
"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."
Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak
mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang
mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di
sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya
mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"
"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa
perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."
Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"
"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"
"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"
"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."
"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka
menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah
tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan
kami."
"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua
berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakapcakap
sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam
barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan
yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun
dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima
bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa
sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu
orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak
merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang
kepadanya.
"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin
kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.
Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di
atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang
Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia
mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini
menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap
tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi
setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan
penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal
baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh
oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang
cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk
mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih
kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan
karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku
harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo
Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu
hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Caogoanswe
berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan
dengan kau!"
Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan
kemarahan besar.
Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil
berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang
kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang
raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat
mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."
"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung
ucapan panglima tua ini.
Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo
Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari
pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas
baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat
baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima
dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun
sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami
ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan
tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang
pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.
Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena
mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan
yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini
melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai
komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini
akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya
terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua.
Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa,
"Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala
perintahku mulai detik ini juga!"
Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando
mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!
Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik
ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan
sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu
bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang
saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih
berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan
sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah
raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkalikali.
Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar
hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."
Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih,
"Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin,
urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin
dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah
terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"
Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah
ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para
anak buah mereka! Ia lalu berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita
kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan
adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan
ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama,
atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah
laranganku ini akan dihukum mati!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin.
Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah
penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang
Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.
Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo
Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin
yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat
kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding matimatian.
Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam
ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini
berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari
kaisar baru ini.
Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa
pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk
Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih
untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang
dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu,
dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi
mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung
yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad
lebih (960-1279).
********************
Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan
langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah
tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar
pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.
Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar pun orangnya
masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang
nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri
kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin.
Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat
mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan
isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan
setengah terpejam.
Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang
tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang
lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua
ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang
pendekar.
Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang dianggap penting
oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang
membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan
cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut
kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan
berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bu Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu
yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh
semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti
itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan
tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang
jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang
sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pekcoa-
to di Lam Hai."
Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di
lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara
itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan
menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau
Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan
tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini
tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau
Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya
seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat
semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya
girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan
ini hendak berlayar mencari ikan.
Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"
Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia melihat seorang
pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiapsiap.
"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"
Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali
ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang
mana...?"
"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."
"Wah...!" tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.
Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau
apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik
matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.
"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja
hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"
"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau
itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena
adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa begitu?"
"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga...
iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di
sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya
adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih
kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau khawatir, aku dapat menjaga
diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan
lima potong perak yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang
perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! Mencari ikan sebulan
belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan
saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."
"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat dari pada Kongcu
tewas secara aneh di dekat pulau itu...."
"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan.
Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang
rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu
kepalanya lebih kuat dari pada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar
suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah,
akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di
sana."
"Jangan khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat, dan kau
boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di
pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu
Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan
bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini.
Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram? Kalau memang pulau itu
sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak
menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu,
membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat
pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang
besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya
mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke
darat.
"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang
ditakuti ini.
Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu agaknya menjadi
korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali
tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia
melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari
atas tentang keadaan pulau itu.
Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur,
banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang
sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas,
akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun?
Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai
habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba
terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak.
Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata
rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya
orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan tahu-tahu sudah menyerang dengan
senjata rahasia!
Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kanannya hanya
tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan
kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia
seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya
tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang
memusuhinya.
"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan
dengan siapa pun juga."
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan
kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi
hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor
ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu
Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur.
Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap
racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia
berhasil mendorong ke luar darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda
keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah merah bersih, ia
menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli.
Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang’ atau lebih tepat,
meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa
mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap
pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia
berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang
mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan
penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang
ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu
datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang
meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu.
Kini ia tiba di daerah penuh pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak
memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat
ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya
dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya
pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan
diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi.
Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali pasir berpusing seperti itu.
Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan
demikian terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar
jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Goa itu
merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani
masuk dan hanya berdiri di depan goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling
berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua
lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa
menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun,
saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya,
karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah
lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam goa yang gelap itu
dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya
mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau
bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal.
Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga
yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319
BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang
saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang, "Tepat...!
Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan
kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat
apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap
binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati
sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras
dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu
sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah
seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang
bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis.
Suara mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada empat ekor! Mereka
datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap
dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan
kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!" binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi,
gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia tidak
menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan
gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang
lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik
batu karang yang gelap di kanan kiri goa.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah,
orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar
girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus
bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi
ketika ia berjalan ke luar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di
tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling
berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau
harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di
dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar
dari dalam goa.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan
kecurigaan. "Kau mengenal dia?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan
tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh
kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh!
Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song?
Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song
segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya
adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan
antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga
sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa
calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah
menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong.
Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang
nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan
sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup
suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan
maknanya. Suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai
dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang
mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda
berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastra
diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat
diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan
pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang
lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat
bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejarngejar
kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Mendengar penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan
bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek
Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi
bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara
lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan bacaannya dan
menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang.
Dua orang laki-laki aneh sekali, karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan
laki-laki yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.
Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka
terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan
bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali,
punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana
seperti orang yang pertama.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas,
kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda agar kudanya
berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan hatinya.
"Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang
berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya
Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah
disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak
dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan
dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk
menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong
memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu
menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia
suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya
telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu
menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu
saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah dua orang bocah edan tadi yang
mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan
menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali
adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat
menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang
amat sukar dimengerti."
"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara
sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song.
Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat
tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran
perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi
sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari
huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan
merayu-rayu.
ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan
suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin
pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun
wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang
kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..."
Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
"Sudah, Paman."
"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini, cepat! Kau sudah tahu akan
rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk
apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia datang
mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..."
"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas
sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.
Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit
berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara
kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song
menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak
nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang berwajah ketakutan.
Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan
memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat
lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena
ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu
membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu
besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu,
memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya
mendorong sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Byurrr...!" dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya
tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol!
Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya
miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur
keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau!
Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena
kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas. Selain di pulau itu terdapat
banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila
dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.
Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar
secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu
akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya, tentu
mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling
ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang
sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan
melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhu-nya dan menceritakan semua pengalamannya di
Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan.
Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan
medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak
akan menghukum siapa pun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota
kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti
perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu Bu Song berusia dua puluh tiga tahun.
Maklum bahwa suhu-nya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke
kota raja mencari suhu-nya.....
********************
Kita tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari kita menengok
keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora cinta kasihnya sehingga mengadakan
hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan main. "Anak
macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima
laporan puteranya. "Lebih baik mati dari pada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan saja dia dari
muka bumi!"
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan perhubungan gelap
dengan Bu Song. Akan tetapi betapa pun juga Suma Boan menyayangi adiknya. Ia tidak mempunyai saudara
lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal
sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapa pun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi
seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka
sebaiknya kita mencari jalan ke luar."
"Jalan ke luar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori
nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan ke luar yang baik dan terhormat. Betapa pun juga,
Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Cengmoi
dan pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Cengmoi
segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal,
dia selalu menurut kepadaku."
dunia-kangouw.blogspot.com
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu
memang betul bukan seorang yang cukup ‘berharga’ untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin,
sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi
betapa pun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu..." Suma Kong
mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku mengerti, Ayah."
Demikianlah, dengan perantaraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah
seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang,
menjadi sahabat, murid, juga ‘antek’ Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia
menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin
yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan
tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekedarnya.
Kalau di satu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main atas usul Suma Boan, karena dia sendiri sampai
mati pun tidak berani lancang melamar puteri Pangeran Suma Kong yang kaya raya itu, adalah di lain pihak
Suma Ceng mendengarkan berita yang disampaikan kakaknya itu dengan banjir air mata.
"Koko... ah, mengapa begini...?" ratap tangisnya. "Dimana... Kanda Bu Song...? Kau apakan dia...?
Suma Boan marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang kakak membuatnya
kasihan juga. Ia mendongkol bahwa dalam keadaan seperti itu adiknya masih saja memikirkan Bu Song!
"Ceng Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung! Puteri seorang pangeran besar! Pergunakanlah
pikiranmu dan akal sehat. Mengapa kau merendahkan diri sedemikian rupa? Apakah kau hendak menyeret
nama baik ayah dan keluarga ke dalam lumpur?"
"Aku... aku... cinta padanya, Koko..."
"Setan! Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song sudah mampus!"
Ceng Ceng menangis tersedu-sedu. "Kau bunuh dia...! Ah, kau bunuh dia, Koko... kenapa kau tidak bunuh aku
sekali...?"
"Goblok? Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang mati-matian, apa kau kira sekarang kau masih hidup?
Ayah lebih senang melihat kau mati dari pada kau bermain gila dengan seorang macam Bu Song."
"Ohhh..., Ayah...!" Suma Ceng makin sedih mendengar hal ini.
"Dengar, Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi dengan seorang yang kedudukannya rendah, bagi
seorang gadis bangsawan hukumannya hanya mati. Akan tetapi aku berhasil meredakan kemarahan Ayah dan
mengusulkan agar kau dijodohkan dengan Pangeran Kian Ti."
"Aku tidak mau... tidak sudi...!"
"Plak!" Suma Boan menampar pipi adiknya sehingga Suma Ceng hampir terpelanting jatuh.
"Auuhhh!" Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan mata terbelalak kepada kakaknya.
Biasanya, kakak kandungnya ini amat mencintanya, tidak pernah memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan
heran, lupa akan kesedihannya dan memandang dengan mata terbelalak.
"Ceng-moi, kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang tak tahu malu ini diketahui orang luar? Cemar yang
menimpa keluarga kita berarti menodai nama keluarga raja! Dan akibatnya, tidak hanya kau yang menerima
dunia-kangouw.blogspot.com
hukuman, juga Ayah dan kita sekeluarga! Mungkin Ayah akan dihentikan, dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah
kau melihat hal itu terjadi?"
Suma Ceng menundukkan kepala, terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala.
Suma Boan mendekati dan mengelus rambut adiknya. "Kau tahu aku sayang kepadamu, dan aku melakukan
ini untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda yang baik, dia keturunan pangeran setingkat
dengan ayah. Tentang dia miskin bukanlah hal yang perlu dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup?
Nah, adikku yang manis, kau harus menurut demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita."
Suma Ceng menubruk dan menyembunyikan muka di dada kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Suma
Boan mengelus rambut adiknya dan tersenyum, maklum bahwa bujukannya berhasil.
Demikianlah, dalam enam bulan itu juga, secara meriah sekali Suma Ceng dikawinkan dengan Kiang Ti,
pangeran yang miskin. Di balik tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng menangis. Sebaliknya, Kiang Ti
tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah melihat Suma Ceng dan mengagumi kecantikan puteri
pangeran ini. Kini gadis yang membuatnya rindu dan mabok kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan
dengannya. Ia benar-benar merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan bulan! Ia merasa rejekinya
baik sekali!.
Akan tetapi kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Ceng menjadi isteri Kiang Ti, keadaannya menjadi
terbalik sama sekali. Kini keluarga Suma Konglah yang merasa rejekinya baik karena mempunyai mantu Kiang
Ti. Seperti telah diketahui, Kiang Ti adalah putera seorang pangeran yang menjadi keponakan Jenderal Cao
Kuang Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang menggulingkan tahta kerajaan, kemudian menjadi kaisar
pertama dari Dinasti Sung! Tentu saja sebagai keponakan Kaisar, Kiang Ti kini menjadi pangeran yang
terhormat dan tinggi kedudukannya, dan karena itu keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang hal ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan menguntungkan Suma Kong. Dia terkenal sebagai
seorang pangeran yang korup. Akan tetapi kaisar baru, yaitu bekas Jenderal Cao Kuang Yin, walau pun tahu
akan watak korup pangeran ini, namun mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga melalui Kiang Ti, tidak
mau mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang lalu. Kaisar hanya memberi pensiun kepada
Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran yang sudah kaya raya itu pindah dari kota raja ke
kota An-sui.
Ada pun pangeran Kiang Ti yang masih keponakan Sang Kaisar, tentu saja dapat tinggal di kompleks istana
yang megah, bersama isterinya yang telah mempunyai seorang putera. Pangeran Kiang Ti amat mencinta
isterinya. Karena sikap yang amat baik, penuh cinta dan penuh kesabaran dari Kian Ti ini, maka sedikit banyak
kepahitan hati Suma Ceng karena terpisah dari kekasihnya dapat terobati.
Demikianlah keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu. Kini biar pun Suma Boan tinggal di An-sui
bersama ayahnya, namun karena ia kaya raya dan masih terhitung keluarga kerajaan, di tambah pula dengan
ilmu kepandaian yang tinggi sejak ia menjadi murid Pouw-kai-ong, Suma Boan menjadi amat terkenal di kota
raja. Siapakah yang tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk Lui-kong-sian Si Dewa Guntur?
Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar, serta harta benda dan ilmunya, pemuda
bangsawan ini malang melintang di kota raja dan sekitarnya tanpa ada yang berani mengganggunya.
********************
Bu Song meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara. Akan tetapi baru saja ia meninggalkan pantai, ia
mendengar suara aneh di atas kapalnya. Ketika ia memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk
rupanya terbang melintas dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "kuk-kuk-kuk!"
Teringatlah Bu Song bahwa di pulau Pek-coa-to tadi pun serasa pernah ia melihat burung ini, akan tetapi ia
lupa lagi entah di mana. Burung itu adalah burung hantu, atau burung malam yang matanya berkilauan seperti
mata kucing, bertelinga seperti kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan lenyap di dalam sebuah hutan
kecil di depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hari telah menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan ilmu lari cepat memasuki hutan kecil itu. Hutan itu
kecil namun liar dan gelap, hutan belukar yang agaknya tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang
gelap, apalagi karena di situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu, air laut sampai di bagian daratan
ini.
"Aduhhh...! Setan iblis siluman tak bermata! Perut orang diinjak-injak seenaknya. Keparat!"
Bu Song juga kaget bukan main. Tadinya tidak ada apa-apa di depannya, bagaimana ketika ia berlari, kakinya
sampai bisa menginjak perut orang tanpa ia ketahui? Betapa pun suram dan agak gelap tempat itu, tak
mungkin ia tidak melihat seorang tidur telentang di depannya menghalang jalan. Tak mungkin! Tadinya benarbenar
tidak ada siapa-siapa, bagaimana tahu-tahu kakek aneh itu dapat terinjak perutnya oleh kakinya? Ia
demikian kaget sampai berjungkir-balik ke belakang. Mendengar suara marah-marah itu ia memandang penuh
perhatian.
Seorang kakek yang aneh. Tubuhnya pendek sekali seperti seorang anak berumur belasan tahun. Kakinya
yang kecil telanjang, kedua tangannya juga kecil. Akan tetapi kepalanya besar, kepala seorang kakek tua renta
penuh jenggot dan kumis panjang. Rambutnya panjang terurai. Benar-benar seorang kakek aneh dan kalau
memang di dunia ini ada setan iblis atau siluman seperti makian kakek tadi, kiranya kakek inilah patut menjadi
seorang di antaranya. Akan tetapi karena kakek itu pandai mengumpat caci, agaknya ia manusia biasa, pikir
Bu Song. Cepat-cepat ia menjura dan memberi hormat.
"Mohon maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak sengaja menginjak perutmu. Akan tetapi aku berani
bersumpah bahwa tadi aku tidak melihat ada orang di sini!"
"Memang tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan perutku tersentuh kakimu, apa kau kira akan mampu
menginjak perutku? Cih!"
Diam-diam Bu Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang
memiliki kepandaian tinggi dan sengaja hendak mempermainkannya, karena ia benar-benar tadi tidak melihat
ada orang tidur di tengah jalan. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian kakek itu
sehingga dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang menginjaknya melihatnya!
Karena yakin bahwa kakek itu seorang sakti, ia cepat-cepat memberi hormat lagi dan berkata, "Maafkan saya,
Lo-cianpwe (Orang Tua Sakti). Sesungguhnya seorang muda seperti saya mana berani bersikap kurang ajar
terhadap seorang tua? Apalagi sampai menginjak perut Lo-cianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup
melakukannya. Bolehlah saya bertanya, Lo-cianpwe siapakah dan apakah maksud hati Lo-cianpwe
mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah apa-apa terhadap Lo-cianpwe?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya amat tidak enak didengar, bukan seperti suara manusia.
Bu Song teringat akan suara burung hantu yang tadi terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini terdengar
suara burung itu dan sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung hantu yang tadi itu kini sudah hinggap di
atas pundak kanan kakek pendek itu!
"Siapa main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kau injak atau tidak, itu urusanku! Tapi yang jelas dan tak
dapat dibantah lagi, kau sudah berlaku kurang ajar menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kau sangkal kalau
berani, kau... eh, siapa namamu?" kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak karuan dan seperti
orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang sendiri).
"Nama saya Bu Song, Lo-cianpwe, she... Liu."
"Heh, Bu Song! Hayo bilang, kau tadi menginjak perutku atau tidak?"
"Heh... betul... tapi... tapi saya tidak sengaja Lo-cianpwe."
"Tidak sengaja atau sengaja, apa bedanya? Yang jelas, buktinya kau sudah menginjak perutku. Kau tahu siapa
aku?"
"Saya belum mendapat kehormatan mengenal nama Lo-cianpwe yang mulia."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani menginjak perutku, hukumannya hanya satu, yaitu mati!"
Biar pun tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang sakti yang patut ia hormati, akan tetapi mendengar
ucapan-ucapannya dan melihat sikapnya, ia mulai merasa mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya
kakek ini bukanlah seorang yang patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman. Akan tetapi ia tetap
menahan kemarahannya dan bersikap sabar. Ia belum pernah mendengar nama Bu Tek Lojin. Biar pun tak
dapat disangkal bahwa ia tadi telah menginjak perut orang, akan tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja,
bahkan si Kakek itu sendiri yang agaknya sengaja mencari perkara.
"Bu Tek Lojin," jawabnya tanpa menyebut lo-cianpwe lagi karena ia merasa tidak senang melihat sikap kakek
yang luar biasa ini. "Yang memberi kehidupan kepadaku adalah Tuhan. Apabila Tuhan yang berkenan
mengambil kehidupanku, aku akan pasrah dengan rela, akan tetapi kalau orang lain yang menghendaki
kematianku, biar pun orang itu seorang tua terhormat dan sakti seperti kau, bagaimana pun juga akan
kupertahankan hak hidupku!"
Kakek itu memandang dengan mata tajam dan tertarik. "Aha, kau pandai bicara. Bicaramu seperti seorang
terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula, agaknya kau seorang sastrawan muda! Dan seorang
terpelajar tentu pandai bermain catur. Orang muda, kau pandai main catur?"
Kakek aneh, pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar ditentukan arahnya. Akan tetapi ia melayaninya
juga dan menjawab, "Bermain catur tentu saja aku bisa, akan tetapi tidak pandai."
"Bagus!" Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas yang dilipat-lipat dan
segenggam biji catur. Kertas itu ia bentangkan di atas tanah dan ternyata adalah kertas gambar papan catur!
"Duduklah, mari kita bertanding catur!"
Kakek itu tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song. Akan tetapi ia menjadi curiga dan bertanya, "Bu Tek
Lojin, apa arti permainan catur ini?"
"Ha-ha-ha, bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali kalau aku melayani kau bertanding. Burungku akan
mentertawakan aku, akan menganggap aku keterlaluan mendesak orang muda dengan ilmu silatku yang tentu
saja jauh lebih unggul karena aku jauh lebih tua, menang pengalaman dan menang latihan. Akan tetapi
permainan catur tidak tergantung dari umur, melainkan dari siasat yang muda mengalahkan yang tua! Kalau
tadi kukatakan bahwa kau telah berdosa kepadaku dan harus dihukum mati, sekarang aku memberi
kesempatan kepadamu untuk menebus nyawamu dengan permaianan catur. Kalau kau menang, kesalahanmu
menginjak-injak perutku habislah dan aku tidak menghendaki nyawamu!"
Bu Song diam-diam makin penasaran dan mendongkol. "Kalau aku kalah?" tanyanya, menahan hati panas.
"Ha-ha! Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti kau hutang dua kali kepadaku. Sebelum kubunuh kau
harus menyerahkan suling emas dengan suka rela kepadaku!"
Berdebar jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila dan tidak bodoh. Kiranya sengaja mencari gara-gara dan
mencari perkara karena ingin merampas suling dan untuk itu tidak akan segan-segan membunuhnya.
Maklumlah Bu Song bahwa ia menghadapi hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini seketika
timbul ketenangannya. Ia teringat akan nasehat suhu-nya bahwa dalam menghadapi perkara apa pun juga,
terutama sekali harus menenangkan hati. Ketenangan akan membuat kita waspada dan hanya dengan
ketenangan kita akan dapat menguasai diri dan mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu mengerahkan
tenaga untuk menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran. Bahkan wajahnya membayangkan
senyum ketika ia memandang kakek itu.
"Orang tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa seorang perantau miskin seperti aku ini mempunyai
sebuah benda dari emas?"
"Ha-ha-ho-ho-ho! Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku mendengar suara suling di sana. Siapa lagi kalau
bukan kepadamu suling itu diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka berkepala batu? Ha-ha-ha! Dasar aku yang
bodoh, percaya saja si Kepala Batu telah dibunuh Couw Pa Ong!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula bahwa ia bertemu dengan Ciu Bun di pulau. Kalau
begini, tak dapat dihindarkan lagi. Kakek ini tentu luar biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan kakek
ini, jelas ia takkan menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhu-nya sendiri, Kim-mo Taisu yang juga
seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan menurut suhu-nya, ia memiliki bakat yang luar biasa untuk
bermain catur.
"Baiklah, kuterima tantanganmu bermain catur, orang tua!" katanya, wajahnya berseri dan matanya bersinar.
"Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah berusia tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah
seorang muda seperti aku. Biar pun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu akan malu
jika sikapmu itu diketahui oleh burungmu."
"Apa? Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga baik-baik lidahmu kalau kau ingin mati dengan
lidah utuh nanti!"
"Bu Tek Lojin, orang bertanding apa saja ada taruhannya. Kita akan bertanding catur, jadi kita berdua harus
bertaruh pula. Akan tetapi engkau tadi hanya menyuruh aku yang bertaruh, akan tetapi kau sendiri tanpa
modal alias bermain tanpa taruhan. Kalau aku kalah, aku harus mati dan memberikan sebuah suling emas
kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, harus ada taruhannya pula!"
Mata kakek itu ketap-ketip (berkejap-kejap), agaknya otaknya dikerjakan keras-keras. Akhirnya ia
mengangguk-angguk dan berkata, "Omonganmu cengli (menurut aturan) juga! Nah, kalau aku kalah, kau boleh
bunuh aku!"
Kembali Bu Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini benar-benar aneh dan mengagetkan karena tidak
disangka-sangka. Akan tetapi melihat betapa sepasang mata itu bersinar-sinar dan biji matanya bergerakgerak
seperti tingkah seorang kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat, mulut yang tersembunyi
di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan tawa, Bu Song maklum dan berseru, "Wah, ternyata Bu
Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya, akan tetapi pandai pula akal bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek
(Tiada Lawan), kiranya selain mengandalkan kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!"
Kakek itu yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas bergambar papan catur, kini meloncat tinggi sehingga
burung di pundaknya kaget dan mengembangkan sayapnya menjaga keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin
mencak-mencak dan menari dengan kedua kakinya berloncatan, kedua tangannya bergerak seperti orang lari
di tempat, mukanya menjadi merah dan matanya bergerak-gerak melotot. "Kurang ajar kau! Tipu muslihat apa
yang kau maksudkan sekarang? Awas, jangan bikin aku marah!"
"Habis, taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau kalah main catur, kau bilang aku boleh membunuhmu.
Tentu saja ini tidak adil sama sekali. Aku boleh membunuhmu, akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan
aku dan bilang mana aku sanggup membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau memberikan ekor
menyembunyikan kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau mau memenuhi sayarat taruhanku, boleh
kau coba-coba melawan aku bermain catur kalau kau becus! Akan tetapi kalau tidak mau memenuhi syarat
taruhanku, sudahlah, kalau kau orang tua hendak berlaku sewenang-wenang terhadap orang muda dan tidak
malu didengar semua orang kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu Tek Lojin beraninya hanya menghina
orang muda, terserah kau apakan aku, boleh saja!"
Sejenak kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu Song itu benar-benar tepat sekali menghantam apa
yang tersembunyi di dalam rencana pikirannya sehingga ia menjadi terkesima, seolah-olah menerima
serangan tepat di ulu hatinya. Kembali matanya berkedip-kedip memandang kagum lalu berkata, "Wah, kiranya
kau bukan bocah sembarang bocah, cukup cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba kau
kemukakan syaratmu, orang muda."
Sebetulnya Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka banyak bicara, bukan pula pandai berdebat.
Kalau sekarang ia bersikap demikian adalah semata-mata terdorong oleh pengertian yang timbul dari
ketenangannya bahwa hanya dengan cara ini sajalah agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
"Begini syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah bermain catur denganmu, biarlah takluk dan menyerah
kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus pergi tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi,
jangan minta benda emas atau suling segala macam dan jangan membunuh atau melukaiku! Coba
dunia-kangouw.blogspot.com
pertimbangkan, kalau aku kalah, aku hanya minta engkau pergi dan aku tidak mengganggumu. Sebaliknya
kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan menyerah. Bukankah ini berarti aku sudah banyak mengalah
kepadamu?"
Kakek itu menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan tebal, mendapatkan seekor semut yang entah
bagaimana tahu-tahu tersesat ke tempat itu. Dengan gemas ia memencet semut itu hancur di antara kedua
jarinya, lalu mengangguk-angguk. "Kongto, kongto (adil, adil). Mari kita mulai!"
Bu Song menarik napas lega. Setidaknya bahaya pertama sudah dapat diatasi, ia dapat menghadapi kakek ini
bermain catur dengan tenang. Kalau ia menang nanti, ia bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan.
Kalau kakek itu tidak membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek itu akan membunuhnya, tentu
saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!
Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song
berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa,
terlalu berani, kasar dan sama sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal
makan saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini. Kakek itu bermain
seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu Song dipaksa saling makan dan dalam waktu
singkat biji-biji catur mereka yang berada di atas papan tinggal sedikit.
Sekarang mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau langkah-langkah biji caturnya
teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu muslihat dan ternyata merupakan permainan catur tingkat
tinggi! Bu Song kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati sebelum
menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena pencurahan perhatian yang bulat
dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh.
Kakek itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri menekan tanah,
lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan. Matanya tidak pernah berkedip memandang
papan catur, bibir yang tersembunyi di balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau
menghafal sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak bergerak
seperti mati.
Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan
tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan
waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biar pun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan
sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun
ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama
artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!
Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia
mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia
dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik
sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistem pertahanan yang ulet bukan main.
Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan
kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga si
Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan ke luar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling
makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!
Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan.
Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya
dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya.
Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur
lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia
mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu
mengerahkan sinkang-nya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari
atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur."
Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali." "Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku
kalah?"
"Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lweekangmu lumayan. Kau murid siapa?"
"Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya."
"Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid
sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari si Gila itu?"
Tak senang hati Bu Song mendengar suhu-nya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh
kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani
kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada
sepersepuluhnya!"
Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apaapa
kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan.
Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan
tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri!
Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan
tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!" tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara
keras lalu terbang ke atas.
Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu
terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak
sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah
begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani main gila dan
membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kau kira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu,
biar pun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!"
"Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar
janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan
catur!
"Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau
harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali
tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kau bikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin
merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri
tegak, menggeleng kepala dan menjawab, "Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati
dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusastraan. Aku sudah berjanji
takkan memberikan benda ini kepada siapa pun juga. Harap kau jangan memaksa."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun
berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!" Ia membentak sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di
atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan, lalu seperti sebuah peluru kendali burung
itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya
yang menampar!
Bu Song sudah siap siaga. Sungguh pun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili si Kakek
menyerangnya, namun karena ia sudah siap. Dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan
dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini. Begitu
sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia
sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan
ini sehingga biar pun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song
dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetesnetes!
Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu
Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena
cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat
itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah.
Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira,
burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya
seperti seorang ahli silat yang terlatih baik. Kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah
membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua
mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah
tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!
Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur
tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu
Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena
dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur!
Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi
cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman
tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul
cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya
sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket,
menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini. Cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun
pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan
karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar
seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan
tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup
kepala.
Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan
kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan menampar lengan kanan Bu Song.
Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh
hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak
menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!" burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang
namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi
karena tulang-tulang punggungnya remuk dan dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek Lojin marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!" Bu Song
membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang
tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, kau keluarkan suling emas itu cepat-cepat!"
Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan
kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.
Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu
mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat kakek itu terus saja maju
hendak mencengkeram pundaknya. Bu Song mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan
gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biar pun
baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya,
maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Biansin-
kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan).
Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki
sinkang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lweekang. Oleh karena ini
maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah
didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau
serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song.
Pemuda ini maklum akan kesaktian lawan, maka ia melawan sekuat tenaga. Namun ia kalah cepat sehingga
untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki.
Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk
menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang
manusia luar biasa!" sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat. Tanpa
dapat dicegah lagi, dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung
kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Begitu tubuhnya mencium tanah, dengan gerakan lincah ia gerakkan kaki
tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia
mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian
Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang.
Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini, dan ternyata suling itu juga merupakan benda mukjijat karena
sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan
mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!" Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan
menjauh di atas tanah. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu
pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan
suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi. Dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya
miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu
Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan
dunia-kangouw.blogspot.com
sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap
mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biar pun
ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi
dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dilakukan dengan jari-jari
dikembangkan, ada pun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor
satu di dunia ini tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama
hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa
orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang
bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat dari pada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang
kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir
sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat.
Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar
kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran
seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang
mengeluarkan bunyi angin berciutan.
Namun lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa, memiliki sinkang yang jauh melampaui manusia biasa
sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu
Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!"
Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu
sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri
merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengah sedikit saja tentu
matanya akan menjadi buta, atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacat.
Terpaksa ia mengelak. Karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak
dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya
tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia
melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah
berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon,
duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengeluselusnya
dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang suling itu
bisa berbunyi, akan tetapi bunyinya tidak karuan dan menyakitkan telinga.
Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan
mengerahkan khikang-nya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khikang tidak dapat menolong banyak.
Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup
sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis
saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut,
mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kau ajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku
tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu
mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti
itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan
mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang
memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap
dunia-kangouw.blogspot.com
manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya sukar dicari tandingnya
di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu.
Maka Bu Song lalu menjawab, "Bu Tek Lojin adalah seorang Lo-cianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi.
Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul
demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada
Lo-cianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu
besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat. "Coba kau beritahu, bagaimana
memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah
sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apa lagi
mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku,
bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi
seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua
pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti
kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air
mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu
sampai mengeluarkan air mata. "Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang
keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!"
Setelah berkata demikian, berulang-ulang kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya.
Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Lo-cianpwe, jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau
sulingnya akan rusak.
Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan
membuat Bu Song terpelanting ke belakang! Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan
bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biar pun ia pukul-pukulkan ke batu, bahkan batunya yang remukremuk
di bagian yang dipukul suling.
"Lo-cianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat
didengar!" dalam gugupnya Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek
itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan
Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Lo-cianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang
katanya Suhu dengar dari Lo-cianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku,
bagaimana bunyinya?"
"Lo-cianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar
biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Lo-cianpwe menghafal bunyi syair, kemudian
kita berdua mainkan lagu mukjijat ini, Lo-cianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kau perdengarkan, akan kuhafalkan!"
ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
dunia-kangouw.blogspot.com
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Bu Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun girang luar biasa.
Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek
itu berseri-seri wajahnya, sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!
“Anak baik! Lekas kau tiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Lo-cianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit, lalu
membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambatlambat
keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi, dan karena Bu Song
berusaha memenangkan hati kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan
perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores
perasaan.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru