Rabu, 10 Mei 2017

Cersil 13 Hina Kelana Cerita Silat Online

Cersil 13 Hina Kelana Cerita Silat Online Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 13 Hina Kelana Cerita Silat Online
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 13 Hina Kelana Cerita Silat Online
Bab 115. Gak Leng-sian Menjagoi Gelanggang Pertandingan
Karena itu Giok-im-cu tidak berani sembarangan melakukan serangan maut, sebab takut kalau pihak lawan
juga melakukan serangan mematikan. Lama-lama ia tambah khawatir dan berkeringat dingin.
Sementara itu ia sudah hampir selesai memainkan ilmu pedangnya, mendadak Leng-sian putar pedangnya
dengan cepat, beruntun-runtun ia melancarkan lima kali serangan.
“Ngo-tay-hu-kiam!” seru Giok-seng-cu yang masih berdiri di samping.
Mendengar orang dapat menyebut nama jurus serangannya, sekonyong-konyong Leng-sian miringkan
tubuhnya ke samping, pedang terus menusuk Giok-seng-cu sambil berseru, “Apakah ini pun ilmu pedang Thaysan-
pay kalian?”
Cepat Giok-seng-cu menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, “Mengapa bukan? Ini adalah jurus Layhong-
jing-coan!”
“Bagus jika kau pun mengetahuinya!” seru Leng-sian.
“Sret”, pedangnya membalik dan menebas Giok-im-cu.
“Ini Sik-koan-hwe-ma!!” Giok-seng-cu menyebut pula nama jurus serangan Leng-sian.
“Hafal juga kau akan nama-nama ilmu pedang ini,” ujar Leng-sian. Berbareng pedangnya berkelebat, “sretsret-
sret”, tiga kali, kontan terdengar Giok-im-cu menjerit, dadanya telah tertusuk.
Giok-seng-cu juga tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kaki tertekuk dan berlutut ke bawah, lekas-lekas ia
menahan tubuhnya dengan batang pedang. Tapi terlalu keras ia menggunakan tenaga, ujung pedang menahan
di atas sepotong batu pula, maka terdengar suara “pletak”, pedang patah menjadi dua. Terdengar mulut Giokseng-
cu sempat menggumam, “Gway-hoat-sam!”
Leng-sian tertawa dingin dan tidak menyerang lebih lanjut, ia simpan kembali pedangnya. Sementara itu para
penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda mengalahkan dua tokoh Thaysan-
pay hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan ilmu pedang Thay-san-pay sendiri.
Co Leng-tan saling pandang dengan beberapa kawannya, mereka pun sama bersangsi dan heran. Yang
dimainkan anak perempuan ini memang benar ilmu pedang Thay-san-pay yang hebat dan jarang terlihat.
Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti
bukan hasil pemikiran anak perempuan ini, besar kemungkinan adalah hasil peyakinan Gak Put-kun. Padahal
untuk meyakinkan ilmu pedang setinggi ini entah memerlukan waktu berapa lama. Dari sini dapat dibayangkan
betapa jauh rencana dan maksud tujuan Gak Put-kun menghadapi persoalan ini.
Lenghou Tiong juga terkesiap dan bingung melihat cara Gak Leng-sian merobohkan lawan-lawannya itu. Tibatiba
ada orang membisikinya dari belakang, “Lenghou-kongcu, apakah kau yang mengajarkan jurus-jurus itu
kepada Nona Gak?”
Ketika berpaling, Lenghou Tiong melihat yang bicara itu adalah Dian Pek-kong. Maka ia menjawabnya dengan
menggeleng.
“Dahulu ketika kau bergebrak dengan aku di puncak Hoa-san, aku masih ingat kau pun pernah menggunakan
jurus Lay-ho... apa tadi, cuma waktu itu kau belum menguasai dengan baik,” kata Dian Pek-kong dengan
tersenyum.
Lenghou Tiong tidak menjawabnya, ia sedang termenung-menung bingung. Begitu Gak Leng-sian mulai
menyerang tadi segera ia dapat melihatnya bahwa apa yang dimainkan Leng-sian itu adalah ilmu pedang Thaysan-
pay yang pernah dilihatnya di dalam gua di puncak Hoa-san dahulu. Padahal apa yang pernah dilihatnya itu
tidak pernah diberitahukannya kepada orang lain, ketika meninggalkan gua itu ia pun ingat betul-betul telah
menutup lubang gua dengan batu, lalu cara bagaimana Gak Leng-sian dapat menemukannya? Tapi lantas
terpikir pula olehnya, kalau dirinya dapat menemukan gua itu, mengapa Leng-sian tidak dapat? Apalagi lubang
gua itu tentu akan lebih memudahkan diketemukan oleh siausumoaynya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu tertampak seorang tua kurus maju ke tengah dan berkata, “Kiranya Gak-siansing telah mahir
setiap ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay, sungguh suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia
persilatan. Selama aku meyakinkan ilmu pedang aliran sendiri, ada beberapa tempat sulit yang belum
kupecahkan, maka kebetulan hari ini dapat kuminta petunjuk-petunjuk kepada Gak-siansing.”
Habis berkata, dari rebab yang dipegang di tangan kiri itu diloloskan sebatang pedang pandak yang mengilap.
Orang tua ini adalah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.
Dengan memberi hormat Gak Leng-sian lantas menanggapi, “Harap Bok-supek maklum, Titli (anak keponakan)
hanya belajar beberapa jurus ilmu pedang Heng-san-pay yang tak berarti, mohon Bok-supek sudi memberi
petunjuk-petunjuk seperlunya.”
Padahal Bok-taysiansing tadi mengatakan “hari ini kebetulan dapat minta petunjuk-petunjuk kepada Gaksiansing”,
jadi yang ditantang adalah Gak Put-kun, siapa duga Gak Leng-sian yang lantas terima tantangannya
itu, bahkan menyatakan akan menggunakan ilmu pedang Heng-san-pay malah.
Bok-taysiansing melengak, tapi lantas menjawab dengan tersenyum, “Wah, bagus, bagus! Hebat, hebat!”
Habis itu pedangnya yang pendek itu perlahan-lahan menjulur ke depan, sekonyong-konyong ia menyendal
sedikit pedangnya dan seketika menerbitkan suara mendengung. Menyusul mana pedangnya lantas bergerak
dan berbunyi “ngung-ngung” dua kali.
Cepat Leng-sian menangkis. Namun pedang Bok-taysiansing itu berkelebat secepat kilat, tahu-tahu ia pun
sudah mengitar ke belakang Leng-sian. Lekas-lekas Leng-sian memutar tubuh, terdengar suara mendengung
lagi dua kali, maka tertampaklah secomot rambut melayang jatuh ke tanah. Ternyata rambut sendiri telah kena
dikupas sepotong oleh Bok-taysiansing.
Keruan Leng-sian terkejut. Tapi cepat ia dapat berpikir bahwa Bok-taysiansing tidak bermaksud mencelakainya,
kalau mau tentu serangan tadi sudah membinasakannya. Kalau lawan tak mau mencelakainya, tentu saja
kebetulan baginya. Segera Leng-sian melancarkan serangan dua kali ke atas dan ke bawah tanpa
menghiraukan lagi serangan lawan.
Bok-taysiansing terkesiap juga oleh serangan Leng-sian itu. Dua jurus serangan itu memang betul gaya ilmu
pedang Heng-san-pay yang lihai. Ia heran dari mana anak perempuan ini dapat mempelajarinya?
Namun sedikit pun ia tidak ayal, pedangnya bergerak dengan cepat untuk bertahan, tapi lama-lama ia pun
kewalahan. Maklum, Leng-sian sudah ambil keputusan hanya menyerang tanpa menghiraukan diserang. Ia
mengetahui Bok-taysiansing takkan mencelakainya, maka yang diutamakan hanya melancarkan serangan
dengan jurus-jurus yang lihai. Sebaliknya Bok-taysiansing mau tak mau harus meladeni serangan Leng-sian,
dan karena harus meladeni, sukarlah baginya untuk melepaskan diri.
Pedang kedua orang berkelebat sama cepatnya, terdengar suara “crang-creng” berulang-ulang, para penonton
sampai tidak tahu siapa yang menyerang dan siapa yang bertahan, tak tahu pula berapa jurus pertarungan
kedua orang itu sudah berlangsung.
Sampai pada puncaknya, dengan susah payah Bok-taysiansing dapat menangkis suatu jurus serangan Lengsian,
tapi terpaksa harus melompat mundur oleh serangan lain yang disebut “Thian-cu-in-gi” (Awan
Mengelilingi Pilar), Bok-taysiansing menyadari tidak mampu menangkis serangan lihai ini, terpaksa ia melompat
ke samping sambil putar pedangnya secepat kilat, padahal pedangnya sama sekali tidak sanggup buat balas
menyerang, tujuannya hanya untuk mengaburkan pandangan penonton dan untuk menutupi keadaan sendiri
yang konyol itu.
Dalam keadaan demikian terdengar Leng-sian tertawa dan berkata, “Ah, terima kasih atas kesudian Bok-supek
mengalah kepada Titli!”
Maka jelaslah hasil pertarungan yang telah berlangsung itu, betapa pun Bok-taysiansing harus mengakui
keunggulan lawan.
Tapi dasarnya Leng-sian memang kurang pengalaman, ia menjadi ragu-ragu dan merandek, tidak bicara juga
tidak melancarkan serangan susulan. Sebagai seorang yang kenyang asam garam dunia Kang-ouw, tentu saja
Bok-taysiansing tidak sia-siakan kesempatan baik itu, segera pedangnya bergerak pula dan menerbitkan suara
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mendengung, kembali menubruk maju.
Beberapa serangan kilat ini menggunakan segenap kekuatan Bok-taysiansing yang diyakinkan selama ini,
dalam sekejap saja Leng-sian sudah terbungkus di dalam sinar pedangnya.
Leng-sian berseru khawatir sambil mundur beberapa langkah. Tapi Bok-taysiansing tidak mau mengulangi
kesalahannya tadi, ia tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk balas menyerang. Makin
lama makin cepat pedangnya menyambar, sekalipun jago kelas wahid juga sukar melihat jelas arah
serangannya. Karena itu para penonton menjadi berkhawatir bagi Leng-sian, ada pula yang gegetun akan
kehebatan ilmu pedang Bok-taysiansing.
Dalam pada itu Lenghou Tiong masih termenung-menung terhadap jurus-jurus serangan Leng-sian tadi. Ia
tidak habis paham, mengapa siausumoaynya itu mahir menggunakan ilmu silat yang terukir di dinding gua itu,
apakah memang benar gua itu telah ditemukan olehnya?
Sedang melamun, seorang laki-laki berewok mendekatinya serta menegurnya perlahan, “Apa yang lagi kau
pikirkan?”
“O, aku... aku....” Lenghou Tiong tersentak kaget dari lamunannya.
Pada saat itulah terdengar jeritan Leng-sian, pedangnya mencelat ke udara, sebelah kakinya terpeleset dan
jatuh terduduk.
Ujung pedang Bok-taysiansing tampak mengarah ke bahu kanan Leng-sian sambil berkata, “Jangan khawatir
Titli yang baik, silakan bangun!”
Tapi mendadak terdengar suara “pletak” satu kali, pedang Bok-taysiansing itu patah bagian tengah. Kiranya
Leng-sian telah jemput dua potong batu, pedang Bok-taysiansing ditimpuk dengan batu yang satu sehingga
patah, menyusul batu yang lain terus disambitkan ke samping.
Dalam keadaan senjata patah, Bok-taysiansing melengak kaget dan bingung pula melihat Leng-sian
menyambitkan batunya ke arah lain. Tak terduga mendadak iganya lantas kesakitan, rupanya batu yang
disambitkan ke samping itu mendadak memutar balik dan tepat mengenai tulang iga sehingga patah tulang.
Kontan darah tersembur dari mulutnya.
Beberapa kali serang-menyerang ini sungguh berubah dengan sangat cepat, Leng-sian terjatuh, batu
melayang, pedang patah, menyusul Bok-taysiansing muntah darah, para penonton sampai melongo karena
kejadian-kejadian itu teramat cepat untuk diikuti. Menyusul tertampak sinar pedang berkelebat, pedang Lengsian
yang mencelat ke atas tadi telah jatuh dan menancap di samping Bok-taysiansing dan hampir-hampir
menancap tubuhnya
Para penonton telah menyaksikan dengan jelas bahwa setelah Bok-taysiansing menjatuhkan Leng-sian, ia tidak
melancarkan serangan habis-habisan melainkan menyuruh Leng-sian jangan takut dan disilakan bangun. Hal ini
menang lazim sebagai orang tua yang telah mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan tetapi serangan Lengsian
dengan dua potong batu dan kontan membuat lawan tak berkutik dan terluka parah itulah yang benarbenar
sukar diduga dan susah dielak.
Hanya Lenghou Tiong saja yang tahu bahwa kedua jurus serangan Leng-sian yang terakhir itu pun diperoleh
dari ilmu silat yang terukir di dinding gua Hoa-san itu. Menurut ukiran itu, ketika tokoh Mo-kau mematahkan
ilmu pedang Heng-san-pay dahulu, yang digunakan adalah sepasang bandul tembaga dan bukan batu. Cuma
sekarang Leng-sian telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul.
Tiba-tiba Gak Put-kun mendekati Leng-sian dan menampar mukanya sekali sambil membentak, “Kurang ajar!
Jelas Bok-supek sengaja mengalah padamu, mengapa kau berani berbuat kasar kepada beliau?”
Lalu ia memapah Bok-taysiansing ke pinggir dan berkata, “Bok-heng, harap maafkan anak perempuan yang
tidak kenal adat itu, sungguh aku sangat menyesal.”
“Benar-benar harimau tidak melahirkan anak anjing, sungguh luar biasa,” ujar Bok-taysiansing dengan
meringis. Habis berkata kembali darah tersembur dari mulutnya. Cepat dua anak murid Heng-san-pay berlari
mendekatinya dan memayangnya ke tengah rombongannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan mata melotot Gak Put-kun mendelik anak perempuannya, lalu mengundurkan diri.
Melihat pipi Leng-sian yang merah terkena tamparan sang ayah, air mata pun meleleh, tapi sikapnya rada
bandel, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada masa dahulu, bila terkadang Leng-sian nakal dan diomeli ayahibunya,
sering kali Leng-sian memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk menyenangkan
hati sang sumoay, sering kali Lenghou Tiong ajak bertanding pedang sang sumoay. Hal yang paling
menyenangkan hati siausumoaynya itu tak lebih daripada menang bertanding. Maka Lenghou Tiong sengaja
pura-pura kalah.
Berpikir sampai di sini, kembali teringat olehnya cara bagaimana Leng-sian bisa mendatangi gua rahasia itu?
Besar kemungkinan sesudah menikah, karena kangen kepada hubungan baiknya dengan aku di waktu yang
lampau, lalu dia sengaja naik ke puncak itu untuk mengenangkan pengalaman-pengalaman di waktu lalu, dan
karena itu dia dapat menemukan gua itu.
Ia menoleh dan memandang sekejap ke arah Lim Peng-ci, lalu pikirnya pula, “Lim-sute baru menikah dengan
Siausumoay, sepantasnya dia gembira ria. Tapi mengapa tampaknya dia muram durja? Sebagai suami ia pun
tidak menunjukkan perhatiannya terhadap sang istri ketika Leng-sian dihajar oleh ayahnya tadi. Sungguh
keterlaluan sikap dinginnya itu.”
Berpikir bahwa mungkin terkenang padanya sehingga Leng-sian naik ke puncak Su-ko-keh untuk
mengenangkan masa lampau, walaupun hal ini hanya dugaan sendiri, tapi dalam benak Lenghou Tiong sudah
timbul bayangan Leng-sian yang sedang menangis sedih dengan penuh penyesalan telah salah menikahi Lim
Peng-ci.
Ketika berpaling lagi, dilihatnya Leng-sian sedang menjemput kembali pedangnya dengan air mata bercucuran.
Mendadak darah bergolak di rongga dada Lenghou Tiong, pikirnya, “Aku akan meledek dia sehingga dari
menangis menjadi tertawa.”
Dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang panggung Hong-sian-tay di puncak Ko-san ini telah berubah
menjadi Giok-li-hong di Hoa-san, beribu-ribu hadirin itu dianggapnya seperti pepohonan belaka, yang dia
pikirkan melulu sang jantung hati yang sedang menangis sedih lantaran dihajar ayahnya. Selama hidupnya
entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga sang jantung hati terhibur, lalu tertawa. Mana
boleh sekarang dia tinggal diam?
Karena itu tanpa pikir ia terus melangkah maju dan berseru, “Siau... Siau....” tiba-tiba teringat olehnya bahwa
agar bisa menyenangkan hati sang jantung hati harus bertanding sungguh-sungguh untuk kemudian barulah
mengalah, maka dengan nada menantang ia berganti suara, “Kau telah mengalahkan ketua-ketua dari Thaysan-
pay dan Heng-san-pay, sudah tentu ilmu pedangmu tidaklah sembarangan. Tapi Hing-san-pay kami tidak
dapat terima, apakah kau pun sanggup menandingi aku dengan ilmu pedang Hing-san-pay?”
Perlahan-lahan Leng-sian angkat kepalanya dengan pedang terhunus, sahutnya, “Kau sendiri pun bukan asli
Hing-san-pay, sekarang kau telah menjadi ketua Hing-san-pay, apakah kau pun sudah mahir ilmu pedang
aliranmu?”
Sejak Lenghou Tiong diusir dari Hoa-san, sudah beberapa kali ia bertemu dengan Gak Leng-sian, tapi hanya
sekali ini saja Leng-sian tidak menggunakan kata-kata pedas dan galak. Sekonyong-konyong timbul rasa
gembira Lenghou Tiong, katanya dalam hati, “Aku harus berkelahi dengan teliti, supaya dia tidak tahu bahwa
aku sengaja mengalah padanya.”
Maka jawabnya kemudian, “Bilang mahir, betapa pun aku tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku berada
di Hing-san, dengan sendirinya aku pun sudah cukup masak meyakinkan pedang Hing-san-pay. Sekarang kita
harus sama-sama menggunakan ilmu pedang Hing-san-pay, kalau bukan ilmu pedang Hing-san-pay dianggap
kalah. Bagaimana? Jadi?”
Bahwasanya ilmu pedang yang dikuasai Lenghou Tiong jauh lebih tinggi daripada Leng-sian cukup diketahui
orang lain. Namun di dalam hati ia sudah ambil keputusan, bilamana nanti pertandingan sudah berjalan, pada
akhirnya dia akan menggunakan Tokko-kiu-kiam untuk mengalahkan Leng-sian, dengan demikian
kemenangannya akan dianggap batal dan berbalik dianggap kalah malah. Cara demikian tentu takkan
menimbulkan sangsi orang lain bahwa cara kalahnya itu sengaja dibuat.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ternyata Leng-sian lantas menjawab, “Baik, boleh kita mulai!”
Pedangnya berputar setengah lingkaran dan segera menusuk miring ke arah Lenghou Tiong.
Serentak terdengarlah jerit heran anak murid Hing-san-pay. Nyata mereka sangat kagum terhadap serangan
Leng-sian itu. Ini pun membuktikan bahwa apa yang digunakan Leng-sian memang betul adalah ilmu pedang
Hing-san-pay.
Kiranya memang tidak salah bahwa jurus serangan Leng-sian itu adalah jurus ilmu pedang yang pernah
dipelajari Lenghou Tiong dari dinding gua Hoa-san itu, jurus serangan ini pun sudah diajarkan Lenghou Tiong
kepada anak murid Hing-san-pay. Dari itu mereka lantas mengenali jurus serangan Gak Leng-sian itu.
Lantaran sudah cukup lama tinggal bersama anak murid Hing-san-pay, ilmu pedang yang pernah dimainkan
tokoh-tokoh tertinggi Hing-san-pay seperti Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay juga sudah sering
dilihatnya dahulu, maka sekarang permainan ilmu pedang Lenghou Tiong dapat berjalan dengan lancar dan
tidak malu sebagai ketua Hing-san-pay.
Padahal Lenghou Tiong telah mempelajari Tokko-kiu-kiam yang meliputi inti ilmu silat dari berbagai aliran. Ilmu
pedang yang dia mainkan hanya gayanya saja memperlihatkan kemiripan dengan Hing-san-kiam-hoat, tapi
sebenarnya setiap jurusnya rada berbeda daripada apa yang dimiliki Ting-sian Suthay dan lain-lain. Hal ini
sukar diketahui orang luar, hanya Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain dapat melihat perbedaan itu.
Jadi ilmu pedang Hing-san-pay yang dimainkan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian sekarang sama-sama
diperoleh dari ukiran di dalam gua rahasia di puncak Hoa-san itu. Cuma dasar ilmu pedang Lenghou Tiong jauh
lebih kuat daripada Leng-sian, pula dia sudah sekian lamanya berdiam di Hing-san sehingga pengetahuannya
tentang ilmu silat Hing-san-pay menjadi lebih luas pula. Maka begitu kedua orang mulai bergebrak, jika
Lenghou Tiong tidak sengaja mengalah tentu dalam beberapa jurus saja Leng-sian sudah dikalahkan.
Begitulah kedua orang bergebrak dengan sangat cepat dan kencang, setelah lebih 30 jurus, Leng-sian harus
mengulangi kembali jurus serangan yang dipelajarinya dari ukiran di dinding gua itu. Lenghou Tiong juga
melayani dengan sama cepatnya, karena ilmu pedang kedua orang serupa, maka pertandingan berlangsung
dengan sangat menarik.
Seorang penonton berkata dengan kagum, “Bahwasanya Lenghou Tiong dapat memainkan ilmu pedangnya
sedemikian bagus adalah jamak karena dia memang ketua Hing-san-pay, tapi Nona Gak adalah orang Hoa-sanpay,
mengapa ia pun mahir Hing-san-kiam-hoat?”
“Kau jangan lupa bahwa tadinya Lenghou Tiong adalah murid tertua Gak-siansing, maka jelas Gak-siansing
sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini, kalau tidak masakan kedua muda-mudi ini dapat bertanding
sedemikian seru?”
“Ya, kalau Gak-siansing sudah mahir ilmu pedang Hoa-san-pay, Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-sanpay,
maka ilmu pedang Ko-san-pay tentu juga mahir. Kuyakin jabatan ketua Ngo-gak-pay tak ada pilihan lain
kecuali beliau yang menjabatnya,” kata seorang penonton lain pula.
“Ah, juga belum pasti,” sahut lagi seorang. “Ilmu pedang Co-ciangbun dari Ko-san pasti jauh lebih tinggi
daripada Gak-siansing. Ilmu silat mengutamakan kualitas dan tidak mementingkan kuantitas. Sekalipun kau
mampu memainkan segala macam ilmu silat di dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus
cakar kucing saja apa gunanya? Maka aku yakin Co-ciangbun melulu menggunakan Ko-san-kiam-hoat saja
pasti sanggup mengalahkan ilmu pedang empat aliran yang dikuasai Gak-siansing.”
“Huh, dari mana kau mendapat tahu begitu jelas sehingga kau berani omong besar tanpa malu?” omel orang
tadi dengan mendongkol.
“Omong besar tanpa malu apa? Jika kau berani, hayolah kita bertaruh 100 perak, aku bae Co-ciangbun dan kau
pegang Gak-siansing,” jawab yang lain dengan aseran.
“Kenapa tidak berani?” teriak orang pertama. “Ini, seratus perak, kontan!”
“Jadi!” yang lain tak mau kalah. “Tidak perlu kontan, bayar belakang juga boleh.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Huh, nanti buka cek kosong!” ejek yang pertama.
“Cuh!” kawannya meludah sambil mencibir.
Dalam pada itu pertarungan kedua orang masih berlangsung dengan cepat. Melihat gerak tubuh Leng-sian
yang indah, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada keadaan masa dahulu di waktu mereka berdua latihan
bersama. Tanpa terasa pikirannya melayang-layang, ketika Leng-sian menusuknya, segera ia balas menyerang.
Tak tahunya jurus ini ternyata bukan Hing-san-kiam-hoat.
Leng-sian melengak, katanya dengan suara perlahan, “Jing-bwe-ji-tau!”
Menyusul ia pun balas suatu jurus, menebas ke dahi Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong juga melengak dan menggumam, “Liu-yap-su-bi!”
Jing-bwe-ji-tau (Mundu Hijau Laksana Kacang) dan Liu-yap-su-bi (Daun Liu Lentik Seperti Alis) adalah jurusjurus
dalam Tiong-leng-kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian. Nama ilmu
pedang itu diambil dari singkatan nama masing-masing, yaitu tiong dan leng. Ilmu pedang ini sebenarnya tiada
sesuatu yang istimewa, cuma dahulu telah mereka latih dengan sangat masak. Maka sekarang tanpa terasa
telah dikeluarkannya bersama di hadapan orang banyak.
Hanya sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung, bukan saja Lenghou Tiong merasa berada kembali di
waktu latihan bersama di masa dahulu, bahkan Leng-sian juga melayang pikirannya dan lupa daratan bahwa
dirinya sekarang sudah menjadi istri orang, yang terbayang olehnya hanya sang suheng yang cakap itu sedang
berlatih bersama dengan dia.
Tiong-leng-kiam-hoat itu diciptakan mereka ketika kedua muda-mudi itu sedang tenggelam di tengah lautan
asmara dahulu. Maka serang-menyerang dilakukan dengan asyik, satu dan lain sama isi-mengisi.
Tujuan Lenghou Tiong bertanding dengan Leng-sian adalah sengaja hendak mengalah untuk menghibur hati
duka Leng-sian karena dihajar oleh ayahnya tadi. Sekarang melihat air muka Leng-sian semakin cerah, sorot
matanya memperlihatkan perasaan gembira melayani serangan-serangannya, sungguh tidak terkatakan rasa
senang Lenghou Tiong bahwa maksudnya telah tercapai. Dalam keadaan demikian sungguh ia berharap Tiongleng-
kiam-hoat mereka itu mencakup beribu-ribu jurus serangan yang tak habis-habis dimainkan sehingga dia
akan dapat menghadapi sang sumoay yang sebenarnya sangat dicintainya itu untuk selama-lamanya.
Kembali dua-tiga puluh jurus telah lalu. Suatu ketika pedang Leng-sian menebas ke kaki kiri Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong angkat kakinya terus mendepak batang pedang lawan. Tapi Leng-sian segera tekan
pedangnya ke bawah berbareng menebas telapak kaki.
Namun pedang Lenghou Tiong telah menusuk juga ke pinggang Leng-sian sehingga terpaksa ia putar
pedangnya ke atas untuk menangkis. “Trang”, kedua pedang beradu sehingga sama-sama tergetar ke atas,
berbareng kedua orang sama-sama menyorong pedang masing-masing ke depan untuk menusuk tenggorokan
lawan dengan cepat luar biasa.
Menurut arah pedang masing-masing itu, jelas siapa pun sukar menghindarkan diri dan pasti akan gugur
bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir. Tapi mendadak terdengar suara “cring” yang
perlahan, ujung pedang masing-masing ternyata saling ketemu dan terbentur sehingga lelatu api meletik,
batang pedang masing-masing sampai melengkung, menyusul kedua orang sama-sama tergetar dan melompat
mundur dengan mengulum senyum mesra.
Sungguh di luar dugaan siapa pun juga bahwa akhirnya serangan maut masing-masing itu bisa saling bentur di
tengah jalan. Hal ini biarpun beribu-ribu kali juga jarang terjadi satu kali. Tapi di saat menentukan antara hidup
dan mati mereka berdua itu ternyata ujung pedang mereka bisa kebentur secara sedemikian tepat.
Orang lain tidak tahu bahwa benturan ujung pedang di tengah jalan itu mungkin teramat sulit terjadi, namun
bagi mereka justru telah sengaja berlatih benturan demikian itu secara tak kenal capek dan entah sudah
berlangsung berapa ribu kali latihan mereka dan akhirnya telah berhasil.
Tadinya Lenghou Tiong mengusulkan jurus itu, diberi nama “Ni-su-ngo-hoat” (Kau Mati Aku Hidup), tapi LengDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sian keberatan, mengapa kau mati dan aku hidup, katanya. Kan lebih baik “Tong-seng-kiong-si” (Sehidup dan
Semati).
Begitulah selagi Leng-sian terbayang kepada peristiwa-peristiwa di masa dahulu, tiba-tiba di tengah penonton
ada suara orang menjengek. Keruan ia terkejut sebab dapat dikenalnya suara jengekan itu dikeluarkan oleh
Lim Peng-ci, suaminya. Seketika ia merasa cara bertempurnya dengan Lenghou Tiong itu memang tidak wajar.
Segera ia angkat pedangnya dan menyerang pula dengan gaya yang indah. Ternyata yang digunakan sekarang
adalah salah satu jurus “Giok-li-kiam” dari Hoa-san-pay.
Suara jengekan Peng-ci itu didengar juga oleh Lenghou Tiong. Akibat dari suara jengekan itu segera Leng-sian
melancarkan jurus serangan tanpa kenal ampun, tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana
menggunakan Tiong-leng-kiam-hoat tadi. Seketika hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segala macam kejadian
masa lampau terbayang semua di dalam benaknya.
Dalam keadaan pikiran kusut itu, tiba-tiba Leng-sian menyerang pula, tanpa pikir Lenghou Tiong cepat
menyelentik, “creng”, dengan tepat batang pedang Leng-sian terjentik dan terlepas dari cekalan.
Setelah menyelentik barulah Lenghou Tiong sadar apa yang terjadi, diam-diam ia mengeluh atas tindakannya
yang telanjur itu. Dilihatnya sikap Leng-sian yang cemas-cemas murung. Ia menjadi teringat pada waktu
dirinya dihukum menyepi di puncak Su-ko-keh dahulu, ketika Leng-sian mengantar daharan padanya, si nona
telah mengajak latihan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat yang baru saja dipelajarinya, ketika itu pun dia telah
menyelentik pedang Leng-sian sehingga terpental dan jatuh ke jurang, lantaran kejadian itu Leng-sian menjadi
marah dan tinggal pergi. Sejak itu timbullah ketegangan di antara mereka berdua. Tak terduga kejadian yang
sama itu kini terulang kembali.
Kalau dahulu saja dia sudah dapat menyelentik sehingga pedang Leng-sian terpental, apalagi sekarang
lwekangnya sudah jauh lebih tinggi, maka pedang Leng-sian yang mencelat ke udara tadi sampai sekian
lamanya baru jatuh ke bawah.
Padahal tujuan Lenghou Tiong hanya ingin membikin senang hati siausumoaynya, sebaliknya sekarang dia
malah menyelentik pedangnya hingga mencelat dan membuatnya malu di depan umum, sungguh perbuatan
tidak patut.
Sekilas tertampak pedang Leng-sian itu sedang melayang ke bawah, tanpa pikir Lenghou Tiong terus
mendoyongkan tubuhnya sambil berseru, “Hing-san-kiam-hoat yang bagus!”
Dengan gaya seperti berusaha mengelak, tapi sebenarnya tubuhnya sengaja disodorkan ke ujung pedang yang
menyambar turun itu. Maka terdengarlah suara “cret” satu kali, pedang itu langsung menancap di belakang
bahu kanannya. Kontan tubuh Lenghou Tiong tersungkur ke depan sehingga badannya seakan-akan terpaku di
tanah oleh pedang Leng-sian.
Kejadian ini benar-benar terlalu mendadak sehingga para penonton menjerit kaget dan melongo.
Leng-sian juga terkejut dan berseru, “Toa... Toasuko, ken....” segera dilihatnya seorang laki-laki berewok
berlari mendekati dan membangunkan Lenghou Tiong, pedang yang menancap di tubuhnya itu dicabut, lalu
Lenghou Tiong dipondong ke sana.
Darah segar tampak mengucur deras dari luka di bahu Lenghou Tiong, belasan anak murid Hing-san-pay lantas
memapak maju pula untuk memberi pertolongan dengan obat luka.
Karena tidak tahu bagaimana luka Lenghou Tiong itu, Leng-sian bermaksud mendekatinya untuk melihat. Tapi
mendadak sinar pedang berkelebat, dua orang nikoh telah merintanginya sambil membentak, “Perempuan
yang berhati keji!”
Leng-sian melengak dan mundur beberapa langkah, seketika ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Terdengarlah Gak Put-kun tertawa nyaring dan berseru, “Anak Sian, sungguh tidak sia-sia kau telah
mengalahkan ketua dari tiga aliran dengan menggunakan ilmu pedang dari aliran masing-masing.”
Bahwasanya jurus terakhir yang digunakan Leng-sian itu apakah benar jurus ilmu pedang Hing-san-pay atau
bukan, sebenarnya para penonton juga tidak tahu jelas. Yang pasti dan terbukti adalah Lenghou Tiong terluka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
oleh Leng-sian, hal ini tak bisa disangkal oleh siapa pun juga. Sebab itulah tiada seorang pun yang berani
menanggapi ucapan Gak Put-kun itu.
Dengan perasaan bingung Leng-sian menjemput kembali pedangnya yang terbuang di tanah itu, melihat
batang pedang penuh berlepotan darah, ia menjadi khawatirkan keselamatan jiwa Lenghou Tiong.
Dalam pada itu terdengar suara seorang yang keras lantang berseru, “Gak-siansing tidak cuma menguasai ilmu
pedang Hoa-san-pay sendiri, bahkan ilmu pedang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga
dikuasainya dengan sempurna, sungguh sangat mengagumkan dan harus dipuji. Maka jabatan ketua Ngo-gakpay
rasanya tiada pilihan lain daripada Gak-siansing sendiri yang harus mendudukinya.”
Pembicara ini adalah seorang tua berjenggot, ialah pangcu dari Kay-pang.
Sebagai suatu organisasi terbesar di dunia Kang-ouw, apa yang diucapkan Pangcu Kay-pang sudah tentu
mempunyai nilai tertentu, maka tidak sembarangan orang berani menanggapinya.
Tiba-tiba seorang menjawab dengan suara dingin, “Nona Gak ternyata mahir ilmu pedang dari berbagai aliran,
sungguh pantas dipuji. Kalau dapat mengalahkan pula diriku dengan Ko-san-kiam-hoat, maka tanpa syarat aku
pun akan mendukung Gak-siansing sebagai ketua Ngo-gak-pay.”
Pembicara ini adalah Co Leng-tan. Sambil bicara ia terus maju ke tengah kalangan. Sekali tangan kiri menepuk
sarung pedang, kontan pedangnya meloncat keluar dari sarungnya. Tertampak sinar pedang berkelebat,
dengan tangan kanan Co Leng-tan telah pegang gagang pedangnya.
Sekali tepuk sarung pedang saja dapat membuat pedang meloncat keluar sendiri dari sarungnya, sungguh
suatu gaya yang indah dan luar biasa pula tenaga dalamnya. Seketika anak murid Ko-san-pay sama bersorak,
tidak kecuali pula sebagian hadirin juga berteriak memuji.
Maka terdengarlah Gak Leng-sian menjawab tantangan Co Leng-tan tadi, “Aku hanya main tiga belas jurus
saja, dalam 13 jurus kalau tak bisa mengalahkan Co-supek....”
“Bagus, kalau dalam 13 jurus tak bisa memenggal kepalaku, lalu bagaimana?” Co Leng-tan menegas dengan
gusar karena merasa terhina.
“Mana bisa aku menandingi Co-supek,” ujar Leng-sian. “Hanya 13 jurus ilmu pedang Ko-san-pay yang
kupelajari dari ayah, maka aku ingin mencoba-cobanya dengan Co-supek.”
Co Leng-tan mendengus tanpa menjawab.
Lalu Leng-sian berkata pula, “Kata Ayah, meski ke-13 jurus Ko-san-kiam-hoat ini adalah jurus-jurus serangan
paling hebat dari Ko-san-pay, tapi dalam permainanku mungkin cuma satu jurus saja pedangku sudah tergetar
mencelat dari cekalan, apalagi mau mainkan pula jurus kedua.”
Kembali Co Leng-tan mendengus tanpa menanggapi.
“Sudah tentu aku tidak percaya,” demikian Leng-sian melanjutkan. “Kukatakan kepada Ayah, sekalipun Cosupek
terhitung jago nomor satu Ko-san-pay, tapi dia belum terhitung jago nomor satu dari Ngo-gak-kiam-pay
kita, betapa pun dia tidak mahir ilmu pedang dari kelima aliran kita seperti Ayah. Namun Ayah dengan rendah
hati menyatakan kepandaian beliau juga belum dapat dikatakan mahir, kalau tidak percaya boleh coba kau
menandingi ilmu pedang Co-supek-mu yang lihai itu, bila kau sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan dia,
maka kau terhitung anak perempuanku yang tersayang.”
Bab 116. Co Leng-tan Melawan Gak Put-kun
“Hm, jika dalam tiga jurus bahkan kau dapat mengalahkan orang she Co, tentu kau lebih-lebih disayang
ayahmu bukan?” jengek pula Co Leng-tan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ilmu pedang Co-supek mahasakti, masakah aku berani mimpi mengalahkan Co-supek apa segala,” kata Lengsian.
“Hanya saja aku ingin coba-coba bertahan sampai 13 jurus, entah bisa terkabul tidak harapanku ini.”
Mendongkol sekali hati Co Leng-tan, pikirnya, “Jangankan 13 jurus, asal kau mampu menahan tiga jurus saja
sudah terhitung hebat.”
Tanpa berkata lagi segera ia gunakan tiga jari tangan kiri untuk memegang ujung pedangnya, tangan kanan
lantas lepas sehingga pedang menegak, gagang pedang di depan, lalu katanya, “Mulailah!
Cara Co Leng-tan memegang senjatanya ini benar-benar menggemparkan para penonton, Bahwa
menggunakan pedang dengan tangan kiri saja luar biasa, apalagi dia hanya memegangi ujung pedang dengan
tiga jari, gagang pedang yang digunakan menghadapi musuh.
Leng-sian juga terkesiap, ia tidak tahu kepandaian apa yang akan dikeluarkan Co Leng-tan, betapa pun wibawa
Co Leng-tan memang angker, mau tak mau timbul juga rasa jeri pada hati Leng-sian, tapi urusan sudah sejauh
ini, buat apa takut lagi?
Sekilas Leng-sian melirik ke arah murid-murid Hing-san-pay, kelihatan mereka masih sibuk dan merubung di
sana, namun tiada suara tangisan, dapat diduga luka Lenghou Tiong meski parah agaknya tidak
membahayakan jiwanya. Maka rada legalah hatinya. Segera ia angkat pedang dan membungkuk tubuh dengan
gaya “Ban-gak-tiau-cong” (Berlaksa Gunung Menghadap Pusat), yakni suatu jurus Ko-san-kiam-hoat yang
murni.
Jurus pembukaan ini mengandung arti menghormat, maka gemparlah anak murid Ko-san-pay, tapi merasa
puas juga atas sikap Leng-sian itu.
Co Leng-tan manggut perlahan, katanya di dalam hati, “Ternyata kau pun bisa memainkan jurus ini, mengingat
sikap hormatmu ini biarlah aku takkan membikin malu kau di depan orang banyak.”
Setelah jurus pembukaan tadi, segera Leng-sian melancarkan serangan, pedangnya berkelebat terus menusuk.
Co Leng-tan terkejut oleh kecepatan dan cara menyerang Leng-sian itu. Ia heran dari mana putri Gak Put-kun
ini mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay yang indah ini. Sebagai seorang guru besar Ko-san-pay, dengan
sendirinya ingin tahu lebih mendalam setiap jurus ilmu silat aliran sendiri yang hebat. Ia lihat tusukan Lengsian
itu tidak membawa tenaga dalam yang terlalu kuat, asal sudah dekat dan menyelentiknya dengan jari
tentu pedang lawan itu akan terpental. Maka ia sengaja membiarkan tusukan Leng-sian itu lebih mendekat
untuk melihat bagaimana perubahan berikutnya.
Ternyata sebelum mencapai sasarannya, mendadak Leng-sian menarik kembali pedangnya, orangnya
menggeser ke samping, pedangnya membalik terus menebas ke bahu kiri Co Leng-tan. Kembali suatu gerak
serangan yang indah yang membuat Co Leng-tan terkejut heran dan kegirangan pula karena dapat
menyaksikan ilmu pedang aliran sendiri yang belum pernah dilihatnya.
Sejak umur belasan Co Leng-tan sudah mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay dengan tekun sekali, setelah
mewarisi jabatan ketua Ko-san, banyak pula dia mengembangkan ilmu pedang Ko-san-pay yang belum pernah
dikerjakan oleh leluhur Ko-san-pay, maka dia boleh dikatakan tokoh Ko-san-pay yang paling berjasa dalam
mengembangkan ilmu silat golongannya. Akan tetapi kini ilmu pedang Ko-san-pay yang dimainkan Leng-sian
itu adalah hasil tiruannya dari ukiran di dinding gua Hoa-san, betapa pun tinggi ilmu pedang yang diyakinkan
Co Leng-tan toh masih kalah hebat daripada apa yang dimainkan Leng-sian sekarang. Karena itu Co Leng-tan
menjadi kegirangan dan sangat tertarik untuk mengikutinya lebih lanjut.
Bila lawan Co Leng-tan adalah Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Tojin yang lihai, tentu dia tidak punya
kesempatan untuk menilai dan mengikuti gerak serangan lawan. Tapi sekarang tenaga dalam Leng-sian masih
jauh lebih rendah kalau dibandingkan Co Leng-tan, pada detik berbahaya bila perlu dia masih sanggup
menggetar jatuh pedang lawan itu, maka ia tidak mengkhawatirkan akibatnya dan dapat memusatkan
perhatian untuk mengikuti setiap gerak serangan pedang Gak Leng-sian.
Para penonton menjadi heran juga menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap kali Leng-sian selalu
menarik kembali serangannya sebelum mencapai sasarannya, seperti sengaja mengalah dan seperti juga
merasa jeri. Sebaliknya Co Leng-tan tidak ambil pusing terhadap serangan yang tiba, air mukanya sebentar
heran sebentar girang seperti orang linglung. Pertandingan demikian benar-benar jarang terjadi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi lantaran ilmu pedang Gak Leng-sian ini hanya tiruan dari gambar yang dilihatnya di dinding gua itu,
biarpun mengandung intisari yang mendalam, namun Leng-sian tidak mampu mengembangkannya dengan
baik sehingga gayanya tetap begitu-begitu saja. Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding gua itu hanya
meliputi tiga belas jurus, setelah 13 jurus selesai dimainkan, bila perlu terpaksa ia harus mengulangi dari
semula.
Sampai di sini pikiran Co Leng-tan tergerak, apakah mesti melihat lebih jauh ilmu pedang lawannya atau bikin
pedang lawan tergetar lepas dari cekalan? Kedua hal ini terlalu gampang baginya. Kalau mau melihat lebih
lanjut, betapa pun tinggi kepandaian Gak Leng-sian toh tidak mampu mencelakainya. Sebaliknya kalau mau
menggetar lepas pedang lawan juga tidak sukar baginya. Namun untuk memilih satu di antara dua inilah yang
sulit.
Dalam sekejap macam-macam pikiran sudah terlintas dalam benaknya, “Ko-san-kiam-hoat yang dia mainkan
ini sangat aneh dan bagus, sesudah ini mungkin tiada kesempatan buat melihatnya lagi. Untuk membunuh
anak perempuan ini adalah terlalu gampang, tapi mencari ilmu pedangnya inilah yang sukar. Rasanya juga
tidak mungkin aku minta-minta kepada Gak Put-kun untuk memperlihatkan Ko-san-kiam-hoat ini padaku.
Sebaliknya kalau kubiarkan dia ulangi kembali permainannya akan menunjukkan pula ketidakmampuanku
melawan seorang anak perempuan, lalu ke mana mukaku ini harus kutaruh? Ah, mungkin sudah lebih 13 jurus
yang dijanjikan.”
Teringat pada 13 jurus, seketika hasratnya menjadi pemimpin Ngo-gak-pay mengalahkan pikiran-pikiran lain,
segera ia putar pedangnya ke atas, terdengarlah benturan nyaring, pedang Leng-sian tergetar patah menjadi
beberapa bagian dan jatuh ke tanah.
Leng-sian cepat melompat mundur, serunya nyaring, “Co-supek, sudah berapa jurus Ko-san-kiam-hoat yang
kumainkan tadi?”
Co Leng-tan coba mengingat-ingat kembali jurus-jurus serangan Leng-sian tadi, lalu menjawab, “Ya, sudah kau
mainkan 13 jurus. Sungguh hebat.”
Leng-sian memberi hormat, lalu berkata pula, “Terima kasih atas kemurahan Co-supek sehingga Titli mampu
memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat dengan lancar.”
Bahwa Co Leng-tan dapat membikin pedang lawannya tergetar patah menjadi beberapa bagian memang luar
biasa. Namun Leng-sian sudah bicara di muka bahwa dia akan memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat, bagi
pandangan kebanyakan orang kalau dia sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan Co Leng-tan, sudah
terhitung hebat, jangankan 13 jurus. Tak terduga Co Leng-tan menjadi linglung sehingga tanpa terasa Lengsian
benar-benar dapat menyelesaikan 13 jurus serangannya.
Segera seorang tua dari Ko-san-pay tampil ke muka dan berseru, “Ilmu sakti Co-ciangbun telah kita saksikan
bersama, bahkan beliau cukup bijaksana dan murah hati. Sebaliknya putri keluarga Gak ini baru memahami
sedikit Ko-san-kiam-hoat kami lantas berani omong besar dan pamer di hadapan Co-ciangbun, namun apa
jadinya? Akhirnya dia keok juga. Ini pun membuktikan bahwa ilmu silat mengutamakan kemahiran khusus,
asalkan terlatih sempurna, ilmu silat dari aliran mana pun dapat menjagoi dunia persilatan....”
Sudah tentu para penonton sama cocok dengan ucapan orang tua ini, soalnya memang jarang yang mahir
macam-macam ilmu silat kecuali ilmu silat dari perguruannya sendiri.
Maka terdengar orang tua tadi melanjutkan, “Rupanya Gak-toasiocia ini entah berhasil mengintip di mana dan
memperoleh sedikit ilmu pedang dari golongan lain, lalu dia berani sesumbar di sini, katanya telah menguasai
ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Padahal ilmu pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisarinya
sendiri-sendiri, kalau cuma paham sedikit kulitnya atau bulunya saja mana dapat dikatakan sudah mahir?”
Kembali para penonton mengangguk setuju dan sama berpikir Gak Put-kun harus bertanggung jawab karena
telah melanggar pantangan besar orang persilatan, yaitu mengintip dan mencuri belajar ilmu silat golongan
lain.
Melihat sebagian besar hadirin mendukung ucapannya, segera orang tua itu bicara lagi, “Maka dari itu, tentang
jabatan ketua Ngo-gak-pay ini kukira tiada pilihan lain kecuali Co-ciangbun yang pantas mendudukinya. Dari
sini juga terbukti bahwa meyakinkan ilmu silat dari suatu aliran yang khusus dengan sempurna jelas lebih baik
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dan lebih tinggi juga daripada manusia yang suka menganglap dan menyerobot macam-macam ilmu silat orang
lain secara tidak sah.”
Kata-kata terakhir itu jelas ditujukan kepada Gak Put-kun, maka serentak beratus murid Ko-san-pay sama
bersorak membenarkan.
“Nah, coba siapa lagi di antara anggota-anggota Ngo-gak-pay yang merasa kepandaiannya dapat melebihi Cociangbun
boleh silakan maju untuk mengukur kekuatan masing-masing,” kata si orang tua pula. Tapi meski dia
ulangi lagi tantangannya, tetap tiada jawaban.
Mestinya Tho-kok-lak-sian dapat mengoceh lagi, tapi saat itu Ing-ing lagi sibuk menolong Lenghou Tiong yang
terluka parah, dia tidak sempat lagi memberi petunjuk-petunjuk kepada Tho-kok-lak-sian untuk mengadu
mulut dengan pihak Ko-san-pay.
Lantaran tidak tahu apa yang harus dikatakan, Tho-kok-lak-sian juga saling pandang dengan bingung.
Maka orang tua itu lantas buka suara pula, “Kalau tiada seorang pun yang berani menantang Co-ciangbun,
maka dengan sendirinya Co-ciangbun disilakan menjabat ketua Ngo-gak-pay kita sesuai dengan keinginan
kita.”
Tapi Co Leng-tan pura-pura menolak, katanya, “Ah, masih banyak tokoh-tokoh Ngo-gak-pay yang lebih baik,
Cayhe sendiri tidak sanggup menerima jabatan seberat ini.”
“Tugas sebagai ketua Ngo-gak-pay memang berat,” kata orang tua tadi, “tapi apa pun juga Co-ciangbun adalah
pantas memimpin kita menuju hari depan yang bahagia. Maka sekarang juga silakan Co-ciangbun naik ke atas
panggung untuk peresmian upacara.”
Maka bergemuruhlah suara genderang dan tambur disertai petasan yang riuh, rupanya semua ini telah
disiapkan sebelumnya oleh anak murid Ko-san-pay. Menyusul orang-orang Ko-san-pay lantas bersorak-sorai,
“Silakan Co-ciangbun naik panggung.”
Tanpa bicara lagi Co Leng-tan lantas melompat ke atas, dengan enteng ia tancapkan kakinya di atas Hongsian-
tay. Lalu ia memberi hormat kepada para hadirin di bawah panggung, katanya, “Atas penghargaan para
kawan, akan kelihatan terlalu mementingkan diri sendiri jika Cayhe menolak lagi untuk memikul tanggung
jawab yang berat ini.”
Beratus-ratus orang Ko-san-pay serentak bertepuk tangan pula memberi pujian.
Tapi mendadak suara seorang wanita berseru, “Co-supek, kau menggetar patah pedangku, apakah dengan
demikian kau sudah terhitung ketua Ngo-gak-pay?”
Yang bicara ini bukan lain adalah Gak Leng-sian.
Co Leng-tan menjawab, “Bukankah semua orang tadi mendengar juga bahwa kita bertanding untuk berebut
juara. Bila Gak-siocia yang menggetar patah pedangku, dengan sendirinya kita pun akan mengangkat Gaksiocia
sebagai ketua Ngo-gak-pay.”
“Untuk mengalahkan Co-supek sudah tentu aku tidak mampu,” ujar Leng-sian. “Tapi di antara jago-jago Ngogak-
pay kukira tidak mustahil masih cukup banyak orang yang dapat mengalahkan Co-supek.”
Padahal di antara tokoh-tokoh Ngo-gak-pay, yang paling ditakuti Co Leng-tan hanya Lenghou Tiong saja,
sekarang Lenghou Tiong sudah terluka parah, hati Co Leng-tan sudah merasa lega. Maka segera ia menjawab,
“Kalau menurut penilaian Gak-siocia, jago-jago yang mampu mengalahkan aku barangkali adalah suamimu,
ibumu, atau ayahmu?”
Seketika orang-orang Ko-san-pay tertawa gemuruh pula, tertawa yang mengejek.
Gak Leng-sian menjawab dengan tenang, “Suamiku adalah angkatan muda, kepandaiannya mungkin masih
selisih setingkat dengan Co-supek. Tapi ilmu pedang ibuku tentu dapat menandingi Co-supek dengan sama
kuat. Mengenai ayahku, dengan sendirinya beliau lebih tinggi daripada Co-supek.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kembali suara riuh ramai timbul dari rombongan orang-orang Ko-san-pay, ada yang bersuit mengejek, ada
yang berteriak marah.
Co Leng-tan lantas berpaling kepada Gak Put-kun dan berkata, “Gak-siansing, terhadap ilmu silatmu, agaknya
putrimu sendiri amat sangat menghargaimu.”
“Ah, anak perempuan memang banyak omong,” sahut Gak Put-kun. “Harap Co-heng jangan anggap sungguhsungguh.
Tentang ilmu silat Cayhe memang ketinggalan jauh kalau dibandingkan Hong-ting Taysu dari Siaulim-
pay, Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay, serta tokoh-tokoh terkemuka yang lain.”
Air muka Co Leng-tan berubah seketika. Gak Put-kun hanya menyebut Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang, dan
lain-lain, tapi sama sekali tidak menyebut namanya Co Leng-tan, hal ini berarti ia menganggap kepandaian
sendiri memang lebih tinggi daripada orang she Co.
Tapi orang tua Ko-san-pay tadi toh masih menegas, “Dan kalau dibandingkan Co-ciangbun kami kira-kira
bagaimana?”
“Cayhe sudah cukup lama bersahabat dengan Co-heng dan saling menghargai,” jawab Gak Put-kun. “Selama
ratusan tahun ilmu pedang Ko-san-pay dan Hoa-san-pay juga mempunyai ciri khas masing-masing dan belum
pernah menentukan pihak mana yang lebih unggul. Maka pertanyaan Han-heng ini sungguh membikin Cayhe
sukar menjawabnya.”
Kiranya orang tua itu she Han, dari nada bicaranya rupanya kedudukannya tidaklah rendah di dalam Ko-sanpay,
hanya saja orang Kang-ouw tidak banyak yang mengenalnya.
Segera orang she Han itu berkata pula, “Dari nada ucapan Gak-siansing agaknya kau merasa kepandaianmu
memang lebih kuat daripada Co-ciangbun kami?”
“Sebenarnya soal bertanding untuk menentukan siapa lebih unggul sejak dahulu kala sukar dihindarkan,” kata
Gak Put-kun. “Sudah lama Cayhe memang punya maksud minta petunjuk kepada Co-heng. Cuma sekarang
kita baru saja membangun Ngo-gak-pay, siapa ketuanya juga belum ditentukan, kalau Cayhe lantas bertanding
dengan Co-heng tampaknya menjadi rada-rada tidak enak, sebab orang tentu akan mengatakan Cayhe sengaja
hendak berebut menjadi ketua dengan Co-heng.”
“Tapi kalau Gak-heng memang benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini, maka jabatan ketua Ngogak-
pay dengan sendirinya akan kuserahkan kepada Gak-heng,” kata Co Leng-tan.
“Ah, jangan bicara demikian, sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi,” ujar
Gak Put-kun. “Biarpun Cayhe dapat mengalahkan Co-heng juga belum tentu sanggup mengalahkan tokohtokoh
Ngo-gak-pay yang lain.”
Biar ucapannya sangat rendah hati, tapi setiap katanya ternyata tidak mau kalah, tetap anggap dirinya sendiri
lebih tinggi setingkat daripada Co Leng-tan.
Keruan gusar Leng-tan tak terperikan, jawabnya dengan dingin, “Gak-heng punya gelar ‘Kun-cu-kiam’ (Pedang
Kesatria) sudah termasyhur di seluruh jagat. Sampai di mana ‘kesatria’ Gak-heng kukira tidak perlu dijelaskan,
tapi betapa pun pula nilai ‘pedang’ gelaranmu itu kukira tiada jeleknya diuji sekarang juga agar para hadirin
dapat ikut menyaksikan.”
“Benar, benar! Tarung saja ke atas panggung!”
“Hayolah berhantam saja, buat apa melulu omong doang!”
“Bergebrak dulu dan urusan belakang!” demikian seru orang banyak.
Tapi Gak Put-kun tenang-tenang saja tanpa menjawab.
Di waktu merencanakan penggabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah dalam perhitungan Co Leng-tan sampai di
mana kepandaian tokoh-tokoh lawannya, ia yakin kepandaian dirinya cukup kuat untuk mengatasi ketua
keempat aliran yang lain. Sebab itulah dengan giat dia mengusahakan terlaksananya penggabungan itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tentang ilmu Gak Put-kun yang diandalkan, yaitu “Ci-he-sin-kang” memang juga diketahui oleh Co Leng-tan
ketika terjadi pertarungan di Siau-lim-si dahulu, maka ia pun dapat mengukurnya bahwa dirinya masih
sanggup mengatasi Gak Put-kun. Apalagi waktu di Siau-lim-si dahulu, ketika Gak Put-kun menendang Lenghou
Tiong, tapi kaki sendiri berbalik tergetar patah, dari sini pun dapat diketahui lwekang ketua Hoa-san-pay itu
pun cuma sekian saja. Sebab kalau orang yang memiliki lwekang dengan sempurna, sekalipun tidak dapat
mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai dirinya sendiri.
Karena perasaan yang mantap itu, pula melihat gelagatnya Gak Put-kun seperti tidak bermaksud naik
panggung untuk bertanding dengan dia, keruan Co Leng-tan menjadi lebih takabur, pikirnya, “Gak Put-kun
sangat licik, kalau sekarang aku tidak menaklukkan dia, kelak orang seperti dia tentu akan membahayakan
Ngo-gak-pay yang kupimpin.”
Maka dengan nada menghina Co Leng-tan lantas berkata pula, “Gak-heng, para hadirin sama ingin melihat
kepandaianmu, mengapa kau tidak memberi muka kepada orang banyak?”
“Jika demikian kata Co-heng, ya, apa boleh buat, terpaksa Cayhe menurut saja,” jawab Gak Put-kun. Maka
selangkah demi selangkah ia naik ke atas Hong-sian-tay melalui undak-undakan batu. Padahal kalau mau
sekali lompat saja dengan gampang ia dapat naik ke sana seperti apa yang dilakukan Co Leng-tan tadi.
Melihat bakal ada pertunjukan ramai, para hadirin sama bersorak gembira.
Setiba di atas panggung batu itu, Gak Put-kun memberi hormat, katanya, “Co-heng, kita sekarang sudah
terhitung sesama perguruan, cuma para hadirin minta Siaute lemaskan otot, terpaksa kulakukan sebisanya.
Kita hanya saling belajar, tidak perlu saling melukai, cukup asal sudah kena, lalu berhenti. Bagaimana
pendapatmu?”
“Sudah tentu aku akan hati-hati dan berusaha sebisanya agar tidak melukai Gak-heng,” kata Co Leng-tan.
Serentak orang-orang Ko-san-pay sama berteriak mengejek, “Huh, belum dihajar sudah minta ampun, ada
lebih baik mengaku kalah saja dan tak perlu bertanding.”
“Ya, kalau takut mampus, silakan lekas turun kembali saja.”
“Memangnya senjata tak bermata, begitu mulai bergebrak siapa berani tanggung takkan terluka atau binasa?”
Namun Gak Put-kun tersenyum-senyum saja, katanya lantang, “Senjata memang tidak bermata, memang
sukar terjamin takkan terluka atau mati.”
Sampai di sini ia lantas berpaling kepada orang-orang Hoa-san-pay dan berseru, “Dengarkan para murid Hoasan,
aku hanya saling belajar saja dengan Co-suheng dan sekali-kali tiada punya permusuhan apa-apa, bila
nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Co-suheng atau terluka parah, hal ini adalah salahku sendiri dan
kalian tidak boleh dendam dan menuntut balas kepada Co-supek. Yang penting rasa persatuan Ngo-gak-pay
kita harus tetap dipegang teguh.”
Gak Leng-sian dan lain-lain serentak mengiakan.
Hal ini rada di luar dugaan Co Leng-tan malah, katanya kemudian, “Gak-heng ternyata sangat bijaksana dan
mengutamakan kepentingan Ngo-gak-pay kita, sungguh sangat baik.”
“Peleburan kelima aliran kita adalah urusan penting yang mahasulit,” kata Put-kun dengan tersenyum. “Kalau
sekarang disebabkan persoalan kita berdua sehingga terjadi pertengkaran sendiri di antara sesama anggota
Ngo-gak-pay, maka jelas telah mengingkari asas tujuan penggabungan kelima aliran kita.”
“Ya, memang tidak salah,” kata Co Leng-tan. Di dalam hati ia terpikir bahwa Gak Put-kun sudah jeri padanya,
maka sebentar harus ditaklukkannya untuk menegakkan wibawa.
Dengan penuh keyakinan, segera Co Leng-tan melolos pedangnya, “creeng”, suaranya nyaring melengking
panjang. Kiranya dia sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut keluar pedangnya, batang pedang
bergesek dengan sarungnya dan mengeluarkan suara nyaring. Penonton yang tidak tahu sebab musababnya
sama melongo kaget. Sebaliknya orang-orang Ko-san-pay kembali bersorak memberi pujian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu Gak Put-kun juga lantas mengeluarkan pedangnya, namun caranya berbeda. Dengan perlahanlahan
ia menanggalkan pedang dan sarungnya yang menggantung di pinggangnya, lalu ditaruh pada pojok
panggung, dari situ baru perlahan-lahan ia lolos keluar pedangnya.
Melulu dari cara mencabut pedang masing-masing sudah kentara pihak mana lebih kuat dan pertandingan ini
sebenarnya sudah jelas pihak mana yang lebih unggul.
Sementara itu Lenghou Tiong yang terluka parah karena bahu kanan tertembus oleh pedang Gak Leng-sian tadi
sedang dirubung-rubung anak murid Hing-san-pay untuk diberi pertolongan. Ing-ing tidak menghiraukan
kedudukan sendiri lagi tadi, yang maju mencabut pedang Lenghou Tiong itu adalah dia serta memondongnya
ke pinggir. Bersama-sama Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain mereka sibuk memberi obat luka yang paling mujarab
dari Hing-san-pay.
Walaupun terluka parah, tapi pikiran Lenghou Tiong tetap jernih, ketika melihat kesibukan Ing-ing dan murid
Hing-san-pay yang prihatin menghadapi keadaannya yang parah itu, diam-diam ia merasa menyesal, hanya
karena ingin menyenangkan hati siausumoay, sebaliknya Ing-ing dan para murid Hing-san-pay harus dibikin
cemas sedemikian. Sekuatnya ia coba tersenyum dan berkata, “Ah, sedikit kurang hati-hati, entah bagaimana
telah di... dilukai oleh pedang ini. Kukira tidak... tidak apa-apa, tidak apa-apa, tak perlu....”
“Sssst, jangan bersuara,” kata Ing-ing.
Meski dia sengaja membuat suaranya sekasar-kasarnya supaya cocok dengan penyamarannya sebagai seorang
laki-laki berewok, tapi sukar duga menutupi suara perempuan yang lembut. Keruan para murid Hing-san-pay
sama terheran-heran mendengar suara seorang laki-laki berewok itu sedemikian aneh.
“Coba kulihat... kulihat....” kata Lenghou Tiong sambil memandang ke arah panggung.
Gi-jing mengiakan dan segera menarik minggir dua orang sumoaynya yang menghalangi penglihatan Lenghou
Tiong. Saat itu Gak Leng-sian lagi bertanding melawan Co Leng-tan, apa yang terjadi kemudian dapat
diikutinya dengan samar-samar karena keadaannya yang payah.
Ketika Gak Put-kun melolos pedang menghadapi Co Leng-tan, saat itu para penonton sama menahan napas
menantikan terjadinya pertarungan dahsyat. Maka suasana di puncak Ko-san seketika menjadi sunyi senyap.
Sayup-sayup Lenghou Tiong mendengar suara orang membaca kitab Buddha dengan suara yang sangat lirih.
Dari suaranya yang lembut dan doa yang penuh kesungguhan dan kekhidmatan Lenghou Tiong yakin yang
sedang berdoa baginya itu pastilah Gi-lim.
Dahulu Gi-lim juga pernah membaca kitab dan berdoa baginya ketika di luar Kota Heng-san, waktu itu ia tidak
berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata Gi-lim yang mesra serta wajahnya yang cantik itu dengan
jelas terbayang di depan matanya. Kini Lenghou Tiong duduk bersandar di atas badan Ing-ing yang lunak,
telinganya mendengar suara berdoa Gi-lim, seketika timbul perasaan cintanya yang sukar dilukiskan. Pikirnya,
“Tidak hanya Ing-ing, bahkan Gi-lim Sumoay juga sangat memerhatikan diriku. Bahkan mereka lebih
mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri. Sekalipun badanku hancur lebur sukar juga
rasanya untuk membalas budi kebaikan mereka.”
Dalam pada itu pertandingan di atas panggung sudah mulai bersiap-siap. Gak Put-kun melintangkan pedang di
depan dada, tangan kirinya bergaya seperti pegang pensil hendak menulis. Co Leng-tan tahu ini adalah jurus
Hoa-san-kiam-hoat yang disebut “Si-kiam-hwe-yu” (Menemui Sahabat dengan Syair dan Pedang), jurus ini
adalah jurus pembukaan bilamana pihak Hoa-san-pay bertarung dengan teman sesama persilatan, jurus ini
mengandung arti pertandingan ini hanya dilakukan secara persahabatan saja dan tidak perlu mengadu jiwa.
Co Leng-tan menampilkan senyuman puas, katanya, “Ah, tidak perlu sungkan-sungkan.”
Tapi dalam hati ia pun waswas, biarpun Gak Put-kun bergelar “Pedang Kesatria”, namun lebih banyak munafik
daripada kesatria tulen, belum tentu dia benar-benar hendak bertanding secara bersahabat dengan aku, bisa
jadi dia sudah jeri, tapi dia sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga apa-apa, kemudian dia
lantas menggunakan serangan maut untuk merobohkan diriku. Demikian pikir Co Leng-tan.
Segera tangan kirinya terpentang ke samping, pedang di tangan kanan lantas menjurus ke depan, yang dia
gunakan adalah jurus “Khay-bun-kian-san” (Buka Pintu Tampak Gunung) dari Ko-san-kiam-hoat. Jurus ini
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengandung arti, kalau mau berkelahi silakan mulai saja dan tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini
pun dia hendak menyindir secara halus kemunafikan pihak lawan.
Sudah tentu Gak Put-kun paham arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Co Leng-tan itu. Segera
pedangnya menjulur ke tengah, ujung pedang bergetar, tapi sampai di tengah jalan mendadak ujung pedang
menyungkit ke atas, inilah jurus “Jing-san-in-in” (Gunung Menghijau Samar-samar), suatu jurus yang penuh
perubahan-perubahan lihai.
Segera pedang Co Leng-tan membacok dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para
penonton sama bersuara kaget. Kiranya gerakan Co Leng-tan ini tidak terdapat dalam Ko-san-kiam-hoat, yang
dia gunakan sesungguhnya adalah gaya ilmu pukulan yang digunakan atas pedang. Jurus ini disebut “Tok-pikhoa-
san” (Satu Kali Membelah Hoa-san), jurus pukulan ini sangat umum bagi setiap orang yang belajar ilmu
silat pukulan. Selama ini pun semua orang tahu tiada terdapat jurus demikian dalam Ko-san-kiam-hoat,
seumpama ada, mengingat nama Hoa-san-pay selayaknya mesti dihindarkan pemakaiannya. Tapi sekarang Co
Leng-tan sengaja menggunakan pedang dan memainkan jurus serangan itu, terang dia bermaksud memancing
kemarahan Gak Put-kun. Kalau marah tentu pula akan kurang cermat dalam pertarungan nanti.
Di luar dugaan Gak Put-kun tetap tenang-tenang saja, ia mengegos ke samping atas bacokan Co Leng-tan tadi,
menyusul dari samping ia lantas batas menusuk dengan jurus “Ko-pek-sim-sim” (Cemara Tua Rindang
Rimbun).
Melihat sikap Gak Put-kun yang tenang dan teratur itu, jelas orang telah merancangkan pertarungan jangka
lama dengan dia, maka Co Leng-tan tidak berani gegabah lagi. Segera ia melancarkan serangan pula dengan
lebih hati-hati.
Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung dengan segenap kemahiran masing-masing dengan ilmu pedang dari
aliran sendiri-sendiri. Begitu seru sehingga dalam sekejap saja kedua orang seakan-akan terbungkus rapat oleh
sinar pedang. Meski Gak Put-kun belum ada tanda-tanda akan kalah, tapi di bawah serangan Co Leng-tan yang
gencar, tampaknya Ko-san-kiam-hoat lebih banyak digunakan menyerang daripada untuk bertahan.
Sejak timbul cita-cita Co Leng-tan hendak melebur Ngo-gak-kiam-pay, lebih dulu ia telah merangkul tenagatenaga
Hoa-san-pay dari sekte pedang seperti Seng Put-yu dan kawan-kawannya, mereka dihasut untuk
memusuhi Gak Put-kun untuk mengurangi kekuatan Hoa-san-pay, di samping itu diam-diam ia menugaskan
murid kepercayaannya untuk meneliti dengan cermat setiap jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang dimainkan
Gak Put-kun dan kemudian dilaporkan kepadanya. Hasilnya Co Leng-tan memang banyak mengetahui titik
kekuatan dan titik kelemahan Hoa-san-kiam-hoat. Maka pertandingan sekarang cukup membuatnya mantap,
yakin pasti akan menang.
Kira-kira sudah dekat ratusan jurus kedua pihak masih sama kuatnya. Suatu ketika Co Leng-tan mendadak
angkat pedangnya ke atas, menyusul tangan kiri terus menghantam ke depan, pukulan telapak tangan ini
mengancam 36 tempat hiat-to di tubuh musuh bagian atas, kalau Gak Put-kun menghindar tentu juga akan
terluka oleh pedang Co Leng-tan.
Di sini mulailah Gak Put-kun memperlihatkan kemampuannya. Air mukanya mendadak berubah gelap, merah
keungu-unguan, ia pun menggunakan telapak tangan kiri untuk menyambut hantaman lawan. “Blang”, kedua
tangan beradu. Gak Put-kun melompat pergi, sebaliknya Co Leng-tan berdiri tegak.
Melihat adu pukulan itu, Lenghou Tiong menjadi khawatir dan prihatin atas keselamatan Gak Put-kun. Ia tahu
betapa lihai ilmu pukulan Co Leng-tan yang mahadingin itu, tempo hari Yim Ngo-heng saja termakan dan
pernah membikin empat orang berubah menjadi manusia salju ketika penyakit dinginnya kumat akibat pukulan
Co Leng-tan itu.
Namun Gak Put-kun ternyata sanggup bertahan, dengan tenang ia berseru, “Apakah ilmu pukulanmu ini ilmu
silat murni dari Ko-san-pay?”
“Ini adalah ilmu pukulan ciptaanku sendiri, kelak akan kuajarkan kepada murid pilihan dalam Ngo-gak-pay
kita,” jawab Co Leng-tan.
“Kiranya demikian, biarlah kuminta petunjuk beberapa jurus lebih banyak,” kata Gak Put-kun.
“Bagus,” sahut Co Leng-tan. Diam-diam ia mengakui juga kelihaian “Ci-he-sin-kang” yang dikuasai Gak PutDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kun, buktinya sedikitnya ketua Hoa-san-pay itu tidak menggigil dingin, bahkan sanggup buka suara. Tapi ia
yakin kalau Gak Put-kun berani menyambut beberapa jurus ilmu pukulannya yang mahadingin “Han-peng-sinciang”
(Pukulan Sakti Sedingin Es) akhirnya pasti tak tahan dan akan menggigil.
Segera Co Leng-tan putar pedangnya terus menusuk, cepat Gak Put-kun menangkisnya. Beberapa jurus lagi,
“blang”, kembali pukulan kedua orang beradu. Sekali ini Gak Put-kun tidak menghindar pergi, sebaliknya
pedang terus menebas ke pinggang lawan malah.
Giliran Co Leng-tan yang menangkis dengan pedangnya, berbareng telapak tangan kiri terus menggaplok
sekeras-kerasnya ke batok kepala lawan. Gaplokan dari atas ke bawah ini sungguh luar biasa dahsyatnya.
Tapi Gak Put-kun kembali angkat tangan kiri untuk memapaknya. “Plok”, untuk ketiga kalinya mereka beradu
tangan. Sambil mendakkan tubuh Gak Put-kun terus melompat ke samping. Sedangkan Co Leng-tan lantas
mencaci maki, “Bangsat! Tidak tahu malu!”
Nadanya sangat gusar dan penuh penasaran.
Sudah jelas para penonton menyaksikan Gak Put-kun kecundang, waktu melompat pergi tampaknya juga
sempoyongan. Tapi mengapa Co Leng-tan mencaci makinya dengan gemas, hal ini sungguh membuat mereka
bingung.
Kiranya pada adu tangan yang ketiga, mendadak tengah telapak tangan Co Leng-tan terasa sakit, sesudah Gak
Put-kun melompat pergi, sekilas Co Leng-tan melihat telapak tangannya ada suatu lubang kecil dan
mengeluarkan darah kehitam-hitaman.
Keruan Co Leng-tan terkejut dan murka, ia pikir tentu Gak Put-kun memasang jarum berbisa di tengah
tangannya sehingga secara licik melukainya. Dari darah kehitam-hitaman yang keluar itu terang jarumnya
berbisa. Sungguh tidak nyana tokoh yang bergelar “Pedang Kesatria” ternyata begitu rendah perbuatannya.
Cepat ia menghirup hawa segar panjang-panjang, lalu menutuk tiga kali pada bahu kiri sendiri untuk menahan
menjalarnya racun.
Sekarang ia tidak mau memberi angin lagi kepada Gak Put-kun, ia putar pedangnya yang melancarkan
gerangan dengan lebih gencar.
Bab 117. Gak Put-kun Keluar Sebagai Pemenang
Gak Put-kun juga tidak ayal, ia pun menangkis dan balas menyerang dengan sama ganasnya. Cuaca sekarang
sudah remang-remang mendekati magrib, pertandingan kedua tokoh di atas Hong-sian-tay itu kini bukan
pertandingan persahabatan lagi, tapi pertarungan mati-matian, hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para
penonton.
Setelah beberapa jurus lagi, melihat lawannya bertahan dengan sangat rapat, Co Leng-tan mulai tidak sabar,
makin kuat tenaga yang dikerahkan untuk memainkan pedangnya.
Tampaknya Gak Put-kun mulai kewalahan, tapi mendadak ilmu pedangnya berubah, pedangnya sebentar
menjulur sebentar mengerut, gerak serangannya sangat aneh.
Keruan para penonton terheran-heran. “Ilmu pedang apakah ini?” demikian ada orang bertanya dengan suara
perlahan. Tapi yang tanya boleh tanya, yang jawab ternyata tidak ada, paling-paling hanya menggeleng kepala
saja.
Co Leng-tan mendengus, katanya di dalam hati, “Memangnya aku sudah menduga pada saat terakhir kau tentu
akan keluarkan simpananmu ini, kau tidak tahu bahwa sebelumnya aku sudah bersiap. Kau punya ‘Pi-sia-kiamhoat’
mungkin lihai kalau digunakan terhadap orang lain, tapi bisa berbuat apa terhadapku?”
Lenghou Tiong mengikuti pertarungan Gak Put-kun melawan Co Leng-tan sambil bersandar pada badan Inging.
Ketika mendadak melihat ilmu pedang sang guru berubah aneh dan cepat luar biasa, sama sekali berbeda
daripada Hoa-san-kiam-hoat, ia menjadi terheran-heran. Dalam sekejap saja dilihatnya ilmu pedang yang
dimainkan Co Leng-tan juga sudah berubah, gerak pedangnya yang dimainkan sekarang ternyata hampir mirip
dengan Gak Put-kun.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Beberapa jurus lagi Lenghou Tiong lantas ingat ketika di Siau-lim-si dahulu, waktu Co Leng-tan bertanding
dengan Yim Ngo-heng dengan jurus-jurus serangannya yang aneh, tatkala mana Hiang Bun-thian pernah
berseru, “Pi-sia-kiam-hoat!”
Kini yang digunakan sang suhu dan Co Leng-tan adalah ilmu silat yang pernah dimainkan Co Leng-tan dahulu,
apakah yang mereka gunakan sekarang ini memang betul Pi-sia-kiam-hoat adanya?
Seketika pikiran Lenghou Tiong menjadi bergolak, terpikir olehnya, sebab dirinya diusir dari Hoa-san-pay
kecuali alasan pergaulannya dengan Ing-ing dan orang-orang Mo-kau, tapi ada pula alasan lain, yaitu karena
sang suhu mencurigai dirinya menggelapkan Pi-sia-kiam-boh milik Lim Peng-ci itu.
Bahwasanya sang guru juga mahir Pi-sia-kiam-hoat dapatlah dimengerti, sebab bukan mustahil Gak Put-kun
telah mempelajarinya bersama Lim-sute. Tapi mengapa Co Leng-tan juga mahir memainkan ilmu pedang
keluarga Lim ini. Apa barangkali Pi-sia-kiam-boh dahulu pernah direbut Co Leng-tan dan kemudian direbut
kembali oleh Suhu? Jika demikian halnya rasanya takkan menguntungkan Suhu, sebab Co Leng-tan lebih lama
berlatih, tentu hasil yang dicapainya lebih hebat daripada Suhu. Demikian Lenghou Tiong membatin.
Benar juga, keadaan pertarungan di atas Hong-sian-tay ternyata mendekati dugaannya, tertampak Co Lengtan
terus melancarkan serangan dan Gak Put-kun terdesak mundur. Melihat banyak kelemahan-kelemahan
ilmu pedang yang dimainkan sang guru yang semakin banyak, keadaannya tambah berbahaya, Lenghou Tiong
merasa gelisah juga.
Di lain pihak demi melihat Co Leng-tan sudah di pihak menang, serentak anak murid Ko-san-pay sama
memberi sorak pujian.
Co Leng-tan semakin bersemangat menyerang dengan gencar, ia merasa girang karena melihat pihak lawan
sudah mulai kacau, segera ia menyerang terlebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang beradu,
sekali puntir dan menyungkit, Co Leng-tan berhasil membikin pedang Gak Put-kun mencelat ke udara.
Serentak anak murid Ko-san-pay bersorak-sorai gembira.
Tak terduga Gak Put-kun lantas menubruk maju pula dengan bertangan kosong, dengan cara menutuk,
mencengkeram, dan gaya-gaya lain, ternyata serangannya tidak kalah lihainya daripada Co Leng-tan.
Terutama gerak tubuhnya yang lincah dan enteng, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana, betapa
cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar dibayangkan.
Keruan Co Leng-tan terperanjat, teriaknya takut, “Kau... kau ini....” namun untuk bicara saja tidak sempat,
terpaksa ia harus bertahan sebisanya.
Begitu tegang perubahan pertarungan di atas panggung itu sehingga pedang Gak Put-kun yang mencelat ke
udara dan jatuh kembali menancap di atas panggung tak diperhatikan orang lagi.
“Tonghong Put-pay! Tonghong Put-pay!” seru Ing-ing tertahan.
Kini Lenghou Tiong juga sudah dapat melihat jelas bahwa ilmu silat yang digunakan suhunya sekarang tiada
ubahnya seperti ilmu silat Tonghong Put-pay ketika gembong Mo-kau itu menempur mereka berempat di Hekbok-
keh dahulu.
Saking kejut dan heran, Lenghou Tiong sampai lupa sakit dan berdiri. Syukur dari samping sebuah tangan yang
mungil lantas menjulur tiba dan memapahnya, namun dia masih tidak merasakannya. Malahan sepasang mata
jelita yang sedang memandangnya dengan kesima juga tidak dirasakannya.
Pada saat itu, beribu-ribu pasang mata di puncak Ko-san itu hanya ada sepasang mata yang sejak mula tidak
pernah memerhatikan apa yang terjadi di situ, sedetik pun sorot mata Gi-lim belum pernah meninggalkan diri
Lenghou Tiong, sekalipun dunia akan kiamat saat itu mungkin juga tak dihiraukan olehnya.
Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan menjerit, sedangkan Gak Put-kun terus melompat mundur dan
berdiri di ujung panggung sana, tepat di pinggir panggung, badannya rada tergeliat-geliat seperti mau
tergelincir ke bawah.
Di sebelah lain Co Leng-tan masih terus putar pedangnya dengan kencang, yang dimainkan adalah Ko-sankiam-
hoat yang hebat, begitu rapat pedangnya berputar sehingga seluruh badannya seakan terbungkus oleh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sinar pedangnya. Anehnya ilmu pedangnya yang hebat itu seakan-akan cuma dimainkan sebagai demonstrasi
saja tanpa menyerang kepada Gak Put-kun, keadaannya tampak rada-rada tidak beres.
Sejenak kemudian, mendadak pedang Co Leng-tan menusuk ke depan, lalu berhenti di tengah jalan, kepalanya
rada miring seperti sedang mendengarkan apa-apa.
Pada saat itulah orang-orang yang bermata tajam dapat melihat dengan jelas ada dua tetes darah mengucur
keluar dari kedua mata Co Leng-tan. Serentak di antara para penonton ada yang berkata, “He, matanya buta!”
Ucapan orang itu tidak terlalu keras, namun cukup jelas didengar Co Leng-tan. Ia menjadi gusar dan berteriak,
“Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta? Hayo Gak Put-kun, pengecut kau,
bangsat! Kalau berani majulah dan bergebrak 300 jurus lagi dengan tuanmu!”
Makin berteriak makin keras dengan nada penuh kemurkaan, kesakitan, dan putus asa laksana seekor binatang
liar yang terluka parah dan sedang meronta sebelum ajal.
Sebaliknya Gak Put-kun tetap berdiri di ujung panggung dengan tersenyum-senyum. Kini semua orang dapat
melihat dengan jelas, kedua mata Co Leng-tan memang benar telah tertusuk buta oleh Gak Put-kun.
Semuanya melongo heran, hanya Lenghou Tiong dan Ing-ing saja tidak merasa aneh atas kejadian ini. Sebab
ilmu silat yang dimainkan Gak Put-kun itu sudah mereka kenal waktu mereka berempat mengerubut Tonghong
Put-pay di Hek-bok-keh tempo hari, untung perhatian Tonghong Put-pay dipencarkan oleh akal Ing-ing yang
pura-pura menyerang Nyo Lian-ting sehingga akhirnya Tonghong Put-pay dapat mereka bunuh, walaupun
begitu sebelah mata Yim Ngo-heng toh tertusuk buta oleh jarum Tonghong Put-pay.
Gerak tubuh Gak Put-kun memang tidak segesit Tonghong Put-pay, tapi satu lawan satu tentu saja Co Lengtan
bukan tandingan Gak Put-kun, dan memang benar, dalam sekejap saja kedua matanya sudah tertusuk
buta.
Melihat sang suhu menang, hati Lenghou Tiong ternyata tidak merasa senang, sebaliknya mendadak timbul
semacam perasaan takut yang sukar dikatakan, bahkan juga perasaan muak. Ia tertegun sejenak, tiba-tiba
lukanya terasa sakit, segera ia duduk kembali dengan lesu.
“Kenapa?” cepat Ing-ing dan Gi-lim memegangi bahunya dan bertanya dengan khawatir.
“Tidak... tidak apa-apa,” jawab Lenghou Tiong dengan senyuman yang dipaksakan.
Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan lagi berteriak-teriak, “Gak Put-kun, bangsat kau! Kalau berani hayolah
maju lagi, kenapa main sembunyi-sembunyi, pengecut kau... hayo maju!”
Melihat jago pihaknya sudah tak berdaya, si kakek she Han dari Ko-san-pay tadi berkata kepada anak-anak
buahnya, “Kalian pergi memapah turun Suhu!”
Dua murid Co Leng-tan mengiakan terus meloncat ke atas panggung dan berseru, “Suhu, marilah kita turun
saja!”
Namun Co Leng-tan masih terus menantang, “Hayolah maju Gak Put-kun!”
Ketika seorang muridnya menjulurkan tangan buat memapahnya, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu tubuhnya telah tertebas menjadi dua mulai dari bahu kanan ke pinggang sebelah kiri. Menyusul sinar
pedang berkelebat pula, muridnya yang lain juga mengalami nasib yang sama, tubuhnya tertebas menjadi dua
sebatas dada.
Keruan semua orang menjerit kaget. Betapa lihai ilmu pedang Co Leng-tan jelas tertampak dari tebasannya
barusan ini. Namun Gak Put-kun toh mampu menandinginya tadi, hal ini pun luar biasa.
Perlahan-lahan Gak Put-kun melangkah ke tengah panggung dan mengambil kembali pedangnya, lalu berkata,
“Co-heng, karena kau sudah cacat, maka aku takkan mengusik kau lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau
masih ingin berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay dengan aku?”
Co Leng-tan angkat pedangnya perlahan-lahan, ujung pedang terarah tepat ke dada lawan. Darah bertetestetes
menitik jatuh dari batang pedangnya, semua orang sampai menahan napas karena ingin tahu apakah Co
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-tan akan menusukkan pedangnya itu dan dapatkah Gak Put-kun menangkisnya?
Tampaknya Co Leng-tan telah mengerahkan segenap tenaganya pada pedangnya itu, sebaliknya Gak Put-kun
juga menghimpun kekuatan Ci-he-sin-kang dan siap untuk menghadapi serangan menentukan dari Co Leng-tan
itu.
Namun pada detik berbuat dan tidak itu, dalam benak Co Leng-tan tiba-tiba timbul macam-macam pikiran, ia
pikir kalau serangan terakhir ini tidak mampu membinasakan Gak Put-kun atau kena ditangkis, maka diri
sendiri yang sudah buta tentu tiada pilihan lain kecuali mati konyol di tangan Gak Put-kun, dan itu berarti pula
buyarlah semua jerih payah sendiri dalam usaha menjagoi Ngo-gak-pay yang telah berjalan sekian lamanya.
Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dada terasa panas, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Gak Put-kun yang berdiri berhadapan itu tidak berani bergerak sedikit pun karena khawatir tidak sanggup
menahan serangan lawan yang tiba-tiba datangnya, maka mukanya dan sekujur badan menjadi basah kuyup
tersembur oleh darah yang ditumpahkan Co Leng-tan itu.
Mendadak Co Leng-tan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, lalu ia menengadah
dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga berkumandang jauh dan menggema angkasa
pegunungan.
Habis tertawa ia terus melangkah ke bawah punggung. Ketika sampai di tepi dan sebelah kakinya menginjak
tempat kosong, namun dia sudah siap sebelumnya, sebelah kakinya lantas melayang ke depan sehingga
tubuhnya menurun ke bawah dengan tegak.
Setiba di bawah panggung, anak murid Ko-san-pay lantas merubunginya dan berseru, “Suhu, marilah kita
terjang mereka dan cincang segenap orang Hoa-san-pay itu.”
Namun Co Leng-tan lantas berseru lantang, “Tidak! Seorang laki-laki harus pegang janji. Sebelumnya sudah
ditentukan bertanding untuk berebut juara, kalau Gak-siansing jelas lebih unggul daripadaku, kita semua harus
mengangkatnya menjadi ketua, mana boleh ingkar janji?”
Ketika kedua matanya mendadak dibutakan tadi, saking kaget dan murkanya ia telah mencaci maki lawannya,
tapi sesudah tenang kembali segera pulih pula sikap dan gayanya sebagai seorang pemimpin persilatan yang
besar.
Para penonton sama kagum juga melihat Co Leng-tan yang berani menghadapi kenyataan itu, coba kalau
sampai terjadi pertarungan besar, tentu pihak Hoa-san-pay akan sukar menghadapi pihak Ko-san-pay yang
berjumlah lebih banyak dan keuntungan tempat pula.
Di antara hadirin sudah tentu banyak di antaranya terdiri dari manusia-manusia “plinplan” yang cuma
mengikuti arah angin, demi mendengar ucapan Co Leng-tan itu, serentak mereka bersorak-sorai, “Hidup Gaksiansing!
Silakan Gak-siansing menjadi ketua Ngo-gak-pay!”
Tentu saja anak murid Hoa-san-pay lebih-lebih gembira dan teriakan mereka paling lantang. Kemenangan Gak
Put-kun yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi terlalu cepat dan sama sekali di luar dugaan mereka sendiri.
Setelah mengusap darah yang mengotori mukanya, Gak Put-kun lantas maju ke tepi panggung, serunya sambil
memberi hormat kepada para hadirin, “Pertandingan Cayhe dengan Co-suheng sebenarnya diharapkan berakhir
dalam batas-batas tertentu. Namun kepandaian Co-suheng ternyata terlalu hebat sehingga pedangku tergetar
lepas, pada saat berbahaya itu Cayhe terpaksa harus menyelamatkan diri sehingga tidak dapat menguasai diri
dan akhirnya kedua mata Co-suheng menjadi korban, sungguh Cayhe merasa tidak enak hati.”
“Senjata tidak bermata, siapa bisa menjamin takkan cedera dalam pertarungan sengit itu,” seru seorang
penonton.
Tiba-tiba seorang lagi berseru, “Sekarang kalau ada lagi yang ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, hayolah
silakan naik ke atas untuk bertanding pula dengan Gak-siansing!”
Suasana ternyata sepi-sepi saja. Maka beratus-ratus orang lantas berteriak pula, “Gak-siansing yang pantas
menjadi ketua Ngo-gak-pay!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Menunggu setelah suara ramai itu rada tenang barulah Gak Put-kun berkata dengan suara lantang, “Atas
dukungan Saudara-saudara, terpaksa Cayhe tak bisa menolak. Ngo-gak-pay mulai hari ini didirikan, segala apa
masih harus diatur, Cayhe hanya dapat memimpin secara garis besar saja. Maka urusan-urusan di Heng-san
diharap Bok-taysiansing tetap memegangnya, urusan di Hing-san hendaklah Lenghou Tiong, Lenghou-hiante,
yang melanjutkan. Sedangkan urusan di Thay-san harap Giok-seng dan Giok-im berdua Totiang yang
memimpin bersama. Adapun urusan Ko-san-pay, karena pandangan Co-suheng kurang leluasa, kukira harus
diperbantukan... baiklah, silakan Han Thian-peng, Han-suheng sudi bantu Co-suheng mengurus pekerjaan
sehari-hari.”
Usul Gak Put-kun ini sama sekali di luar dugaan tokoh tua she Han dari Ko-san-pay tadi, ia sampai tergagapgagap
tak bisa bicara.
Orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama heran juga. Padahal Han Thian-peng itu tadi paling tegas
memusuhi Gak Put-kun dengan olok-oloknya secara kasar, siapa duga Gak Put-kun malah menunjuknya
sebagai pembantu Co Leng-tan untuk memimpin pekerjaan di Ko-san. Karena itu rasa gusar orang-orang Kosan-
pay karena kedua mata pemimpin mereka dibutakan Gak Put-kun segera rada berkurang demi melihat
tokoh Ko-san-pay mereka masih cukup dihargai oleh Gak Put-kun.
Kemudian Gak Put-kun membuka suara pula, “Untuk selanjutnya segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay kita
harus bersatu padu, kalau tidak, maka tiada artinya lagi peleburan ini. Cayhe sendiri sebenarnya tidak punya
kepandaian apa-apa, untuk sementara dipilih memegang pimpinan, maka banyak pekerjaan-pekerjaan yang
masih harus dirundingkan dengan Saudara-saudara sekalian. Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan
Saudara-saudara mengaso saja dan dahar dulu!”
Maka bersoraklah semua orang dan beramai-ramai turun menuju ke halaman markas Ko-san-pay. Ketika Gak
Put-kun turun dari panggung, beramai-ramai Hong-ting Taysu, Tiong-hi, dan lain-lain lantas maju memberi
selamat padanya. Tokoh-tokoh itu sama merasa lega setelah Ngo-gak-pay dapat diduduki oleh Gak Put-kun
yang dipandang sebagai kesatria yang baik daripada Co Leng-tan yang kejam dan culas itu.
“Gak-siansing,” dengan suara perlahan Hong-ting berkata kepada Gak Put-kun, “menurut pendapatku bukan
mustahil pihak Ko-san masih akan mencari perkara padamu. Sebaiknya Gak-siansing berjaga-jaga dan berhatihati.”
“Terima kasih atas petunjuk Taysu,” kata Put-kun.
“Siau-sit-san tidak terlalu jauh dari sini, bila perlu apa-apa silakan memberi kabar,” kata Hong-ting pula.
“Maksud baik Taysu sungguh kuterima dengan terima kasih tak terhingga,” kata Put-kun sambil memberi
hormat. Dan setelah beramah tamah sejenak dengan Tiong-hi, Pangcu dari Kay-pang, dan lain-lain, lalu ia
mendekati Lenghou Tiong dan menyapa, “Tiong-ji, apakah lukamu tidak menjadi halangan?”
Sejak Lenghou Tiong dipecat dari Hoa-san-pay baru pertama kali ini Gak Put-kun memanggil “Tiong-ji”
sedemikian ramahnya kepada Lenghou Tiong.
Tapi Lenghou Tiong kini sudah bukan Lenghou Tiong dulu lagi, ia tidak menjadi senang, sebaliknya merasa
seram malah, jawabnya dengan suara tak lancar, “O, ti... dak apa-apa.”
“Maukah kau ikut aku pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu sekalian berkumpul beberapa hari dengan ibugurumu?”
kata Put-kun pula.
Kalau beberapa jam sebelumnya Gak Put-kun mengajak demikian tentu Lenghou Tiong akan kegirangan serta
menerimanya tanpa pikir. Tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu dan takut-takut untuk ikut ke Hoa-san.
“Bagaimana, mau?” tanya pula Put-kun.
“Obat luka Hing-san-pay cukup baik, biarlah sesudah luka Tecu sem... sembuh baru mengunjungi Suhu dan
Sunio,” jawab Lenghou Tiong.
Untuk sejenak Gak Put-kun memandang tajam wajah Lenghou Tiong seakan-akan ingin mengetahui apa
sesungguhnya yang dipikir oleh pemuda itu. Selang sejenak barulah ia berkata pula, “Begitu pun boleh.
Hendaklah kau merawat dirimu dengan baik dan selekasnya berkunjung ke Hoa-san.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong mengiakan dan meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.
“Sudahlah, tak perlu,” kata Put-kun ramah sambil mengulur tangan untuk memegang lengan kanan orang.
Tapi Lenghou Tiong lantas mengelakkan tubuhnya, air mukanya tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.
Gak Put-kun mendengus perlahan, sekilas mukanya bersungut, tapi segera pula ia tersenyum, katanya dengan
gegetun, “Siausumoaymu sungguh keterlaluan, untung tidak mengenai tempat yang berbahaya.”
Habis itu perlahan-lahan ia memutar tubuh dan melangkah ke sana dengan diiringi beberapa ratus
pendukungnya.
Pandangan Lenghou Tiong mengikuti bayangan sang guru perlahan-lahan menghilang di balik lereng gunung
sana, begitu pula para hadirin berturut-turut juga sudah pergi. Tiba-tiba didengarnya suara seorang perempuan
mendengus, “Hm, munafik!”
Kata-kata itu entah diucapkan oleh murid perempuan Hing-san-pay yang mana, yang pasti kata “munafik”
benar-benar menyentuh lubuk hati Lenghou Tiong. Dalam saat demikian tiada istilah lain yang lebih cocok
untuk mencerminkan apa yang dirasakannya sekarang ini. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan
dikasihinya sekonyong-konyong telah terbuka kedoknya sehingga tertampak mukanya yang bengis
menyeramkan, muka yang culas dan keji.
Sementara itu hari sudah gelap, di samping Hong-sian-tay itu tinggal orang-orang Hing-san-pay saja, yang
lain-lain sudah pergi semua.
“Lenghou-toako, apakah kita juga akan turun ke bawah?” tanya Gi-ho.
“Bagaimana kalau kita bermalam saja di sini?” ujar Lenghou Tiong. Ia merasa akan lebih baik juga bisa
menjauhi Gak Put-kun, maka tidak ingin bertemu muka dengan gurunya di markas Ko-san-pay.
Ternyata ucapan Lenghou Tiong sangat cocok dengan pikiran para murid Hing-san-pay, mereka sama bersorak
menyatakan persetujuan. Soalnya mereka pun muak terhadap Gak Put-kun. Seperti diketahui, ketika di Kota
Hokciu dahulu mereka pernah minta bantuan kepada Gak Put-kun ketika menerima berita Ting-sian Suthay
sedang dikerubut musuh, namun Gak Put-kun telah menolak permintaan mereka tanpa mengingat hubungan
baik sesama Ngo-gak-kiam-pay. Sekarang Lenghou Tiong dilukai pula oleh Gak Leng-sian, malah kedudukan
ketua Ngo-gak-pay kena direbut oleh Gak Put-kun, sudah tentu mereka sangat mendongkol dan lebih suka
bermalam di tempat terbuka, seperti di samping Hong-sian-tay itu, daripada mesti berkumpul dengan Gak Putkun
dan begundalnya.
Maka Gi-jing lantas berkata juga, “Lenghou-suheng terluka, memang paling baik kalau tinggal di sini saja
daripada banyak bergerak. Hanya saja Toako ini....” sampai di sini matanya melirik ke arah Ing-ing.
“Dia bukan toako, tapi Yim-toasiocia,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sedari tadi Ing-ing masih terus memapah Lenghou Tiong. Ia menjadi malu karena mendadak Lenghou Tiong
membongkar rahasia penyamarannya itu, cepat ia lepaskan tangan dan berbangkit.
Lantaran tidak berjaga-jaga, keruan tubuh Lenghou Tiong menjadi terhuyung ke belakang. Untung Gi-lim yang
berdiri di sebelahnya lantas memegangi bahu kirinya sambil berseru, “Eh, hati-hati!”
Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain memang sudah mengetahui kisah cinta antara Ing-ing dan Lenghou Tiong yang
mendalam dan lain daripada yang lain, yang satu pernah mendatangi Siau-lim-si, rela mengorbankan jiwa
sendiri demi menyelamatkan jiwa kekasih, yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang Kang-ouw
menyerbu Siau-lim-si untuk menolongnya, peristiwa itu pernah mengguncangkan seluruh dunia Kang-ouw dan
diketahui oleh setiap orang bu-lim. Kini demi diketahui bahwa lelaki berewok di depan mereka ini ternyata Yimtoasiocia
dari Tiau-yang-sin-kau yang termasyhur itu, banyak di antara mereka sampai berseru kaget
tercampur girang.
Pada umumnya anak murid Hing-san-pay jarang berkelana di dunia Kang-ouw, maka mereka pun tidak banyak
bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau atau yang biasa disebut Mo-kau, apalagi dalam pandangan mereka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Yim-toasiocia ini sudah mereka anggap sebagai calon istri sang ketua, tentu saja pertemuan mereka sekarang
menjadi sangat menyenangkan.
Segera Gi-ho dan lain-lain mengeluarkan perbekalan sebangsa ransum kering dan air untuk dibagi-bagikan,
habis makan mereka lantas merebahkan diri di samping Hong-sian-tay itu. Lenghou Tiong sendiri terluka,
dengan sendirinya sangat lelah dan lemah badannya, maka tidak lama ia lantas terpulas.
Sampai tengah malam, tiba-tiba di kejauhan ada suara bentakan kaum wanita, “Siapa itu?”
Meski terluka parah, namun dengan lwekang yang tinggi segera Lenghou Tiong terjaga bangun. Dari suara tadi
ia tahu anak murid Hing-san-pay yang dinas jaga sedang menegur kaum pendatang.
Maka terdengar seorang menjawab, “Sesama kawan Ngo-gak-pay, murid Gak-siansing dari Hoa-san.”
Ternyata suara Lim Peng-ci adanya.
“Ada urusan apa malam-malam datang ke sini?” tanya pula murid Hing-san-pay tadi
“Cayhe ada janji dengan orang untuk bertemu di bawah Hong-sian-tay, sebelumnya tidak tahu kalau para Suci
beristirahat di sini, harap maaf kalau mengganggu,” jawab Peng-ci dengan sopan.
Pada saat itulah dari arah barat sana berkumandang suara seorang tua, “Bocah she Lim, kau telah menyiapkan
teman Ngo-gak-pay kalian di sini, apakah kau ingin main kerubut dan mencari perkara padaku?”
Dengan jelas Lenghou Tiong dapat mengenali pembicara itu adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay yang
berbadan pendek kecil itu. Ia rada terkejut dan membatin, “Lim-sute dan Ih Jong-hay telah mengikat
permusuhan berhubung terbunuhnya kedua orang tuanya, sekarang mereka berjanji bertemu di sini tentu
untuk membereskan persoalan utang darah ini.”
Maka terdengar Lim Peng-ci sedang menjawab teguran Ih Jong-hay tadi, “Sebelumnya aku tidak tahu kalau
para Suci dari Hing-san-pay bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak mengganggu
ketenangan orang lain.”
“Hahahaha! Ketenangan orang lain sudah kau ganggu, tapi kau masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik
hati. Dasar, ada bapak mertua begitu tentu juga ada menantu begini. Nah, apa yang akan kau katakan lekas
dikeluarkan agar sama-sama bisa tidur nyenyak.”
“Hm, ingin tidur nyenyak? Jangan kau harapkan lagi selama hidupmu ini,” jengek Lim Peng-ci. “Orang-orang
Jing-sia-pay kalian yang datang seluruhnya ada 24 orang termasuk kau, aku mengundang kalian datang semua
ke sini, mengapa yang datang sekarang cuma tiga orang?”
“Hm, kau ini barang macam apa? Masakah kau berani suruh aku begini dan begitu?” jawab Ih Jong-hay dengan
tertawa. “Aku cuma mengindahkan bapak mertuamu karena dia baru saja menjabat ketua Ngo-gak-pay,
makanya aku mau penuhi undanganmu. Nah, kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas
lolos senjata, biar kulihat apakah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kalian sudah lebih maju atau tidak.”
Perlahan-lahan Lenghou Tiong bangkit berduduk, di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Peng-ci
berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak beberapa meter jauhnya. Ia masih ingat Lim Peng-ci
pernah menolongnya ketika ketua Jing-sia-pay itu hendak menghantamnya di Kota Heng-san selagi dia terluka
parah, kalau pukulan Ih Jong-hay dahulu itu kena, tidak mungkin dirinya sanggup hidup sampai sekarang.
Sekarang Lim-sute itu menantang Ih Jong-hay ke sini, mungkin sekali Suhu dan Sunio akan segera datang
untuk membantunya. Kalau Suhu dan Sunio tidak datang dengan sendirinya aku tak bisa tinggal diam.
Demikian pikir Lenghou Tiong.
Dalam pada itu terdengar Ih Jong-hay sedang mengolok-olok, “Hm, kalau kau berani seharusnya kau datang
seorang diri untuk menuntut balas padaku di Jing-sia-san, cara beginilah baru terhitung perbuatan seorang
laki-laki sejati, tapi sekarang kau menantang aku ke sini, sebaliknya secara licik menyiapkan serombongan
kaum nikoh di sini untuk mengeroyok aku. Huh, sungguh tidak tahu malu. Benar-benar menggelikan.”
Gi-ho tidak tahan karena pihaknya disinggung-singgung, segera ia berseru, “Persetan dengan urusan kalian,
kalau kalian mau berkelahi hingga mampus semua juga Hing-san-pay kami takkan ambil pusing. Hm, kau tojin
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pendek ini sebaiknya jangan ngaco-belo, kalau memang takut boleh lekas lari saja, tapi Hing-san-pay kami
jangan diikutcampurkan.”
Ia tidak tahu dahulu Lim Peng-ci pernah menyelamatkan nyawa Lenghou Tiong, soalnya ia tidak suka kepada
Gak Leng-sian dan dengan sendirinya juga jemu terhadap suami Leng-sian.
Ih Jong-hay sendiri mempunyai hubungan yang cukup rapat dengan Co Leng-tan, kehadirannya ke Ko-san
sekarang juga atas undangan Co Leng-tan untuk memperkuat barisannya. Ketika sampai di Ko-san dalam
dugaan Ih Jong-hay tentulah Co Leng-tan yang akan menduduki jabatan ketua Ngo-gak-pay, sebab itulah ia
tidak menaruh perhatian terhadap orang Hoa-san-pay yang memusuhinya. Siapa duga akhirnya jabatan ketua
Ngo-gak-pay kena direbut Gak Put-kun, ia menjadi kecewa dan malam-malam bermaksud meninggalkan Kosan.
Tapi waktu turun dari puncak Ko-san itu, tiba-tiba Lim Peng-ci menghampirinya, dengan suara perlahan
pemuda itu mengajaknya mengadakan pertemuan di pelataran Hong-sian-tay. Meski Peng-ci bicara dengan
suara perlahan, namun sikapnya angkuh dan kasar sehingga Ih Jong-hay sangat mendongkol dan terima baik
tantangannya.
Bab 118. Cara Balas Dendam yang Luar Biasa
Yang dikhawatirkan Ih Jong-hay hanya kalau pihak lawan main kerubut. Maka kedatangan ke Hong-sian-tay
sengaja diperlambat sedikit sehingga berada di ke belakang Lim Peng-ci, tujuannya ingin tahu apakah pemuda
itu membawa bala bantuan. Tak terduga Peng-ci ternyata datang sendirian ke tempat yang dijanjikan ini.
Diam-diam Ih Jong-hay bergirang, anak murid Jing-sia-pay yang dibawanya lantas ditinggalkan, hanya dua
orang muridnya saja yang diajak naik ke Hong-sian-tay agar tidak dipandang hina oleh pihak lawan. Anak
muridnya yang lain tersebar di sekeliling puncak gunung itu untuk memberi bantuan bila perlu.
Ketika sampai di puncak atas, dilihatnya di samping Hong-sian-tay banyak orang berbaring di situ, tidak Lim
Peng-ci saja yang kaget, bahkan Ih Jong-hay juga terkejut dan mengira dirinya tertipu. Tapi kemudian demi
mendengar ucapan Gi-ho, walaupun secara kasar Gi-ho menyebutnya sebagai “tojin pendek”, namun nadanya
menyatakan takkan bantu pihak mana pun, maka legalah hati Ih Jong-hay.
“Baik sekali jika kalian takkan membantu pihak mana pun,” kata Jong-hay kemudian. “Silakan kalian
menyaksikan saja, bagaimana hasilnya nanti pertandingan antara ilmu pedang Jing-sia-pay melawan ilmu
pedang Hoa-san-pay.”
Setelah merandek sejenak, kemudian ia menyambung pula, “Jangan kalian mengira Gak Put-kun dapat
mengalahkan Co-suheng secara kebetulan lantas ilmu pedangnya sudah jempolan. Seumpama ilmu pedangnya
memang nomor satu di antara Ngo-gak-pay, namun tiap-tiap golongan dan aliran persilatan di bu-lim masingmasing
mempunyai ilmu silat tunggal sendiri-sendiri, betapa pun Hoa-san-kiam-hoat juga belum pasti terhitung
nomor satu di dunia ini. Menurut pandanganku, melulu ilmu pedang Hing-san-pay saja sudah jelas lebih bagus
daripada Hoa-san-kiam-hoat.”
Dengan ucapannya itu, pertama ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan membikin senang hati anak
murid Hing-san-pay agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lim Peng-ci. Dan asalkan
pertarungan satu lawan satu, maka hampir dapat dipastikan dirinya akan mengalahkan bocah she Lim itu
dengan mudah.
Sudah tentu nada ucapan Ih Jong-hay yang punya arti tertentu itu pun dapat ditangkap oleh orang-orang Hingsan-
pay. Segera Gi-ho berkata pula, “Jika kalian mau berkelahi boleh silakan sesukamu, kenapa mesti
mengganggu ketenteraman orang yang hendak tidur? Hm, kau tahu aturan tidak?”
Diam-diam Ih Jong-hay sangat gusar, pikirnya, “Kurang ajar kaum nikoh busuk ini, saat ini aku tidak sempat
membikin perhitungan dengan kalian, kelak kalau orang Hing-san-pay kalian kepergok aku di kalangan Kangouw
barulah kalian tahu rasa.”
Dasar Ih Jong-hay memang berjiwa sempit, sudah biasa anggap dirinya paling hebat, paling jempol, angkatan
muda persilatan kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesukaran. Seperti kata-kata kasar Gi-ho
tadi, di waktu biasa tentu Ih Jong-hay sudah marah-marah dan mendampratnya.
Dalam pada itu Peng-ci telah melangkah maju dua-tiga tindak, lalu berkata, “Ih Jong-hay, kau pernah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengincar kiam-boh pusaka keluarga kami, kau membunuh pula ayah-bundaku, belasan anggota Hok-wipiaukiok
kami juga tewas di tangan Jing-sia-pay kalian, utang darah itu sekarang harus kau bayar dengan
darahmu pula.”
Ih Jong-hay menjadi gusar, teriaknya, “Putraku sendiri mati di tangan kau binatang cilik ini, andaikan kau tidak
mencari aku juga aku yang akan cari kau dan mencincang anjing kecil kau ini sampai hancur luluh. Apa kau
kira berlindung di bawah Hoa-san-pay lantas bisa menyelamatkan jiwamu?”
“Sret”, segera ia melolos pedangnya. Di bawah sinar bulan pedangnya tampak gemerdep.
Namun Peng-ci masih tidak mengeluarkan senjatanya, ia maju dua langkah pula sehingga jaraknya dengan Ih
Jong-hay sekarang tinggal dua-tiga meter jauhnya, dengan kepala rada miring ia melototi Ih Jong-hay.
Mendongkol juga Ih Jong-hay melihat lawannya belum mau melolos senjata, pikirnya, “Berani kau pandang
enteng padaku? Hm, sebentar asal pedangku bergerak sedikitnya akan kurobek perutmu hingga ke
tenggorokan. Soalnya kau terhitung angkatan muda, tidak enak bagiku untuk menyerang lebih dulu.”
Maka segera ia membentak, “Hayo lolos pedangmu!”
Dia sudah bersiap-siap, begitu Peng-ci memegang gagang pedangnya dan menariknya, sebelum pedang lawan
terlolos keluar dari sarungnya segera akan mendahului membedah perut lawan.
Melihat gaya pedang Ih Jong-hay itu, cepat Lenghou Tiong memperingatkan Peng-ci, “Awas, Lim-sute, dia akan
menusuk perutmu!”
Tapi Peng-ci hanya mendengus, sekonyong-konyong ia menerjang ke depan, hanya dalam sekejap saja
jaraknya dengan Ih Jong-hay tinggal satu kaki jauhnya, begitu dekat sehingga hidung kedua orang hampirhampir
saling cium.
Gerak terjangan Lim Peng-ci ini sungguh sukar dibayangkan orang, betapa cepat gerak tubuhnya juga sukar
dilukiskan. Karena terjangan Peng-ci yang merapat itu kedua tangan dan pedang yang dipegang Ih Jong-hay
sekarang menjadi berada di belakang lawan malah kalau dijulurkan.
Tentu saja Ih Jong-hay tidak dapat menekuk pedangnya membalik untuk menusuk punggung Peng-ci, pada
saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Peng-ci sudah mencengkeram pundak kanannya dan tangan kanan menahan
di ulu hatinya. Seketika Ih Jong-hay merasa koh-cing-hiat di pundak lemas linu, lengan kanan menjadi lumpuh
tak bertenaga, pedang hampir terlepas dari cekalan.
Hanya sekali gebrak saja Lim Peng-ci sudah menguasai lawannya, geraknya yang aneh tampaknya malah lebih
hebat daripada cara Gak Put-kun mengalahkan Co Leng-tan, namun gaya permainan Peng-ci ternyata serupa
dengan Gak Put-kun.
“Tonghong Put-pay!” tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing menyebut bersama dan saling pandang.
Keduanya sama-sama melihat sorot mata masing-masing mengandung rasa kaget dan bingung.
Nyata jurus yang dipakai Lim Peng-ci tadi persis adalah ilmu silat yang digunakan Tonghong Put-pay di Hekbok-
keh tempo hari.
Agaknya Peng-ci tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangan yang menahan di depan dada lawan tadi. Di
bawah sinar bulan dilihatnya sorot mata Ih Jong-hay memperlihatkan rasa kaget dan takut yang luar biasa,
alangkah senang rasa hati Peng-ci, ia merasa kalau musuh dibunuh secara begitu saja akan terlalu murah
baginya.
Pada saat itulah dari jauh bergema suara Gak Leng-sian yang sedang memanggil-manggil, “Adik Peng, Adik
Peng! Ayah suruh kau mengampuni dia sekali ini!”
Sambil berseru ia pun berlari-lari ke atas puncak.
Ketika tiba-tiba melihat Peng-ci berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak begitu dekat, Leng-sian
menjadi tertegun. Dengan khawatir ia memburu maju pula, tapi ia menjadi lega ketika melihat sebelah tangan
Peng-ci memegangi hiat-to penting di tubuh Ih Jong-hay dan tangan lain menahan di depan dada musuh itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ayah bilang, betapa pun hari ini Ih-koancu adalah tamu kita, maka janganlah kita membikin susah padanya,”
kata Leng-sian pula.
Peng-ci hanya mendengus saja, tangan kiri yang memegang koh-cing-hiat di pundak Ih Jong-hay itu
mencengkeram terlebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.
Ih Jong-hay tambah kesakitan dan linu hiat-to bagian pundak itu, tapi lantas dirasakan tenaga dalam lawan
sebenarnya cuma sebegitu saja, celakanya hiat-to sendiri terpegang sehingga tak bisa berkutik, kalau tidak,
melulu lwekang masing-masing saja dirinya jelas jauh lebih kuat. Seketika ia menjadi gemas dan sedih pula.
Sudah terang ilmu silat lawan sangat rendah, meski berlatih sepuluh tahun lagi juga bukan tandingan dirinya,
tapi sedikit lengah tadi dirinya juga kena dibekuk lebih dulu, maka hancurlah nama baiknya selama ini, bahkan
besar kemungkinan lawan takkan tunduk kepada perintah Gak Put-kun lantaran ingin menuntut balas kematian
ayah-ibunya, jiwa sendiri bisa jadi akan melayang segera.
Syukur didengarnya Gak Leng-sian berkata pula, “Ayah suruh kau mengampuni jiwanya hari ini. Untuk
menuntut balas masakah khawatir dia bisa terbang ke langit?”
Mendadak Peng-ci angkat tangan kiri, “plak-plak”, Ih Jong-hay ditempelengnya dua kali.
Gusar Ih Jong-hay tidak kepalang, tapi apa daya, sebelah tangan Peng-ci masih menempel di ulu hatinya,
biarpun lwekang pemuda itu tidak seberapa, tapi sedikit mengerahkan tenaga sudah cukup membuat ulu
hatinya tergetar pecah, bila sekaligus terbinasa masih mendingan, yang dikhawatirkan adalah tenaga Peng-ci
yang kepalang tanggung itu hanya membuatnya setengah mati setengah hidup, itulah yang celaka. Lantaran
begitu, maka sedikit pun Ih Jong-hay tidak berani meronta.
Setelah menempeleng dua kali, sambil tertawa panjang Peng-ci lantas melompat mundur beberapa meter
jauhnya, matanya tetap melototi Ih Jong-hay, cuma tidak bicara lagi.
Mestinya Ih Jong-hay bermaksud melabrak pemuda itu, tapi mengingat sekali gebrak saja dirinya sudah keok,
hal ini disaksikan orang banyak dengan jelas. Kalau sekarang dirinya melabrak lagi, ini berarti tidak mengakui
kekalahannya tadi, cara memalukan ini betapa pun tak bisa dilakukannya, maka urunglah dia melangkah maju.
Di lain pihak tertampak Peng-ci hanya mendengus saja, lalu putar tubuh dan tinggal pergi tanpa pedulikan sang
istri.
Leng-sian membanting kaki tanda mendongkol, sekilas dilihatnya Lenghou Tiong duduk di pinggir Hong-siantay,
segera didekatinya dan menyapa, “Toasuko, apakah lukamu tidak... tidak berhalangan?”
“Aku... aku....” begitu melihat siausumoay ini, seketika jantung Lenghou Tiong berdebar-debar sehingga bicara
pun sukar.
“Jangan khawatir kau, dia takkan mati!” Gi-ho menimbrung.
Dengan menunduk kepala perlahan-lahan Leng-sian melangkah pergi, ketika akan turun ke bawah puncak,
tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Toasuko, kedua Suci utusan Hing-san-pay yang tertahan di Hoa-san kami itu
segera akan kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami itu memang kurang sopan, harap
dimaafkan.”
“Ya, baik, baik!” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap, rasanya seperti kehilangan sesuatu menyaksikan
kepergian Gak Leng-sian itu.
Tiba-tiba terdengar Gi-ho menjengek, katanya, “Hm, di mana kebaikan perempuan seperti ini? Dibandingkan
Yim-toasiocia kita, biarpun dijadikan tukang gosok sepatu juga belum memenuhi syarat.”
Lenghou Tiong terkejut, baru sekarang ia ingat bahwa Ing-ing saat itu pun berada di sebelahnya, tentu saja si
nona dapat menyaksikan betapa dirinya menjadi linglung menghadapi siausumoaynya itu, seketika wajah
Lenghou Tiong menjadi merah. Dilihatnya Ing-ing bersandar pada dinding Hong-sian-tay seperti lagi
mengantuk, diam-diam ia berharap semoga Ing-ing benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadiankejadian
tadi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Namun Ing-ing adalah nona yang cerdik dan cermat, dalam saat demikian mana bisa dia tertidur? Dengan
pikirannya itu Lenghou Tiong juga tahu dirinya sedang menipu dirinya sendiri. Ia bermaksud mengada-ada
untuk mengajak omong Ing-ing, tapi bingung juga sebab tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Kalau menghadapi siausumoaynya ia menjadi gugup, tapi menghadapi Ing-ing segera Lenghou Tiong menjadi
pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, cara yang paling baik adalah tidak bicara apa-apa, bahkan
cara yang lebih baik adalah membelokkan perhatian Ing-ing ke urusan lain. Maka perlahan-lahan Lenghou
Tiong lantas merebahkan dirinya, sesudah berbaring mendadak ia merintih perlahan seakan-akan lukanya
menimbulkan rasa sakit.
Benar juga Ing-ing menjadi khawatir, ia menggeserkan tubuhnya mendekat dan bertanya dengan perlahan,
“Apakah lukamu tersentuh sakit?”
“O, tidak apa-apa,” sahut Lenghou Tiong sambil memegangi tangan si nona. Ing-ing bermaksud melepaskan
tangannya, tapi terasa genggaman Lenghou Tiong sangat kencang, khawatir kalau gerak tangannya membikin
sakit luka Lenghou Tiong, terpaksa Ing-ing membiarkan tangannya digenggam.
Rupanya Lenghou Tiong menjadi sangat lelah karena terlalu banyak keluar darah, tidak lama kemudian ia pun
terpulas. Esok paginya ketika terjaga bangun, ternyata sinar sang surya sudah memenuhi puncak pegunungan
itu. Lenghou Tiong bangkit berduduk, ternyata tangan Ing-ing masih tergenggam olehnya, ia tersenyum
kepada si nona. Dengan wajah merah cepat Ing-ing menarik tangannya.
“Marilah kita pulang ke Hing-san saja!” seru Lenghou Tiong.
Sementara itu Dian Pek-kong sudah menyiapkan sebuah usungan kayu, bersama Put-kay Hwesio segera
mereka berdua menggotong Lenghou Tiong turun dari puncak Ko-san.
Ketika lewat di kuil induk kediaman orang Ko-san-pay, tertampak Gak Put-kun dan anak muridnya berdiri di
depan pintu, dengan muka berseri-seri ia mengantarkan keberangkatan Lenghou Tiong dan pengiringnya.
Hanya Gak-hujin dan Gak Leng-sian tidak tampak berada di antara orang-orang Hoa-san-pay itu.
“Maaf Suhu, Tecu tidak dapat memberi hormat padamu untuk mohon diri,” kata Lenghou Tiong.
“Ah, tidak usah,” jawab Gak Put-kun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berunding lebih jauh.
Dengan menjabat ketua Ngo-gak-pay ini aku masih perlu pembantu-pembantu yang dapat dipercaya, kelak
masih banyak diharapkan bantuanmu.”
Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Langkah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio ternyata
sangat cepat, dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan puncak Ko-san itu. Setiba di bawah
gunung barulah mereka menyewa beberapa kereta keledai untuk menampung Lenghou Tiong yang terluka dan
Ing-ing.
Menjelang magrib sampailah mereka di suatu kota kecil. Terlihat di depan sebuah warung makan yang beratap
bambu penuh berduduk tamu yang sedang minum, ternyata orang-orang Jing-sia-pay semua, Ih Jong-hay juga
berada di antaranya.
Melihat kedatangan rombongan Hing-san-pay, air muka Ih Jong-hay berubah seketika, ia sengaja berpaling ke
arah lain dan pura-pura tidak tahu.
Karena kota kecil itu tiada warung makan lain, terpaksa orang-orang Hing-san-pay mencari tempat duduk di
emper rumah seberang. The Oh dan Cin Koan lantas mendatangi warung itu untuk pesan wedang panas bagi
Lenghou Tiong.
Selagi tukang warung memasak air untuk menyiapkan pesanan tamunya, tiba-tiba terdengar suara derapan
kuda yang ramai, debu mengepul tinggi dari arah sana, dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan
cepat. Setiba di depan warung itu, sekonyong-konyong kedua penunggang kuda itu menarik tali kendali.
Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.
“Ih Jong-hay, jelas kau mengetahui aku pasti mencari kau lagi, kenapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?”
teriak Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong yang berada di dalam kereta itu dapat mengenali suara pembicara itu, ia berkata, “Apakah Limsute
yang menyusul tiba?”
Ing-ing mengiakan, segera ia menggulung tirai kereta agar Lenghou Tiong dapat melihat keadaan di luar.
Ih Jong-hay duduk di atas bangku dan sedang menghirup secangkir teh panas, mula-mula ia tidak gubris,
setelah habis minum barulah menjawab, “Hm, memangnya aku sedang menunggu kau mengantarkan jiwamu!”
“Baik!” kata Peng-ci. Begitu tercetus ucapannya itu, tahu-tahu pedang sudah terlolos dan melompat turun dari
kudanya, sekali pedang menusuk ke samping, menyusul ia mencemplak kembali ke atas kudanya, sekali
membentak, bersama Gak Leng-sian mereka melarikan kudanya dengan cepat. Ternyata seorang murid Jingsia-
pay yang berdiri di tepi jalan perlahan-lahan roboh terkulai, darah segar mengucur keluar dari dadanya.
Sungguh sukar diperkirakan orang cara Peng-ci menyerang tadi. Dia melolos pedang dan melompat turun dari
kuda, tujuannya jelas hendak melabrak Ih Jong-hay. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Jing-siapay
itu, sebab ia tahu baik ilmu pedang maupun lwekang pemuda lawan itu sangat cetek, diam-diam Ih Jonghay
bergirang, ia yakin sekali bergebrak dengan mudah jiwa Lim Peng-ci pasti akan dibikin melayang, maka
akan terbalaslah rasa malunya di Hong-sian-tay semalam. Bahwasanya kelak Gak Put-kun mungkin akan
menuntut balas padanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.
Tapi siapa dapat menduga bahwa serangan Lim Peng-ci itu ternyata tidak ditujukan padanya, tapi di tengah
jalan mendadak ganti sasaran, seorang muridnya ditusuk mati, lalu mencemplak kembali ke atas kuda dan
tinggal pergi begitu saja.
Kaget dan gusar pula Ih Jong-hay, dengan cepat ia melompat bangun terus mengudak, namun lari kuda Pengci
dan Leng-sian terlalu cepat baginya, betapa pun sukar untuk menyusulnya.
Cara Peng-ci menyerang yang luar biasa tadi membikin Lenghou Tiong melongo juga, ia pikir kalau serangan
demikian itu ditujukan padanya mungkin sukar juga menangkisnya jika kebetulan tidak bersenjata, maka tiada
pilihan lain kecuali tertusuk mati. Sebenarnya kalau bicara tentang ilmu pedang, Lenghou Tiong yakin masih
jauh di atas Lim Peng-ci, cuma terhadap tipu serangan Peng-ci tadi Lenghou Tiong benar-benar bingung dan
tiada cara baik untuk mematahkannya.
Saat itu Ih Jong-hay sedang mencaci maki sambil tuding Lim Peng-ci yang sudah kabur jauh, sudah tentu caci
makinya itu tak terdengar. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Ih Jong-hay memutar
balik terus memaki orang-orang Hing-san-pay, “Hm, kawanan nikoh busuk, kalian sudah tahu anak jadah she
Lim itu mau datang ke sini, maka kalian datang lebih dulu menunggu di sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari,
kalau berani marilah kita saja yang bertempur.”
Di antara anak murid Hing-san-pay, watak Gi-ho paling berangasan, segera ia lolos pedang dan menjawab,
“Hm, mau berkelahi hayolah maju, siapa yang takut padamu?”
Padahal orang Hing-san-pay jauh lebih banyak daripada pihak Jing-sia-pay, ditambah lagi Put-kay Hwesio, Dian
Pek-kong, Ing-ing, dan Tho-kok-lak-sian, kalau benar-benar bertempur terang pihak Jing-sia-pay tak bisa
melawannya. Sudah tentu kekuatan yang tak seimbang ini cukup diketahui Ih Jong-hay, soalnya dia sedang
murka sehingga hatinya tak tahan meski biasanya dia dapat berpikir panjang dan banyak tipu akalnya.
Syukur Lenghou Tiong lantas mencegah, serunya, “Gi-ho Suci, jangan gubris padanya!”
Ing-ing lantas membisiki Tho-kok-lak-sian. Sekonyong-konyong Tho-kin-sian, Tho-yap-sian, Tho-kan-sian, dan
Tho-hoa-sian berempat terus melompat ke sana menubruk kepada seekor kuda yang tertambat di tepi warung
sana.
Kuda itu adalah kuda tunggangan Ih Jong-hay. Hanya terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu kuda itu
telah dibetot dan robek menjadi empat bagian sehingga isi perut berceceran dan darah berhamburan.
Badan kuda itu tinggi besar, tapi dengan bertangan kosong Tho-kok-si-sian telah merobeknya menjadi empat
dengan membetot keempat kakinya, betapa hebat tenaga mereka sungguh luar biasa. Keruan anak murid Jingsia-
pay sama ketakutan, anak murid Hing-san-pay juga berdebar hatinya menyaksikan adegan ngeri itu.
“Ih-loto, orang she Lim bermusuhan dengan kau, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
saja di pinggir, janganlah kau menyangkutpautkan kami. Kalau benar-benar mau berkelahi jelas kalian tak bisa
menang, sebaiknya kau tahu diri sedikit,” kata Ing-ing.
Setelah menyaksikan kelihaian Tho-kok-si-sian tadi, seketika lagak garang Ih Jong-hay tadi lenyap, ia simpan
kembali pedangnya dan berkata, “Jika kita tidak saling mengganggu, maka bolehlah kita ambil jalan sendirisendiri,
silakan kalian jalan dahulu!”
“Itu tidak bisa, kami harus mengikuti kalian,” kata Ing-ing.
“Apa sebab?” tanya Ih Jong-hay dengan mengerut kening.
“Terus terang, karena ilmu pedang orang she Lim itu teramat aneh, kami ingin melihat secara jelas,” kata Inging.
Terkesiap hati Lenghou Tiong, apa yang dikatakan Ing-ing ternyata sama dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu
pedang Lim Peng-ci sampai Tokko-kiu-kiam juga sukar mematahkannya, maka ia memang ingin mengetahui
gerak ilmu pedang Peng-ci itu secara jelas.
Terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Kau ingin tahu ilmu pedang bocah she Lim itu, tapi apa sangkut pautnya
dengan aku?”
Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan dirinya dengan
keluarga Lim terlalu mendalam, tidak mungkin Lim Peng-ci akan puas hanya membunuh seorang dua muridnya
saja, tentu pemuda itu masih akan mencari perkara padanya. Dan maksud orang-orang Hing-san-pay justru
ingin tahu cara bagaimana Peng-ci memainkan ilmu pedangnya dan cara bagaimana orang Jing-sia-pay
dibunuh.
Bahwasanya setiap jago silat tentu tahu ilmu silat orang lain yang lihai memang bukan sesuatu yang aneh.
Cuma cara orang Hing-san-pay mengikuti rombongan Jing-sia-pay, seakan-akan orang-orang Jing-sia-pay itu
sudah menjadi hewan yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, dan cara penjagal menyembelih
itulah yang akan dilihat, sungguh suatu perbuatan yang terlalu menghina.
Saking gusarnya segera Ih Jong-hay bermaksud memaki Ing-ing, tapi syukur ia masih sanggup menguasai
perasaannya, ia hanya mendengus saja sekali, pikirnya, “Bocah she Lim itu menyerang aku secara licik,
memangnya dia punya kepandaian yang luar biasa? Baik, boleh kalian mengikuti aku agar kalian bisa melihat
jelas cara bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh.”
Dia kembali ke warung itu untuk minum lagi. Tapi mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi gemertak,
kiranya tutup poci tergetar oleh tangannya yang gemetar. Anak muridnya menyangka tangan sang guru itu
gemetar karena terlalu gusar, padahal dalam hati Ih Jong-hay sebenarnya ketakutan luar biasa. Ia sadar
bahwa serangan Lim Peng-ci yang aneh itu kalau ditujukan padanya hakikatnya dia tidak mampu
menangkisnya.
Sementara itu Ing-ing sudah kembali pada dandanan aslinya sebagai wanita, berada di tengah-tengah anak
murid perempuan Hing-san-pay itu tiada seorang pun yang merasakan Ing-ing mempunyai sesuatu yang
istimewa. Dia sendiri tinggal di suatu kereta keledai, ia selalu memisahkan keretanya agak jauh dari kereta
Lenghou Tiong. Biarpun jalinan cintanya dengan Lenghou Tiong sekarang telah diketahui hampir setiap orang
Kang-ouw, namun rasa kikuknya toh masih belum lenyap. Bila anak murid Hing-san-pay mengobati luka
Lenghou Tiong, maka ia sengaja tidak mau melihatnya.
The Oh, Cin Koan, dan lain-lain kenal watak putri gembong Mo-kau itu, senantiasa mereka memberitahukan
keadaan luka Lenghou Tiong padanya, Ing-ing hanya mengangguk saja tanpa memberi komentar. Kini melihat
Ih Jong-hay sudah kembali ke tempatnya sendiri, maka Ing-ing juga lantas kembali ke dalam keretanya.
Sehabis minum, perasaan Ih Jong-hay ternyata masih belum tenang, ia perintahkan anak muridnya
menggotong mayat murid yang mati itu untuk dikubur di luar kota, rombongan mereka lantas bermalam di
depan warung makan itu.
Penduduk setempat sementara itu menjadi ketakutan melihat pertarungan dan pembunuhan yang terjadi itu,
sejak tadi penduduk sudah sama tutup pintu tak berani keluar lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Duduk di dalam keretanya Lenghou Tiong coba merenungkan jurus ilmu pedang Lim Peng-ci tadi, ia merasa
jurus serangan itu sendiri tiada sesuatu yang luar biasa, hanya datangnya teramat cepat, sebelumnya juga
tiada tanda-tanda ke mana serangannya akan dituju. Kalau serangan demikian itu dilontarkan, sekalipun tokoh
paling lihai juga sukar menahannya.
Waktu Tonghong Put-pay menempur mereka berempat tempo hari, senjata yang dipakai hanya sebuah jarum
sulam saja, tapi mereka berempat toh tak bisa melawan. Kalau dipikirkan secara cermat sekarang hal itu bukan
lantaran lwekang atau jurus serangan Tonghong Put-pay sangat hebat, soalnya gerak-geriknya secepat kilat,
serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya sehingga setiap serangannya selalu di luar
perhitungan lawan.
Cara Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan mudah dan caranya membunuh anak murid Jing-sia-pay tadi,
gaya ilmu silatnya serupa benar dengan Tonghong Put-pay. Sedangkan cara Gak Put-kun membutakan kedua
mata Co Leng-tan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama gayanya, apakah barangkali ilmu silat mereka
ini pun “Pi-sia-kiam-hoat” adanya? Terpikir olehnya, “Orang yang mampu melayani ilmu pedang aneh ini pada
zaman sekarang mungkin hanya Hong-thaysuco saja. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu
berkunjung pula ke Hoa-san untuk minta pengajaran kepada Hong-thaysuco cara-cara mematahkan ilmu
pedang aneh ini.”
Tapi lantas terpikir lagi, “Tonghong Put-pay sudah mati, Gak Put-kun adalah guruku, Lim Peng-ci adalah
suteku, mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat itu terhadap diriku, lalu buat apa aku
mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka itu dengan susah payah?”
Tiba-tiba teringat olehnya bahwa ilmu silat Tonghong Put-pay itu bersumber pada “Kui-hoa-po-tian”,
sedangkan ilmu silat Suhu dan Sute berasal dari Pi-sia-kiam-hoat, kalau menurut cerita Hong-ting Taysu tempo
hari memang asal-usul ilmu silat mereka itu semuanya memang berasal dari sumber yang sama, hanya saja...
sekonyong-konyong teringat pula sesuatu olehnya, cepat ia bangkit berduduk, karena gerakan mendadak,
lukanya lantas terasa sakit lagi, tanpa terasa ia merintih perlahan.
“Apakah kau haus?” cepat Gi-lim yang berdiri di samping keretanya bertanya.
“Tidak,” jawab Lenghou Tiong. “Siausumoay, harap undang Nona Yim ke sini.”
Gi-lim mengiakan. Tidak lama Ing-ing lantas muncul bersama Gi-lim. “Ada urusan apakah?” tanya Ing-ing.
“Tiba-tiba aku ingat sesuatu,” tutur Lenghou Tiong. “Tempo hari ayahmu pernah mengatakan bahwa kitab Kuihoa-
po-tian agama kalian itu telah beliau berikan kepada Tonghong Put-pay. Waktu itu aku mengira ilmu silat
yang terdapat di dalam Kui-hoa-po-tian itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang diyakinkan oleh ayahmu
sendiri, makanya ayahmu mau menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Put-pay, akan tetapi....”
“Kemudian ternyata ilmu silat ayahku tidak lebih tinggi daripada Tonghong Put-pay, begitu kau ingin katakan,
bukan?” sela Ing-ing.
“Benar,” jawab Lenghou Tiong. “Sebab musabab urusan ini benar-benar membikin bingung diriku.”
Rasa bingung Lenghou Tiong ini memang bukan tidak beralasan. Maklumlah, pada umumnya setiap jago silat
bila melihat sesuatu kitab ilmu silat yang hebat mustahil tak ingin dimilikinya sendiri, bahwa Yim Ngo-heng
justru sengaja memberikan kitab pusaka kepada Tonghong Put-pay, hal ini benar-benar luar biasa.
“Aku pun pernah tanya Ayah tentang ini,” kata Ing-ing. “Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera di dalam
kitab itu tak boleh dipelajari, kalau paksakan diri belajar tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri.
Kedua, beliau pun tidak tahu bahwa setelah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam kitab itu ternyata bisa
sedemikian lihai.”
“Jadi menurut beliau ilmu silat itu tidak boleh dipelajari? Tidak boleh? Apa sebabnya?” Lenghou Tiong menegas.
Tiba-tiba air muka Ing-ing berubah merah, jawabnya kemudian, “Apa sebabnya tidak boleh dipelajari, aku
sendiri pun tidak tahu.”
Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Seperti nasib yang dialami Tonghong Put-pay itu,
apakah baik kalau begitu?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“O,” Lenghou Tiong sadar akan persoalannya, dalam hati kecilnya lapat-lapat merasa bahwa jalan yang
ditempuh oleh suhunya seperti sedang menuju ke arah yang dialami Tonghong Put-pay itu.
“Kau harus merawat lukamu dengan tenang, jangan banyak berpikir,” kata Ing-ing. “Aku akan pergi tidur saja.”
Lenghou Tiong mengiakan. Ia menyingkap tirai kereta, sinar bulan yang lembut menyoroti wajah Ing-ing yang
cantik itu, mendadak Lenghou Tiong merasa sangat menyesal karena apa yang dilakukannya tidak memadai
cinta si nona kepadanya.
“Baju yang dipakai Lim-sute-mu itu kain kembang belaka,” tiba-tiba Ing-ing menambahkan lagi, habis itu
barulah ia melangkah kembali ke keretanya.
Keruan Lenghou Tiong merasa heran, pikirnya, “Apakah maksudnya dia mengatakan baju Lim-sute terdiri dari
kain kembang belaka? Lim-sute baru menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang
mewah. Dasar anak perempuan, tidak perhatikan ilmu pedang orang, tapi yang diperhatikan adalah baju yang
dipakai orang lain, sungguh lucu.”
Sambil pejamkan mata ia coba membayangkan keadaan Lim Peng-ci waktu melabrak Ih Jong-hay, tapi baju
kembang apa yang dipakai Peng-ci waktu itu sudah lupa olehnya.
Tidur sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda
sedang mendatangi. Lenghou Tiong lantas bangkit berduduk dan menyingkap tirai kereta, dilihatnya anak
murid Hing-san dan Jing-sia-pay juga sudah bangun semua. Anak murid Hing-san-pay segera mengambil
tempat masing-masing dalam bentuk barisan pedang untuk menjaga segala kemungkinan. Sedangkan anak
murid Jing-sia-pay sudah mengeluarkan senjata masing-masing, ada yang menjaga di tepi jalan, ada yang siap
siaga di sekeliling sang ketua. Semuanya tegang dan gelisah.
Tidak lama tertampaklah dua penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat, di bawah sinar bulan dapat
terlihat dengan jelas, siapa lagi mereka kalau bukan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.
Begitu mendekat segera Lim Peng-ci berteriak, “Ih Jong-hay, karena kau ingin mencuri Pi-sia-kiam-hoat
keluarga Lim kami, maka ayah ibuku telah kau bunuh. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang
kau cari itu sejurus demi sejurus, hendaklah kau mengikuti dengan jelas.”
Ia menahan kudanya, lalu melompat turun, pedang tersandang di belakang punggungnya, dengan langkah
cepat ia lantas mendekati orang-orang Jing-sia-pay.
Ketika Lenghou Tiong memerhatikan, dilihatnya Peng-ci memakai baju warna kuning muda, ujung baju dan
lengan baju bersulam bunga-bunga kuning tua, pinggir baju dilapis dengan renda kuning pula, pinggang juga
memakai ikat pinggang kuning emas sehingga memantulkan gemerdep kuning bila berjalan, tampaknya
memang sangat perlente. Pikirnya, “Biasanya Lim-sute sangat sederhana, sesudah menjadi pengantin sifatnya
lantas berbeda seketika. Tapi juga tak bisa menyalahkan dia, pemuda mendapatkan jodoh yang setimpal sudah
tentu sangat girang, pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”
Semalam ketika Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan bertangan kosong di samping Hong-sian-tay,
lagaknya sama seperti sekarang ini. Sudah tentu pihak Jing-sia-pay tak memberi kesempatan lagi padanya
untuk mengulangi serangannya yang licik itu. Sekali Ih Jong-hay menggertak, serentak empat muridnya
menerjang maju dengan pedang terhunus, dua pedang menusuk dadanya dari kanan dan kiri, dua pedang lain
menebas pula kedua kakinya.
“Awas, Cah!” seru Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian berbareng, betapa pun mereka ikut khawatir juga bagi Lim
Peng-ci.
Tak terduga Peng-ci tetap tenang-tenang saja, dengan cepat luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur
ke depan, menyusul tangannya lantas menyampuk ke samping sehingga tangan kedua orang yang menusuk
dadanya itu terdorong, maka terdengarlah jeritan ngeri empat orang, dua orang kontan roboh terkulai. Dua
orang yang mestinya menusuk dadanya itu karena tersampuk tangan masing-masing sehingga pedang
memutar balik dan menusuk ke dalam perut kedua teman sendiri.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Inilah jurus kedua dan ketiga Pi-sia-kiam-hoat, sudah lihat jelas tidak?” seru Peng-ci. Lalu ia putar tubuh dan
mencemplak ke atas kudanya, terus dilarikan pergi.
Bab 119. Suami Istri yang Tidak Bahagia
Orang-orang Jing-sia-pay sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang mengejar musuh, ketika mereka
mengawasi kedua kawannya yang lain, kiranya kedua orang itu pun terkena oleh senjata kawan sendiri yang
menebas dari kanan kiri tadi, cuma mereka masih berdiri tegak, tapi sebenarnya sudah mati.
Cara Peng-ci menjulur tangan dan menyampuk sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Lenghou
Tiong, ia terkejut dan kagum pula, diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu silat Lim Peng-ci, jelas itu adalah
ilmu pedang dan bukan ilmu silat biasa.
Di bawah sinar bulan tertampak bayangan Ih Jong-hay yang pendek itu berdiri kesima di samping keempat
mayat muridnya. Anak murid Jing-sia-pay mengelilingi sekitar sang guru, tapi dari jarak rada jauh, tiada
seorang pun yang berani buka suara.
Selang agak lama, Lenghou Tiong coba memandang keluar kereta, dilihatnya Ih Jong-hay masih tetap berdiri
tegak tak bergerak, sedangkan bayangannya sudah tambah panjang, suatu tanda sudah sekian lamanya dia
termangu aneh tak terkatakan. Sebagian anak murid Jing-sia-pay juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah
menyingkir pergi, sebagian pula sudah berduduk, tapi Ih Jong-hay tetap berdiri kaku di situ.
Dalam hati Lenghou Tiong sekonyong-konyong timbul rasa kasihan kepada Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay
yang terkenal itu ternyata sama sekali tak berdaya menghadapi seorang lawan muda.
Karena sudah mengantuk, Lenghou Tiong lantas pejamkan mata untuk tidur. Dalam mimpinya tiba-tiba terasa
keretanya berguncang, menyusul terdengar suara bentakan kusir kereta. Kiranya hari sudah terang,
rombongan sudah berangkat.
Ia coba melongok keluar, dilihatnya jalan besar yang lurus itu banyak orang berlalu lalang, rombongan Jingsia-
pay berjalan di depan, ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki, memandangi bayangan
belakang mereka terasa semacam keharuan yang sukar dikatakan, sama halnya serombongan hewan yang
sedang digiring ke tempat pejagalan saja.
Pikir Lenghou Tiong, “Mereka cukup menyadari bahwa Peng-ci pasti akan datang lagi, mereka pun tahu semua
bahwa sekali-kali tidak sanggup melawannya, kalau melarikan diri secara terpencar, maka itu berarti tamatlah
riwayat Jing-sia-pay. Tapi kalau Lim Peng-ci sampai meluruk ke Jing-sia-san, apakah di Siong-hong-koan (kuil
ketua Jing-sia-pay) tiada bala bantuan lagi yang sanggup melawan musuh?”
Menjelang tengah hari sampailah di suatu kota rada besar, rombongan Jing-sia-pay lantas memasuki sebuah
restoran besar dan makan minum sepuasnya. Sedangkan orang-orang Hing-san-pay hanya beristirahat di
warung makan di depan restoran besar itu.
Menyaksikan orang-orang Jing-sia-pay sama makan minum besar di restoran depan itu, para nikoh Hing-sanpay
sama terdiam. Mereka tahu orang-orang Jing-sia-pay sedang menghadapi maut, mumpung masih hidup,
maka sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan di dunia ini.
Sorenya sampailah di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derapan kuda, kembali Lim Peng-ci suami-istri
memburu tiba.
Gi-ho bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih mencorong terang, tertampak dua
penunggang kuda mendatangi menyusur tepi sungai. Sesudah dekat, Leng-sian menahan kudanya, sedangkan
Peng-ci masih terus maju ke depan.
Mendadak Ih Jong-hay memberi tanda, bersama anak muridnya mereka terus putar tubuh dan lari ke arah
sana menyusur tepi sungai.
“Hai, Ih Pendek, hendak lari ke mana kau?” seru Peng-ci sambil bergelak tertawa, segera, ia pun membedal
kudanya mengejar.
Sekonyong-konyong Ih Jong-hay membalik, secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lim Peng-ci. Sama
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sekali Peng-ci tidak menduga akan serangan lawan yang lihai itu, cepat ia lolos pedang dan menangkis.
Susul-menyusul Ih Jong-hay melancarkan serangan kilat, mendadak melompat ke atas, lain saat mendak ke
bawah. Tidak nyana orang tua seperti dia masih lincah seperti anak muda, gerak pedangnya selalu mengambil
jalan menyerang secara cepat. Bahkan tujuh-delapan orang murid Jing-sia-pay segera mengelilingi kuda Lim
Peng-ci dan mengerubutnya pula, tapi yang diserang bukan orangnya melainkan kudanya.
Hanya mengikuti beberapa saat saja Lenghou Tiong lantas tahu maksud tujuan Ih Jong-hay. Bahwasanya
kelihaian Peng-ci terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga.
Sekarang pemuda itu berada di atas kuda, dengan sendirinya keunggulannya itu menjadi berkurang, sebab
kalau mau menyerang terpaksa ia harus mendoyongkan tubuhnya, kuda tunggangnya tentu tidak selincah
kalau dia menggunakan kaki sendiri.
Sekarang anak murid Jing-sia-pay itu sengaja mengepungnya di tengah agar dia tidak sempat turun dari
kudanya, asalkan Peng-ci tetap berada di atas kuda belum tentu dia mampu melawan Ih Jong-hay.
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui kecerdikan ketua Jing-sia-pay itu, caranya benar-benar lihai. Ia coba
memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Peng-ci, gerak perubahannya memang aneh dan bagus,
namun Ih Jong-hay masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa
pandangannya beralih ke arah Gak Leng-sian yang berada di tempat rada jauh sana. Seketika tubuh Lenghou
Tiong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa anak murid Jing-sia-pay yang lain telah mengepung Lengsian
dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.
Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Leng-sian meringkik dan berjingkrak sehingga Lengsian
terbanting ke bawah. Rupanya kuda itu telah terkena tusukan pedang. Cepat Leng-sian melompat bangun
sambil mengegos untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun anak murid Jing-sia-pay itu segera
menyerang pula dengan mati-matian.
Enam murid Jing-sia-pay itu terhitung jago-jago pilihan, biarpun Leng-sian berhasil mempelajari ilmu pedang
yang terukir di gua Hoa-san itu dan telah mengalahkan jago-jago dari Thay-san-pay, Hing-san-pay, dan lainlain,
namun ilmu pedang lihai itu ternyata tidak mempan digunakan terhadap jago Jing-sia-pay.
Lenghou Tiong dapat melihat sang sumoay tidak mampu melawan serangan murid-murid Jing-sia-pay yang
nekat itu. Sedang khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang Jing-sia-pay, rupanya sebelah
lengannya telah kena ditebas kutung oleh Gak Leng-sian.
Giranglah hati Lenghou Tiong, ia berharap orang Jing-sia-pay yang lain tentu akan jeri dan mundur teratur. Tak
terduga kelima orang lain tidak mundur setapak pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang
sudah buntung sebelah lengannya itu.
Melihat lawan yang mandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, Leng-sian menjadi jeri sendiri
malah, ia terdesak mundur, mendadak sebelah kakinya terpeleset menginjak batu karang yang berlumut licin,
kontan ia jatuh ke dalam air.
“Celaka!” seru Lenghou Tiong khawatir.
“Beginilah cara kita melayani Tonghong Put-pay tempo hari,” tiba-tiba terdengar Ing-ing berkata.
Betul juga pikir Lenghou Tiong. Pertempuran di Hek-bok-keh tempo hari sudah jelas mereka berempat tidak
sanggup melawan Tonghong Put-pay, untung Ing-ing ganti haluan dan menyerang Nyo Lian-ting sehingga
perhatian Tonghong Put-pay terpencar dan akhirnya dapatlah membinasakan gembong Mo-kau itu. Sekarang
cara yang dipakai Ih Jong-hay juga sama dengan tipu Ing-ing dahulu itu. Cara bagaimana Yim Ngo-heng dan
Lenghou Tiong berempat membinasakan Tonghong Put-pay sudah tentu tidak diketahui Ih Jong-hay, tapi akal
yang terpikir ternyata sama tanpa berembuk.
Lenghou Tiong menduga Lim Peng-ci tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak
terduga pemuda itu masih terus menempur Ih Jong-hay dengan sengit, sama sekali tidak ambil pusing
terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.
Rupanya anak murid Jing-sia-pay sama menyadari mati-hidup Jing-sia-pay dan keselamatan sendiri hanya
tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini, oleh karena itu mereka bertempur dengan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nekat. Mendadak orang yang buntung tangannya itu membuang pedangnya terus menjatuhkan diri dan
menggelundung ke arah Leng-sian, segera ia rangkul kaki Leng-sian dengan kencang.
“Adik Peng, lekas bantu aku, lekas!” seru Leng-sian khawatir.
“Ih Pendek ingin tahu Pi-sia-kiam-hoat, maka biar dia lihat secara jelas agar mati pun dia tidak menyesal,” kata
Peng-ci sambil menyerang lebih cepat sehingga Ih Jong-hay hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh
hebat Pi-sia-kiam-hoat yang dimainkan Peng-ci, meski di atas kuda, namun ilmu pedangnya yang lihai itu pun
mendesak Ih Jong-hay sehingga kelabakan dan mati kutu.
“He, kau... kau....” bentak Lenghou Tiong dengan gusar. Tadinya ia mengira Peng-ci tidak mampu melepaskan
diri dari kerubutan Ih Jong-hay dan murid-muridnya, tapi dari ucapannya tadi jelas Peng-ci sama sekali tidak
menghiraukan keadaan bahaya Leng-sian, yang diutamakan hanya cara bagaimana meledek dan
mempermainkan Ih Jong-hay yang sudah tak berdaya itu.
Dari jauh dapat terlihat dengan jelas air muka Lim Peng-ci yang memperlihatkan rasa gemas, dendam, dan
bersemangat pula. Mungkin saat itu hati pemuda itu sedang diliputi rasa tekad yang ingin membalas sakit hati.
“Adik Peng, lekas tolong, lekas!” terdengar Leng-sian berseru pula dengan suara serak, keadaannya sudah
sangat gawat.
“Segera aku datang, kau bertahan sebentar lagi, aku harus menyelesaikan Pi-sia-kiam-hoat agar dia dapat
melihat dengan jelas,” sahut Peng-ci. “Ih Pendek ini sebenarnya tiada permusuhan apa-apa dengan kita, dia
sengaja mengirim begundalnya ke Hokkian hanya bertujuan mencari Pi-sia-kiam-boh, maka pantaslah kalau dia
melihat sejelasnya ilmu pedangku ini dari awal sampai akhir. Betul tidak?”
Dia bicara dengan teratur, terang bukan diperdengarkan kepada sang istri, tapi lebih tepat kalau dikatakan
sedang bicara pada Ih Jong-hay, bahkan dia khawatir pihak lawan kurang jelas, akhirnya ditambahkannya lagi
pertanyaan, “Ih Pendek, betul tidak?”
Habis itu serangannya tambah gencar, gayanya indah sehingga lebih mirip dengan Giok-li-kiam yang dipelajari
murid perempuan Hoa-san-pay.
Memangnya Lenghou Tiong bermaksud melihat bagaimana gerak serangan Pi-sia-kiam-hoat Peng-ci untuk
kemudian dipikirkan cara mematahkannya. Kini melihat Peng-ci memperlihatkan segenap jurus ilmu pedangnya
kepada Ih Jong-hay, keruan hal ini kebetulan bagi Lenghou Tiong.
Namun saat itu perhatian Lenghou Tiong sedang terganggu oleh keadaan Gak Leng-sian yang berbahaya itu,
dengan sendirinya dia tidak punya peluang untuk memerhatikan jurus pedang Lim Peng-ci. Ia mendengar Gak
Leng-sian lagi berteriak-teriak minta tolong, sungguh ia tidak tahan lagi, segera berkata, “Gi-ho Suci dan Gijing
Suci, harap kalian menolongi Nona Gak. Dia... dia dalam bahaya!”
“Kita sudah menyatakan tidak membantu pihak mana pun juga, rasanya tidak enak ikut turun tangan,” jawab
Gi-jing.
Hendaklah maklum bahwa orang bu-lim paling mengutamakan “setia kawan” dan “pegang janji”. Kalau
dibandingkan memang kesetiaan lebih penting sedikit daripada janji, tapi sebagai kesatria dari golongan bengbun-
cing-pay (murid perguruan ternama dari golongan baik) betapa pun harus memegang teguh kepada apa
yang telah diucapkan.
Mendengar jawaban Gi-jing itu, Lenghou Tiong merasa apa yang dikatakan itu memang benar, semalam
mereka sudah menyatakan dengan tegas kepada Ih Jong-hay bahwa sekali-kali Hing-san-pay takkan
membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Gak Leng-sian, itu berarti merusak nama
baik Hing-san-pay. Keruan Lenghou Tiong menjadi gelisah dan tak berdaya.
Syukur pada saat itu juga mendadak Ing-ing melompat ke sana, ketika tangannya menggagap pinggang,
segera tangannya sudah memegang sebilah golok melengkung. Teriaknya, “Hai, hendaklah kalian melihat jelas.
Aku adalah Ing-ing, putri kesayangan Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Kalian berenam lelaki mengeroyok
seorang perempuan, betapa pun membikin penonton merasa muak. Karena melihat ketidakadilan, terpaksa
Nona Yim harus ikut campur.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Girang sekali Lenghou Tiong melihat Ing-ing maju ke sana, ia menghela napas lega, tiba-tiba lukanya terasa
sakit, ia jatuh terduduk lagi di dalam kereta.
Ternyata anak murid Jing-sia-pay sama sekali tidak menghiraukan campur tangan Ing-ing, mereka masih terus
menyerang Gak Leng-sian secara kalap. Saat itu Leng-sian terdesak mundur-mundur lagi beberapa tindak,
“plung”, tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, Leng-sian
menjadi gugup, permainan pedangnya menjadi kacau. Pada saat itulah pundak kiri terasa sakit, rupanya kena
ditusuk oleh pedang musuh. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju
untuk merangkul kaki Leng-sian seperti diceritakan tadi. Segera Leng-sian ayun pedangnya untuk membacok
dan tepat mengenai punggung si buntung, tapi orang itu masih terus merangkul dengan kencang, sedikit pun
tidak mau lepas tangan.
Saking cemasnya pandangan Leng-sian menjadi gelap, ia mengeluh bisa celaka. Dari jauh dilihatnya Lim Pengci
sedang memperlihatkan ilmu pedangnya yang hebat secara teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus
seakan-akan sengaja memamerkan ilmu pedang belaka.
Terangsang oleh rasa mendongkol, hampir-hampir Leng-sian jatuh kelengar. Syukur mendadak serangan
musuh menjadi kendur, dua pedang mencelat ke atas, menyusul terdengar mendeburnya air, dua murid Jingsia-
pay telah terjungkal ke dalam sungai.
Karena pikiran sudah kacau, Leng-sian juga terbanting jatuh. Untung Ing-ing telah putar goloknya, dalam
beberapa jurus saja sisa tiga murid Jing-sia-pay juga telah dilukai, senjata pun terlepas dari cekalan, terpaksa
mereka mengacir mundur.
Sekali tendang Ing-ing membikin murid Jing-sia-pay yang buntung itu terpental sehingga rangkulannya pada
kaki Leng-sian terlepas. Segera ia menyeret bangun Gak Leng-sian yang sudah basah kuyup itu, pakaiannya
juga berlepotan darah, perlahan-lahan dipapahnya ke tepi sungai.
Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berseru, “Nah, Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami sudah kau lihat
dengan jelas, bukan?”
Menyusul di mana sinar pedangnya berkelebat, kontan dua murid Jing-sia-pay yang ikut mengerubutnya lantas
terguling.
Sekali Peng-ci menarik tali kendali kudanya, dengan cekatan kudanya lantas melompat melintasi kedua tubuh
yang barusan roboh itu. Keadaan Ih Jong-hay sudah payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.
Peng-ci melarikan kudanya ke arah Leng-sian dan Ing-ing. “Naik kemari!” serunya kepada sang istri.
Sekonyong-konyong Leng-sian merasa benci dan muak terhadap sang suami, ia merasa lebih baik mati
seketika daripada ikut bersama Peng-ci. Dengan mata melotot ia memandangi Peng-ci sejenak, kemudian
berkata dengan mengertak gigi, “Kau pergi sendiri saja.”
“Dan kau?” tanya Peng-ci.
“Buat apa kau mengurusi diriku,” jawab Leng-sian.
Peng-ci memandang sekejap kepada anak murid Hing-san-pay, lalu mendengus sekali, kuda dikempitnya
kencang terus dilarikan pergi dengan cepat.
Sama sekali Ing-ing tidak menduga bahwa Peng-ci akan memperlakukan sedemikian dingin terhadap istrinya
yang baru dinikahnya ini. Katanya kemudian, “Nyonya Lim, silakan kau mengaso ke dalam keretaku saja.”
Kelopak mata Leng-sian sudah penuh digenangi air mata, sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak
sampai menetes, katanya dengan terguguk-guguk, “Aku... aku tidak mau, ken... kenapa kau menolong diriku?”
“Bukan aku yang menolong kau, toasukomu Lenghou Tiong yang ingin menolong kau,” kata Ing-ing sejujurnya.
Hati Leng-sian menjadi pilu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Katanya kemudian, “Dapatkah kau...
me... meminjamkan seekor kuda padaku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ing-ing mengiakan, lalu pergi membawakan seekor kuda.
“Banyak terima kasih, kau sungguh be... beruntung!” kata Leng-sian, cepat ia mencemplak ke atas kuda dan
melarikan kudanya ke jurusan sana. Arah yang ditempuh ternyata berlawanan dengan Peng-ci, agaknya
kembali ke jurusan Ko-san.
Ih Jong-hay juga heran melihat Leng-sian lewat di sebelahnya, tapi ia pun tidak merintangi, pikirnya, “Malam
nanti atau besok tentu bocah she Lim itu akan datang membunuhi beberapa orangku lagi, dia hendak
membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal aku sebatang kara, habis itu barulah giliranku dikerjai
olehnya.”
Lenghou Tiong tidak tega menyaksikan keadaan Ih Jong-hay yang mengenaskan itu, katanya kepada Gi-ho dan
lain-lain, “Marilah kita berangkat!”
Ketika kusir-kusir kereta membentak dan membunyikan cambuknya, segera keledai menarik keretanya ke
depan.
Lenghou Tiong bersuara heran ketika melihat arah yang ditempuh Gak Leng-sian ternyata berlainan, mestinya
ia ingin mengikuti jurusan sang sumoay itu, tak terduga keretanya ternyata dijalankan ke jurusan lain.
Mendelong perasaannya, ia tidak enak untuk memerintahkan keretanya memutar haluan, hanya tirai kereta
bagian belakang disingkapnya untuk memandang ke belakang, namun bayangan Leng-sian sudah tidak tampak
lagi. Seketika perasaannya tertekan, pikirnya, “Sumoay terluka, dia menuju ke sana sendirian, apa takkan
terjadi sesuatu atas dirinya?”
Tiba-tiba terdengar Gi-lim berkata di sampingnya, “Dia tentu pulang ke Ko-san, dia tentu akan aman berada di
samping ayah-ibunya, kau tidak perlu khawatir.”
Rada lega hati Lenghou Tiong, ia mengiakan. Dalam hati ia membatin, “Sumoay cilik ini benar-benar sangat
cermat, dia selalu dapat menerka apa yang menjadi pikiranku.”
Esok paginya waktu tengah hari mereka berhenti di suatu rumah makan kecil. Sesungguhnya tak bisa
dikatakan rumah makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan, gubuk tanpa
dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum
orang yang berlalu-lalang.
Dibanjiri oleh rombongan Hing-san-pay, seketika warung makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk.
Syukur rombongan Gi-ho sendiri membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak juga terbawa.
Segera mereka membuat api dan menanak nasi di samping gubuk-gubuk itu.
Terlalu lama duduk di dalam kereta, Lenghou Tiong merasa sebal juga, syukur lukanya sudah rada baikan
sesudah dibubuhi obat luka Hing-san-pay yang mustajab. Gi-lim dan Gi-ho lantas memayangnya turun dan
duduk mengaso di bawah gubuk. Ia memandang ke timur, hatinya berpikir, “Entah Siausumoay akan datang
kemari tidak?”
Dilihatnya debu mengepul tinggi dari sana, serombongan orang sedang mendatangi, kiranya rombongan Jingsia-
pay. Setiba di warung gubuk itu, orang-orang Jing-sia-pay juga lantas berhenti untuk menanak nasi. Ih
Jong-hay tampak duduk sendirian menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.
Agaknya Ih Jong-hay menyadari ajalnya sudah dekat, maka ia tidak perlu sirik dan menghindari rombongan
Hing-san-pay lagi, ia pikir paling-paling hanya mati saja, apa halangannya kalau orang-orang Hing-san-pay
menyaksikan cara bagaimana dia akan mati nanti?
Tidak lama kemudian, benar juga dari jurusan barat terdengar derapan kaki kuda, seorang penunggang kuda
makin mendekat dengan perlahan, penunggang kuda itu memakai baju sulam, siapa lagi kalau bukan Lim
Peng-ci.
Setiba di depan gubuk, Peng-ci menghentikan kudanya. Orang-orang Jing-sia-pay ternyata tidak ambil pusing
padanya, melirik saja tidak, semuanya sibuk dengan tugas masing-masing, yang menanak nasi tetap menanak
nasi, yang minum tetap enak-enak minum.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci malah. Segera ia bergelak tertawa, katanya, “Kalian tidak mau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyerang lebih dulu, aku pun tetap mau bunuh orang.”
Ia melompat turun dari kudanya, sekali pantat kuda itu ditepuk, menyingkirlah binatang itu pergi makan
rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih ada bangku yang kosong, segera ia mendekati dan duduk di
situ.
Begitu Peng-ci memasuki gubuk itu segera Lenghou Tiong mencium bau wangi semerbak. Kiranya pakaian
Peng-ci sangat rajin, sekujur badannya menguarkan bau harum.
Tertampak kopiah Peng-ci tersemat sebuah batu zamrud, jarinya memakai cincin bermata mirah delima,
sepatunya juga berhiaskan mutiara, dandanan demikian bukan lagi dandanan jago silat, tapi lebih mirip tuan
muda dari keluarga hartawan yang kaya raya.
Setelah ambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Peng-ci menyapa, “Lenghou-heng, baik-baik kau!”
“Baik,” sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk.
Peng-ci berpaling ke sana, dilihatnya seorang murid Jing-sia-pay sedang menuangkan minuman panas kepada
Ih Jong-hay. Mendadak Peng-ci naik darah dengan suara keras ia menegur, “Hai, kau bernama Ih Jin-ho
bukan? Dahulu waktu membunuh orang di rumahku di antaranya juga termasuk kau. Biar kau menjadi abu
juga aku kenal kau.”
Mendadak Ih Jin-ho gabrukkan pocinya di atas meja, dengan cepat ia membalik sambil pegang gagang pedang
dan berkata, “Memang betul aku Ih Jin-ho adanya, kau mau apa?”
Walaupun nada jawaban kasar, namun suaranya rada gemetar dan mukanya pucat.
Peng-ci tersenyum, katanya kemudian, “Eng Hiong Ho Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay. Menurut uruturutan
kau terhitung nomor tiga, tapi sedikit pun tidak bersemangat kesatria. Sungguh menggelikan.”
Eng, Hiong, Ho, Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay, yang dimaksudkan adalah Kau Jin-eng, Ang Jin-hiong,
Ih Jin-ho, dan Lo Jin-kiat. Di antaranya Lo Jin-kiat sudah tewas dibunuh Lenghou Tiong di Kota Heng-san
dahulu. Kau Jin-eng dan Ang Jin-hiong sekarang juga berada bersama di samping Ih Jong-hay.
Maka Peng-ci menjengek lagi, “Hah, kalau menurut penilaian Lenghou-heng itu, kalian lebih tepat disebut
empat binatang dari Jing-sia. Padahal kalau menurut penilaianku, haha, kalian bahkan lebih rendah daripada
binatang.”
Tidak kepalang gusar Ih Jin-ho, tangannya sudah memegang gagang pedang, tapi pedang tetap tak dilolosnya
keluar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur sana ada suara berdetaknya kaki kuda, dua penunggang kuda tampak
mendatang dengan cepat. Setiba di depan gubuk, seorang yang berada di bagian depan lantas menghentikan
kudanya. Waktu semua orang berpaling, segera ada orang bersuara kaget.
Kiranya penunggang kuda itu adalah seorang bungkuk yang bertubuh gemuk pendek, yaitu Bok Ko-hong yang
terkenal dengan julukan “Say-pak-beng-tho” (Si Bungkuk dari Utara). Yang aneh adalah penunggang kuda di
belakangnya itu ternyata Gak Leng-sian adanya.
Melihat Leng-sian, hati Lenghou Tiong menjadi senang. Tapi dilihatnya kedua tangan Leng-sian terikat
menelikung di belakang, tali kendali kudanya juga dipegang oleh Bok Ko-hong. Jelas dia tertawan oleh musuh
dan dipaksa ikut datang. Segera Lenghou Tiong bermaksud bertindak, tapi lantas terpikir, “Suaminya kan
berada di sini, buat apa orang luar seperti aku mesti bertindak baginya? Jika suaminya tidak ambil pusing
barulah nanti aku mencari akal untuk menolongnya.”
Dalam pada itu Lim Peng-ci juga girang tidak kepalang melihat datangnya Bok Ko-hong. Ia membatin, “Orang
yang mencelakai ayah-ibuku juga termasuk si bungkuk ini, sungguh tidak nyana hari ini dia mengantar
kematian sendiri ke sini, Thian memang mahaadil.”
Sebaliknya Bok Ko-hong tidak kenal Lim Peng-ci. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Heng-san, tapi
waktu itu Peng-ci menyamar sebagai bungkuk, mukanya benjal-benjol, sama sekali berbeda daripada pemuda
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
cakap seperti sekarang ini.
Bok Ko-hong menoleh kepada Gak Leng-sian dan berkata, “Mengingat sekian banyak teman berkumpul di sini,
seharusnya kita berhenti mengaso juga buat minum teh. Tapi kakekmu ini ada urusan penting, marilah kita
berangkat saja.”
Rupanya dia rada gentar melihat orang-orang Hing-san-pay dan Jing-sia-pay, daripada nanti kebentrok ada
lebih baik menyingkir saja lebih dulu. Sekali membentak segera ia hendak melarikan kudanya. Di luar dugaan,
mendadak Leng-sian menjerit terus terperosot jatuh dari atas kuda.
Kiranya kemarin waktu Leng-sian terluka dan ingin kembali ke Ko-san untuk bergabung dengan ayahbundanya,
tapi di tengah jalan ia lantas kepergok Bok Ko-hong.
Rupanya si bungkuk ini menaruh dendam kepada Gak Put-kun lantaran perebutan Pi-sia-kiam-boh dahulu,
kemudian didengarnya putra keluarga Lim diambilnya sebagai murid, bahkan dijadikan menantu malah, maka
ia menduga kitab pusaka keluarga Lim tentu juga sudah ikut dikangkangi oleh Gak Put-kun.
Tentang upacara penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ia pun mendapat kabar, cuma orang-orang Ngo-gak-kiampay
biasanya memandang hina padanya, Co Leng-tan juga tidak mengirim kartu undangan padanya. Dasar
jiwanya memang sempit, diam-diam Bok Ko-hong sembunyi di sekitar Ko-san, kalau ada orang Ngo-gak-pay
yang kebetulan jalan sendirian segera akan disergapnya untuk melampiaskan rasa dendamnya. Dan kebetulan
dilihatnya Gak Leng-sian jalan sendirian, segera ia mencegatnya.
Dengan kepandaian Leng-sian sekarang mestinya tidaklah gampang bagi Bok Ko-hong untuk mengalahkannya.
Soalnya Leng-sian baru terluka, Bok Ko-hong merunduk pula secara mendadak sehingga akhirnya Leng-sian
tertawan olehnya.
Ketika Leng-sian menggertaknya dengan mengatakan siapa dia, Bok Ko-hong tambah senang malah. Ia telah
ambil keputusan akan menyembunyikan Gak Leng-sian dan suruh Gak Put-kun menebus diri anak
perempuannya itu dengan Pi-sia-kiam-boh. Tak terduga di tengah jalan ia kepergok oleh orang-orang Hing-san
dan Jing-sia-pay.
Leng-sian sendiri berpikir kalau sampai dirinya dibawa lari pula, maka tipislah harapan akan tertolong. Maka
tanpa hiraukan lukanya, ia sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.
Bok Ko-hong memaki sambil melompat turun dari kudanya untuk mencengkeram kembali Gak Leng-sian.
Menurut perkiraan Lenghou Tiong, tentu Peng-ci takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang.
Siapa tahu Peng-ci tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas lempit terus mengipas perlahan-lahan.
Padahal saat itu adalah musim semi, salju di daerah utara saja masih membeku, buat apa menggunakan kipas
segala? Jelas lagak Peng-ci itu hanya sengaja memperlihatkan keisengan dan ketidakacuhan terhadap segala
apa yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu Leng-sian sudah dicengkeram bangun oleh Bok Ko-hong dan dinaikkan lagi ke atas kuda. Ia
sendiri pun lantas mencemplak ke atas kuda dan segera hendak dilarikan.
“Orang she Bok,” tiba-tiba Peng-ci berkata, “di sini ada orang mengatakan ilmu silatmu sangat rendah tak
bernilai, apakah memang begitu halnya?”
Bok Ko-hong tercengang, ia melihat Peng-ci duduk sendirian, tampaknya bukan orang Jing-sia-pay dan juga
bukan Hing-san-pay, seketika ia menjadi ragu-ragu, tanyanya kemudian, “Siapa kau?”
Peng-ci tersenyum, jawabnya, “Buat apa kau tanya diriku? Yang bilang ilmu silatmu rendah toh bukan aku.”
“Siapa yang bilang?” tanya Bok Ko-hong.
“Cret”, Peng-ci lipat kembali kipasnya terus menuding ke arah Ih Jong-hay, katanya, “Yakni Ih-koancu dari
Jing-sia-pay ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan sejurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia ini, kalau
tidak salah seperti Pi-sia-kiam-hoat namanya.”
Mendengar nama “Pi-sia-kiam-hoat”, seketika semangat Bok Ko-hong terbangkit. Ia coba melirik Ih Jong-hay,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terlihat ketua Jing-sia-pay itu memegangi sebuah cangkir teh dan sedang termenung-menung, terhadap apa
yang diucapkan Peng-ci seperti tidak mendengar. Seketika Bok Ko-hong menjadi ragu-ragu apakah ucapan
Peng-ci tadi sungguh-sungguh atau kelakar belaka.
Akhirnya ia tanya Ih Jong-hay, “Hai, Ih Pendek, selamat padamu yang beruntung dapat menyaksikan
permainan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini tentu betul toh?”
“Memang betul,” jawab Ih Jong-hay. “Cayhe memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal
sampai akhir.”
Kejut dan girang pula Bok Ko-hong, cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Ih Jonghay,
lalu bertanya, “Kabarnya kiam-boh itu telah jatuh di tangan Gak Put-kun dari Hoa-san-pay, cara
bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?”
“Aku tidak melihat kiam-boh segala, yang kulihat adalah orang yang mahir memainkan ilmu pedang itu,” sahut
Ih Jong-hay.
“O, kiranya demikian. Tapi Pi-sia-kiam-hoat ada yang tulen dan ada yang palsu. Seperti keturunan Hok-wipiaukiok
di Hokciu juga pernah mempelajari apa yang disebut Pi-sia-kiam-hoat segala, tapi ilmu pedang yang
diperlihatkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat tentulah yang tulen.”
“Aku tidak tahu apakah tulen atau palsu, yang jelas orang yang mahir ilmu pedang itu adalah keturunan Hokwi-
piaukiok dari Hokciu,” jawab Jong-hay.
“Hahahaha!” Bok Ko-hong bergelak tertawa. “Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampaisampai
tulen atau palsu sesuatu ilmu pedang juga tidak bisa membedakan. Bukankah Lim Cin-lam dari Hok-wipiaukiok
itu tewas di tanganmu?”
“Tulen atau palsunya Pi-sia-kiam-hoat memang aku tak bisa membedakan,” jawab Ih Jong-hay. “Bok-tayhiap
lebih berpengalaman, tentu dapat membedakannya.”
Padahal Bok Ko-hong tahu tojin pendek di depannya ini terhitung tokoh kelas satu, baik ilmu silatnya maupun
pengetahuannya yang luas, tapi mengapa sekarang bicara demikian, tentu mengandung arti yang dalam. Maka
Bok Ko-hong hanya menyengir saja sambil memandang sekelilingnya, dilihatnya semua orang sedang
memandang padanya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah omong sesuatu. Maka dengan
ragu-ragu terpaksa ia berkata, “Kalau aku dapat melihatnya sendiri, betapa pun akan kubedakan yang tulen
dan yang palsu.”
“Kalau Bok-tayhiap ingin lihat, kukira tidaklah susah. Sekarang juga seorang yang berada di sini justru mahir
main Pi-sia-kiam-hoat,” kata Ih Jong-hay.
Keruan Bok Ko-hong terkesiap, sorot matanya kembali menatap orang-orang sekelilingnya. Dilihatnya Lim
Peng-ci paling tak acuh, segera ia tanya, “Apakah pemuda ini yang kau maksudkan?”
“Hebat, sungguh aku sangat kagum terhadap pandangan Bok-tayhiap yang tajam, sekali pandang saja lantas
tahu,” kata Jong-hay.
Baru sekarang Bok Ko-hong mengamat-amati Lim Peng-ci mulai dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala.
Dilihatnya dandanan Peng-ci sangat perlente, jelas seorang putra keluarga hartawan. Pikirnya, “Ucapan Ih
Pendek itu tentu mengandung sesuatu tipu muslihat bagiku. Buat apa aku terlibat dalam sengketa mereka,
paling selamat lekas berangkat saja. Asalkan Nona Gak ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil
Gak Put-kun takkan menebusnya dengan kiam-boh yang kuinginkan itu.”
Maka dia sengaja tertawa, katanya, “Haha, Ih Pendek, rupanya kau memang suka berkelakar padaku. Hari ini
Si Bungkuk ada urusan lain, terpaksa aku mohon diri dahulu. Tentang Pi-sia-kiam-hoat itu apakah benar tulen
atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa pula.”
Habis berkata, sekali loncat, tahu-tahu ia sudah berada kembali di atas kudanya.
Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi loncatan ke atas kuda itu ternyata sangat gesit dan cepat.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Bab 120. Matinya Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke
sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas
kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.
Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.
Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka
dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada
apa-apa yang telah dikerjainya.
Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu
menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.
Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk
oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumputrumput
yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.
Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu
melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera
kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala
penuh darah.
Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena
dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas
pundaknya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang
di tengah malam.”
Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ihpendek
bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku.”
Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar
biasa.
“Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu,” sahut Peng-ci. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang
keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil
daripada Ih Jong-hay itu.”
Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini
adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, “Dia berani menantang diriku, dengan
sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan
nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya.”
Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu
banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam
cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik?
Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang
seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak
Leng-sian adanya.
Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk.
Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka
setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan
susulan meski dalam hati sangat gemas.
Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, “Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu
malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi.
Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?”
Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu
menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil “kakek”
tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam
keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan
mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu
harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.
Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah
kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali
kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni.”
Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan
memanggil “kakek” padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, “Ihpendek,
kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku
saja.”
Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga
termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak
mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.
Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak
mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay.”
Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja,
sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong
dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.
Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, “Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari
perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di
dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda.”
Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu
melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.
Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya
berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus
bau harum yang sedap.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh
terkulai dengan dada mengucurkan darah.
Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok
Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti
Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu
cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak
terkatakan kagumnya di samping waswas pula.
Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia
bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti
serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke
pinggang Peng-ci.
Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke
dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu.
Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya
sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang
sampai berseru kaget dan sama melongo.
Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit
pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.
Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui
kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. “Sret-sret-sret”, kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar
suara “trang-trang” yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.
Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas
dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud
sebuah jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang
lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam
lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena
itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi
serangan maut.
Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan
lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan
demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat
menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.
Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar
pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok
Ko-hong untuk menangkis.
Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam,
namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti
mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci
bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang
bengkok itu.
Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk
mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi,
ia bersuit nyaring terus menerjang maju, “sret-sret-sret” tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di
punggung Lim Peng-ci.
Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun
pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok
seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.
Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid
Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini
mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian
itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing
mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu?
Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi
girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas
membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar
sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.
Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Pengci
itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang
diputar kencang untuk melindungi tubuh. Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
lutut.
“Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ....” Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih
Jong-hay, lalu menyambung, “namun sudah terlambat!”
“Trang,” kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan
menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap
jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.
Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang,
sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan
demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.
Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa
mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu
berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.
Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak
bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat
berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, “Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar
kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh
seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu.”
Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap
dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya
hidup di dunia ini? Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh.
Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.
Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah
terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.
Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika
Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Kohong.
Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya
meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir
Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.
“Blus”, mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.
Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan
maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya
masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan
sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.
Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok
itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar
dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya
ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.
Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus
menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara
kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar.
Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut
menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua
musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan
keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas
tanah yang berlumuran darah, menyusul “sret-sret-sret” beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan
tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang
Jing-sia-pay itu.
Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut
menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.
Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih
terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi
Peng-ci.
Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho
dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-sanpay
sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.
Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak
mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang
bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.
Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa
Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih
berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si
bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.
Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur.
Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga
tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.
Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, “Suhu, Suhu! Engkau jangan
meninggalkan kami!”
“O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!”
Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, “Sakit hatiku sudah terbalas!”
Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho
lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk
membubuhi obat lagi.
Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, “Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya
sakit hatimu.”
Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, “Sakit hatiku sudah terbalas, sudah
terbalas!”
Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, “Bagaimana dengan kedua
matamu? Air berbisa itu harus dicuci.”
Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya
dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.
Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-siapay
terkejut mendengar jeritan seram itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Siausumoay,” kata Lenghou Tiong. “Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk
mengaso.”
“Ba ... banyak terima kasih,” sahut Leng-sian.
Mendadak Peng-ci berteriak, “Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya
dengan dia?”
Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, “Bilakah aku bersalah padamu? Mengapa kau begini benci padaku?”
Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, “Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab,
kalau orang sudi mem ....”
“Orang sudi apa?” bentak Peng-ci dengan gusar.
Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek
tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, “Hm, kau selalu mengatakan
kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja? Buat apa
kau mengurus diriku?”
Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang
dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara
seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat
mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou
Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu?
Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, “Orang telah menyelamatkan
jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?”
Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.
Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan,
mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu
jatuh terbanting.
Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kenapa kau ....” tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan
Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur,
apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada
siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam
pertengkaran mereka.
Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat
didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, “Hm, kau bilang aku
tidak tahu malu? Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu.”
Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, “Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin
mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan
mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw
yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ....” ia tuding Leng-sian, lalu menyambung,
“ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah
dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami.”
Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali
jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, “Mana ... mana bisa jadi hal begitu?”
“Hm, perempuan hina dina,” jengek Peng-ci. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing
diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat
tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya? Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami?
Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?”
Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, “Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur.”
“Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu,” kata Peng-ci pula.
“Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau
kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah,
mengapa begitu caranya kau meladeni aku? Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu
paham.”
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, “Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau
sendiri ....” perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, “Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak
keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang.”
Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.
Leng-sian berkata pula, “Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh
atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri
daripada seperti Ih Jong-hay ini.”
“Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku,” jengek
pula Peng-ci.
Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, “Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta
kalian?”
“Boleh saja,” sahut Ing-ing. “Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?”
“Ti ... tidak usah,” jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. “Banyak terima kasih.”
Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.
“Marilah naik ke atas kereta!” kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.
Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah.
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.
Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu
cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah
Lenghou Tiong.
Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu
dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. Pikirnya, “Kedua mata Lim-sute sudah
buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah
perjalanan yang jauh itu? Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu
melawan?”
Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan.
Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-siapay
itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua?
Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di
dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang
jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang
siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara
seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang
suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai
tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. Dalam keadaan setengah sadar
telinganya mendengar suara bisikan yang halus, “Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!”
Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, “Marilah keluar, ada yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hendak kubicarakan.”
Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari
dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil
bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana
malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.
Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, “Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?”
“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti.”
“Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” kata Ing-ing pula
Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, “Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut
campur?”
“Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?” tanya
Ing-ing.
“Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam
keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh.”
“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?”
Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, “Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku.
Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan
baik suami-istri mereka.”
“Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku
kurang senang, betul tidak?”
Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa
sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang,
jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?”
Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Jika demikian pikiranmu,
lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala? Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke
sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin
menghindarkan rasa curiga.”
Mendengar kata-kata “meninggalkan penyesalan selama hidup”, seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakanakan
terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus,
tanpa terasa badannya rada gemetar.
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke
sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas
kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.
Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.
Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka
dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada
apa-apa yang telah dikerjainya.
Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu
menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.
Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk
oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumputrumput
yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu
melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera
kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala
penuh darah.
Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena
dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas
pundaknya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang
di tengah malam.”
Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ihpendek
bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku.”
Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar
biasa.
“Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu,” sahut Peng-ci. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang
keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil
daripada Ih Jong-hay itu.”
Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini
adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, “Dia berani menantang diriku, dengan
sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan
nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya.”
Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu
banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam
cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik?
Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang
seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak
Leng-sian adanya.
Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk.
Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka
setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan
susulan meski dalam hati sangat gemas.
Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, “Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu
malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali
padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi.
Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?”
Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu
menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil “kakek”
tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam
keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan
mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu
harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.
Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah
kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali
kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni.”
Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan
memanggil “kakek” padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, “Ihpendek,
kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku
saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga
termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak
mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.
Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak
mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay.”
Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja,
sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong
dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.
Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, “Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari
perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di
dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda.”
Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu
melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.
Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya
berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus
bau harum yang sedap.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh
terkulai dengan dada mengucurkan darah.
Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok
Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti
Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu
cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak
terkatakan kagumnya di samping waswas pula.
Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia
bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti
serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke
pinggang Peng-ci.
Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke
dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu.
Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya
sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.
Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang
sampai berseru kaget dan sama melongo.
Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit
pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.
Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui
kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. “Sret-sret-sret”, kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar
suara “trang-trang” yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.
Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas
dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud
sebuah jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang
lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam
lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi
serangan maut.
Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan
lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan
demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat
menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.
Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar
pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok
Ko-hong untuk menangkis.
Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam,
namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti
mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci
bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang
bengkok itu.
Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk
mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi,
ia bersuit nyaring terus menerjang maju, “sret-sret-sret” tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di
punggung Lim Peng-ci.
Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun
pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok
seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.
Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid
Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini
mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian
itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing
mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu?
Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi
girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas
membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar
sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.
Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Pengci
itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang
diputar kencang untuk melindungi tubuh. Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk
lutut.
“Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ....” Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih
Jong-hay, lalu menyambung, “namun sudah terlambat!”
“Trang,” kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan
menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap
jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.
Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang,
sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan
demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.
Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa
mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu
berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak
bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat
berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, “Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar
kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh
seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu.”
Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap
dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya
hidup di dunia ini? Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh.
Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.
Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah
terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.
Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika
Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Kohong.
Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya
meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir
Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.
“Blus”, mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.
Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan
maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya
masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan
sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.
Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok
itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar
dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya
ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.
Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus
menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara
kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.
Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar.
Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut
menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua
musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan
keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas
tanah yang berlumuran darah, menyusul “sret-sret-sret” beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan
tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang
Jing-sia-pay itu.
Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut
menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.
Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih
terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi
Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho
dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-sanpay
sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.
Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak
mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang
bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.
Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa
Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih
berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si
bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.
Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur.
Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga
tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.
Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, “Suhu, Suhu! Engkau jangan
meninggalkan kami!”
“O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!”
Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, “Sakit hatiku sudah terbalas!”
Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho
lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk
membubuhi obat lagi.
Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, “Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya
sakit hatimu.”
Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, “Sakit hatiku sudah terbalas, sudah
terbalas!”
Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, “Bagaimana dengan kedua
matamu? Air berbisa itu harus dicuci.”
Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya
dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.
Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-siapay
terkejut mendengar jeritan seram itu.
“Siausumoay,” kata Lenghou Tiong. “Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk
mengaso.”
“Ba ... banyak terima kasih,” sahut Leng-sian.
Mendadak Peng-ci berteriak, “Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya
dengan dia?”
Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, “Bilakah aku bersalah padamu? Mengapa kau begini benci padaku?”
Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, “Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab,
kalau orang sudi mem ....”
“Orang sudi apa?” bentak Peng-ci dengan gusar.
Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek
tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, “Hm, kau selalu mengatakan
kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja? Buat apa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kau mengurus diriku?”
Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang
dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara
seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat
mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou
Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu?
Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, “Orang telah menyelamatkan
jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?”
Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.
Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan,
mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu
jatuh terbanting.
Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kenapa kau ....” tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan
Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur,
apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada
siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam
pertengkaran mereka.
Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat
didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, “Hm, kau bilang aku
tidak tahu malu? Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu.”
Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, “Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin
mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan
mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw
yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ....” ia tuding Leng-sian, lalu menyambung,
“ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah
dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami.”
Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali
jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, “Mana ... mana bisa jadi hal begitu?”
“Hm, perempuan hina dina,” jengek Peng-ci. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing
diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat
tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya? Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami?
Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?”
Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, “Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika
begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur.”
“Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu,” kata Peng-ci pula.
“Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau
kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah,
mengapa begitu caranya kau meladeni aku? Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu
paham.”
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, “Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau
sendiri ....” perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, “Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak
keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang.”
Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.
Leng-sian berkata pula, “Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh
atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri
daripada seperti Ih Jong-hay ini.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku,” jengek
pula Peng-ci.
Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, “Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta
kalian?”
“Boleh saja,” sahut Ing-ing. “Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?”
“Ti ... tidak usah,” jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. “Banyak terima kasih.”
Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.
“Marilah naik ke atas kereta!” kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.
Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah.
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.
Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu
cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah
Lenghou Tiong.
Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu
dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. Pikirnya, “Kedua mata Lim-sute sudah
buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah
perjalanan yang jauh itu? Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu
melawan?”
Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan.
Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-siapay
itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua?
Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di
dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang
jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang
siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara
seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang
suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai
tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. Dalam keadaan setengah sadar
telinganya mendengar suara bisikan yang halus, “Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!”
Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, “Marilah keluar, ada yang
hendak kubicarakan.”
Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari
dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil
bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana
malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.
Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, “Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?”
“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti.”
“Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” kata Ing-ing pula
Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, “Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut
campur?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?” tanya
Ing-ing.
“Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam
keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh.”
“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?”
Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, “Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku.
Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan
baik suami-istri mereka.”
“Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku
kurang senang, betul tidak?”
Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa
sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang,
jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?”
Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Jika demikian pikiranmu,
lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala? Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke
sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin
menghindarkan rasa curiga.”
Mendengar kata-kata “meninggalkan penyesalan selama hidup”, seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakanakan
terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus,
tanpa terasa badannya rada gemetar.
Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh
Segera Ing-ing berkata pula, “Akan kubangunkan Gi-ho dan Gi-jing berdua Suci, hendaknya kau suruh mereka
pulang dulu ke Hing-san, kita diam-diam mengawal perjalanan siausumoaymu habis itu baru pulang ke Hingsan.”
Sesudah bangun, semula Gi-ho dan Gi-jing rada khawatir melihat keadaan Lenghou Tiong masih belum sehat,
namun melihat tekadnya sudah bulat buat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak omong lagi,
mereka menyediakan sebungkus obat luka, lalu mengantar keberangkatan mereka berdua.
Ing-ing membedakan arah dengan baik, lalu melarikan keretanya ke jurusan barat laut, ia tahu jalan ke Hoasan
itu hanya sebuah jalan besar, rasanya takkan kesasar. Kereta itu ditarik empat ekor keledai yang kuat,
perjalanan cukup cepat di tengah malam sunyi hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai dan
berkeriang-keriutnya roda kereta.
Alangkah rasa terima kasih hati Lenghou Tiong, demi diriku, segala apa pun dia mau melakukannya. Sudah
jelas dia mengetahui aku mengkhawatirkan Siausumoay, segera dia mengajak aku berangkat mengawalnya.
Wahai Lenghou Tiong betapa beruntung dan bahagianya kau mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini.
Demikian pikirnya.
Ing-ing melarikan kereta keledai itu dengan cepat. Berapa li kemudian laju kereta itu menjadi lambat lagi.
“Kukira cara yang paling baik untuk melindungi sumoaymu bila terancam bahaya supaya tidak diketahui
olehnya biarlah kita menyamar saja,” kata Ing-ing.
“Benar, boleh engkau menyaru sebagai si berewok lagi, Ing-ing.”
“Tidak, penyamaranku itu tentu sudah diketahui sumoaymu ketika di Hong-sian-tay tempo hari,” sahut Ing-ing.
“Habis cara bagaimana kita harus menyamar?” tanya Lenghou Tiong.
“Kau tunggu sebentar,” kata Ing-ing. Habis itu ia terus melompat turun dari kereta dan berlari menuju sebuah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
rumah petani di depan sana. Dengan enteng ia melintasi pagar rumah itu, menyusul terdengar suara anjing
menggonggong, tapi hanya sekali saja lantas bungkam. Agaknya binatang itu telah kena dilumpuhkan oleh Inging.
Tidak lama kemudian Ing-ing telah lari kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia lompat ke atas
kereta dan tertawa terbahak-bahak setelah menaruh bungkusan itu di sisinya.
Lenghou Tiong coba memeriksa pakaian itu, benarlah memang pakaian petani tua, lebih-lebih pakaian mak tani
yang sangat longgar itu tampaknya sudah jauh ketinggalan zaman, selain pakaian Ing-ing mencolong pula topi
buat kaum laki-laki serta ikat kepala buat kaum wanita, ada pula sebuah honcoe (cangklong dengan gagang
panjang).
Segera Ing-ing mengambil pakaian mak tani itu dan dipakai sendiri di atas pakaian semula, ikat kepala
dipasang pula di atas kepala, lalu kedua tangannya menggosok-gosok sedikit tanah dan kemudian diusapkan di
muka sendiri, habis itu barulah ia bantu Lenghou Tiong menyamar.
Berdiri berhadapan, jarak mereka berdua hanya belasan senti saja, napas Ing-ing terasa mengembus perlahan,
hati Lenghou Tiong menjadi syur dan setengah mabuk, sungguh ia ingin peluk si nona dan menciumnya. Tapi
segera teringat olehnya akan pribadi Ing-ing yang sangat prihatin itu, sedikit pun tidak pernah bertingkah atau
bicara hal-hal yang tidak pantas, kalau sampai membuatnya marah, sungguh akibatnya sukar dibayangkan.
Karena itu ia berusaha mengekang perasaan sebisanya.
Kilasan sinar mata Lenghou Tiong yang aneh itu ternyata diketahui juga oleh Ing-ing, dengan tersenyum ia
mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, “Cucu yang baik, beginilah baru Nenek mau
sayang padamu!”
Lenghou Tiong pejamkan mata sekalian dan merasa tangan si nona yang halus itu mengusap kian-kemari di
mukanya, alangkah syur rasanya nikmat sekali, sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap tanpa
berhenti.
Selang sejenak, berkatalah Ing-ing, “Sudahlah, pada malam gelap begini tentu sumoaymu takkan
mengenalimu asalkan kau tidak buka suara.”
Habis itu mendadak ia tertawa pula terpingkal-pingkal.
Semula Lenghou Tiong bingung tapi kemudian ia pun bertanya, “Adakah kau lihat sesuatu yang lucu di rumah
petani itu?”
“Bukan melihat sesuatu yang lucu,” jawab Ing-ing. “Kedua petani yang tinggal di sana adalah suami istri yang
sudah tua. Ketika aku melompat ke dalam rumahnya segera aku diterjang seekor anjing, syukur aku sempat
menggaploknya sekali hingga binatang itu roboh kelengar, tapi suara gonggong anjing itu telah membikin
kakek dan nenek petani itu terjaga bangun. Terdengar si nenek berkata, ‘He, bapaknya A Yu, jangan-jangan
ada pencuri.’ Lalu terdengar si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana bisa ada pencuri!’ Tiba-tiba si
nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin pencuri itu meniru caramu dahulu, bila tengah malam menggeremet ke
rumahku, selalu kau membawa sepotong daging untuk umpan anjingku.’.”
“Ah, si nenek itu rada-rada berengsek, masakah dia memakimu sebagai pencuri secara tidak langsung,” ujar
Lenghou Tiong dengan tertawa. Ia tahu Ing-ing rada pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa
kedua suami istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka masa dahulu, dengan demikian Inging
akan terus bercerita, kalau tidak, bisa jadi si nona takkan menuturkan lagi apa yang didengarnya di rumah
petani itu.
Dengan tertawa Ing-ing lantas menjelaskan, “Yang dimaksudkan si nenek petani itu adalah kejadian sebelum
mereka kawin....” sampai di sini tiba-tiba ia cambuk keledai dan melarikan keretanya lagi.
“Kejadian sebelum mereka kawin?” Lenghou Tiong menegas. “Tentunya kelakuan mereka sangat baik, biarpun
berada bersama dalam kereta di tengah malam buta tentu juga mereka tidak berani saling peluk dan
berciuman.”
“Cis!” Ing-ing mencemoohkan, lalu tidak bicara lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“O, adik yang baik, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan, ceritakanlah terus!” pinta Lenghou Tiong.
Namun Ing-ing diam saja. Di tengah malam gelap hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai yang
nyaring.
Lenghou Tiong coba memandang ke depan, cahaya bulan menyinari jalan raya yang lurus dan lebar diselimuti
kabut tipis remang-remang, perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut lalu pemandangan di
kejauhan tak tertampak lagi, bahkan Ing-ing yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut
yang tipis itu.
Saat itu baru permulaan musim semi, bau harum bunga hutan sayup-sayup mewangi menyegarkan semangat.
Sudah lama Lenghou Tiong tidak minum arak, tapi keadaannya sekarang tiada ubahnya dalam keadaan radarada
mabuk.
Ing-ing diam saja, tapi selalu mengulum senyum, rupanya ia sedang mengenangkan apa yang didengarnya dari
percakapan suami istri petani tua itu. Kata si kakek. “Malam itu aku tidak dapatkan daging terpaksa main curi
seekor ayam tetangga dan kubawa sebagai umpan anjingmu. O ya, apa namanya anjing itu?”
Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang!”
“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, dengan sendirinya
ayah-ibumu juga tidak tahu. Dan pada malam itu juga jadilah si A Yu kita.”
“Hm, kau hanya tahu senang sendiri tanpa ambil pusing pada susah payah orang lain,” si nenek mengomel.
“Kemudian setelah perutku menjadi besar, tahukah kau bahwa aku digebuki Ayah hingga hampir-hampir
mampus.”
“Untung juga perutmu lantas tumbuh besar, rupanya perutmu berdiri di pihakku, kalau tidak masakah
bapakmu sudi membiarkan dirimu diperistri seorang miskin seperti diriku? Waktu itu aku justru mengharapkan
perutmu lekas besar!”
Mendadak si nenek marah, dampratnya, “Setan alas! Kiranya waktu itu kau memang sengaja membikin
perutku menjadi besar, mengapa kau tidak bicara terus terang waktu itu dan baru mengaku sekarang? Aku
tidak... tidak dapat mengampunimu.”
“Ah jangan ribut lagi! A Yu sekarang pun sudah dewasa, buat apa kau ribut-ribut lagi?”
Habis itu karena khawatir Lenghou Tiong menunggunya terlalu lama, Ing-ing tidak berani mendengarkan terus,
lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di
atas meja. Agaknya suami istri petani itu sudah tua, pula sedang asyik membicarakan masa muda mereka
yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumahnya telah kebobolan.
Teringat kepada percakapan suami-istri petani itu wajah Ing-ing jadi merah, untung di tengah malam gelap,
kalau tidak, tentu malu bila dilihat oleh Lenghou Tiong.
Ia tidak mempercepat lagi keledainya, perlahan keledai itu memperlambat langkahnya. Tidak lama kemudian
sampailah di tepi sebuah danau, rindang oleh pepohonan, air danau kemilauan tertimpa oleh cahaya bulan.
“Engkoh Tiong, apakah engkau tertidur?” tanya Ing-ing perlahan.
“Ya, aku sudah tidur, aku sedang mimpi,” sahut Lenghou Tiong.
“Mimpi apa?” tanya Ing-ing.
“Mimpi aku membawa sepotong daging dan menggeremet ke tempat tinggalmu di Hek-bok-keh untuk memberi
makan pada anjingmu,” kata Lenghou Tiong.
“Buset! Dasar orang tidak beres, maka impianmu juga tidak beres,” omel Ing-ing dengan tertawa.
Kedua muda-mudi itu duduk berendeng di atas kereta sambil memandangi air danau, tanpa terasa Lenghou
Tiong menjulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ing-ing. Rada gemetar tangan si nona tapi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tidak mengelak.
“Bila dapat begini selamanya dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, biarpun
menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia demikian ini,” pikir Lenghou Tiong.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ing-ing bertanya.
Dengan terus terang Lenghou Tiong mengatakan apa yang terpikir olehnya itu.
Ing-ing balas menggenggam erat-erat tangan Lenghou Tiong dan berkata, “Engkoh Tiong, sungguh aku merasa
sangat bahagia.”
“Demikian pula aku,” sahut Lenghou Tiong.
“Meski engkau memimpin para kesatria menyerbu ke Siau-lim-si, walaupun aku sangat berterima kasih, tetapi
rasanya tidak segembira sekarang,” kata Ing-ing. “Engkau menyerbu Siau-lim-si untuk menolong diriku lebih
banyak terdorong oleh rasa setia kawan sesama orang Kang-ouw. Tapi sekarang yang kau pikir hanyalah diriku
seorang tanpa terkenang kepada siausumoaymu....”
Mendengar disebutnya “siausumoaymu”, seketika hati Lenghou Tiong tergetar dan merasa harus lekas
menyusul sang siausumoay yang mungkin sedang terancam bahaya itu.
Tapi Ing-ing berkata pula dengan perlahan, “Sampai saat ini barulah aku percaya bahwa dalam pandanganmu,
dalam hatimu ternyata lebih memberatkan diriku daripada siausumoaymu.”
Habis itu, ia menarik tali kendali sehingga keledai itu melangkah kembali ke tengah jalan raya, ketika cambuk
berbunyi, segera binatang itu berlari pula dengan cepat ke depan.
Sekaligus lebih 20 li telah lalu, keledai itu sudah mulai lelah lagi dan memperlambat larinya. Setelah membelok
dua tikungan, tertampaklah di depan ladang jagung yang luas di tepi jalan, di bawah cahaya rembulan ladang
luas itu laksana sutra hijau terbentang di bumi raya ini.
Ketika diperhatikan ke depan sana, dari jauh tampak sebuah kereta berhenti di tepi jalan sana.
“Agaknya itulah kereta yang ditumpangi Lim-sute,” kata Lenghou Tiong.
“Coba kita mendekatinya dengan perlahan,” Ing-ing sambil membiarkan keretanya maju dengan lambat
sehingga jaraknya makin mendekat dengan kereta di depan itu.
Tidak lama, tertampaklah dengan jelas di samping kereta itu ada seorang berjalan kaki sendirian, ternyata Lim
Peng-ci adanya. Terlihat pula kereta itu menggeser beberapa gelinding ke depan, orang yang menjadi kusir
tentulah Gak Leng-sian kalau dilihat dari belakang.
Lenghou Tiong terheran-heran, segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan keretanya, dengan suara
tertahan ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?”
“Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya,” kata Ing-ing. Segera ia menyusup ke
tengah ladang jagung lebat itu terus menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Lim Peng-ci.
Sesudah dekat, ia coba mengikuti jalan kereta dengan menerobos tanaman jagung itu. Terdengar Lim Peng-ci
sedang berkata, “Kiam-boh sudah kuserahkan seluruhnya kepada ayahmu, kenapa kau masih mengikuti aku
saja?”
“Kau selalu curiga pada ayahku yang mengincar kiam-bohmu segala, sungguh tidak beralasan,” demikian Gak
Leng-sian menjawab. “Coba pikirkan, waktu mula-mula kau masuk Hoa-san-pay kami, tatkala itu apakah kau
membawa kiam-boh segala? Tapi sejak itu, aku sudah... sudah baik denganmu, masakah karena itu kau tuduh
aku bermaksud tertentu terhadap dirimu.”
“Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami terkenal di seluruh jagat, banyak orang tidak menemukannya pada
ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah diriku. Dari mana aku bisa yakin bahwa kau tidak disuruh
ayah-ibunya agar membaiki diriku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Jika kau pikir begitu, apa mau dikata lagi. Terserah!” sahut Leng-sian dengan tersenggak-sengguk.
“Memangnya aku salah menuduhmu?” Peng-ci menjadi marah. “Bukankah Pi-sia-kiam-boh akhirnya dari
tanganku jatuh pada ayahmu? Pendek kata, betapa pun juga untuk memperoleh Pi-sia-kiam-boh setiap orang
harus mengerahkan sasarannya kepada diriku. Hm, apakah dia Ih Jong-hay, Bok Ko-hong, atau Gak Put-kun,
hm, apa bedanya? Hanya saja Gak Put-kun yang berhasil dan dia yang menjadi raja, Ih Jong-hay dan Bok Kohong
gagal, maka mereka menjadi pecundang.”
“Kata-katamu yang menghina ayahku itu, lalu kau anggap aku ini orang macam apa?” kata Leng-sian dengan
gusar. “Coba kalau bukan... kalau bukan... hm....”
Mendadak Peng-ci berdiri tegak dan berseru, “Kau mau apa? Kalau bukan mataku buta dan terluka tentu akan
kau binasakan aku, begitu bukan maksudmu? Mataku ini kan tidak buta pada hari ini saja!”
“Jadi kau maksudkan perkenalanmu padaku dan hubungan baik kita dari dahulu itu disebabkan kau buta?”
“Benar,” jawab Peng-ci. “Dari mana kau tahu bahwa kedatanganmu ke Hokciu dengan pura-pura membuka
kedai arak ternyata mempunyai rencana jangka panjang, tujuanmu yang utama sesungguhnya hanya Pi-siakiam-
boh belaka. Kau telah digoda oleh bocah she Ih dari Jing-sia-pay padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi
daripada dia, namun kau pura-pura lemah dan memancing aku ikut turun tangan membelamu. Wahai Lim
Peng-ci, dasar matamu memang buta, hanya sedikit kepandaianmu yang menyerupai cakar ayam saja berani
menonjolkan diri menjadi pahlawan pelindung si cantik segala. Apalagi kau adalah anak gadis kesayangan
ayah-bundamu, kalau bukan karena sesuatu tujuan yang penting masakah mereka mau membiarkanmu
keluyuran di luar dan menjadi penjual arak yang rendah segala.”
“Yang disuruh ke Hokciu oleh Ayah sebenarnya adalah Jisuko. Aku cuma terdorong oleh keinginan pesiar saja,
maka berkeras minta ikut berangkat bersama Jisuko.”
“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi anak muridnya, bila dia anggap tidak pantas, biarpun kau berlutut dan
menangis tiga hari tiga malam juga takkan dia luluskan. Sudah tentu lantaran dia juga tidak percaya penuh
kepada Jisuko, makanya kau dikirim sekalian untuk mengawasinya.”
Leng-sian terdiam, ia pikir apa yang diterka Peng-ci bukan tiada beralasan nama sekali. Selang sejenak barulah
ia buka suara pula, “Baiklah, percaya atau tidak terserahlah padamu. Yang pasti ketika aku datang ke Hokciu
belum pernah kudengar nama Pi-sia-kiam-boh segala. Aku cuma dengar Ayah mengatakan bahwa orang-orang
Jing-sia-pay telah dikerahkan ke timur dan mungkin merugikan Hoa-san-pay kita, maka aku dan Jisuko
ditugaskan menyelidiki gerak-gerik mereka.”
Peng-ci menghela napas, agaknya perasaannya rada lunak kembali, katanya, “Baiklah, biar aku percaya lagi
satu kali padamu. Akan tetapi keadaannya sudah menjadi begini, buat apa kau ikut pada diriku? Hanya
resminya saja kita ini suami-istri, tapi praktiknya toh tidak. Kau masih tetap berbadan perawan, sebaiknya
kau... kembali kepada Lenghou Tiong saja.”
Mendengar kata-kata “Resminya kita adalah suami-istri, tapi praktiknya tidak. Kau masih tetap berbadan
perawan”, keruan Ing-ing terkejut, katanya dalam hati, “Mengapa bisa begitu?”
Tapi segera mukanya menjadi merah dan menganggap seorang agak perempuan tidaklah pantas mencuri
dengar percakapan pribadi suami-istri orang, apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benarbenar
tidak pantas.
Karena itu segera ia bermaksud tinggal pergi, tapi baru putar tubuh, rasa ingin tahunya mendorongnya
mendengarkan lebih lanjut percakapan Leng-sian dan Peng-ci itu.
Terdengar Leng-sian sedang berkata dengan perasaan hampa, “Baru tiga hari kita menikah segera kutahu
engkau sangat benci padaku, biarpun satu kamar dengan aku, namun engkau tidak sudi satu tempat tidur
dengan aku. Jika engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku kenapa... kenapa pula engkau menikahi
diriku?”
“Aku... aku tidak benci padamu,” sahut Peng-ci sambil menghela napas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari engkau pura-pura baik sekali padaku, bila malam hari
berada di kamar engkau lantas bersikap dingin, satu patah kata pun tidak mau bicara denganku. Berulang kali
ayah-ibu tanya padaku bagaimana engkau memperlakukan diriku dan selalu kujawab sangat baik....” Sampai di
sini mendadak ia menangis keras-keras.
Peng-ci lantas melompat ke atas kereta dan memegangi bahu Leng-sian, katanya dengan suara bengis, “Kau
bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar hal ini?”
“Sudah tentu benar, buat apa aku bohong?” sahut Leng-sian.
“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, selamanya belum pernah tidur seranjang denganmu.
Kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?”
“Sekali aku sudah menikah denganmu, dengan sendirinya aku adalah orang keluarga Lim,” jawab Leng-sian
dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan semoga tidak lama lagi engkau akan berubah pikiran. Aku
mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku mencerca suami sendiri, betul tidak?”
Untuk sejenak Peng-ci tidak bersuara, hanya mengertak gigi dengan rasa gemas, kemudian ia berkata pula
dengan perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga berlaku murah hati pula padaku,
tak tahunya yang menutupi kejelekanku. Jika kau tidak berkata demikian tentang diriku, mungkin sejak duludulu
jiwaku sudah melayang di puncak Hoa-san.”
“Mana bisa jadi begitu?” ujar Leng-sian. “Pengantin baru, biarpun terjadi sedikit selisih paham juga tidak
mungkin sang mertua lantas membunuh menantunya.”
“Dia ingin membunuh aku bukan karena aku tidak baik padamu, tapi lantaran aku telah belajar Pi-sia-kiamhoat,”
kata Peng-ci dengan gemas.
“Hal ini sungguh membuat aku tidak paham,” kata Leng-sian. “Selama beberapa hari ini kiam-hoat yang
dimainkanmu dan Ayah benar-benar sangat aneh dan luar biasa lihainya. Ayah berhasil merebut kedudukan
ketua Ngo-gak-pay, kau berhasil pula membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, apakah... apakah ilmu pedang
yang kalian mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat?”
“Benar, itulah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami,” jawab Peng-ci. “Dengan ilmu pedang mahalihai itulah
leluhurku Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok dan disegani oleh kesatria dunia persilatan pada
zamannya.”
“Akan tetapi engkau selalu... selalu mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!”
“Mana aku berani mengaku terus terang,” jawab Peng-ci. “Lenghou Tiong yang berhasil merebut kasa (jubah
hwesio) itu di Hokciu, tapi rupanya sudah takdir, dia gagal memperolehnya, kasa yang tertuliskan Pi-sia-kiamboh
itu malah jatuh di tangan ayahmu....”
“Tidak, tidak mungkin,” seru Leng-sian. “Ayah bilang kiam-boh itu telah dikangkangi Toasuko, Ayah memaksa
dia mengembalikannya padamu, tapi Toasuko membangkang.”
“Hm,” Peng-ci menjengek.
Maka Leng-sian berkata pula, “Ilmu pedang Toasuko mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya.
Apakah mungkin yang dia mainkan itu bukan Pi-sia-kiam-hoat? Bukan hasil pelajaran dari Pi-sia-kiam-boh
keluarga Lim kalian?”
Kembali Peng-ci mendengus, lalu berkata, “Biarpun Lenghou Tiong itu licin tapi kalau dibandingkan ayahmu
boleh dikata masih ketinggalan jauh. Pula ilmu pedangnya kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Pi-siakiam-
hoat kami? Bukankah dalam pertandingan di depan Hong-sian-tay di Ko-san dia terluka oleh pedangmu?”
“Dia... dia sengaja mengalah padaku,” kata Leng-sian dengan suara rendah.
“Hm, alangkah dalam cintanya padamu,” jengek Peng-ci.
Kata-kata ini kalau didengar Ing-ing sehari sebelumnya mungkin si nona jatuh kelengar saking gusarnya. Akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tetapi semalam kedua orang telah bicara dengan mesra di tepi danau, kedua orang telah saling mengutarakan
isi hati masing-masing, maka sekarang Ing-ing malah merasa bahagia. Pikirnya, “Dahulu dia memang sangat
baik padamu, tetapi sekarang dia jauh lebih baik padaku.”
Terdengar Leng-sian berkata pula, “Kiranya yang dimainkan Toasuko itu bukan Pi-sia-kiam-hoat tapi mengapa
Ayah selalu menyalahkan dia mencuri Pi-sia-kiam-boh sehingga menjadikan salah satu tuduhan untuk
memecatnya dari Hoa-san-pay. Jika demikian jadi aku... aku salah sangka padanya.”
“Hm, salah sangka apa segala,” jengek Peng-ci. “Lenghou Tiong memangnya tidak bermaksud merebut kiamboh
keluarga kami, tapi praktiknya dia sudah merebutnya. Hanya saja ibarat maling ketemu begal, dalam
keadaan terluka dan jatuh pingsan, ayahmu menggerayangi kiam-boh itu dari tubuhnya, kemudian menuduh
dia sengaja menggelapkan kiam-boh. Ini namanya maling berteriak maling....”
“Maling apa segala? Kenapa pakai kata-kata tak enak didengar begitu?” ujar Leng-sian dengan gusar.
“Hm, apa perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh omong?” dengus Peng-ci.
Leng-sian menghela napas, katanya kemudian, “Ketika di Gang Matahari tempo hari memang kasa itu direbut
oleh komplotan penjahat Ko-san-pay, syukur Toasuko membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas
kembali kasa itu, tapi tak bisa menuduh dia ingin mengangkangi kasa itu. Toasuko memiliki jiwa besar dan hati
jujur, sejak kecil ia tidak pernah serakahi milik orang lain. Maka aku menjadi sangsi ketika Ayah menuduhnya
mengangkangi kiam-bohmu, hanya saja kiam-hoatnya mendadak maju dengan pesat hal ini pun membikin aku
sehingga ikut-ikutan percaya.”
“Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut padanya saja?” kata Peng-ci pula.
“Adik Peng-ci, sampai saat ini ternyata engkau masih belum bisa menyelami perasaanku,” jawab Leng-sian.
“Sejak kecil Toasuko dibesarkan bersamaku, dalam pandanganku dia tidak lebih adalah kakakku belaka. Aku
menghormat dan mengasihi dia sebagai kakak, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih.
Sebaliknya sejak kau datang ke Hoa-san, dalam waktu singkat saja kita lantas begitu cocok satu sama lain,
satu detik tidak bertemu saja rasanya tidak betah. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”
“Kau memang rada berbeda daripada ayahmu, kau... kau lebih mirip ibumu,” kata Peng-ci dengan nada halus,
nyata hatinya rada terharu oleh cinta murni Leng-sian itu.
Kedua orang terdiam sejenak, kemudian Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, cukup mendalam ciri ayahku
dalam pandanganmu, selanjutnya kalian berdua tentu sukar hidup damai bersama. Pendek kata aku sudah
menjadi orang keluarga Lim, ke mana pun kau pergi aku pasti ikut. Lebih baik kita mencari suatu tempat damai
yang jauh dan hidup bahagia untuk selamanya di sana.”
“Hm, muluk-muluk saja pikiranmu,” jengek Peng-ci. “Sekali aku sudah membunuh Ih Jong-hay dan Bok Kohong,
maka berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana, dengan sendirinya pula ayahmu akan mengetahui
aku telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan tidak nanti dia mau membiarkan aku hidup di dunia ini.”
Bab 122. Lim Peng-ci Kebiri Diri Sendiri untuk Meyakinkan Ilmu
Leng-sian menghela napas, katanya, “Adik Peng, engkau mengatakan Ayah mengincar kiam-bohmu, kenyataan
memang demikian, aku pun takkan membela Ayah, tapi engkau menuduh dia hendak membunuhmu lantaran
engkau mahir Pi-sia-kiam-hoat, kurasa hal ini tidak masuk di akal. Pi-sia-kiam-boh memangnya adalah milik
keluarga Lim kalian, jika engkau mempelajari ilmu pedangmu adalah layak sekali, betapa pun Ayah tidak dapat
membunuhmu hanya karena alasan itu.”
“Kau bicara demikian lantaran belum kenal pribadi ayahmu dan juga tidak tahu macam apakah Pi-sia-kiam-boh
itu,” kata Peng-ci.
“Bahkan terhadap hatimu aku pun sungguh tidak paham,” kata Leng-sian.
“Ya, tidak paham, kau memang tidak paham! Buat apa mesti paham?” kata Peng-ci mulai aseran pula.
Leng-sian tidak berani banyak omong lagi, katanya kemudian, “Marilah kita berangkat saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ke mana?” tanya Peng-ci.
“Kau suka ke mana, ke situlah aku akan ikut, biarpun ke ujung langit sekalipun aku tetap bersamamu,” jawab
Leng-sian tegas.
“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal.”
“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, sebelumnya aku sudah ambil keputusan bagi kehidupanku seterusnya,
mana bisa merasa menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan, umpama tak bisa pulih
kembali juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”
Ucapan Leng-sian yang penuh perasaan ini sangat mengharukan Ing-ing, ia merasa Gak Leng-sian sebenarnya
adalah nona yang sangat baik, hanya saja bernasib malang sehingga tingkah lakunya terkadang rada-rada
aneh.
Terdengar Peng-ci mendengus, agaknya masih kurang percaya akan tekad Gak Leng-sian itu.
Dengan suara halus Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, agaknya engkau masih sangsi pada diriku. Biarlah
malam ini juga aku me... menyerahkan diriku padamu, dengan begitu dapatlah kiranya kau percayai diriku.
Biarlah malam ini juga kita bermalam pengantin di sini, marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya
dan selanjutnya... selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya....”
Makin lama makin lirih suaranya sehingga akhirnya tak terdengar.
Kembali Ing-ing merasa heran dan kikuk oleh ucapan Leng-sian itu. Segera ia bermaksud tinggal pergi agar
tidak menyaksikan “praktik” menjadi suami istri sebagaimana dikatakan Gak Leng-sian itu, dalam hati ia pikir
Nona Gak ini benar-benar tidak tahu malu, masakah di tengah jalan raya sampai hati melakukan hal begituan.
Sekonyong-konyong terdengar Lim Peng-ci berteriak, suaranya seram bengis, menyusul lantas membentak,
“Enyah sana! Jangan dekat-dekat ke sini.”
Keruan Ing-ing terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, hal apa yang membuat Lim Peng-ci menjadi beringas?
Menyusul terdengar pula suara tangisan Leng-sian, lalu Peng-ci membentaknya lagi, “Enyah sana, enyah yang
jauh! Aku lebih suka dibunuh ayahmu daripada kau ikut diriku.”
“Mengapa engkau menghina diriku sedemikian rupa, sesungguhnya apa... apa kesalahanku?” tanya Leng-sian
sambil menangis.
“Aku... aku...” Peng-ci tertegun, lalu melanjutkan, “Kau... kau....” tapi lantas bungkam pula.
“Apa yang hendak kau katakan, bicaralah terus terang,” pinta Leng-sian. “Jika memang aku bersalah atau
engkau tak dapat memaafkan kesalahan ayahku, asal kau bicara terus terang, tanpa engkau bertindak apa-apa
segera aku akan bunuh diri di hadapanmu.”
“Sret”, segera ia melolos pedangnya.
“Aku... aku...” kembali Peng-ci berkata dengan tergegap. Selang sejenak, lalu ia menghela napas panjang dan
menyambung, “Ya, memang bukan salahmu, sesungguhnya aku sendiri yang tidak baik.”
Kembali Leng-sian menangis sedih, ya malu, ya gemas, ya cemas.
Akhirnya Peng-ci berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang padamu.”
“Memangnya, biar kau pukul diriku atau bunuh sekalipun aku rela, asalkan jangan kau bikin orang merasa
bingung,” kata Leng-sian.
“Karena kau tidak berhati palsu terhadap diriku, maka akan kukatakan terus terang padamu agar selanjutnya
kau tak mengharap-harapkan lagi atas diriku,” kata Peng-ci.
“Sebab apa?” tanya Leng-sian bingung.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Sebab apa? Tentunya kau tahu Pi-sia-kiam-hoat sangat terkenal di dunia persilatan sehingga tokoh-tokoh ilmu
pedang seperti ayahmu dan Ih Jong-hay juga mengincarnya dengan segala daya upaya, akan tetapi mengapa
ilmu pedang ayahku sebaliknya begitu rendah? Dianiaya orang juga tidak mampu melawan? Kenapa bisa
begitu, apa sebabnya.”
“Mungkin bakat Kongkong kurang atau sejak kecil mungkin badannya lemah. Anak murid keturunan jago silat
tidak selamanya berilmu silat tinggi pula.”
“Bukan begitu. Biarpun ilmu pedang ayahku sangat rendah, paling-paling disebabkan latihannya kurang,
tenaga dalamnya lemah. Akan tetapi Pi-sia-kiam-hoat yang dia ajarkan padaku pada hakikatnya salah semua.”
“Ini benar-benar aneh,” ujar Leng-sian.
“Kalau kuceritakan tentu tak aneh lagi. Apakah kau tahu orang macam apakah sebenarnya moyangku yang
bernama Lim Wan-tho itu?”
“Tidak tahu,” sahut Leng-sian.
“Asalnya dia adalah seorang hwesio.”
“O, kiranya seorang cut-keh-jin (orang yang meninggalkan rumah). Banyak juga tokoh-tokoh persilatan
ternama yang pada hari tua sering kali meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi hwesio.”
“Tapi moyangku tidak meninggalkan rumah pada hari tua, dia justru menjadi hwesio lebih dulu baru kemudian
kembali ke masyarakat ramai.”
“Tentang masa muda moyang kita itu apakah kau dengar dari cerita Kongkong?” tanya Leng-sian.
“Tidak, selamanya Ayah tak pernah bercerita, bahkan beliau sendiri mungkin juga tidak tahu. Ruangan
sembahyang kediaman kami yang dulu di Gang Matahari di Kota Hokciu itu pernah kita datangi pada malam
itu, kau masih ingat bukan?”
“Ya,” sahut Leng-sian.
“Sebab apa Pi-sia-kiam-boh itu tertulis di atas kasa? Soalnya beliau tadinya adalah seorang hwesio sebuah
biara, di sana beliau dapat mencuri baca kiam-boh itu, lalu diturun dengan ditulis pada kasa yang dipakainya
itu. Setelah beliau kembali menjadi preman, di rumah kediamannya diadakan pula sebuah ruangan Buddha dan
tetap melakukan ibadatnya dengan taat.”
“Gagasanmu cukup masuk di akal. Namun bukan mustahil kiam-boh itu diperoleh moyang kita dari seorang
padri sakti dan kiam-boh itu memang tertulis di atas kasa. Jadi moyang kita memperoleh kiam-boh itu dengan
cara yang jujur dan terang.”
“Bukan begitu,” ujar Peng-ci.
“Bila engkau mempunyai dugaan lain, tentu engkau ada alasannya,”
“Aku tidak menduga secara ngawur, tapi moyang Lim Wan-tho sendiri yang mencatat kisahnya di atas kasa.”
“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian.
“Pada akhir kiam-boh yang dia turun dari hasil curi lihat itu dengan jelas ditulis oleh beliau, bahwa tatkala itu
beliau masih menjadi hwesio di kuil itu dan tanpa sengaja melihat kiam-boh tersebut, lalu diturunnya di atas
kasa serta dibawa pulang. Beliau memperingatkan dengan sangat bahwa ilmu pedang itu terlalu keji dan
merugikan orang yang melatihnya, yang melatihnya pasti akan putus keturunan, oleh karena itu beliau
menganjurkan jangan sembarangan meyakinkan ilmu pedang tersebut.”
“Akan tetapi beliau sendiri toh melatihnya juga.”
“Tadinya aku pun berpikir begitu,” kata Peng-ci. “Seumpama ilmu pedang itu terlalu keji dan sulit, namun
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
setelah moyang sendiri meyakinkannya toh masih kawin dan beranak, tetap punya keturunan.”
“Benar. Cuma besar kemungkinan beliau kawin dan punya anak lebih dulu, kemudian baru meyakinkan ilmu
pedang.”
“Pasti tidak begitu. Setiap orang persilatan di dunia ini betapa pun lihainya, bila sekali sudah tahu jurus
pertama Pi-sia-kiam-hoat, maka pasti ingin tahu pula jurus kedua, lalu ingin tahu pula jurus ketiga dan
seterusnya. Sekalipun tahu akibatnya akan sangat merugikan dirinya pasti takkan digubrisnya.”
Mendengar sampai di sini, Ing-ing menjadi teringat kepada ucapan ayahnya bahwa Pi-sia-kiam-boh itu
sebenarnya berasal dari suatu sumber yang sama dengan Kui-hoa-po-tian yang menjadi pusaka agamanya.
Pantas ilmu pedang Gak Put-kun dan Lim Peng-ci sedemikian mirip dengan kepandaian Tonghong Put-pay.
Ayahnya juga pernah mengatakan bahwa ilmu silat dalam kitab Kui-hoa-po-tian itu lebih banyak merusak
daripada mendatangkan manfaat bila meyakinkannya. Sekali membaca ilmu pedang atau ilmu silat yang
tercantum dalam kitab pusaka itu, biarpun tahu akibatnya bisa celaka toh sukar untuk menahan rasa ingin
mempelajarinya. Rupanya Ayah sejak mula sama sekali tidak membuka kitab itu, dengan demikian beliau
menjadi tidak terjerumus, sungguh suatu tindakan yang tepat dan bijaksana.
Tetapi segera terpikir pula olehnya, “Lalu mengapa Ayah menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Putpay?”
Pertanyaan itu segera terjawab, “Tentu pada waktu itu Ayah telah mengetahui maksud buruk Tonghong Putpay,
maka sengaja menyerahkan kitab pusaka itu padanya untuk menjerumuskan dia. Hiang-sioksiok mengira
Ayah kena dipikat oleh Tonghong Put-pay sehingga merasa khawatir. Padahal orang cerdik dan lihai seperti
Ayah mana bisa dikelabui orang dengan begitu saja? Hanya saja segala sesuatu juga bergantung pada takdir,
Tonghong Put-pay ternyata turun tangan lebih dulu, Ayah ditawan dan dikurung di gua di dasar danau. Syukur
Tonghong Put-pay tidak teramat kejam, bila waktu itu Ayah terus dibunuhnya, tentu Ayah tiada kesempatan
buat menuntut balas. Padahal terbunuhnya Tonghong Put-pay juga terjadi secara untung-untungan saja, tentu
Ayah, Hiang-sioksiok, dan diriku sudah terbunuh oleh Tonghong Put-pay. Dan kalau waktu itu tiada Nyo Lianting
yang sengaja kusiksa untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay (tak terkalahkan) tentu pula akan
tetap put-pay dia.”
Berpikir sampai di sini ia menjadi rada kasihan terhadap nasib Tonghong Put-pay. “Meski Ayah dikurung
olehnya namun aku diperlakukan tidak jelek dan cukup terhormat di Tiau-yang-sin-kau, malahan sekarang
ayahku sendiri yang menjadi kaucu aku tidak punya kekuasaan seperti tempo hari. Tapi, ai, aku sudah memiliki
Engkoh Tiong, buat apa menginginkan kekuasaan apa segala seperti dahulu,” demikian terpikir pula olehnya.
Teringat kepada kejadian-kejadian yang telah lalu, ia sendiri menjadi terkesiap pula pada jalan pikiran sang
ayah, bahkan sampai sekarang ayahnya masih tidak mau mengajarkan kepada Engkoh Tiong cara
memunahkan tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh, yaitu tenaga yang disedotnya dari orang lain dengan
Gip-sing-tay-hoat. Menurut kata ayahnya, bila Lenghou Tiong mau masuk agamanya baru akan mengajarkan
ilmu memunahkan hawa murni liar itu kepadanya, bahkan akan diumumkan kepada segenap anggota bahwa
Lenghou Tiong adalah calon penggantinya, namun Lenghou Tiong ternyata tidak mau tunduk, hal ini
membuatnya ikut serbasusah. Begitulah, di tempat sembunyinya ternyata yang terpikir oleh Ing-ing hanya diri
Lenghou Tiong belaka.
Saat itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci juga terdiam semua. Selang tak lama barulah Peng-ci membuka suara,
“Begitulah moyang Wan-tho menemukan ilmu pedangnya.”
“Sekalipun ilmu pedang yang dilatihnya akan menimbulkan malapetaka tentu pula akan waktu cukup lama.
Maka moyang Wan-tho sempat kawin dan punya anak, hal ini tentu terjadi sebelumnya timbul bencana
baginya.”
“Bukan. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas tahu bukan begitu halnya. Moyang Wan-tho
menikah dan punya anak justru terjadi sebelum beliau memperoleh kiam-boh.”
“Ah, mana bisa begitu?” ujar Leng-sian.
“Sudah tentu jadi, waktu itu beliau masih menjadi hwesio. Bahwasanya hwesio tidak boleh beristri adalah jelas,
tapi punya anak kan boleh. Kalau kakek adalah putra kandung moyang Wan-tho, maka tentu kakek adalah
putranya yang tidak sah, tegasnya anak haram dari hubungan gelap. Kukira sebabnya moyang Wan-tho
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terpaksa kembali ke masyarakat ramai tentu disebabkan persoalan pribadinya itu. Mungkin rahasianya
terbongkar dan terpaksa beliau harus angkat kaki.”
“Tapi moyang Wan-tho adalah seorang kesatria, seorang tokoh termasyhur, mungkin... mungkin takkan
berbuat demikian.”
“Sebab apa?” tanya Peng-ci dengan tak acuh.
“Kaum kesatria tulen harus dapat berbuat apa yang tak bisa diperbuat oleh orang biasa. Sesudah melihat kiamboh
pusaka itu, mungkin moyang Wan-tho sanggup menahan diri dan tidak lantas melatihnya. Sesudah kawin
dan punya anak barulah beliau mulai berlatih.”
“Dan bagaimana dengan kesanggupanku menahan diri?” tanya Peng-ci tiba-tiba.
“Kau... sudah tentu sangat hebat,” sahut Leng-sian.
“Ketika di Kota Heng-san, di rumah Lau Cing-hong, aku menyaru sebagai orang bungkuk, aku terpaksa
menjura kepada Bok Ko-hong dan memanggil kakek padanya, soalnya karena aku menanggung sakit hati yang
belum terbalas sehingga aku terima dihina untuk menunggu kesempatan yang baik bagiku.”
“Seorang laki-laki sejati harus bisa menahan perasaan, betapa pun hebatnya moyang Wan-tho mungkin juga
tidak sesabar dirimu,” ujar Leng-sian.
“Waktu aku melihat Pi-sia-kiam-boh, tatkala itu sudah dekat hari pernikahan kita, beberapa kali aku berpikir
akan kawin lebih dulu denganmu, habis itu baru mulai berlatih ilmu pedang itu. Akan tetapi ilmu pedang yang
tertera dalam kiam-boh itu ternyata mempunyai daya tarik yang luar biasa sehingga setiap jago silat tak
mampu menguasai nafsu ingin belajar bila melihatnya. Karena itu, akhirnya aku mengebiri diri sendiri demi
untuk meyakinkan ilmu pedang....”
“Hah! Engkau... mengebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang jahanam itu?” Leng-sian menegas sambil
melonjak.
“Benar,” jawab Peng-ci dengan dingin. “Kunci pertama pada pembukaan Pi-sia-kiam-boh itu menyebutkan
bahwa jika ingin menjagoi dunia persilatan, pertama harus kebiri diri sendiri lebih dulu.”
“Mengapa harus beg... begitu?” tanya Leng-sian dengan suara lemah.
“Pi-sia-kiam-boh itu harus dimulai dengan berlatih lwekang, kalau tidak kebiri dahulu, sekali mulai berlatih
serentak hawa nafsu akan berkobar-kobar, akibatnya menjadi cau-hwe-jip-mo, (kelumpuhan), lalu mati kaku.”
“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.
Dalam hati Ing-ing juga berucap, “O, kiranya demikian!”
Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh mahabesar seperti Tonghong Put-pay akhirnya terima
memakai baju perempuan, menyulam dan melayani orang macam Nyo Lian-ting dengan mesra, kiranya semua
itu adalah gara-gara meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, akibatnya berubah menjadi banci.
Terdengar Gak Leng-sian menangis tersedu-sedan, katanya dengan suara tak lancar, “Jadi ayahku juga... juga
telah berubah seperti... seperti engkau....”
“Jika sudah meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat mana bisa terkecuali?” jawab Peng-ci. “Sebagai seorang ketua suatu
aliran persilatan ternama, bila perbuatan ayahmu yang kebiri sendiri itu tersiar, bukankah akan ditertawai
setiap orang Kang-ouw? Sebab itulah, bila dia mengetahui aku juga meyakinkan ilmu pedang ini, pasti aku
akan dibunuhnya. Berulang kali dia tanya tentang perlakuanku terhadap dirimu, justru dia ingin tahu apakah
aku masih mampu berbuat begituan atau sudah kebiri juga. Coba kalau waktu itu kau kelihatan menyesali
diriku, sudah lama nyawaku melayang.”
“Dan sekarang dia tentu sudah tahu,” kata Leng-sian.
“Tentu saja. Setelah aku membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, dalam waktu beberapa hari saja tentu akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tersiar luas di dunia Kang-ouw,” kata Peng-ci dengan bangga.
“Jika betul seperti katamu, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampuni dirimu. Lalu sebaiknya ke mana
kita harus sembunyi?” ujar Leng-sian.
“Kita?” Peng-ci menegas. “Kau sudah tahu keadaanku sekarang dan masih mau mengikut aku?”
“Sudah tentu. Karena terpaksa, kau pun tak dapat disalahkan. Adik Peng, cintaku padamu dari awal sampai
akhir tetap sama. Nasibmu sungguh harus dikasihani....”
Belum habis ucapannya, mendadak ia menjerit dan melompat ke bawah kereta, agaknya didorong oleh Lim
Peng-ci.
Lalu terdengar Peng-ci berkata dengan gusar, “Aku tidak tahu dikasihani, siapa yang minta kasihan padamu?
Ilmu pedang sudah berhasil kuyakinkan, apa lagi yang kutakuti sekarang? Jika Gak Put-kun mengejar kemari
untuk membunuh diriku, lebih dulu dia harus mampu mengalahkan pedangku.”
Leng-sian diam saja.
Maka terdengar Peng-ci menyambung pula, “Nanti kalau luka mataku sudah sembuh, aku Lim Peng-ci akan
menjagoi dunia persilatan, apakah dia Gak Put-kun, Lenghou Tiong, dan ketua-ketua dari apa yang disebut
Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay segala semuanya bukan tandinganku lagi.”
Diam-diam Ing-ing membatin dengan gusar, “Kalau matamu sudah sembuh? Huh, matamu yang sudah buta itu
bisa sembuh?”
Sebenarnya dia rada kasihan terhadap nasib Peng-ci yang malang itu, tapi demi menyaksikan sikapnya yang
kasar dan tak berperasaan terhadap istrinya sendiri, pula mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tak
mau timbul rasa gemas dalam hati Ing-ing.
Terdengar Leng-sian menghela napas, lalu berkata, “Kau pun perlu mencari tempat untuk tinggal sementara,
sembuhkan dulu luka matamu.”
“Aku sudah tentu mempunyai cara menghadapi ayahmu,” kata Peng-ci.
“Keadaanmu dan Ayah sama saja, tentu kalian tidak perlu khawatir salah satu akan menyiarkan ciri pihak lain,”
ujar Leng-sian.
“Hm, terhadap pribadi ayahmu, aku jauh lebih kenal daripadamu,” jengek Peng-ci. “Mulai besok, terhadap
setiap orang yang kujumpai tentu akan kuberi tahukan hal ini.”
“Buat apa mesti berbuat begitu? Bukankah kau sendiri....”
“Buat apa? Justru inilah caranya menyelamatkan jiwa ragaku. Akan kukatakan kepada setiap orang yang
kujumpai dan tidak lama dengan sendirinya akan tersiar pula ke telinga ayahmu. Setelah dia mengetahui aku
sudah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuh aku untuk menutupi rahasianya,
malahan sebaliknya dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku.”
“Jalan pikiranmu sungguh sangat aneh,” kata Leng-sian.
“Kenapa merasa aneh? Apakah ayahmu kebiri diri sendiri atau tidak, sekali pandang saja tentu akan ketahuan.
Tapi kalau mendadak aku mati secara tidak terang, tentu setiap orang akan menuduh ayahmu sebagai
pembunuh diriku.”
Leng-sian menghela napas, ia paham apa yang dikatakan Peng-ci itu memang tidak salah. Ia menjadi
serbasusah. Jika Peng-ci benar mulai menyebarkan rahasia diri ayahnya, itu berarti runtuhlah nama baik
ayahnya selama ini. Sebaliknya kalau Peng-ci tidak bicara, itu berarti akan membahayakan diri pemuda itu
sendiri.
“Sekalipun mataku buta, tapi hatiku tidak buta,” kata Peng-ci pula. “Walaupun selanjutnya aku tak bisa melihat
apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah bunda sudah terbalas. Dahulu Lenghou Tiong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyampaikan pesan terakhir Ayah padaku, katanya benda-benda leluhur yang berada di kediaman lama di
Gang Matahari itu sekali-kali jangan diperiksa dan dilihat, katanya itulah pesan wasiat dari leluhur. Tapi
sekarang aku sudah memeriksa dan membaca dengan jelas benda tinggalan leluhur itu, meski aku melanggar
pesan leluhur, namun dapat membalas sakit hati ayah-bunda. Kalau aku tidak berbuat demikian, Pi-sia-kiamhoat
keluarga Lim kami hanya punya nama kosong belaka, orang-orang Hok-wi-piaukiok hanya kaum pendusta
belaka.”
“Dahulu engkau dan Ayah sama mencurigai Toasuko dan menuduh dia mengambil Pi-sia-kiam-boh, katanya dia
memalsukan pesan Kongkong....”
“Biarpun keliru menuduh dia lalu mau apa?” sela Peng-ci. “Bukankah waktu itu kau sendiri pun mencurigai
dia?”
Leng-sian menghela napas perlahan, katanya, “Waktu itu engkau belum lama kenal Toasuko, adalah layak jika
engkau berprasangka padanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia orang
yang benar-benar dapat memercayai Toasuko hanyalah Ibu seorang.”
“Siapa bilang hanya ibumu seorang?” demikian Ing-ing membantahnya di dalam batin.
Terdengar Peng-ci menjengek, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Lenghou Tiong. Lantaran
bocah itu, entah berapa kali ayah-ibumu bertengkar.”
“Ayah dan Ibu bertengkar karena Toasuko? Padahal Ayah dan Ibu selamanya tidak pernah cekcok, dari mana
engkau mendapat tahu?”
“Hm, selamanya tidak pernah cekcok? Itu cuma permainan sandiwara saja,” jengek Peng-ci. “Sampai hal-hal
demikian Gak Put-kun juga memakai kedok untuk menutupi kemunafikannya. Dengan telingaku sendiri aku
mendengar mereka bertengkar, mana bisa keliru.”
“Aku tidak bilang kau keliru, aku hanya merasa heran,” ujar Leng-sian. “Mengapa aku tidak tahu atau
mendengar, sebaliknya engkau malah mendengar pertengkaran mereka.”
“Tiada alangannya kalau sekarang kuceritakan kepadamu,” kata Peng-ci. “Ketika di Hokciu tempo hari, ketika
orang Ko-san-pay berhasil merebut kasa pusaka moyang, tapi mereka itu kena dibinasakan pula oleh Lenghou
Tiong dan dengan sendirinya kasa itu jatuh ke tangan Lenghou Tiong. Akan tetapi dia juga terluka parah dan
jatuh pingsan, ketika aku menggeledah badannya ternyata kasa itu sudah hilang entah ke mana?”
“Kiranya di Hokciu dahulu itu kau telah menggeledah badan Toasuko,” kata Leng-sian.
“Memang, ada apa?” tanya Peng-ci.
“Tidak apa-apa,” jawab Leng-sian.
Dalam hati Ing-ing merasa kasihan kepada Leng-sian yang mendapatkan suami selicik dan seculas itu, tentu
banyak kesukaran yang akan dideritanya kelak.
Terdengar Peng-ci berkata lagi, “Kalau kasa itu tidak berada pada Lenghou Tiong tentu telah diambil oleh ayahibumu,
maka sepulangnya di Hoa-san diam-diam aku lantas menyelidiki gerak-gerik ayahmu, namun
permainan ayahmu benar-benar sangat rapi, sedikit pun tiada memberi petunjuk yang mencurigakan. Waktu
itu ayahmu jatuh sakit, sudah tentu tiada seorang pun yang tahu apa penyakitnya, lebih-lebih tak tahu bahwa
begitu membaca Pi-sia-kiam-boh dia lantas kebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang. Setiap malam
aku berusaha mencari tahu rahasia ayah-ibumu itu, aku ingin mengetahui di mana kiam-boh itu disembunyikan
dari percakapan ayah-ibumu.”
“Setiap malam kau sembunyi di tepi tebing curam itu?” Leng-sian menegas.
“Ya,” sahut Peng-ci.
“Engkau benar-benar amat sabar dan telaten,” ujar Leng-sian.
“Demi menuntut balas sakit hati, terpaksa harus begitu,” kata Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kiranya tempat tinggal Gak Put-kun di puncak Hoa-san itu dibangun di tepi sebuah tebing curam yang disebut
“Thian-seng-kiap”. Di bawah tebing itu adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sungguh suatu tempat
yang sunyi dan sangat berbahaya. Orang luar mengira Gak Put-kun dan istrinya suka kepada kesunyian agar
dapat menyelami ilmu silat lebih tinggi, padahal Gak Put-kun mempunyai perhitungan lain.
Soalnya sejak Hoa-san-pay terpecah menjadi dua sekte, yaitu Kiam-cong dan Khi-cong, maka Gak Put-kun
khawatir kalau sisa-sisa sekte Kiam-cong menyergapnya untuk menuntut balas. Sebab itulah ia sengaja tinggal
di tempat yang amat curam dan berbahaya itu. Untuk mencapai Thian-seng-kiap yang terletak di puncak yang
tinggi itu hanya dihubungkan dengan sebuah jalan kecil yang melingkar-lingkar. Bila orang lain tentunya sukar
mendatangi tempat kediaman Gak Put-kun, namun Lim Peng-ci diketahui sebagai menantu kesayangan ketua
Hoa-san-pay itu, dengan sendirinya tiada seorang pun yang curiga bila melihat Peng-ci menuju ke Thian-sengkiap.
Begitulah terdengar Peng-ci menutur pula, “Berturut-turut belasan malam aku menunggu, tapi tiada terdengar
sesuatu yang menarik. Suatu malam kudengar ibumu berkata pada ayahmu, ‘Suko, kulihat air mukamu akhirakhir
ini rada-rada berubah, apakah akibat gangguan Ci-he-sin-kang yang meyakinkan itu? Hendaknya kau
dapat membatasi dirimu dan terburu nafsu ingin lekas mencapai tujuan sehingga menimbulkan kesukaran
malah.’ Ayahmu tertawa dan menjawab, ‘Ah, tidak apa-apa, lancar sekali latihanku.’
“Tapi ibumu tidak percaya, katanya, ‘Jangan membohongi aku. Apa sebabnya suaramu akhir-akhir ini radarada
berubah, bernada melengking tajam, lebih mirip suara perempuan.’ Ayahmu menjawab, ‘Hus, ngaco-belo!
Selamanya suaraku juga begini?’ Kudengar suaranya memang tajam melengking dan benar-benar mirip orang
perempuan bawel yang lagi uring-uringan.”
“Lalu ibumu berkata pula, ‘Masakah masih bilang tidak berubah? Selama ini belum pernah kau bicara sekasar
ini kepadaku. Suko, sesungguhnya ada urusan apa yang menyulitkanmu, hendaklah kau katakan terus terang
padaku. Sudah berpuluh tahun kita menjadi suami-istri mengapa kau dustai aku?’
“Ayahmu menjawab, ‘Urusan apa yang menyulitkan aku? Pertemuan di Ko-san sudah dekat waktunya, Co
Leng-tan bermaksud mencaplok keempat aliran yang lain, paling-paling hal inilah yang membikin hatiku rada
kesal.’ – ‘Kukira ada persoalan lain lagi,’ kata ibumu.
“Ayahmu menjadi aseran, katanya dengan suara melengking, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu ada
persoalan lain apa lagi?’ – ‘Kalau kukatakan hendaklah engkau jangan naik pitam, kutahu engkau telah salah
menuduh Anak Tiong,’ kata ibumu. – ‘Anak Tiong?’ ayahmu menegas. ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau dan
main cinta dengan nona she Yim dari agama iblis itu, hal ini diketahui siapa pun juga, masakah aku keliru
menyalahkan dia?’.”
Mendengar kata-kata Gak Put-kun yang diuraikan kembali oleh Lim Peng-ci menyangkut dirinya, wajah Ing-ing
menjadi panas, seketika timbul rasa hangat dalam hatinya.
Sementara itu terdengar Peng-ci berkata pula, “Ibumu menjawab, ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau sudah
tentu hal ini bukan fitnah, yang kumaksudkan adalah engkau menuduh dia mencuri Pi-sia-kiam-boh milik Anak
Peng itu.’ – ‘Memangnya kiam-boh itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya
mendadak maju dengan pesat, bahkan lebih lihai daripadaku,’ kata ayahmu.
“Ibumu menjawab pula, ‘Bisa jadi dia memperoleh penemuan aneh, aku berani memastikan dia pasti tidak
ambil Pi-sia-kiam-boh. Biarpun watak Anak Tiong suka ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia punya sifat yang suka
terus terang, tidak sudi berbuat hal-hal yang memalukan. Sejak Anak Sian bergaul rapat dengan Anak Peng
dan mengesampingkan dia, orang yang berwatak angkuh seperti dia, sekalipun Anak Peng mempersembahkan
kiam-boh kepadanya juga tak sudi diterima olehnya.’.”
Sungguh tidak kepalang rasa senang Ing-ing mendengar kata-kata demikian, saking senangnya ia berharap
akan segera dapat merangkul Gak-hujin untuk menyatakan terima kasih padanya. Ia pikir Nyonya Gak itu
memang tidak sia-sia membesarkan Engkoh Tiong sejak kecil, segenap orang Hoa-san-pay hanya engkau
seorang yang kenal pribadi Engkoh Tiong. Melulu berdasarkan kata-kata penilaian pribadi Engkoh Tiong itu
saja, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuberi balas jasa yang pantas, demikian pikirnya pula.
Dalam pada itu, Peng-ci sedang menyambung ceritanya, “Ayahmu telah mendengus, katanya, ‘Jika demikian,
jadi kau malah merasa menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari perguruan kita?’ – Ibumu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menjawab, ‘Jika dia melanggar peraturan dan dipecat, sudah tentu siapa pun tak dapat membelanya. Engkau
tuduh dia bergaul dengan orang Mo-kau kan sudah cukup beralasan, buat apa mesti memfitnah dia mencuri
kiam-boh? Padahal engkau sendiri jauh lebih tahu daripadaku, dengan jelas kau tahu dia tidak ambil kiam-boh
keluarga Lim itu.’ – Ayahmu mendadak berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’.”
Karena suara Peng-ci juga tajam melengking, di tengah malam sunyi suaranya yang menirukan jerit gusar Gak
Put-kun itu menjadi seperti burung hantu yang menyeramkan.
Bab 123. Rahasia Munculnya Lo Tek-nau
Selang sejenak barulah Peng-ci meneruskan pula, “Dengan perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu,
sebab kiam-boh itu justru kau sendiri yang mengambilnya.’ – Dengan gusar ayahmu menjerit pula, ‘Maksudmu
men... men....’ tapi hanya sekian saja ucapannya dan mendadak bungkam.
“Suara ibumu sangat tenang, katanya pula, ‘Dalam keadaan pingsan tempo hari, ketika aku membubuhi obat
pada luka Anak Tiong, kulihat dalam bajunya tersimpan sepotong kasa yang penuh tulisan mengenai ilmu
pedang. Ketika untuk kedua kalinya aku memberi obat padanya ternyata kasa itu sudah tidak ada, waktu itu
Anak Tiong masih belum sadar kembali. Selama itu di dalam kamar selain kita berdua tiada orang ketiga lagi,
dan yang pasti aku sendiri tidak ambil kasa bertulis ilmu pedang itu.’
“Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, tapi hanya menyebut dua-tiga saja secara samar-samar dan tidak
melanjutkan. Sebaliknya suara ibumu tambah halus dan berkata pula, ‘Suko, ilmu pedang Hoa-san-pay ada
keistimewaannya sendiri. Ci-he-sin-kang juga lain daripada yang lain, dengan ilmu sakti ini pun cukup kuat
bagi kita untuk menjagoi dunia persilatan, sebenarnya tidak perlu lagi mencuri belajar ilmu dari aliran lain.
Hanya saja akhir-akhir ini Co Leng-tan sangat bernafsu mencaplok keempat aliran lain sesama Ngo-gak-kiampay
kita, betapa pun Hoa-san-pay yang berada di bawah pimpinanmu tidak boleh jatuh ke dalam cengkeraman
Co Leng-tan. Asalkan kita berserikat dengan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, empat lawan
satu kukira pihak kita tetap lebih kuat. Seumpama akhirnya kita tak bisa menang sedikitnya kita masih
sanggup hantam mereka habis-habisan di Ko-san nanti, berada di akhirat juga kita tidak malu terhadap leluhur
Hoa-san-pay kita.’.”
Mendengar sampai di sini, diam-diam Ing-ing memuji Nyonya Gak itu benar-benar seorang kesatria wanita
yang hebat, jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.
Maka terdengar Leng-sian berkata, “Apa yang dikatakan Ibu itu memang tiada salahnya.”
Peng-ci mendengus, katanya, “Tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kiam-bohku dan sudah mulai
meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, mana dia mendengar nasihat Sunio?”
Dengan menyebut “sunio” (ibu guru) secara mendadak, hal ini menunjukkan hati Lim Peng-ci masih
mengindahkan dan menghormati Gak-hujin.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Waktu itu ayahmu telah menjawab, ‘Ucapanmu itu benar-benar
pandangan kaum wanita belaka. Melulu mengandalkan kegagahan dan main hantam saja toh tiada gunanya
bagi urusan yang lebih penting.’ – Ibumu diam sejenak, lalu berkata, ‘Sebenarnya boleh juga tujuanmu buat
menyelamatkan Hoa-san-pay dengan segala daya upaya. Hanya saja itu... itu Pi-sia-kiam-hoat pasti lebih
banyak rugi daripada untungnya bila melatihnya, anak cucu keluarga Lim mengapa tiada yang meyakinkan ilmu
pedang leluhurnya? Maka kunasihatkan sebaiknya dapat menahan hasrat dan jangan berlatih ilmu pedang itu.’
– Dengan suara keras ayahmu menjawab, ‘Dari mana kau tahu?... Kau selalu mengintip gerak-gerikku?’ –
‘Untuk mengetahuinya aku tidak mesti mengintip dirimu,’ sahut ibumu, ‘akhir-akhir ini suaramu banyak
berubah, hal ini dapat dilihat oleh siapa pun juga, masakah kau sendiri tidak tahu.’
“Ayahmu masih mendebat lagi, ‘Selamanya suaraku juga begini.’ – Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di atas
bantalmu tentu terdapat rontokan rambut kumis, engkau melihatnya sendiri? Sudah lama aku melihatnya,
hanya tidak kukatakan,’ sahut ibumu. ‘Kumis jenggot palsu yang kau tempelkan mungkin dapat mengelabui
orang lain, tapi mana bisa mengelabui sumoaymu yang berdampingan denganmu selama belasan tahun dan
bahkan menjadi istrimu selama berpuluh tahun ini?’
“Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah dia bertanya,
‘Apakah orang lain ada juga yang tahu?’ – ‘Tidak,’ jawab ibumu. – ‘Bagaimana dengan Anak Sian dan Anak
Peng?’ tanya pula ayahmu. – ‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu. Lalu ayahmu berkata, ‘Baik, aku menuruti
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nasihatmu. Kasa ini nanti kita cari jalan untuk diserahkan kepada Peng-ci, kemudian kita berusaha pula
mencuci bersih kesalahan yang dituduhkan kepada Anak Tiong. Mulai malam ini aku pun takkan meyakinkan
lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini.’ Ibumu menjadi girang, katanya, ‘Itulah yang paling baik. Cuma ilmu
pedang keluarga Lim itu jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kiam-boh ini diperlihatkan
kepada Peng-ci? Kukira lebih baik dimusnahkan saja.’”
“Tentunya Ayah tidak setuju,” ujar Leng-sian. “Kalau beliau setuju memusnahkan kiam-boh itu tentu... tentu
takkan terjadi seperti sekarang ini.”
“Kau salah terka. Waktu itu ayahmu justru setuju memusnahkan kiam-boh itu,” kata Peng-ci. “Aku sendiri pun
terkejut, segera aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim
kami, ayahmu tidak ada hak untuk memusnahkannya. Pada saat itu juga kudengar daun jendela dibuka, lekaslekas
aku mendak ke bawah, tiba-tiba sesuatu benda dilemparkan keluar, ternyata kasa merah itu yang
dibuang, menyusul jendela lantas ditutup kembali. Melihat kasa itu melayang ke bawah di sebelahku, kalau
didiamkan tentu akan jatuh ke dalam jurang, tanpa pikir lagi segera aku meraihnya dan untung sekali kasa itu
berhasil kupegang, walaupun aku sendiri hampir-hampir terperosot ke dalam jurang.”
Diam-diam Ing-ing berpikir, “Kau akan benar-benar beruntung bilamana tidak berhasil meraih kembali kasa
maut itu.”
“O, jadi Ibu mengira Ayah telah membuang kasa yang bertuliskan kiam-boh itu ke dalam jurang, padahal
sebelumnya Ayah telah menghafalkan ilmu pedang di luar kepala sehingga praktis kasa itu sudah tiada artinya
lagi baginya, sebaliknya engkau malah berhasil pula mempelajari ilmu pedang itu, bukan?”
“Benar,” sahut Peng-ci.
“Rupanya itu sudah takdir,” kata Leng-sian pula. “Agaknya semuanya itu sudah diatur oleh Thian Yang
Mahaadil agar engkau dapat membalas sakit hati Kongkong dan Popo.”
“Akan tetapi masih ada suatu hal yang membingungkan aku, beberapa hari terakhir ini aku telah berusaha
memecahkan soal ini, tapi biarpun kepalaku pecah memikirkannya tetap sukar dimengerti,” kata Peng-ci. “Yaitu
apa sebabnya Co Leng-tan juga dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat.”
“O,” hanya sekian Leng-sian bersuara secara tak acuh, tampaknya ia tidak ambil pusing apakah Co Leng-tan itu
mahir Pi-sia-kiam-hoat atau tidak.
Sebaliknya Peng-ci lantas berkata pula, “Kau tidak pernah belajar Pi-sia-kiam-hoat, maka tidak tahu di mana
letak kehebatan ilmu pedang itu. Tempo hari waktu Co Leng-tan bertempur melawan ayahmu di Hong-sian-tay,
ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata Pi-sia-kiam-hoat
semua. Hanya saja permainan Co Leng-tan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun akhirnya semakin
kacau, setiap jurus seakan-akan sengaja mengalah kepada ayahmu, syukur ilmu pedangnya memang
mempunyai dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak, tapi
tetap sukar terlepas dari lingkaran ancaman Pi-sia-kiam-hoat lawan dan akhirnya matanya kena dibutakan oleh
ayahmu. Coba kalau dia menggunakan Ko-san-kiam-hoat dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini adalah
masuk di akal karena Pi-sia-kiam-hoat memang tiada tandingannya di dunia ini. Soalnya yang membingungkan
aku adalah dari mana Co Leng-tan dapat belajar Pi-sia-kiam-hoat dan mengapa pula kepalang tanggung ilmu
pedang yang dipelajarinya itu?”
Sampai di sini Ing-ing merasa tiada sesuatu lagi yang menarik dalam percakapan kedua muda-mudi itu. Ia pikir
Pi-sia-kiam-hoat yang dipahami Co Leng-tan itu besar kemungkinan hasil curian dari Tiau-yang-sin-kau kami.
Pi-sia-kiam-hoat yang dipelajari Tonghong Put-pay jauh lebih lihai dari Gak Put-kun, bila kau menyaksikan pasti
akan bikin kepalamu pecah tiga kali juga sukar memahami persoalannya. Demikian pikirnya.
Pada saat ia hendak menyingkir itulah, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kuda sedang
mendatangi. Khawatir terjadi apa-apa atas diri Lenghou Tiong, cepat Ing-ing meninggalkan tempat Leng-sian
itu dan kembali ke keretanya sendiri.
“Engkoh Tiong, ada orang datang!” katanya lirih.
“Eh, kau mencuri dengar lagi tentang orang bawa daging untuk umpan anjing di rumah si gadis, bukan?
Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” dengan tertawa Lenghou Tiong mengolok-olok.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ing-ing menjadi teringat kepada permintaan Gak Leng-sian tadi yang ingin berbuat “begituan” dengan Lim
Peng-ci di dalam kereta agar mereka bisa menjadi “suami-istri resmi”, seketika wajah Ing-ing menjadi merah
jengah. Jawabnya kemudian, “O, mereka... mereka sedang bicara cara... cara berlatih Pi-sia-kiam-hoat.”
“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini, coba ceritakan padaku lebih
jelas,” pinta Lenghou Tiong.
“Tidak, tidak mau!” sahut Ing-ing.
“Kenapa tidak mau?” Lenghou Tiong memaksa.
“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ing-ing.
Sementara itu suara berdetak kaki kuda yang riuh tadi sudah makin mendekat.
“Dari jumlahnya tentunya mereka adalah sisa-sisa anak murid Jing-sia-pay, rupanya mereka benar-benar
menyusul kemari untuk menuntut balas.”
Segera Lenghou Tiong bangkit duduk, ia mengajak mendekati kereta Gak Leng-sian itu. Ing-ing mengiakan. Ia
tahu Lenghou Tiong teramat mengkhawatirkan keselamatan Leng-sian, kalau tidak menyaksikan sendiri nona
itu lolos dari bahaya dengan selamat, sesaat pun dia takkan merasa tenteram. Maka Ing-ing lantas
menurunkan Lenghou Tiong dari kereta.
Ketika kaki Lenghou Tiong menyentuh tanah, lukanya menjadi kesakitan, tubuhnya terhuyung dan cepat
memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja, kini keretanya sedikit bergerak,
disangkanya suruh menarik kereta lagi, segera binatang itu menegak kepala dan bermaksud meringkik.
Namun Ing-ing cukup cepat, pedangnya lantas menebas sehingga kepala keledai terpenggal sebelum bersuara.
Diam-diam Lenghou Tiong memuji akan kehebatan Ing-ing itu, bukan karena kecepatan pedangnya, tapi
ketegasan tindakannya.
Sementara itu terdengar suara derapan kuda tadi sudah makin mendekat, segera Lenghou Tiong melangkah
cepat ke depan.
Ing-ing pikir kalau terlalu cepat, Lenghou Tiong tentu akan membikin lukanya kesakitan lagi. Segera ia
menyusulnya dan berkata, “Engkoh Tiong, maaf!”
Tanpa menunggu jawaban ia terus cengkeram baju tengkuk dan punggungnya lalu angkat ke atas, segera ia
lari cepat menyusur tanaman jagung yang lebat itu dengan ginkang yang tinggi.
Lenghou Tiong menjadi geli dan berterima kasih pula. Sungguh keterlaluan dirinya sebagai ketua Hing-san-pay
ternyata dicengkeram oleh seorang gadis mirip anak kecil saja, kalau dilihat orang tentu bisa runyam. Tapi
kalau Ing-ing tidak ambil tindakan demikian, bila orang-orang Jing-sia-pay keburu tiba lebih dulu, tentu
Siausumoay akan celaka. Rupanya tindakan Ing-ing ini dilakukan karena dapat menyelami apa yang
dikhawatirkannya ini.
Tidak lama kemudian jarak kedua pihak sudah makin mendekat. Ing-ing coba melongok keluar tanaman
jagung, dalam kegelapan tertampak satu barisan obor sedang mendatang melalui jalan raya itu.
“Berani benar mereka ini mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ing-ing. Tapi segera ia berseru pula,
“Wah, celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta dengan api!”
“Lekas kita mencegat di depan mereka agar mereka tidak dapat kemari,” kata Lenghou Tiong.
“Jangan buru-buru, untuk menolong dua orang saja rasanya kita masih mampu,” ujar Ing-ing.
Lenghou Tiong tahu kepandaian Ing-ing cukup tinggi. Ih Jong-hay sudah mati, sisa orang-orang Jing-sia-pay
tentu tidak perlu ditakuti lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kira-kira belasan meter dari tempat kereta Gak Leng-sian itu barulah Ing-ing menurunkan Lenghou Tiong,
katanya dengan suara tertahan, “Kau duduk saja di sini!”
Sementara itu terdengar Leng-sian sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah hampir tiba, benar juga
kawanan tikus dari Jing-sia-pay.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Peng-ci.
“Rupanya mereka anggap kita terluka maka secara berani mereka datang dengan membawa obor,” sahut Lengsian.
“Mereka membawa obor-obor?” Peng-ci menegas. Ternyata pikirannya lebih cerdik daripada Gak Leng-sian,
segera ia berkata pula, “Lekas turun ke bawah, kawanan tikus itu akan membakar kereta ini!”
Cepat Leng-sian melompat turun dari keretanya lalu memegang tangan Peng-ci untuk membantunya melompat
turun pula. Mereka menyingkir ke pinggir jalan dan menyusup ke tengah tanaman jagung, jaraknya cuma
belasan meter saja dari tempat sembunyi Ing-ing dan Lenghou Tiong.
Dalam pada itu orang-orang Jing-sia-pay sudah tiba dan mengepung kereta Gak Leng-sian. Seorang di
antaranya lantas berteriak, “Lim Peng-ci, bangsat kau! Apa kau ingin menjadi kura-kura (istilah makian bagi
germo)? Mengapa kau mengkeret, coba tongolkan kepalamu sini!”
Tapi keadaan dalam kereta sunyi senyap tiada jawaban. Segera seorang di antaranya berkata, “Mungkin dia
sudah melarikan diri dengan meninggalkan kereta ini.”
Tiba-tiba api obor memecah kegelapan, sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam
kereta menjulur keluar sebuah tangan, obor ditangkapnya terus dilemparkan kembali ke arah si pelempar tadi.
Keruan orang-orang Jing-sia-pay menjadi panik dan berteriak, “Bangsat, anjing itu berada di dalam kereta!”
Bahwa dari dalam kereta bisa menjulur keluar tangan seorang, hal ini tidak saja membikin heran Ing-ing dan
Lenghou Tiong, bahkan Leng-sian juga tak terkatakan kagetnya. Telah sekian lama dia bicara dengan Lim
Peng-ci, sama sekali tak terkira olehnya bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau melihat cara
orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, agaknya ilmu silatnya tidaklah rendah.
Obor yang dilemparkan anak murid Jing-sia-pay berturut-turut ada beberapa buah dan semuanya dapat
dilempar kembali oleh orang di dalam kereta itu, maka orang Jing-sia-pay yang lain tidak berani melempar
obor lagi, mereka mengelilingi kereta dari jauh sambil berteriak-teriak. Ada yang memaki, “Anak kura-kura itu
tidak berani keluar, besar kemungkinan dia terluka parah dan hampir mampus!”
Di bawah cahaya obor tertampak dengan jelas bahwa tangan itu kurus kering dengan urat yang menonjol di
sana-sini, terang tangan seorang tua dan sama sekali bukan tangan Lim Peng-ci atau Gak Leng-sian.
Orang-orang Jing-sia-pay menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Namun terdorong oleh hasrat
menuntut balas kematian guru mereka, terpaksa mereka harus bertindak. Sekonyong-konyong pedang mereka
sama menusuk ke dalam kereta.
Tapi mendadak sesosok tubuh meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemilapan, tahutahu
orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Jing-sia-pay, begitu pedangnya bekerja,
kontan dua murid Jing-sia-pay menggeletak.
Kelihatan orang itu memakai baju kuning seperti dandanan orang Ko-san-pay, tapi mukanya berkedok kain
hijau, hanya tertampak sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya
bergerak amat cepat, hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Jing-sia-pay yang lain dirobohkan pula.
Tangan Lenghou Tiong menggenggam tangan Ing-ing, kedua orang mempunyai pikiran yang sama. “Yang
dimainkan itu pun Pi-sia-kiam-hoat.”
Tapi kalau melihat perawakannya terang orang ini bukan Gak Put-kun, Lim Peng-ci, dan Co Leng-tan bertiga,
kini ada orang keempat pula yang dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini dengan sendirinya sangat
mengejutkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan suara perlahan Gak Leng-sian berkata kepada Peng-ci, “Adik Peng, yang dimainkan orang ini
tampaknya serupa ilmu pedangmu.”
“He, dia... dia juga dapat memainkan ilmu pedangku? Kau tidak... tidak keliru?” sahut Peng-ci.
Tengah bicara, kembali tiga orang Jing-sia-pay terkena pedang pula. Kini Lenghou Tiong dan Ing-ing sudah
dapat melihat jelas. Meski jurus ilmu pedang yang dimainkan orang itu pun termasuk Pi-sia-kiam-hoat, tapi
ketangkasannya selisih terlalu jauh dibanding Tonghong Put-pay, dibanding Gak Put-kun dan Lim Peng-ci juga
belum memadai, hanya saja ilmu silat orang itu sendiri rupanya cukup tinggi, jauh lebih kuat daripada anak
murid Jing-sia-pay maka orang itu masih lebih unggul meski dikerubut orang banyak.
“Ilmu pedangnya tampaknya sama dengan ilmu pedangmu, hanya saja tidak secepat engkau,” kata Leng-sian
pula kepada Peng-ci.
“Gerakannya kurang cepat? Ini terang tidak cocok dengan inti ilmu pedang kami,” kata Peng-ci. “Akan tetapi
siapa... siapa dia? Mengapa dapat memainkan kiam-hoat itu?”
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang Jing-sia-pay dadanya ditembus oleh pedang orang itu.
Menyusul orang itu menggertak keras, pedangnya ditarik dan menebas pula, kontan seorang di belakangnya
terkutung sebatas pinggang. Orang-orang Jing-sia-pay yang lain menjadi jeri dan sama melompat mundur.
Kembali orang itu menggertak keras sekali terus menerjang maju. Mendadak seorang Jing-sia-pay menjerit
ketakutan sambil putar tubuh dan lari sipat kuping. Kawan-kawannya menjadi jeri dan beramai-ramai kabur.
Orang itu tampaknya rada lelah juga. Dari napas orang yang rada memburu itu, Lenghou Tiong dan Ing-ing
dapat menduga dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, besar kemungkinan
malah terluka dalam pula.
Setelah terengah-engah sebentar, orang tua baju kuning itu simpan kembali pedangnya ke dalam sarung
pedang, lalu berseru, “Lim-siauhiap dan Lim-hujin, aku diperintahkan Co-ciangbun dari Ko-san untuk datang
memberi bantuan.”
Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu agaknya dalam mulut mengulum sesuatu sehingga
ucapannya menjadi tidak jelas.
“Banyak terima kasih atas bantuan Anda, mohon tanya siapa nama Anda yang mulia?” sahut Peng-ci sambil
keluar dari tempat sembunyinya bersama Leng-sian.
Orang itu berkata pula, “Co-ciangbun mendapat tahu bahwa Lim-siauhiap bersama nyonya disergap musuh di
tengah jalan dan terluka parah, maka aku diperintahkan mengawasi Lim-siauhiap berdua untuk mencari suatu
tempat tetirah yang baik, tanggung takkan dapat ditemukan oleh ayah-mertuamu.”
Baik Lenghou Tiong dan Ing-ing maupun Lim Peng-ci dan Leng-sian sama heran dari mana Co Leng-tan
mendapat keterangan sejelas itu. Sementara beberapa obor di atas tanah masih menyala, sinar api
berguncang-guncang, sebentar terang sebentar guram.
Peng-ci lantas menjawab, “Maksud baikmu sungguh aku sangat berterima kasih. Tentang merawat luka
rasanya aku masih sanggup mengatasinya dan tidak berani bikin repot padamu.”
Orang tua itu berkata pula, “Tapi kedua mata Lim-siauhiap terkena racun si bungkuk, sukar sekali kiranya
untuk bisa melihat kembali, kalau engkau tidak diobati sendiri oleh Co-ciangbun, bisa jadi... bisa jadi mata Limsiauhiap
juga sukar dipertahankan.”
Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punuk Bok Ko-hong, baik mata maupun muka Peng-ci terasa
kaku dan gatal tak terkatakan, saking geregetan hampir-hampir ia cukil kedua biji mata sendiri, syukur ia
masih mampu bertahan sebisa mungkin, maka ia pun percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang
bukan untuk menakut-nakuti belaka.
Setelah termenung sejenak, kemudian Peng-ci menjawab, “Sebab apa Co-ciangbun menaruh kasihan
sedemikian mendalam padaku? Silakan menjelaskan lebih dulu, kalau tidak, sukar kiranya bagiku untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menerimanya.”
Orang itu tertawa terkekeh, lalu berkata pula, “Sama-sama dendam dan punya musuh yang sama, ini saja
sudah seperti sanak kadang sendiri. Kalau Gak Put-kun sudah tahu Lim-siauhiap meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat,
biarpun Siauhiap berusaha menyingkir ke ujung langit sekalipun juga akan diuber olehnya. Kini dia sudah
menjadi ketua Ngo-gak-pay, kekuasaannya besar, pengaruhnya luas, engkau seorang diri mau ke mana lagi...
Hehe, putri kandung kesayangan Gak Put-kun senantiasa mendampingimu siang dan malam, sulit berjaga
terhadap musuh di samping bantal....”
“Jisuko, ternyata dirimu!” mendadak Leng-sian berteriak.
Teriakan Leng-sian ini menggetarkan hati Lenghou Tiong pula. Dari suara orang tua yang samar-samar serak
itu memang dirasakan seperti sudah dikenalnya, kini setelah diteriaki Gak Leng-sian, seketika ia pun sadar
bahwa orang tua itu memang betul Lo Tek-nau adanya, yaitu bekas murid kedua Gak Put-kun.
Dari Leng-sian dulu Lenghou Tiong mendengar bahwa Lo Tek-nau terbunuh oleh musuh di Hokciu, jika begitu,
jadi kabar itu ternyata tidak betul.
“Hm, budak yang cukup cerdik, dapatlah kau mengenali suaraku,” kata orang tua itu dengan nada dingin.
Sekarang ia tidak bicara dengan suara yang dibikin-bikin, maka jelas suaranya memang suara Lo Tek-nau asli.
“Jisuko, di Hokciu, kau pura-pura mati dibunuh musuh, kalau begitu, tentunya... tentunya kaulah yang
membunuh Patsuko bukan?” tanya Peng-ci.
Lo Tek-nau hanya mendengus saja tanpa menjawab.
“Ya, tentu... tentu luka di punggung Peng-ci ini pun perbuatanmu, padahal selama ini aku telah salah menuduh
Toasuko,” teriak Leng-sian. “Hm, bagus sekali perbuatanmu. Rupanya kau sengaja membunuh seorang lain dan
mencacah mukanya hingga hancur lalu kau dandani dengan pakaianmu sehingga setiap orang mengira kau
telah mati dibunuh musuh.”
“Rekaanmu memang tidak salah,” jawab Lo Tek-nau. “Kalau tidak begitu, mustahil aku takkan dicurigai Gak
Put-kun bila mendadak aku menghilang? Hanya saja luka bacokan di punggung Lim-siauhiap itu bukanlah
perbuatanku.”
“Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” jengek Leng-sian.
“Juga tidak termasuk orang lain, justru adalah ayahmu sendiri,” kata Lo Tek-nau.
“Persetan!” teriak Leng-sian. “Kau sendiri yang berbuat, tapi memfitnah orang lain. Tanpa sebab musabab
mengapa ayahku membacok Adik Peng?”
“Soalnya waktu itu ayahmu telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dari Lenghou Tiong,” kata Tek-nau. “Kiam-boh
itu adalah milik keluarga Lim, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu justru adalah kau punya
Adik Peng ini. Bila Lim Peng-ci masih hidup di dunia ini, mana ayahmu dapat meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat
dengan baik?”
Ucapan Lo Tek-nau ini membikin Leng-sian menjadi bungkam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang
dikatakan itu memang masuk di akal. Tapi bahwasanya sang ayah tega menyergap Peng-ci secara keji hal ini
tetap sukar untuk dipercaya.
Maka setelah mengucap “persetan” beberapa kali, lalu ia berkata pula, “Jika ayahku hendak membunuh Adik
Peng, mustahil sekali bacok tidak membuatnya meninggal.”
“Bacokan itu memang benar dilakukan oleh Gak Put-kun, ucapan Jisuko memang tidak keliru,” tiba-tiba Peng-ci
menimbrung.
“Mengapa kau... kau pun berkata demikian?” ujar Leng-sian.
“Ketika kena bacokan pedang Gak Put-kun, lukaku sangat parah, aku tahu tidak mampu melawan, maka begitu
roboh segera aku pura-pura mati tanpa bergerak lagi, waktu itu aku tidak tahu bahwa yang menyerang itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
adalah Gak Put-kun, guruku yang ‘tersayang’ itu, hehe!” jengek Peng-ci. “Dalam keadaan hampir tak sadar,
samar-samar kudengar suara Patsuko memanggil ‘Suhu!’. Agaknya panggilan Patsuko sendiri.”
“Kau maksudkan Patsuko juga... juga dibunuh oleh ayahku?” Leng-sian menegas dengan terkejut.
“Memang begitulah adanya,” jawab Peng-ci. “Kudengar sehabis Patsuko memanggil Suhu, lalu dia menjerit
ngeri. Aku sendiri lantas jatuh pingsan.”
“Saat itu Gak Put-kun sebenarnya hendak menambahi sekali bacok lagi padamu,” sambung Lo Tek-nau.
“Untung bagiku aku telah mengintip perbuatannya, di tempat sembunyi perlahan aku berdehem sehingga
membikin keder Gak Put-kun, lekas-lekas ia kembali ke kamarnya. Jadi suara dehemanku itulah yang
menyelamatkan jiwamu, kau tahu tidak, Lim-siauhiap?”
“Kalau Ayah benar bermaksud mencelakaimu, kesempatan selanjutnya kan cukup... cukup banyak, mengapa
beliau tidak turun tangan pula?” ujar Leng-sian.
“Hm, kemudian dengan sendirinya aku cukup waspada, sehingga tiada kesempatan turun tangan baginya,”
jengek Peng-ci. “Ada juga bantuanmu, setiap hari kau selalu berada bersamaku, sehingga membikin dia tidak
leluasa untuk membunuh diriku.”
“Kiranya... kiranya engkau menikah dengan aku hanya... hanya menggunakan diriku sebagai... sebagai tameng
belaka,” kata Leng-sian sambil menangis terguguk-guguk.
Peng-ci tidak pedulikan tangisan Leng-sian itu, ia berkata terhadap Lo Tek-nau, “Lo-heng, sejak kapan engkau
mengadakan hubungan dengan Co-ciangbun?”
“Co-ciangbun adalah Insu (guruku yang berbudi), aku adalah murid beliau yang ketiga,” jawab Tek-nau.
“O, kiranya kau telah ganti perguruan,” kata Peng-ci.
“Aku tidak ganti perguruan,” Tek-nau berkata. “Sejak dulu aku memang murid Ko-san-pay, hanya selama ini
aku ditugaskan Insu masuk ke Hoa-san-pay, tujuannya tiada lain adalah menyelidiki ilmu silat Gak Put-kun
serta gerak-gerik setiap orang Hoa-san-pay.”
Baru sekarang Lenghou Tiong paham persoalannya. Ketika Lo Tek-nau masuk Hoa-san-pay memang diketahui
sudah mahir ilmu silat, hanya yang diperlihatkan tampaknya adalah ilmu silat gado-gado dari berbagai
golongan, sama sekali tak terduga dia adalah murid pilihan Ko-san-pay. Rupanya memang sudah lama Co
Leng-tan merencanakan pencaplokan keempat aliran yang lain dan telah menaruh mata-matanya di mana
perlu, maka soal Lo Tek-nau membunuh Liok Tay-yu serta mencuri kitab Ci-he-sin-kang menjadi tidak perlu
diherankan lagi. Hanya saja orang cerdik sebagai gurunya itu, ternyata kena diselomoti Lo Tek-nau.
Dalam pada itu Lim Peng-ci sedang bicara, “O, kiranya begitu dan jasa Lo-heng tentu tidak kecil setelah
berhasil membawa kitab Ci-he-sin-kang dan Pi-sia-kiam-hoat ke Ko-san sehingga Co-ciangbun berhasil
meyakinkan ilmu sakti.”
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama mengangguk sependapat dengan ucapan Peng-ci itu, sebabnya Co Leng-tan
dan Lo Tek-nau dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat tentu begitulah adanya. Nyata otak Lim Peng-ci dapat
bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat itu.
Lo Tek-nau lantas menjawab, “Terus terang saja Saudara Lim, kita berdua, juga Insu kami telah sama-sama
ditipu oleh keparat Gak Put-kun itu. Orang ini benar-benar culas dan keji, kita sama-sama tertipu olehnya.”
“Ehm, aku paham,” ujar Peng-ci. “Tentu Pi-sia-kiam-boh yang dicuri Lo-heng itu adalah palsu yang sengaja
dibikin oleh Gak Put-kun, sebab itulah....”
“Kalau tidak begitu masakah pertandingan di Hong-sian-tay itu si bangsat Gak Put-kun mampu mengalahkan
guruku?” kata Lo Tek-nau dengan mengertak gigi. “Kiam-boh yang kuperoleh itu ternyata banyak yang kurang,
terutama... terutama bagian-bagian yang penting, sehingga kiam-hoat yang kami latih meski bagus, tapi tidak
mampu meyakinkan lwekang yang mengimbangi ilmu pedang yang hebat itu.”
“Tiada gunanya juga biarpun meyakinkan lwekang dari ilmu pedang itu,” ujar Lim Peng-ci dengan menghela
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
napas. Ia tahu bahwa Gak Put-kun telah sengaja mengurangi beberapa bagian yang merupakan kunci untuk
meyakinkan lwekang yang dapat mengimbangi Pi-sia-kiam-hoat itu, seperti bagian menyuruh kebiri lebih dulu
bila mau menjadi jago pedang nomor satu.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru