Selasa, 09 Mei 2017

Cersil Indo Hina Kelana 3 (Smiling Proud Wonder)

Cersil Indo 3 Hina Kelana (Smiling Proud Wonder) Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Indo 3 Hina Kelana (Smiling Proud Wonder)
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Indo Hina Kelana 3 (Smiling Proud Wonder)
Bab 16. Senjata Makan Tuan, Cui-sim-ciang Makan Jing-sia-pay
Para hadirin melihat umur dara cilik itu paling-paling baru 12-13 tahun saja, berbaju hijau pupus, kulit
badannya putih bersih, raut mukanya bulat telur, cantik menyenangkan. Maka timbul seketika rasa simpatik
semua orang. Beberapa orang di antaranya yang berangasan sudah lantas berteriak-teriak, "Hajar hidung
kerbau itu!"
"Ya, mampuskan Tosu kerdil itu!"
Keadaan Ih Jong-hay jadi serbasulit. Ia tahu dirinya telah menimbulkan kemarahan umum, ia menjadi kuncup
dan tak berani membantah. Terpaksa ia membujuk si dara cilik lagi, "Adik kecil, maaf ya! Coba kulihat
tanganmu apakah terluka?" Lalu ia bermaksud memeriksa tangan dara cilik itu.
"Tidak, tidak mau! Kau nakal, jangan sentuh diriku!" demikian dara cilik itu berkaok-kaok lagi. "O, ibu, ibuuu!
Tanganku telah dipatahkan oleh Tosu katai ini."
Selagi Ih Jong-hay kewalahan, tiba-tiba dari pihaknya muncul seseorang, ialah Pui Jin-ti yang terkenal paling
cerdik di antara murid-murid Jing-sia-pay. Ia berkata terhadap anak dara itu, "Nona cilik sengaja pura-pura ya?
Tangan Suhuku kan tidak menyentuh bajumu, dari mana bisa mematahkan tanganmu?"
"O, Ibu! Ada seseorang lagi hendak memukul aku!" mendadak gadis cilik itu berteriak pula.
Memang Ting-yat Suthay sudah mendongkol menyaksikan kejadian tadi, segera ia melangkah maju, kontan dia
tempeleng muka Pui Jin-ti sambil membentak, "Orang tua beraninya cuma menggertak anak kecil, tidak tahu
malu!"
Mestinya Pui Jin-ti hendak menangkis, tak terduga Ting-yat justru sengaja hendak memancing dia untuk
angkat tangannya, sekali sambar ia pegang telapak tangan Pui Jin-ti, menyusul tangan lain memotong ke siku.
Asal kena, tentu ruas tulang Jin-ti itu akan patah.
Untunglah Ih Jong-hay cepat bertindak, segera ia menutuk ke punggung Ting-yat sehingga mau tak mau Nikoh
tua itu harus menarik kembali tangannya untuk menangkis. Karena Ih Jong-hay tidak bermaksud ingin
bertempur dengan dia, maka ia lantas melompat mundur tanpa menyerang lagi.
Biasanya Ting-yat Suthay paling suka kepada anak dara yang cantik dan lincah. Segera ia pegang lengan dara
cilik tadi dan bertanya dengan suara ramah, "Anak yang baik, mana yang sakit? Coba kulihat, akan
kusembuhkan!"
Setelah meraba lengan anak dara itu dan terasa tidak patah, hatinya menjadi lega. Ia menyingsingkan lengan
baju, maka tertampaklah lengannya yang kecil dan putih halus terdapat empat garis merah bekas
cengkeraman jari.
Dengan gusar ia lantas membentak terhadap Pui Jin-ti, "Ini lihat, bangsat! Katamu gurumu tidak menyentuh
tangannya, lalu bekas jari tangan siapa ini?"
"Bekas jari tangan kura-kura itu, kura-kura itu!" demikian mendadak dara cilik itu berseru sambil menuding
punggung Ih Jong-hay.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kura-kura atau Oh-kui adalah sebutan bagi germo. Maka meledaklah gelak tawa orang banyak, sampai-sampai
ada yang menyemburkan air teh yang baru saja diminumnya, ada yang terpingkal-pingkal sampai menungging.
Ih Jong-hay sendiri tidak tahu apa yang ditertawakan orang banyak itu. Dia sangka anak dara itu merasa
penasaran maka memakinya sebagai kura-kura, mestinya tidak perlu merasa geli. Anehnya semua orang masih
terus tertawa sambil memandang padanya, mau tak mau ia merasa kikuk juga.
Mendadak Pui Jin-ti melompat ke belakang sang guru dan menanggalkan sehelai kertas dari bajunya. Lalu
kertas itu diremasnya.
Ketika Ih Jong-hay minta kertas itu dan dibentang, tertampaklah di atas kertas itu terlukis seekor kura-kura
besar. Terang kertas itu ditempelkan di punggungnya oleh dara cilik itu pada waktu dirinya lena tadi.
Di tengah gusar dan malu Ih Jong-hay terkesiap juga. Ia pikir gambar kura-kura itu tentu sudah disediakan
lebih dulu dan sengaja hendak mempermainkan dirinya. Jika demikian di belakang anak dara itu pasti ada
orang lain lagi yang menjagoi. Ia berpaling dan memandang sekejap kepada Lau Cing-hong, ia menduga gadis
cilik itu tentu anggota keluarga Lau, boleh jadi diam-diam Lau Cing-hong yang sengaja main gila padanya.
Karena dipandang oleh Ih Jong-hay, segera Lau Cing-hong merasa dirinya telah dicurigai, ia coba mendekati
dara cilik tadi dan bertanya, "Adik kecil, anak siapakah kau? Di manakah ayah-bundamu?"
Pertanyaannya itu sengaja diajukan supaya didengar Ih Jong-hay, pula ia sendiri pun curiga dan ingin tahu
anak dara itu datang bersama siapa.
Maka dara cilik itu menjawab, "Ayah-bundaku sudah pergi, aku disuruh tinggal di sini, katanya sebentar lagi
akan ada permainan sulapan, ada dua orang akan melayang dan jatuh tak bergerak, katanya itu adalah
kepandaian andalan Jing-sia-pay yang disebut 'gaya belibis jatuh pantat menghadap ke belakang'! Dan
memang sangat menarik sulapan ini!"
Habis berkata ia terus bertepuk tangan dan tertawa riang walaupun air mata masih meleleh di pipinya.
Melihat itu, sebagian hadirin menjadi geli. Teranglah anak dara itu sengaja disuruh oleh seseorang untuk main
gila terhadap Jing-sia-pay.
Dalam pada itu kedua murid Jing-sia-pay tadi masih tergeletak tak bergerak di tempatnya. Segera Ih Jong-hay
mendekatinya dan menepuk dua kali di tubuh seorang murid itu. Tapi di mana tangannya menyentuh terasa
badan murid itu sudah dingin. Keruan Ih Jong-hay terkejut.
Jika kedua muridnya yang ditendang jatuh di ruangan dalam tadi walaupun tak bisa bergerak, tapi tidaklah
terluka. Tapi sekarang kedua murid ini badannya sudah kaku dan dingin. Diam-diam Ih Jong-hay mengeluh dan
tahu kedua muridnya itu sudah binasa.
Ia coba membalik tubuh murid itu, tertampak air mukanya bersenyum simpul secara aneh. Melihat senyuman
aneh itu, seketika Ih Jong-hay terperanjat seperti melihat setan iblis. Betapa pun kuat perasaannya tidak urung
jarinya rada gemetar juga.
Maklumlah bahwa senyuman aneh itu telah sangat dikenal olehnya, yaitu senyuman kematian yang menjadi
korban "Cui-sim-ciang", pukulan penghancur hati, ilmu yang menjadi kebanggaan Jing-sia-pay itu.
Senyuman itu bukan senyuman yang wajar, tapi adalah kerutan di waktu kejang kesakitan bila terkena pukulan
yang membikin remuk bagian isi perut itu. Di dunia ini hanya Cui-sim-ciang saja yang dapat menimbulkan
senyuman aneh itu bagi korbannya. Jadi kalau dipandang dari segi ini ternyata kedua muridnya itu telah binasa
di tangan sesama orangnya sendiri.
Untuk sejenak muka Ih Jong-hay sebentar merah sebentar pucat tanpa bisa bersuara.
Sekonyong-konyong Lim Peng-ci berteriak, "Cui-sim-ciang! Cui-sim-ciang! Itu adalah ilmu silat Jing-sia-pay
sendiri!"
Karena banyak di antara pegawai Hok-wi-piaukiok telah dibinasakan oleh ilmu pukulan ajaib itu, maka
senyuman aneh pada tiap-tiap korbannya telah berkesan mendalam baginya. Sebab itulah dia lantas
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mendahului berteriak.
Beberapa orang di antara hadirin juga kenal ciri khas "Cui-sim-ciang" itu, serentak mereka pun berseru, "Ya,
benar! Korban Cui-sim-ciang!"
"Kiranya anak murid Jing-sia-pay telah saling bunuh-membunuh sendiri!"
Ih Jong-hay menjadi gelisah, katanya pada Pui Jin-ti dengan suara perlahan, "Gotong pergi dulu!"
Segera Pui Jin-ti memberi isyarat, beberapa murid Jing-sia-pay lantas berlari maju dan mengusung keluar
jenazah-jenazah saudara seperguruan mereka.
Tiba-tiba si dara cilik berseru, "Wah, orang Jing-sia-pay benar-benar sangat banyak! Mati satu digotong dua,
mati dua digotong empat!"
Dengan muka merah padam Ih Jong-hay tanya si dara cilik, "Siapa orang tuamu? Apakah ucapanmu barusan
ini adalah ajaran ayah-ibumu?"
Tapi nona cilik itu dengan tertawa masih terus menghitung, "Satu kali dua mendapat dua, dua kali dua
mendapat empat, dua kali tiga mendapat enam ...." dan begitu seterusnya dia lantas menghafalkan angka
perkalian seperti anak sekolah. Padahal ucapannya sangat menyinggung perasaan Ih Jong-hay.
Dengan mendongkol Ih Jong-hay menegur pula dengan suara bengis, "Aku tanya kau, mengapa kau tidak
menjawab?"
Di luar dugaan dara cilik itu lantas mewek-mewek dan kembali menangis lagi sambil menyisipkan kepalanya ke
dalam pelukan Ting-yat Suthay.
"Jangan takut, anak baik, jangan takut!" demikian Ting-yat menimangnya sambil tepuk-tepuk bahu si dara.
Lalu ia berpaling kepada Ih Jong-hay dan berkata, "Kau tidak becus mengajar murid sendiri sehingga mereka
saling bunuh, mengapa kau menjadi marah dan menggertak seorang anak kecil?"
Akan tetapi Ih Jong-hay hanya mendengus dan tidak menggubrisnya.
Mendadak kepala anak dara itu menongol keluar dari pelukan Ting-yat Suthay, lalu berkata dengan tertawa,
"Losuthay, betul tidak hitunganku: dua kali dua mendapat empat, dua kali empat mendapat delapan ...."
sampai di sini dia lantas tertawa terkikik-kikik.
Semua orang merasa kelakuan dara cilik itu memang aneh, sebentar menangis sebentar tertawa. Kelakuan
demikian mestinya adalah kejadian biasa bagi anak kecil umur 7-8 tahun, tapi anak dara ini tampaknya sudah
ada 12-13 tahun, perawakannya juga cukup tinggi, apalagi setiap ucapannya selalu menyinggung kehormatan
Ih Jong-hay, hal ini terang bukan secara kebetulan, tapi di balik layar pasti ada yang suruh.
Lama-lama Ih Jong-hay juga tidak sabar lagi, ia berseru, "Seorang laki-laki sejati harus berani berbuat secara
blak-blakan, kalau ada sahabat yang merasa sirik padaku boleh silakan tampil ke muka saja, kalau main
sembunyi-sembunyi dan memperalat seorang anak kecil, cara demikian terhitung orang gagah macam apa?"
Meskipun orangnya kecil, tapi suara Ih Jong-hay sangat keras dan nyaring sehingga anak telinga para hadirin
sampai mendenging-denging. Namun keadaan ternyata sunyi senyap saja, tiada seorang pun yang menjawab.
Selang sebentar tiba-tiba nona cilik itu berkata pula, "Losuthay, dia tanya orang gagah macam apa? Apakah
Jing-sia-pay mereka adalah orang-orang gagah?"
Walaupun tidak senang terhadap Jing-sia-pay, namun sebagai tokoh angkatan tua tidaklah pantas mengolokolok
golongan lain secara terang-terangan, terpaksa Ting-yat menjawab secara samar-samar, "Ya, leluhur Jingsia-
pay memang ... memang banyak kesatria yang gagah."
"Dan sekarang bagaimana? Apakah masih ada sisa-sisa kesatria gagah itu?" tanya si anak dara pula.
"Entahlah, boleh coba kau tanya kepada Totiang ketua Jing-sia-pay ini," sahut Ting-yat sambil menuding Ih
Jong-hay.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Benar-benar si nona cilik lantas tanya Ih Jong-hay, "Eh, Totiang ketua, jika orang dalam keadaan terluka parah
dan tak bisa berkutik, lalu seorang lain menganiayanya pula, kau bilang orang itu terhitung kesatria gagah atau
bukan?"
Pertanyaan ini bukan saja membuat hati Ih Jong-hay tergetar, bahkan setiap orang yang mengikuti cerita Gilim
tadi tentang Lo Jin-kiat membunuh Lenghou Tiong, hati mereka juga terkesiap, pikir mereka, "Janganjangan
nona cilik ini ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pay?"
Sebaliknya Lo Tek-nau membatin, "Ucapan nona cilik ini terang membela keadilan bagi Toasuko. Siapakah
gerangan dia ini?"
Tadi sesudah mendengar berita tentang kematian sang Toasuko di ruangan dalam, karena khawatir membikin
duka Siausumoay, sekeluarnya di ruangan tamu depan dia belum sempat memberitahukan berita jelek itu
kepada para saudara seperguruannya.
Di antara orang banyak itu mungkin Gi-lim yang paling terguncang perasaannya, ia merasa terima kasih tak
terhingga atas pertanyaan anak dara itu, pertanyaan demikian sudah sejak tadi hendak diajukan olehnya,
cuma dasar perangainya halus, biasanya suka menghormati orang tua pula, betapa pun ia anggap Ih Jong-hay
sebagai angkatan tua, maka sukar untuk mengucapkan pertanyaan itu. Sekarang nona cilik itu telah
mewakilkan dia berbicara, tentu saja ia sangat terima kasih, saking terharunya sampai air matanya bercucuran.
"Pertanyaanmu ini siapakah yang suruh kau ajukan padaku?" demikian tanya Ih Jong-hay.
Dara cilik itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya berkata, "Jing-sia-pay kalian terdapat seorang yang bernama
Lo Jin-kiat, dia adalah murid Totiang, bukan? Dia melihat seorang terluka parah, orang itu adalah seorang baik,
tapi Lo Jin-kiat itu tidak menolongnya, sebaliknya malah telah menusuknya dengan pedang. Menurut Totiang,
perbuatan Lo Jin-kiat itu terhitung kesatria gagah atau bukan? Apakah kepandaian demikian itu adalah ajaran
Totiang?"
Sudah tentu pertanyaan itu membuat Ih Jong-hay serbarunyam dan sukar menjawab. Terpaksa ia tanya pula
dengan suara bengis, "Aku tanya kau, sebenarnya siapa yang mendalangi kau untuk mencari perkara padaku?
Ayahmu adalah orang Hoa-san-pay, bukan?"
Kembali si anak dara tidak menjawab, ia malah berpaling kepada Ting-yat dan bertanya, "Losuthay, caranya
menggertak anak kecil ini apakah terhitung perbuatan seorang laki-laki? Apakah terhitung seorang kesatria?"
"Wah, sukar bagiku untuk menjawabnya," sahut Ting-yat.
Keruan semua orang tambah heran. Kalau pertanyaan-pertanyaan si anak dara, semula mereka menduga
adalah suruhan orang tua, tapi pertanyaannya yang belakangan ini terang sangat tajam dan jitu terhadap sikap
Ih Jong-hay yang garang itu. Jadi pertanyaan belakangan ini diucapkan menurut keadaan dan bukanlah
karangan sebelumnya, sungguh tidak disangka nona semuda itu ternyata sudah begitu lihai mulutnya.
Dengan pandangan yang samar-samar karena tergenang air mata, tiba-tiba hati Gi-lim tergerak melihat
bayangan si nona cilik yang ramping itu. Ia merasa adik cilik itu seperti pernah dilihatnya, tapi entah di mana?
"Ah, benar. Kemarin dia pun berada di Cui-sian-lau," demikian tiba-tiba teringat oleh Gi-lim. Lalu terbayanglah
keadaan kemarin pagi ketika dia dipaksa naik ke atas loteng restoran itu oleh Dian Pek-kong. Semula restoran
itu penuh tamu, tapi sesudah terjadi pertempuran, para tamu lantas lari bubar ketakutan, pelayan juga tidak
berani mendekat. Namun pada meja yang terletak di pojok dekat jendela justru masih duduk dua orang,
sampai akhirnya Lenghou Tiong terbunuh dan dirinya memondong jenazah Lenghou Tiong keluar dari restoran
itu, agaknya kedua orang itu masih belum meninggalkan mejanya.
Waktu itu karena pikirannya lagi bingung, banyak kejadian-kejadian yang membuatnya cemas, sudah tentu ia
tidak perhatikan siapakah kedua orang yang duduk di pojok itu. Tapi sekarang perawakan anak dara itu
rasanya cocok benar dengan bayangan yang masih membekas dalam benaknya. Ia merasa satu di antara dua
orang kemarin itu bukan lain adalah si dara cilik ini. Tapi masih ada lagi seorang, siapakah dia? Yang masih
teringat olehnya orang itu adalah laki-laki, hal ini tidak perlu disangsikan. Cuma saja bagaimana dandanannya,
tua atau muda, inilah yang kurang jelas baginya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kalau saat itu perhatian semua orang terpusat kepada Ih Jong-hay dan si dara cilik, adalah pikiran Gi-lim
seorang saja yang tenggelam dalam lamunannya. Terbayang pula pemandangan kemarinnya, wajah Lenghou
Tiong yang selalu tertawa seakan-akan muncul lagi di depan matanya, terbayang olehnya cara bagaimana
sebelum mati Lenghou Tiong memancing Lo Jin-kiat mendekat, lalu pedangnya menubles ke dalam perut
musuh itu. Kemudian dirinya memondong jenazah Lenghou Tiong meninggalkan loteng restoran. Dalam
keadaan limbung ia sendiri tidak tahu menuju ke mana, samar-samar ia merasa telah keluar kota dan berjalan
terus tanpa arah tujuan. Ia merasa tubuh yang dipondongnya itu lambat laun mulai dingin, tanpa merasa berat
dan tidak tahu sedih atau duka, lebih-lebih tidak tahu jenazah itu hendak dibawanya ke mana. Tahu-tahu ia
sampai di tepi sebuah empang, bunga teratai tampak mekar dengan indahnya. Mendadak dadanya terasa
ditumbuk oleh sesuatu, ia tidak tahan lagi, bersama jenazah yang masih dipondongnya itu dia roboh terkapar,
lalu tidak ingat apa-apa lagi.
Kemudian waktu siuman kembali, ia merasa cahaya matahari menyilaukan mata. Cepat ia hendak memondong
kembali jenazah yang terjatuh. Tapi ia meraba tempat kosong. Ia melompat bangun terkejut. Dilihatnya dirinya
masih berada di tepi empang, bunga teratai masih tetap indah, namun jenazah Lenghou-toako sudah
menghilang. Ia coba mengelilingi empang itu dan tidak menemukan sesuatu. Dari air empang yang jernih itu
terlihat jelas dasar empang yang hijau berlumut. Lantas ke manakah jenazah Lenghou-toako? Mengapa bisa
terbang tanpa sayap?
Ia melihat pakaiannya sendiri berlepotan darah, terang bukan dalam mimpi. Tapi jenazah Lenghou-toako
benar-benar telah menghilang tanpa bekas. Ia menjadi takut dan berduka, hampir-hampir ia jatuh terkapar
lagi. Sesudah tenangkan diri akhirnya ia sampai ke Heng-san dan mendatangi rumah Lau Cing-hong serta
bertemu kembali dengan gurunya. Namun di dalam hati senantiasa ia bertanya-tanya, "Ke manakah perginya
jenazah Lenghou-toako?"
Teringat olehnya kesatria muda itu telah mengorbankan jiwanya lantaran hendak menolongnya, tapi sekarang
jenazah penolong itu saja dirinya tak sanggup menjaganya, sungguh ia tidak ingin hidup lebih lama lagi.
Padahal seumpama jenazah Lenghou Tiong tidak kurang suatu apa pun, dia juga tak ingin hidup lagi.
Tiba-tiba timbul sesuatu pikiran dari lubuk hatinya yang dalam, sebuah pikiran yang tak berani dipikirkan
olehnya, pikiran yang tidak patut baginya sebagai seorang padri. Tapi pikiran demikian itu toh sukar dihapus
dari benaknya. Dengan jelas terbayang olehnya, "Pada waktu aku memondong jenazah Lenghou-toako, yang
kuharapkan adalah selama hidupku akan selalu dapat memondong tubuhnya dan berjalan, berjalan terus di
tempat yang tiada seorang pun. Betapa pun aku harus menemukan kembali jenazahnya. Tapi apakah
sebabnya? Apakah karena khawatir jenazahnya dimakan binatang liar? Tidak, bukan itu maksudnya. Sungguh
celaka, mengapa waktu di tepi empang itu aku bisa jatuh pingsan? Padahal ingin sekali jenazah itu akan berada
di dalam pangkuannya selama hidup. Ai, mengapa timbul pikiran demikian? Seharusnya aku tidak boleh
berpikir demikian, Suhu tidak boleh, Buddha juga melarang. Pikiran demikian adalah pikiran setan iblis, aku
tidak boleh kerasukan setan. Akan tetapi bagaimana dengan jenazah Lenghou-toako?"
Begitulah pikirannya terasa buntu, sebentar-sebentar seakan-akan terbayang senyuman Lenghou Tiong yang
menawan hati. Lain saat terbayang juga air muka Lenghou Tiong yang mencemoohkan sambil memaki, "Nikoh
cilik yang membikin sial" itu ....
Dalam pada itu suara Ih Jong-hay bergema pula, "Lo Tek-nau, nona cilik ini adalah orang Hoa-san-pay kalian
atau bukan?"
"Bukan," sahut Tek-nau. "Bahkan Tecu juga baru kenalnya sekarang ini."
"Baik, kau tak mau mengaku juga tak mengapa," kata Ih Jong-hay. Mendadak tangannya bergerak, sinar hijau
berkelebat, sebuah Hui-cui (bor terbang) melayang ke arah Gi-lim disertai bentakannya, "Awas, Siausuhu!"
Saat itu Gi-lim masih termenung-menung, sama sekali tak berpikir akan diserang oleh Ih Jong-hay.
Menyambarnya bor kecil itu sangat lambat, tapi membawa suara mendenging keras. Tiba-tiba Gi-lim merasa
senang malah, pikirnya, "Bagus, memangnya aku tidak ingin hidup lagi, paling baik kalau aku terbunuh saja!"
Karena itu sama sekali ia tidak bermaksud menghindar atau menangkap senjata rahasia itu walaupun orang
ramai memperingatkannya. Entah mengapa ia malah merasa senang, ia merasa daripada hidup merana dan
kesepian di dunia fana ini, ada lebih baik senjata rahasia itu mengirimkan sukmanya ke surga nirwana.
Sekonyong-konyong Ting-yat bertindak, ia dorong minggir si anak dara tadi lalu melompat maju untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengadang di depan Gi-lim. Biarpun usianya sudah lanjut, tapi gerakan Ting-yat itu ternyata amat gesit dan
cepat sekali, ia sempat mengulurkan tangannya untuk menangkap senjata rahasia itu.
Di luar dugaan, sebelum Hui-cui itu tertangkap Ting-yat, mendadak senjata rahasia itu anjlok ke bawah dan
jatuh di lantai.
Sebenarnya kalau Ting-yat mau mengangsurkan tangannya, maka dengan mudah sekali Hui-cui itu akan
tertangkap olehnya. Cuma dia sengaja menunggu bila senjata itu sudah menyambar di depan dadanya barulah
akan ditangkapnya secepat kilat. Dengan demikian ia hendak perlihatkan gayanya sebagai jago silat kelas
wahid.
Tidak tersangka serangan Ih Jong-hay itu juga sangat aneh, sudah diperhitungkan bila kira-kira Hui-cui itu
kira-kira satu meter di depan sasarannya, lalu anjlok dan jatuh ke bawah. Cara demikian bukan saja dalam hal
tenaga sambitan telah diatur secara tepat, bahkan maksudnya juga sangat licik.
Benar saja Ting-yat telah kena dikerjai, dia telah menangkap tempat kosong. Senjata rahasia itu telah jatuh
lebih dulu. Terang dia telah kalah satu jurus, tanpa merasa mukanya menjadi merah, tapi tak bisa berbuat apaapa.
Pada saat itulah tertampak Ih Jong-hay kembali mengayun tangannya lagi, sepulung kertas telah ditimpukkan
ke muka si dara cilik tadi. Pulungan kertas itu adalah kertas yang berlukiskan kura-kura yang ditempelkan di
punggung Ih Jong-hay oleh anak dara itu.
Melihat itu barulah Ting-yat sadar sebabnya imam kerdil itu menyerang Gi-lim sebenarnya hanya untuk
memancing saja agar dirinya terpaksa menolong muridnya sendiri.
Tampaknya pulung kertas kecil itu menyambar ke depan dengan lebih cepat, bahkan lebih dahsyat
kekuatannya daripada sambaran Hui-cui tadi. Terang pulungan kertas itu disambitkan dengan iringan tenaga
dalam yang kuat, jika muka anak dara itu terkena, tentulah akan terluka.
Waktu itu Ting-yat berdiri di depan Gi-lim, hendak menolong juga tidak terburu lagi. Baru saja ia hendak
mendamprat kelicikan Ih Jong-hay itu, tiba-tiba tertampak anak dara itu telah mengangkat tangan kanan, jari
telunjuknya menyelentik sekali ke arah datangnya pulungan kertas. "Crit", tahu-tahu gulungan kertas itu
hancur menjadi beratus-ratus keping kecil dan bertebaran sebagai kupu-kupu terbang. Serentak bersoraksorailah
beberapa puluh orang.
Sebaliknya tokoh-tokoh sebagai Ting-yat, Ih Jong-hay, Thian-bun Tojin, Lau Cing-hong, Bun-siansing, Ho Samjit
dan lain-lain sama terperanjat. Segera Ih Jong-hay bertanya, "He, he, nona cilik, hebat benar selentikan
'Pek-niau-tiau-hong' yang kau mainkan ini!"
Seketika sorot mata Ting-yat dan lain-lain memaku ke muka si anak dara dan ingin mendengar bagaimana
jawabnya. Mereka tahu "Pek-niau-tiau-hong" (beratus burung menghadap burung Hong) adalah semacam ilmu
silat Mo-kau (agama iblis, berasal dari agama Mani) yang lihai, bila sudah sempurna melatihnya, sekali
bergerak dapat membinasakan beberapa orang sekaligus.
Melihat usia dara cilik itu, sudah tentu kepandaiannya belum sempurna, tapi selang beberapa tahun lagi dan
yang dia selentikkan juga bukan lagi pulungan kertas, tapi adalah sebangsa pasir berbisa dan senjata rahasia
kecil lain yang jahat, maka betapa pun lihai lawannya juga akan kewalahan menghadapi taburan beratus-ratus
dan mungkin beribu-ribu butir pasir dan lain-lain. Terhadap ilmu silat pihak Mo-kau biasanya orang-orang Bulim
dari kalangan Cing-pay memang merasa pusing kepala dan sukar menghadapinya. Siapa duga hanya
seorang anak dara cilik pun mahir menggunakan ilmu silat yang lihai lagi keji itu.
Namun lantas terdengar dara cilik itu mengikik tawa dan menjawab, "Siapa bilang ini adalah 'Pek-niau-tiauhong'?
Kata ibu, ilmu ini bernama 'It-ci-tan'. Cuma latihanku belum sempurna, jika dilatih 20 tahun lagi barulah
lumayan. Tapi kalau 20 tahun lagi, tatkala mana rambutku sudah ubanan dan gigiku juga sudah ompong, lalu
buat apalagi menggunakan 'It-ci-tan' apa segala?"
Thian-bun dan Ting-yat saling pandang sekejap, air muka mereka sama-sama mengunjuk rasa heran dan
kejut.
Ting-yat lantas menegas, "Kau bilang ini adalah ilmu sakti 'It-ci-tan'? Jika demikian, apakah ibumu tinggal di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ci-tiok-to di lautan timur?"
"Betul atau tidak boleh kau terka sendiri," sahut si dara cilik sambil tertawa. "Menurut pesan ibu, asal usul kami
sekali-kali tidak boleh diceritakan kepada orang lain."
Tentang ilmu silat "Pek-niau-tiau-hong" dari Mo-kau memang sudah terkenal, cuma bagaimana caranya
tidaklah diketahui oleh Thian-bun Tojin dan lain-lain. Sedangkan "It-ci-tan" (jari tunggal sakti) adalah
kepandaian Keng-goat Sin-ni, seorang Nikoh sakti di pulau Ci-tiok-to di lautan timur. Konon ilmu sakti itu tidak
diajarkan kepada orang luar, jika anak dara ini mahir menggunakannya, sudah tentu dia mempunyai hubungan
keluarga dengan Keng-goat Sin-ni.
Keng-goat Sin-ni adalah tokoh kosen yang sangat terkenal di dunia persilatan, tiada tokoh lain yang dapat
membandingi dia. Walaupun pengakuan anak dara ini entah benar atau tidak, tapi lebih baik percaya saja
daripada kemungkinan memusuhi seorang tokoh sakti yang teramat lihai itu. Lantaran pikiran demikianlah
maka Thian-bun dan lain-lain lantas menaruh hormat kepada si anak dara. Sebaliknya wajah Ih Jong-hay
menjadi pucat.
Ting-yat Suthay memang paling suka kepada nona cilik yang berwajah molek, apalagi dara cilik itu ada
hubungannya dengan Ci-tiok-to di lautan timur, sebagai sesama murid Buddha, sudah tentu ia tidak
membiarkan anak kecil itu dianiaya oleh Ih Jong-hay. Sebaliknya ia pun tahu Ih Jong-hay adalah seorang
pemimpin persilatan terkenal yang sukar dilawan, jika terjadi bentrokan tentu tidak menguntungkan juga.
Maka ia lantas berkata kepada Gi-lim, "Ayah-ibu adik cilik ini entah pergi ke mana, coba kau bantu dia pergi
mencari supaya dia tidak dianiaya orang jahat lagi."
Gi-lim mengiakan dan segera mendekati dara cilik itu untuk menggandeng tangannya. Anak dara itu tertawa
riang dan ikut Gi-lim keluar.
Tahu tiada gunanya lagi jika merintangi, maka Ih Jong-hay hanya menjengek saja tanpa menggubris pula.
Setiba di ruangan depan, Gi-lim lantas tanya anak dara itu, "Adik cilik, kau she apa dan bernama siapa?"
"Aku she Lenghou, bernama Tiong," demikian dara cilik itu menjawab dengan tertawa.
Seketika perasaan Gi-lim terguncang, ia lantas menarik muka dan mengomel, "Aku tanya sungguh-sungguh
padamu, mengapa kau bergurau padaku?"
"Mengapa kau bilang bergurau?" sahut si anak dara. "Memangnya hanya sobatmu boleh bernama Lenghou
Tiong dan aku tidak boleh?"
Gi-lim menarik napas, hatinya berduka, air matanya lantas menetes, katanya, "Aku telah utang budi kepada
Lenghou-toako yang telah menolong jiwaku, tapi dia telah mati bagiku, aku ... aku tidak sesuai untuk menjadi
sobatnya."
Berkata sampai di sini, tertampaklah dua orang bungkuk, seorang lebih tinggi dan seorang katai, bergegasgegas
lalu di serambi sana. Itulah Say-pak-beng-tho Bok Ko-hong dan Lim Peng-ci.
Si anak dara mengikik tawa dan berkata, "Di dunia ini ternyata bisa terjadi secara kebetulan demikian dan
benar-benar ada seorang bungkuk tua sejelek itu."
Mendengar dara cilik itu suka mengolok-olok orang, Gi-lim merasa sebal, katanya, "Adik cilik, maukah kau
pergi sendiri mencari ayah-bundamu? Kepalaku sakit, badanku kurang enak."
"Ala, kau pura-pura saja," kembali si anak dara mengolok-olok. "Aku tahu, kau merasa tidak senang karena
aku menggunakan nama Lenghou Tiong. Cici yang baik, gurumu suruh kau untuk mengawani aku, mana boleh
kau tinggalkan diriku? Bila aku dianiaya orang tentu kau akan diomeli gurumu."
"Kepandaianmu lebih tinggi daripadaku, kau juga sangat cerdik, sampai-sampai tokoh seperti Ih-koancu juga
kewalahan padamu. Jika kau tidak mengakali orang saja sudah baik, masakah ada orang lain yang berani main
gila padamu?"
"Aduh, Cici yang baik, janganlah kau mengolok-olok diriku," sahut si dara cilik dengan tertawa. "Tadi kalau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Suhumu tidak melindungi aku, tentu aku sudah dihajar babak belur oleh Tojin katai itu. Cici yang baik, aku she
Kik, bernama Fi-yan, kakek dan ayah-ibu memanggil aku Fifi, maka kau boleh panggil Fifi padaku."
Mendengar dara cilik itu sudah mau mengaku namanya yang asli, rasa kurang senang Gi-lim tadi lantas lenyap.
Cuma ia heran dari mana anak dara itu tahu dirinya mengenangkan Lenghou Tiong sehingga hal itu digunakan
untuk menggodanya.
Segera ia berkata, "Baiklah, Fifi, marilah kita pergi mencari ayah-ibumu. Kau sangka mereka pergi ke mana?"
"Sudah tentu aku tahu mereka ke mana. Jika kau hendak mencari mereka bolehlah silakan. Aku sendiri tidak
mau ikut ke sana."
Gi-lim menjadi heran. "Mengapa kau sendiri malah tidak mau pergi mencari mereka?" tanyanya.
"Habis, usiaku masih begini muda, kan sayang jika aku ikut ke sana. Tapi lain halnya dengan kau, kau teramat
berduka, tentu kau ingin lekas-lekas pergi ke sana."
Gi-lim terkesiap, ia menegas, "Jadi ayah-ibumu ...."
"Ya, ayah-ibuku sudah lama wafat," sela Fifi. "Jika kau ingin mencari mereka, boleh silakan menyusul ke
akhirat."
Diam-diam Gi-lim kurang senang. Katanya, "Ayah-ibumu sudah wafat, mengapa kau gunakan sebagai bahan
kelakar? Sudahlah, aku akan kembali saja, sampai berjumpa pula!"
Tapi sekali pegang segera pergelangan tangan Gi-lim kena dicengkeram Fifi. Dara cilik itu memohon, "O, Cici
yang baik, aku sebatang kara tiada teman, harap kau suka mengawani aku."
Seketika Gi-lim merasa setengah badannya kaku kesemutan terkena cengkeraman tangan anak dara itu. Diamdiam
ia terkejut dan tahu ilmu silat anak kecil itu memang benar-benar di atas dirinya. Terpaksa ia menjawab,
"Baiklah, aku akan mengawani kau sebentar, tapi kau tidak boleh sembarangan omong lagi."
"Ada omongan yang kau anggap kurang baik, tapi bagiku adalah omongan baik, soalnya tergantung pendapat
masing-masing," ujar dara cilik itu. "Eh, Enci Gi-lim, sebaiknya kau jangan menjadi Nikoh saja."
Gi-lim melengak atas perkataan itu, tanpa merasa ia mundur setindak. Fifi juga lantas melepaskan
cengkeraman tangannya. Katanya pula dengan tertawa, "Apa enaknya menjadi Nikoh? Tidak boleh makan ikan,
dilarang makan daging, apa-apa serbatidak boleh. Padahal Cici sedemikian cantik, kepala dicukur gundul, tentu
saja kurang bagus. Bila engkau piara rambut yang indah tentulah akan tambah molek."
Mendengar ucapan yang kekanak-kanakan itu, dengan tertawa Gi-lim berkata, "Kami adalah orang yang telah
meninggalkan rumah, segala apa sudah dianggap hampa, hidup ini laksana orang mimpi saja, peduli apa
tentang muka cantik atau tidak segala?"
Tiba-tiba Fifi mendongak dan mengamat-amati wajah Gi-lim. Tatkala itu hujan baru saja berhenti, cahaya sang
dewi malam remang-remang menembus gumpalan awan yang mulai merekah, wajah Gi-lim tampaknya jadi
makin cantik. Dara cilik itu menarik napas, tiba-tiba menggumam, "Pantas orang sedemikian merindukan kau."
Muka Gi-lim menjadi merah, omelnya, "Kau bilang apa? Fifi, kau sembarangan omong lagi, aku akan pulang
saja."
"Baiklah, aku tak akan omong apa-apa lagi," cepat Fifi mengalah. "Eh, Cici yang baik, harap engkau suka
memberi sedikit obat Thian-hiang-toan-siok-ko padaku untuk menolong satu orang."
"Menolong siapa?" tanya Gi-lim dengan heran.
"Orang ini sangat penting, sementara ini tak boleh kukatakan padamu," sahut Fifi dengan tertawa.
"Sebenarnya boleh saja kuberi obat yang kau minta ini," kata Gi-lim. "Cuma Suhuku telah memberi peringatan
agar obat ini tidak boleh sembarangan dibuat menolong orang jahat."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Cici, jika ada orang memaki Suhumu dengan kata-kata yang kasar, orang itu baik atau jahat?" tanya Fifi.
"Dia memaki guruku, sudah tentu jahat," sahut Gi-lim tanpa pikir.
"Sungguh aneh," kata Fifi dengan tertawa. "Padahal ada seseorang berteriak-teriak katanya akan sial bilamana
melihat Nikoh, asal judi pasti kalah. Bukan saja memaki gurumu, bahkan juga memaki kau, tapi kau justru
melumuri badannya dengan obatmu ...."
Tidak menunggu ucapan Fifi habis, segera Gi-lim putar tubuh terus melangkah pergi. Cepat Fifi melompat
mengadang di depannya sambil pentang tangan dengan tertawa.
Sekonyong-konyong pikiran Gi-lim tergerak, "Ah, kalau tidak salah kemarin dia dan seorang lagi tetap
berduduk di dalam restoran itu sampai aku membawa pergi jenazah Lenghou-toako. Jadi semua itu sudah
dilihat olehnya, jangan-jangan kemudian dia ... dia terus ikut ... ikut pula di belakangku?"
Sebenarnya ia ingin mengajukan suatu pertanyaan tapi mukanya menjadi merah dan tak sanggup bicara.
Fifi lantas berkata, "Cici, aku tahu, kau ingin tanya padaku ke mana perginya jenazah Lenghou-toako, bukan?"
"Ya, be ... benar," sahut Gi-lim tergagap-gagap. "Jika adik memberi tahu, tentu aku akan ... akan sangat
berterima kasih."
Bab 17. Laki-laki Boleh Mengapa Wanita Tak Boleh?
"Aku sendiri sih tidak tahu, tapi ada seorang lain yang mengetahui," kata Fifi. "Orang itu terluka parah, jiwanya
dalam bahaya. Jika Cici mau menolongnya dengan Thian-hiang-toan-siok-ko, tentu Cici juga akan diberi tahu di
mana beradanya jenazah Lenghou-toako."
"Kau sendiri tidak tahu?" Gi-lim menegas.
"Tidak, jika aku Kik Fi-yan mengetahui di mana beradanya jenazah Lenghou-toako, biarlah besok juga aku
akan ditubles belasan kali oleh pedang Ih Jong-hay."
"Sudahlah, aku percaya padamu," cepat Gi-lim mendekap mulut si anak dara. "Siapakah orang itu?"
"Orang itu adalah orang baik, tergantung kau akan menolongnya atau tidak," kata Fifi. "Tempat yang akan kita
datangi juga bukanlah tempat yang baik."
Karena tujuannya ingin mencari jenazah Lenghou Tiong, biarpun menerobos rimba pedang juga akan
dilakukannya, jangan cuma masalah tempat baik atau tidak. Segera ia berkata, "Marilah, sekarang juga kita
pergi ke sana."
Segera mereka keluar dari gedung keluarga Lau itu. Ternyata hujan gerimis turun lagi. Namun di samping pintu
terletak belasan buah payung, mereka lantas ambil payung masing-masing sebuah terus berjalan menuju ke
arah tenggara. Waktu itu sudah jauh malam, orang berlalu-lalang hampir tak ada lagi, di sana-sini hanya
terdengar suara anjing menggonggong.
Gi-lim melihat Fifi membawanya menyusur gang-gang yang kecil, karena yang terpikir adalah jenazah Lenghou
Tiong, maka ia pun tidak ambil pusing dirinya hendak dibawa ke mana oleh dara cilik itu. Akhirnya mereka
masuk ke sebuah lorong yang sempit dan panjang. Sampai di depan sebuah rumah yang di atas pintu
tergantung sebuah lentera merah kecil, Fifi lantas berhenti di situ dan mengetok pintu.
Tidak lama kemudian terdengar ada orang mendatangi dari pekarangan dalam, pintu terbuka sedikit, kepala
orang itu menongol ke luar.
Fifi bisik-bisik di tepi telinga orang itu, lalu menyodorkan sesuatu pula ke tangan orang itu. Akhirnya orang itu
manggut-manggut dan berkata, "Ya, ya, silakan Siocia masuk!"
Fifi menoleh dan menggapai, Gi-lim lantas ikut masuk ke rumah itu. Waktu berlalu di sisi laki-laki itu, terlihat
orang itu memakai baju sutera, rambutnya tersisir licin dan tampak keheran-heranan demi melihat Gi-lim.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Segera orang itu mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke serambi kanan, sampai di depan
sebuah kamar, ia menyingkap tirai kamar itu dan berkata, "Siocia, Suhu, silakan duduk di dalam."
Begitu masuk ke dalam kamar, Gi-lim lantas mengendus bau harum pupur sebagaimana lazimnya kamar kaum
wanita. Di tengah kamar ada sebuah ranjang besar dengan seprai dan sarung bantal bersulam indah. Begitu
pula selimutnya.
Sejak kecil Gi-lim hidup sederhana sebagai seorang padri, sudah tentu tak pernah melihat selimut dan sarung
kasur-bantal sebagus itu. Ia lihat di atas meja menyala sebatang lilin merah, di samping sana ada sebuah kaca
dan sebuah kotak rias. Di depan ranjang ada dua pasang sepatu, sepasang sepatu pria dan sepasang lain
adalah sepatu wanita.
Jantung Gi-lim berdebur-debur, waktu ia berpaling, tertampak sebuah wajah yang bulat telur dan kemerahmerahan,
itulah roman muka sendiri yang tercermin pada kaca itu.
Pada saat itulah tirai kamar tersingkap, seorang pelayan wanita melangkah masuk dengan tersenyum-senyum
dan menyuguhkan teh. Pakaian pelayan wanita ini sangat ketat, jalannya juga bergoyang pantat seperti
sengaja dibuat-buat.
Melihat keadaan demikian Gi-lim menjadi semakin takut. Dengan suara perlahan ia tanya Fifi, "Sebenarnya ini
tempat apa?"
Fifi hanya tertawa dan tidak menjawab. Tiba-tiba ia membisiki apa-apa kepada pelayan itu. Terdengar pelayan
itu mengiakan, lalu sambil mengikik genit lantas berjalan pergi dengan tingkah laku yang dibikin-bikin.
Diam-diam Gi-lim pikir wanita itu pasti bukan orang baik-baik, selagi dia hendak tanya lebih jauh kepada Fifi,
tiba-tiba terdengar ada suara orang lelaki bergelak tertawa di luar kamar. Suaranya seperti sudah dikenalnya.
Dalam kejutnya Gi-lim terus berbangkit dan hendak lolos pedang, tapi tangannya telah meraba tempat kosong.
Kiranya pedangnya sudah hilang, entah sejak kapan senjatanya telah dicuri orang.
Di tengah gelak tertawa, orang itu pun telah menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Tapi begitu
melihat Gi-lim berada di dalam kamar, seketika suara tertawa orang itu lenyap, air mukanya tampak
serbarunyam.
Gi-lim sendiri juga serbasusah, jantungnya memukul semakin keras. Kiranya orang itu tak lain tak bukan
adalah "Ban-li-tok-heng" Dian Pek-kong.
Keruan Gi-lim mengeluh dan menganggap telah ditipu Fifi. Pantas dara cilik itu mengatakan ada seorang sangat
merindukan dia.
Setelah tertegun sejenak, segera Dian Pek-kong berputar tubuh hendak pergi.
Tapi Fifi cepat menahannya, "Nanti dulu! Mengapa melihat aku lantas hendak lari?"
Namun Dian Pek-kong sudah lantas menyelinap keluar, sahutnya, "Aku tidak ... tidak ingin bertemu dengan
Siausuhu ini."
Fifi bergelak tertawa, katanya, "Dian Pek-kong, kau ini orang yang tidak dapat dipercaya. Kau sudah bertaruh
dengan Lenghou Tiong dan akhirnya kau kalah, seharusnya kau menyembah kepada Siausuhu ini dan panggil
Suhu padanya. Sekarang bertemu dengan Suhu mengapa tidak memberi hormat dan menyapa, sebaliknya
malah mengeluyur pergi?"
"Soal itu jangan diungkat-ungkat lagi, aku memang telah ditipu Lenghou Tiong," kata Dian Pek-kong. "Fifi,
mengapa kau datang ke tempat demikian ini? Hayo, lekas pergi, lekas! Anak perempuan masakah
sembarangan datang ke rumah pelacuran begini?"
Jantung Gi-lim kembali memukul keras demi mendengar kata-kata "rumah pelacuran", hampir-hampir saja ia
jatuh pingsan.
Memang, sejak melihat keadaan kamar yang luar biasa itu dia sudah merasa curiga, tapi sekali-kali tak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tersangka olehnya bahwa tempat ini adalah rumah pelacur. Pernah dia mendengar cerita orang bahwa pelacur
adalah wanita yang paling hina di dunia ini. Setiap lelaki, asal punya duit, tentu dapat memanggil wanita
pelacur. Sekarang Fifi membawa dirinya ke tempat demikian, bukankah seakan-akan dirinya hendak disuruh
jadi pelacur? Saking cemasnya hampir-hampir saja Gi-lim menangis. Untunglah begitu melihat dirinya Dian
Pek-kong lantas angkat kaki dan tidak berani main gila lagi padanya, jika demikian rasanya masih ada harapan
untuk meninggalkan tempat kotor ini.
Dalam pada itu terdengar Fifi lagi berkata dengan tertawa, "Laki-laki adalah manusia, wanita juga manusia.
Kau boleh datang ke rumah pelacur ini, mengapa aku tidak boleh?"
Keruan Dian Pek-kong serbarunyam, ia tidak tahu cara bagaimana mendekat dan beri penjelasan kepada anak
dara itu. Terpaksa dengan membanting-banting kaki ia berkata di luar kamar, "Ai, jika kakekmu mengetahui
kau berada di sini, tentu aku akan dibunuhnya. Fifi yang baik, Fifi yang manis, kumohon engkau jangan
bergurau lagi dan lekas pergi bersama Siausuhu itu. Asal kau segera pergi dari sini, apa pun yang kau minta
tentu akan kulakukan bagimu."
"Aku justru tidak mau pergi, malam ini juga aku ingin tidur bersama Enci Gi-lim di kamar yang paling indah di
seluruh kota Heng-san ini," sahut Fifi dengan tertawa.
"Hayo, kau mau pergi atau tidak?" desak Dian Pek-kong dengan tak sabar.
"Tidak, sekali tidak tetap tidak!" sahut Fifi dengan tertawa.
"Fifi, O, Fifi yang manis, lekas kau pergi saja dari sini!" pinta Dian Pek-kong dengan nada halus. "Biarlah besok
juga akan kucarikan tiga macam barang mainan yang bagus untukmu."
"Cis, memangnya aku kepingin barang mainanmu?" semprot Fifi. "Akan kukatakan kepada kakek bahwa Dian
Pek-kong yang mengajak aku ke tempat ini."
"Heh, mana boleh kau berkata demikian?" seru Dian Pek-kong dengan gugup. "Aku kan tidak berbuat sesuatu
yang salah padamu, mana boleh kau berbohong demikian? Apakah kau sengaja membikin celaka padaku?
Apakah kau tidak punya perasaan?"
"Kau sendiri punya perasaan atau tidak, Dian Pek-kong?" tanya Fifi. "Mengapa berhadapan dengan Suhumu
kau tidak memberi hormat malah terus hendak mengeluyur pergi?"
"Ya sudah, anggap aku yang salah," ujar Dian Pek-kong. "O, Fifi, sebenarnya apa yang kau kehendaki dariku?"
"Aku kan ingin menjadikan kau seorang laki-laki sejati yang harus pegang janji," kata Fifi. "Nah, lekas
menggelinding masuk kemari dan menjura kepada Suhumu."
"Wah, ini ... ini ...." sahut Dian Pek-kong dengan tergagap-gagap.
"Tidak, tidak! Aku tak mau bertemu dengan dia, juga tidak ingin dia menjura padaku, dia ... dia bukan
muridku," cepat Gi-lim menyela.
"Nah, Fifi, kau dengar sendiri. Siausuhu itu pun tidak mau bertemu dengan aku," kata Dian Pek-kong.
"Baiklah, anggap kau yang beruntung," kata Fifi. "Tapi dengarkan dulu! Waktu aku datang kemari tadi, dari
belakang kulihat ada dua bangsat keroco telah mengikuti kami, hendaklah membereskan mereka dulu. Nanti
kau harus menjaga pula di luar rumah dan siapa pun dilarang mengganggu kami. Jika segalanya kau kerjakan
dengan baik, besok aku pun takkan bilang apa-apa kepada kakek."
Rupanya Dian Pek-kong sangat jeri kepada kakek si Fifi, terpaksa ia menjawab, "Baiklah. Tapi kau harus
pegang janji!"
"Aku toh bukan laki-laki sejati, pegang janji atau tidak, peduli apa?" ujar Fifi dengan tertawa.
Habis itu, mendadak Dian Pek-kong membentak, "Bangsat, mau apa kalian main sembunyi-sembunyi di situ?"
Menyusul terdengarlah suara gemerantang jatuhnya senjata di atas genting. Lalu ada suara jeritan seseorang,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berbareng terdengar juga suara orang berlari.
"Wah, hanya terbunuh satu, adalah bangsat dari Jing-sia-pay. Yang seorang lagi telah lari," demikian kata Dian
Pek-kong di luar rumah.
"Sungguh tidak becus, masakah sampai dia sempat lolos?" omel Fifi.
"Aku tak dapat membunuh orang itu, dia ... dia adalah Nikoh dari Hing-san-pay," kata Pek-kong.
"O, kiranya paman-gurumu, sudah tentu tak boleh dibunuh," Fifi mengolok-olok dengan tertawa.
Sebaliknya Gi-lim menjadi terkejut, "Ha, kiranya adalah Suciku! Wah, bagaimana baiknya ini?"
Namun Fifi lantas berkata, "Marilah sekarang juga kita pergi menjenguk orang yang terluka itu. Jika kau
khawatir didamprat gurumu, sekarang boleh silakan pulang saja."
Gi-lim menjadi ragu-ragu malah. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia berkata, "Sudahlah. Toh sudah telanjur
datang ke sini, marilah kita pergi menjenguk orang itu."
Fifi mengikik tawa. Ia lantas mendekati ujung tempat tidur dan mendorong perlahan dinding sebelahnya, maka
terbukalah sebuah pintu rahasia. Anak dara itu melambaikan tangannya kepada Gi-lim, lalu mendahului masuk
ke sana.
Diam-diam Gi-lim merasa rumah pelacuran itu benar-benar sangat aneh dan penuh rahasia, dengan tabahkan
hati ia lantas ikut masuk ke dalam. Kiranya di sebelah sana adalah sebuah kamar pula. Tapi tiada lampu, hanya
cahaya lilin yang tembus dari kamar sebelah tadi dapatlah diketahui bahwa kamar ini sangat kecil, terdapat
juga sebuah ranjang dengan kelambu tertutup, samar-samar seperti ada orang tidur di situ.
Baru melangkah masuk ke dalam pintu Gi-lim lantas berhenti dan tidak berani maju lagi.
"Inilah orang yang terluka, silakan Cici memberikan Thian-hiang-toan-siok-ko pada lukanya," kata Fifi.
"Apakah ... apakah dia benar-benar mengetahui di mana jenazah Lenghou-toako berada?" tanya Gi-lim dengan
sangsi.
"Mungkin tahu, mungkin tidak, aku tidak berani tanggung." sahut Fifi.
"Tadi ... tadi kau bilang dia tahu," kata Gi-lim dengan gugup.
"Aku toh bukan laki-laki sejati, ucapanku kan boleh sesukaku?" sahut Fifi dengan tertawa. "Jika kau suka
mencoba, bolehlah kau mengobati lukanya. Kalau tidak, boleh silakan angkat kaki saja dari sini dan tentu tiada
seorang pun yang akan merintangi kau."
Mengingat jenazah Lenghou Tiong harus diketemukan, terpaksa Gi-lim menjawab, "Baiklah, akan kuobati
lukanya."
Ia balik ke kamar pertama untuk mengambil lilin, lalu mendekati tempat tidur orang yang luka itu. Sesudah
kelambu disingkap, tertampaklah orang itu tidur telentang. Mukanya tertutup sepotong saputangan sutera
warna hijau dan bergerak naik-turun bila orang itu bernapas.
Gi-lim agak tenang karena tidak tahu muka orang. Ia berpaling dan tanya Fifi, "Di bagian mana lukanya?"
"Di dada," sahut Fifi. "Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung."
Perlahan-lahan Gi-lim membuka selimut tipis yang menutupi tubuh orang itu. Terlihatlah dada orang yang
terbuka itu ada sebuah luka yang cukup lebar, darah sudah berhenti, tapi jelas sangat parah dan berbahaya.
Diam-diam Gi-lim membatin, "Lukanya memang berat, betapa pun aku harus menolong jiwanya."
Ia lantas menyerahkan tatakan lilin kepada Fifi, lalu memeriksa luka orang itu dan menutuk tiga Hiat-to di
sekitar lukanya, tapi lantas diketahuinya tempat-tempat Hiat-to itu ternyata sudah tertutuk lebih dulu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Makanya tidak mengeluarkan darah.
Tapi ketika perlahan-lahan ia membuka kapas yang menempel di tempat luka itu, segera darah mengalir keluar
pula. Cepat sebelah tangannya menahan tempat luka itu dan tangan lain lantas membubuhkan salep Thianhiang-
toan-siok-ko, lalu kapas ditempelkan pula ke mulut luka.
Thian-hiang-toan-siok-ko itu memang obat yang sangat manjur, hanya sekejap saja darah sudah terhenti. Dari
pernapasan orang itu Gi-lim mengetahui keadaannya sudah agak mendingan. Dengan tak sabar ia lantas tanya,
"Numpang tanya kesatria ini, apakah engkau sudi memberitahukan sesuatu padaku?"
Terdengar orang itu bersuara perlahan, tapi mendadak – entah disengaja atau tidak – tatakan lilin yang
dipegangi oleh Fifi itu menjadi miring, api lilin lantas padam, keadaan menjadi gelap gulita.
"Wah, lilinnya padam!" seru Fifi.
Dalam keadaan gelap Gi-lim menjadi gugup. Pikirnya, "Tempat yang tak senonoh ini tidaklah layak bagiku. Aku
harus lekas tanya keterangan tentang jenazah Lenghou-toako, lalu tinggal pergi dengan segera."
Maka ia lantas tanya pula, "Apakah engkau masih sakit, kesatria?"
Orang itu hanya mengerang perlahan dan tidak menjawab.
"Rupanya ia lagi demam, coba kau pegang dahinya, panasnya tak kepalang," kata Fifi.
Dan belum lagi Gi-lim menjawab, tahu-tahu Fifi sudah pegang tangannya untuk meraba dahi orang itu.
Rupanya, saputangan yang menutupi muka orang itu sekarang sudah disingkirkan oleh Fifi. Gi-lim merasa dahi
orang itu sangat panas sebagai dibakar. Mau tak mau timbul juga rasa kasihannya. Katanya, "Aku masih ada
obat lain, boleh minumkan padanya. Fifi, silakan menyalakan lilin dahulu."
"Baiklah, harap kau tunggu di sini, akan kupergi mencari api," kata Fifi.
Gi-lim menjadi gugup karena hendak ditinggal pergi. Cepat ia tarik lengan baju anak dara itu dan berkata,
"Jangan, kau jangan pergi! Aku tak mau ditinggalkan sendirian di sini."
Fifi tertawa, katanya, "Jika demikian, boleh kau keluarkan obatmu saja."
Gi-lim lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, ia menuangkan keluar tiga biji obat pil dan berkata,
"Ini obatnya, boleh kau minumkan padanya."
"Dalam keadaan gelap, jangan-jangan obatmu akan jatuh, wah, kan sayang," ujar Fifi. "Enci yang baik, kau
tidak berani tinggal sendirian di sini, silakan kau yang pergi mencari api, biar aku yang menunggu di sini saja."
Disuruh keluyuran di rumah pelacuran, sudah tentu Gi-lim tambah tidak berani. Cepat ia menjawab, "Tidak,
tidak, aku tidak mau!"
"Ai, lalu bagaimana baiknya?" kata Fifi. "Ya sudahlah, boleh kau jejalkan obatmu ke dalam mulutnya dan beri
minum padanya, kan jadi sudah? Dalam keadaan gelap dia toh takkan tahu siapa kau, kenapa mesti takut? Nah
inilah cangkirnya, hati-hati, jangan sampai tumpah."
Dengan hati-hati Gi-lim menerima cangkir teh itu. Untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya, "Suhu sering
mengajar padaku untuk mengutamakan welas asih kepada sesamanya, menolong jiwa seorang laksana
membuat candi tujuh tingkat. Seumpama orang ini tidak tahu di mana beradanya jenazah Lenghou-toako,
namun karena lukanya yang sangat parah ini, betapa pun aku harus menolongnya."
Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan tangan, lebih dulu menyentuh dahi orang itu, lalu menurun dan
menjejalkan ketiga biji pil "Pek-in-him-tah-wan", obat penyembuh luka dalam, ke dalam mulut orang itu.
Rupanya orang itu masih punya daya rasa, ia membuka mulut dan telan obat itu. Ketika Gi-lim mencekoki dia
dengan beberapa cegukan teh, samar-samar ia seperti bersuara mengucapkan "terima kasih".
"Kesatria ini, mestinya aku tidak boleh mengganggu seorang yang terluka parah," demikian Gi-lim berkata
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pula. "Cuma terpaksa aku harus buru-buru tanya suatu urusan padamu. Ada seorang pendekar bernama
Lenghou Tiong, dia telah dibunuh orang dan jenazahnya ...."
"O, kau ... kau tanya Lenghou Tiong ...." terdengar orang itu menyela dengan suara lemah.
"Benar!" kata Gi-lim. "Apakah tuan mengetahui di mana beradanya jenazah kesatria Lenghou Tiong itu?"
"Jena ... jenazah apa?" terdengar orang itu seperti menggumam dengan samar-samar.
"Ya, apakah engkau mengetahui jenazahnya Lenghou Tiong?" Gi-lim mengulangi.
Orang itu samar-samar mengucapkan apa-apa, tapi suaranya sangat perlahan sehingga tak jelas. Gi-lim
mengulangi pertanyaannya lagi dan mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Tapi didengarnya napas orang
itu agak memburu, agaknya ingin mengatakan sesuatu, tapi sukar diucapkan.
Tiba-tiba Gi-lim teringat tentang obat yang baru saja diminumkan itu, khasiatnya memang sangat cepat dan
keras bekerjanya. Setelah minum obat sering kali si sakit akan tak sadarkan diri sampai setengah harian.
Dalam keadaan demikian sudah tentu sukar untuk dimintai keterangan.
Dasar hati Gi-lim memang welas asih, perlahan-lahan ia menghela napas dan menyingkir dari tempat tidur itu
dan berduduk di atas kursi yang berada di depan ranjang. Katanya, "Biarlah dia mengaso dulu, nanti kutanya
dia lagi."
"Apakah jiwa orang ini tidak berbahaya, Cici?" tanya Fifi.
"Semoga demikian adanya," ujar Gi-lim. "Hanya luka di dadanya itu yang sangat parah. Fifi, sebenarnya
siapakah dia ini?"
Fifi tidak menjawab. Sejenak kemudian dia malah berkata, "Kata kakekku, kau masih belum dapat
kesampingkan segala urusan kehidupan manusia, sukar untuk menjadi Nikoh yang baik."
Gi-lim terheran-heran. Tanyanya, "Kakekmu kenal padaku? Dari mana ... dari mana beliau mengetahui tentang
diriku?"
"Di atas Cui-sian-lau kemarin, kakek bersama aku telah menyaksikan kalian berkelahi dengan Dian Pek-kong,"
jawab Fifi.
"O, jadi yang bersama kau kemarin itu adalah kakekmu?" Gi-lim menegas.
"Benar," sahut Fifi. "Kemarin kami telah menyamar, sebab itulah keparat Dian Pek-kong tidak kenal kami. Dia
paling takut kepada kakek, jika tahu kakekku berada di situ tentu siang-siang dia sudah lari sipat kuping."
Mendengar itu, diam-diam Gi-lim membatin, jika waktu itu kakeknya tampil ke muka tentu Dian Pek-kong akan
kabur ketakutan dan Lenghou-toako tentu tidak akan terbunuh. Tapi dasar perangainya memang halus, rasa
penyesalannya kepada orang lain itu betapa pun sukar diucapkan olehnya.
Tapi Fifi lantas berkata, "Dalam hatimu tentu kau menyalahkan kakek mengapa kemarin tak mau menggebah
lari Dian Pek-kong sehingga mengakibatkan Lenghou-toakomu dibunuh oleh musuh, bukan?"
Gi-lim tidak dapat berdusta, perasaannya menjadi pilu, katanya dengan terguguk-guguk, "Akulah yang
bersalah. Jika kemarin aku tidak cuci kaki segala di kali, tentu takkan dipergoki Dian Pek-kong dan tentu pula
takkan menimbulkan urusan sejauh ini, mana aku berani menyesali kakekmu?"
"Itulah paling baik jika kau tidak menyesali kakek, biasanya dia paling tidak suka disalahkan orang," kata Fifi.
"Menurut kakek, beliau ingin tahu sampai seberapa jahatnya Dian Pek-kong itu, ingin diketahuinya apakah Dian
Pek-kong akan main akal bulus jika tak dapat menang dari lawannya."
Sampai di sini mendadak ia tertawa dan menyambung lagi, "Hihi, Lenghou-toakomu itu pun sangat pintar putar
lidah, dia bilang kalau berkelahi sambil berduduk adalah jago nomor dua di dunia ini. Kakekku merasa tertarik
dan rada-rada percaya, bahkan menyangka dia benar-benar telah menciptakan sejenis ilmu pedang yang
dilatihnya di waktu berak dan yakin Dian Pek-kong pasti bukan tandingannya. Tak tahunya, hihihi!"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam kegelapan Gi-lim tak bisa melihat wajah anak dara itu, tapi dapat dibayangkan dara cilik itu tentu sangat
geli dan gembira. Sebaliknya perasaan Gi-lim sendiri bertambah pedih.
"Kemudian Dian Pek-kong telah melarikan diri dan kakek menganggapnya sebagai orang yang tak dapat
dipercaya, sudah berjanji bila kalah dia harus menyembah dan mengangkat kau sebagai guru, mana boleh
main belit dan kabur begitu saja?" demikian Fifi menyambung.
"Ah, Lenghou-toako juga cuma menang dengan akal saja, kan bukan kemenangan yang sungguh-sungguh,"
ujar Gi-lim.
"Engkau benar-benar seorang baik, Cici," kata Fifi. "Begitu jahatnya Dian Pek-kong, tapi kau malah
membelanya. Sesudah Lenghou-toakomu ditusuk mati oleh orang, kau telah membawa jenazahnya dan
berjalan tanpa arah tujuan. Kakek bilang, 'Nikoh cilik ini mudah jatuh cinta, kematian Lenghou Tiong bisa
membuatnya menjadi gila. Marilah kita mencoba mengikuti dia.'
"Maka kami lantas mengikuti dari belakang. Tertampak kau merasa berat untuk melepaskan jenazah yang kau
pondong. Kakek berkata pula, 'Lihatlah Fifi, jika Lenghou Tiong itu tidak mati, rasanya tidak boleh tidak Nikoh
cilik itu harus piara rambut kembali dan menjadi bininya.'"
Muka Gi-lim menjadi merah jengah, untunglah dalam kegelapan keadaannya itu tak kelihatan.
Sebaliknya Fifi mendadak tanya pula, "Cici, apa yang dikatakan kakek itu betul atau tidak?"
"Ai, aku hanya merasa tidak enak karena telah mengakibatkan kematian orang, sungguh aku berharap aku
sendirilah yang mati dan bukanlah dia," demikian jawab Gi-lim. "Jika Buddha mahakasih dapat membuat aku
mati untuk menggantikan Lenghou-toako, biarpun masuk neraka juga aku ... aku rela."
Ucapan itu dengan nada yang sungguh-sungguh dan mengharukan. Pada saat itulah orang di atas ranjang itu
mendadak merintih perlahan.
"Dia ... dia sudah siuman," seru Gi-lim dengan girang. "Fifi, coba kau tanya dia, apakah keadaannya sudah
baikan atau tidak?"
"Kenapa aku yang disuruh tanya, apakah kau sendiri tidak bisa?" ujar Fifi.
Gi-lim ragu-ragu sejenak, akhirnya ia mendekati ranjang pula dan menanya dari balik kelambu, "Kesatria ini,
apakah engkau ...." belum selesai ucapannya, terdengar orang itu telah merintih pula. Hal ini membuat Gi-lim
merasa tidak enak untuk mengganggu orang yang sedang menderita. Ia tertegun sejenak dan mendengar
napas orang itu telah tenang kembali, agaknya merintihnya tadi karena pengaruh bekerjanya obat dan
sekarang sudah terpulas pula.
Tiba-tiba Fifi bertanya dengan suara perlahan, "Cici, sebab apa kau rela mati bagi Lenghou Tiong? Apakah kau
benar-benar suka padanya?"
"Tidak, tidak!" sahut Gi-lim. "Aku adalah orang beragama yang telah meninggalkan hidup kekeluargaan,
janganlah kau mengucapkan kata-kata yang menodai Buddha itu. Selamanya aku tak kenal kepada Lenghoutoako,
tapi dia telah mati lantaran menolong diriku, sungguh ... sungguh aku merasa sangat menyesalkan
kemalangannya."
"Dan asal dia dapat hidup kembali, maka segala apa pun kau bersedia untuk melakukan baginya?" tanya Fifi.
"Betul, biarpun aku mati seribu kali juga takkan menyesal," sahut Gi-lim.
Mendadak Fifi berseru dengan suara keras sambil tertawa, "Nah, dengarkanlah Lenghou-toako, Enci Gi-lim
sendiri telah menyatakan ...."
"Kau berkelakar apa ini?" sela Gi-lim dengan gusar.
Namun Fifi tak peduli, ia meneruskan seruannya, "Dia telah menyatakan asal kau tidak mati, maka segala apa
pun dia akan melakukannya bagimu."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Karena kedengarannya seruan Fifi itu seperti sungguh-sungguh dan bukan bergurau, seketika Gi-lim merasa
gugup dan berdebar-debar jantungnya.
Pada saat itulah mendadak pandangan Gi-lim terasa silau, kiranya Fifi telah menyalakan api lilin. Kelambu lalu
disingkap dan Gi-lim digapai agar mendekati.
Dengan ragu-ragu Gi-lim melangkah maju. Tapi mendadak telinganya terasa mendengung, pandangan menjadi
gelap, ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir saja jatuh kelengar.
"Aku memang sudah menduga kau akan terperanjat," kata Fifi dengan tertawa. "Coba lihat Cici, siapakah dia
ini?"
"Dia ... jadi dia tidak ... tidak mati?" seru Gi-lim dengan suara lemah dan agak gemetar sambil memegangi
lengan Fifi.
Kiranya orang yang berbaring di atas ranjang dengan mata tertutup dan bermuka lonjong, alis lentik dan bibir
tipis itu tak lain tak bukan adalah Lenghou Tiong yang telah menolongnya di Cui-sian-lau itu.
"Ya, dia sekarang belum mati, tapi kalau obatmu tidak manjur tentu ia akan lantas mati," kata Fifi dengan
tersenyum.
"Tidak, dia takkan mati, pasti takkan mati," seru Gi-lim cepat. Saking kejut dan girangnya mendadak ia
menjadi menangis.
"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" ujar Fifi dengan heran.
Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi dan terkulai di depan tempat tidur sambil menangis
terguguk-guguk. Katanya, "O, sungguh aku sangat girang. Fifi, aku harus berterima kasih padamu. Kiranya ...
kiranya kau yang telah menyelamatkan Lenghou-toako."
"Engkau sendirilah yang menolong dia, dari mana aku mampu menyelamatkan dia, aku toh tidak punya obat
apa-apa," sahut Fifi.
Tiba-tiba Gi-lim sadar, perlahan-lahan ia berbangkit dan menarik tangan Fifi, katanya, "Ya, aku tahu kakekmu
yang telah menolong dia, kakekmu yang menolong dia!"
Pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar di tempat yang tinggi di luar kamar ada orang berseru, "Gilim!
Gi-lim!"
Itulah suaranya Ting-yat Suthay. Keruan Gi-lim terkejut, segera ia bermaksud menjawab. Tapi Fifi sudah lantas
bertindak, api lilin ditiup padam, mulut Gi-lim juga lantas didekap olehnya sambil berbisik, "Ssst, jangan
bersuara. Ingat, tempat apakah ini?"
Sesaat Gi-lim jadi bingung. Ia tahu dirinya berada di rumah pelacuran, keadaannya serbasalah. Namun jelas
didengarnya suara panggilan sang guru dan dirinya tidak menjawab, hal ini sungguh tidak pernah terjadi
selama hidupnya ini.
Dalam pada itu terdengar Ting-yat berteriak lagi, "Dian Pek-kong, lekas keluar! Kau harus lepaskan Gi-lim!"
Maka terdengar suara bergelak tertawa Dian Pek-kong di kamar depan sana. Sesudah tertawa, lalu berkata,
"Apakah yang datang adalah Ting-yat Suthay dari Pek-hun-am, Hing-san-pay? Seharusnya Wanpwe keluar
memberi salam hormat, cuma di sampingku sekarang ada beberapa teman yang cantik-cantik dan ayu-ayu
sehingga aku tidak sempat keluar. Maka bolehlah kita tak perlu saling membikin repot. Hahahaha!"
Menyusul terdengar pula suara terkikik-kikik dan terkekek-kekek beberapa wanita yang genit, terang mereka
adalah perempuan-perempuan pelacur di rumah "P" itu. Bahkan ada di antaranya lantas mengeluarkan katakata
yang kotor dan cabul.
Apa yang dilakukan Dian Pek-kong dan pelacur-pelacur itu makin menjadi-jadi, rupanya mereka sengaja
hendak membikin marah Ting-yat.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Keruan Ting-yat menjadi murka. Ia membentak, "Dian Pek-kong, jika kau tidak lantas menggelinding keluar,
aku akan cincang tubuhmu hingga hancur luluh."
"Hahaha! Kalau aku menggelinding keluar akan kau bunuh, jika tidak keluar juga akan kau cincang hingga
hancur luluh. Jika begitu, hahaha, lebih baik aku mengeram di dalam kamar dengan temanku yang manismanis
ini saja," demikian Dian Pek-kong berolok-olok dengan tertawa. "Ting-yat Suthay, tempat seperti ini
tidaklah pantas didatangi oleh orang beragama seperti kau, ada lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu itu
tidak berada di sini, dia adalah seorang Nikoh cilik yang alim dan taat kepada agamanya, mana mungkin dia
datang ke sini? Hahaha, sungguh heran bin ajaib!"
Ting-yat tambah murka. Teriaknya kepada anak buahnya, "Bakar, bakar saja sarang anjingnya ini! Coba lihat
apakah dia akan menggelinding keluar atau tidak?"
"Ting-yat Suthay," kata Dian Pek-kong dengan tertawa. "Tempat ini bernama 'Kun-giok-ih' (rumah bunga
rampai kemala) dan sangat terkenal di kota Heng-san ini. Jika kau membakarnya, sebentar saja di dunia
Kangouw pasti akan tersiar cerita tentang Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay telah membakar rumah pelesir
yang terkenal di daerah provinsi Oulam ini dan tentu setiap orang akan bertanya-tanya, orang beragama tinggi
sebagai Ting-yat Suthay mengapa bisa mendatangi tempat demikian? Apakah berita begini akan baik bagi
kehormatan Hing-san-pay kalian? Biarlah kukatakan terus terang padamu, aku Dian Pek-kong selamanya tidak
takut kepada langit tidak gentar terhadap bumi, tapi sekarang justru jeri kepada muridmu itu saja. Bila melihat
dia, untuk menyingkir saja aku khawatir tidak sempat, masa aku berani lagi membikin susah padanya?"
Ting-yat pikir apa yang dikatakan Dian Pek-kong ada benarnya juga. Tapi menurut laporan muridnya yang
kembali tadi, dengan jelas Gi-lim terlihat masuk ke rumah ini, bahkan muridnya itu pun kena dilukai oleh Dian
Pek-kong, masa laporannya itu palsu? Meskipun demikian dia toh tak bisa berbuat apa-apa. Saking
mendongkolnya ia telah menginjak-injak hancur genting rumah.
Bab 18. Pertarungan Sengit di Rumah Pelacuran
Sekonyong-konyong di atas rumah di depan sana ada suara seorang bertanya dengan nada dingin, "Dian Pekkong,
muridku Peng Jin-ki apakah kau yang membunuhnya?"
Itulah suaranya Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay.
"E-eh, kiranya ketua Jing-sia-pay Ih-koancu juga berkunjung kemari! Wah, hari ini Kun-giok-ih ini benar-benar
sangat laris, tentu sebentar saja namanya akan termasyhur di seluruh dunia dan tambah ramai dikunjungi
tetamu," demikian seru Dian Pek-kong. "Ya, tadi aku memang telah membunuh seorang bocah yang ilmu
pedangnya sangat rendah, tampaknya memang mirip dengan ilmu silat Jing-sia-pay. Cuma namanya apakah
betul Peng Jin-ki atau bukan, aku tidak sempat bertanya padanya."
"Bagus!" seru Ih Jong-hay. Hampir bersamaan, terdengarlah suara mendesus, dia sudah melayang masuk ke
dalam kamar. Menyusul terdengar suara gemerantang beradunya senjata. Nyata ketua Jing-sia-pay itu sudah
mulai bergebrak dengan Dian Pek-kong di dalam kamar.
Sambil berdiri di atas atap rumah Ting-yat dapat mengikuti suasana pertempuran kedua orang itu. Diam-diam
ia merasa kagum, "Keparat Dian Pek-kong itu memang benar-benar memiliki kepandaian sejati. Cara
bertempurnya dengan cepat ini ternyata tidak kalah kuat daripada ketua Jing-sia-pay."
"Blang", mendadak terdengar suara keras satu kali, suara benturan senjata lantas berhenti seketika.
Tangan Gi-lim yang memegangi tangan Fifi itu sampai berkeringat dingin, ia tidak tahu pertarungan antara Ih
Jong-hay dan Dian Pek-kong itu dimenangkan oleh siapa. Pantasnya, karena Dian Pek-kong pernah main gila
padanya, tentulah dia mengharapkan Ih Jong-hay yang menang. Tapi dalam lubuk hatinya dia berbalik
mengharapkan Ih Jong-hay yang dikalahkan oleh Dian Pek-kong, paling baik Ih Jong-hay lekas digebah pergi,
begitu pula gurunya juga lekas-lekas pergi, dengan demikian barulah Lenghou Tiong dapat merawat lukanya
dengan tenang.
Dalam pada itu terdengar suara Dian Pek-kong bergema di tempat yang jauh, serunya, "Ih-koancu, kamar itu
terlalu sempit dan kurang leluasa, marilah kita coba-coba lagi di tempat yang lapang untuk beberapa ratus
jurus pula, marilah kita ukur siapa yang lebih lihai. Jika kau menang, biarlah si 'Kemala Ayu' ini akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kuserahkan padamu, bila kau kalah, maka Kemala Ayu ini adalah milikku dan kau tidak boleh mengincarnya
lagi."
Dengan ucapannya itu, Dian Pek-kong seakan-akan menuduh Ih Jong-hay telah bertempur dengan dia lantaran
berebut perempuan pelacur yang bernama Kemala Ayu itu. Bagi Dian Pek-kong yang namanya memang sudah
busuk, masuk-keluar rumah "P" baginya boleh dikata seperti masuk-keluar rumahnya sendiri. Sebaliknya Ih
Jong-hay adalah seorang sarjana ilmu silat yang termasyhur, mana dia sudi dipersamakan dengan bajingan
tengik yang tidak terhormat itu? Tapi dalam pertarungan beberapa puluh jurus di dalam kamar tadi telah
diketahui bahwa ilmu golok Dian Pek-kong memang sangat bagus, diam-diam Ih Jong-hay menaksir ilmu silat
lawan sesungguhnya tidaklah di bawahnya, jika bertempur lagi beberapa ratus jurus juga tiada punya
keyakinan akan dapat menang.
Begitulah untuk sejenak suasana menjadi hening lelap. Gi-lim seakan-akan dapat mendengar berdebarnya
jantungnya sendiri. Ia mencoba bisik-bisik di tepi telinga Fifi, "Apakah ... apakah mereka akan masuk kemari?"
Walaupun Fifi adalah anak dara yang jauh lebih kecil daripada Gi-lim, tapi dalam keadaan demikian Gi-lim
sudah bingung dan kehabisan akal, dan seolah-olah anak kecil yang lebih hijau daripada Fifi.
Tetapi Fifi tidak menjawabnya, bahkan mulut Gi-lim lantas ditekapnya agar jangan bersuara.
Tiba-tiba terdengar suaranya Lau Cing-hong sedang berkata, "Ih-koancu, kejahatan jahanam Dian Pek-kong itu
sudah kelewat takaran, bila kita akan membereskan dia juga tidak perlu repot pada waktu sekarang. Rumah
pelacur yang kotor begini sudah lama ada maksudku akan membersihkannya. Sekarang biarlah kucari
keterangan dahulu. Coba, Tay-lian, kalian masuk ke sana untuk menggeledahnya, seorang pun tidak boleh
lolos keluar."
Hiang Tay-lian dan beberapa murid lainnya sama mengiakan. Menyusul lantas terdengar pula suara Ting-yat
Suthay yang memberi perintah kepada murid-muridnya agar mengepung rapat seluruh rumah "P" yang luas
itu. Sebagai Nikoh, memangnya mereka tidak leluasa keluar-masuk di rumah pelacuran itu untuk mencari Gilim,
sekarang ada anak murid Lau Cing-hong yang akan menggeledah, sudah tentu hal ini sangat kebetulan
bagi Ting-yat.
Keruan Gi-lim semakin khawatir dan bingung. Dalam pada itu terdengar suara bentakan anak murid Lau Cinghong
yang sedang menggeledah dan memeriksa setiap ruangan dan kamar, makin lama makin dekat. Sedang
Lau Cing-hong sendiri dan Ih Jong-hay hanya mengawasi di luar rumah. Menyusul terdengarlah suara jerit
tangis germo rumah pelacuran itu, rupanya mereka telah diberi hajaran setimpal oleh Hiang Tay-lian dan
kawan-kawannya.
Murid-murid Jing-sia-pay juga tidak tinggal diam. Seorang kawan mereka telah menjadi korban keganasan Dian
Pek-kong pula, walaupun sang guru telah tampil ke muka sendiri toh belum berhasil juga membunuh musuh
itu, paling-paling juga cuma dapat mengusirnya pergi. Untuk melampiaskan dendam, anak murid Jing-sia-pay
itu lantas ikut-ikut mengubrak-abrik rumah pelacuran itu, semua alat perabotan dihancurkan hingga
berantakan.
Lambat laun suara muridnya Lau Cing-hong terdengar semakin mendekat, agaknya tidak lama lagi sudah akan
menggeledah ke kamar belakang itu. Saking gelisahnya hampir-hampir saja Gi-lim jatuh pingsan. Ia membatin,
"Tadi Suhu telah memanggil aku, tapi aku tidak menjawabnya, bahkan aku berada satu kamar dengan seorang
laki-laki di rumah hina demikian. Jika sebentar orang-orang Jing-sia-pay, Hing-san-pay dan lain-lain itu
menerjang ke sini, biarpun aku punya seribu mulut juga sukar membela diri dan memberi keterangan. Dan aku
tentu akan membikin noda nama baik Hing-san-pay. Sungguh aku berdosa kepada ... kepada Suhu dan para
Suci."
Berpikir demikian, mendadak ia lolos pedangnya sendiri terus hendak ditebaskan ke lehernya sendiri.
Syukur Fifi keburu memegang tangannya dan membentak dengan suara tertahan, "Jangan! Biarlah kita
menerjang keluar saja!"
Tapi mendadak terdengar suara keresekan, tahu-tahu Lenghou Tiong sudah berbangkit dan berduduk di tepi
ranjang, katanya perlahan, "Nyalakan api lilin!"
"Untuk apa?" tanya Fifi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Aku bilang nyalakan api lilin!" Lenghou Tiong mengulangi. Nadanya kereng. Terpaksa Fifi tidak berani tanya
pula dan segera mengetik api dan menyalakan lilin tadi.
Di bawah cahaya lilin, Gi-lim dapat melihat air muka Lenghou Tiong pucat pasi sebagai mayat, tanpa terasa ia
sampai menjerit kaget tertahan.
"Coba, tutupkan di atas ... di atas tubuhku," kata Lenghou Tiong sambil menunjuk selimut yang terletak di
ujung ranjang itu.
Dengan gemetar Gi-lim melakukan permintaan itu.
Dengan tangan kanan Lenghou Tiong memegangi ujung selimut yang menutupi luka di bagian dada itu.
Katanya pula, "Kalian berdua lekas tiduran di atas ranjang."
Fifi mengikik tawa dan menganggap hal itu sebagai permainan yang menarik. Segera ia menarik Gi-lim
menyusup ke tempat tidur.
Dalam pada itu orang-orang di luar sudah melihat cahaya lilin di dalam kamar dan beramai-ramai sedang
berseru, "Coba geledah kamar itu."
Lalu berbondong-bondong mereka mendatangi kamarnya.
Dengan menahan sakit Lenghou Tiong cepat merapatkan pintu kamar dan dipalang sekalian. Waktu ia
berpaling dan kembali ke tempat tidur, segera ia berkata pula, "Sembunyi semua ke dalam kolong selimut!"
"Kau ... kau hati-hati lukamu itu," ujar Gi-lim.
Lenghou Tiong cepat mendorong Gi-lim ke dalam selimut sehingga tertutup seluruh badannya, begitu pula Fifi.
Hanya rambut Fifi yang panjang itu ditarik keluar sehingga terurai di atas bantal. Karena banyak bergerak,
Lenghou Tiong merasa lukanya pecah dan darah mengucur keluar lagi. Dengan lemas ia duduk di tepi ranjang.
Sementara itu pintu kamar sudah mulai digedor orang. Ada lagi yang mencaci maki, "Buka pintu! Bedebah,
lekas buka pintu!"
Menyusul terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak orang hingga terpentang, beberapa
orang lantas menerjang masuk sekaligus. Seorang paling depan adalah Ang Jin-hiong, murid Jing-sia-pay.
Demi tampak Lenghou Tiong, kejut Ang Jin-hiong bukan main. "Kau, Lenghou ... Lenghou Tiong!" teriaknya
sambil melangkah mundur.
Hiang Tay-lian dan yang lain-lain tidak kenal Lenghou Tiong. Tapi mereka pun mendengar katanya Lenghou
Tiong sudah dibunuh oleh Lo Jin-kiat, mengapa sekarang berada di sini? Dengan waswas mereka pun ikut
melangkah mundur.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berdiri, katanya, "Kalian ... kalian mau ...."
"Lenghou Tiong, kiranya kau ... kau belum mati?" sela Ang Jin-hiong dengan terputus-putus.
"Masakah begitu gampang orang disuruh mati?" sahut Lenghou Tiong dengan dingin.
Tiba-tiba Ih Jong-hay tampil ke muka, katanya, "Kiranya kau inilah Lenghou Tiong? Bagus, bagus!"
Lenghou Tiong memandang sekejap kepada ketua Jing-sia-pay itu dan tidak menjawab.
"Untuk apa kau berada di rumah pelacuran ini?" tanya Ih Jong-hay.
"Hahahaha! Ini namanya sudah tahu sengaja tanya!" sahut Lenghou Tiong dengan terbahak-bahak. "Masakah
kau tidak tahu orang mau apa berada di rumah pelacuran?"
"Hm, biasanya tata tertib Hoa-san-pay terkenal sangat keras, sebagai murid pertama Hoa-san-pay, bahkan
sebagai ahli waris Gak-siansing, si 'pedang jantan', mengapa diam-diam juga main perempuan? Haha, sungguh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menertawakan!"
"Tata tertib Hoa-san-pay kami adalah urusan kami sendiri, rasanya orang luar tidak perlu ikut ribut," sahut
Lenghou Tiong.
Sebagai seorang yang berpengalaman, Ih Jong-hay dapat melihat air muka Lenghou Tiong pucat lesi dan badan
rada gemetar, terang pemuda itu dalam keadaan terluka parah, jangan-jangan sikapnya itu hanya tipu belaka.
Cepat terpikir olehnya, "Nikoh cilik dari Hing-san-pay itu mengatakan dia telah dibunuh oleh Jin-kiat, padahal
anak jadah ini tidak mampus, teranglah Nikoh cilik itu sengaja berdusta untuk menipu aku. Malahan dari
nadanya yang memanggil-manggil 'Lenghou-toako' terus-menerus dengan mesra, boleh jadi di antara mereka
berdua telah ada hubungan gelap tertentu. Tadi Nikoh cilik itu terlihat masuk ke rumah pelacuran ini, sekarang
mendadak menghilang tanpa bekas, bukan mustahil Lenghou Tiong telah sengaja menyembunyikan dia. Hm,
mereka Ngo-gak-kiam-pay selalu memandang rendah kepada Jing-sia-pay kami, jika sekarang aku dapat
menyeret keluar Nikoh cilik itu dari tempat sembunyinya, bukan saja hal ini akan membikin malu Hoa-san-pay
dan Hing-san-pay, bahkan segenap Ngo-gak-kiam-pay itu juga akan kehilangan muka dan selanjutnya takkan
berani sombong lagi di dunia Kangouw."
Sinar matanya lantas berkeliaran, tapi di dalam kamar itu tak tertampak orang lain. Ia pikir jangan-jangan
Nikoh cilik itu sembunyi di atas ranjang. Segera ia berkata, "Jin-hiong, coba singkap kelambu itu, periksalah
apakah di atas ranjang ada tontonan bagus atau tidak?"
Ang Jin-hiong mengiakan. Segera ia melangkah maju. Tapi ia sudah pernah telan pil pahit dari Lenghou Tiong,
maka ia menjadi waswas dan memandang dulu kepada jago muda Hoa-san-pay itu.
"Apakah kau sudah bosan hidup, ya?" kata Lenghou Tiong.
Nyali Ang Jin-hiong mengkeret seketika. Tapi mengingat di belakangnya ada sang guru, segera timbul pula
keberaniannya. "Sret", pedang lantas dilolosnya.
"Kau mau apa?" tiba-tiba Lenghou Tiong menegur Ih Jong-hay.
"Hing-san-pay kehilangan seorang murid perempuan, ada orang melihatnya masuk ke rumah pelacuran ini,
maka kami hendak mencarinya," sahut Ih Jong-hay.
"Urusan Ngo-gak-kiam-pay sendiri buat apa Jing-sia-pay kalian ikut-ikut campur?" semprot Lenghou Tiong.
"Hari ini tidak ada persoalan Ngo-gak-kiam-pay apa segala, pendek kata harus diselidiki sampai terang urusan
ini," ujar Ih Jong-hay. "Nah, Jin-hiong, periksa terus!"
Ang Jin-hiong mengiakan, segera ia gunakan pedangnya untuk menyingkap kelambu.
Saat itu Gi-lim dan Fifi saling rangkul dan sembunyi di dalam selimut, mereka dapat mendengar tanya jawab
antara Lenghou Tiong dan Ih Jong-hay itu, keruan mereka mengeluh, bahkan Gi-lim sampai gemetar. Apalagi
demi mendengar Ang Jin-hiong sudah mulai membuka kelambu, semangat Gi-lim seakan-akan melayang ke
awang-awang saking takutnya.
Ketika kelambu tersingkap, pandangan semua orang segera terpusatkan ke atas tempat tidur itu. Tertampak di
bawah selimut yang bersulaman indah itu terbungkus tubuh manusia yang sedang gemetar dengan rambut
panjang terurai di atas bantal, terang orang yang sembunyi di dalam selimut itu sangat ketakutan.
Melihat rambut yang panjang di atas bantal itu, alangkah kecewanya Ih Jong-hay. Jelas sekali orang yang
sembunyi di dalam selimut itu bukanlah Nikoh cilik yang gundul yang hendak dicarinya itu. Tampaknya
Lenghou Tiong memang benar-benar lagi main-main dengan perempuan pelacur di rumah "P" ini.
Dalam pada itu terdengar Lenghou Tiong telah berkata dengan nada dingin, "Ih-koancu, kabarnya engkau
mulai mengasingkan diri sejak masih jejaka, selama hidupmu tentu belum pernah melihat wanita telanjang,
kau sendiri tidak berani keluyuran ke rumah pelacuran, apakah sekarang kau tidak ingin menambah
pengalaman dengan menyuruh muridmu menyingkap selimut ini?"
Apa yang diucapkan oleh Lenghou Tiong ini sebenarnya sangat berbahaya. Ia menduga Ih Jong-hay adalah
seorang guru besar suatu cabang persilatan terkemuka, dengan kedudukannya yang terhormat itu rasanya tak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mungkin sudi melihat seorang perempuan pelacur yang telanjang bulat di depan orang banyak.
Benar juga, Ih Jong-hay menjadi gusar. "Ngaco-belo, bedebah!" dampratnya. Berbareng sebelah tangannya
terus menghantam ke depan.
Cepat Lenghou Tiong mengegos untuk menghindarkan angin pukulan itu. Tapi sayang, karena dia terluka
parah, gerak-geriknya menjadi kurang gesit, apalagi pukulan Ih Jong-hay itu mahadahsyat, hanya sedikit
keserempet angin pukulannya saja Lenghou Tiong tidak sanggup berdiri tegak lagi. Ia terhuyung dan jatuh
terduduk di atas ranjang.
Setelah tenangkan diri, sekuatnya Lenghou Tiong berdiri lagi, tapi darah segar lantas menyembur keluar dari
mulutnya, tubuhnya terhuyung-huyung dan lagi-lagi memuntahkan darah.
Baru saja Ih Jong-hay hendak menambahi serangan lain lagi, tiba-tiba di luar jendela sana ada orang berseru,
"Huh, orang tua menganiaya anak muda, tidak tahu malu!"
Gerakan Ih Jong-hay benar-benar sangat cepat. Belum lenyap suara kalimat terakhir itu, mendadak pukulan Ih
Jong-hay telah berganti arah dan menghantam ke jurusan jendela, menyusul orangnya juga lantas melompat
keluar.
Dari cahaya api lilin yang remang-remang menembus keluar dari dalam kamar, terlihat seorang bungkuk yang
bermuka jelek sedang berlari ke pojok rumah sana.
"Berhenti!" bentak Ih Jong-hay.
Bungkuk itu bukan lain adalah samaran Lim Peng-ci.
Ketika di rumah Lau Cing-hong, sesudah munculnya Kik Fi-yan alias Fifi, selagi perhatian Ih Jong-hay lagi
dicurahkan untuk menghadapi anak dara itu, diam-diam Peng-ci lantas mengeluyur pergi. Di luar ia dipergoki
oleh Bok Ko-hong yang telah menepuk perlahan bahunya sambil menegur, "Bungkuk palsu, apa sih enaknya
menjadi orang bungkuk, mengapa kau sengaja mengaku sebagai anak muridku?"
Peng-ci tahu watak orang ini sangat aneh, ilmu silatnya sangat tinggi pula, bila mana jawabannya tidak
memuaskan mungkin akan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. Di tengah ruangan tamu tadi dirinya
telah menyebutnya sebagai "Bok-tayhiap" dan memberi puji sanjung padanya, sekarang dirinya meneruskan
pujian demikian itu rasanya dia akan tambah senang pula.
Maka Peng-ci lantas menjawab, "Wanpwe pernah mendengar orang berkata tentang kemasyhuran Bok-tayhiap
yang suka membantu kesukaran orang dan membela keadilan. Selama ini Wanpwe sangat mengagumi, sebab
itulah tanpa sadar Wanpwe lantas menyaru sebagai Bok-tayhiap, atas kelancangan Wanpwe ini harap sudi
dimaafkan."
"Hahaha! Tentang membantu kesukaran orang dan membela keadilan apa segala, sungguh ngaco-belo belaka!"
seru Bok Ko-hong dengan tertawa.
Dia tahu Peng-ci sengaja berdusta dan sengaja mengumpak untuk menyenangkan hatinya. Pada umumnya
manusia memang suka dipuji, apalagi Bok Ko-hong yang biasanya tidak disukai oleh sesama kaum Bu-lim,
belum pernah ia mendengar orang memujinya seperti Peng-ci itu. Maka tidak heran ia pun merasa senang, ia
coba mengamat-amati Peng-ci sejenak. Kemudian bertanya, "Kau bernama siapa?"
"Sebenarnya Wanpwe she Lim, hanya tanpa sengaja telah memalsukan she yang sama dengan Cianpwe,"
sahut Peng-ci.
"Huh, tanpa sengaja apa?" jengek Bok Ko-hong. "Kau kan ingin menggunakan nama kakekmu ini sebagai jimat
untuk menggertak orang. Ih Jong-hay itu adalah seorang guru besar persilatan, satu jarinya saja sudah cukup
untuk membinasakan kau, tapi kau ternyata berani main gila padanya, nyalimu benar-benar tidak kecil."
Mendengar nama Ih Jong-hay disebut, kontan darah Peng-ci bergolak pula, teriaknya dengan gemas, "Asal
Wanpwe masih dapat bernapas, aku bersumpah pasti akan membunuh bangsat itu dengan tanganku sendiri."
"Memangnya ada apa kau bermusuhan dengan Ih Jong-hay?" tanya Bok Ko-hong dengan heran.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Peng-ci ragu-ragu sejenak, ia pikir kalau melulu mengandalkan kekuatannya sendiri terang sukar untuk
menolong ayah-bundanya. Mumpung ada kesempatan mengapa tidak minta bantuannya lagi? Berpikir
demikian, segera ia berlutut dan menyembah, katanya, "Ayah-ibu Wanpwe berada di dalam cengkeraman
bangsat she Ih itu, mohon Cianpwe suka membela keadilan dan memberi pertolongan."
Bok Ko-hong mengeryitkan kening dan geleng-geleng kepala, sahutnya, "Urusan yang tidak enak begini
selamanya aku enggan mengerjakannya. Siapakah ayahmu, sesudah menolong dia apa untungnya bagiku?"
Tengah bicara, tiba-tiba di samping pintu sana ada suara orang bicara dengan suara tertahan, nadanya sangat
tegang. Seorang di antaranya terdengar berkata, "Lekas lapor kepada Suhu bahwa ada seorang Jing-sia-pay
terbunuh lagi. Orang Hing-san-pay juga ada yang lari pulang dengan terluka."
Hati Bok Ko-hong tergerak, katanya kepada Peng-ci, "Urusanmu biarlah kita bicarakan nanti. Sekarang ada
tontonan menarik, bila kau ingin menambah pengalaman hendaklah ikut padaku."
Karena ingin mohon bantuannya, segera Peng-ci menjawab, "Baiklah. Ke mana pun Cianpwe pergi tentu akan
kuikuti."
"Tapi kita harus bicara di muka," demikian Bok Ko-hong berkata pula, "dalam segala hal si Bungkuk hanya
memandangnya dari untung dan rugi. Hanya pekerjaan yang menguntungkan saja yang akan kulaksanakan.
Jika kau melulu menyanjung aku dengan beberapa panggilan kakek, lalu mengharapkan bantuanku, cara
demikian janganlah kau harapkan akan hasilnya."
Peng-ci terpaksa mengiakan secara samar-samar saja.
"Itu dia, mereka sudah berangkat, marilah ikut padaku," tiba-tiba Bok Ko-hong menjawil Peng-ci. Menyusul
terasalah lengan kanan telah dipegang olehnya, tanpa merasa tubuhnya lantas ikut melayang naik terus berlari
secepat terbang.
Setiba di rumah pelacuran "Kun-giok-ih" itu, dengan suara perlahan Bok Ko-hong membisiki Peng-ci, "Awas,
jangan bersuara!"
Lalu mereka bersembunyi di belakang pohon untuk mengawasi apa yang terjadi di dalam rumah "P" itu. Maka
segala kejadian waktu Ih Jong-hay bergebrak dengan Dian Pek-kong, lalu anak murid Lau Cing-hong dan Jingsia-
pay melakukan penggeledahan, kemudian Lenghou Tiong menampakkan diri, semuanya itu dapat diikuti
oleh mereka dengan jelas.
Akhirnya ketika untuk kedua kalinya Ih Jong-hay hendak menyerang Lenghou Tiong pula, Peng-ci tidak tahan
lagi, segera ia bersuara dan meneriakkan, "Orang tua menganiaya anak muda, sungguh tidak tahu malu!"
Tapi begitu bersuara segera Peng-ci sadar akan kesembronoannya. Segera ia putar tubuh hendak lari. Namun
datangnya Ih Jong-hay teramat cepat, baru saja membentak "Berhenti!" menyusul orangnya sudah memburu
maju dan tenaga pukulannya sudah mengancam jalan lari pemuda itu. Asal serangan itu diteruskan, seketika
Peng-ci akan binasa.
Cuma saja sekilas Ih Jong-hay melihat perawakan Peng-ci yang buruk itu, karena jerinya kepada Bok Ko-hong,
maka tenaga pukulannya itu tidak lantas dilancarkan, ia menjengek pula, "Hm, kiranya kau!"
Habis itu pandangannya lantas melirik ke arah Bok Ko-hong dan berkata, "Bok-thocu, berulang-ulang kau
suruh kaum muda mencari perkara padaku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?"
Bok Ko-hong terbahak-bahak, jawabnya, "Bocah ini mengaku sebagai anak-cucuku tapi Bungkuk sendiri
tidaklah kenal dia. Dia mengaku she Lim dan aku she Bok, apa sangkut pautnya bocah ini dengan aku? Ihkoancu,
si Bungkuk takut padamu, soalnya aku merasa tiada gunanya dijadikan tameng oleh seorang pemuda
keroco begini. Jika ada untungnya bagiku memang tidak menjadi soal biarpun dijadikan tameng. Tapi sekarang
urusan ini hanya akan membikin rugi melulu padaku, buat apa aku mengambil risiko ini?"
Ih Jong-hay bergirang atas jawaban itu. Katanya, "Jika bocah ini tiada sangkut paut apa-apa dengan Bok-heng,
maka aku pun tidak perlu sungkan-sungkan lagi."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dan baru saja tenaga pukulan yang tertahan tadi hendak dilancarkan, tiba-tiba terdengar jengekan orang di
arah jendela, "Huh, orang tua menganiaya anak muda, sungguh tidak tahu malu!"
Waktu Ih Jong-hay menoleh, tertampak seorang berdiri di ambang jendela. Kiranya dia adalah Lenghou Tiong.
Keruan ketua Jing-sia-pay itu tambah murka. "Tua menganiaya muda, sungguh tidak tahu malu", ucapan ini
benar-benar kena sasarannya. Memang tidak salah, ilmu silat kedua pemuda yang dihadapinya sekarang ini
jauh di bawahnya, jika mau membunuh mereka adalah terlalu gampang, tapi sindiran "tua menganiaya muda"
menjadi sukar dihindarkan dan dengan sendirinya menjadi "tidak tahu malu" pula.
Sebaliknya kalau kedua pemuda itu diampuni begitu saja, rasa Ih Jong-hay masih penasaran. Segera ia berkata
kepada Lenghou Tiong dengan tertawa dingin, "Urusanmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu!"
Lalu ia berpaling dan membentak Peng-ci, "Anak jadah, anak murid siapakah kau ini?"
"Bangsat tua bangka," damprat Peng-ci. "Kau telah membikin keluargaku berantakan dan hidupku merana,
sekarang kau masih tanya padaku lagi?"
Ih Jong-hay menjadi heran bilakah dirinya membikin berantakan keluarga orang, sedangkan kenal saja belum
kepada bungkuk muda itu. Karena di hadapan orang banyak rasanya tidak enak untuk tanya lebih jelas, segera
ia menoleh dan berkata kepada muridnya, "Jin-hiong, boleh kau bunuh dulu bocah kurang ajar itu, habis itu
baru tangkap pula Lenghou Tiong."
Dengan menyuruh muridnya yang turun tangan, cara demikian dapat menghindarkan tuduhan "tua
menganiaya muda".
Maka Jin-hiong telah mengiakan, segera siap melangkah maju dengan pedang terhunus.
Cepat Peng-ci juga akan melolos pedang, tapi baru saja tangannya bergerak, tahu-tahu sinar pedang Ang Jinhiong
yang berkilauan itu sudah menyambar tiba, dadanya sudah terancam ujung pedang.
Peng-ci berteriak murka, "Ih Jong-hay, betapa pun aku Lim Peng-ci ...."
Mendengar anak bungkuk yang bermuka buruk itu mengaku bernama "Lim Peng-ci", dengan terkejut cepat Ih
Jong-hay melontarkan pukulan dari jauh sehingga pedang Ang Jin-hiong tersampuk menceng oleh angin
pukulannya dan menyambar lewat di samping lengan Peng-ci.
"Kau bilang apa?" seru Ih Jong-hay.
"Aku Lim Peng-ci biarpun menjadi setan juga akan menagih nyawa padamu!" teriak Peng-ci dengan murka.
"Kau ... kau adalah Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok?" Ih Jong-hay menegas.
Peng-ci sudah nekat dan tidak menghiraukan jiwanya sendiri lagi. Tanpa pikir ia terus membuang koyok yang
melengket di mukanya serta melepaskan bantalan yang mengganjal di punggung itu. Lalu berseru lantang,
"Benar, aku adalah Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok di Hokciu. Akulah yang membunuh putramu sewaktu dia
menggoda wanita baik-baik. Kau telah mengubrak-abrik keluarga kami sehingga hancur, sekarang ayah-ibuku
telah kau bawa ke mana?"
Mendadak Lenghou Tiong yang berdiri sambil berpegangan jendela itu menyela, "Ih-koancu, kiranya kau juga
punya istri dan punya anak, tadinya kukira kau tirakat sejak jejaka sehingga terlalu tinggi aku menilai dirimu.
Bok-cianpwe, keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok yang disebut itu memiliki sejilid Kiam-boh untuk ilmu pedang
Pi-sia-kiam-hoat, siapa yang memperolehnya tentu akan menjagoi dunia persilatan, sebab itulah maka Ihkoancu
telah mengincarnya ...." sampai di sini ia tidak tahan lagi, darah terasa hendak menyembur keluar lagi
dari kerongkongannya. Sekuatnya ia tahan, ia terhuyung-huyung mundur dan jatuh terduduk kembali di tepi
ranjang.
Mendengar keterangan tentang Pi-sia-kiam-hoat milik Hok-wi-piaukiok di Hokciu, yang mendapatkan kitab
pelajaran ilmu pedang itu dapat merajai dunia persilatan, keruan hati Bok Ko-hong tergetar juga. Ia tidak tahu
apakah Hok-wi-piaukiok betul-betul mempunyai kitab pusaka itu, tapi nama Hok-wi-piaukiok itu memang
sangat terkenal, mendiang Lim Wan-tho juga sangat disegani orang Kangouw karena Pi-sia-kiam-hoat, HoanDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
thian-ciang dan 18 batang panahnya, hal ini pun pernah didengarnya.
Cuma pemuda yang menyaru sebagai bungkuk di depannya sekarang ini jelas sangat rendah ilmu silatnya,
namun ketika Ih Jong-hay mendengar pemuda itu mengaku bernama Lim Peng-ci, cepat ketua Jing-sia-pay itu
lantas menyampuk pedang muridnya yang sedang menusuk ke depan tadi, sikapnya lantas berubah tegang.
Kesemuanya itu menandakan pada diri pemuda she Lim itu ada sesuatu yang penting, andaikan Kiam-boh yang
dimaksudkan itu tidak mengandung pelajaran ilmu pedang yang benar-benar tiada tandingannya di dunia ini,
tapi seorang ketua Jing-sia-pay telah begitu menaruh perhatian, tak boleh tidak benda itu pasti bukan
sembarangan Kiam-boh. Seumpama bukanlah Kiam-boh tentu juga sesuatu barang yang amat berharga.
Pribadi Bok Ko-hong sebenarnya bukanlah orang yang terlalu jahat, cuma sifatnya paling tamak dan dengki,
asal ada keuntungan, segala apa pun dapat dilakukan olehnya. Tadi dia anggap tiada berguna membela Lim
Peng-ci, tapi sekarang demi mengetahui pada diri pemuda itu ada sesuatu yang menguntungkan, segera
berubah pikirannya dan tidak mau kehilangan kesempatan itu.
Saat itu Ih Jong-hay sudah menjulurkan tangannya dan sudah mengancam di atas bahu Peng-ci, sekali
cengkeram tentu akan diseretnya pemuda itu.
Cepat Bok Ko-hong membentak, "Nanti dulu!"
Berbareng ia terus melompat maju, secepat kilat sebelah bahu Peng-ci yang lain keburu ditariknya lebih dulu
dan diseret mundur.
Jangan dikira potongan tubuh Bok Ko-hong itu pendek buntak lagi bungkuk, tapi gerakannya ternyata sangat
gesit dan cepat laksana kucing. Namun Ih Jong-hay juga tidak kalah cepatnya, hampir pada saat yang sama
pundak Peng-ci juga sudah dipegang dan ditarik maju. Keruan yang payah adalah Peng-ci, badannya seakanakan
terbeset, sakitnya tidak kepalang, hampir-hampir saja kelengar.
Melihat Bok Ko-hong sudah turun tangan, Ih Jong-hay tahu urusan tidak mudah diselesaikan lagi. Jika dirinya
menarik lebih keras tentu Peng-ci akan binasa. Segera ia ayun pedang dan menusuk ke arah Bok Ko-hong
sambil membentak, "Lepaskan tangan, Bok-heng!"
Tapi ketika tangan kiri Bok Ko-hong bergerak, "trang", pedang Ih Jong-hay tertangkis, tangan si Bungkuk tahutahu
sudah bertambah sebuah senjata yang memancarkan sinar kuning kemilauan, kiranya adalah sebuah roda
besar. Roda itu terus berputar, di sekeliling roda itu terpasang delapan buah pisau kecil.
Lengan Ih Jong-hay sampai kesemutan karena tangkisan tadi. Ia tahu tenaga dalam lawan amat kuat. Segera
ia keluarkan ilmu pedangnya, beruntun-runtun ia melancarkan belasan kali serangan lagi. Katanya pula, "Bokheng,
kita selamanya tiada permusuhan apa-apa, buat apa kau membela seorang anak keroco sehingga kita
bercekcok?"
Sambil memutar rodanya dan menangkis setiap serangan Ih Jong-hay, Bok Ko-hong menjawab, "Ih-koancu, di
hadapan orang banyak tadi bocah ini telah menyembah dan memanggil kakek padaku. Meskipun Cayhe dan Ihkoancu
selamanya tiada permusuhan apa-apa, tapi kalau seorang yang telah sudi memanggil aku sebagai
kakek dibiarkan kau tangkap dan dibunuh begitu saja, bukankah kau terlalu menghina aku? Jika sang kakek
tidak mampu membela cucunya, kelak siapa lagi yang sudi memanggil aku sebagai kakek?"
Sambil bicara serang-menyerang kedua orang semakin cepat dan suara gemerantangnya senjata juga tak
berhenti-henti.
Ih Jong-hay menjadi gusar. "Bok-heng," serunya. "Orang ini telah membunuh putraku, sakit hati putraku
masakah aku tidak boleh membalas?"
"Hahahaha!" Bok Ko-hong bergelak tertawa. "Baik, mengingat kehormatan Ih-koancu, jika kau ingin membalas
dendam boleh silakan balas. Nah, Ih-koancu, marilah kita sama-sama tarik. Satu, dua, tiga. Kau tarik, aku pun
tarik, kita tarik mampus saja bocah ini! Nah, mulailah! Satu ... dua ... tiga!"
Habis berkata, mendadak tenaganya tambah kuat terus menarik. Keruan tulang Peng-ci berkeriutan seakanakan
copot.
Ih Jong-hay menjadi khawatir jika tidak lepas tangan tentulah pemuda itu akan terbeset mati. Baginya soal
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
balas dendam adalah urusan kecil, tapi mendapatkan Kiam-boh adalah urusan besar. Sebelum Kiam-boh
ditemukan tidaklah mungkin dia membunuh Lim Peng-ci. Karena itu ia lantas mengendurkan pegangannya
sehingga Peng-ci kena ditarik Bok Ko-hong ke sebelah sana.
Kembali Bok Ko-hong terbahak-bahak, katanya, "Terima kasih, banyak terima kasih! Ih-koancu benar-benar
seorang sobat sejati, mengingat si Bungkuk, Ih-koancu ternyata sudi mengalah, sampai-sampai sakit hati
terbunuhnya putramu juga tak jadi dibalas. Orang yang mengutamakan setia kawan demikian sungguh Ihkoancu
terhitung nomor satu."
"Hm, asal kau tahu saja," jengek Ih Jong-hay. "Hanya satu kali saja Cayhe dapat mengalah, tapi tidak mungkin
ada kedua kalinya."
"Juga belum tentu," ujar Bok Ko-hong dengan menyengir. "Boleh jadi Ih-koancu memang seorang yang berbudi
dan bermurah hati, maka untuk kedua kalinya kelak kau akan sudi mengalah pula padaku."
Ih Jong-hay hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya. Ia memberi tanda kepada anak muridnya dan
berkata, "Kita pergi saja!"
Lalu bersama rombongannya mereka meninggalkan tempat itu.
Ting-yat Suthay dan murid-muridnya karena buru-buru ingin menemukan Gi-lim, maka sejak tadi mereka
sudah mencari ke lain tempat.
Lau Cing-hong anggap setiap keselamatan tamunya adalah tanggung jawabnya, hilangnya Gi-lim betapa pun
dia tidak boleh tinggal diam. Maka bersama orang-orangnya segera mereka pun mencari ke jurusan lain. Hanya
dalam sekejap saja di luar rumah pelacuran itu cuma tinggal Bok Ko-hong dan Lim Peng-ci berdua saja.
"Wah, bukan saja kau cuma menyaru sebagai bungkuk, bahkan sebenarnya kau adalah bocah yang tampan,"
demikian kata Bok Ko-hong dengan tertawa, "Nak, kau tak perlu panggil kakek lagi padaku. Biarlah si Bungkuk
menerima kau sebagai murid saja."
Peng-ci sendiri masih kesakitan karena ditarik dan diseret oleh kedua tokoh itu dengan tenaga dalam. Sekarang
mendengar ucapan Bok Ko-hong itu, diam-diam ia membatin, "Ilmu silat Bungkuk ini berpuluh kali lebih tinggi
daripada ayahku, sampai Ih Jong-hay juga merasa jeri padanya. Jika aku ingin menuntut balas kepada Ih Jonghay,
terpaksa aku harus berguru pada si Bungkuk barulah ada harapan. Akan tetapi waktu murid Jing-sia-pay
tadi hendak membunuh aku, sedikit pun dia tidak ambil pusing, ketika mendengar Pi-sia-kiam-boh dari
keluargaku barulah dia mau turun tangan. Sekarang secara sukarela dia menyatakan mau menerima aku
sebagai murid, terang dia tidak mengandung maksud baik."
Melihat pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya tampak ragu-ragu, segera Bok Ko-hong membujuk pula, "Ilmu
silat dan kemasyhuran jago Bungkuk dari utara tentu sudah kau ketahui. Sampai saat ini seorang murid pun
aku belum pernah terima. Di dunia ini bukanlah tidak ada pemuda yang bagus, cuma sudah lama aku pilih ke
sana kemari tiada seorang pun yang cocok bagiku. Jika kau mau berguru padaku, si Bungkuk tentu akan
mengajarkan segenap kepandaiannya kepadamu. Dengan demikian, jangankan orang-orang Jing-sia-pay,
bahkan Ih Jong-hay sendiri kelak juga bukan tandinganmu. Nah, mengapa kau tidak lekas menyembah dan
mengangkat guru padaku?"
Tapi semakin dia membujuk, Peng-ci tambah sangsi malah. Pikirnya, "Jika Bungkuk ini benar-benar suka
kepadaku, mengapa tadi dia telah mencengkeram pundakku dengan sekeras-kerasnya, bahkan katanya akan
saling betot dengan Ih Jong-hay supaya aku lekas mati. Rupanya dia telah menduga Ih Jong-hay sedang
mengincar Pi-sia-kiam-boh keluargaku dan sekali-kali tak mungkin membinasakan aku pada waktu sekarang,
maka dia sengaja merebut diriku ke pihaknya. Orang yang berhati keji dan licin begini, jika aku mengangkat
guru padanya tentu kelak akan banyak mendatangkan kesukaran bagi diriku sendiri. Di antara Ngo-gak-kiampay
tidak sedikit orang-orang cerdik pandai, bila aku ingin mencari guru yang baik, aku harus mencari di antara
mereka, betapa pun aku tidak boleh mempunyai seorang guru seperti si Bungkuk ini."
Melihat Peng-ci masih tetap ragu-ragu, lambat laun Bok Ko-hong menjadi gusar. Pikirnya, "Entah berapa
banyak orang Kangouw yang berusaha dengan segala daya upaya kepingin menjadi muridku, tapi tiada
seorang pun yang sudi kuterima. Sekarang aku sendiri yang menyatakan mau menerima kau sebagai murid,
hal ini boleh dikata sangat diharapkan oleh setiap orang Bu-lim, sebaliknya kau malah berlagak dan jual mahal
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
di hadapan si Bungkuk. Huh, kalau bukan lantaran Pi-sia-kiam-boh itu, tentu sekali gaplok saja sudah
kumampuskan kau!"
Bab 19. Gak Put-kun, Ketua Hoa-san-pay, Guru Lim Peng-ci yang
Baru
Tapi dasar Bok Ko-hong memang seorang yang culas dan licin, walaupun batinnya mendongkol, tapi lahirnya
dia masih tertawa-tawa dan berkata, "Bagaimana? Apakah kau anggap kepandaian si Bungkuk belum cukup
untuk menjadi gurumu?"
Sekilas Peng-ci melihat air muka si Bungkuk berubah menjadi bengis dan murka, walaupun perasaan demikian
itu segera lenyap, tapi tanpa merasa Peng-ci sudah bergidik. Ia merasa keadaannya serbasulit dan serbasalah,
jika menolak menjadi muridnya, boleh jadi dia lantas mengamuk dan bukan mustahil dirinya akan terus
dibinasakan olehnya. Terpaksa ia menjawab, "Bok-tayhiap, kau sudi menerima aku sebagai murid, sungguh hal
ini adalah jauh di luar harapanku. Cuma yang kupelajari adalah ilmu silat keluarga kami sendiri, jika perlu
berguru pada orang luar harus mendapatkan izin dahulu dari ayah. Cara demikian adalah hukum keluarga dan
hukum Bu-lim yang telah sama-sama kita ketahui pula."
Bok Ko-hong manggut-manggut, katanya, "Ya, beralasan juga ucapanmu ini. Cuma sedikit permainanmu ini
hakikatnya belum dapat dimasukkan dalam hitungan ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas.
Untung bagimu hari ini hatiku lagi senang dan mendadak suka menerima kau sebagai murid, lewat sebentar
lagi mungkin pikiranku ini akan segera berubah. Jadi kesempatan ini hanya dapat kau ketemukan secara
kebetulan dan tidak dapat dicari. Tampaknya kau cukup cerdik, mengapa justru begini tolol? Sudahlah, kau
boleh menyembah dan mengangkat guru dulu padaku, kelak aku sendiri yang akan bicara dengan ayahmu,
rasanya dia pun takkan berani menolak."
Tiba-tiba pikiran Peng-ci tergerak. Segera ia berkata pula, "Bok-tayhiap, saat ini ayah-ibuku berada di dalam
cengkeraman orang-orang Jing-sia-pay dan tidak jelas mati-hidupnya. Untuk mana kuharap Bok-tayhiap
sukalah pergi menolong mereka, bila berhasil, untuk membalas budi kebaikanmu, apa pun yang Bok-tayhiap
inginkan pasti akan kupenuhi."
"Apa? Kurang ajar! Jadi kau berani main tawar-menawar dengan aku?" semprot Bok Ko-hong dengan gusar.
"Huh, kau bocah ingusan ini, memangnya anggap dirimu sebagai apa sehingga kau kira kakek harus menerima
kau sebagai murid dan berani main tawar-menawar padaku? Hm, kurang ajar!"
Cepat Peng-ci berlutut dan berkata, "Tentang Pi-sia-kiam-boh apa segala sebenarnya Wanpwe sama sekali
tidak tahu. Andaikan Bok-tayhiap telah menerima aku sebagai murid juga tidak ada gunanya. Tapi ayah-ibuku
tentu tahu akan Kiam-boh yang dimaksud itu. Bila Bok-tayhiap dapat menyelamatkan ayah-ibuku, barulah
dapat mencegah jatuhnya Kiam-boh itu ke dalam tangan Ih Jong-hay."
Sesungguhnya Peng-ci sendiri memang tidak tahu Pi-sia-kiam-boh itu benda macam apa. Tapi mengingat Ih
Jong-hay dan Bok Ko-hong sedemikian menghargai barang itu, tentulah Kiam-boh itu menyangkut sesuatu
yang mahapenting. Segera ia berkata pula, "Jika Ih Jong-hay berhasil mendapatkan Kiam-boh, boleh jadi ilmu
silatnya akan jauh lebih lihai daripada Bok-tayhiap, bilamana dia mencari perkara padamu, tentu Bok-tayhiap
yang terpaksa harus sembunyi ke sana ke mari untuk menghindari."
"Kentut, kentut! Mana bisa jadi!" semprot Bok Ko-hong. "Bila memang Kiam-boh milik keluargamu itu memiliki
mukjizat demikian, mengapa ayah-ibumu kena ditawan oleh Ih Jong-hay?"
Walaupun demikian mulutnya berkata, tapi diam-diam ia pun percaya Pi-sia-kiam-boh tentu bukan
sembarangan kitab pelajaran ilmu pedang, hal ini dapat dilihat dari sikap Ih Jong-hay yang lebih mementingkan
Kiam-boh itu daripada sakit hati kematian putranya. Ia lihat Peng-ci masih terus berlutut di hadapannya,
segera ia berkata, "Jika begitu, hayo lekaslah menjura padaku. Asal kau menjura tiga kali saja kau sudah
terhitung muridku. Ayah-ibu muridku sendiri sudah tentu akan kuperhatikan dan Ih Jong-hay tentu takkan
berani main gila kepada kedua orang tua muridku."
Karena memikirkan keselamatan ayah-bundanya, Peng-ci merasa biarpun terpaksa harus mengangkat guru
kepada seorang yang mestinya tidak disukai, asal dapat menolong kedua orang tuanya, apa artinya menahan
sedikit perasaan. Dan baru saja ia bermaksud menjura, sekonyong-konyong Bok Ko-hong telah menggunakan
tangannya untuk menekan kepalanya ke bawah agar menjura. Rupanya si Bungkuk khawatir Peng-ci tidak jadi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menjura padanya, maka sengaja main paksa.
Seharusnya Peng-ci sudah akan menjura, tapi karena kepalanya ditekan ke bawah secara paksa, kontan timbul
perlawanannya, ia justru bikin kaku lehernya dan enggan menunduk ke bawah.
"He, apakah kau tidak mau menjura?" bentak Bok Ko-hong dengan gusar. Segera ia tambahkan tenaga
tekanannya.
Dasar watak Peng-ci memang tidak doyan kekerasan. Dalam usahanya menolong ayah-ibunya mestinya ia
sudah mau telan segala perasaan dan penderitaan dan akan menjura kepada Bok Ko-hong. Tapi sekali Bok Kohong
main paksa, bukannya Peng-ci menurut, sebaliknya ia malah melawan. Dengan suara keras ia menjawab,
"Jika kau berjanji akan menolong ayah-ibu, maka aku pun akan berjanji berguru padamu. Tapi saat ini tidak
mungkin suruh aku menjura padamu."
"Hah, tidak mungkin?" jengek Bok Ko-hong. "Baik, ingin kulihat apakah benar-benar kau takkan menjura
padaku!"
Habis berkata, kembali tenaganya bertambah kuat untuk menahan kepala Peng-ci ke bawah.
Sekuatnya Peng-ci bermaksud menegakkan kepala dan berdiri, tapi tenaga tekanan Bok Ko-hong terlalu kuat
baginya sehingga mirip tertindih batu yang beribu kati beratnya, sampai-sampai kedua tangannya dipakai
menahan di atas tanah, tapi tulang leher terasa berkeretekan seakan-akan patah dan tetap tak dapat
berbangkit.
Bok Ko-hong terbahak-bahak, katanya, "Kau mau menjura atau tidak? Jika tanganku tambahi tenaga pula,
tentu lehermu ini bisa patah."
"Tidak, aku justru tidak mau menjura!" teriak Peng-ci dengan merah padam.
"Betul-betul tidak mau?" jengek Bok Ko-hong sambil menahan lebih kuat, makin tekan makin ke bawah
sehingga batok kepala Peng-ci hampir-hampir menyentuh tanah.
Pada saat itulah sekonyong-konyong Peng-ci merasa punggungnya menjadi panas, ada suatu arus hawa hangat
menyalur masuk ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba daya tekanan di atas tengkuknya menjadi kendur, begitu kedua
tangannya menahan tanah, seketika dia dapatlah berdiri.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci, bahkan Bok Ko-hong juga terkejut. Sekilas itu si Bungkuk itu
lantas tahu bahwa tenaga hangat yang mematahkan daya tekanannya itu adalah "Kun-goan-kang", semacam
Lwekang berasal dari Hoa-san-pay.
Walaupun datangnya arus Lwekang itu sangat mendadak, dalam keadaan belum siap sehingga dirinya tergetar
dan Peng-ci sempat meronta berbangkit, tapi Kun-goan-kang itu jelas sudah sangat sempurna, bahkan tenaga
susulannya masih terus membanjir tiba.
Dalam kagetnya dengan cepat sekali tangan Bok Ko-hong lantas menahan pula ke atas kepala Peng-ci, bahkan
sekali ini ia pun menggunakan semacam Lwekang yang mahalihai. Tapi begitu tenaganya membentur kepala
Peng-ci, tiba-tiba terasa Kun-goan-kang seperti tadi timbul pula dari ubun-ubun pemuda itu. Begitu kedua arus
tenaga saling bentur, seketika tangan Bok Ko-hong kesemutan, dada pun terasa sakit.
Cepat si Bungkuk mundur dua langkah, serunya sambil tertawa, "Haha! Gak-heng, mengapa diam-diam kau
sembunyi di pojok sana dan bergurau dengan si Bungkuk?"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa orang di balik pojok rumah sana, seorang Susing (kaum terpelajar) berbaju
hijau dan berjubah ringan telah muncul. Sambil tangan kanan menggoyang-goyangkan kipas lempit, orang itu
berkata, "Engkoh Bungkuk, sudah lama tak bertemu, ternyata ketangkasanmu tidak berkurang dari dahulu,
sungguh harus diberi selamat."
Susing berbaju hijau yang baru muncul ini memang betul adalah Kun-cu-kiam, si pedang jantan, Gak Put-kun,
ketua Hoa-san-pay yang termasyhur.
Biasanya Bok Ko-hong memang rada jeri terhadap ketua Hoa-san-pay itu. Apalagi sekarang dia kepergok
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sedang memaksa seorang anak muda, keruan ia serbarunyam. Tapi dasar dia memang orang yang licin dan
tidak kenal malu, dengan cengar-cengir ia lantas menyapa, "Gak-heng, makin lama makin muda kau ini,
sungguh si Bungkuk ingin mengangkat guru padamu untuk belajar ilmu awet muda itu."
"Hus, kau makin tua makin tak genah," semprot Gak Put-kun. "Kenalan lama baru saja bertemu dan kau sudah
mengoceh tak keruan."
"Habis, usiamu mestinya sudah 60-70 tahun, mengapa mendadak muda kembali dan kelihatannya malah
seperti cucu si Bungkuk saja," ujar Bok Ko-hong dengan tertawa.
Ketika Bok Ko-hong mengendurkan tangannya tadi, dengan cepat Peng-ci sudah lantas melompat bangun.
Dilihatnya Susing baju hijau itu berjenggot cabang lima, mukanya putih bersih dan berwibawa, seketika timbul
rasa kagum dan hormatnya. Ia tahu orang inilah yang tadi telah menolongnya dari paksaan Bok Ko-hong.
Setelah mendengar si Bungkuk itu memanggilnya sebagai "Gak-heng" (saudara Gak), seketika pikirannya
tergerak, "Apakah tokoh yang mirip dewa ini jangan-jangan adalah Gak-siansing, ketua Hoa-san-pay yang
sering disebut-sebut oleh orang banyak selama beberapa hari ini? Cuma usianya kelihatannya baru 40 tahun,
entah betul atau tidak?"
Tapi kemudian sesudah mendengar Bok Ko-hong memuji orang she Gak itu awet muda, segera Peng-ci teringat
kepada cerita ibunya dahulu bahwa tokoh-tokoh Bu-lim yang memiliki Lwekang tinggi bukan saja bisa panjang
umur, bahkan mukanya juga awet muda. Maka ketua Hoa-san-pay ini mungkin juga memiliki ilmu Lwekang
yang tinggi itu. Keruan ia tambah kagum tak terkatakan.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah berkata dengan tersenyum, "Bok-heng, pemuda ini adalah seorang anak
berbakti, juga punya jiwa kesatria, sungguh suatu bakat yang sukar dicari, pantas Bok-heng jatuh hati
padanya. Padahal semua penderitaan yang menimpa dia itu adalah lantaran tempo hari dia telah membela
keadilan dan menolong putriku si Leng-sian, maka sekarang terpaksa aku harus turun tangan juga, diharap
suka memandang diriku, sukalah Bok-heng membebaskan dia saja."
"Apa katamu?" Bok Ko-hong menegas dengan keheran-heranan. "Hanya dengan sedikit kepandaian bocah ini
saja dia mampu menolong keponakan perempuan si Leng-sian? Aha, kukira ucapanmu itu harus dibalik,
mungkin si dara jelita itulah yang telah ...."
Gak Put-kun tahu ucapan si Bungkuk selanjutnya tentu adalah ocehan yang tidak enak didengar, maka cepat ia
menyela, "Sesama orang Kangouw adalah jamak saling memberi pertolongan, membantu dengan bertempur
mati-matian termasuk menolong, membantu dengan ucapan saja juga menolong, maka tak dapat
memandangnya dari soal ilmu silatnya tinggi atau rendah. Bok-heng, bila kau berkeras ingin mengambil
pemuda ini sebagai murid, memang paling baik kalau membiarkan dia minta izin dulu kepada ayah-ibunya,
dengan demikian kedua pihak menjadi sama-sama baiknya."
Bok Ko-hong sadar urusan hari ini bila Gak Put-kun sudah ikut campur, maka terang sukar terlaksanalah
keinginannya. Segera ia geleng-geleng kepala dan menjawab, "Tidak. Hanya seketika timbul maksud si
Bungkuk ingin menerimanya sebagai murid, tapi sekarang hasratku itu sudah hilang, biarpun sekarang bocah
ini menjura seribu kali padaku juga aku tidak sudi menerimanya."
Setelah berkata begitu, mendadak "plok", kontan Lim Peng-ci ditendangnya hingga terpental dan terguling
sampai beberapa meter jauhnya.
Serangan Bok Ko-hong ini benar-benar di luar dugaan Gak Put-kun sehingga ingin mencegah juga tidak keburu
lagi. Apalagi gerakan kaki si Bungkuk juga sangat cepat, caranya juga sangat aneh dan sukar dibayangkan
orang sebelumnya.
Untunglah sesudah terguling, seketika Peng-ci dapat melompat bangun, tampaknya tidaklah terluka.
"Bok-heng, mengapa sifatmu seperti anak kecil saja, barang yang tidak dapat kau peroleh lantas kau buang.
Kubilang kaulah yang telah kembali muda dan bukan aku," demikian Gak Put-kun balas mengolok-olok.
Bok Ko-hong tertawa. Jawabnya, "Jangan khawatir, Gak-heng. Betapa pun besarnya nyaliku juga tak berani
menyalahi kau punya ... kau punya ... kau punya apa ya? Ah, sudahlah, sampai berjumpa pula. Sungguh tidak
nyana Hoa-san-pay yang sudah begini ternama juga menaruh perhatian juga terhadap 'Pi-sia-kiam-boh' itu."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sembari bicara ia terus memberi hormat dan mundur teratur.
"Kau mengoceh apa, Bok-heng?" teriak Gak Put-kun sambil mendesak maju selangkah. Seketika air mukanya
bersemu ungu, tapi air muka demikian hanya timbul sekilas saja lantas hilang.
Melihat air muka bersemu ungu itu, hati Bok Ko-hong tergetar. Pikirnya, "Wah, itu adalah 'Ci-he-kang' (ilmu
pelangi ungu) yang merupakan Lwekang tertinggi. Selama ratusan tahun ini kabarnya belum pernah ada tokoh
Hoa-san-pay yang mampu meyakinkannya. Tapi Gak Put-kun ternyata berhasil melatih ilmu sakti itu. Wah, si
Bungkuk tidak boleh membikin marah padanya."
Tapi lahirnya dia tenang-tenang saja, ia masih cengar-cengir dan menjawab, "Entahlah, aku pun tidak tahu Pisia-
kiam-boh itu benda macam apa. Cuma kulihat Ih Jong-hay telah mengincar Kiam-boh itu dengan matimatian,
maka tanpa sengaja aku telah sembarangan mengoceh, harap Gak-heng jangan pikirkan."
Habis berkata, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
Setelah si Bungkuk lenyap dalam kegelapan, Gak Put-kun menghela napas dan berkata, "Tokoh berbakat kelas
tinggi dunia persilatan seperti dia ini justru berkelakuan tidak genah."
Sekonyong-konyong Peng-ci berlari maju terus berlutut dan menyembah tak berhenti-henti kepada Gak Putkun,
katanya, "Mohon Suhu mau menerima diriku sebagai murid. Tecu pasti akan taat kepada tata tertib
perguruan dan giat belajar, sedikit pun tidak berani membantah titah guru."
Gak Put-kun tertawa, katanya, "Jika aku menerima kau sebagai murid, tentu kelak akan diolok-olok si Bungkuk
bahwa aku berebutan murid dengan dia."
"Begitu melihat Suhu, seketika Tecu merasa sangat kagum, permohonan ini adalah timbul dari ketekadan Tecu
sendiri," kata Peng-ci sambil terus menyembah.
"Baiklah," sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Untuk menerima kau adalah tidak sulit, cuma kau belum
memberitahukan kepada ayah-ibumu, entah mereka mengizinkan atau tidak."
"Asal Tecu dapat diterima, tentu ayah dan ibu akan kegirangan, mustahil beliau-beliau itu takkan meluluskan,"
ujar Peng-ci.
Put-kun manggut-manggut. "Baiklah, lekas bangun saja!" katanya kemudian. Lalu ia menoleh dan berseru,
"Tek-nau, A Hoat, Sian-ji, keluarlah semua!"
Maka muncul segera satu rombongan orang dari balik rumah sana. Kiranya adalah anak murid Hoa-san-pay
yang sejak tadi sudah sembunyi di sana. Rupanya Gak Put-kun sengaja suruh mereka jangan tampakkan diri
agar tidak membikin malu kepada Bok Ko-hong.
Sesudah berhadapan, segera Lo Tek-nau berkata dengan girang, "Terimalah ucapan selamatku, Suhu. Engkau
telah menerima seorang Sute baru yang mempunyai hari depan yang gilang-gemilang."
"Peng-ci," kata Gak Put-kun kemudian. "Para Sukomu ini sudah pernah kau lihat di rumah minum itu. Sekarang
kalian boleh berkenalan secara resmi."
Memang sebagian besar anak murid Hoa-san-pay itu sudah dikenal Peng-ci. Yaitu, yang tua adalah Jisuko Lo
Tek-nau, yang bertubuh tegap adalah Samsuko Nio Hoat. Yang berdandan sebagai kuli adalah Sisuko Si Caycu.
Yang selalu membawa Swipoa (alat hitung) adalah Gosuko Ko Kin-beng. Laksuko Liok Tay-yu alias Lak-kauji
adalah tokoh yang paling gampang diingat, karena dia selalu membawa seekor monyet kecil. Selain mereka
terdapat lagi Citsuko To Kun dan Patsuko Eng Pek-lo yang masih muda-muda.
Sesudah satu per satu Peng-ci memberikan hormat, tiba-tiba dari belakang Gak Put-kun ada suara mengikik
tawa yang nyaring genit. Lalu berkata, "Dan aku terhitung Suci atau Sumoay, Ayah?"
Untuk sejenak Peng-ci melengak. Ia kenal suara itu adalah si gadis penjual arak yang pernah dijumpainya di
luar kota Hokciu itu, para murid Hoa-san-pay sama memanggilnya sebagai "Siausumoay" (Sumoay cilik),
kiranya dia adalah putri sang guru sendiri.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekilas Peng-ci melihat sebagian roman muka yang putih bersih dengan sebelah mata yang tampak hitam jeli
sedang mengintipnya sekejap, lalu mengkeret kembali ke belakang Gak Put-kun.
Keruan Peng-ci terheran-heran, "Nona penjual arak itu berwajah burik dan sangat buruk, mengapa sekarang
telah ganti rupa?"
Nona itu hanya melongok sedikit saja, lalu mengkeret kembali, dalam kegelapan tidaklah jelas. Tapi
bahwasanya wajahnya pasti sangat cantik adalah tidak perlu disangsikan lagi.
Maka terdengar Gak Put-kun telah menjawab dengan tertawa, "Setiap Sukomu yang hadir di sini semuanya
masuk perguruan lebih lambat daripadamu, tapi semuanya juga memanggil kau Siausumoay. Rupanya nasibmu
menjadi Sumoay sudah ditakdirkan. Maka sekali menjadi Siausumoay, tentu saja kau tetap adalah
Siausumoay."
"Tidak, tidak bisa! Sejak kini aku harus menjadi Suci juga," ujar nona itu dengan tertawa. "Ayah, Lim-sute
harus panggil aku sebagai Suci. Selanjutnya bila ayah menerima seratus atau dua ratus murid lagi juga harus
memanggil Suci padaku."
Sambil bicara dan tertawa nona itu lantas muncul dari belakang Gak Put-kun. Di malam gelap, samar-samar
Peng-ci hanya melihat raut muka yang bulat telur itu agaknya sangat cantik. Sinar mata si nona yang tajam
terasa sedang menatap ke arahnya.
Cepat Peng-ci memberi hormat dan menyapa, "Gak-sumoay, hari ini Siaute telah diterima sebagai murid oleh
Suhu yang berbudi. Yang masuk perguruan dulu adalah lebih tua, Siaute sudah sepantasnya mengaku sebagai
Sute."
Putri Gak Put-kun itu bernama Gak Leng-sian, dengan girang ia lantas berkata kepada sang ayah, "Nah, kau
dengar sendiri, Ayah. Dia sendirilah yang suka memanggil aku sebagai Suci, tapi bukan aku yang memaksa dia,
lho!"
"Orang baru saja masuk perguruan kita dan kau sudah bicara tentang 'paksa' apa segala, jangan-jangan nanti
dia akan menyangka setiap muridku akan sama seperti kau, yang tua suka memaksa yang muda, apakah kau
takkan membikin takut padanya?" demikian kata Put-kun.
Maka bergelak tertawalah para muridnya.
Gak Leng-sian lantas berkata pula, "Ayah, Toasuko sembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya, tadi kena
dihantam sekali pula oleh Ih Jong-hay, keadaannya tentu tambah payah. Hayolah lekas kita menjenguknya."
Dengan mengerut kening Gak Put-kun menggeleng kepala, katanya, "Bolehlah Kin-beng dan Cay-cu saja,
kalian menggotong keluar Toasukomu."
Ko Kin-beng dan Si Cay-cu mengiakan berbareng, lalu melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. Tapi
lantas terdengar seruan mereka, "Suhu, Toasuko tidak berada di sini, di dalam kamar juga ... juga tidak ada
orang."
Menyusul tertampaklah cahaya api, mereka sudah menyalakan lilin di dalam kamar.
Dahi Gak Put-kun terkerut makin kencang. Dia tidak sudi masuk ke rumah pelacuran yang kotor dan hina itu.
Maka katanya kepada Lo Tek-nau, "Coba kau masuk ke sana untuk memeriksanya."
Tek-nau mengiakan dan mendekati jendela.
"Biar aku juga masuk ke sana untuk melihatnya," kata Leng-sian.
Namun Gak Put-kun lantas menarik tangan putrinya itu sambil membentak, "Hus! Tempat begini mana boleh
sembarangan kau datangi?"
Karena cemasnya hampir-hampir Leng-sian menangis. Serunya khawatir, "Tapi ... tapi Toasuko terluka parah,
mungkin dia ... dalam keadaan payah."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Jangan khawatir," bisik Gak Put-kun. "Dia telah dibubuhi obat Thian-hiang-toan-siok-ko dari Hing-san-pay,
tidak nanti jiwanya berbahaya."
Leng-sian menjadi girang-girang khawatir, katanya, "Da ... dari mana engkau tahu, Ayah?"
"Ssst, jangan ceriwis!" Put-kun mendesis.
Kiranya dalam keadaan terluka parah dan kesakitan, namun pikiran Lenghou Tiong masih cukup sadar. Ia
dapat mengikuti suara pertengkaran antara Bok Ko-hong dan Ih Jong-hay dan kemudian orang-orang itu pergi
satu per satu dan akhirnya didengarnya Suhunya sendiri telah datang.
Lenghou Tiong adalah seorang yang tidak gentar kepada siapa pun juga, di dunia ini hanya ada seorang yang
disegani olehnya, yaitu sang guru.
Maka ketika mendengar Suhunya sedang berbicara dengan Bok Ko-hong, ia pikir daripada nanti dipergoki sang
guru di tempat yang tak senonoh itu, lebih baik menyingkir dulu dari situ. Maka sambil menahan rasa sakit
cepat ia menyingkap selimut dan berbisik kepada Fifi dan Gi-lim, "Wah, celaka! Guruku sudah datang, kita
lekas lari!"
Segera ia mendahului keluar dari kamar itu dengan berpegangan dinding. Cepat si Fifi juga lantas menarik
bangun Gi-lim dan lari keluar. Tertampak Lenghou Tiong sedang sempoyongan dan tidak kuat berjalan, lekaslekas
ia berlari maju untuk memayangnya.
Dengan menahan sakit Lenghou Tiong berjalan sekuatnya ke depan, sesudah menyusur sebuah serambi
panjang, ia tahu mata-telinga Suhunya sangat tajam, bila keluar seketika akan ketahuan. Dilihatnya di sebelah
kanan ada sebuah kamar, tanpa pikir ia terus masuk ke kamar itu diikuti Fifi dan Gi-lim.
"Lekas tutup pintu dan jendela," kata Lenghou Tiong dengan suara lemah.
Fifi melaksanakan permintaan itu. Lenghou Tiong sendiri sudah sangat lemas, sambil merebah di atas ranjang,
napasnya tersengal-sengal.
Ketiga orang itu tidak berani bersuara sedikit pun. Mereka pasang kuping setajam mungkin. Selang agak lama
barulah terdengar suaranya Gak Put-kun berkumandang dari jauh, "Rupanya dia sudah pergi dari sini.
Sudahlah, kita pun pergi saja!"
Lenghou Tiong menghela napas lega. Selang tak lama, tiba-tiba terdengar suara orang berjalan dengan
langkah perlahan sedang mendatangi, "Toasuko! Toasuko!" demikian terdengar orang itu memanggil dengan
suara tertahan.
Itu suaranya Liok Tay-yu. Kiranya dia mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong, maka sesudah sang guru
dan para saudara seperguruannya berangkat, diam-diam ia putar balik untuk mencari sang Toasuko.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa Lak-kau-ji, si monyet, memang lebih setia kawan daripada saudara-saudara
seperguruannya yang lain. Segera ia bermaksud menjawabnya. Tapi mendadak terasa kain kelambu
bergetaran, kiranya Gi-lim yang duduk di tepi ranjang itu merasa ketakutan dan gemetar.
"Ya, bilamana aku bersuara menjawab tentu akan merusak nama baik Siausuhu ini," pikir Lenghou Tiong. Maka
urunglah dia menjawab panggilan Lak-kau-ji tadi.
Terdengar Liok Tay-yu berjalan lewat di luar jendela sambil memanggil terus dan makin lama makin menjauh
dan akhirnya suaranya tak terdengar lagi.
"He, Lenghou Tiong, kau akan mati atau tidak?" tiba-tiba Fifi bertanya.
"Masa aku akan mati? Jika aku mati kan akan membikin rusak nama baik Hing-san-pay." sahut Lenghou Tiong.
"Sebab apa?" tanya Fifi heran.
"Lukaku telah dibubuhi obat mujarab keluaran Hing-san-pay, jika tak bisa sembuh, bukankah aku Lenghou
Tiong akan merasa sangat menyesal terhadap ... terhadap Siausuhu dari Hing-san-pay ini?" kata Lenghou
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiong.
Dalam keadaan terluka toh pendekar muda itu masih sempat berkelakar, diam-diam Gi-lim kagum kepada
ketabahannya. Segera ia pun berkata, "Lenghou-toako, kau telah kena dipukul pula satu kali oleh Ih-koancu
itu. Coba kulihat keadaan lukamu."
Mestinya Lenghou Tiong hendak bangun, tapi telah dicegah Fifi. Melihat pakaiannya berlepotan darah, Gi-lim
tidak sempat memikirkan lagi pantangan antara laki-laki dan perempuan, segera ia membuka baju Lenghou
Tiong, lalu mengambil sebuah baskom di samping sana, dengan sepotong handuk untuk membersihkan darah
di tempat luka itu, lalu membubuhi pula dengan obat Thian-hiang-toan-siok-ko.
"Wah, obat sebaik ini kan sayang dihabiskan untuk lukaku ini," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Ah, janganlah Lenghou-toako berkata demikian," sahut Gi-lim dengan malu-malu. "Atas pertolonganmu,
sampai-sampai Suhuku juga memuji akan jiwa kesatriamu."
"Puji sih tidak perlu, asal beliau tidak mendamprat aku saja aku sudah banyak terima kasih," ujar Lenghou
Tiong dengan tertawa.
"Mana bisa beliau mendamprat padamu?" kata Gi-lim. "Lenghou-toako, engkau harus istirahat dulu supaya
lukamu tidak pecah pula, dengan demikian tentu akan cepat sembuhnya."
"Enci Gi-lim," tiba-tiba Fifi menyela, "silakan engkau menjaganya kalau-kalau ada orang jahat datang lagi.
Kakek tentu sedang menunggu, aku harus lekas-lekas pulang."
"Tidak, tidak jangan! Mana boleh aku tinggal sendirian di sini!" seru Gi-lim.
"Bukankah Lenghou Tiong juga berada di sini? Masakah kau bilang sendirian?" ujar Fifi dengan tertawa. Lalu ia
putar tubuh dan hendak melangkah pergi.
"Jangan pergi!" cepat Gi-lim berseru pula.
Namun Fifi sudah lantas melayang keluar jendela sambil mengikik tawa. Ginkang dara cilik itu sangat hebat,
Gi-lim merasa tak mampu mengejarnya. Dengan cemas dan gelisah ia putar balik ke depan ranjang dan
berkata, "Wah, Lenghou-toako, dia ... dia sudah pergi!"
Tapi waktu itu kekuatan obat sedang bekerja, Lenghou Tiong dalam keadaan sadar tak-sadar sehingga tidak
menjawabnya.
Saking bingungnya Gi-lim menjadi gemetar. Selang agak lama barulah ia dapat tenang kembali, cepat ia
menutup jendela. Pikirnya, "Aku harus lekas-lekas pergi dari sini atau tidak? Apa jadinya bila ada orang melihat
aku berada di sini berduaan dengan Lenghou-toako? Tapi ... tapi lukanya begini parah, biarpun seorang anak
kecil saja sudah cukup untuk membunuhnya, mana boleh aku meninggalkan dia di sini?"
Dalam kegelapan hanya terdengar di lorong yang sunyi itu terkadang ada suara anjing menggonggong, selain
itu keadaan hening lelap. Penghuni rumah pelacuran itu sudah kabur semua, ia merasa di dunia ini seakanakan
tertinggal Lenghou Tiong seorang saja yang berada di atas ranjang, lain tidak.
Sambil duduk di atas kursi, sedikit pun Gi-lim tidak berani sembarangan bergerak. Selang agak lama, mulai
terdengarlah suara ayam berkokok, fajar sudah hampir tiba.
Gi-lim menjadi kelabakan, pikirnya, "Jika hari sudah terang, tentu akan ada orang datang ke sini. Wah, lantas
bagaimana baiknya?"
Sejak kecil dia sudah cukur rambut dan menjadi Nikoh di bawah asuhan Ting-yat Suthay, maka sedikit pun
tiada pengalaman apa-apa. Dalam keadaan bingung sekarang ia tambah tak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berjalan, ada tiga-empat orang sedang mendatangi dari ujung gang sana.
Dalam keadaan sunyi senyap suara langkah orang-orang itu menjadi terdengar sangat jelas.
Sampai di depan rumah pelacuran itu, orang-orang itu lantas berhenti. Terdengar seorang di antaranya berkata
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dengan suara perlahan, "Kalian berdua periksa sebelah timur sana, kalian berdua akan menggeledah sebelah
barat. Jika ketemukan Lenghou Tiong harus ditangkap hidup-hidup. Dia terluka parah, tidak nanti bisa melawan
kita."
Memangnya Gi-lim sudah khawatir, didengar pula kedatangan orang-orang itu hendak menangkap Lenghou
Tiong, keruan ia tambah takut. Sekilas timbul suatu pikirannya, "Betapa pun aku harus menyelamatkan
Lenghou-toako."
Dengan tekad demikian itu, rasa takutnya lantas lenyap, pikirannya menjadi jernih kembali. Cepat ia mendekati
ranjang, ia gunakan selimut untuk membungkus rapat tubuh Lenghou Tiong dan dipondongnya, lalu perlahanlahan
membuka pintu dan menyelinap keluar.
Dalam keadaan demikian ia tidak dapat membedakan arah lagi, yang dituju adalah jurusan yang berlawanan
dengan suara orang-orang tadi. Dalam sekejap saja ia sudah tiba di sebuah kebun sayur dan sampai di pintu
belakang.
Dilihatnya pintu itu setengah terbuka, rupanya orang-orang Kun-giok-ih tadi buru-buru melarikan diri dan tidak
sempat menutup kembali pintu itu.
Sambil memondong Lenghou Tiong cepat Gi-lim berlari keluar terus menyusur gang yang kecil dan sepi.
Terdengar suara ayam berkokok dan anjing menggonggong tambah ramai, namun tanpa pikir ia berlari terus.
Sampai di pinggir benteng kota, ia pikir harus keluar dari kota saja, di dalam kota musuh Lenghou-toako terlalu
banyak. Segera ia menyusur dinding benteng, tidak lama kemudian, tertampak belasan orang desa bergegasgegas
lalu dengan memikul sayur, rupanya adalah tukang-tukang sayur di sekitar kota yang tiap hari berjualan
di pasar.
Sambil menunduk Gi-lim bersimpang jalan dengan tukang-tukang sayur itu. Sampai di pintu kota, cepat sekali
ia berlari keluar. Tatkala itu hari masih remang-remang, prajurit penjaga tidak sempat bertanya, tahu-tahu Gilim
sudah berlari pergi cukup jauh.
Sekaligus Gi-lim berlari-lari sampai beberapa li jauhnya, yang dituju selalu tanah pegunungan yang sepi.
Sampai akhirnya ia telah berada di suatu gua. Setelah perasaannya agak tenang, ia coba menunduk
memandang Lenghou Tiong. Ternyata pemuda itu sudah sadar dan sedang tersenyum padanya.
Melihat wajah yang tersenyum-senyum itu, Gi-lim menjadi gugup, tangannya menjadi lemas, hampir-hampir
saja ia lepaskan tubuh yang dipondongnya itu. Namun tidak urung ia pun terhuyung-huyung ke depan.
"Kau sudah lelah, Siausumoay! Silakan mengaso saja dulu," kata Lenghou Tiong.
Gi-lim mengiakan. Perlahan-lahan ia menaruh Lenghou Tiong di atas tanah. Ia sendiri pun tidak sanggup berdiri
lagi, terus saja ia menjatuhkan diri berduduk dengan napas terengah-engah. Selang sejenak barulah ia
bertanya, "Bagaimana keadaan lukamu, Lenghou-toako?"
"Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi, semuanya ini berkat obatmu yang mustajab itu," puji Lenghou Tiong.
Habis ini mendadak ia menghela napas, katanya pula dengan menyesal, "Cuma sayang aku terluka parah
sehingga kena dihina oleh kaum keroco, bahkan hampir-hampir saja kenyang disiksa oleh kawanan keparat
dari Jing-sia-pay itu bila aku kena diketemukan mereka tadi."
"Kiranya engkau telah mengikuti semua kejadian tadi?" Gi-lim menegas. Demi teringat dirinya tadi
memondongnya sambil berlari-lari sekian lamanya, entah sejak kapan pemuda itu sudah sadar dan telah
memandang padanya, tanpa merasa wajah Gi-lim menjadi merah.
Lenghou Tiong tidak tahu mengapa Nikoh jelita itu mendadak merasa malu. Disangkanya mungkin terlalu lelah.
Maka katanya, "Sumoay, harap kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan secara teratur supaya tidak
terluka dalam."
Gi-lim mengiakan. Lalu ia duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil pejamkan mata. Akan tetapi
perasaannya menjadi gelisah, betapa pun sukar tenang lagi. Hanya sebentar saja ia lantas membuka mata dan
melirik ke arah Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah sebentar-sebentar ia membuka mata dan memandang pemuda itu untuk melihat apakah lukanya ada
perubahan atau pemuda itu apakah sedang mengintip padanya. Ketika pandangan ketiga, kebetulan Lenghou
Tiong juga lagi menatap padanya. Keruan ia terkejut. Sebaliknya Lenghou Tiong lantas terbahak-bahak.
"Ada ... ada apa kau tertawa?" tanya Gi-lim dengan kikuk.
"Kau masih terlalu muda, belum sempurna latihanmu bersemadi sehingga sukar memusatkan pikiran," kata
Lenghou Tiong dengan tertawa. "Sudahlah, kau jangan khawatir. Tenagaku sudah mulai pulih kembali.
Andaikan orang-orang Jing-sia-pay itu menyusul kemari juga kita tak perlu takut lagi. Tentu aku akan suruh
mereka merasakan ... merasakan gaya belibis jatuh dengan pantat menghadap ke belakang."
"Sudahlah, engkau jangan banyak bicara lagi, silakan mengaso saja," kata Gi-lim.
"Wah, sesungguhnya aku ingin sekali bisa segera berbangkit dan berkunjung ke rumah Lau-susiok untuk
melihat keramaian," kata Lenghou Tiong. "Guruku sampai datang sendiri, kuyakin pasti akan terjadi sesuatu
yang gawat."
Melihat bibir pemuda itu sampai kering, matanya cekung, Gi-lim tahu dia tidak sedikit kehilangan darah dan
perlu diberi minum sebanyak mungkin. Maka ia lantas berkata, "Biarlah kupergi mencari air. Tentu kau sangat
haus, bukan?"
"Waktu datang tadi kulihat di tepi jalan sebelah timur sana di tengah sawah banyak tumbuh semangka yang
sudah masak, silakan kau pergi memetiknya beberapa buah," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah," sahut Gi-lim sambil berbangkit. Tapi ketika meraba saku, ternyata tiada sepeser pun. Segera
katanya pula, "Apakah engkau ada uang, Lenghou-toako?"
"Untuk apa?" tanya Lenghou Tiong heran.
"Buat beli semangka!"
"Buat apa beli? Petik saja. Toh tiada penduduk di sekitar sini. Penanam semangka itu tentu tinggal sangat jauh
dari sini. Kepada siapa kau akan membeli?"
"Mengambil tanpa permisi, itu kan men ... mencuri namanya. Suhu bilang sekali-kali tidak boleh mencuri. Jika
tidak punya uang boleh minta sedekah saja. Hanya minta sebuah semangka rasanya mereka pun akan
memberi."
"Ai, kau ini ...." mestinya Lenghou Tiong hendak mengomelinya, tapi mengingat dia masih terlalu muda, pula
telah menolong dirinya dengan mati-matian, maka urunglah mengucapkan omelannya.
Melihat pemuda itu merasa kurang senang, Gi-lim tidak berani membantah lagi. Segera ia menuju ke jalan
tadi. Kira-kira dua li jauhnya, benar juga tertampak ada beberapa bidang sawah yang penuh tanaman
semangka dengan buah semangka yang besar-besar. Suasana sunyi, hanya suara tonggeret ramai bersahutan
di pucuk pohon, sekitar sawah itu ternyata tiada seorang pun.
Bab 20. Mengambil Tanpa Permisi Namanya kan Mencuri
Ia turun ke sawah dan mendekati buah semangka. Ia menjadi ragu-ragu. Tangannya sudah menjulur, tapi
segera ditarik kembali. Terbayang olehnya wajah sang guru yang kereng yang telah memberi pesan tentang
pantangan-pantangan bagi orang beribadat, terutama dalam hal mencuri.
Akan tetapi segera timbul pula wajah Lenghou Tiong yang pucat dan cekung dengan bibirnya yang kering.
Mendadak ia menjadi nekat, dengan menggigit bibir ia terus betot sebuah semangka sehingga putus dari
akarnya. Pikirnya, "Untuk menolong jiwa Lenghou-toako terpaksa aku melanggar pantangan dan biarlah aku
rela masuk neraka asalkan Lenghou-toako dapat selamat."
Lenghou Tiong adalah seorang pemuda yang berpikiran bebas dan berpandangan luas, ia hanya merasa Nikoh
cilik Gi-lim itu masih hijau, tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia. Sama sekali tak tersangka olehnya
bahwa untuk memetik sebuah semangka saja telah terjadi pertentangan batin sedemikian hebatnya dalam
benak Nikoh jelita itu. Maka ia menjadi girang ketika melihat Gi-lim sudah kembali dengan membawa buah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
semangka. Pujinya, "O, Sumoay yang baik, nona yang manis!"
Keruan Gi-lim tergetar demi mendengar pujian yang demikian itu, hampir-hampir saja semangka itu jatuh dari
pangkuannya. Lekas-lekas ia memegangnya dengan lebih kencang.
"He, mengapa kau begini gugup? Apakah kau diuber orang karena kau mencuri semangka ini?" tanya Lenghou
Tiong dengan tertawa.
"Tidak, aku tidak diuber siapa-siapa," sahut Gi-lim sambil berduduk perlahan-lahan.
Tatkala itu sang surya telah menyingsing di ufuk timur dengan sinarnya yang cerlang-cemerlang, suatu pagi
yang cerah dengan hawa yang sejuk.
Gi-lim mencabut pedangnya yang ujungnya sudah patah itu, terpikir olehnya, "Ilmu silat Dian Pek-kong itu
benar-benar sangat hebat, kalau Lenghou-toako tidak menolong aku dengan mati-matian, tentu saat ini aku
tidak dapat duduk di sini dengan selamat."
Sekilas dilihatnya kedua mata Lenghou Tiong melekuk cekung, wajahnya pucat. Diam-diam ia membatin,
"Demi dia, biarpun aku lebih banyak berdosa juga takkan menyesal."
Karena pikiran demikian, segera rasa berdosanya lantaran mencuri semangka tadi lantas lenyap semua. Segera
ia memotong semangka dengan pedang kutung itu.
Semangka itu rupanya dari jenis yang bagus, begitu terbelah lantas terendus bau yang harum segar.
"Semangka bagus!" puji Lenghou Tiong.
Segera Gi-lim memotong semangka itu menjadi selapis, sesudah dibuang bijinya, lalu sepotong demi sepotong
diberikannya kepada Lenghou Tiong yang segera dimakannya dengan nikmat.
Gi-lim merasa senang melihat pemuda itu makan semangka dengan nikmat sekali. Dilihatnya air semangka
menetes dan membasahi lehernya karena Lenghou Tiong makan semangka sambil berbaring, maka untuk
selanjutnya Gi-lim mengiris semangka itu menjadi potongan kecil-kecil sehingga air semangka tidak sampai
mengalir keluar mulut lagi.
Tapi setiap kali Lenghou Tiong mengulurkan tangan buat menerima semangka selalu meringis menahan sakit,
tanpa merasa Gi-lim lantas menyuapi.
Setelah makan hampir separuh buah semangka itu, barulah Lenghou Tiong ingat bahwa Gi-lim sama sekali
belum makan, segera ia berkata, "Kau sendiri pun silakan makan."
"Nanti, biar kau makan secukupnya dulu," sahut Gi-lim.
"Sudah, aku sudah cukup, silakan kau makan saja," kata Lenghou Tiong.
Sesungguhnya Gi-lim memang juga sangat haus, maka setelah menyuapi satu-dua potong lagi ke mulut
Lenghou Tiong, kemudian ia pun masukkan sepotong semangka ke dalam mulut sendiri. Dilihatnya Lenghou
Tiong lagi memandang padanya, dengan malu ia lantas duduk membelakangi pemuda itu.
"Ah, sungguh sangat indah," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong memuji.
Gi-lim tambah malu, ia tidak tahu mengapa mendadak pemuda itu memuji keindahannya.
"Coba lihatlah, alangkah bagusnya!" terdengar Lenghou Tiong berkata pula.
Waktu Gi-lim sedikit menoleh, tertampak jari pemuda itu menuding ke arah barat. Ia coba memandang ke arah
yang ditunjuk, kiranya di ujung langit di kejauhan sana tertampak lengkung pelangi dengan tata warna yang
sangat indah.
Baru sekarang Gi-lim mengetahui bahwa yang dimaksudkan "indah" oleh Lenghou Tiong kiranya adalah
pelangi, jadi dirinya sendiri yang telah salah wesel. Kembali ia merasa malu lagi. Cuma rasa malu sekarang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berbeda dengan rasa malu tadi yang mengandung girang-girang kikuk.
"Eh, coba kau dengarkan!" kata Lenghou Tiong pula.
Waktu Gi-lim mendengarkan dengan cermat, terdengar di arah pelangi sana sayup-sayup ada suara
gemercaknya air. "Ya, seperti suara air terjun," katanya.
"Betul, sehabis hujan, di tanah pegunungan tentu banyak air terjun," kata Lenghou Tiong. "Marilah kita coba
pergi ke sana untuk melihatnya."
Gi-lim tidak tega mengecewakan keinginannya, segera ia memayangnya bangun. Mendadak wajahnya bersemu
merah pula. Ia menjadi ragu-ragu apakah dirinya sekarang masih harus memondongnya pula? Mengapa
pemuda ini tiba-tiba ingin pergi melihat air terjun, jangan-jangan hanya sebagai alasan saja agar dirinya
memondong pula? Demikian pikirnya.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Lenghou Tiong menjemput sebatang kayu di sebelahnya dan digunakan sebagai
tongkat, lalu berjalan perlahan-lahan ke depan. Nyata kembali Gi-lim salah wesel lagi. Cepat ia memburu maju
untuk memegangi badan pemuda itu sambil mengomeli dirinya sendiri yang suka berpikir tak keruan, padahal
Lenghou-toako adalah seorang kesatria sejati, mana boleh disamaratakan dengan kelakuan Dian Pek-kong
yang jahat itu?
Lenghou Tiong benar-benar seorang pemuda yang kuat. Lukanya itu baru selang dua hari, tapi sekarang dia
sudah dapat berjalan, walaupun langkahnya belum mantap, tapi cukup kuat untuk bertahan.
Tidak seberapa lama, Gi-lim mengajaknya mengaso dan duduk di atas sepotong batu besar. "Di sini juga boleh,
apakah kau harus pergi melihat air terjun?" tanyanya.
"Dasar aku memang kepala batu, apa yang kupikir tentu harus kukerjakan," sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, pemandangan yang indah di sana itu mungkin akan membantu mempercepat sembuhnya lukamu,"
ujar Gi-lim.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sesudah melintasi sebuah tanjakan, terdengarlah suara gemerujuknya air
terjun yang makin keras. Sesudah menyusur pula sebuah hutan akhirnya tertampaklah sebuah air terjun
dengan airnya yang putih laksana dituang dari atas langit.
"Di puncak Giok-li-hong di atas Hoa-san kami juga terdapat sebuah air terjun yang hampir sama dengan air
terjun ini," tutur Lenghou Tiong. "Di waktu iseng Sumoayku suka menyeret aku berlatih pedang di depan air
terjun itu. Dengan nakal terkadang dia terus menerobos ke balik air terjun. Beberapa kali ia pun minta aku
berlatih pedang dengan dia di bawah air terjun itu, katanya tenaga air yang dituang dari atas itu akan dapat
memperkuat daya permainan pedang. Kami sering basah kuyup tersiram oleh air terjun, bahkan pernah
hampir-hampir terperosok ke dalam kolam air yang dalam itu."
Mendengar pemuda itu menyinggung Sumoaynya, mendadak Gi-lim sadar sebabnya Lenghou Tiong berkeras
ingin datang ke tempat air terjun itu rasanya bukanlah untuk menikmati pemandangannya, tapi adalah untuk
mengenangkan sang Sumoay. Segera ia tanya, "Kau mempunyai berapa orang Sumoay?"
"Hoa-san-pay kami seluruhnya ada tujuh orang murid wanita," tutur Lenghou Tiong. "Leng-sian Sumoay adalah
putri Suhu sendiri, enam Sumoay yang lain adalah murid ibu-guru kami."
"O, kiranya dia adalah putri Gak-supek. Tentu dia ... dia sangat baik padamu?"
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berduduk, lalu menjawab, "Aku adalah anak yatim piatu, 13 tahun yang lalu aku
telah diterima oleh Suhu yang berbudi. Tatkala itu Leng-sian Sumoay baru berumur lima tahun. Aku lebih tua
daripada dia, sering kali aku membawanya pergi mencari buah-buahan dan menangkap kelinci. Jadi kami boleh
dikata dibesarkan bersama. Suhu tidak punya anak laki-laki sehingga aku dianggap sebagai putranya sendiri
dan Leng-sian Sumoay juga sama seperti adikku sendiri."
"O, kiranya demikian," kata Gi-lim. Selang sejenak, ia berkata pula, "Aku pun seorang anak yatim piatu, sejak
kecil aku sudah menjadi Nikoh di bawah asuhan Suhu."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Sayang, sayang! Jika kau tidak menjadi murid Ting-yat Suthay, tentu aku dapat mohon kepada ibu-guru agar
suka menerima kau sebagai murid dan Leng-sian Sumoay tentu akan sangat suka pula kepadamu."
"Cuma sayang aku tidak punya rezeki sebesar itu. Namun aku pun merasa bahagia tinggal di Pek-hun-am,
Suhu dan para Suci juga sangat baik padaku."
"O, ya, ya! Aku yang salah bicara. Ilmu pedang Ting-yat Susiok sangat lihai, Suhu sendiri sering memuji beliau.
Masakah Hing-san-pay kalah daripada Hoa-san-pay kami?"
"Lenghou-toako," tiba-tiba Gi-lim bertanya, "Tempo hari kau bilang kepada Dian Pek-kong, katanya bertempur
dengan berdiri Dian Pek-kong terhitung jago nomor 14 dan Gak-supek adalah nomor 6. Lalu Suhuku terhitung
nomor berapa?"
"Ah, aku kan cuma menipu Dian Pek-kong saja, masakah kau percaya sungguh-sungguh?" sahut Lenghou
Tiong dengan tertawa. "Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang selalu mengalami perubahan, ada yang
semakin maju, ada yang sudah mundur karena lanjut usianya, mana ada patokan yang menentukan siapa lebih
tinggi dan siapa nomor sekian? Ilmu silat Dian Pek-kong itu memang tinggi, tapi belum tentu dia dapat dihitung
sebagai jago nomor 14 di dunia ini. Aku hanya sengaja mengumpak dia agar dia senang."
"O, kiranya kau cuma membohongi dia saja," kata Gi-lim. Untuk sejenak ia termangu-mangu memandangi air
terjun. Kemudian ia bertanya pula, "Lenghou-toako, apakah kau sering membohongi orang?"
"Haha, untuk itu kita harus melihat keadaan," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Yang perlu dibohongi harus
dibohongi, yang tidak boleh dibohongi jangan sekali-kali berbohong padanya. Seperti Suhu dan Subo (ibuguru),
biarpun mereka hendak memotong kepalaku juga aku juga tidak berani membohongi mereka."
"Dan bagaimana dengan Sute atau Sumoaymu? Misalnya ... misalnya kau punya Leng-sian Sumoay, apakah
kau suka membohongi dia?"
"Ah, itu harus melihat keadaan dan mengenai soal apa? Di antara sesama saudara seperguruan kami sering
saling berkelakar. Bergurau tanpa tipu-menipu dan bohong-membohongi tentu akan kurang menarik. Terhadap
... terhadap Leng-sian Sumoay, bila mengenai urusan penting, sudah tentu aku takkan membohongi dia. Tapi
di waktu bermain dan bergurau sudah tentu tak terhindar dari tipu-menipu."
Selama Gi-lim tinggal di Pek-hun-am, karena harus taat kepada agama dan tata tertib perguruan, maka
hidupnya sangat sederhana dan kaku, di antara para Sucinya juga tak pernah bersenda gurau, walaupun satu
sama lain saling mencintai. Maka ia menjadi sangat tertarik dan merasa kagum terhadap sesama murid Hoasan-
pay yang gembira ria sebagaimana yang diceritakan Lenghou Tiong, sungguh ia ingin sekali dapat
berkunjung ke Hoa-san dan bergaul dengan mereka. Tapi bila teringat kejadian yang menimpa dirinya
sekarang ini, boleh jadi sesudah pulang sang guru takkan mengizinkan keluar kuil lagi, maka hasratnya ingin
datang ke Hoa-san hanya menjadi lamunan belaka. Andaikan sudah bergaul, tapi kalau Lenghou-toako
senantiasa cuma mendampingi dia punya Leng-sian Sumoay, lalu aku tertinggal sendirian dan siapa yang akan
mengawani aku? Berpikir demikian, hatinya menjadi pilu dan hampir-hampir meneteskan air mata.
Rupanya Lenghou Tiong tidak memerhatikan perubahan Gi-lim itu, dia masih memandang ke arah air terjun
dan berkata, "Aku dan Leng-sian Sumoay memang sedang meyakinkan semacam Kiam-hoat dengan bantuan
tenaga air terjun yang mencurah dari atas itu. Kami anggap tenaga air itu sebagai tenaga dalam serangan
musuh, bukan saja kami harus menghalaukan tenaga dalam musuh, bahkan kami harus memperalat kembali
tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri. Ilmu pedang kami itu takkan kelihatan daya serangannya
terhadap lawan yang berkepandaian rendah, sebaliknya akan besar manfaatnya bila menghadapi musuh yang
bertenaga dalam yang mahakuat."
Melihat pemuda itu bercerita dengan gembira, Gi-lim tidak ingin membuatnya kecewa. Ia hanya tanya, "Dan
kalian berhasil meyakinkan ilmu pedang itu belum?"
"Belum, belum!" sahut Lenghou Tiong. "Apa kau sangka gampang untuk menciptakan sesuatu ilmu pedang?"
"Apa namanya ilmu pedang kalian itu?" tanya Gi-lim perlahan.
"Ah, mestinya tak dapat diberi nama apa-apa, tapi Leng-sian Sumoay berkeras ingin memberikan suatu nama,
dia menyebutnya 'Tiong-leng-kiam-hoat', yaitu diambil dari nama kami masing-masing satu huruf."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Tiong-leng-kiam-hoat? Ehm, nama ini mengandung namamu dan namanya, bila diturunkan di kemudian hari
setiap orang akan tahu ilmu pedang ini adalah ciptaan kalian ... kalian berdua."
"Ah, hanya gara-gara Leng-sian Sumoay saja, padahal dengan kemampuan kami masakan dapat menciptakan
ilmu pedang apa segala? Hendaklah jangan sekali-kali kau katakan kepada orang lain supaya tidak dijadikan
bahan lelucon orang Kangouw."
"Baiklah, tentu takkan kukatakan pada orang lain," sahut Gi-lim. Sesudah merandek sejenak, tiba-tiba ia
berkata pula dengan tersenyum, "Tapi ilmu pedang ciptaanmu sudah lebih dulu diketahui oleh orang lain."
"Apa ya?" Lenghou Tiong terkesiap. "Apakah Leng-sian Sumoay pernah beri tahukan kepada orang lain?"
Gi-lim tertawa, katanya, "Kau sendirilah yang telah beri tahukan Dian Pek-kong. Bukankah kau mengatakan
kau telah menciptakan semacam ilmu pedang penusuk lalat pada saat berjongkok di kakus?"
"Hahahaha! Aku sengaja membual saja padanya, tapi kau ternyata masih terus mengingat-ingatnya ...
auuuuh!" demikian mendadak Lenghou Tiong mengerut kening, karena tertawa sehingga lukanya kesakitan.
"Ai, semuanya salahku sehingga membikin lukamu kesakitan lagi. Janganlah kau bicara pula, silakan mengaso
saja secara tenang," seru Gi-lim gugup.
Lenghou Tiong lantas pejamkan mata. Tapi hanya sebentar saja kembali ia melek lagi. Katanya, "Tadinya
kukira pemandangan di sini tentu sangat indah, tapi setiba di sini malahan tidak dapat menyaksikan pelangi
yang bagus tadi."
"Pelangi mempunyai keindahan sebagai pelangi, air terjun juga mempunyai keindahan air terjun sendiri," ujar
Gi-lim.
"Ya, betul juga ucapanmu. Di dunia ini mana ada sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang dicari oleh seseorang
dengan susah payah, sesudah diperoleh tentu akan merasakan kiranya juga cuma begini saja. Sebaliknya
barang yang dimilikinya semula malah sudah dibuang olehnya."
"Ucapan ini terasa mengandung filsafat orang hidup, Lenghou-toako," kata Gi-lim dengan tertawa. "Sayang
pengetahuanku terlalu cetek sehingga tidak paham artinya yang dalam."
"Ah, masakah aku tahu filsafat apa segala?" ujar Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Uh, alangkah
lelahnya!"
Lalu perlahan-lahan ia pejamkan mata, lambat laun lantas terpulas.
Gi-lim duduk di sampingnya dan menghalaukan lalat atau serangga kecil yang mengganggunya. Kira-kira
sejam lamanya, ia pikir sebentar bila Lenghou-toako sudah mendusin tentu akan merasa lapar. Di sini tiada
yang dapat dimakan, biarlah kupergi memetik dua buah semangka pula yang dapat dibuat tangsel perut dan
mencegah dahaga.
Maka dengan langkah cepat ia mendatangi sawah semangka pula, ia petik dua buah semangka dan buru-buru
kembali untuk menjaga di samping Lenghou Tiong.
"Kukira kau sudah pulang," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong membuka mata dengan tersenyum.
"Mengira aku pulang?" Gi-lim menegas heran.
"Ya, bukankah Suhu dan para Sucimu sedang mencari kau? Mereka tentu sangat mengkhawatirkan dirimu."
Sebenarnya Gi-lim tak teringat akan soal itu, demi mendengar ucapan Lenghou Tiong, ia menjadi gelisah juga.
Pikirnya, "Bila ketemu Suhu besok, entah beliau akan marah padaku atau tidak?"
"Siausumoay, sungguh aku sangat berterima kasih, kau yang telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang aku
sudah tidak berhalangan lagi, kau boleh lekas pulang saja," kata Lenghou Tiong pula.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Tidak, mana boleh kutinggalkan kau sendiri di tanah pegunungan sepi begini?" ujar Gi-lim.
"Setiba di rumah Lau-susiok, diam-diam boleh kau beritakan kepada para Suteku dan tentu mereka akan
datang kemari untuk menjaga diriku," kata Lenghou Tiong.
Perasaan Gi-lim menjadi pedih, ia pikir kiranya Lenghou-toako ingin kedatangan Sumoaynya, makanya aku
diharapkan lekas pergi saja. Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran.
Lenghou Tiong menjadi heran, tanyanya cepat, "He, ken ... kenapa kau menangis? Apakah kau takut akan
dimarahi Suhumu?"
Gi-lim menggeleng-geleng.
"Ah, barangkali kau khawatir kepergok Dian Pek-kong lagi? Jangan takut, selanjutnya dia pasti tidak berani
merecoki kau lagi. Bila melihat kau, tentu dia sendiri yang akan lari terbirit-birit."
Tapi kembali Gi-lim geleng-geleng kepala.
Lenghou Tiong menjadi bingung. Tiba-tiba dilihatnya semangka yang baru dipetiknya itu, seketika ia sadar dan
berkata pula, "O, tentu kau merasa berdosa karena kau telah melanggar larangan agama bagiku, bukan? Tapi
itu adalah dosaku dan tiada sangkut pautnya dengan kau."
Namun Gi-lim tetap menggeleng-geleng saja, air matanya menetes semakin deras.
Melihat tangis Gi-lim yang semakin menjadi itu, Lenghou Tiong tambah tidak mengerti, katanya pula, "Baiklah,
mungkin aku telah salah omong. Biarlah aku minta maaf padamu saja, Siausumoay, harap engkau jangan
marah."
Perasaan Gi-lim rada lega mendengar ucapan yang halus itu. Tapi lantas terpikir olehnya, "Rupanya dia sudah
biasa merendah diri dan minta maaf kepada Sumoaynya, maka sekarang sekenanya ia pun ucapkan padaku."
Mendadak ia menangis lebih sedih dan berkata sambil membanting kaki, "Aku ... aku toh bukan Sumoaymu
...." tapi lantas teringat olehnya sebagai seorang Nikoh adalah tidak pantas mengomel dengan kata-kata
demikian itu. Seketika wajahnya menjadi merah dan lekas-lekas berpaling ke arah lain.
Sekilas Lenghou Tiong melihat muka Gi-lim berubah merah dengan air matanya masih meleleh, dalam sekejap
tampaknya menjadi mirip butiran embun yang belum kering di atas kelopak bunga mawar di musim semi,
cantiknya sukar dilukiskan.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia merasa kecantikan Gi-lim ternyata tidak kalah daripada Sumoaynya,
si Leng-sian. Katanya kemudian, "Usiamu jauh lebih muda daripadaku, sesama orang Ngo-gak-kiam-pay kita
dengan sendirinya kau adalah Siausumoay. Adakah sesuatu kesalahanku sehingga membikin kau marah,
maukah kau katakan padaku?"
"Kau tidak bersalah apa-apa," sahut Gi-lim. "Kutahu kau ingin aku lekas-lekas pergi dari sini agar tidak
membikin muak padamu, supaya tidak membikin sial seperti pernah kau katakan 'asal melihat Nikoh, bila
berjudi tentu kalah ....'" sampai di sini kembali ia menangis lagi.
Lenghou Tiong menjadi geli sendiri, pikirnya, "Kiranya dia merasa tersinggung karena ucapanku yang tak
pantas di Cui-sian-lau itu. Ya, untuk ini aku memang harus minta maaf."
Segera ia pun berkata, "Ya, memang mulutku tidaklah bersih sehingga apa yang kukatakan di Cui-sian-lau
tempo hari telah menyinggung kehormatan Hing-san-pay kalian. Aku pantas dihajar, pantas dipukul!"
Lalu ia angkat tangan dan menampar pipinya sendiri beberapa kali.
"Jangan, jangan kau tampar sendiri lagi, aku ... aku tidak marah padamu, aku hanya khawatir ... khawatir
membikin sial padamu," cepat Gi-lim mencegah.
"Tidak, harus dihajar adat!" seru Lenghou Tiong dan "plak", kembali ia tampar pipi sendiri satu kali pula.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Sudahlah, Lenghou-toako, aku tidak ... tidak marah lagi," kata Gi-lim gugup.
"Kau menyatakan tidak marah lagi?" Lenghou Tiong menegas.
Gi-lim manggut-manggut.
"Tapi kau belum tertawa, terang kau masih marah," ujar Lenghou Tiong.
Terpaksa Gi-lim tertawa. Tapi mendadak teringat kepada nasibnya sendiri, hatinya menjadi pilu, tanpa merasa
air matanya berlinang-linang lagi. Cepat ia berpaling ke arah lain.
Melihat Nikoh jelita itu masih menangis, mendadak Lenghou Tiong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Gi-lim berhenti menangis, tanyanya dengan suara lirih, "Ken ... kenapa engkau menghela
napas?"
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Ia pikir dasar nona cilik yang masih hijau sehingga gampang ditipu. Biasanya di
kala dia bermain dengan Leng-sian, bila sang Sumoay mengambek dan tak mau gubris padanya, maka
Lenghou Tiong lantas mencari akal untuk memancing anak dara itu membuka suara. Bila tetap tak digubris, ia
lantas berdaya upaya dan berlagak sesuatu yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu sang Sumoay sehingga
anak dara itu berbalik menanya lebih dulu padanya.
Selama hidup Gi-lim jarang bergaul dengan orang luar, tak pernah mengambek dan muring-muring, maka
dengan gampang saja ia kena dipancing oleh Lenghou Tiong. Namun dengan sengaja Lenghou Tiong menghela
napas pula dan berpaling ke arah lain tanpa menjawab.
"Apakah kau marah, Lenghou-toako?" tanya Gi-lim pula.
"Ah, tidak, aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
Melihat sikap Lenghou Tiong itu, Gi-lim menjadi gugup. Ia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong hanya pura-pura
saja dan di dalam perut pemuda itu sedang terpingkal-pingkal geli.
Segera Gi-lim bertanya pula, "Akulah yang salah sehingga kau memukuli dirimu sendiri, biarlah aku ... aku
membayar kembali pukulanmu itu."
Habis berkata mendadak ia pun menampar pipinya sendiri.
Waktu ia akan menampar pula, cepat Lenghou Tiong bangun berduduk untuk memegang tangan Gi-lim. Tapi
sekali bergerak, seketika ia merintih kesakitan.
"Ai, lekas berbaring, lekas! Jangan sampai lukamu pecah lagi," kata Gi-lim dengan khawatir sambil membantu
merebahkan Lenghou Tiong, lalu ia menyesali dirinya sendiri, "Aku benar-benar sangat bodoh, berbuat segala
apa selalu salah. Apakah ... apakah engkau masih kesakitan, Lenghou-toako?"
Tempat luka Lenghou Tiong itu memang terasa sakit, jika keadaan biasa tentu dia takkan mengaku. Sekarang
mendadak timbul akalnya untuk memancing supaya Gi-lim yang menangis itu berubah menjadi tertawa. Maka
sengaja ia mengernyit kening sambil merintih-rintih pula beberapa kali.
Keruan Gi-lim menjadi khawatir. "Apakah sangat sakit?" tanyanya sambil meraba jidat pemuda itu.
"Ya, sakit sekali," sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura meringis. "Alangkah baiknya bila ... bila Laksute juga
berada di sini."
"Ada apa? Dia punya obat?" tanya Gi-lim.
"Ya, obatnya adalah dia punya mulut," sahut Lenghou Tiong. "Dahulu bila aku terluka dan kesakitan, Lak-kau-ji
selalu menghibur aku dengan macam-macam lelucon yang menggelikan, dengan demikian aku lantas lupa akan
rasa sakit. Sayang dia tidak berada di sini. O, sakit ... sungguh sakit sekali!"
Gi-lim menjadi serbasusah. Selama berguru kepada Ting-yat Suthay, tugas yang dilakukannya setiap hari
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
adalah sembahyang dan membaca kitab, semadi dan main pedang, selamanya juga jarang mengobrol,
jangankan lagi bergurau dan tertawa. Sekarang Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji yang dikatakan pintar
mendongeng dan melucu itu tidak berada di sini, bila dirinya yang harus melucu, wah, ini benar-benar
mahasulit baginya.
Mendadak pikirannya tergerak, teringat sesuatu olehnya. Segera ia berkata, "Lenghou-toako, aku sih tidak bisa
melucu, cuma aku pernah membaca suatu kitab yang isinya sangat menarik, nama kitab itu adalah 'kitab
seratus dongeng'. Di dalamnya banyak cerita-cerita yang lucu."
"Baiklah, harap engkau menceritakan beberapa bagian yang lucu-lucu itu," pinta Lenghou Tiong yang memang
sengaja memancing agar Nikoh jelita itu berbicara.
Untuk sejenak Gi-lim mengingat-ingat, lalu ia mulai bercerita dengan tersenyum. "Baiklah, lebih dulu aku akan
bercerita tentang seorang gundul dan seorang petani. Si gundul itu adalah pembawaan, sejak lahir kepalanya
sudah kelimis, jadi bukan dicukur seperti kami di kala menjadi Nikoh. Entah urusan apa si gundul telah cekcok
dengan petani itu. Dengan marah petani itu telah mengetok kepala gundul dengan paculnya sehingga
berdarah. Akan tetapi si gundul tidak melawan dan tidak menghindar, dia terima dipukul, bahkan tertawa
malah. Orang lain merasa heran dan tanya dia mengapa tertawa malah. Si gundul menjawab, 'Petani itu adalah
orang tolol, kepalaku yang gundul ini disangkanya sepotong batu, maka ia menggunakan paculnya untuk
mengetok batu. Jika aku menghindar, bukankah akan membikin dia berubah menjadi pintar?'"
Sampai di sini Lenghou Tiong telah bergelak tertawa. Katanya, "Cerita bagus! Si gundul itu benar-benar sangat
pintar, biarpun dipukul mampus juga dia takkan menghindar."
Melihat Lenghou Tiong tertawa senang, segera Gi-lim menyambung pula, "Sekarang akan kuceritakan pula
tentang seorang raja dan seorang tabib. Watak raja itu tidak sabaran, dia mempunyai seorang putri kecil, tapi
sangat ingin dibesarkan dengan cepat. Maka telah dipanggilnya seorang tabib dan diperintahkan memberi
suatu resep obat yang dapat membuat sang putri segera menjadi besar. Tabib itu menyatakan ada obatnya,
tapi untuk mengumpulkan bahan-bahan obat dan meraciknya diperlukan waktu yang lama, ia sanggup
membawa sang putri ke rumah dan membesarkannya asalkan raja tidak mendesaknya agar resep obat itu
harus lekas selesai. Raja menerima baik usul itu. Sang putri lantas dibawa pulang oleh si tabib dan setiap
beberapa hari memberi laporan kepada raja bahwa obatnya sudah mulai dikumpulkan dan diracik. Selang 12
tahun kemudian, tabib memberi lapor bahwa obat mukjizat sudah jadi dan hari ini juga sudah diminumkan
kepada sang putri. Segera sang putri dibawa menghadap raja. Sungguh senang raja tak terkatakan ketika
melihat putrinya yang tadinya masih bayi sekarang sudah sedemikian besarnya. Ia memuji kepandaian tabib
itu yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan baik, segera raja memberikan hadiah besar kepada
sang tabib."
Kembali Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kau bilang raja itu tidak sabaran, padahal dia sudah menunggu 12
tahun lamanya. Bila aku menjadi tabib itu, cukup satu hari saja aku sudah dapat menjadikan putri bayi itu
menjadi putri dewasa yang cantik jelita."
"Dengan cara bagaimana? Apakah engkau bisa menyulap?" tanya Gi-lim dengan mata membelalak lebar.
"Gampang sekali caranya, asalkan kau mau membantu," ujar Lenghou Tiong.
"Aku membantu?" Gi-lim menegas.
"Ya, segera aku membawa pulang putri bayi itu dan memanggil empat orang tukang menjahit ...."
"Tukang menjahit? Untuk apa?" Gi-lim bertambah heran.
"Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus bagimu. Besoknya
pagi-pagi dengan kopiah keputrian berhias mutiara, berbaju sulam yang baru, dengan sepatu berbingkai batu
permata, lalu akan kubawa engkau menghadap raja. Tentu raja akan sangat girang melihat putrinya yang
cantik laksana bidadari hanya dalam semalam saja sudah berubah sedemikian besarnya sesudah makan obat
dari tabib sakti Lenghou Tiong. Saking gembiranya beliau tentu tidak periksa lagi apakah putrinya itu tulen atau
palsu dan pasti si tabib sakti Lenghou Tiong akan diberi anugerah besar."
Gi-lim tertawa geli selesai Lenghou Tiong bicara, saking gelinya ia sampai menungging dan memegangi perut
sendiri. Selang sejenak barulah dia dapat bicara, "Kau memang jauh lebih cerdik daripada tabib dalam dongeng
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
itu. Cuma sayang, wajahku sedemikian ... sedemikian jelek, sedikit pun tidak mirip seorang putri."
"Jika kau dianggap jelek, maka di dunia ini tidak ada wanita cantik lagi," ujar Lenghou Tiong. "Padahal sejak
dulu sampai sekarang rasanya tiada seorang putri yang dapat membandingi kecantikanmu. Sungguh aku ...."
mendadak ia merasa tidak pantas bicara demikian kepada seorang Nikoh muda belia yang suci bersih itu,
padahal mengajaknya bersenda gurau saja sudah melanggar pantangan agama mereka, apalagi sekarang
dirinya sembarangan omong. Maka ia urung meneruskan, ia pura-pura menguap mengantuk.
"Ah, engkau sudah lelah, Lenghou-toako," kata Gi-lim. "Silakan kau mengaso saja."
"Baiklah," kata Lenghou Tiong. "Dongenganmu ternyata sangat manjur, sekarang lukaku tidak sakit lagi."
Karena maksud tujuannya membikin Gi-lim bicara dan tertawa sudah tercapai, maka ia lantas pejamkan mata
dan mengumpulkan tenaga.
Saking isengnya menunggui Lenghou Tiong, ditambah suasana yang sunyi dengan angin sayup-sayup, Gi-lim
menjadi lelah sendiri dan merasa mengantuk, akhirnya ia terpulas sambil berduduk.
Dalam mimpi ia merasa dirinya benar-benar telah memakai jubah putri raja yang mewah, dengan dituntun oleh
seorang pemuda ganteng sebagai Lenghou Tiong mereka masuk ke sebuah istana yang besar dan megah.
Mendadak muncul seorang Nikoh tua dengan pedang terhunus dan mata melotot merah, itulah Suhunya, Tingyat
Suthay. Saking takutnya cepat-cepat Gi-lim menarik lengan Lenghou Tiong untuk melarikan diri, tapi
tarikannya telah mengenai tempat kosong, seketika suasana menjadi gelap gulita dan dirinya terjatuh. Saking
kagetnya Gi-lim sampai berteriak-teriak, "Lenghou-toako!"
Tapi mendadak ia terjaga bangun dan ternyata hanya impian belaka. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi
memandang padanya dengan mata terbelalak lebar. Gi-lim jadi kikuk sendiri dengan wajah merah.
"Kau bermimpi?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas air muka Lenghou Tiong tertampak sangat aneh, seperti
sedang menahan rasa sakit. Cepat ia tanya, "Apakah lukamu sangat kesakitan?"
"Ya, rada-rada sakit!" sahut Lenghou Tiong, namun suaranya kedengaran agak gemetar. Selang sejenak
keringat pun merembes di dahinya. Terang sekali rasa sakitnya pasti tidak kepalang.
Tentu saja Gi-lim sangat khawatir. "Wah, bagaimana ini?" demikian ia menjadi kelabakan sendiri. Ia
mengeluarkan saputangan untuk mengusap keringat Lenghou Tiong. Terasa dahi pemuda itu sangat panas
sebagai dibakar.
Dari Suhunya, Gi-lim pernah mendengar bila seorang menjadi demam karena terluka senjata, maka
keadaannya menjadi berbahaya. Saking cemasnya tanpa merasa Gi-lim terus sembahyang dan berdoa. Semula
suaranya agak gemetar, tapi lambat laun perasaannya mulai tenang sehingga suara sembahyangnya
kedengaran sangat nyaring dan jelas, penuh kepercayaan.
Semula Lenghou Tiong merasa geli melihat kelakuan Gi-lim itu. Tapi sesudah mengikuti doa khotbah yang
khidmat dan mohon Buddha memberi berkah baginya itu, mau tak mau ia menjadi terharu dan mengembeng
air mata.
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah yatim piatu, walaupun Suhu dan Subo sangat baik padanya, namun dia sendiri
kelewat nakal, maka dia lebih sering dihajar daripada mendapatkan belaian kasih sayang. Para Sutenya
menghormatinya karena dia adalah Toasuheng. Walaupun Leng-sian sangat baik padanya, tapi tidak begitu
memerhatikan dia seperti Gi-lim sekarang ini yang sudi menanggung segala penderitaan di dunia ini asalkan
dia selamat dan hidup bahagia.
Sifat Lenghou Tiong sukalah bergurau, kecuali guru dan ibu-gurunya, tiada orang lain lagi yang diindahkan
olehnya. Sekarang melihat Gi-lim bersembahyang sedemikian khidmat baginya, sungguh ia tidak tahu betapa
terima kasihnya kepada Nikoh jelita itu.
Suara sembahyang Gi-lim itu makin lama makin merdu dan enak didengar, Lenghou Tiong merasa terharu dan
terhibur pula. Tanpa merasa demamnya menjadi berkurang, akhirnya dia terpulas di tengah suara doa Gi-lim
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang halus itu.
Jika suasana di tanah pegunungan itu aman tenteram, sebaliknya di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, di
mana telah berkumpul berbagai jago silat dari berbagai aliran dan golongan sedang terjadi pertarungan sengit.
Sesudah Gak Put-kun menerima Lim Peng-ci sebagai muridnya, bersama anak muridnya mereka lantas menuju
ke Heng-san.
Ketika mendapat kabar, Lau Cing-hong terkejut dan bergirang pula. Tak tersangka olehnya bahwa tokoh yang
termasyhur di dunia persilatan sebagai "Kun-cu-kiam" Gak Put-kun itu juga berkunjung sendiri ke tempatnya.
Bersama Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay, Ih Jong-hay dan lain-lain, cepat ia menyambut keluar dan
berulang-ulang mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun adalah seorang yang ramah tamah, dengan berseri-seri ia pun mengucapkan selamat kepada Lau
Cing-hong. Lalu sang tamu disilakan masuk ke dalam rumah.
Sebagai orang yang berdosa, diam-diam Ih Jong-hay merasa tidak enak. Pikirnya, "Rasanya Lau Cing-hong
takkan mendapat kehormatan sebesar ini sehingga ketua Hoa-san-pay sudi berkunjung padanya, tentu
kedatangannya ini ditujukan kepadaku. Biarpun Ngo-gak-kiam-pay mereka berjumlah lebih banyak, tapi Jingsia-
pay kami juga bukan golongan yang gampang dihina. Bila Gak Put-kun berani mengeluarkan kata-kata
yang tidak pantas, biarlah lebih dulu aku akan tanya dia perbuatan macam apa muridnya yang bernama
Lenghou Tiong itu masuk rumah pelacuran dan main perempuan? Jika tiada persesuaian paham, kalau perlu
biarlah main senjata saja." Ia turun ke sawah dan mendekati buah semangka. Ia menjadi ragu-ragu.
Tangannya sudah menjulur, tapi segera ditarik kembali. Terbayang olehnya wajah sang guru yang kereng yang
telah memberi pesan tentang pantangan-pantangan bagi orang beribadat, terutama dalam hal mencuri.
Akan tetapi segera timbul pula wajah Lenghou Tiong yang pucat dan cekung dengan bibirnya yang kering.
Mendadak ia menjadi nekat, dengan menggigit bibir ia terus betot sebuah semangka sehingga putus dari
akarnya. Pikirnya, "Untuk menolong jiwa Lenghou-toako terpaksa aku melanggar pantangan dan biarlah aku
rela masuk neraka asalkan Lenghou-toako dapat selamat."
Lenghou Tiong adalah seorang pemuda yang berpikiran bebas dan berpandangan luas, ia hanya merasa Nikoh
cilik Gi-lim itu masih hijau, tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia. Sama sekali tak tersangka olehnya
bahwa untuk memetik sebuah semangka saja telah terjadi pertentangan batin sedemikian hebatnya dalam
benak Nikoh jelita itu. Maka ia menjadi girang ketika melihat Gi-lim sudah kembali dengan membawa buah
semangka. Pujinya, "O, Sumoay yang baik, nona yang manis!"
Keruan Gi-lim tergetar demi mendengar pujian yang demikian itu, hampir-hampir saja semangka itu jatuh dari
pangkuannya. Lekas-lekas ia memegangnya dengan lebih kencang.
"He, mengapa kau begini gugup? Apakah kau diuber orang karena kau mencuri semangka ini?" tanya Lenghou
Tiong dengan tertawa.
"Tidak, aku tidak diuber siapa-siapa," sahut Gi-lim sambil berduduk perlahan-lahan.
Tatkala itu sang surya telah menyingsing di ufuk timur dengan sinarnya yang cerlang-cemerlang, suatu pagi
yang cerah dengan hawa yang sejuk.
Gi-lim mencabut pedangnya yang ujungnya sudah patah itu, terpikir olehnya, "Ilmu silat Dian Pek-kong itu
benar-benar sangat hebat, kalau Lenghou-toako tidak menolong aku dengan mati-matian, tentu saat ini aku
tidak dapat duduk di sini dengan selamat."
Sekilas dilihatnya kedua mata Lenghou Tiong melekuk cekung, wajahnya pucat. Diam-diam ia membatin,
"Demi dia, biarpun aku lebih banyak berdosa juga takkan menyesal."
Karena pikiran demikian, segera rasa berdosanya lantaran mencuri semangka tadi lantas lenyap semua. Segera
ia memotong semangka dengan pedang kutung itu.
Semangka itu rupanya dari jenis yang bagus, begitu terbelah lantas terendus bau yang harum segar.
"Semangka bagus!" puji Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Segera Gi-lim memotong semangka itu menjadi selapis, sesudah dibuang bijinya, lalu sepotong demi sepotong
diberikannya kepada Lenghou Tiong yang segera dimakannya dengan nikmat.
Gi-lim merasa senang melihat pemuda itu makan semangka dengan nikmat sekali. Dilihatnya air semangka
menetes dan membasahi lehernya karena Lenghou Tiong makan semangka sambil berbaring, maka untuk
selanjutnya Gi-lim mengiris semangka itu menjadi potongan kecil-kecil sehingga air semangka tidak sampai
mengalir keluar mulut lagi.
Tapi setiap kali Lenghou Tiong mengulurkan tangan buat menerima semangka selalu meringis menahan sakit,
tanpa merasa Gi-lim lantas menyuapi.
Setelah makan hampir separuh buah semangka itu, barulah Lenghou Tiong ingat bahwa Gi-lim sama sekali
belum makan, segera ia berkata, "Kau sendiri pun silakan makan."
"Nanti, biar kau makan secukupnya dulu," sahut Gi-lim.
"Sudah, aku sudah cukup, silakan kau makan saja," kata Lenghou Tiong.
Sesungguhnya Gi-lim memang juga sangat haus, maka setelah menyuapi satu-dua potong lagi ke mulut
Lenghou Tiong, kemudian ia pun masukkan sepotong semangka ke dalam mulut sendiri. Dilihatnya Lenghou
Tiong lagi memandang padanya, dengan malu ia lantas duduk membelakangi pemuda itu.
"Ah, sungguh sangat indah," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong memuji.
Gi-lim tambah malu, ia tidak tahu mengapa mendadak pemuda itu memuji keindahannya.
"Coba lihatlah, alangkah bagusnya!" terdengar Lenghou Tiong berkata pula.
Waktu Gi-lim sedikit menoleh, tertampak jari pemuda itu menuding ke arah barat. Ia coba memandang ke arah
yang ditunjuk, kiranya di ujung langit di kejauhan sana tertampak lengkung pelangi dengan tata warna yang
sangat indah.
Baru sekarang Gi-lim mengetahui bahwa yang dimaksudkan "indah" oleh Lenghou Tiong kiranya adalah
pelangi, jadi dirinya sendiri yang telah salah wesel. Kembali ia merasa malu lagi. Cuma rasa malu sekarang
berbeda dengan rasa malu tadi yang mengandung girang-girang kikuk.
"Eh, coba kau dengarkan!" kata Lenghou Tiong pula.
Waktu Gi-lim mendengarkan dengan cermat, terdengar di arah pelangi sana sayup-sayup ada suara
gemercaknya air. "Ya, seperti suara air terjun," katanya.
"Betul, sehabis hujan, di tanah pegunungan tentu banyak air terjun," kata Lenghou Tiong. "Marilah kita coba
pergi ke sana untuk melihatnya."
Gi-lim tidak tega mengecewakan keinginannya, segera ia memayangnya bangun. Mendadak wajahnya bersemu
merah pula. Ia menjadi ragu-ragu apakah dirinya sekarang masih harus memondongnya pula? Mengapa
pemuda ini tiba-tiba ingin pergi melihat air terjun, jangan-jangan hanya sebagai alasan saja agar dirinya
memondong pula? Demikian pikirnya.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Lenghou Tiong menjemput sebatang kayu di sebelahnya dan digunakan sebagai
tongkat, lalu berjalan perlahan-lahan ke depan. Nyata kembali Gi-lim salah wesel lagi. Cepat ia memburu maju
untuk memegangi badan pemuda itu sambil mengomeli dirinya sendiri yang suka berpikir tak keruan, padahal
Lenghou-toako adalah seorang kesatria sejati, mana boleh disamaratakan dengan kelakuan Dian Pek-kong
yang jahat itu?
Lenghou Tiong benar-benar seorang pemuda yang kuat. Lukanya itu baru selang dua hari, tapi sekarang dia
sudah dapat berjalan, walaupun langkahnya belum mantap, tapi cukup kuat untuk bertahan.
Tidak seberapa lama, Gi-lim mengajaknya mengaso dan duduk di atas sepotong batu besar. "Di sini juga boleh,
apakah kau harus pergi melihat air terjun?" tanyanya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Dasar aku memang kepala batu, apa yang kupikir tentu harus kukerjakan," sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, pemandangan yang indah di sana itu mungkin akan membantu mempercepat sembuhnya lukamu,"
ujar Gi-lim.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sesudah melintasi sebuah tanjakan, terdengarlah suara gemerujuknya air
terjun yang makin keras. Sesudah menyusur pula sebuah hutan akhirnya tertampaklah sebuah air terjun
dengan airnya yang putih laksana dituang dari atas langit.
"Di puncak Giok-li-hong di atas Hoa-san kami juga terdapat sebuah air terjun yang hampir sama dengan air
terjun ini," tutur Lenghou Tiong. "Di waktu iseng Sumoayku suka menyeret aku berlatih pedang di depan air
terjun itu. Dengan nakal terkadang dia terus menerobos ke balik air terjun. Beberapa kali ia pun minta aku
berlatih pedang dengan dia di bawah air terjun itu, katanya tenaga air yang dituang dari atas itu akan dapat
memperkuat daya permainan pedang. Kami sering basah kuyup tersiram oleh air terjun, bahkan pernah
hampir-hampir terperosok ke dalam kolam air yang dalam itu."
Mendengar pemuda itu menyinggung Sumoaynya, mendadak Gi-lim sadar sebabnya Lenghou Tiong berkeras
ingin datang ke tempat air terjun itu rasanya bukanlah untuk menikmati pemandangannya, tapi adalah untuk
mengenangkan sang Sumoay. Segera ia tanya, "Kau mempunyai berapa orang Sumoay?"
"Hoa-san-pay kami seluruhnya ada tujuh orang murid wanita," tutur Lenghou Tiong. "Leng-sian Sumoay adalah
putri Suhu sendiri, enam Sumoay yang lain adalah murid ibu-guru kami."
"O, kiranya dia adalah putri Gak-supek. Tentu dia ... dia sangat baik padamu?"
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berduduk, lalu menjawab, "Aku adalah anak yatim piatu, 13 tahun yang lalu aku
telah diterima oleh Suhu yang berbudi. Tatkala itu Leng-sian Sumoay baru berumur lima tahun. Aku lebih tua
daripada dia, sering kali aku membawanya pergi mencari buah-buahan dan menangkap kelinci. Jadi kami boleh
dikata dibesarkan bersama. Suhu tidak punya anak laki-laki sehingga aku dianggap sebagai putranya sendiri
dan Leng-sian Sumoay juga sama seperti adikku sendiri."
"O, kiranya demikian," kata Gi-lim. Selang sejenak, ia berkata pula, "Aku pun seorang anak yatim piatu, sejak
kecil aku sudah menjadi Nikoh di bawah asuhan Suhu."
"Sayang, sayang! Jika kau tidak menjadi murid Ting-yat Suthay, tentu aku dapat mohon kepada ibu-guru agar
suka menerima kau sebagai murid dan Leng-sian Sumoay tentu akan sangat suka pula kepadamu."
"Cuma sayang aku tidak punya rezeki sebesar itu. Namun aku pun merasa bahagia tinggal di Pek-hun-am,
Suhu dan para Suci juga sangat baik padaku."
"O, ya, ya! Aku yang salah bicara. Ilmu pedang Ting-yat Susiok sangat lihai, Suhu sendiri sering memuji beliau.
Masakah Hing-san-pay kalah daripada Hoa-san-pay kami?"
"Lenghou-toako," tiba-tiba Gi-lim bertanya, "Tempo hari kau bilang kepada Dian Pek-kong, katanya bertempur
dengan berdiri Dian Pek-kong terhitung jago nomor 14 dan Gak-supek adalah nomor 6. Lalu Suhuku terhitung
nomor berapa?"
"Ah, aku kan cuma menipu Dian Pek-kong saja, masakah kau percaya sungguh-sungguh?" sahut Lenghou
Tiong dengan tertawa. "Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang selalu mengalami perubahan, ada yang
semakin maju, ada yang sudah mundur karena lanjut usianya, mana ada patokan yang menentukan siapa lebih
tinggi dan siapa nomor sekian? Ilmu silat Dian Pek-kong itu memang tinggi, tapi belum tentu dia dapat dihitung
sebagai jago nomor 14 di dunia ini. Aku hanya sengaja mengumpak dia agar dia senang."
"O, kiranya kau cuma membohongi dia saja," kata Gi-lim. Untuk sejenak ia termangu-mangu memandangi air
terjun. Kemudian ia bertanya pula, "Lenghou-toako, apakah kau sering membohongi orang?"
"Haha, untuk itu kita harus melihat keadaan," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Yang perlu dibohongi harus
dibohongi, yang tidak boleh dibohongi jangan sekali-kali berbohong padanya. Seperti Suhu dan Subo (ibuguru),
biarpun mereka hendak memotong kepalaku juga aku juga tidak berani membohongi mereka."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Dan bagaimana dengan Sute atau Sumoaymu? Misalnya ... misalnya kau punya Leng-sian Sumoay, apakah
kau suka membohongi dia?"
"Ah, itu harus melihat keadaan dan mengenai soal apa? Di antara sesama saudara seperguruan kami sering
saling berkelakar. Bergurau tanpa tipu-menipu dan bohong-membohongi tentu akan kurang menarik. Terhadap
... terhadap Leng-sian Sumoay, bila mengenai urusan penting, sudah tentu aku takkan membohongi dia. Tapi
di waktu bermain dan bergurau sudah tentu tak terhindar dari tipu-menipu."
Selama Gi-lim tinggal di Pek-hun-am, karena harus taat kepada agama dan tata tertib perguruan, maka
hidupnya sangat sederhana dan kaku, di antara para Sucinya juga tak pernah bersenda gurau, walaupun satu
sama lain saling mencintai. Maka ia menjadi sangat tertarik dan merasa kagum terhadap sesama murid Hoasan-
pay yang gembira ria sebagaimana yang diceritakan Lenghou Tiong, sungguh ia ingin sekali dapat
berkunjung ke Hoa-san dan bergaul dengan mereka. Tapi bila teringat kejadian yang menimpa dirinya
sekarang ini, boleh jadi sesudah pulang sang guru takkan mengizinkan keluar kuil lagi, maka hasratnya ingin
datang ke Hoa-san hanya menjadi lamunan belaka. Andaikan sudah bergaul, tapi kalau Lenghou-toako
senantiasa cuma mendampingi dia punya Leng-sian Sumoay, lalu aku tertinggal sendirian dan siapa yang akan
mengawani aku? Berpikir demikian, hatinya menjadi pilu dan hampir-hampir meneteskan air mata.
Rupanya Lenghou Tiong tidak memerhatikan perubahan Gi-lim itu, dia masih memandang ke arah air terjun
dan berkata, "Aku dan Leng-sian Sumoay memang sedang meyakinkan semacam Kiam-hoat dengan bantuan
tenaga air terjun yang mencurah dari atas itu. Kami anggap tenaga air itu sebagai tenaga dalam serangan
musuh, bukan saja kami harus menghalaukan tenaga dalam musuh, bahkan kami harus memperalat kembali
tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri. Ilmu pedang kami itu takkan kelihatan daya serangannya
terhadap lawan yang berkepandaian rendah, sebaliknya akan besar manfaatnya bila menghadapi musuh yang
bertenaga dalam yang mahakuat."
Melihat pemuda itu bercerita dengan gembira, Gi-lim tidak ingin membuatnya kecewa. Ia hanya tanya, "Dan
kalian berhasil meyakinkan ilmu pedang itu belum?"
"Belum, belum!" sahut Lenghou Tiong. "Apa kau sangka gampang untuk menciptakan sesuatu ilmu pedang?"
"Apa namanya ilmu pedang kalian itu?" tanya Gi-lim perlahan.
"Ah, mestinya tak dapat diberi nama apa-apa, tapi Leng-sian Sumoay berkeras ingin memberikan suatu nama,
dia menyebutnya 'Tiong-leng-kiam-hoat', yaitu diambil dari nama kami masing-masing satu huruf."
"Tiong-leng-kiam-hoat? Ehm, nama ini mengandung namamu dan namanya, bila diturunkan di kemudian hari
setiap orang akan tahu ilmu pedang ini adalah ciptaan kalian ... kalian berdua."
"Ah, hanya gara-gara Leng-sian Sumoay saja, padahal dengan kemampuan kami masakan dapat menciptakan
ilmu pedang apa segala? Hendaklah jangan sekali-kali kau katakan kepada orang lain supaya tidak dijadikan
bahan lelucon orang Kangouw."
"Baiklah, tentu takkan kukatakan pada orang lain," sahut Gi-lim. Sesudah merandek sejenak, tiba-tiba ia
berkata pula dengan tersenyum, "Tapi ilmu pedang ciptaanmu sudah lebih dulu diketahui oleh orang lain."
"Apa ya?" Lenghou Tiong terkesiap. "Apakah Leng-sian Sumoay pernah beri tahukan kepada orang lain?"
Gi-lim tertawa, katanya, "Kau sendirilah yang telah beri tahukan Dian Pek-kong. Bukankah kau mengatakan
kau telah menciptakan semacam ilmu pedang penusuk lalat pada saat berjongkok di kakus?"
"Hahahaha! Aku sengaja membual saja padanya, tapi kau ternyata masih terus mengingat-ingatnya ...
auuuuh!" demikian mendadak Lenghou Tiong mengerut kening, karena tertawa sehingga lukanya kesakitan.
"Ai, semuanya salahku sehingga membikin lukamu kesakitan lagi. Janganlah kau bicara pula, silakan mengaso
saja secara tenang," seru Gi-lim gugup.
Lenghou Tiong lantas pejamkan mata. Tapi hanya sebentar saja kembali ia melek lagi. Katanya, "Tadinya
kukira pemandangan di sini tentu sangat indah, tapi setiba di sini malahan tidak dapat menyaksikan pelangi
yang bagus tadi."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Pelangi mempunyai keindahan sebagai pelangi, air terjun juga mempunyai keindahan air terjun sendiri," ujar
Gi-lim.
"Ya, betul juga ucapanmu. Di dunia ini mana ada sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang dicari oleh seseorang
dengan susah payah, sesudah diperoleh tentu akan merasakan kiranya juga cuma begini saja. Sebaliknya
barang yang dimilikinya semula malah sudah dibuang olehnya."
"Ucapan ini terasa mengandung filsafat orang hidup, Lenghou-toako," kata Gi-lim dengan tertawa. "Sayang
pengetahuanku terlalu cetek sehingga tidak paham artinya yang dalam."
"Ah, masakah aku tahu filsafat apa segala?" ujar Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Uh, alangkah
lelahnya!"
Lalu perlahan-lahan ia pejamkan mata, lambat laun lantas terpulas.
Gi-lim duduk di sampingnya dan menghalaukan lalat atau serangga kecil yang mengganggunya. Kira-kira
sejam lamanya, ia pikir sebentar bila Lenghou-toako sudah mendusin tentu akan merasa lapar. Di sini tiada
yang dapat dimakan, biarlah kupergi memetik dua buah semangka pula yang dapat dibuat tangsel perut dan
mencegah dahaga.
Maka dengan langkah cepat ia mendatangi sawah semangka pula, ia petik dua buah semangka dan buru-buru
kembali untuk menjaga di samping Lenghou Tiong.
"Kukira kau sudah pulang," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong membuka mata dengan tersenyum.
"Mengira aku pulang?" Gi-lim menegas heran.
"Ya, bukankah Suhu dan para Sucimu sedang mencari kau? Mereka tentu sangat mengkhawatirkan dirimu."
Sebenarnya Gi-lim tak teringat akan soal itu, demi mendengar ucapan Lenghou Tiong, ia menjadi gelisah juga.
Pikirnya, "Bila ketemu Suhu besok, entah beliau akan marah padaku atau tidak?"
"Siausumoay, sungguh aku sangat berterima kasih, kau yang telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang aku
sudah tidak berhalangan lagi, kau boleh lekas pulang saja," kata Lenghou Tiong pula.
"Tidak, mana boleh kutinggalkan kau sendiri di tanah pegunungan sepi begini?" ujar Gi-lim.
"Setiba di rumah Lau-susiok, diam-diam boleh kau beritakan kepada para Suteku dan tentu mereka akan
datang kemari untuk menjaga diriku," kata Lenghou Tiong.
Perasaan Gi-lim menjadi pedih, ia pikir kiranya Lenghou-toako ingin kedatangan Sumoaynya, makanya aku
diharapkan lekas pergi saja. Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran.
Lenghou Tiong menjadi heran, tanyanya cepat, "He, ken ... kenapa kau menangis? Apakah kau takut akan
dimarahi Suhumu?"
Gi-lim menggeleng-geleng.
"Ah, barangkali kau khawatir kepergok Dian Pek-kong lagi? Jangan takut, selanjutnya dia pasti tidak berani
merecoki kau lagi. Bila melihat kau, tentu dia sendiri yang akan lari terbirit-birit."
Tapi kembali Gi-lim geleng-geleng kepala.
Lenghou Tiong menjadi bingung. Tiba-tiba dilihatnya semangka yang baru dipetiknya itu, seketika ia sadar dan
berkata pula, "O, tentu kau merasa berdosa karena kau telah melanggar larangan agama bagiku, bukan? Tapi
itu adalah dosaku dan tiada sangkut pautnya dengan kau."
Namun Gi-lim tetap menggeleng-geleng saja, air matanya menetes semakin deras.
Melihat tangis Gi-lim yang semakin menjadi itu, Lenghou Tiong tambah tidak mengerti, katanya pula, "Baiklah,
mungkin aku telah salah omong. Biarlah aku minta maaf padamu saja, Siausumoay, harap engkau jangan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
marah."
Perasaan Gi-lim rada lega mendengar ucapan yang halus itu. Tapi lantas terpikir olehnya, "Rupanya dia sudah
biasa merendah diri dan minta maaf kepada Sumoaynya, maka sekarang sekenanya ia pun ucapkan padaku."
Mendadak ia menangis lebih sedih dan berkata sambil membanting kaki, "Aku ... aku toh bukan Sumoaymu
...." tapi lantas teringat olehnya sebagai seorang Nikoh adalah tidak pantas mengomel dengan kata-kata
demikian itu. Seketika wajahnya menjadi merah dan lekas-lekas berpaling ke arah lain.
Sekilas Lenghou Tiong melihat muka Gi-lim berubah merah dengan air matanya masih meleleh, dalam sekejap
tampaknya menjadi mirip butiran embun yang belum kering di atas kelopak bunga mawar di musim semi,
cantiknya sukar dilukiskan.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia merasa kecantikan Gi-lim ternyata tidak kalah daripada Sumoaynya,
si Leng-sian. Katanya kemudian, "Usiamu jauh lebih muda daripadaku, sesama orang Ngo-gak-kiam-pay kita
dengan sendirinya kau adalah Siausumoay. Adakah sesuatu kesalahanku sehingga membikin kau marah,
maukah kau katakan padaku?"
"Kau tidak bersalah apa-apa," sahut Gi-lim. "Kutahu kau ingin aku lekas-lekas pergi dari sini agar tidak
membikin muak padamu, supaya tidak membikin sial seperti pernah kau katakan 'asal melihat Nikoh, bila
berjudi tentu kalah ....'" sampai di sini kembali ia menangis lagi.
Lenghou Tiong menjadi geli sendiri, pikirnya, "Kiranya dia merasa tersinggung karena ucapanku yang tak
pantas di Cui-sian-lau itu. Ya, untuk ini aku memang harus minta maaf."
Segera ia pun berkata, "Ya, memang mulutku tidaklah bersih sehingga apa yang kukatakan di Cui-sian-lau
tempo hari telah menyinggung kehormatan Hing-san-pay kalian. Aku pantas dihajar, pantas dipukul!"
Lalu ia angkat tangan dan menampar pipinya sendiri beberapa kali.
"Jangan, jangan kau tampar sendiri lagi, aku ... aku tidak marah padamu, aku hanya khawatir ... khawatir
membikin sial padamu," cepat Gi-lim mencegah.
"Tidak, harus dihajar adat!" seru Lenghou Tiong dan "plak", kembali ia tampar pipi sendiri satu kali pula.
"Sudahlah, Lenghou-toako, aku tidak ... tidak marah lagi," kata Gi-lim gugup.
"Kau menyatakan tidak marah lagi?" Lenghou Tiong menegas.
Gi-lim manggut-manggut.
"Tapi kau belum tertawa, terang kau masih marah," ujar Lenghou Tiong.
Terpaksa Gi-lim tertawa. Tapi mendadak teringat kepada nasibnya sendiri, hatinya menjadi pilu, tanpa merasa
air matanya berlinang-linang lagi. Cepat ia berpaling ke arah lain.
Melihat Nikoh jelita itu masih menangis, mendadak Lenghou Tiong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Gi-lim berhenti menangis, tanyanya dengan suara lirih, "Ken ... kenapa engkau menghela
napas?"
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Ia pikir dasar nona cilik yang masih hijau sehingga gampang ditipu. Biasanya di
kala dia bermain dengan Leng-sian, bila sang Sumoay mengambek dan tak mau gubris padanya, maka
Lenghou Tiong lantas mencari akal untuk memancing anak dara itu membuka suara. Bila tetap tak digubris, ia
lantas berdaya upaya dan berlagak sesuatu yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu sang Sumoay sehingga
anak dara itu berbalik menanya lebih dulu padanya.
Selama hidup Gi-lim jarang bergaul dengan orang luar, tak pernah mengambek dan muring-muring, maka
dengan gampang saja ia kena dipancing oleh Lenghou Tiong. Namun dengan sengaja Lenghou Tiong menghela
napas pula dan berpaling ke arah lain tanpa menjawab.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Apakah kau marah, Lenghou-toako?" tanya Gi-lim pula.
"Ah, tidak, aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
Melihat sikap Lenghou Tiong itu, Gi-lim menjadi gugup. Ia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong hanya pura-pura
saja dan di dalam perut pemuda itu sedang terpingkal-pingkal geli.
Segera Gi-lim bertanya pula, "Akulah yang salah sehingga kau memukuli dirimu sendiri, biarlah aku ... aku
membayar kembali pukulanmu itu."
Habis berkata mendadak ia pun menampar pipinya sendiri.
Waktu ia akan menampar pula, cepat Lenghou Tiong bangun berduduk untuk memegang tangan Gi-lim. Tapi
sekali bergerak, seketika ia merintih kesakitan.
"Ai, lekas berbaring, lekas! Jangan sampai lukamu pecah lagi," kata Gi-lim dengan khawatir sambil membantu
merebahkan Lenghou Tiong, lalu ia menyesali dirinya sendiri, "Aku benar-benar sangat bodoh, berbuat segala
apa selalu salah. Apakah ... apakah engkau masih kesakitan, Lenghou-toako?"
Tempat luka Lenghou Tiong itu memang terasa sakit, jika keadaan biasa tentu dia takkan mengaku. Sekarang
mendadak timbul akalnya untuk memancing supaya Gi-lim yang menangis itu berubah menjadi tertawa. Maka
sengaja ia mengernyit kening sambil merintih-rintih pula beberapa kali.
Keruan Gi-lim menjadi khawatir. "Apakah sangat sakit?" tanyanya sambil meraba jidat pemuda itu.
"Ya, sakit sekali," sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura meringis. "Alangkah baiknya bila ... bila Laksute juga
berada di sini."
"Ada apa? Dia punya obat?" tanya Gi-lim.
"Ya, obatnya adalah dia punya mulut," sahut Lenghou Tiong. "Dahulu bila aku terluka dan kesakitan, Lak-kau-ji
selalu menghibur aku dengan macam-macam lelucon yang menggelikan, dengan demikian aku lantas lupa akan
rasa sakit. Sayang dia tidak berada di sini. O, sakit ... sungguh sakit sekali!"
Gi-lim menjadi serbasusah. Selama berguru kepada Ting-yat Suthay, tugas yang dilakukannya setiap hari
adalah sembahyang dan membaca kitab, semadi dan main pedang, selamanya juga jarang mengobrol,
jangankan lagi bergurau dan tertawa. Sekarang Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji yang dikatakan pintar
mendongeng dan melucu itu tidak berada di sini, bila dirinya yang harus melucu, wah, ini benar-benar
mahasulit baginya.
Mendadak pikirannya tergerak, teringat sesuatu olehnya. Segera ia berkata, "Lenghou-toako, aku sih tidak bisa
melucu, cuma aku pernah membaca suatu kitab yang isinya sangat menarik, nama kitab itu adalah 'kitab
seratus dongeng'. Di dalamnya banyak cerita-cerita yang lucu."
"Baiklah, harap engkau menceritakan beberapa bagian yang lucu-lucu itu," pinta Lenghou Tiong yang memang
sengaja memancing agar Nikoh jelita itu berbicara.
Untuk sejenak Gi-lim mengingat-ingat, lalu ia mulai bercerita dengan tersenyum. "Baiklah, lebih dulu aku akan
bercerita tentang seorang gundul dan seorang petani. Si gundul itu adalah pembawaan, sejak lahir kepalanya
sudah kelimis, jadi bukan dicukur seperti kami di kala menjadi Nikoh. Entah urusan apa si gundul telah cekcok
dengan petani itu. Dengan marah petani itu telah mengetok kepala gundul dengan paculnya sehingga
berdarah. Akan tetapi si gundul tidak melawan dan tidak menghindar, dia terima dipukul, bahkan tertawa
malah. Orang lain merasa heran dan tanya dia mengapa tertawa malah. Si gundul menjawab, 'Petani itu adalah
orang tolol, kepalaku yang gundul ini disangkanya sepotong batu, maka ia menggunakan paculnya untuk
mengetok batu. Jika aku menghindar, bukankah akan membikin dia berubah menjadi pintar?'"
Sampai di sini Lenghou Tiong telah bergelak tertawa. Katanya, "Cerita bagus! Si gundul itu benar-benar sangat
pintar, biarpun dipukul mampus juga dia takkan menghindar."
Melihat Lenghou Tiong tertawa senang, segera Gi-lim menyambung pula, "Sekarang akan kuceritakan pula
tentang seorang raja dan seorang tabib. Watak raja itu tidak sabaran, dia mempunyai seorang putri kecil, tapi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sangat ingin dibesarkan dengan cepat. Maka telah dipanggilnya seorang tabib dan diperintahkan memberi
suatu resep obat yang dapat membuat sang putri segera menjadi besar. Tabib itu menyatakan ada obatnya,
tapi untuk mengumpulkan bahan-bahan obat dan meraciknya diperlukan waktu yang lama, ia sanggup
membawa sang putri ke rumah dan membesarkannya asalkan raja tidak mendesaknya agar resep obat itu
harus lekas selesai. Raja menerima baik usul itu. Sang putri lantas dibawa pulang oleh si tabib dan setiap
beberapa hari memberi laporan kepada raja bahwa obatnya sudah mulai dikumpulkan dan diracik. Selang 12
tahun kemudian, tabib memberi lapor bahwa obat mukjizat sudah jadi dan hari ini juga sudah diminumkan
kepada sang putri. Segera sang putri dibawa menghadap raja. Sungguh senang raja tak terkatakan ketika
melihat putrinya yang tadinya masih bayi sekarang sudah sedemikian besarnya. Ia memuji kepandaian tabib
itu yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan baik, segera raja memberikan hadiah besar kepada
sang tabib."
Kembali Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kau bilang raja itu tidak sabaran, padahal dia sudah menunggu 12
tahun lamanya. Bila aku menjadi tabib itu, cukup satu hari saja aku sudah dapat menjadikan putri bayi itu
menjadi putri dewasa yang cantik jelita."
"Dengan cara bagaimana? Apakah engkau bisa menyulap?" tanya Gi-lim dengan mata membelalak lebar.
"Gampang sekali caranya, asalkan kau mau membantu," ujar Lenghou Tiong.
"Aku membantu?" Gi-lim menegas.
"Ya, segera aku membawa pulang putri bayi itu dan memanggil empat orang tukang menjahit ...."
"Tukang menjahit? Untuk apa?" Gi-lim bertambah heran.
"Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus bagimu. Besoknya
pagi-pagi dengan kopiah keputrian berhias mutiara, berbaju sulam yang baru, dengan sepatu berbingkai batu
permata, lalu akan kubawa engkau menghadap raja. Tentu raja akan sangat girang melihat putrinya yang
cantik laksana bidadari hanya dalam semalam saja sudah berubah sedemikian besarnya sesudah makan obat
dari tabib sakti Lenghou Tiong. Saking gembiranya beliau tentu tidak periksa lagi apakah putrinya itu tulen atau
palsu dan pasti si tabib sakti Lenghou Tiong akan diberi anugerah besar."
Gi-lim tertawa geli selesai Lenghou Tiong bicara, saking gelinya ia sampai menungging dan memegangi perut
sendiri. Selang sejenak barulah dia dapat bicara, "Kau memang jauh lebih cerdik daripada tabib dalam dongeng
itu. Cuma sayang, wajahku sedemikian ... sedemikian jelek, sedikit pun tidak mirip seorang putri."
"Jika kau dianggap jelek, maka di dunia ini tidak ada wanita cantik lagi," ujar Lenghou Tiong. "Padahal sejak
dulu sampai sekarang rasanya tiada seorang putri yang dapat membandingi kecantikanmu. Sungguh aku ...."
mendadak ia merasa tidak pantas bicara demikian kepada seorang Nikoh muda belia yang suci bersih itu,
padahal mengajaknya bersenda gurau saja sudah melanggar pantangan agama mereka, apalagi sekarang
dirinya sembarangan omong. Maka ia urung meneruskan, ia pura-pura menguap mengantuk.
"Ah, engkau sudah lelah, Lenghou-toako," kata Gi-lim. "Silakan kau mengaso saja."
"Baiklah," kata Lenghou Tiong. "Dongenganmu ternyata sangat manjur, sekarang lukaku tidak sakit lagi."
Karena maksud tujuannya membikin Gi-lim bicara dan tertawa sudah tercapai, maka ia lantas pejamkan mata
dan mengumpulkan tenaga.
Saking isengnya menunggui Lenghou Tiong, ditambah suasana yang sunyi dengan angin sayup-sayup, Gi-lim
menjadi lelah sendiri dan merasa mengantuk, akhirnya ia terpulas sambil berduduk.
Dalam mimpi ia merasa dirinya benar-benar telah memakai jubah putri raja yang mewah, dengan dituntun oleh
seorang pemuda ganteng sebagai Lenghou Tiong mereka masuk ke sebuah istana yang besar dan megah.
Mendadak muncul seorang Nikoh tua dengan pedang terhunus dan mata melotot merah, itulah Suhunya, Tingyat
Suthay. Saking takutnya cepat-cepat Gi-lim menarik lengan Lenghou Tiong untuk melarikan diri, tapi
tarikannya telah mengenai tempat kosong, seketika suasana menjadi gelap gulita dan dirinya terjatuh. Saking
kagetnya Gi-lim sampai berteriak-teriak, "Lenghou-toako!"
Tapi mendadak ia terjaga bangun dan ternyata hanya impian belaka. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memandang padanya dengan mata terbelalak lebar. Gi-lim jadi kikuk sendiri dengan wajah merah.
"Kau bermimpi?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas air muka Lenghou Tiong tertampak sangat aneh, seperti
sedang menahan rasa sakit. Cepat ia tanya, "Apakah lukamu sangat kesakitan?"
"Ya, rada-rada sakit!" sahut Lenghou Tiong, namun suaranya kedengaran agak gemetar. Selang sejenak
keringat pun merembes di dahinya. Terang sekali rasa sakitnya pasti tidak kepalang.
Tentu saja Gi-lim sangat khawatir. "Wah, bagaimana ini?" demikian ia menjadi kelabakan sendiri. Ia
mengeluarkan saputangan untuk mengusap keringat Lenghou Tiong. Terasa dahi pemuda itu sangat panas
sebagai dibakar.
Dari Suhunya, Gi-lim pernah mendengar bila seorang menjadi demam karena terluka senjata, maka
keadaannya menjadi berbahaya. Saking cemasnya tanpa merasa Gi-lim terus sembahyang dan berdoa. Semula
suaranya agak gemetar, tapi lambat laun perasaannya mulai tenang sehingga suara sembahyangnya
kedengaran sangat nyaring dan jelas, penuh kepercayaan.
Semula Lenghou Tiong merasa geli melihat kelakuan Gi-lim itu. Tapi sesudah mengikuti doa khotbah yang
khidmat dan mohon Buddha memberi berkah baginya itu, mau tak mau ia menjadi terharu dan mengembeng
air mata.
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah yatim piatu, walaupun Suhu dan Subo sangat baik padanya, namun dia sendiri
kelewat nakal, maka dia lebih sering dihajar daripada mendapatkan belaian kasih sayang. Para Sutenya
menghormatinya karena dia adalah Toasuheng. Walaupun Leng-sian sangat baik padanya, tapi tidak begitu
memerhatikan dia seperti Gi-lim sekarang ini yang sudi menanggung segala penderitaan di dunia ini asalkan
dia selamat dan hidup bahagia.
Sifat Lenghou Tiong sukalah bergurau, kecuali guru dan ibu-gurunya, tiada orang lain lagi yang diindahkan
olehnya. Sekarang melihat Gi-lim bersembahyang sedemikian khidmat baginya, sungguh ia tidak tahu betapa
terima kasihnya kepada Nikoh jelita itu.
Suara sembahyang Gi-lim itu makin lama makin merdu dan enak didengar, Lenghou Tiong merasa terharu dan
terhibur pula. Tanpa merasa demamnya menjadi berkurang, akhirnya dia terpulas di tengah suara doa Gi-lim
yang halus itu.
Jika suasana di tanah pegunungan itu aman tenteram, sebaliknya di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, di
mana telah berkumpul berbagai jago silat dari berbagai aliran dan golongan sedang terjadi pertarungan sengit.
Sesudah Gak Put-kun menerima Lim Peng-ci sebagai muridnya, bersama anak muridnya mereka lantas menuju
ke Heng-san.
Ketika mendapat kabar, Lau Cing-hong terkejut dan bergirang pula. Tak tersangka olehnya bahwa tokoh yang
termasyhur di dunia persilatan sebagai "Kun-cu-kiam" Gak Put-kun itu juga berkunjung sendiri ke tempatnya.
Bersama Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay, Ih Jong-hay dan lain-lain, cepat ia menyambut keluar dan
berulang-ulang mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun adalah seorang yang ramah tamah, dengan berseri-seri ia pun mengucapkan selamat kepada Lau
Cing-hong. Lalu sang tamu disilakan masuk ke dalam rumah.
Sebagai orang yang berdosa, diam-diam Ih Jong-hay merasa tidak enak. Pikirnya, "Rasanya Lau Cing-hong
takkan mendapat kehormatan sebesar ini sehingga ketua Hoa-san-pay sudi berkunjung padanya, tentu
kedatangannya ini ditujukan kepadaku. Biarpun Ngo-gak-kiam-pay mereka berjumlah lebih banyak, tapi Jingsia-
pay kami juga bukan golongan yang gampang dihina. Bila Gak Put-kun berani mengeluarkan kata-kata
yang tidak pantas, biarlah lebih dulu aku akan tanya dia perbuatan macam apa muridnya yang bernama
Lenghou Tiong itu masuk rumah pelacuran dan main perempuan? Jika tiada persesuaian paham, kalau perlu
biarlah main senjata saja."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Bab 21. Rahasia Lau Cing-hong Mengundurkan Diri dari Dunia
Persilatan
Tak terduga, begitu bertemu, Gak Put-kun terus memberi salam padanya dan berkata, "Ih-koancu, sudah lama
tak bertemu, tampaknya menjadi makin gagah. Kabarnya Ih-koancu sudah berhasil meyakinkan 'Ho-lui-kiusiau-
sin-kang' yang tiada taranya, sungguh harus diberi selamat dan dipuji."
Ih Jong-hay terkejut, pikirnya, "Aku memang betul sudah selesai meyakinkan Ho-lui-kiu-siau-sin-kang, cuma
kurang sedikit saja dalam hal keuletan. Jaringan berita tua bangka she Gak ini benar-benar sangat luas."
Tapi ia pun merasa bangga karena orang lain mengetahui kepandaiannya itu, segera ia menjawab, "Ah,
memang sudah lama aku melatih Kiu-siau-sin-kang, tapi masih belum dapat dikatakan sudah matang."
Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay dan lain-lain ikut terkesiap. Mereka tahu Kiu-siau-sin-kang yang disebut itu
adalah ilmu silat yang sangat dibanggakan Jing-sia-pay, selama ratusan tahun ini belum pernah terdengar ada
tokoh Jing-sia-pay yang berhasil meyakinkan ilmu silat itu, siapa duga Tojin kerdil ini diam-diam telah berhasil
melatihnya, pantas selama beberapa hari ini dia sangat garang dan takabur, kiranya memang mempunyai
andalan.
Di tengah pembicaraan mereka, berturut-turut banyak tamu telah datang pula dari berbagai tempat. Hari ini
adalah hari resmi Lau Cing-hong akan mengadakan upacara "Kim-bun-swe-jiu" atau cuci tangan di baskom
emas, maka mendekati tengah hari, lebih dulu Lau Cing-hong telah mengundurkan diri untuk bersiap-siap,
hanya anak muridnya saja yang bertugas menyambut tamu.
Menjelang tengah hari, kembali ada ratusan tamu yang membanjir pula, di antaranya terdapat Thio Kim-gok,
wakil ketua Kay-pang; He-kolunsu bersama tiga orang menantunya dari Liok-hap-bun di The-ciu; Thi-lolo, si
nenek besi yang tinggal di Sin-li-hong, puncak dewi di daerah Sucwan; Phoa Kong, pemimpin Hay-soa-pang,
gerombolan bajak di lautan timur; Sin-to Pek Khik dan Sin Pit Lo Se-su, dua sekawan dari Tiamjong yang
terkenal dengan julukan golok sakti dan potlot sakti itu.
Kebanyakan di antara jago-jago dan gembong-gembong itu belum saling mengenal, kedatangan mereka hanya
ingin melihat ramai-ramai saja.
Thian-bun Tojin dan Ting-yat Suthay enggan bergaul dengan orang lain, mereka berdiam saja di kamarnya
masing-masing. Mereka anggap Lau Cing-hong terlalu tidak tahu diri, masakah orang Ngo-gak-kiam-pay
bergaul dengan orang-orang Kangouw yang tak keruan itu?
Hanya Gak Put-kun saja meski namanya "Put-kun" (tidak suka bergaul), tapi sifatnya sebenarnya suka
bersahabat. Banyak di antara tetamu itu mendekati dan ajak bicara padanya, tanpa pandang bulu sedikit pun
Gak Put-kun melayani mereka dengan baik, sama sekali tidak berlagak sebagai seorang ketua Hoa-san-pay
yang angkuh.
Sementara itu para murid Lau Cing-hong sudah menyiapkan 200-an meja perjamuan. Ipar Lau Cing-hong yang
bernama Pui Jian-ki dan murid Lau Cing-hong sendiri seperti Hiang Tay-lian, Bi Wi-gi dan lain-lain sibuk
menyilakan para tamu mengambil tempat duduk sendiri-sendiri.
Menurut peraturan Bu-lim, tokoh yang mempunyai nama dan kedudukan tertinggi sebagai ketua Thay-san-pay,
Thian-bun Tojin yang pantas duduk di tempat utama. Cuma di antara Ngo-gak-kiam-pay sudah berserikat,
Thian-bun merasa sungkan terhadap Gak Put-kun, Ting-yat dan lain-lain, maka mereka saling mengalah untuk
tempat duduk yang terhormat itu.
Selagi mereka sama sungkan menduduki tempat utama itu, tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur
ditabuh ramai, dari jauh terdengar pula suara bentakan-bentakan minta jalan, terang ada kaum pembesar yang
akan lewat.
Sedang para hadirin terheran-heran, tertampak Lau Cing-hong bergegas-gegas keluar dengan memakai jubah
sulam baru. Selang tak lama tertampak tuan rumah itu sudah masuk kembali mengiringi seorang pembesar.
Diam-diam para kesatria heran. "Apakah barangkali pembesar ini juga seorang tokoh Bu-lim?" Tapi dari
mukanya yang pucat dan jalannya yang lemah jelas tertampak bukanlah seorang yang mahir ilmu silat.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Gak Put-kun dan sebagian tamu lain mengira pembesar ini adalah penguasa setempat yang sengaja datang
mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong yang terkenal sebagai seorang hartawan di kota Heng-san. Maka
mereka tidak terlalu heran.
Di luar dugaan, pembesar itu tampak melangkah masuk dengan angkuhnya, segera ia berdiri di tengah-tengah
ruangan. Seorang pengawalnya lantas berlutut di sebelahnya dengan kedua tangannya menyanggah sebuah
nampan beralaskan sutera kuning, di tengah nampan itu terletak segulungan kertas.
Pembesar itu lantas mengambil gulungan kertas itu dan berseru, "Ada titah dari Sri Baginda, hendaklah Lau
Cing-hong menyambut segera!"
Para kesatria terperanjat. Mereka tidak tahu ada hubungan apa antara maksud Lau Cing-hong hendak "cuci
tangan" dan mengasingkan diri itu dengan pihak pemerintah? Mengapa mendadak datang titah raja? Apa
barangkali Lau Cing-hong bermaksud memberontak dan telah diketahui? Jika demikian halnya tentu dosanya
tak terampunkan lagi.
Terpikir demikian, serentak para hadirin berbangkit sambil meraba senjata masing-masing. Mereka menduga
dengan kedatangan pembesar yang membawa titah raja itu tentu pula membawa serta pasukan dan suatu
pertempuran besar pasti sukar dihindarkan lagi. Daripada mati konyol mau tak mau mereka harus ikut
bertempur mati-matian. Asal Lau Cing-hong memberi tanda, segera mereka akan bergerak dan lebih dulu
membereskan pembesar itu.
Siapa tahu Lau Cing-hong ternyata tenang-tenang saja, bahkan tampak sangat senang. Malahan tuan rumah
itu lantas tekuk lutut dan menyembah ke arah pembesar itu sambil berseru, "Hamba Lau Cing-hong siap
menerima titah dengan hormat dari Sri Baginda!"
Melihat keadaan demikian, semua orang menjadi melenggong.
Sementara itu pembesar tadi sudah membentang gulungan kertas dan membaca, "Berdasarkan laporan dan
usul gubernur Oulam, bahwa penduduk Heng-san-koan bernama Lau Cing-hong banyak berjasa bagi
kesejahteraan dan mahir ilmu silat pula, maka dengan ini dianugerahi dengan pangkat Canciang (perwira
setingkat letnan)."
Segera Lau Cing-hong menyembah pula beberapa kali sambil mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda.
Setelah bangun kembali, tidak lupa ia pun memberi hormat kepada pembesar itu.
"Selamat, selamat! Untuk selanjutnya Lau-ciangkun adalah sesama pejabat, maka tidak perlu saling sungkan
lagi," demikian pembesar itu tertawa.
"Untuk selanjutnya masih diharapkan bantuan Thio-tayjin," ujar Lau Cing-hong. Lalu ia berpaling kepada Pui
Jian-ki, "Pui-hiante, di manakah oleh-oleh untuk Thio-tayjin?" Pui Jian-ki mengiakan terus membawakan
sebuah nampan bundar, di tengah nampan terdapat sebuah bungkusan dari kain sutera.
Lau Cing-hong ambil bungkusan itu dan diangsurkan dengan hormat kepada pembesar she Thio itu, katanya
dengan tertawa, "Sedikit oleh-oleh ini harap Thio-tayjin sudi menerima dengan suka hati."
"Ah, saudara sendiri, buat apa Lau-tayjin mesti banyak adat segala," ujar pembesar she Thio itu dengan
tertawa-tawa. Lalu ia mengedipi seorang pengiringnya yang segera mewakilkan menerima bungkusan itu.
Dari cara mengangkat bungkusan itu yang tampaknya agak antap bobotnya itu, si pembesar Thio lantas tahu
isinya tentu bukan perak, tapi adalah emas murni. Ia merasa puas, dengan berseri-seri ia berkata pula, "Untuk
urusan dinas Siaute tak dapat tinggal lama-lama di sini. Marilah kita minum tiga cawan, semoga Lau-ciangkun
lekas naik pangkat pula."
Dalam pada itu para pelayan sudah lantas menuang arak. Thio-tayjin mengangkat cawan tiga kali dengan tuan
rumah, lalu mohon diri. Dengan muka berseri-seri Lau Cing-hong mengantar tamu keluar. Maka terdengarlah
suara tambur dan gembreng berbunyi pula bergemuruh, iring-iringan pembesar itu sudah berangkat.
Adegan yang terjadi itu benar-benar di luar dugaan setiap hadirin. Keruan banyak di antaranya saling pandang
tanpa bicara, ada yang heran dan ada yang mencemoohkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maklum, para tamu yang hadir di rumah Lau Cing-hong itu meski bukan golongan penjahat dan juga kaum
pemberontak, tapi pada umumnya mereka cukup mempunyai nama baik di dunia persilatan, semuanya adalah
tokoh-tokoh yang tinggi hati, biasanya tidak pandang sebelah mata kepada kaum pembesar negeri. Sekarang
melihat Lau Cing-hong terima menghambakan diri kepada kerajaan dan mendapatkan suatu pangkat kecil
sebagai "Canciang", lalu sikap orang she Lau yang kelihatan sangat senang dan amat terima kasih, maka para
kesatria lantas mencemoohkan martabatnya yang rendah itu. Bahkan banyak di antara hadirin itu anggap
pangkat itu pasti diperoleh Lau Cing-hong dengan membeli. Padahal mereka kenal Lau Cing-hong sebagai
orang yang jujur, sungguh tidak nyana sampai hari tuanya lantas timbul rasa kemaruk akan kedudukan dan
pangkat segala.
Begitulah, lalu Lau Cing-hong mendekati para tamunya pula, dengan riang gembira ia minta para tamu ke
tempat duduknya masing-masing. Tapi tiada seorang pun yang mau menduduki tempat utama sehingga kursi
besar di tengah-tengah itu tetap kosong. Tempat kedua sebelah kiri diduduki oleh wakil Pangcu dari Kay-pang,
Thio Kim-gok. Tamu-tamu yang lain juga lantas mengambil tempat duduk masing-masing, para pelayan segera
menyuguhkan minuman.
Sejenak kemudian Hiang Thay-lian telah menaruh sebuah meja kecil di tengah ruangan dengan taplak meja
kain sutera sulam. Pui Jian-ki juga membawa keluar sebuah baskom emas yang gemilapan dan ditaruh di atas
meja. Baskom itu sudah penuh terisi air bersih. Menyusul di luar pintu terdengar tiga kali suara petasan yang
keras, lalu ramai pula suara petasan lain yang lebih kecil.
Dengan tertawa-tawa Lau Cing-hong lantas maju ke tengah, ia memberi salam hormat kepada sekalian tamu.
Para kesatria cepat berbangkit untuk membalas hormat.
"Para kesatria angkatan tua, para sahabat, para hadirin yang terhormat," demikian Lau Cing-hong mulai
dengan kata sambutannya. "Sungguh aku merasa sangat berterima kasih atas kunjungan kalian ini. Hari ini
aku mengadakan upacara cuci tangan di baskom emas dan untuk selanjutnya takkan ikut campur pula
mengenai urusan orang Kangouw, untuk ini tentu para hadirin sudah tahu akan sebab musababnya. Sebagai
pejabat pemerintah sebagaimana para hadirin telah saksikan tadi, terpaksa aku harus taat kepada undangundang
dan pegang teguh disiplin. Sebaliknya orang Kangouw biasanya bicara tentang setia kawan. Jika di
antara kedua pihak terjadi persengketaan, sebagai pejabat pemerintah tentu aku akan serbasulit. Maka sejak
kini aku menyatakan mengundurkan diri dari dunia persilatan, bilamana murid-muridku ada yang mau masuk
ke perguruan lain boleh silakan dengan bebas.
"Adapun maksudku mengundang kalian kemari adalah untuk ikut bantu menjadi saksi. Kelak bila para sahabat
datang ke kota Heng-san sini sudah tentu masih tetap menjadi sahabatku, hanya saja mengenai seluk-beluk
dan persengketaan orang Bu-lim aku tidak ikut campur lagi."
Habis berkata kembali ia memberi hormat kepada para tamunya.
Apa yang diuraikan Lau Cing-hong itu memang sudah diduga oleh semua orang. Pikir mereka, "Jika dia sudah
kemaruk menjadi pembesar, ya apa mau dikata lagi. Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri dan tidak
dapat dipaksakan oleh orang lain. Biarlah anggap dunia persilatan selanjutnya tiada terdapat tokoh sebagai dia
dan masa bodohlah urusannya."
Namun ada juga yang berpendapat perbuatan Lau Cing-hong ini benar-benar sangat membikin malu Heng-sanpay,
tentu ketua mereka, yaitu Bok-taysiansing, sangat marah makanya tidak tampak hadir.
Ada pula yang berpikir tindakan Lau Cing-hong ini tentu juga akan merendahkan martabat Ngo-gak-kiam-pay
yang biasanya tidak pernah tunduk kepada pihak pemerintah, mustahil tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay yang
hadir di sini ini takkan menggugatnya?
Begitulah, karena tiap-tiap orang sama tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri, maka suasana di ruangan itu
menjadi sunyi senyap. Menghadapi kejadian tadi seharusnya para tamu beramai-ramai akan mengucapkan
selamat bahagia kepada Lau Cing-hong dan memberi puji sanjung yang tinggi. Akan tetapi sekarang ribuan
hadirin itu ternyata tiada seorang pun yang membuka suara.
Lau Cing-hong juga tidak ambil pusing, segera ia berdiri menghadap keluar dan berseru lantang, "Tecu Lau
Cing-hong telah banyak menerima budi kebaikan Suhu, selama ini tidak pernah berjasa dan ikut
mengembangkan kebesaran Heng-san-pay kita, sungguh Tecu merasa sangat malu. Syukurlah perguruan
sekarang ada di bawah pimpinan Bok-suko yang bijaksana sehingga berada atau berkurangnya seorang Lau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Cing-hong tentu tidaklah berarti apa-apa. Sejak kini Lau Cing-hong menyatakan cuci tangan dan melepaskan
diri dari pergaulan Kangouw, selanjutnya hanya mencurahkan pikiran dan tenaganya dalam jabatannya yang
baru. Jika melanggar pernyataan ini biarlah pedang ini sebagai contoh."
Mendadak ia melolos pedang, sekali tekuk, "krak", pedang itu patah menjadi dua. Ketika kedua potong pedang
patah itu dibuangnya, "cret-cret" dua kali, potongan-potongan pedang patah menancap ke dalam jubin.
Melihat itu terkejutlah semua orang. Dari suara menancapnya potongan pedang itu teranglah pedang itu adalah
senjata tajam yang luar biasa. Adalah tidak mengherankan jika seorang tokoh sebagai Lau Cing-hong memiliki
pedang pusaka sebagus itu. Tapi secara mudah saja ia telah patahkan pedang pusakanya, maka dapatlah
dibayangkan betapa hebat tenaga jarinya itu.
"Wah, sayang, sayang!" demikian Bun-siansing sampai berseru. Entah yang dia sayangkan adalah pedangnya
ataukah Lau Cing-hong yang rela menghambakan diri kepada kerajaan itu.
Dengan tersenyum Lau Cing-hong lantas menyingsing lengan bajunya, segera tangannya hendak dimasukkan
ke dalam baskom yang berisi air bersih itu.
Tapi belum lagi tangannya menyentuh air, tiba-tiba di luar pintu ada suara orang membentak, "Nanti dulu!"
Lau Cing-hong terkejut. Waktu berpaling, terlihatlah empat orang laki-laki berbaju kuning muncul dari luar.
Begitu masuk keempat orang itu lantas berdiri di samping kanan dan kiri, menyusul seorang laki-laki lain yang
bertubuh tinggi besar dan juga berbaju kuning melangkah masuk dengan bersitegang leher melalui barisan
keempat kawannya itu. Pada tangan orang itu membawa sebuah panji pancawarna dengan penuh terhias
mutiara dan batu permata sehingga mengeluarkan sinar gemilapan.
Banyak di antara hadirin mengenal panji pancawarna itu, semuanya terkesiap dan membatin, "Panji kebesaran
Ngo-gak-kiam-pay sudah datang juga!"
Orang yang membawa panji itu langsung menghampiri Lau Cing-hong, sambil angkat tinggi-tinggi panjinya
orang itu berseru, "Upacara 'cuci tangan' Lau-susiok ini diharap ditunda untuk sementara!"
"Perintah Bengcu berdasarkan panji pimpinan sudah seharusnya akan kutaati," sahut Lau Cing-hong sambil
membungkuk. Tapi sejenak kemudian ia lantas menambahkan, "Tapi entah apa maksud Bengcu dengan
menyampaikan perintah panji ini?"
"Tecu cuma melaksanakan tugas belaka dan tidak tahu apa maksud perintah Bengcu ini, harap Lau-susiok sudi
memaafkan," sahut laki-laki itu.
"Tidak perlu sungkan-sungkan," kata Lau Cing-hong dengan tersenyum. "Kau ini adalah Jian-tiang-siong Suhiantit
bukan?"
Walaupun sambil bersenyum, tapi suaranya juga rada gemetar. Terang kejadian ini datangnya terlalu
mendadak sehingga membuat perasaannya terguncang.
Laki-laki itu memang betul she Su bernama Ting-tat, murid Ko-san-pay yang berjuluk Jian-tiang-siong (pohon
Siong seribu depa). Ia menjadi senang juga karena Lau Cing-hong mengenal nama dan julukannya. Dengan
hormat ia menjawab pula, "Betul, Tecu Su Ting-tat menyampaikan sembah bakti kepada Lau-susiok."
Lalu ia pun berpaling dan memberi hormat kepada Thian-bun, Gak Put-kun, Ting-yat Suthay dan lain-lain dan
berkata, "Anak murid dari Ko-san menyampaikan salam hormat kepada para Supek dan Susiok!"
Serentak keempat kawannya tadi juga lantas memberi hormat.
Ting-yat Suthay sangat senang, sambil membalas hormat ia berkata, "Gurumu telah tampil ke muka untuk
merintangi persoalan ini, kurasa memang paling tepat. Menurut pendapatku, orang belajar silat sebagai kita
harus hidup bebas merdeka dan mengutamakan setia kawan, buat apa mesti kemaruk menjadi pembesar
negeri segala? Cuma tadi kulihat segala apa sudah diatur beres oleh Lau-hiante, biarpun kunasihatkan juga
akan percuma, maka aku pun tidak suka banyak omong."
Lau Cing-hong merasa kehilangan muka juga. Segera ia berkata, "Dahulu Ngo-gak-kiam-pay kita telah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berserikat untuk bantu-membantu dan menegakkan kebenaran dunia persilatan, bila terjadi sesuatu yang
menyangkut kepentingan kelima aliran kita, maka kita harus tunduk kepada perintah Bengcu. Panji pimpinan
pancawarna ini adalah simbol kelima aliran kita, melihat panji ini seperti melihat Bengcu, hal ini tidak boleh
dibantah. Cuma urusan hari ini adalah urusan pribadiku, aku tidak melanggar iktikad kalangan persilatan, juga
tiada sangkut pautnya dengan persoalan Ngo-gak-kiam-pay kita. Sekarang para sahabat yang hadir di sini
boleh menjadi saksi, segala urusan di dunia ini tentu tak terlepas dari kebenaran, maka aku ingin minta
keadilan kalian, urusan pribadiku tentunya tidak terikat di bawah perintah panji kebesaran Bengcu ini. Dari itu
harap Su-hiantit suka melaporkan kepada gurumu bahwa aku tidak dapat menurut perintahnya ini, diharap
Toasuheng suka memaafkan."
Habis berkata ia lantas mendekati baskom emas pula sambil menjulurkan tangannya.
Tapi dengan cepat Su Ting-tat telah melompat maju dan mengadang di depan Lau Cing-hong, sambil
mengangkat panji ke atas ia berkata, "Lau-susiok, Suhuku telah memberi pesan wanti-wanti agar Lau-susiok
harus menunda maksud 'Kim-bun-swe-jiu' ini. Kata Suhu, 'Ngo-gak-kiam-pay kita adalah senapas dan sehaluan
laksana saudara sekandung'. Maksud Suhu mengirimkan panji pimpinan ini adalah untuk menjaga
persahabatan Ngo-gak-kiam-pay kita yang kekal, juga demi menegakkan kebenaran dunia persilatan,
berbareng juga demi kebaikan Lau-susiok sendiri."
"Hahaha! Aku menjadi kurang mengerti akan hal ini," Lau Cing-hong tertawa. "Bila Toasuheng benar-benar
mempunyai maksud baik demikian, mengapa sebelumnya tidak memberi nasihat dan mencegah, tapi
menunggu pada saat aku menjamu tetamu barulah mengirimkan panji kebesarannya untuk merintangi
maksudku, bukankah hal ini terang-terangan ingin membikin malu diriku di depan para kesatria?"
"Menurut pesan Suhu, katanya Lau-susiok adalah seorang laki-laki sejati dari Heng-san-pay yang terkenal dan
dihormati oleh setiap kaum kita, Suhu sendiri biasanya juga sangat kagum, maka Tecu dipesan jangan sekalikali
kurang sopan, kalau tidak tentu akan diberi hukuman setimpal. Maka dari itu, mengingat nama baik Laususiok
di dunia Kangouw, rasanya tidaklah perlu mengkhawatirkan akan kemungkinan ditertawai orang segala,"
demikian kata Su Ting-tat.
"Ah, itu hanya pujian Bengcu yang berlebih-lebihan saja, dari mana aku mempunyai nama baik setinggi itu?"
ujar Lau Cing-hong dengan tersenyum.
Melihat pembicaraan kedua orang itu bertele-tele dan tiada kecocokan satu sama lain, dengan tak sabar Tingyat
Suthay lantas menyela, "Lau-hiante, urusanmu ini bagaimana kalau kau tunda saja sementara? Yang hadir
sekarang ini adalah kawan baik semua, siapa lagi yang hendak menertawai kau? Andaikan ada seorang dua
orang keparat yang tidak tahu diri berani olok-olok padamu, sekalipun Lau-hiante tidak sudi mengurusnya,
biarlah dia menghadapi dulu padaku ini!"
Habis bicara sinar matanya lantas menyapu sekeliling kepada para hadirin dengan sikap menantang.
"Jika demikian juga pendapat Ting-yat Suthay, maka bolehlah urusan Cayhe ini kutunda sampai besok tengah
hari," kata Lau Cing-hong kemudian. "Para sahabat diharap jangan berangkat dulu, silakan menginap lagi
semalam di sini, biarlah Cayhe berunding dulu lebih mendalam dengan para Hiantit dari Ko-san-pay."
"Banyak terima kasih kepada Lau-susiok," kata Su Ting-tat sambil menurunkan panji kebesarannya dan
memberi hormat.
Tapi pada saat itu juga mendadak di ruangan belakang ada suara teriakan seorang wanita, "He, hei! Kau ini
apa-apaan? Aku suka bermain dengan siapa kan urusanku sendiri, kenapa kau ikut-ikut campur?"
Para hadirin sama melengak. Mereka kenal suara itu tak-lain tak-bukan adalah anak dara cilik yang bernama
Kik Fi-yan alias Fifi yang kemarin baru saja mengocok Ih Jong-hay di depan orang banyak.
Dalam pada itu terdengar pula suara seorang laki-laki sedang berkata, "Aku bilang kau harus tetap duduk di
situ dan tak boleh sembarangan bicara dan bergerak. Sebentar lagi tentu akan melepaskan kau pergi."
"Hah, kan aneh! Memangnya apakah ini rumahmu?" demikian terdengar Fifi membantah. "Aku suka
menangkap kupu-kupu bersama dengan Taci keluarga Lau, mengapa kau berani merintangi dan melarang
kami?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terdengar orang tadi menjawab, "Baiklah, jika kau mau pergi boleh silakan pergi sendiri, tapi nona Lau harus
tunggu dulu di sini."
"Melihat kau saja Enci Lau lantas muak, maka sebaiknya kau lekas enyah saja dari sini," demikian kata Fifi.
"Selamanya Enci Lau tidak kenal kau, mengapa kau mengacau di sini?"
Lantas terdengar suara seorang wanita lain berkata, "Sudahlah, jangan pedulikan dia, adik Fifi. Marilah kita
berangkat saja."
Tapi mendadak laki-laki itu berkata, "Nona Lau, silakan kau tunggu sementara di sini dan jangan sembarangan
bergerak."
Lau Cing-hong menjadi gusar mendengar percakapan itu, pikirnya, "Dari manakah datangnya bangsat yang
kurang ajar itu dan berani main gila di rumahku, bahkan berani merecoki putriku si Cing-ji?"
Dalam pada itu muridnya, yaitu Bi Wi-gi sudah memburu ke ruangan belakang. Maka tertampaklah Sumoaynya
yang bernama Lau Cing itu bersama Kik Fi-yan sedang berdiri berendeng di depan pintu, seorang laki-laki
berbaju hijau dengan pentang kedua tangan sedang merintangi jalan lalu mereka.
Dari warna pakaiannya, Bi Wi-gi lantas kenal orang itu adalah murid Ko-san-pay. Keruan ia mendongkol. Ia
mendehem satu kali, lalu berseru, "Suheng ini tentunya adalah kawan dari Ko-san-pay? Mengapa tidak duduk
saja di ruangan tamu sana?"
Waktu orang itu berpaling, kiranya adalah seorang pemuda berusia antara 27-28 tahun, tampaknya sangat
tangkas dan kuat. Dia telah menjawab, "Terima kasih atas undanganmu. Atas perintah Bengcu, segenap
keluarga Lau harus diawasi dan tidak boleh lolos seorang pun."
Kata-kata itu tidak terlalu keras ucapannya, tapi bernada sangat angkuh dan tegas. Keruan semua orang ikut
terkesiap.
Lau Cing-hong menjadi murka. Segera ia tanya Su Ting-tat, "Sebenarnya apa-apaan ini?"
"Ban-sute," segera Su Ting-tat berseru kepada laki-laki di ruangan dalam itu, "silakan keluar saja. Kalau bicara
hendaklah hati-hati. Lau-susiok sudah menyanggupi akan menunda upacaranya."
"Ya, itulah yang paling baik," sahut orang di dalam itu. Lalu muncul dari ruang belakang, ia membungkuk tubuh
kepada Lau Cing-hong dan berkata, "Murid Ko-san-pay bernama Ban Tay-peng menyampaikan salam hormat
kepada Lau-susiok."
Saking gusarnya badan Lau Cing-hong sampai gemetar. Dengan suara keras ia berseru, "Seluruhnya murid Kosan-
pay telah datang berapa banyak, boleh keluar saja semuanya!"
Baru habis kata-katanya, mendadak terdengar suara berpuluh orang dari atas rumah, di luar pintu, di pojok
ruangan, di samping rumah, semuanya bergema menyatakan, "Baik, para murid Ko-san-pay menyampaikan
hormat kepada Lau-susiok."
Karena berpuluh orang berteriak sekaligus, suaranya keras dan di luar dugaan sehingga para kesatria ikut
terkejut. Maka tertampaklah berpuluh orang telah maju ke depan, sebagian besar berbaju kuning, sebagian
pula dalam keadaan menyamar, terang sejak tadi mereka sudah menyelundup ke tengah perjamuan itu dan
diam-diam mengawasi gerak-gerik Lau Cing-hong.
Ting-yat Suthay adalah orang pertama yang merasa penasaran, dengan suara keras ia berteriak, "Apakah
artinya ini? Sungguh terlalu ... terlalu menghina orang!"
"Maafkan, Supek," ujar Su Ting-tat. "Menurut perintah Suhu, katanya betapa pun Lau-susiok harus dicegah
supaya jangan melangsungkan 'cuci tangan' ini. Karena khawatir Lau-susiok tidak mau tunduk kepada perintah,
makanya telah banyak mengambil tindakan-tindakan yang kurang pantas."
Pada saat itu dari ruangan belakang muncul pula belasan orang. Mereka adalah istri Lau Cing-hong dan dua
orang putranya yang masih muda serta beberapa orang murid keluarga Lau, di belakang setiap orang diikuti
pula oleh seorang murid Ko-san-pay. Murid-murid Ko-san-pay itu semuanya membawa senjata dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengancam di belakang nyonya Lau dan lain-lain.
Kiranya anak murid Ko-san-pay itu diam-diam sudah menyusup ke ruangan belakang rumah Lau Cing-hong
dan telah membikin nyonya Lau dan beberapa muridnya tak bisa berkutik dengan ancaman kekerasan. Malahan
sikap Ban Tay-peng tadi terhadap putri Lau Cing-hong jauh lebih sopan, dia hanya memerintahkan nona Lau
jangan sembarangan bergerak, tapi tidak mengancamnya dengan kekerasan.
Dengan suara lantang Lau Cing-hong lantas berseru, "Para hadirin yang terhormat, bukanlah aku sengaja
berkepala batu, soalnya Co-suheng telah mengancam diriku sedemikian rupa, jika orang she Lau lantas tunduk
di bawah kekerasan, lalu ke mana lagi mukaku ini akan kutaruh? Co-suheng melarang aku 'cuci tangan', untuk
ini, hehe, kepalaku boleh dipotong, tapi cita-citaku tidak nanti dipatahkan."
Habis bicara segera ia melangkah maju dan kedua tangannya hendak dimasukkan pula ke dalam baskom.
"Tunggu dulu!" seru Su Ting-tat sambil mengebaskan panjinya serta mengadang di depan Lau Cing-hong.
Mendadak tangan Lau Cing-hong menjulur ke depan, kedua jarinya lantas mencolok mata lawan. Lekas-lekas
Su Ting-tat menangkis ke atas dengan kedua tangannya. Tapi Lau Cing-hong sudah menarik kembali
tangannya, menyusul tangan yang lain kembali mencolok lagi kedua mata Su Ting-tat.
Dalam keadaan sukar untuk menangkis lagi, terpaksa Su Ting-tat melangkah mundur. Kesempatan itu segera
digunakan oleh Lau Cing-hong untuk mengangsurkan kedua tangannya ke dalam baskom.
Pada saat itu terdengarlah suara angin berkesiur dari belakang, ada dua orang telah menubruk maju. Tanpa
menoleh lagi kaki kiri Lau Cing-hong lantas mendepak ke belakang. "Bluk", seorang murid Ko-san-pay telah
didepak terguling, berbareng tangan kanan terus menyambar juga ke belakang sehingga dada seorang murid
Ko-san-pay yang lain kena dijambret, sekali seret dan angkat, kontan Lau Cing-hong melemparkan tawanan itu
ke arah Su Ting-tat.
Serangan mendepak dan mencengkeram ke belakang itu dilakukan dengan sangat cepat dan tepat, benarbenar
hebat dan membikin murid-murid Ko-san-pay yang lain menjadi kuncup dan tidak berani maju lagi.
"Lau-susiok," tiba-tiba murid Ko-san-pay yang berdiri di belakang putra Lau Cing-hong berseru, "jika kau tidak
menghentikan maksudmu terpaksa aku akan membunuh putramu."
Lau Cing-hong menoleh, ia pandang sekejap kepada putranya yang sulung itu, lalu menjawab dengan dingin,
"Para kesatria berkumpul semua di sini, jika kau berani mengganggu seujung rambut anakku, tentu berpuluh
murid Ko-san-pay kalian akan dicincang menjadi perkedel."
Ucapan Lau Cing-hong ini bukanlah sengaja menggertak. Kalau murid Ko-san-pay itu benar-benar mengganggu
putranya itu, hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan orang banyak dan mengerubutnya beramai-ramai,
pasti murid-murid Ko-san pay yang berada di situ sukar menghindarkan tuntutan keadilan orang banyak.
Begitulah, setelah mengucapkan kata-kata tadi segera Lau Cing-hong hendak menjulurkan kedua tangannya ke
dalam baskom pula.
Tampaknya sekali ini tiada seorang pun yang dapat merintanginya lagi. Di luar dugaan, sekonyong-konyong
sinar perak berkelebatan, sebentuk senjata rahasia yang kecil telah menyambar tiba. Cepat Lau Cing-hong
melangkah mundur. Maka terdengarlah suara "cring" yang nyaring, senjata rahasia itu tepat mengenai tepi
baskom emas itu.
Rupanya timpukan senjata rahasia kecil itu membawa tenaga yang amat besar. Kontan baskom itu lantas
bergelimpang dan jatuh ke lantai dengan menerbitkan suara gemerantang. Baskom itu jatuh terbalik, air
tertumpah semua di lantai. Berbareng itu terlihat berkelebatnya bayangan kuning, dari atap rumah telah
melompat turun satu orang. Tahu-tahu sebelah kaki orang itu menginjak ke atas baskom yang terbalik itu,
kontan baskom itu menjadi gepeng terinjak.
Pendatang ini berusia antara 40-an, berbadan sedang, tapi sangat kurus. Bibirnya memiara kumis seperti
kumis tikus, ia lantas merangkap tangannya memberi hormat dan menyapa, "Lau-suheng, atas perintah
Bengcu, engkau dilarang Kim-bun-swe-jiu."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lau Cing-hong kenal orang ini adalah Sute keempat dari ketua Ko-san-pay, she Hui bernama Pin, terkenal
dengan ilmu pukulan Tay-ko-yang-jiu. Melihat gelagatnya, agaknya hari ini Ko-san-pay telah mengerahkan
segenap jago-jagonya untuk melayaninya. Apalagi sekarang baskom emas itu sudah terinjak rusak, upacara
"cuci tangan di baskom emas" terang sudah gagal. Urusan sekarang hanya ada dua jalan: bertempur sekuat
tenaga atau menerima semua hinaan itu?
Sekilas itu timbul macam-macam pikiran dalam benak Lau Cing-hong, "Ko-san-pay mereka walaupun dipilih
menjadi Bengcu dan memegang panji pimpinan, tapi caranya menekan orang yang keterlaluan ini masakah
dapat diterima oleh para kesatria yang menyaksikan ini, apakah mereka tiada yang berani tampil ke muka
untuk membela keadilan?"
Bab 22. Ketua Mo-kau Tonghong Put-pay
Segera ia balas menghormat dan menjawab, "Jauh-jauh Hui-suheng datang kemari, mengapa tidak sudi ikut
minum barang secawan arak, tapi malah sembunyi di atas rumah merasakan terik sinar matahari? Rasanya
Ting-suheng dan Liok-suheng tentu juga sudah datang, boleh silakan keluar saja sekalian. Melulu menghadapi
orang she Lau, seorang Hui-suheng saja sudah jauh lebih dari cukup. Tapi untuk melayani para kesatria
sebanyak yang hadir di sini mungkin kawan Ko-san-pay yang datang ini masih kurang cukup."
Hui Pin tersenyum, katanya, "Buat apa Lau-suheng mengeluarkan kata-kata mengadu domba demikian?
Seumpama mesti berlawanan dengan Lau-suheng sendiri, Cayhe juga tidak mampu menahan gerakan 'Siaulok-
gan-sik' Lau-suheng barusan ini. Ko-san-pay sekali-kali tidak berani merecoki Heng-san-pay, lebih-lebih tak
berani memusuhi setiap kesatria mana pun yang hadir di sini ini. Soalnya urusan ini menyangkut keselamatan
jiwa beribu kawan-kawan Bu-lim, maka terpaksa kami harus minta agar Lau-suheng membatalkan maksud
akan 'cuci tangan di baskom emas' ini."
Kata-kata itu membuat para kesatria melengak heran semua. Mereka tidak habis mengerti ada hubungan
apakah antara acara "cuci tangan" yang dilakukan Lau Cing-hong dengan para orang Kangouw? Mengapa
dikatakan menyangkut keselamatan jiwa beribu kawan Bu-lim?
Benar juga. Lantas terdengar Lau Cing-hong menjawab, "Ucapan Hui-suheng tadi sungguh terlalu menjunjung
tinggi padaku. Padahal orang she Lau ini hanya seorang anggota Heng-san-pay biasa saja, sebaliknya tokohtokoh
Ngo-gak-kiam-pay tak terhitung banyaknya, apa artinya bertambah atau berkurang dengan seorang Lau
Cing-hong saja? Mengapa tindakanku ini dikatakan menyangkut jiwa ribuan orang kawan Bu-lim?"
"Ya, betul," demikian Ting-yat Suthay menyambung. "Soal Lau-hiante ingin Kim-bun-swe-jiu dan mau menjadi
pembesar tergolong keroco itu, untuk bicara terus terang sesungguhnya aku pun merasa hina. Cuma setiap
manusia mempunyai cita-citanya sendiri-sendiri, dia suka menjadi pembesar dan ingin rezeki nomplok, asalkan
tidak merugikan rakyat jelata, tidak merusak kesetiakawanan sesama orang Bu-lim, maka siapa pun tidak
dapat merintangi kebebasannya. Kukira Lau-hiante juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu sehingga
dapat membikin celaka kawan Bu-lim sedemikian banyaknya."
"Ting-yat Suthay," ujar Hui Pin, "engkau adalah orang beribadat, sudah tentu kurang paham akan tipu muslihat
orang luar. Hendak maklum, bilamana intrik besar ini sampai terlaksana, bukan saja banyak kawan Bu-lim
yang akan menjadi korban, bahkan juga rakyat jelata yang tak berdosa akan ikut mengalami bencana besar.
Coba kalian pikir sendiri. Lau-samya dari Heng-san-pay adalah seorang tokoh termasyhur, seorang kesatria
yang terkenal di Kangouw, masakah beliau sudi merendahkan diri untuk mengekor kepada kawanan pembesar
anjing yang korup itu? Harta benda Lau-samya sendiri sudah cukup kaya raya, masakan beliau masih kemaruk
harta dan ingin kedudukan segala? Sebab itulah sudah lama kami merasa sangsi, bahwasanya seorang tokoh
sebagai Lau-samya hanya sudi menjabat pangkat sedemikian kecilnya, hal ini benar-benar terlalu aneh dan
mencurigakan."
"Hahaha! Bagus, bagus!" demikian Lau Cing-hong tidak marah, berbalik ia tertawa. "Kiranya di balik persoalan
ini dikatakan masih mengandung suatu intrik besar yang maharahasia. Hm, Hui-suheng, jika kau mau
memfitnah hendaklah juga perlu mencari alasan yang masuk di akal. Sebenarnya aku tidak ingin
membicarakan urusan ini, sebab kalau kukatakan sesungguhnya akan membikin malu Heng-san-pay sendiri.
Tapi karena urusan sudah telanjur begini, terpaksa aku tidak dapat mengelakkan lagi, biarlah para kawan yang
hadir di sini sukalah menimbang dengan adil. Nah, Ting-suheng dan Liok-suheng boleh silakan keluar saja
sekalian!"
"Baik!" berbareng terdengar dari sebelah timur dan barat di atas rumah ada dua orang berseru. Bayangan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kuning berkelebat, tahu-tahu dua orang sudah berdiri di depan ruangan. Ginkang kedua orang ini serupa benar
dengan cara Hui Pin melompat turun tadi.
Yang berdiri di sebelah timur adalah seorang botak, botak dalam arti kata gundul kelimis tanpa seujung rambut
pun, sampai-sampai batok kepalanya kelihatan mengilap. Dia adalah tokoh kedua dari Ko-san-pay, namanya
Ting Tiong.
Sedangkan orang yang berdiri di sebelah barat adalah seorang kurus kering seperti orang sakit TBC, agak
bungkuk lagi pucat seperti orang yang sudah lebih seminggu kelaparan. Para kesatria mengenalnya sebagai
tokoh ketiga dalam Ko-san-pay yang terkenal, namanya Liok Pek, berjuluk Wi-bin Cukat atau si Cukat Liang
(Khong Beng) bermuka pucat, yaitu lantaran dia sangat banyak tipu akalnya.
Ting Tiong dan Liok Pek sangat termasyhur di dunia persilatan, maka para kesatria serentak berbangkit
menyambut kedatangan mereka berbareng saling mengucapkan salam hormat masing-masing. Tampaknya
tokoh Ko-san-pay yang datang ini makin lama makin banyak dan makin jempolan, agaknya urusan hari ini
sangat penting, rasanya Lau Cing-hong pasti akan menghadapi kesukaran.
"Lau-hiante," demikian Ting-yat Suthay telah membuka suara, "kau jangan khawatir. Segala urusan di dunia ini
tak terlepas dari satu kata, yakni 'kebenaran'. Janganlah kau anggap orang lain berjumlah banyak, memangnya
para kawan kita dari Thay-san-pay, Hoa-san-pay dan Hing-san-pay hanya datang untuk gegares saja tanpa
bekerja?"
Di balik ucapannya itu, secara terang-terangan ia hendak menyatakan bilamana Ko-san-pay berani main
kekerasan dan mengandalkan orang banyak, maka Hing-san-pay yang dipimpinnya adalah pihak pertama yang
akan membela keadilan. Sedangkan Thian-bun Tojin, Gak Put-kun dan lain-lain juga takkan tinggal diam.
Tapi Lau Cing-hong hanya tersenyum getir saja. Katanya, "Sungguh memalukan kalau urusan ini diceritakan.
Sebenarnya persoalannya mengenai urusan dalam Heng-san-pay kami, tapi sekarang para kawan mesti ikutikut
khawatir, sungguh aku merasa tidak enak. Sekarang aku pun dapat memahami duduknya perkara.
Tentulah Bok-suheng kami juga telah mengadu biru kepada Co-suheng Bengcu tentang macam-macam
kesalahanku sehingga para Suheng dari Ko-san-pay lantas dikerahkan kemari untuk merecoki aku. Ya, ya, apa
mau dikata lagi, biarlah aku mengaku salah saja kepada Bok-suko."
Sorot mata Hui Pin yang tajam menyapu sekeliling kepada para hadirin. Kemudian ia berkata, "Kau bilang
urusan ini ada sangkut pautnya dengan Bok-taysiansing? Jika demikian silakan Bok-taysiansing keluar saja,
biar kita bicara secara terus terang."
Habis ucapannya, suasana di tengah sidang menjadi hening senyap. Sampai agak lama tetap tidak tertampak
munculnya "Siau-siang-ya-uh" Bok-taysiansing, ketua Heng-san-pay atau Suheng Lau Cing-hong yang
termasyhur itu.
Dengan tersenyum getir Lau Cing-hong lantas membuka suara pula, "Tentang pertengkaran antara kami
bersaudara seperguruan cukup diketahui oleh para kawan dari Bu-lim dan tidak perlu kututup-tutupi lagi. Para
sahabat tentu maklum bahwa dari warisan leluhur, maka keluargaku boleh dikata cukup berada, sebaliknya
Bok-suko kami adalah orang yang miskin. Sebenarnya saling membantu antarkawan adalah lazim, apalagi
antarsesama Suheng dan Sute. Namun berhubung urusan ini Bok-suko lantas sirik dan selamanya tak mau
menginjak lagi ke rumahku, sudah ada beberapa tahun kami Suheng dan Sute tidak berbicara dan tidak
bertemu, maka dengan sendirinya hari ini Bok-suko juga tidak mungkin hadir di sini. Adapun yang membuat
aku merasa penasaran adalah Co-bengcu hanya percaya kepada pengaduan sepihak saja lalu mengirimkan
para Suheng kemari untuk menghadapi aku, sampai-sampai anak-istriku juga ikut ditawan, bukankah hal ini
agak ... agak keterlaluan?"
"Angkat panjimu!" seru Hui Pin kepada Su Ting-tat.
Su Ting-tat mengiakan dan segera mengangkat panjinya dan berdiri di samping Hui Pin.
"Lau-suheng," kata Hui Pin dengan keren, "urusan hari ini sama sekali tiada hubungannya dengan Boktaysiansing,
ketua Heng-san-pay kalian, maka kau tidak perlu menyinggung tentang dirinya. Menurut perintah
Bengcu, kami diharuskan menyelidiki dan menanya kau dengan jelas, yaitu bagaimana persekongkolanmu
dengan Tonghong Put-pay dari Mo-kau, intrik apa yang telah kalian atur untuk menghadapi Ngo-gak-kiam-pay
kita dan para kawan dari Bu-lim?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kata-kata itu telah mengguncangkan perasaan setiap hadirin. Hendaklah maklum bahwa Mo-kau (agama sesat)
selalu memusuhi para kesatria dari kalangan Pek-to, permusuhan demikian sudah berlangsung selama ratusan
tahun dan tidak habis-habis, kedua belah pihak sama-sama banyak jatuh korban. Dari ribuan hadirin sekarang
paling sedikit ada separuhnya yang pernah diganggu oleh pihak Mo-kau, ada yang ayah-bundanya terbunuh,
ada gurunya terbinasa, maka bila menyebut agama iblis itu semuanya merasa dendam dan benci. Sebabnya
Ngo-gak, yaitu aliran lima gunung (Ko-san, Thay-san, Hoa-san, Heng-san dan Hing-san) berserikat justru
tujuan utamanya adalah untuk menghadapi Mo-kau.
Ilmu silat Mo-kau baik Lwekang maupun Gwakang mempunyai caranya yang khas, betapa pun hebat ilmu silat
pihak Ngo-gak sering juga kewalahan melawannya. Lebih-lebih ketua Mo-kau yang bernama Tonghong Putpay,
bahkan oleh orang diberi julukan sebagai "jago nomor satu selama seabad ini". Sesuai dengan namanya:
Put-pay (tidak terkalahkan), maka sejak dia mengetuai Mo-kau memang belum pernah dikalahkan oleh siapa
pun juga.
Lantaran itulah demi para kesatria mendengar Hui Pin membongkar hubungan antara Lau Cing-hong dengan
pihak Mo-kau, apakah hal ini betul atau tidak, yang jelas setiap kesatria itu ikut berkepentingan dan
menyangkut keselamatan mereka pula. Maka dari itu rasa simpatik mereka kepada Lau Cing-hong semula
lantas lenyap seketika.
Maka terdengar Lau Cing-hong telah menjawab tuduhan Hui Pin tadi, "Selamanya Cayhe belum pernah melihat,
apalagi kenal kepada ketua Mo-kau Tonghong Put-pay, entah dengan dasar apa aku dituduh bersekongkol dan
berintrik dengan pihak Mo-kau?''
Hui Pin tidak menjawabnya, ia hanya melirik Samsuhengnya, yaitu Liok Pek.
Maka dengan suara perlahan-lahan, Liok Pek telah bicara, "Lau-suheng, apa yang kau katakan rasanya masih
banyak yang ketinggalan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Di dalam Mo-kau ada seorang Hou-hoat-tianglo
(sesepuh pembela agama) yang bernama Kik Yang. Entah Lau-suheng kenal atau tidak?"
Sejak mula Lau Cing-hong sebenarnya sangat tenang, tapi demi mendengar nama "Kik Yang", seketika air
mukanya berubah hebat. Namun bibirnya terkatup rapat-rapat dan tidak menjawab.
Ting Tiong, tokoh kedua Ko-san-pay yang berkepala botak kelimis itu sejak datang tadi belum bersuara
sepatah pun. Sekarang mendadak ia bertanya dengan suara bengis, "Kau kenal tidak kepada Kik Yang?"
Sedemikian keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga setiap orang sampai mendenging. Dalam
pandangan semua orang jejak Ting Tiong seakan-akan bertambah tinggi besar secara mendadak dan penuh
wibawa.
Namun Lau Cing-hong masih tetap tidak menjawab. Seketika perhatian beribu orang terpusat kepadanya,
dalam hati setiap orang sama merasa sikap Lau Cing-hong yang bungkam itu serupa saja dengan mengakui
pertanyaan Ting-Tiong secara diam-diam.
Selang agak lama barulah Lau Cing-hong mengangguk dan berkata, "Betul! Kik Yang, Kik-toako memang
kenalanku. Malahan bukan cuma kenalan sekadar kenalan, bahkan dia adalah sahabatku yang baik. Sahabatku
yang paling kental selama hidupku ini."
Seketika suasana sidang menjadi gempar. Para kesatria ramai membicarakan pengakuan Lau Cing-hong yang
terus terang dan di luar dugaan itu. Semula mereka menyangka paling-paling Lau Cing-hong hanya akan
mengaku bahwa Kik Yang memang betul pernah dikenalnya dan sekali-kali tidak menduga bahwa dia berani
menyatakan bahwa gembong Mo-kau itu justru adalah sahabatnya yang paling kental.
Hui Pin tampak tersenyum, katanya, "Baik sekali karena kau sendiri sudah mengaku. Seorang laki-laki sejati
berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Lau Cing-hong, sekarang Co-bengcu telah menentukan dua
jalan, bolehlah kau pilih sendiri."
Akan tetapi Lau Cing-hong seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Hui Pin itu, dengan tenang saja ia
duduk kembali, ia menuang secawan arak dan ditenggaknya habis.
Diam-diam para hadirin memuji dan merasa kagum terhadap sikap Lau Cing-hong yang tabah dan tenang itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Menghadapi saat segawat ini ternyata dia masih sanggup bersikap tenang tanpa sedikit memperlihatkan tandatanda
kecemasan.
Dengan suara lantang Hui Pin lantas berseru pula, "Menurut Co-bengcu, katanya Lau Cing-hong adalah tokoh
yang jarang terdapat di dalam Heng-san-pay, hanya karena sedikit kekhilafannya sehingga salah bergaul
dengan orang jahat, apabila mau insaf kembali, sudah tentu kaum kita akan suka memberi kesempatan
padanya untuk memperbaiki kesalahannya. Jikalau jalan ini yang kau pilih, maka Co-bengcu memberi batas
waktu sebulan agar kau membunuh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu, bawalah buah kepalanya
sebagai bukti, dengan demikian segala kesalahan yang lain takkan diusut lebih lanjut dan kita masih tetap
sahabat baik dan saudara dalam Ngo-gak-kiam-pay."
Para kesatria berpikir bahwa selamanya antara yang baik dan yang jahat tidak pernah hidup bersama. Orangorang
Mo-kau bilamana kepergok oleh tokoh-tokoh dari kalangan pendekar tentu lantas saling labrak matimatian.
Kalau sekarang Co-bengcu mengharuskan Lau Cing-hong membunuh dulu Kik-Yang untuk
membuktikan kesetiaannya, hal ini pun dapat dimengerti dan bukan sesuatu permintaan yang berlebihan.
Sekilas air muka Lau Cing-hong bersenyum sedih, sahutnya kemudian, "Kik-toako dan aku begitu bertemu
lantas seperti sobat lama, lalu berhubungan dengan sangat akrab. Dia telah bertemu belasan kali dengan aku,
kami tidur satu ranjang dan bicara sepanjang malam, terkadang bila kami menyinggung tentang persengketaan
di antara berbagai golongan, Kik-toako selalu menghela napas dan merasa menyesal, beliau anggap
pertengkaran antara kedua pihak sesungguhnya tidak ada gunanya. Persahabatanku dengan Kik-toako hanya
mengutamakan saling bertukar pikiran tentang seni musik. Beliau adalah ahli menabuh kecapi dan aku suka
meniup seruling. Di kala bertemu sebagian besar waktu kami gunakan untuk menabuh musik kesukaan
masing-masing. Tentang ilmu silat selamanya kami tidak pernah membicarakannya."
Sampai di sini Lau Cing-hong tertampak tersenyum puas, lalu menyambung, "Boleh jadi para hadirin tidak
percaya, tapi aku anggap pada zaman ini dalam hal menabuh kecapi rasanya tiada orang lain yang sanggup
melebihi Kik-toako, sedangkan dalam hal meniup seruling rasanya juga tiada orang kedua yang melebihi Lau
Cing-hong. Meski Kik-toako adalah orang Mo-kau, tapi dari suara kecapinya aku cukup mengenal wataknya
yang baik dan budinya yang luhur, beliau benar-benar seorang manusia yang berperasaan. Sebab itulah Lau
Cing-hong benar-benar sangat kagum padanya dan biarpun bagaimana jadinya tidak nanti aku mau mencelakai
seorang jantan sebagai Kik-toako."
Para kesatria bertambah heran. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa persahabatan Lau Cing-hong
dengan Kik Yang itu dimulai dari seni musik. Melihat ucapan Lau Cing-hong yang sungguh-sungguh dan jujur
itu, mau tak mau mereka harus percaya kepada ceritanya itu. Di dunia Kangouw memang banyak orang-orang
kosen yang aneh-aneh tingkah lakunya, jika Lau Cing-hong keranjingan dalam hal musik juga tidak perlu
diherankan.
Bagi orang yang tahu akan seluk-beluk Heng-san-pay lantas teringat pula bahwa di antara tokoh-tokoh Hengsan-
pay dari dulu sampai sekarang memang banyak yang suka kepada seni musik. Misalnya pejabat ketua
mereka sekarang, yaitu Bok-taysiansing yang berjuluk "Siau-siang-ya-uh", beliau juga paling suka menabuh
rebab sehingga diberikan gelar "di dalam rebab tersimpan pedang, di tengah pedang bersuarakan rebab". Dari
itu bila persahabatan Lau Cing-hong dengan Kik Yang itu diawali dengan main musik, hal ini memang cukup
masuk di akal.
Hui Pin lantas berkata pula, "Tentang persahabatanmu dengan gembong Mo-kau itu dalam seni musik, hal ini
sudah diselidiki Co-bengcu dengan jelas. Kata Bengcu kita, setiap orang Mo-kau mempunyai tipu muslihat
tertentu. Mereka tahu sesudah perserikatan Ngo-gak-kiam-pay kita, pasti kekuatan kita akan bertambah besar
dan sukar dilawan oleh Mo-kau. Sebab itulah dengan segala daya upaya pihak Mo-kau berusaha hendak
memecah belah dan mengadu domba kita, segala akal licik dapat pula dijalankan oleh mereka. Terhadap kaum
muda kita sering pula mereka pancing dengan wanita cantik. Terhadap tokoh sebagai Lau-suheng yang
hidupnya serbakecukupan, mereka lantas berusaha mendekati kegemaranmu dalam hal seni musik dan tugas
ini telah diserahkan kepada Kik Yang. Untuk ini hendaklah Lau-suheng suka menggunakan pikiran secara
dingin, sudah berapa banyak saudara-saudara kita yang telah menjadi korban keganasan pihak Mo-kau?
Mengapa engkau kena dikelabui mereka dengan akal-akal licik itu dan tanpa sadar sedikit pun?"
"Benar, apa yang dikatakan Hui-sute memang tidak salah," demikian Ting-yat Suthay menimbrung.
"Ditakutinya Mo-kau bukanlah lantaran ilmu silat mereka yang keji, tapi adalah macam-macam tipu muslihat
mereka yang licik dan sukar diterka itu. Lau-sute, engkau adalah orang baik-baik, kalau tanpa sadar kena
ditipu juga tidak menjadi soal. Biarlah kita bersama-sama turun tangan dan membunuh gembong Mo-kau yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bernama Kik Yang itu, maka segala urusan akan menjadi beres. Ngo-gak-kiam-pay kita selamanya senapas
dan sehaluan, jangan sekali-kali kena diadudombakan oleh Mo-kau sehingga saling bertengkar sendiri."
"Ya, Lau-sute, seorang laki-laki sejati bila tahu akan kesalahan sendiri dan mau memperbaiki, hal ini bukanlah
sesuatu yang mesti diributkan," ujar Thian-bun Tojin. "Asalkan sekali tebas kau binasakan gembong Mo-kau
she Kik itu, maka kawan-kawan dari dunia persilatan akan tetap memuji ketegasanmu sebagai seorang kesatria
yang bijaksana. Sebagai kawanmu kami pun akan ikut merasa bangga."
Lau Cing-hong ternyata tidak menjawabnya, sinar matanya beralih ke arah Gak Put-kun. Katanya, "Gak-toako,
engkau adalah seorang laki-laki yang bijaksana, para kawan-kawan terhormat dari Bu-lim yang hadir di sini
sama mendesak aku menjual kawan, kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"
"Lau-hiante," sahut Gak Put-kun, "jika benar-benar demi sahabat, sebagai kaum Bu-lim kita ini biarpun leher
putus demi membela kawan juga tidak menjadi soal. Namun gembong Mo-kau she Kik itu terang adalah
manusia palsu mulutnya, tapi hatinya berbisa. Dia sengaja mendekati Lau-hiante dan mengikuti kegemaranmu
dalam seni musik untuk melaksanakan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia demikian juga kau anggap
sebagai sahabat, bukankah kata-kata 'sahabat' akan ternoda? Manusia iblis demikian masakah kau anggap
sebagai sahabat karib segala?"
"Itu dia, apa yang diucapkan Gak-siansing memang tegas dan tepat," demikian orang banyak menanggapi.
"Kita harus dapat membedakan antara kawan dan lawan. Terhadap kawan kita memang harus setia, tapi
terhadap lawan kita tidak kenal ampun, apalagi bicara tentang setia kawan pula?"
Lau Cing-hong menghela napas. Ia tunggu sesudah suara orang banyak rada tenang kembali barulah bicara
dengan perlahan, "Sejak mulai bersahabat dengan Kik-toako sudah kuduga akan terjadi seperti hari ini. Melihat
gelagatnya akhir-akhir ini, kutaksir tidak lama lagi Ngo-gak-kiam-pay kita tentu akan terjadi suatu pertarungan
habis-habisan dengan Mo-kau. Di satu pihak adalah para saudara serikat sendiri, di lain pihak adalah sahabat
karib pula sehingga sukar bagiku untuk menentukan pihak mana harus dibantu. Lantaran itulah aku mencari
jalan dengan mengadakan upacara 'cuci tangan' seperti sekarang ini, maksudku adalah untuk mengumumkan
kepada para kawan kaum kita bahwa orang she Lau sejak kini telah mengundurkan diri dari dunia persilatan
dan tidak ikut campur kepada segala persengketaan orang Kangouw, harapanku adalah supaya dapat hidup
bebas tenteram dan tidak tersangkut di dalam permusuhan dan bunuh-membunuh. Tujuanku membeli suatu
pangkat sekecil ini juga hanya untuk menghindarkan diri dari kesukaran, padahal pangkat sekecil ini
sesungguhnya cuma membikin cemar namaku saja. Siapa duga Co-bengcu memang benar-benar mahasakti,
langkah yang kuambil ini toh tetap susah mengelabui dia."
Mendengar keterangannya ini barulah para kesatria mengerti duduknya perkara. Kiranya dia mengadakan
upacara "cuci tangan di baskom emas" ini sebenarnya mempunyai maksud tujuan sejauh ini. Pantas orang
heran masakah seorang tokoh terkemuka dari Heng-san-pay sudi menjabat pangkat sekecil itu.
Hui Pin juga saling pandang sekejap dengan kedua Suhengnya, yaitu Ting Tiong dan Liok Pek, mereka merasa
puas karena Ciangbun-suheng mereka telah berhasil mengetahui maksud tujuan Lau Cing-hong itu dan keburu
merintangi tepat pada waktunya.
Maka terdengar Lau Cing-hong sedang menyambung pula, "Tentang permusuhan antara Mo-kau dan golongan
kita memang sudah sangat lama dan berlarut-larut, siapa yang benar dan siapa yang salah juga sukar untuk
diceritakan. Yang kuharap hanyalah melepaskan diri dari persengketaan berdarah ini, selanjutnya biar hidup
tenteram sebagai rakyat yang patuh kepada undang-undang negara dan menghibur diri dengan meniup
seruling. Kurasa cita-citaku ini toh tidak sampai melanggar peraturan perguruan sendiri atau perjanjian antara
Ngo-gak-kiam-pay kita."
"Huh, enak saja kau bicara," demikian Hui Pin mendengus. "Jika setiap orang meniru kau, melarikan diri di saat
akan menghadapi musuh, maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai oleh kaum iblis. Kau sendiri ingin
melepaskan diri dari segala persoalan, tapi gembong Mo-kau she Kik itu apakah juga mau berlaku seperti kau?"
Cing-hong tersenyum, jawabnya, "Di hadapanku Kik-toako sudah bersumpah kepada cikal bakal Mo-kau
mereka untuk selanjutnya biarpun apa yang terjadi antara Mo-kau dengan kaum persilatan kita, maka Kiktoako
sama sekali tak mau ikut campur lagi. Asal orang tidak mengusiknya, maka dia pun takkan mengganggu
orang."
"Hahaha! Bagus amat istilah 'asal orang tidak mengusiknya, maka dia pun takkan mengganggu orang'," dengus
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hui Pin dengan tertawa. "Lalu bagaimana apabila kaum kita yang mengganggunya?"
"Kik-toako sudah menyatakan bahwa beliau akan mengalah sedapat mungkin," sahut Lau Cing-hong, "sekalikali
beliau takkan main menang-menangan dan bertempur dengan orang, bahkan akan berusaha sekuatnya
untuk menghindarkan salah paham kedua pihak. Kemarin juga Kik-toako telah mengirim berita padaku bahwa
murid Hoa-san-pay yang bernama Lenghou Tiong telah dilukai orang, jiwanya dalam keadaan bahaya, tapi
beliau telah memberi pertolongan seperlunya."
Ucapan ini kembali membikin gempar para hadirin, lebih-lebih bagi orang-orang Hoa-san-pay, Hing-san-pay,
dan Jing-sia-pay.
Dengan cepat Gak Leng-sian, itu putri Gak Put-kun, lantas bertanya, "Lau-susiok, di manakah Lenghou-suko
berada sekarang? Apakah ... apakah benar dia telah ditolong oleh ...oleh Locianpwe she Kik itu?"
"Jika begitu ucapan Kik-toako, rasanya tentu benar adanya," sahut Lau Cing-hong. "Untuk jelasnya boleh kau
tanya Lenghou-hiantit sendiri bila kelak kau bertemu dengan dia."
"Huh, buat apa mesti mengherankan hal-hal begitu?" ejek Hui Pin. "Orang-orang Mo-kau memang paling
pandai memecah belah dan mengadu domba, segala tipu akal yang licik dapat dilakukan oleh mereka. Dengan
segala daya upaya ia telah memelet murid Hoa-san-pay. Boleh jadi lantaran itu Lenghou Tiong menjadi merasa
terima kasih dan ingin membalas budi pertolongannya itu. Bukan mustahil sejak kini Ngo-gak-kiam-pay kita
telah bertambah lagi seorang pengkhianat."
Mendadak alis Lau Cing-hong menegak, tanyanya dengan angkuh, "Hui-suheng, kau mengatakan sejak kini
telah 'bertambah lagi' seorang pengkhianat. Apa maksudmu dengan kata-kata 'bertambah lagi' itu?"
"Siapa yang berbuat, dia harus tahu sendiri, apa perlu aku jelaskan pula?" sahut Hui Pin.
"Hm, jadi secara langsung kau menuduh orang she Lau ini telah menjadi pengkhianat?" tanya Lau Cing-hong.
"Aku berkawan dengan siapa saja adalah urusan pribadiku, orang luar tidak berhak untuk ikut campur.
Selamanya Lau Cing-hong tidak merasa mengkhianati kawan dan mendurhakai perguruan, maka istilah
'pengkhianat' itu biarlah aku aturkan kembali kepadamu."
Tadinya sikap Lau Cing-hong tampaknya ramah tamah sebagaimana layaknya seorang hartawan terhadap
tamunya, tapi sekarang mendadak sorot matanya memancarkan sinar yang tajam, sikapnya gagah berani.
Walaupun berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan toh dia tetap mengadu mulut dengan tidak kalah
tajamnya dengan Hui Pin, mau tak mau para hadirin merasa kagum juga terhadap ketabahannya.
"Jika demikian, jadi sudah terang Lau-suheng tidak mau memilih jalan pertama dan tegas-tegas tidak mau
membinasakan gembong she Kik dari Mo-kau itu?" Hui Pin menegas.
"Bila memang sudah ada perintah dari Co-bengcu, tiada halangannya sekarang juga Hui-suheng turun tangan
untuk membunuh segenap keluargaku," sahut Lau Cing-hong.
"Huh, jangan kau mentang-mentang ada sekian banyak kesatria-kesatria dari segenap penjuru sedang bertamu
di rumahmu ini dan mengira Ngo-gak-kiam-pay kami akan merasa jeri, lalu tidak berani mengadakan
pembersihan kepada kaum pengkhianat?" demikian jengek Hui Pin. Mendadak ia memberi tanda kepada Su
Ting-tat dan berseru, "Coba kemari!"
Su Ting-tat mengiakan sambil melangkah maju. Hui Pin mengambil panji pancawarna itu dari tangan Su Tingtat,
lalu diangkat tinggi-tinggi ke atas sambil berseru, "Dengarkanlah Lau Cing-hong! Atas perintah Co-bengcu,
jika kau tidak mau berjanji untuk membunuh Kik Yang di dalam waktu sebulan, maka terpaksa Ngo-gak-kiampay
harus segera mengadakan pembersihan di antara anggota-anggotanya sendiri untuk menghindarkan
bencana di kemudian hari. Babat rumput harus sampai akar-akarnya, sedikit pun tidak kenal ampun. Untuk ini
hendaklah kau pikirkan lagi semasak-masaknya!"
Lau Cing-hong tersenyum pedih, jawabnya, "Orang she Lau ini mencari sahabat, yang diutamakan adalah
kecocokan lahir batin satu sama lain, mana boleh sahabat sendiri dibunuh demi untuk menyelamatkan diri
sendiri? Jikalau Co-bengcu sudah pasti tidak dapat memaafkan, apa mau dikata lagi, terserahlah kepada
kebijaksanaan Co-bengcu saja, masakah orang she Lau yang tidak punya pengaruh apa-apa berani
melawannya? Memangnya segala apa sudah diatur oleh Ko-san-pay kalian, boleh jadi peti mati bagiku mungkin
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
juga sudah kalian sediakan. Kalau mau turun tangan boleh silakan saja, mau tunggu kapan lagi?"
Mendadak Hui Pin mengebaskan panji kebesarannya, serunya dengan suara lantang, "Para Suheng dan Sute
dari Thay-san-pay, Hoa-san-pay, Hing-san-pay dan Heng-san-pay, menurut pesan dari Co-bengcu, selamanya
antara Cing-pay dan Sia-pay (golongan baik dan jahat) tidak pernah hidup bersama. Mo-kau dan Ngo-gakkiam-
pay kita telah mengikat permusuhan sedalam lautan. Sekarang Lau Cing-hong dari Heng-san-pay
bersahabat dengan kaum penjahat dan menggabungkan diri kepada musuh, setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay
kita harus membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Co-bengcu ini hendaklah berdiri
ke sisi kiri."
Tertampaklah Thian-bun Tojin yang pertama-tama berbangkit dan berjalan ke sebelah kiri dengan langkah
lebar tanpa menoleh sekejap pun kepada Lau Cing-hong.
Kiranya gurunya Thian-bun Tojin dahulu telah ditewaskan oleh seorang gembong wanita dari Mo-kau. Sebab
itulah bencinya terhadap Mo-kau boleh dikata merasuk tulang sumsum. Maka begitu dia menyisihkan diri ke
sebelah kiri, segera anak muridnya juga ikut ke sebelah sana.
Orang kedua yang berbangkit adalah Gak Put-kun, katanya, "Lau-hiante, asal kau manggut saja, maka orang
she Gak ini akan mewakilkan kau membereskan Kik Yang itu. Kau bilang seorang jantan jangan sekali-kali
mengkhianati sahabat. Apakah di dunia ini hanya Kik Yang seorang saja adalah sahabatmu? Apakah orangorang
Ngo-gak-kiam-pay kita dan para kesatria yang hadir di sini bukanlah sahabatmu? Ratusan, ribuan
sahabat dari kalangan persilatan ini begitu mendengar engkau hendak mengundurkan diri dari dunia persilatan,
serentak mereka lantas datang dari tempat jauh untuk mengucapkan selamat kepadamu dengan segala
ketulusan hati. Apakah tindakan mereka ini belum dapat dianggap sebagai sahabat? Sekalipun Kik Yang itu
mahir memetik kecapi, apa karena itu lalu jiwa segenap keluargamu serta persahabatan antara Ngo-gak-kiampay
kita dan kawan-kawan yang hadir di sini ini kurang berharga daripada persahabatan dengan Kik Yang
seorang?"
Perlahan-lahan Lau Cing-hong menggeleng kepala, sahutnya, "Gak-suheng, engkau adalah orang terpelajar
dan tentu tahu apa yang pantas dilakukan seorang laki-laki sejati dan apa yang tidak patut diperbuat.
Nasihatmu yang baik ini kuterima juga dengan rasa terima kasih. Akan tetapi orang lain memaksa aku
membunuh Kik-toako, hal ini sekali-kali tidak dapat kulakukan, sama halnya bila ada orang yang memaksa aku
membunuh engkau Gak-suheng atau salah seorang sahabat yang hadir ini, biarpun seluruh anggota keluargaku
tertimpa bencana juga takkan kulakukan. Kik-toako adalah sahabatku yang paling karib, hal ini sudah terang,
tapi Gak-suheng juga sahabat baikku. Dan bila Kik-toako sampai membuka suara bermaksud mencelakai salah
seorang sahabatku dari Ngo-gak-kiam-pay, maka perbuatannya itu tentu akan kupandang hina dan takkan
menganggapnya sebagai sahabat lagi."
Karena ucapan Lau Cing-hong ini sangat sungguh-sungguh dan tulus kedengarannya, mau tak mau tergerak
juga perasaan para kesatria. Maklumlah orang-orang persilatan paling mengutamakan budi setia antarkawan.
Sedemikian tegas Lau Cing-hong membela Kik Yang, diam-diam para kesatria merasa gegetun juga akan jiwa
luhur tokoh Heng-san-pay itu.
"Lau-hiante," ujar Gak Put-kun, "ucapanmu ini terang tidak betul. Lau-hiante mengutamakan setia kawan, hal
ini memang mengagumkan. Tapi untuk itu juga harus dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat,
antara yang betul dan yang salah. Selama ini Mo-kau telah banyak berbuat kejahatan, tidak sedikit orang
Kangouw yang baik-baik telah menjadi korban keganasannya, begitu pula rakyat jelata yang tak berdosa. Lauhiante
sendiri hanya karena merasa cocok dan sepaham dalam hal main musik lantas segenap jiwa anggota
keluargamu juga kau pertaruhkan untuknya. Rasanya engkau telah salah mengartikan 'setia kawan' yang kau
junjung tinggi itu."
Lau Cing-hong tersenyum hambar, katanya, "Gak-toako, engkau tidak suka seni suara, makanya tidak paham
maksudku yang mendalam. Hendaklah maklum bahwa dalam ucapan dan kata-kata, orang dapat berdusta dan
membohong, tapi suara musik, suara kecapi dan seruling adalah suara hati yang tidak dapat dipalsukan atau
dibikin-bikin. Kik-toako bersahabat dengan aku berdasarkan perpaduan suara kecapi dan seruling, jiwa kami
telah saling mengikat, aku bersedia menanggungnya dengan segenap jiwa anggota keluargaku bahwa Kiktoako
meski betul adalah orang Mo-kau, tapi beliau sedikit pun tidak berbau jahat seperti orang Mo-kau yang
lain."
Gak Put-kun menghela napas panjang, dia tidak bicara lagi terus berjalan ke sebelah Thian-bun Tojin. Segera
Lo Tek-nau, Gak Leng-sian, Liok Tay-yu dan lain-lain mengikuti jejak sang guru.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekarang bergilir atas diri Ting-yat Suthay, dengan tajam ia menatap Lau Cing-hong. Katanya, "Selanjutnya
aku tetap memanggil Lau-hiante padamu atau menyebut Lau Cing-hong saja?"
Lau Cing-hong tersenyum getir, sahutnya, "Jiwa orang she Lau ini hanya tergantung sekejap lagi, selanjutnya
Suthay tiada sempat memanggil padaku pula."
Ting-yat Suthay merangkap tangannya dan menyebut Buddha, lalu perlahan-lahan berjalan ke sebelah Gak
Put-kun dengan diikuti oleh anak muridnya.
"Urusan ini hanya menyangkut Lau Cing-hong seorang," sahut Hui Pin kemudian, "maka tiada sangkut pautnya
dengan murid-murid Heng-san-pay yang lain-lain. Para murid Heng-san-pay yang tidak ikut membantu
kejahatan dan mau sadar kembali boleh berdiri semua ke sebelah kiri."
Suasana di ruangan sidang menjadi sunyi senyap. Selang sejenak, seorang laki-laki setengah umur telah
berseru, "Lau-supek, maafkanlah kepada kami!"
Lalu ada belasan murid Heng-san-pay menyingkir dan berdiri di sebelah Ting-yat Suthay. Mereka adalah murid
keponakan Lau Cing-hong. Sedangkan tokoh Heng-san-pay angkatan tua yang sebaya dengan Lau Cing-hong
kali ini tidak ada yang datang.
"Murid keluarga Lau sendiri disilakan juga berdiri ke sisi kiri!" seru Hui Pin pula.
Tapi Hiang Tay-lian lantas berseru lantang, "Kami telah menerima budi besar dari perguruan, bilamana Suhu
ada kesukaran, sudah seharusnya kami ikut memikul tanggung jawab. Kini para murid keluarga Lau bertekad
sehidup semati dengan Suhu."
"Bagus! Bagus!" kata Lau Cing-hong dengan air mata bercucuran saking terharunya. "Tay-lian, dengan
ucapanmu ini kau sudah cukup berbakti kepada gurumu. Bolehlah kalian berdiri ke sebelah sana saja. Suhu
sendiri yang berbuat, sedikit pun tiada sangkut pautnya dengan kalian."
"Sret", mendadak Bi Wi-gi melolos pedang. Serunya, "Para murid keluarga Lau sudah tentu bukan tandingan
Ngo-gak-kiam-pay. Tapi urusan hari ini tiada pilihan lain kecuali menghadapi dengan kematian. Siapa yang
berani mengganggu guru kami boleh silakan membunuh dulu orang she Bi ini!"
Habis berkata ia terus berdiri di depan Lau Cing-hong dengan gagah berani.
"Huh, mutiara sebesar beras juga mau coba-coba bersinar?" ejek Hui Pin. Mendadak tangan kirinya bergerak,
"crit", sejalur sinar perak yang kecil terus menyambar ke depan secepat kilat.
Lau Cing-hong terkejut, cepat ia tolak lengan kanan Bi Wi-gi sehingga murid itu terlempar ke samping dengan
sempoyongan, sedangkan sinar perak itu terus menyambar ke dada Lau Cing-hong.
Lantaran ingin melindungi sang guru, tanpa pikir Hiang Tay-lian terus menubruk maju. Maka terdengarlah
jeritannya yang ngeri, sinar perak yang berwujud jarum itu tepat menancap di tengah ulu hatinya. Kontan ia
roboh dan binasa.
Dengan tangan kirinya, Lau Cing-hong masih sempat merangkul tubuh muridnya itu. Ia coba periksa
pernapasannya dan ternyata sudah putus. Ia menoleh dan berkata kepada Ting Tiong, "Lo-loji, adalah Ko-sanpay
kalian yang lebih dulu membunuh muridku!"
"Benar," sahut Ting Tiong. "Memang kami yang turun tangan lebih dulu. Lalu kau mau apa?"
Mendadak Lau Cing-hong angkat jenazah Hiang Tay-lian terus dilemparkan ke arah Ting Tiong. Melihat tenaga
lemparannya itu, Ting Tiong tahu Lwekang Heng-san-pay memang mempunyai keistimewaannya sendiri,
apalagi Lau Cing-hong adalah tokoh terkemuka dari Heng-san-pay, tentu tenaga yang digunakan tidak boleh
dipandang enteng. Maka diam-diam ia pun menghimpun tenaga dan siap menyambut datangnya tubuh tak
bernyawa itu untuk kemudian akan dilemparkan kembali.
Segera ia balas menghormat dan menjawab, "Jauh-jauh Hui-suheng datang kemari, mengapa tidak sudi ikut
minum barang secawan arak, tapi malah sembunyi di atas rumah merasakan terik sinar matahari? Rasanya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ting-suheng dan Liok-suheng tentu juga sudah datang, boleh silakan keluar saja sekalian. Melulu menghadapi
orang she Lau, seorang Hui-suheng saja sudah jauh lebih dari cukup. Tapi untuk melayani para kesatria
sebanyak yang hadir di sini mungkin kawan Ko-san-pay yang datang ini masih kurang cukup."
Hui Pin tersenyum, katanya, "Buat apa Lau-suheng mengeluarkan kata-kata mengadu domba demikian?
Seumpama mesti berlawanan dengan Lau-suheng sendiri, Cayhe juga tidak mampu menahan gerakan 'Siaulok-
gan-sik' Lau-suheng barusan ini. Ko-san-pay sekali-kali tidak berani merecoki Heng-san-pay, lebih-lebih tak
berani memusuhi setiap kesatria mana pun yang hadir di sini ini. Soalnya urusan ini menyangkut keselamatan
jiwa beribu kawan-kawan Bu-lim, maka terpaksa kami harus minta agar Lau-suheng membatalkan maksud
akan 'cuci tangan di baskom emas' ini."
Kata-kata itu membuat para kesatria melengak heran semua. Mereka tidak habis mengerti ada hubungan
apakah antara acara "cuci tangan" yang dilakukan Lau Cing-hong dengan para orang Kangouw? Mengapa
dikatakan menyangkut keselamatan jiwa beribu kawan Bu-lim?
Benar juga. Lantas terdengar Lau Cing-hong menjawab, "Ucapan Hui-suheng tadi sungguh terlalu menjunjung
tinggi padaku. Padahal orang she Lau ini hanya seorang anggota Heng-san-pay biasa saja, sebaliknya tokohtokoh
Ngo-gak-kiam-pay tak terhitung banyaknya, apa artinya bertambah atau berkurang dengan seorang Lau
Cing-hong saja? Mengapa tindakanku ini dikatakan menyangkut jiwa ribuan orang kawan Bu-lim?"
"Ya, betul," demikian Ting-yat Suthay menyambung. "Soal Lau-hiante ingin Kim-bun-swe-jiu dan mau menjadi
pembesar tergolong keroco itu, untuk bicara terus terang sesungguhnya aku pun merasa hina. Cuma setiap
manusia mempunyai cita-citanya sendiri-sendiri, dia suka menjadi pembesar dan ingin rezeki nomplok, asalkan
tidak merugikan rakyat jelata, tidak merusak kesetiakawanan sesama orang Bu-lim, maka siapa pun tidak
dapat merintangi kebebasannya. Kukira Lau-hiante juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu sehingga
dapat membikin celaka kawan Bu-lim sedemikian banyaknya."
"Ting-yat Suthay," ujar Hui Pin, "engkau adalah orang beribadat, sudah tentu kurang paham akan tipu muslihat
orang luar. Hendak maklum, bilamana intrik besar ini sampai terlaksana, bukan saja banyak kawan Bu-lim
yang akan menjadi korban, bahkan juga rakyat jelata yang tak berdosa akan ikut mengalami bencana besar.
Coba kalian pikir sendiri. Lau-samya dari Heng-san-pay adalah seorang tokoh termasyhur, seorang kesatria
yang terkenal di Kangouw, masakah beliau sudi merendahkan diri untuk mengekor kepada kawanan pembesar
anjing yang korup itu? Harta benda Lau-samya sendiri sudah cukup kaya raya, masakan beliau masih kemaruk
harta dan ingin kedudukan segala? Sebab itulah sudah lama kami merasa sangsi, bahwasanya seorang tokoh
sebagai Lau-samya hanya sudi menjabat pangkat sedemikian kecilnya, hal ini benar-benar terlalu aneh dan
mencurigakan."
"Hahaha! Bagus, bagus!" demikian Lau Cing-hong tidak marah, berbalik ia tertawa. "Kiranya di balik persoalan
ini dikatakan masih mengandung suatu intrik besar yang maharahasia. Hm, Hui-suheng, jika kau mau
memfitnah hendaklah juga perlu mencari alasan yang masuk di akal. Sebenarnya aku tidak ingin
membicarakan urusan ini, sebab kalau kukatakan sesungguhnya akan membikin malu Heng-san-pay sendiri.
Tapi karena urusan sudah telanjur begini, terpaksa aku tidak dapat mengelakkan lagi, biarlah para kawan yang
hadir di sini sukalah menimbang dengan adil. Nah, Ting-suheng dan Liok-suheng boleh silakan keluar saja
sekalian!"
"Baik!" berbareng terdengar dari sebelah timur dan barat di atas rumah ada dua orang berseru. Bayangan
kuning berkelebat, tahu-tahu dua orang sudah berdiri di depan ruangan. Ginkang kedua orang ini serupa benar
dengan cara Hui Pin melompat turun tadi.
Yang berdiri di sebelah timur adalah seorang botak, botak dalam arti kata gundul kelimis tanpa seujung rambut
pun, sampai-sampai batok kepalanya kelihatan mengilap. Dia adalah tokoh kedua dari Ko-san-pay, namanya
Ting Tiong.
Sedangkan orang yang berdiri di sebelah barat adalah seorang kurus kering seperti orang sakit TBC, agak
bungkuk lagi pucat seperti orang yang sudah lebih seminggu kelaparan. Para kesatria mengenalnya sebagai
tokoh ketiga dalam Ko-san-pay yang terkenal, namanya Liok Pek, berjuluk Wi-bin Cukat atau si Cukat Liang
(Khong Beng) bermuka pucat, yaitu lantaran dia sangat banyak tipu akalnya.
Ting Tiong dan Liok Pek sangat termasyhur di dunia persilatan, maka para kesatria serentak berbangkit
menyambut kedatangan mereka berbareng saling mengucapkan salam hormat masing-masing. Tampaknya
tokoh Ko-san-pay yang datang ini makin lama makin banyak dan makin jempolan, agaknya urusan hari ini
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sangat penting, rasanya Lau Cing-hong pasti akan menghadapi kesukaran.
"Lau-hiante," demikian Ting-yat Suthay telah membuka suara, "kau jangan khawatir. Segala urusan di dunia ini
tak terlepas dari satu kata, yakni 'kebenaran'. Janganlah kau anggap orang lain berjumlah banyak, memangnya
para kawan kita dari Thay-san-pay, Hoa-san-pay dan Hing-san-pay hanya datang untuk gegares saja tanpa
bekerja?"
Di balik ucapannya itu, secara terang-terangan ia hendak menyatakan bilamana Ko-san-pay berani main
kekerasan dan mengandalkan orang banyak, maka Hing-san-pay yang dipimpinnya adalah pihak pertama yang
akan membela keadilan. Sedangkan Thian-bun Tojin, Gak Put-kun dan lain-lain juga takkan tinggal diam.
Tapi Lau Cing-hong hanya tersenyum getir saja. Katanya, "Sungguh memalukan kalau urusan ini diceritakan.
Sebenarnya persoalannya mengenai urusan dalam Heng-san-pay kami, tapi sekarang para kawan mesti ikutikut
khawatir, sungguh aku merasa tidak enak. Sekarang aku pun dapat memahami duduknya perkara.
Tentulah Bok-suheng kami juga telah mengadu biru kepada Co-suheng Bengcu tentang macam-macam
kesalahanku sehingga para Suheng dari Ko-san-pay lantas dikerahkan kemari untuk merecoki aku. Ya, ya, apa
mau dikata lagi, biarlah aku mengaku salah saja kepada Bok-suko."
Sorot mata Hui Pin yang tajam menyapu sekeliling kepada para hadirin. Kemudian ia berkata, "Kau bilang
urusan ini ada sangkut pautnya dengan Bok-taysiansing? Jika demikian silakan Bok-taysiansing keluar saja,
biar kita bicara secara terus terang."
Habis ucapannya, suasana di tengah sidang menjadi hening senyap. Sampai agak lama tetap tidak tertampak
munculnya "Siau-siang-ya-uh" Bok-taysiansing, ketua Heng-san-pay atau Suheng Lau Cing-hong yang
termasyhur itu.
Dengan tersenyum getir Lau Cing-hong lantas membuka suara pula, "Tentang pertengkaran antara kami
bersaudara seperguruan cukup diketahui oleh para kawan dari Bu-lim dan tidak perlu kututup-tutupi lagi. Para
sahabat tentu maklum bahwa dari warisan leluhur, maka keluargaku boleh dikata cukup berada, sebaliknya
Bok-suko kami adalah orang yang miskin. Sebenarnya saling membantu antarkawan adalah lazim, apalagi
antarsesama Suheng dan Sute. Namun berhubung urusan ini Bok-suko lantas sirik dan selamanya tak mau
menginjak lagi ke rumahku, sudah ada beberapa tahun kami Suheng dan Sute tidak berbicara dan tidak
bertemu, maka dengan sendirinya hari ini Bok-suko juga tidak mungkin hadir di sini. Adapun yang membuat
aku merasa penasaran adalah Co-bengcu hanya percaya kepada pengaduan sepihak saja lalu mengirimkan
para Suheng kemari untuk menghadapi aku, sampai-sampai anak-istriku juga ikut ditawan, bukankah hal ini
agak ... agak keterlaluan?"
"Angkat panjimu!" seru Hui Pin kepada Su Ting-tat.
Su Ting-tat mengiakan dan segera mengangkat panjinya dan berdiri di samping Hui Pin.
"Lau-suheng," kata Hui Pin dengan keren, "urusan hari ini sama sekali tiada hubungannya dengan Boktaysiansing,
ketua Heng-san-pay kalian, maka kau tidak perlu menyinggung tentang dirinya. Menurut perintah
Bengcu, kami diharuskan menyelidiki dan menanya kau dengan jelas, yaitu bagaimana persekongkolanmu
dengan Tonghong Put-pay dari Mo-kau, intrik apa yang telah kalian atur untuk menghadapi Ngo-gak-kiam-pay
kita dan para kawan dari Bu-lim?"
Kata-kata itu telah mengguncangkan perasaan setiap hadirin. Hendaklah maklum bahwa Mo-kau (agama sesat)
selalu memusuhi para kesatria dari kalangan Pek-to, permusuhan demikian sudah berlangsung selama ratusan
tahun dan tidak habis-habis, kedua belah pihak sama-sama banyak jatuh korban. Dari ribuan hadirin sekarang
paling sedikit ada separuhnya yang pernah diganggu oleh pihak Mo-kau, ada yang ayah-bundanya terbunuh,
ada gurunya terbinasa, maka bila menyebut agama iblis itu semuanya merasa dendam dan benci. Sebabnya
Ngo-gak, yaitu aliran lima gunung (Ko-san, Thay-san, Hoa-san, Heng-san dan Hing-san) berserikat justru
tujuan utamanya adalah untuk menghadapi Mo-kau.
Ilmu silat Mo-kau baik Lwekang maupun Gwakang mempunyai caranya yang khas, betapa pun hebat ilmu silat
pihak Ngo-gak sering juga kewalahan melawannya. Lebih-lebih ketua Mo-kau yang bernama Tonghong Putpay,
bahkan oleh orang diberi julukan sebagai "jago nomor satu selama seabad ini". Sesuai dengan namanya:
Put-pay (tidak terkalahkan), maka sejak dia mengetuai Mo-kau memang belum pernah dikalahkan oleh siapa
pun juga.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lantaran itulah demi para kesatria mendengar Hui Pin membongkar hubungan antara Lau Cing-hong dengan
pihak Mo-kau, apakah hal ini betul atau tidak, yang jelas setiap kesatria itu ikut berkepentingan dan
menyangkut keselamatan mereka pula. Maka dari itu rasa simpatik mereka kepada Lau Cing-hong semula
lantas lenyap seketika.
Maka terdengar Lau Cing-hong telah menjawab tuduhan Hui Pin tadi, "Selamanya Cayhe belum pernah melihat,
apalagi kenal kepada ketua Mo-kau Tonghong Put-pay, entah dengan dasar apa aku dituduh bersekongkol dan
berintrik dengan pihak Mo-kau?''
Hui Pin tidak menjawabnya, ia hanya melirik Samsuhengnya, yaitu Liok Pek.
Maka dengan suara perlahan-lahan, Liok Pek telah bicara, "Lau-suheng, apa yang kau katakan rasanya masih
banyak yang ketinggalan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Di dalam Mo-kau ada seorang Hou-hoat-tianglo
(sesepuh pembela agama) yang bernama Kik Yang. Entah Lau-suheng kenal atau tidak?"
Sejak mula Lau Cing-hong sebenarnya sangat tenang, tapi demi mendengar nama "Kik Yang", seketika air
mukanya berubah hebat. Namun bibirnya terkatup rapat-rapat dan tidak menjawab.
Ting Tiong, tokoh kedua Ko-san-pay yang berkepala botak kelimis itu sejak datang tadi belum bersuara
sepatah pun. Sekarang mendadak ia bertanya dengan suara bengis, "Kau kenal tidak kepada Kik Yang?"
Sedemikian keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga setiap orang sampai mendenging. Dalam
pandangan semua orang jejak Ting Tiong seakan-akan bertambah tinggi besar secara mendadak dan penuh
wibawa.
Namun Lau Cing-hong masih tetap tidak menjawab. Seketika perhatian beribu orang terpusat kepadanya,
dalam hati setiap orang sama merasa sikap Lau Cing-hong yang bungkam itu serupa saja dengan mengakui
pertanyaan Ting-Tiong secara diam-diam.
Selang agak lama barulah Lau Cing-hong mengangguk dan berkata, "Betul! Kik Yang, Kik-toako memang
kenalanku. Malahan bukan cuma kenalan sekadar kenalan, bahkan dia adalah sahabatku yang baik. Sahabatku
yang paling kental selama hidupku ini."
Seketika suasana sidang menjadi gempar. Para kesatria ramai membicarakan pengakuan Lau Cing-hong yang
terus terang dan di luar dugaan itu. Semula mereka menyangka paling-paling Lau Cing-hong hanya akan
mengaku bahwa Kik Yang memang betul pernah dikenalnya dan sekali-kali tidak menduga bahwa dia berani
menyatakan bahwa gembong Mo-kau itu justru adalah sahabatnya yang paling kental.
Hui Pin tampak tersenyum, katanya, "Baik sekali karena kau sendiri sudah mengaku. Seorang laki-laki sejati
berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Lau Cing-hong, sekarang Co-bengcu telah menentukan dua
jalan, bolehlah kau pilih sendiri."
Akan tetapi Lau Cing-hong seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Hui Pin itu, dengan tenang saja ia
duduk kembali, ia menuang secawan arak dan ditenggaknya habis.
Diam-diam para hadirin memuji dan merasa kagum terhadap sikap Lau Cing-hong yang tabah dan tenang itu.
Menghadapi saat segawat ini ternyata dia masih sanggup bersikap tenang tanpa sedikit memperlihatkan tandatanda
kecemasan.
Dengan suara lantang Hui Pin lantas berseru pula, "Menurut Co-bengcu, katanya Lau Cing-hong adalah tokoh
yang jarang terdapat di dalam Heng-san-pay, hanya karena sedikit kekhilafannya sehingga salah bergaul
dengan orang jahat, apabila mau insaf kembali, sudah tentu kaum kita akan suka memberi kesempatan
padanya untuk memperbaiki kesalahannya. Jikalau jalan ini yang kau pilih, maka Co-bengcu memberi batas
waktu sebulan agar kau membunuh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu, bawalah buah kepalanya
sebagai bukti, dengan demikian segala kesalahan yang lain takkan diusut lebih lanjut dan kita masih tetap
sahabat baik dan saudara dalam Ngo-gak-kiam-pay."
Para kesatria berpikir bahwa selamanya antara yang baik dan yang jahat tidak pernah hidup bersama. Orangorang
Mo-kau bilamana kepergok oleh tokoh-tokoh dari kalangan pendekar tentu lantas saling labrak matimatian.
Kalau sekarang Co-bengcu mengharuskan Lau Cing-hong membunuh dulu Kik-Yang untuk
membuktikan kesetiaannya, hal ini pun dapat dimengerti dan bukan sesuatu permintaan yang berlebihan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekilas air muka Lau Cing-hong bersenyum sedih, sahutnya kemudian, "Kik-toako dan aku begitu bertemu
lantas seperti sobat lama, lalu berhubungan dengan sangat akrab. Dia telah bertemu belasan kali dengan aku,
kami tidur satu ranjang dan bicara sepanjang malam, terkadang bila kami menyinggung tentang persengketaan
di antara berbagai golongan, Kik-toako selalu menghela napas dan merasa menyesal, beliau anggap
pertengkaran antara kedua pihak sesungguhnya tidak ada gunanya. Persahabatanku dengan Kik-toako hanya
mengutamakan saling bertukar pikiran tentang seni musik. Beliau adalah ahli menabuh kecapi dan aku suka
meniup seruling. Di kala bertemu sebagian besar waktu kami gunakan untuk menabuh musik kesukaan
masing-masing. Tentang ilmu silat selamanya kami tidak pernah membicarakannya."
Sampai di sini Lau Cing-hong tertampak tersenyum puas, lalu menyambung, "Boleh jadi para hadirin tidak
percaya, tapi aku anggap pada zaman ini dalam hal menabuh kecapi rasanya tiada orang lain yang sanggup
melebihi Kik-toako, sedangkan dalam hal meniup seruling rasanya juga tiada orang kedua yang melebihi Lau
Cing-hong. Meski Kik-toako adalah orang Mo-kau, tapi dari suara kecapinya aku cukup mengenal wataknya
yang baik dan budinya yang luhur, beliau benar-benar seorang manusia yang berperasaan. Sebab itulah Lau
Cing-hong benar-benar sangat kagum padanya dan biarpun bagaimana jadinya tidak nanti aku mau mencelakai
seorang jantan sebagai Kik-toako."
Para kesatria bertambah heran. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa persahabatan Lau Cing-hong
dengan Kik Yang itu dimulai dari seni musik. Melihat ucapan Lau Cing-hong yang sungguh-sungguh dan jujur
itu, mau tak mau mereka harus percaya kepada ceritanya itu. Di dunia Kangouw memang banyak orang-orang
kosen yang aneh-aneh tingkah lakunya, jika Lau Cing-hong keranjingan dalam hal musik juga tidak perlu
diherankan.
Bagi orang yang tahu akan seluk-beluk Heng-san-pay lantas teringat pula bahwa di antara tokoh-tokoh Hengsan-
pay dari dulu sampai sekarang memang banyak yang suka kepada seni musik. Misalnya pejabat ketua
mereka sekarang, yaitu Bok-taysiansing yang berjuluk "Siau-siang-ya-uh", beliau juga paling suka menabuh
rebab sehingga diberikan gelar "di dalam rebab tersimpan pedang, di tengah pedang bersuarakan rebab". Dari
itu bila persahabatan Lau Cing-hong dengan Kik Yang itu diawali dengan main musik, hal ini memang cukup
masuk di akal.
Hui Pin lantas berkata pula, "Tentang persahabatanmu dengan gembong Mo-kau itu dalam seni musik, hal ini
sudah diselidiki Co-bengcu dengan jelas. Kata Bengcu kita, setiap orang Mo-kau mempunyai tipu muslihat
tertentu. Mereka tahu sesudah perserikatan Ngo-gak-kiam-pay kita, pasti kekuatan kita akan bertambah besar
dan sukar dilawan oleh Mo-kau. Sebab itulah dengan segala daya upaya pihak Mo-kau berusaha hendak
memecah belah dan mengadu domba kita, segala akal licik dapat pula dijalankan oleh mereka. Terhadap kaum
muda kita sering pula mereka pancing dengan wanita cantik. Terhadap tokoh sebagai Lau-suheng yang
hidupnya serbakecukupan, mereka lantas berusaha mendekati kegemaranmu dalam hal seni musik dan tugas
ini telah diserahkan kepada Kik Yang. Untuk ini hendaklah Lau-suheng suka menggunakan pikiran secara
dingin, sudah berapa banyak saudara-saudara kita yang telah menjadi korban keganasan pihak Mo-kau?
Mengapa engkau kena dikelabui mereka dengan akal-akal licik itu dan tanpa sadar sedikit pun?"
"Benar, apa yang dikatakan Hui-sute memang tidak salah," demikian Ting-yat Suthay menimbrung.
"Ditakutinya Mo-kau bukanlah lantaran ilmu silat mereka yang keji, tapi adalah macam-macam tipu muslihat
mereka yang licik dan sukar diterka itu. Lau-sute, engkau adalah orang baik-baik, kalau tanpa sadar kena
ditipu juga tidak menjadi soal. Biarlah kita bersama-sama turun tangan dan membunuh gembong Mo-kau yang
bernama Kik Yang itu, maka segala urusan akan menjadi beres. Ngo-gak-kiam-pay kita selamanya senapas
dan sehaluan, jangan sekali-kali kena diadudombakan oleh Mo-kau sehingga saling bertengkar sendiri."
"Ya, Lau-sute, seorang laki-laki sejati bila tahu akan kesalahan sendiri dan mau memperbaiki, hal ini bukanlah
sesuatu yang mesti diributkan," ujar Thian-bun Tojin. "Asalkan sekali tebas kau binasakan gembong Mo-kau
she Kik itu, maka kawan-kawan dari dunia persilatan akan tetap memuji ketegasanmu sebagai seorang kesatria
yang bijaksana. Sebagai kawanmu kami pun akan ikut merasa bangga."
Lau Cing-hong ternyata tidak menjawabnya, sinar matanya beralih ke arah Gak Put-kun. Katanya, "Gak-toako,
engkau adalah seorang laki-laki yang bijaksana, para kawan-kawan terhormat dari Bu-lim yang hadir di sini
sama mendesak aku menjual kawan, kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"
"Lau-hiante," sahut Gak Put-kun, "jika benar-benar demi sahabat, sebagai kaum Bu-lim kita ini biarpun leher
putus demi membela kawan juga tidak menjadi soal. Namun gembong Mo-kau she Kik itu terang adalah
manusia palsu mulutnya, tapi hatinya berbisa. Dia sengaja mendekati Lau-hiante dan mengikuti kegemaranmu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dalam seni musik untuk melaksanakan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia demikian juga kau anggap
sebagai sahabat, bukankah kata-kata 'sahabat' akan ternoda? Manusia iblis demikian masakah kau anggap
sebagai sahabat karib segala?"
"Itu dia, apa yang diucapkan Gak-siansing memang tegas dan tepat," demikian orang banyak menanggapi.
"Kita harus dapat membedakan antara kawan dan lawan. Terhadap kawan kita memang harus setia, tapi
terhadap lawan kita tidak kenal ampun, apalagi bicara tentang setia kawan pula?"
Lau Cing-hong menghela napas. Ia tunggu sesudah suara orang banyak rada tenang kembali barulah bicara
dengan perlahan, "Sejak mulai bersahabat dengan Kik-toako sudah kuduga akan terjadi seperti hari ini. Melihat
gelagatnya akhir-akhir ini, kutaksir tidak lama lagi Ngo-gak-kiam-pay kita tentu akan terjadi suatu pertarungan
habis-habisan dengan Mo-kau. Di satu pihak adalah para saudara serikat sendiri, di lain pihak adalah sahabat
karib pula sehingga sukar bagiku untuk menentukan pihak mana harus dibantu. Lantaran itulah aku mencari
jalan dengan mengadakan upacara 'cuci tangan' seperti sekarang ini, maksudku adalah untuk mengumumkan
kepada para kawan kaum kita bahwa orang she Lau sejak kini telah mengundurkan diri dari dunia persilatan
dan tidak ikut campur kepada segala persengketaan orang Kangouw, harapanku adalah supaya dapat hidup
bebas tenteram dan tidak tersangkut di dalam permusuhan dan bunuh-membunuh. Tujuanku membeli suatu
pangkat sekecil ini juga hanya untuk menghindarkan diri dari kesukaran, padahal pangkat sekecil ini
sesungguhnya cuma membikin cemar namaku saja. Siapa duga Co-bengcu memang benar-benar mahasakti,
langkah yang kuambil ini toh tetap susah mengelabui dia."
Mendengar keterangannya ini barulah para kesatria mengerti duduknya perkara. Kiranya dia mengadakan
upacara "cuci tangan di baskom emas" ini sebenarnya mempunyai maksud tujuan sejauh ini. Pantas orang
heran masakah seorang tokoh terkemuka dari Heng-san-pay sudi menjabat pangkat sekecil itu.
Hui Pin juga saling pandang sekejap dengan kedua Suhengnya, yaitu Ting Tiong dan Liok Pek, mereka merasa
puas karena Ciangbun-suheng mereka telah berhasil mengetahui maksud tujuan Lau Cing-hong itu dan keburu
merintangi tepat pada waktunya.
Maka terdengar Lau Cing-hong sedang menyambung pula, "Tentang permusuhan antara Mo-kau dan golongan
kita memang sudah sangat lama dan berlarut-larut, siapa yang benar dan siapa yang salah juga sukar untuk
diceritakan. Yang kuharap hanyalah melepaskan diri dari persengketaan berdarah ini, selanjutnya biar hidup
tenteram sebagai rakyat yang patuh kepada undang-undang negara dan menghibur diri dengan meniup
seruling. Kurasa cita-citaku ini toh tidak sampai melanggar peraturan perguruan sendiri atau perjanjian antara
Ngo-gak-kiam-pay kita."
"Huh, enak saja kau bicara," demikian Hui Pin mendengus. "Jika setiap orang meniru kau, melarikan diri di saat
akan menghadapi musuh, maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai oleh kaum iblis. Kau sendiri ingin
melepaskan diri dari segala persoalan, tapi gembong Mo-kau she Kik itu apakah juga mau berlaku seperti kau?"
Cing-hong tersenyum, jawabnya, "Di hadapanku Kik-toako sudah bersumpah kepada cikal bakal Mo-kau
mereka untuk selanjutnya biarpun apa yang terjadi antara Mo-kau dengan kaum persilatan kita, maka Kiktoako
sama sekali tak mau ikut campur lagi. Asal orang tidak mengusiknya, maka dia pun takkan mengganggu
orang."
"Hahaha! Bagus amat istilah 'asal orang tidak mengusiknya, maka dia pun takkan mengganggu orang'," dengus
Hui Pin dengan tertawa. "Lalu bagaimana apabila kaum kita yang mengganggunya?"
"Kik-toako sudah menyatakan bahwa beliau akan mengalah sedapat mungkin," sahut Lau Cing-hong, "sekalikali
beliau takkan main menang-menangan dan bertempur dengan orang, bahkan akan berusaha sekuatnya
untuk menghindarkan salah paham kedua pihak. Kemarin juga Kik-toako telah mengirim berita padaku bahwa
murid Hoa-san-pay yang bernama Lenghou Tiong telah dilukai orang, jiwanya dalam keadaan bahaya, tapi
beliau telah memberi pertolongan seperlunya."
Ucapan ini kembali membikin gempar para hadirin, lebih-lebih bagi orang-orang Hoa-san-pay, Hing-san-pay,
dan Jing-sia-pay.
Dengan cepat Gak Leng-sian, itu putri Gak Put-kun, lantas bertanya, "Lau-susiok, di manakah Lenghou-suko
berada sekarang? Apakah ... apakah benar dia telah ditolong oleh ...oleh Locianpwe she Kik itu?"
"Jika begitu ucapan Kik-toako, rasanya tentu benar adanya," sahut Lau Cing-hong. "Untuk jelasnya boleh kau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tanya Lenghou-hiantit sendiri bila kelak kau bertemu dengan dia."
"Huh, buat apa mesti mengherankan hal-hal begitu?" ejek Hui Pin. "Orang-orang Mo-kau memang paling
pandai memecah belah dan mengadu domba, segala tipu akal yang licik dapat dilakukan oleh mereka. Dengan
segala daya upaya ia telah memelet murid Hoa-san-pay. Boleh jadi lantaran itu Lenghou Tiong menjadi merasa
terima kasih dan ingin membalas budi pertolongannya itu. Bukan mustahil sejak kini Ngo-gak-kiam-pay kita
telah bertambah lagi seorang pengkhianat."
Mendadak alis Lau Cing-hong menegak, tanyanya dengan angkuh, "Hui-suheng, kau mengatakan sejak kini
telah 'bertambah lagi' seorang pengkhianat. Apa maksudmu dengan kata-kata 'bertambah lagi' itu?"
"Siapa yang berbuat, dia harus tahu sendiri, apa perlu aku jelaskan pula?" sahut Hui Pin.
"Hm, jadi secara langsung kau menuduh orang she Lau ini telah menjadi pengkhianat?" tanya Lau Cing-hong.
"Aku berkawan dengan siapa saja adalah urusan pribadiku, orang luar tidak berhak untuk ikut campur.
Selamanya Lau Cing-hong tidak merasa mengkhianati kawan dan mendurhakai perguruan, maka istilah
'pengkhianat' itu biarlah aku aturkan kembali kepadamu."
Tadinya sikap Lau Cing-hong tampaknya ramah tamah sebagaimana layaknya seorang hartawan terhadap
tamunya, tapi sekarang mendadak sorot matanya memancarkan sinar yang tajam, sikapnya gagah berani.
Walaupun berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan toh dia tetap mengadu mulut dengan tidak kalah
tajamnya dengan Hui Pin, mau tak mau para hadirin merasa kagum juga terhadap ketabahannya.
"Jika demikian, jadi sudah terang Lau-suheng tidak mau memilih jalan pertama dan tegas-tegas tidak mau
membinasakan gembong she Kik dari Mo-kau itu?" Hui Pin menegas.
"Bila memang sudah ada perintah dari Co-bengcu, tiada halangannya sekarang juga Hui-suheng turun tangan
untuk membunuh segenap keluargaku," sahut Lau Cing-hong.
"Huh, jangan kau mentang-mentang ada sekian banyak kesatria-kesatria dari segenap penjuru sedang bertamu
di rumahmu ini dan mengira Ngo-gak-kiam-pay kami akan merasa jeri, lalu tidak berani mengadakan
pembersihan kepada kaum pengkhianat?" demikian jengek Hui Pin. Mendadak ia memberi tanda kepada Su
Ting-tat dan berseru, "Coba kemari!"
Su Ting-tat mengiakan sambil melangkah maju. Hui Pin mengambil panji pancawarna itu dari tangan Su Tingtat,
lalu diangkat tinggi-tinggi ke atas sambil berseru, "Dengarkanlah Lau Cing-hong! Atas perintah Co-bengcu,
jika kau tidak mau berjanji untuk membunuh Kik Yang di dalam waktu sebulan, maka terpaksa Ngo-gak-kiampay
harus segera mengadakan pembersihan di antara anggota-anggotanya sendiri untuk menghindarkan
bencana di kemudian hari. Babat rumput harus sampai akar-akarnya, sedikit pun tidak kenal ampun. Untuk ini
hendaklah kau pikirkan lagi semasak-masaknya!"
Lau Cing-hong tersenyum pedih, jawabnya, "Orang she Lau ini mencari sahabat, yang diutamakan adalah
kecocokan lahir batin satu sama lain, mana boleh sahabat sendiri dibunuh demi untuk menyelamatkan diri
sendiri? Jikalau Co-bengcu sudah pasti tidak dapat memaafkan, apa mau dikata lagi, terserahlah kepada
kebijaksanaan Co-bengcu saja, masakah orang she Lau yang tidak punya pengaruh apa-apa berani
melawannya? Memangnya segala apa sudah diatur oleh Ko-san-pay kalian, boleh jadi peti mati bagiku mungkin
juga sudah kalian sediakan. Kalau mau turun tangan boleh silakan saja, mau tunggu kapan lagi?"
Mendadak Hui Pin mengebaskan panji kebesarannya, serunya dengan suara lantang, "Para Suheng dan Sute
dari Thay-san-pay, Hoa-san-pay, Hing-san-pay dan Heng-san-pay, menurut pesan dari Co-bengcu, selamanya
antara Cing-pay dan Sia-pay (golongan baik dan jahat) tidak pernah hidup bersama. Mo-kau dan Ngo-gakkiam-
pay kita telah mengikat permusuhan sedalam lautan. Sekarang Lau Cing-hong dari Heng-san-pay
bersahabat dengan kaum penjahat dan menggabungkan diri kepada musuh, setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay
kita harus membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Co-bengcu ini hendaklah berdiri
ke sisi kiri."
Tertampaklah Thian-bun Tojin yang pertama-tama berbangkit dan berjalan ke sebelah kiri dengan langkah
lebar tanpa menoleh sekejap pun kepada Lau Cing-hong.
Kiranya gurunya Thian-bun Tojin dahulu telah ditewaskan oleh seorang gembong wanita dari Mo-kau. Sebab
itulah bencinya terhadap Mo-kau boleh dikata merasuk tulang sumsum. Maka begitu dia menyisihkan diri ke
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sebelah kiri, segera anak muridnya juga ikut ke sebelah sana.
Orang kedua yang berbangkit adalah Gak Put-kun, katanya, "Lau-hiante, asal kau manggut saja, maka orang
she Gak ini akan mewakilkan kau membereskan Kik Yang itu. Kau bilang seorang jantan jangan sekali-kali
mengkhianati sahabat. Apakah di dunia ini hanya Kik Yang seorang saja adalah sahabatmu? Apakah orangorang
Ngo-gak-kiam-pay kita dan para kesatria yang hadir di sini bukanlah sahabatmu? Ratusan, ribuan
sahabat dari kalangan persilatan ini begitu mendengar engkau hendak mengundurkan diri dari dunia persilatan,
serentak mereka lantas datang dari tempat jauh untuk mengucapkan selamat kepadamu dengan segala
ketulusan hati. Apakah tindakan mereka ini belum dapat dianggap sebagai sahabat? Sekalipun Kik Yang itu
mahir memetik kecapi, apa karena itu lalu jiwa segenap keluargamu serta persahabatan antara Ngo-gak-kiampay
kita dan kawan-kawan yang hadir di sini ini kurang berharga daripada persahabatan dengan Kik Yang
seorang?"
Perlahan-lahan Lau Cing-hong menggeleng kepala, sahutnya, "Gak-suheng, engkau adalah orang terpelajar
dan tentu tahu apa yang pantas dilakukan seorang laki-laki sejati dan apa yang tidak patut diperbuat.
Nasihatmu yang baik ini kuterima juga dengan rasa terima kasih. Akan tetapi orang lain memaksa aku
membunuh Kik-toako, hal ini sekali-kali tidak dapat kulakukan, sama halnya bila ada orang yang memaksa aku
membunuh engkau Gak-suheng atau salah seorang sahabat yang hadir ini, biarpun seluruh anggota keluargaku
tertimpa bencana juga takkan kulakukan. Kik-toako adalah sahabatku yang paling karib, hal ini sudah terang,
tapi Gak-suheng juga sahabat baikku. Dan bila Kik-toako sampai membuka suara bermaksud mencelakai salah
seorang sahabatku dari Ngo-gak-kiam-pay, maka perbuatannya itu tentu akan kupandang hina dan takkan
menganggapnya sebagai sahabat lagi."
Karena ucapan Lau Cing-hong ini sangat sungguh-sungguh dan tulus kedengarannya, mau tak mau tergerak
juga perasaan para kesatria. Maklumlah orang-orang persilatan paling mengutamakan budi setia antarkawan.
Sedemikian tegas Lau Cing-hong membela Kik Yang, diam-diam para kesatria merasa gegetun juga akan jiwa
luhur tokoh Heng-san-pay itu.
"Lau-hiante," ujar Gak Put-kun, "ucapanmu ini terang tidak betul. Lau-hiante mengutamakan setia kawan, hal
ini memang mengagumkan. Tapi untuk itu juga harus dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat,
antara yang betul dan yang salah. Selama ini Mo-kau telah banyak berbuat kejahatan, tidak sedikit orang
Kangouw yang baik-baik telah menjadi korban keganasannya, begitu pula rakyat jelata yang tak berdosa. Lauhiante
sendiri hanya karena merasa cocok dan sepaham dalam hal main musik lantas segenap jiwa anggota
keluargamu juga kau pertaruhkan untuknya. Rasanya engkau telah salah mengartikan 'setia kawan' yang kau
junjung tinggi itu."
Lau Cing-hong tersenyum hambar, katanya, "Gak-toako, engkau tidak suka seni suara, makanya tidak paham
maksudku yang mendalam. Hendaklah maklum bahwa dalam ucapan dan kata-kata, orang dapat berdusta dan
membohong, tapi suara musik, suara kecapi dan seruling adalah suara hati yang tidak dapat dipalsukan atau
dibikin-bikin. Kik-toako bersahabat dengan aku berdasarkan perpaduan suara kecapi dan seruling, jiwa kami
telah saling mengikat, aku bersedia menanggungnya dengan segenap jiwa anggota keluargaku bahwa Kiktoako
meski betul adalah orang Mo-kau, tapi beliau sedikit pun tidak berbau jahat seperti orang Mo-kau yang
lain."
Gak Put-kun menghela napas panjang, dia tidak bicara lagi terus berjalan ke sebelah Thian-bun Tojin. Segera
Lo Tek-nau, Gak Leng-sian, Liok Tay-yu dan lain-lain mengikuti jejak sang guru.
Sekarang bergilir atas diri Ting-yat Suthay, dengan tajam ia menatap Lau Cing-hong. Katanya, "Selanjutnya
aku tetap memanggil Lau-hiante padamu atau menyebut Lau Cing-hong saja?"
Lau Cing-hong tersenyum getir, sahutnya, "Jiwa orang she Lau ini hanya tergantung sekejap lagi, selanjutnya
Suthay tiada sempat memanggil padaku pula."
Ting-yat Suthay merangkap tangannya dan menyebut Buddha, lalu perlahan-lahan berjalan ke sebelah Gak
Put-kun dengan diikuti oleh anak muridnya.
"Urusan ini hanya menyangkut Lau Cing-hong seorang," sahut Hui Pin kemudian, "maka tiada sangkut pautnya
dengan murid-murid Heng-san-pay yang lain-lain. Para murid Heng-san-pay yang tidak ikut membantu
kejahatan dan mau sadar kembali boleh berdiri semua ke sebelah kiri."
Suasana di ruangan sidang menjadi sunyi senyap. Selang sejenak, seorang laki-laki setengah umur telah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berseru, "Lau-supek, maafkanlah kepada kami!"
Lalu ada belasan murid Heng-san-pay menyingkir dan berdiri di sebelah Ting-yat Suthay. Mereka adalah murid
keponakan Lau Cing-hong. Sedangkan tokoh Heng-san-pay angkatan tua yang sebaya dengan Lau Cing-hong
kali ini tidak ada yang datang.
"Murid keluarga Lau sendiri disilakan juga berdiri ke sisi kiri!" seru Hui Pin pula.
Tapi Hiang Tay-lian lantas berseru lantang, "Kami telah menerima budi besar dari perguruan, bilamana Suhu
ada kesukaran, sudah seharusnya kami ikut memikul tanggung jawab. Kini para murid keluarga Lau bertekad
sehidup semati dengan Suhu."
"Bagus! Bagus!" kata Lau Cing-hong dengan air mata bercucuran saking terharunya. "Tay-lian, dengan
ucapanmu ini kau sudah cukup berbakti kepada gurumu. Bolehlah kalian berdiri ke sebelah sana saja. Suhu
sendiri yang berbuat, sedikit pun tiada sangkut pautnya dengan kalian."
"Sret", mendadak Bi Wi-gi melolos pedang. Serunya, "Para murid keluarga Lau sudah tentu bukan tandingan
Ngo-gak-kiam-pay. Tapi urusan hari ini tiada pilihan lain kecuali menghadapi dengan kematian. Siapa yang
berani mengganggu guru kami boleh silakan membunuh dulu orang she Bi ini!"
Habis berkata ia terus berdiri di depan Lau Cing-hong dengan gagah berani.
"Huh, mutiara sebesar beras juga mau coba-coba bersinar?" ejek Hui Pin. Mendadak tangan kirinya bergerak,
"crit", sejalur sinar perak yang kecil terus menyambar ke depan secepat kilat.
Lau Cing-hong terkejut, cepat ia tolak lengan kanan Bi Wi-gi sehingga murid itu terlempar ke samping dengan
sempoyongan, sedangkan sinar perak itu terus menyambar ke dada Lau Cing-hong.
Lantaran ingin melindungi sang guru, tanpa pikir Hiang Tay-lian terus menubruk maju. Maka terdengarlah
jeritannya yang ngeri, sinar perak yang berwujud jarum itu tepat menancap di tengah ulu hatinya. Kontan ia
roboh dan binasa.
Dengan tangan kirinya, Lau Cing-hong masih sempat merangkul tubuh muridnya itu. Ia coba periksa
pernapasannya dan ternyata sudah putus. Ia menoleh dan berkata kepada Ting Tiong, "Lo-loji, adalah Ko-sanpay
kalian yang lebih dulu membunuh muridku!"
"Benar," sahut Ting Tiong. "Memang kami yang turun tangan lebih dulu. Lalu kau mau apa?"
Mendadak Lau Cing-hong angkat jenazah Hiang Tay-lian terus dilemparkan ke arah Ting Tiong. Melihat tenaga
lemparannya itu, Ting Tiong tahu Lwekang Heng-san-pay memang mempunyai keistimewaannya sendiri,
apalagi Lau Cing-hong adalah tokoh terkemuka dari Heng-san-pay, tentu tenaga yang digunakan tidak boleh
dipandang enteng. Maka diam-diam ia pun menghimpun tenaga dan siap menyambut datangnya tubuh tak
bernyawa itu untuk kemudian akan dilemparkan kembali.
Bab 23. Keluarga Lau Cing-hong Dibabat Habis oleh Ko-san-pay
Tak terduga gerakan Lau Cing-hong itu ternyata hanya pancingan belaka. Tampaknya jenazah itu dia
sorongkan ke depan tapi mendadak ia melompat ke samping, jenazah itu diangkat dan disodorkan kepada Hui
Pin.
Karena datangnya terlalu cepat lagi tak tersangka-sangka, terpaksa Hui Pin mengerahkan tenaga pada kedua
tangannya untuk menahan di depan dada. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, tahu-tahu bawah iga terasa
kesemutan. Nyata Hiat-to bagian iga telah kena ditutuk oleh Lau Cing-hong.
Sekali serangannya berhasil, secepat kilat tangan kirinya lantas digunakan untuk merampas panji pancawarna
dari tangan lawan, tangan kanan berbareng melolos pedang terus dipalangkan di depan tenggorokan Hui Pin.
Jenazah Hiang Tay-lian dibiarkannya jatuh ke lantai.
Beberapa gerakan dan perubahan yang teramat cepat ini, Hui Pin kena dibekuk dan panji kebesarannya kena
dirampas, setelah semuanya ini terjadi barulah para hadirin sadar akan apa yang sudah terjadi. Yang
digunakan Lau Cing-hong itu adalah kepandaian Heng-san-pay yang hebat, namanya "Pek-pian-jian-yu-capDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sah-sik" (tiga belas gerakan dengan beratus macam perubahan).
Sudah lama Thian-bun Tojin, Gak Put-kun dan tokoh-tokoh lain mendengar tentang ilmu silat andalan Hengsan-
pay itu, ada juga di antaranya pernah menyaksikan anak murid Heng-san-pay menggunakan kepandaian
itu, tapi kalau dibandingkan caranya Lau Cing-hong yang hebat tadi sungguh bedanya seperti langit dan bumi.
Kiranya ilmu "Pek-pian-jian-yu-cap-sah-sik" itu adalah ciptaan tokoh seorang angkatan tua Heng-san-pay di
masa yang lalu. Tokoh ini hidupnya dari main sulap di samping memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Sampai
hari tuanya, kepandaiannya main sulap makin tinggi, kepandaian ilmu silatnya juga makin lihai. Akhirnya dia
telah mencampurkan kedua macam ilmu kepandaiannya itu sehingga ilmu silatnya itu sedemikian lihainya
seakan-akan orang main sulap saja. Dasar sifat tokoh angkatan tua itu memang jenaka, maksudnya
menciptakan ilmu silat bergaya sulap itu sebenarnya hanya sekadar untuk permainan saja, tak tersangka
akhirnya ilmu silat yang hebat itu telah menjadi satu di antara tiga jenis ilmu andalan Heng-san-pay.
Sejak Lau Cing-hong mempelajari ilmu silat yang hebat itu belum pernah dia gunakan terhadap lawan. Siapa
duga sekarang untuk pertama kalinya dipraktikkan terhadap jago Ko-san-pay seperti Hui Pin yang
sesungguhnya tidak kalah lihai daripada Lau Cing-hong, tahu-tahu telah berhasil menawan musuh secara
menakjubkan.
Maka sambil tangan kiri mengangkat panji pancawarna ke atas, tangan kanan dengan pedang melintang di
depan tenggorokan Hui Pin, segera Lau Cing-hong berseru, "Ting-suheng dan Liok-suheng, secara sembrono
aku telah merampas panji pimpinan Ngo-gak kita, sesungguhnya aku pun tidak berani mengancam apa-apa
kepada kalian, maksudku hanya ingin mohon pengertian kalian saja."
Ting Tiong saling pandang sekejap dengan Liok Pek. Pikir mereka, "Hui-sute telah jatuh di bawah
cengkeramannya, terpaksa kita harus menurut kepada apa yang dia inginkan."
Segera Ting Tiong menjawab, "Apa yang hendak kau katakan lagi?"
"Mohon Ting-suheng berdua suka menyampaikan kepada Co-bengcu agar aku diperbolehkan mengasingkan diri
bersama segenap anggota keluargaku, selanjutnya aku takkan ikut sesuatu urusan dalam Bu-lim lagi,"
demikian kata Lau Cing-hong. "Adapun hubunganku dengan Kik-toako juga terbatas sampai di sini saja,
selanjutnya kami takkan bertemu pula, begitu pula dengan para sahabat yang hadir di sini ini. Aku akan
membawa segenap keluargaku pergi jauh dari sini, selama hidup ini takkan menginjak kembali ke tanah
Tionggoan sini."
Ting Tiong tampak ragu-ragu. Sahutnya kemudian, "Permintaanmu ini aku dan Liok-sute tidak berani
mengambil keputusan sendiri, tapi harus dilaporkan dulu kepada Co-bengcu dan minta petunjuknya."
"Di sini sudah hadir juga para Ciangbun dari Thay-san-pay dan Hoa-san-pay, Hing-san-pay juga diwakili oleh
Ting-yat Suthay, selain itu para kesatria yang terhormat juga boleh ikut menjadi saksi," ujar Lau Cing-hong
sambil memandang sekeliling kepada para hadirin, lalu menyambung, "Untuk ini aku pun ingin mohon bantuan
para sahabat agar suka mengingat rasa setia kawan, dapatlah kiranya menyelamatkan anggota keluargaku."
Ting-yat Suthay adalah seorang yang keras di luar tapi lunak di dalam. Meski wataknya berangasan, tapi
hatinya sebenarnya welas asih. Dia yang membuka suara lebih dulu, "Cara demikian memang paling baik
supaya tidak membuat susah kedua pihak. Ting-suheng, Liok-suheng, bolehlah kita menerima saja permintaan
Lau-hiante ini. Dia sudah berjanji takkan bergaul dengan orang Mo-kau, juga akan jauh meninggalkan
Tionggoan, itu berarti di dunia ini sudah tak terdapat lagi seorang Lau Cing-hong, buat apa kita mesti berkeras
akan melakukan pembunuhan pula?"
Thian-bun Tojin juga mengangguk, "Ya, cara demikian juga ada baiknya. Bagaimana pendapatmu, Gakhiante?"
"Jika Lau-hiante sudah menyatakan kesediaannya, sudah tentu kita dapat memercayainya," kata Gak Put-kun.
"Marilah, biarlah kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Lau-hiante, silakan kau
melepaskan Hui-suheng, marilah kita minum bersama satu cawan perdamaian. Besok pagi-pagi kau boleh
membawa anggota keluargamu dan meninggalkan Heng-san."
Tapi Liok Pek lantas menanggapi dengan suara dingin, "Jika ketua-ketua dari Thay-san dan Hoa-san-pay sudah
bicara demikian, apalagi Ting-yat Suthay juga menyokongnya dengan kuat, masakah kami berani membantah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kemauan orang banyak? Cuma saja Hui-sute kami saat ini berada di bawah ancaman Lau Cing-hong, jika kami
lantas menerima permintaannya begini saja, kelak orang Kangouw tentu akan mengatakan Ko-san-pay
terpaksa tunduk kepada Lau Cing-hong lantaran diancam dan tak berdaya. Jika hal ini tersiar, lalu ke mana
muka Ko-san-pay harus disembunyikan?"
"Lau-sute kan minta kemurahan hati kepada Ko-san-pay dan bukannya mengancam, dari mana alasan untuk
mengatakan Ko-san-pay terpaksa tunduk karena diancam?" ujar Ting-yat.
Liok Pek tidak membantah lagi, ia hanya mendengus. Lalu berseru, "Siap sedia, Tik Siu!"
Tik Siu, seorang murid Ko-san-pay yang berdiri di belakang putra sulung Lau Cing-hong lantas mengiakan
sambil menyodorkan pedangnya sehingga menempel di punggung Lau-kongcu.
Lalu dengan suara dingin Liok Pek berkata pula, "Lau Cing-hong, jika ada sesuatu permintaanmu, bolehlah kau
ikut kami ke Ko-san dan menemui Co-bengcu sendiri. Kami hanya bertindak berdasarkan perintah beliau dan
tidak dapat mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang lekas kau kembalikan panji kebesaran itu
dan melepaskan Hui-sute!"
Lau Cing-hong tersenyum pedih, katanya kepada putranya, "Nak, kau takut mati atau tidak?"
"Anak taat kepada kata-kata ayah, anak tidak takut!" sahut Lau-kongcu.
"Anak yang baik," kata Lau Cing-hong.
Mendadak Liok Pek membentak, "Bunuh saja!"
Segera Tik Siu mendorong pedangnya ke depan sehingga menembus punggung Lau-kongcu. Waktu pedang
dicabut kembali, kontan Lau-kongcu jatuh tersungkur, darah segar muncrat keluar dari lubang lukanya.
Nyonya Lau menjerit sambil menubruk ke atas mayat putranya.
"Bunuh!" bentak pula Liok Pek.
Kembali Tik Siu mengayun pedangnya, sekali tusuk, punggung Lau-hujin tertembus pula.
Ting-yat Suthay menjadi gusar. "Binatang!" dampratnya sambil melontarkan pukulan ke arah Tik Siu.
Namun Ting Tiong keburu mengadang di depannya dan melontarkan pukulan juga. Kedua telapak tangan
beradu. Rupanya tenaga Ting-yat kalah kuat, dia tergetar mundur dua-tiga tindak. Dada terasa sesak, darah
hampir-hampir menyembur keluar dari mulutnya. Namun sedapat mungkin ia tahan sehingga darah itu tersurut
kembali ke dalam perut.
"Maaf!" kata Ting Tiong sembari tersenyum.
Sebenarnya Ting-yat memang tidak mahir dalam hal tenaga pukulan, apalagi yang ia serang tadi adalah Tik Siu
yang terhitung kaum muda sehingga dia tidak mengeluarkan tenaga sepenuhnya. Tak terduga Ting Tiong
mendadak menyambut pukulannya itu dengan sepenuh tenaga. Keruan Ting-yat tidak keburu mengerahkan
tenaga lagi ketika kedua tangan beradu sehingga dia kecundang. Saking gusarnya ia bermaksud menyerang
pula. Tapi waktu coba mengerahkan tenaga, terasalah tenaga dalam sukar dikerahkan lagi, perut rasanya
disayat-sayat. Ia tahu sudah terluka dalam dan tidak mungkin bertempur pula. Segera ia memberi tanda
kepada anak muridnya sambil berseru dengan gusar, "Kita berangkat semua!"
Lalu dengan langkah lebar ia mendahului berjalan pergi. Para Nikoh beramai-ramai lantas mengikuti jejak Tingyat.
"Bunuh pula!" tiba-tiba Liok Pek membentak lagi.
Segera dua murid Ko-san-pay menyorong pedang masing-masing yang memang sudah mengancam di
punggung tawanannya, kontan dua murid Lau Cing-hong terbinasa lagi.
"Dengarkanlah para murid keluarga Lau!" seru Liok Pek, "jika kalian ingin hidup, lekas kalian berlutut dan minta
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ampun, kalian harus mencela perbuatan Lau Cing-hong yang salah. Dengan demikian kalian akan bebas dari
kematian!"
"Bangsat keparat! Kalian jauh lebih ganas daripada orang-orang Mo-kau!" damprat putri Lau Cing-hong yang
bernama Lau Jing.
"Bunuh!" bentak Liok Pek.
Tanpa bicara lagi Ban Tay-peng lantas angkat pedangnya terus membacok. Kontan tubuh Lau Jing tertebas
menjadi dua dari bahu kanan menurun ke pinggang sebelah kiri.
Dalam pada itu murid-murid Ko-san-pay yang lain seperti Su Ting-tat dan lain-lain juga tidak tinggal diam.
Satu per satu mereka pun membunuh murid-murid Heng-san-pay yang berada di dalam cengkeraman mereka
tadi.
Melihat pembunuhan secara tak kenal ampun demikian, biarpun para hadirin yang hidupnya juga selalu
bergelimangan di ujung senjata juga merasa ngeri. Ada beberapa orang tokoh angkatan tua mestinya
bermaksud melerai, namun cara turun tangan jago-jago Ko-san-pay itu benar-benar teramat cepat. Baru
sekejap saja di ruangan sidang itu mayat sudah bergelimpangan.
Bila diingat bahwa selamanya antara golongan yang baik dan yang jahat tidak pernah berdiri bersama,
walaupun tindakan Ko-san-pay ini dirasakan agak terlalu ganas, namun tujuannya bukanlah menuntut balas
kepada Lau Cing-hong, tapi adalah terhadap Mo-kau yang merupakan musuh bebuyutan, maka apa yang
dilakukan orang-orang Ko-san-pay itu pun dapatlah dimengerti. Pula waktu itu Ko-san-pay sudah menguasai
keadaan, sampai-sampai Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay juga terpaksa tinggal pergi tanpa bisa berbuat
apa-apa. Tokoh lain seperti Thian-bun Tojin, Gak Put-kun juga tinggal diam saja, dengan sendirinya orang luar
lebih-lebih tidak berani ikut campur mengenai urusan dalam Ngo-gak-kiam-pay mereka itu.
Dalam pada itu, sesudah terjadi penyembelihan demikian, anak murid Lau Cing-hong sudah terbunuh semua
dan hanya tinggal seorang putra kesayangan Lau Cing-hong yang paling kecil. Namanya Lau Kin.
Usia Lau Kin baru saja 15 tahun. Wajahnya cakap otaknya cerdas. Sebelumnya Liok Pek sudah menyelidiki
keluarga Lau Cing-hong dengan jelas bahwa bocah ini paling disayang oleh ayahnya. Maka sekarang ia pun
hendak menundukkan Lau Cing-hong melalui bocah itu. Segera ia berkata kepada Su Ting-tat, "Coba kau tanya
bocah itu mau minta ampun atau tidak? Jika tidak, potong saja hidungnya, lalu daun kupingnya, kemudian
cungkil biji matanya, biarkan dia tahu rasa."
Su Ting-tat mengiakan. Lalu berpaling kepada Lau Kin, tanyanya, "Hayo, kau mau minta ampun atau tidak!"
Wajah Lau Kin tampak pucat dan badannya gemetaran.
"Anak yang baik," kata Lau Cing-hong. "Kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Kalau mati biar mati,
kenapa mesti takut?"
"Akan tetapi ... akan tetapi mereka ... mereka hen ... hendak memotong hidungku dan ... dan mencungkil
mataku, Ayah ...." sahut Lau Kin dengan gemetar.
"Hahahaha!" Lau Cing-hong tertawa. "Keadaan sudah begini, masakah kau masih berharap akan diampuni oleh
mereka?"
"Ayah, kau ... kau boleh me ... menyanggupi akan mem ... membunuh paman Kik ...."
"Kentut!" damprat Lau Cing-hong sebelum putranya bicara lebih lanjut. "Kau bilang apa, binatang?"
Dalam pada itu Su Ting-tat sengaja mengangkat pedangnya dan dibolak-balik di depan hidung Lau Kin sambil
mengancam, "Lekas berlutut dan minta ampun, cah! Kalau tidak segera kupotong hidungmu! Satu ... dua ...."
Belum lagi dia mengucapkan "tiga", cepat sekali Lau Kin sudah tekuk lutut dan memohon, "Jang ... jangan
membunuh aku ...."
"Hahahaha! Untuk mengampuni kau juga boleh asalkan kau mesti mencela kesalahan Lau Cing-hong di depan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
para kesatria yang hadir di sini," seru Liok Pek dengan tertawa.
Dengan ketakutan Lau Kin berpaling ke arah ayahnya, sinar matanya penuh rasa mohon dikasihani. Lau Cinghong
tetap tenang-tenang saja sejak tadi walaupun menyaksikan anak istrinya terbunuh. Tapi sekarang dia
benar-benar sudah teramat gusar. Bentaknya, "Binatang cilik, apakah kau tidak punya perasaan? Lihatlah
bagaimana keadaan ibumu dan kakak-kakakmu!"
Tapi bukannya menjadi tabah, sebaliknya Lau Kin tambah takut demi memandang jenazah ibu dan para
kakaknya yang bergelimangan darah itu. Apalagi pedang Su Ting-tat masih terus berkelebatan di depan
hidungnya. Segera ia memohon kepada Liok Pek, "Aku mohon ... mohon dengan sangat, sudilah kau meng ...
mengampuni ayahku."
"Ayahmu telah bersekongkol dengan orang jahat dari Mo-kau, kau bilang betul tidak perbuatannya itu?" tanya
Liok Pek.
"Ti ... tidak betul!" sahut Lau Kin dengan suara lemah.
"Orang demikian pantas dibunuh atau tidak?" tanya Liok Pek lagi.
Lau Kin tidak berani menjawab, kepalanya menunduk ke bawah.
"Bocah ini tidak mau bicara, boleh kau bunuh dia saja," kata Liok Pek.
Su Ting-tat mengiakan. Ia tahu apa yang dikatakan sang paman guru itu hanya untuk menggertak saja, maka
ia pun pura-pura angkat pedangnya seperti akan menebas ke bawah.
Lau Kin menjadi ketakutan dan cepat-cepat menjawab, "Ya, pan ... pantas dibunuh!"
"Bagus!" kata Liok Pek dengan tertawa. "Sejak kini kau bukan lagi orang Heng-san-pay dan juga bukan
putranya Lau Cing-hong. Aku mengampuni jiwamu."
Rupanya saking takutnya sehingga kedua kaki Lau Kin terasa lemas semua dan tidak kuat berbangkit.
Melihat tingkah laku bocah itu, para kesatria merasa gemas dan memandang hina padanya. Bahkan ada yang
terus berpaling ke arah lain dan tidak sudi memandangnya.
Tiba-tiba Lau Cing-hong menghela napas panjang, katanya, "Orang she Liok, kaulah yang menang!"
Mendadak ia lemparkan panji pancawarna itu kepada Liok Pek, berbareng kaki kiri mendepak sehingga Hui Pin
jatuh terguling. Lalu serunya pula, "Seorang she Lau sudah mengaku kalah, rasanya juga tidak perlu banyak
menimbulkan korban lagi."
Segera ia palangkan pedang sendiri terus hendak menggorok leher untuk membunuh diri.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari atas emper rumah melayang turun sesosok bayangan hitam dengan
gerakan secepat kilat. Sekali tangannya menjulur, tahu-tahu pergelangan tangan Lau Cing-hong sudah
terpegang. Terdengar orang itu membentak, "Seorang laki-laki harus membalas dendam, untuk mana sepuluh
tahun lagi juga belum terlambat. Pergi!"
Berbareng orang itu terus menyeret Lau Cing-hong dan berlari ke luar.
"Kik-toako!" seru Lau Cing-hong.
Kiranya orang berbaju hitam itu memang betul adalah Kik Yang, gembong Mo-kau yang lihai.
"Ya, jangan banyak bicara dulu!" sahut Kik Yang sambil mempercepat langkahnya.
Tapi baru beberapa tindak saja Ting Tiong, Liok Pek dan Hui Pin bertiga sudah lantas menyerang serentak.
Enam tangan mereka telah memukul sekaligus ke punggung Kik Yang dan Lau Cing-hong berdua.
Kik Yang tahu lawan terlalu banyak, jika sampai terlibat dalam pertempuran tentu sukar lagi untuk meloloskan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
diri. Segera ia membentak kepada Lau Cing-hong, "Lekas lari!"
Sekuatnya ia mendorong Lau Cing-hong, berbareng ia himpun segenap tenaga ke bagian punggung untuk
menahan pukulan Ting Tiong, Liok Pek dan Hui Pin bertiga. Tanpa ampun lagi, "blang", mencelatlah ia keluar
dengan muntah darah. Namun dia masih sempat mengayun tangannya ke belakang, secomot jarum hitam
bertaburan sebagai hujan menghambur ke arah musuh.
"Awas, Hek-hiat-sin-ciam!" seru Ting Tiong. Cepat ia sendiri berkelit ke samping.
Para kesatria menjadi kaget juga demi mendengar nama Hek-hiat-sin-ciam (jarum sakti darah hitam).
Beramai-ramai mereka berusaha menghindarkan diri dari sasaran jarum berbisa yang lihai itu. Walaupun
demikian tidak urung terdengar juga jeritan belasan orang yang sudah terkena jarum sakti itu.
Rupanya ruangan sidang itu terlalu penuh sesak dengan hadirin, datangnya hujan jarum hitam itu terlalu cepat
juga sehingga tidak sedikit orang yang terkena jarum itu. Di tengah ribut-ribut itulah Kik Yang dan Lau Cinghong
sudah melarikan diri.
Kembali mengenai Lenghou Tiong yang terluka parah itu. Sesudah dibubuhi obat mujarab dari Hing-san-pay
yang diberikan oleh Gi-lim, ditambah usianya yang muda dan tenaga kuat, Lwekangnya memang juga tinggi,
maka sesudah sehari dua malam mengaso di tepi air terjun itu, lambat laun lukanya sudah dapat rapat
kembali. Selama sehari dua malam itu, bila perutnya lapar selalu menggunakan semangka sebagai makanan.
Pernah juga Lenghou Tiong minta Gi-lim pergi berburu kelinci atau menangkap ikan untuk bahan makanan.
Tapi betapa pun juga Gi-lim tidak mau. Dia adalah seorang Nikoh yang alim dan taat kepada agamanya,
disuruh melanggar pantangan membunuh makhluk berjiwa sudah tentu dia tidak mau. Apalagi dia menganggap
Lenghou Tiong yang sudah payah itu kini dapat diselamatkan adalah berkat lindungan Buddha, kalau bisa dia
ingin bayar kaul untuk menyatakan terima kasihnya kepada Buddha.
Malam hari itu mereka duduk termenung sambil bersandarkan tebing, di udara banyak kunang-kunang yang
berkelip-kelip terbang kian kemari.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berkata, "Musim panas tahun yang lalu aku pernah menangkap beribu-ribu kunangkunang
itu, kumasukkan di dalam beberapa kantongan dan kugantung di dalam kamar. Sinarnya yang
berkelip-kelip itu sungguh sangat menarik."
"Sumoaymu yang suruh kau tangkap kunang-kunang itu, bukan?" tanya Gi-lim.
"Kau sungguh pintar, sekali tebak lantas kena," sahut Lenghou Tiong. "Dari mana kau mendapat tahu Sumoay
yang suruh aku menangkap kunang-kunang itu?"
"Watakmu tidak sabaran, juga kau bukan anak kecil, masakah kau sedemikian tekun mau menangkap beriburibu
kunang-kunang untuk mainan?" ujar Gi-lim dengan tersenyum. Sesudah merandek sejenak, lalu ia tanya
pula, "Digantung di dalam kamar untuk apa?"
"Sumoay bilang dengan sinar kunang-kunang yang berkelap-kelip itu menjadi mirip beribu-ribu bintang di
langit," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Cuma sayang, kunang-kunang itu pada esok paginya sudah mati
semua."
"Hah? Beribu-ribu kunang-kunang itu telah mati semua? Wah, mengapa kalian ... kalian sedemikian ...."
"Sedemikian kejam bukan, katamu?" Lenghou Tiong memotong dengan tertawa. "Ai, kau memang berhati
welas asih. Padahal tanpa diganggu juga dua-tiga hari kemudian kunang-kunang itu akan mati sendiri."
Gi-lim terdiam, sampai agak lama ia tidak tahu apa yang harus dibicarakan lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba di angkasa sebelah kiri sana melayang lewat sebuah bintang beralih sehingga
menimbulkan sejalur sinar yang panjang.
Kata Gi-lim, "Menurut cerita Enci Gi-ceng, bila ada orang melihat bintang jatuh, jika segera membuat satu
ikatan di tali pinggang sendiri sambil memikirkan suatu nazar, maka nazarnya ini tentu akan terkabul. Apakah
betul cerita demikian ini?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Entahlah, aku pun tak tahu," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tapi tiada jeleknya kita coba-coba.
Hayolah lekas siap. Mungkin tangan kita kalah cepat daripada melayangnya sinar bintang beralih itu."
Habis berkata ia terus pegang tali pinggangnya sendiri dan siap untuk membikin ikatan.
Gi-lim juga lantas memegang tali pinggang sendiri. Tapi ia terus memandangi langit dengan termenungmenung.
Ia tidak tahu nazar apa yang diharapkannya. Ia coba memandang sekejap pada Lenghou Tiong.
Mendadak mukanya bersemu merah dan lekas-lekas berpaling pula ke arah lain.
Pada saat itu mendadak ada bintang beralih lagi, jalur sinar bintang jatuh itu lebih panjang daripada tadi. "Itu
dia, lekas mengikat tali pinggangmu!" seru Lenghou Tiong.
Akan tetapi pikiran Gi-lim terasa kusut. Dalam lubuk hatinya yang dalam lapat-lapat ia memang mempunyai
suatu keinginan, suatu harapan. Akan tetapi harapan ini sesungguhnya tidak berani diharapkan olehnya,
jangankan lagi dikemukakan sebagai suatu permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Seketika itu ia merasa
takut tak terkatakan, tapi juga merasa girang dan bahagia tak terlukiskan.
Ia dengar Lenghou Tiong sedang bertanya pula, "Bagaimana, sudah kau pikirkan nazarmu belum?"
Diam-diam Gi-lim bertanya kepada dirinya sendiri, "Ya, nazar apa yang kuinginkan?"
Dalam pada itu sebuah bintang beralih kembali melayang lewat pula di angkasa raya yang luas. Tapi dia hanya
mendongak menyaksikannya dengan termangu-mangu.
"Eh, mengapa kau tidak menyatakan nazarmu?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa. "Ah, biarpun tak kau
katakan juga aku dapat menerkanya. Coba ya kukatakan?"
"Jangan kau katakan," cepat Gi-lim mencegah.
"Apa sih halangannya? Biar kutebak tiga kali saja, coba tepat atau tidak."
"Tidak, jangan kau katakan. Jika kau bilang begitu lagi segera kutinggal pergi!" seru Gi-lim sambil berbangkit
berdiri.
"Hahaha!" Lenghou Tiong tertawa. "Baiklah, aku takkan mengatakan. Seumpama dalam batinmu ingin menjadi
ketua Hing-san-pay kalian toh juga tidak perlu malu."
Gi-lim melengak, "Mengapa dia mengira aku ingin menjadi ketua Hing-san-pay? Padahal selamanya aku tak
pernah berpikir demikian."
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara "crang-cring", seperti suara orang memetik kecapi.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Gi-lim, mereka sama-sama heran mengapa di tengah pegunungan sunyi
demikian ada orang main musik.
Suara kecapi itu sangat enak didengar. Selang sejenak, tiba-tiba di tengah suara kecapi itu terseling pula
beberapa kali suara seruling yang halus sehingga paduan suara kedua jenis alat musik itu semakin menarik.
Terdengar pula suara kecapi dan seruling itu seakan-akan sedang sahut-menyahut, yang satu tanya dan yang
lain menjawab. Berbareng suara itu pun makin mendekat.
Lenghou Tiong membisiki Gi-lim, "Suara musik ini sangat aneh. Mungkin takkan menguntungkan kita. Bila
terjadi apa-apa, betapa pun juga kau janganlah bersuara."
Gi-lim mengangguk tanda mengerti.
Dalam pada itu suara kecapi terdengar semakin meninggi nadanya, sebaliknya suara seruling lantas rendah
malah. Namun suara seruling yang rendah itu tidak terputus, hanya lirih dan sayup tertiup angin, bahkan
makin mengikat sukma yang mendengar.
Tertampaklah dari balik batu gunung sana telah muncul tiga sosok bayangan orang. Waktu itu sang dewi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
malam kebetulan teraling-aling oleh gunung yang menjulang tinggi sehingga samar-samar saja. Hanya
kelihatan dua orang di antaranya lebih tinggi dan seorang jauh lebih pendek. Yang tinggi itu adalah dua orang
laki-laki dan yang pendek adalah wanita. Kedua orang laki-laki itu lantas duduk bersandarkan batu, yang
seorang memetik kecapi dan yang lain meniup seruling. Wanita itu tampak berdiri di sebelah orang yang
menabuh kecapi.
Lekas-lekas Lenghou Tiong mengerutkan kembali kepalanya, ia tidak berani mengintip lagi, khawatir kalau
diketahui ketiga orang itu. Didengarnya paduan suara kecapi dan seruling itu sangat merdu dengan irama yang
cocok satu sama lain.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Suara air terjun di sebelah gunung ini sangat gemuruh, tapi toh tidak
menghanyutkan suara kecapi dan seruling yang halus ini. Agaknya kedua orang yang membunyikan kecapi dan
seruling ini memiliki Lwekang yang amat kuat."
Sejenak kemudian, tiba-tiba irama kecapi itu berubah keras dan cepat seperti lagu mars di medan perang.
Terkadang diseling sekali dua kali suara yang melengking tinggi sehingga membikin hati yang mendengar ikut
terguncang. Sebaliknya suara seruling itu tetap kalem dan halus saja.
Lewat sebentar pula, tiba-tiba irama kecapi juga berubah kalem, suara seruling terkadang tinggi dan terkadang
rendah. Sekonyong-konyong suara kecapi dan seruling berubah serentak, seakan-akan ada beberapa orang
sedang memetik kecapi dan meniup seruling berbareng.
Lenghou Tiong terheran-heran. "Mengapa mendadak datang orang sebanyak ini?"
Waktu ia mengintip pula ke sana, dilihatnya di samping batu itu tetap ketiga orang saja. Kiranya pemain kecapi
dan seruling itulah yang luar biasa kepandaiannya sehingga suara musik mereka berubah sedemikian rupa
seakan-akan beberapa orang memainkan sejenis alat musik sekaligus, tapi mengeluarkan nada yang berbedabeda.
Rupanya suara kecapi dan seruling itu mempunyai daya pengaruh begitu besar sehingga Lenghou Tiong tidak
bisa tenang lagi, darahnya terasa bergolak, tanpa merasa ia lantas hendak berbangkit.
Setelah mendengarkan pula sejenak, kembali suara kecapi dan seruling itu berubah. Sekarang irama seruling
itu berubah menjadi nada dasar, sedangkan suara kecapi hanya sebagai pengiring saja, cuma suara kecapi
makin lama makin tinggi.
Entah mengapa, suara seruling itu tiba-tiba menimbulkan semacam perasaan pilu pada Lenghou Tiong, apa
sebabnya ia sendiri tidak tahu. Waktu ia melirik Gi-lim, tertampak Nikoh jelita itu bahkan sedang meneteskan
air mata.
Sekonyong-konyong terdengar suara "cring" yang mengagetkan, senar kecapi telah putus beberapa jalur.
Suara kecapi seketika berhenti, begitu pula suara seruling juga lantas lenyap. Suasana pegunungan itu kembali
sunyi senyap, hanya sang dewi malam menghias di angkasa raya nan biru kelam.
Lalu terdengar suara seorang sedang berkata, "Lau-hiante, kalau hari ini kita harus tewas di sini, rupanya ini
pun sudah takdir Ilahi. Hanya saja tadi aku tidak lekas-lekas turun tangan sehingga membikin segenap anggota
keluargamu menjadi korban, sungguh aku merasa tidak enak hati."
"Kita adalah sahabat yang sama-sama kenal akan perasaan masing-masing, buat apa mesti omong tentang
hal-hal demikian," sahut seorang yang lain.
Dari suaranya segera Gi-lim dapat mengenal siapa dia. Ia membisiki Lenghou Tiong, "Itulah Lau-susiok, Lau
Cing-hong."
Karena mereka tidak tahu peristiwa berdarah yang terjadi di rumah Lau Cing-hong, maka mereka menjadi
heran melihat malam-malam begini Lau Cing-hong datang ke tempat demikian. Lebih-lebih tentang "kita akan
tewas hari ini" dan "segenap anggota keluargamu ikut menjadi korban" yang diucapkan kedua orang itu,
sungguh membuat Lenghou Tiong dan Gi-lim merasa terperanjat dan bingung.
Dalam pada itu terdengar orang pertama tadi telah berkata pula, "Lau-hiante, dari suara serulingmu tadi,
agaknya kau masih menyesal. Apa barangkali menyesali putramu si Lau Kin yang takut mati dan membikin
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
malu nama baikmu itu?"
"Ya, dugaan Kik-toako memang tidak salah," sahut Lau Cing-hong. "Akulah yang salah karena biasanya terlalu
memanjakan anak itu dan kurang memberi bimbingan. Sungguh tak terduga bocah itu ternyata tidak punya
tulang dan berjiwa pengecut."
Orang pertama tadi memang betul adalah Kik Yang, itu gembong Mo-kau yang telah dapat menyelamatkan Lau
Cing-hong. Katanya pula, "Berjiwa jantan atau pengecut, akhirnya toh mesti masuk liang kubur juga, apa sih
bedanya? Sejak tadi aku sudah mengawasi di atas rumah dan seharusnya turun tangan secepatnya. Cuma aku
menduga Lau-hiante mungkin tidak sudi membela diriku dengan risiko bermusuhan dengan Ngo-gak-kiam-pay
sendiri, makanya aku tidak lantas turun tangan. Siapa duga Bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay yang tersohor itu
ternyata sedemikian keji caranya."
Untuk sejenak Lau Cing-hong termenung, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Orang seperti
mereka itu masakah tahu betapa akrab dan luhurnya persahabatan kita melalui seni musik? Mereka menduga
secara umum dan menyangka persahabatan kita pasti takkan menguntungkan para kesatria dari Ngo-gakkiam-
pay. Tapi, ya, tak dapat menyalahkan mereka juga kalau mereka kurang paham akan persahabatan kita.
Kik-toako, apakah kau punya Tay-cui-hiat terluka sehingga urat jantungmu tergetar luka?"
"Betul," kata Kik Yang. "Tay-ko-yang-jiu dari Ko-san-pay memang benar sangat lihai, sama sekali tak terduga
bahwa selain punggungku merasa gempuran mereka tadi, ternyata tenaga dalam mereka yang hebat itu masih
menggetar urat jantungku juga sehingga putus. Tahu begini, secomot Hek-hiat-sin-ciam tadi tidak perlu
kutaburkan lagi agar tidak banyak melukai orang tak berdosa."
Mendengar kata-kata "Hek-hiat-sin-ciam", hati Lenghou Tiong tergetar. Pikirnya, "Apa barangkali orang ini
adalah gembong Mo-kau? Mengapa Lau-susiok bisa bersahabat dengan dia?"
Dalam pada itu terdengar Lau Cing-hong telah menjawab dengan tersenyum, "Orang tak berdosa ikut menjadi
korban memang tidak perlu. Tapi lantaran itu kita berdua menjadi ada kesempatan untuk membawakan suatu
lagu bersama, selanjutnya di dunia ini takkan terdapat lagi paduan suara kecapi dan seruling seperti kita ini."
"Benar," kata Kik Yang. "Dari zaman dahulu kala sampai kini boleh jadi tiada yang dapat membandingi lagu
'Siau-go-kangouw' (Hina Kelana) kita ini."
Dan sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas pula.
Segera Lau Cing-hong bertanya, "Sebab apalagi Kik-toako menghela napas? Ah, tahulah aku, tentu engkau
merasa khawatir bagi Fifi."
Hati Gi-lim tergerak, "Fifi? Apakah Fifi si dara cilik itu?"
Benar juga lantas terdengar suara Kik Fi-yan sedang berkata, "Kakek, harap engkau merawat luka bersama
Lau-kongkong dengan tenang. Kelak biarlah kita mendatangi mereka, setiap jahanam Ko-san-pay itu kita
bunuh habis-habisan untuk membalas sakit hati nenek dan para kakak keluarga Lau."
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu pegunungan sana berkumandang suara orang tertawa panjang. Belum
lenyap suara tertawa itu lantas tertampak muncul sesosok bayangan hitam. Dengan cepat sekali tahu-tahu
seorang dengan pedang terhunus sudah berdiri di depan Kik Yang dan Lau Cing-hong. Kiranya adalah Hui Pin,
yang berjuluk Ko-yang-jiu dari Ko-san-pay.
"Hehe, anak dara ingusan saja bersuara begitu besar," demikian Hui Pin lantas mengolok-olok. "Jago-jago Kosan-
pay hendak kau bunuh habis-habisan, memangnya di dunia ini ada urusan segampang itu?"
Mendadak Lau Cing-hong berbangkit, teriaknya dengan murka, "Hui Pin, kalian sudah membunuh segenap
keluargaku, aku pun terkena pukulan yang dilontarkan kalian bertiga saudara seperguruan dan jiwaku juga
tinggal tunggu ajalnya saja. Sekarang apalagi yang kau kehendaki?"
"Hahahaha! Anak dara ini tadi bilang hendak membunuh habis-habisan, maka kedatanganku ini adalah untuk
membunuh habis-habisan," seru Hui Pin dengan bergelak tertawa.
Mendengar itu, diam-diam Gi-lim ikut khawatir. Ia membisiki Lenghou Tiong, "Fifi dan kakeknya adalah orang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang telah menolong jiwamu, kita harus mencari suatu akal yang dapat balas menolong mereka."
Sebelum Gi-lim membuka suara, Lenghou Tiong sendiri memang sedang menimbang-nimbang cara bagaimana
untuk bisa menolong mereka itu untuk membalas budi kakek dan cucu perempuan yang pernah
menyelamatkan jiwanya itu. Soalnya Hui Pin itu adalah tokoh terkemuka Ko-san-pay, seumpama dirinya sendiri
tidak terluka juga bukan tandingannya, apalagi sekarang dirinya dalam keadaan lemah. Pula Kik Yang adalah
gembong Mo-kau yang merupakan musuh bebuyutan dari Ngo-gak-kiam-pay, mana boleh dirinya sekarang
berbalik membantunya malah? Sebab itulah ia merasa ragu-ragu dan serbasusah.
Dalam pada itu terdengar Lau Cing-hong sedang berkata, "Orang she Hui, kau pun terhitung seorang tokoh
terhormat dari Beng-bun-cing-pay (perguruan ternama dan golongan baik). Sekarang Kik Yang dan Lau Cinghong
jatuh di tanganmu, mati pun kami tidak menyesal dibunuh olehmu. Tapi kau telah menganiaya pula
seorang anak kecil, cara demikian terhitung perbuatan kesatria macam apa? Sudahlah, Fifi, boleh kau pergi
saja dari sini."
"Tidak, aku akan mati bersama kakek dan Lau-kongkong, aku tidak mau hidup sendirian," sahut Fifi.
"Lekas pergi, lekas! Urusan orang tua tiada sangkut pautnya dengan anak kecil seperti kau," kata Lau Cinghong.
"Tidak, aku tidak mau pergi!" sahut Fifi dengan tegas. "Sret", segera ia melolos keluar dua batang pedang
pendek, sekali lompat ia sudah mengadang di depan Lau Cing-hong dan kakeknya.
Melihat anak dara itu melolos pedang, hal ini kebetulan malah bagi Hui Pin. Dengan tertawa ia lantas berkata,
"Dara cilik ini katanya hendak membunuh habis orang-orang Ko-san-pay kami, sekarang dia benar-benar akan
melaksanakan maksudnya itu. Memangnya orang she Hui ini harus terima saja disembelih olehnya atau mesti
lari terbirit-birit?"
"Fifi, lekas pergi saja, lekas!" demikian Lau Cing-hong menarik tangan anak dara itu dengan khawatir.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru