Rabu, 10 Mei 2017

Cersil 12 Hina Kelana Cerita Silat Mandarin Top

Cersil 12 Hina Kelana Cerita Silat Mandarin Top Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 12 Hina Kelana Cerita Silat Mandarin Top
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 12 Hina Kelana Cerita Silat Mandarin Top
Bab 106. Lenghou Tiong Ikut Menyerang ke Markas Mo-kau
Ing-ing menjadi geli sendiri dan menutup mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara tertawa.
“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Hek-bok-keh dengan lancar?” tanya Yim Ngo-heng.
“Tentu Kaucu sudah punya rencana dan perhitungan yang bagus, di hadapan Kaucu mana hamba berani ikut
bicara?” jawab Siangkoan In.
“Apakah di waktu Tonghong Put-pay mengadakan perundingan urusan penting juga tiada seorang pun yang
berani angkat bicara?” tanya Yim Ngo-heng.
“Ayah,” Ing-ing menyela pula, “Tonghong Put-pay memang seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi
kepandaiannya. Maka biasanya memang tiada seorang pun yang berani sembarangan mengemukakan
pendapat untuk menghindari bencana yang tak terduga.”
“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, ketika Tonghong Put-pay menyuruh kau pergi
menangkap Lenghou Tiong, petunjuk apa yang dia berikan padamu.”
“Dia mengatakan disediakan hadiah besar bila Lenghou-tayhiap dapat ditangkap, bila tidak dapat
menangkapnya hidup-hidup, bawa kembali kepalanya juga boleh,” tutur Siangkoan In.
“Baik, sekarang juga boleh kau ringkus Lenghou Tiong untuk menerima hadiahnya nanti,” kata Yim Ngo-heng
dengan tertawa.
Siangkoan In tergetar mundur, katanya, “Lenghou-tayhiap adalah menantu kesayangan Kaucu, beliau berjasa
besar pula bagi agama kita, mana hamba berani sembrono kepada beliau.”
“Bukankah tempat kediaman Tonghong Put-pay sangat sukar didatangi, dengan meringkus Lenghou Tiong,
tentunya dia akan menerima kedatanganmu,” ujar Yim Ngo-heng.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Akal ini sangat bagus,” seru Ing-ing tertawa girang. “Nanti kita menyamar sebagai anak buah Siangkoansioksiok
untuk menemui Tonghong Put-pay. Asalkan berhadapan dengan dia serentak kita mengerubutnya,
peduli apakah dia sudah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau belum, yang pasti dia tentu sulit
menandingi keroyokan empat orang.”
“Paling baik kalau Lenghou-hiante pura-pura terluka parah dengan tangan kaki dibalut, dinodai pula dengan
darah, lalu kita menggotongnya dengan usungan, dengan demikian Tonghong Put-pay pasti tidak berjaga-jaga,
di dalam usungan dapat pula kita sembunyikan senjata,” kata Hiang Bun-thian.
“Bagus, bagus!” seru Yim Ngo-heng setuju.
Dalam pada itu dari ujung jalan raya sana terdengar suara ramai orang berseru, “Hong-lui-tongcu sudah
tertangkap! Hong-lui-tongcu sudah tertangkap!”
Ing-ing mengajak Lenghou Tiong keluar hotel, terlihatlah beberapa puluh penunggang kuda dengan obor
menggiring seorang tua sedang lewat dengan cepat. Orang tua itu sudah ubanan seluruhnya rambut dan
jenggotnya, mukanya berlepotan darah, agaknya sebelum tertangkap telah terjadi pertarungan sengit lebih
dulu.
Kedua tangan si kakek tampak terikat di belakang badan tapi sorot matanya berapi, agaknya tidak kepalang
rasa murkanya.
Dengan suara perlahan Ing-ing membisiki Lenghou Tiong, “Beberapa tahun yang lalu bila ketemu si kakek,
biasanya Tonghong Put-pay suka memanggilnya dengan sangat mesra, siapa duga sekarang dia sudah
melupakan hubungan baik di masa lalu.”
Tidak lama Siangkoan In telah menyediakan kerangka usungan dan sebagainya. Ing-ing membalut lengan
Lenghou Tiong dengan kain putih dan digantungkan di depan dadanya, disembelihkan pula seekor kambing,
darah kambing dipakai melumuri badan Lenghou Tiong.
Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian lantas ganti pakaian sebagai anggota biasa, Ing-ing juga menyamar
sebagai lelaki, mukanya dicoreng hitam-hitam, setelah makan kenyang, lalu bersama anak buah Siangkoan In
berangkat ke Hek-bok-keh.
Kira-kira 40 li di barat laut Kota Pengting terdapat sebuah teluk yang panjang dan dangkal, batu tebing kedua
tepi teluk berwarna merah darah, air mengalir sangat deras, itulah teluk yang terkenal dengan nama Sing-singtan.
Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya adalah tebing-tebing yang licin melulu, di
situ hanya ada sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan keras oleh anggota
Tiau-yang-sin-kau. Tapi setiap kali melihat Siangkoan In para penjaga itu sangat segan padanya dan sama
memberi hormat.
Setelah menyusuri tiga tempat jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai pula di tepi teluk. Siangkoan In
melepaskan panah bersuara, lalu dari seberang muncul tiga buah sampan untuk menyambut mereka ke
seberang sana.
Diam-diam Lenghou Tiong mengagumi betapa hebat fondasi yang telah dipupuk oleh Tiau-yang-sin-kau selama
beberapa ratus tahun ini. Coba kalau bukan Siangkoan In telah bergabung kepada mereka, jangan harap orang
luar mampu masuk ke wilayah kekuasaan Sin-kau yang penting itu.
Sampai di seberang, jalanan di situ tambah curam lagi. Ing-ing selalu berjaga di samping usungan, senjata siap
di tangan.
Ketika rombongan mereka sampai di tempat pusat pimpinan Tiau-yang-sin-kau hari masih sangat dini, belum
lagi terang tanah. Siangkoan In mengirim orang melaporkan secara kilat bahwa perintah sang kaucu telah
dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengarlah suara kelenengan yang nyaring di udara,
serentak Siangkoan In berdiri tegak penuh hormat.
Ing-ing menjawil ayahnya dan membisikinya, “Lekas berdiri tegak, ada perintah sang kaucu.”
Yim Ngo-heng merasa heran, tapi ia pun menurut dan berdiri. Dilihatnya segenap anggota juga mendadak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berdiri tegak. Suara kelenengan tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika
suara kelenengan berhenti sejenak barulah semua orang berani bergerak. Seorang anggota yang berbaju
kuning tampak masuk ke ruangan tunggu itu dan membentangkan sepotong kain kuning, lalu membaca,
“Tonghong-kaucu Tiau-yang-sin-kau yang mahabijaksana dan mahaagung memberikan titah sebagai berikut:
Kah Po dan Siangkoan In telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik, jasa mereka harus
dipuji, diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas tebing dengan membawa serta tawanan.”
Siangkoan In membungkuk dengan penuh hormat, lalu mengiakan disertai dengan istilah-istilah sanjung puja
yang tetap itu.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti permainan sandiwara di atas
panggung.
Sementara itu Siangkoan In lantas membentak, “Kesudian Kaucu menerima hamba, budi kebaikan mahabesar
ini takkan hamba lupakan selama hidup.”
Serentak anak buahnya juga berseru menirukan ucapan Siangkoan In itu. Sudah tentu Yim Ngo-heng dan
Hiang Bun-thian tidak sudi menirukan kata-kata itu, mereka hanya komat-kamit saja bibirnya, tapi menggerutu
di dalam batin.
Begitulah rombongan mereka lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu, setelah melintasi tiga
buah pintu terali besi yang setiap kali mereka selalu ditegur oleh penjaga dengan kode-kode rahasia, akhirnya
mereka sampai di depan sebuah pintu batu yang besar, kedua samping pintu tampak terpahat tulisan-tulisan
besar yang artinya mengagungkan penghuninya di situ.
Sesudah melewati pintu batu itu, terlihat di atas tanah ada sebuah keranjang bambu yang besar, begitu besar
keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.
“Angkat tawanan ke dalam situ,” bentak Siangkoan In.
Lenghou Tiong segera digotong oleh Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing bertiga ke dalam keranjang
raksasa itu. Ketika terdengar bunyi kelenengan, keranjang itu mulai mengapung ke atas. Rupanya di atas ada
kerekan bertali sehingga keranjang itu dapat dikerek ke atas.
Keranjang besar itu mumbul terus ke atas, waktu Lenghou Tiong memandang ke atas, terlihat di atas sana ada
beberapa titik-titik sinar, nyata Hek-bok-keh (karang kayu hitam) luar biasa tingginya.
Ing-ing genggam tangan Lenghou Tiong. Dalam kegelapan tertampak juga gumpalan-gumpalan mega yang
melayang lewat di atas kepala mereka. Selang sejenak pula seluruhnya mereka sudah ditelan oleh lautan
mega, dasar keranjang hitam gelap, sedikit pun tidak kelihatan lagi titik-titik sinar tadi.
Agak lama pula barulah keranjang raksasa itu berhenti. Lenghou Tiong diusung ke luar dan dipindahkan lagi ke
sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah sana.
Rupanya puncak karang Hek-bok-keh itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi
dalam tiga tingkat, empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak karang itu.
“Begini tinggi tempat tinggal Tonghong Put-pay, pantas sukar sekali bawahannya hendak menemui dia,” pikir
Lenghou Tiong.
Akhirnya sampai juga di puncak karang, sementara itu sang surya sudah menongol di ujung timur dan
memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura batu marmer yang megah gemilapan tertingkah oleh
cahaya matahari.
Terdengar Siangkoan In berteriak, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu sesuai perintah
Kaucu.”
Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri sana muncul empat orang, semuanya berjubah ungu, seorang di
antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Siangkoan-yusu. Mengapa Kah-cosu tidak ikut
datang?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kah-cosu telah gugur ketika melabrak musuh sebagai pengabdiannya atas budi kebaikan Kaucu,” jawab
Siangkoan In.
“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu segera Siangkoan-yusu tentu akan naik tingkat.”
“Bila mendapat anugerah Kaucu tentu takkan kulupakan kebaikan Saudara,” ujar Siangkoan In.
Mendengar ucapan Siangkoan In yang menjanjikan akan memberi sogokan padanya, orang itu tampak sangat
senang, katanya pula, “Terima kasih sebelumnya.”
Lalu ia melirik sekejap kepada Lenghou Tiong yang telentang di atas usungan, katanya dengan tertawa,
“Apakah bocah ini yang dipenujui Yim-siocia? Kukira pemuda yang ditaksir Yim-siocia tentunya secakap Phoa
An dan sebagus Song Giok (kedua nama ini adalah jejaka-jejaka cakap menurut dongeng), tak tahunya juga
cuma begini saja. Siangkoan-cosu, silakan ikut padaku.”
“Kaucu belum lagi mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil cosu padaku, kalau
didengar oleh Kaucu mungkin bisa celaka,” ujar Siangkoan In.
Orang itu melelet-lelet lidahnya dan tidak bicara lagi. Segera ia mendahului jalan di depan sebagai pengantar.
Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki
pintu gerbang, dua orang berjubah ungu yang lain mengantar mereka ke ruangan belakang. Katanya kepada
Siangkoan In, “Nyo-koankeh hendak menemui kau, silakan tunggu di sini.”
Siangkoan In mengiakan dan berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah.
Cukup lama mereka menunggu, tapi apa yang dikatakan “Nyo-koankeh” (kepala rumah tangga she Nyo) masih
belum tampak muncul. Selama itu Siangkoan In tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.
Dalam hati Lenghou Tiong membatin, “Kedudukan Siangkoan-yusu ini di dalam Mo-kau boleh dikata hanya
satu-dua tingkat di bawah sang kaucu, tapi di atas Hek-bok-keh ini ternyata hampir setiap orang tidak
menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih kereng dari dia. Lalu siapa lagi Nyo-koankeh yang
dikatakan itu? Besar kemungkinan adalah Nyo Lian-ting. Kiranya, dia hanya seorang ‘koankeh’ saja, akan tetapi
Kong-beng-yusu yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat, peraturan
demikian sungguh keterlaluan?”
Lewat agak lama pula barulah terdengar suara langkah orang mendatangi, dari suara kakinya yang cepat tapi
enteng ini jelas orangnya tidak memiliki lwekang yang kuat. Terdengar suara orang berdehem satu kali, lalu
dari pintu angin muncul seorang.
Ketika Lenghou Tiong melirik ke sana, dilihatnya umur orang itu antara 30-an, berjubah satin merah gelap,
perawakannya kekar, mukanya penuh berewok, sikapnya sangat gagah.
Kembali Lenghou Tiong membatin, “Menurut cerita Ing-ing, katanya orang ini sangat disayang oleh Tonghong
Put-pay, katanya di antara kedua orang mempunyai hubungan yang istimewa. Maka tadinya kukira dia pasti
seorang laki-laki secantik nona jelita, siapa tahu dia adalah seorang laki-laki kekar. Sungguh sama sekali di luar
dugaan.”
Maka terdengar orang itu sedang berkata, “Siangkoan-yusu, engkau telah berjasa besar dengan berhasil
menangkap Lenghou Tiong, untuk ini Kaucu merasa sangat senang.”
Suara seorang laki-laki gagah ternyata sangat merdu dan enak didengar.
Siangkoan In membungkuk tubuh dan menjawab, “Semua itu adalah berkat Kaucu yang mahaagung dan
berkat bimbingan Nyo-koankeh yang bijaksana, hamba hanya sebagai pelaksana saja menurut perintah
Kaucu.”
Nyo Lian-ting itu mendekati usungan dan memandangi Lenghou Tiong. Dengan sengaja Lenghou Tiong
membikin mulutnya setengah melongo dan sorot mata yang guram sehingga mirip benar orang yang terluka
parah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Orang ini tampaknya sudah setengah sekarat, apakah benar dia ini Lenghou Tiong? Kau tidak keliru?” tanya
Nyo Lian-ting.
“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay,” jawab Siangkoan
In. “Cuma dia telah kena ditutuk tiga kali oleh Kah-cosu, kena dua kali pukulanku pula, lukanya memang
parah, dalam waktu setahun kiranya belum bisa pulih.”
“Bagus, bagus!” puji Nyo Lian-ting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Kaucu dan kau akan
mendapatkan ganjaran semestinya. Hong-lui-tongcu telah mengkhianati Kaucu apakah kau sudah mengetahui
urusan ini?”
“Hamba tidak jelas duduk persoalannya mohon diberi penjelasan,” jawab Siangkoan In.
Nyo Lian-ting terus duduk sendiri di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Pek-him ini
makin tua makin tidak genah, dia suka jual lagak sebagai orang kepercayaan Kaucu dan memandang sebelah
mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplotan dengan maksud
memberontak. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, siapa tahu dia malahan tambah
berani lagi, akhir-akhir bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng.”
“Dia... dia berkomplot dengan... dengan orang she Yim itu?” Siangkoan In menegas dengan suara rada
gemetar.
“Siangkoan-yusu, kenapa kau menjadi ketakutan begini?” tanya Nyo Lian-ting. “Yim Ngo-heng itu toh bukan
manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga, dahulu Kaucu sudah pernah membikin dia mati kutu, kalau
sekarang dia berani datang lagi ke Hek-bok-keh sini, hm, masakah dia takkan disembelih sebagaimana Kaucu
menyembelih ayam.”
“Ya, ya. Entah cara bagaimana Tong Pek-him itu bersekongkol dengan dia?” tanya Siangkoan In dengan
tergagap-gagap.
“Tong Pek-him telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Yim Ngo-heng, selain mereka dihadiri pula
seorang pengkhianat lain, yaitu Hiang Bun-thian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu,
ternyata Tong Pek-him terus mengaku dengan terus terang.”
“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Siangkoan In.
“Kutegur dia mengapa tidak memberi laporan kepada Kaucu tentang pertemuannya dengan Yim Ngo-heng dan
Hiang Bun-thian, dia menjawab katanya mereka hanya mengadakan pertemuan persahabatan saja. Kukatakan
munculnya Yim Ngo-heng jelas hendak memusuhi Kaucu, hal ini tentu cukup diketahuinya, mengapa kau
anggap musuh sebagai sahabat. Dia menjawab, ‘Mungkin Kaucu yang salah dan bukan orang lain yang salah
terhadap Kaucu!’.”
“Kurang ajar!” gerutu Siangkoan In. “Budi luhur Kaucu setinggi langit, beliau paling baik terhadap sesama
kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain?”
Bagi pendengaran Nyo Lian-ting, ucapan Siangkoan In ini sudah tentu ditujukan kepada Tonghong Put-pay, tapi
bagi Lenghou Tiong dan lain-lain, mereka tahu Siangkoan In sengaja hendak mengambil hati Yim Ngo-heng.
Terdengar Siangkoan In melanjutkan pula, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada
Kaucu, bila ada orang yang berani kurang ajar kepada Kaucu baik dalam kata maupun dalam tindakan, maka
aku Siangkoan In yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Kata-kata Siangkoan In itu jelas ditujukan kepada Nyo Lian-ting, sudah tentu dia tidak tahu sama sekali,
sebaliknya dia malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam agama bisa mengikuti
tekad Siangkoan-yusu ini tentu tiada hal yang tak bisa diatasi. Tentunya Siangkoan-yusu sudah lelah, silakan
pergi istirahat saja.”
“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Kaucu,” kata Siangkoan In dengan bingung.
“Kaucu sangat sibuk, mungkin tiada tempo buat menerima kau,” ujar Nyo Lian-ting.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dari sakunya Siangkoan In lantas merogoh keluar belasan butir mutiara, Nyo Lian-ting didekati dan dibisiki,
“Nyo-congkoan, belasan biji mutiara ini adalah hasil sambilanku dalam dinas luar kali ini, keseluruhannya
sekarang kupersembahkan kepada Nyo-congkoan dengan harapan sudilah Nyo-congkoan menghadapkan
hamba kepada Kaucu. Bila Kaucu senang hati, bisa jadi beliau akan menaikkan pangkat hamba, bila demikian
tentu takkan kulupakan pula bantuan Nyo-congkoan.”
“Ah, orang sendiri, mengapa sungkan-sungkan begini,” ujar Nyo Lian-ting dengan menyengir. “Baiklah
kuterima. Terima kasih ya.”
Tiba-tiba ia pun membisiki Siangkoan In, “Di hadapan Kaucu nanti tentu akan kubujuk agar kau diangkat
menjadi Kong-beng-cosu.”
Berulang-ulang Siangkoan In lantas memberi hormat, katanya, “Bila jadi, selama hidupku takkan lupa atas budi
kebaikan Kaucu dan Nyo-congkoan.”
“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Kaucu sudah longgar temponya segera kau akan dipanggil,” kata Nyo
Lian-ting kemudian sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke sakunya.
Siangkoan In mengiakan beberapa kali, lalu munduk-munduk beberapa langkah ke belakang. Nyo Lian-ting
sendiri lantas berbangkit dan masuk ke dalam dengan lagak tuan besar.
Selang agak lama pula, seorang dayang baju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Kaucu mahaagung,
mahabijaksana, memerintahkan Siangkoan In menghadap dengan membawa tawanannya.”
Siangkoan In mengucapkan terima kasih dengan istilah-istilah sanjung puji pula. Lalu mengikuti dayang itu ke
ruangan dalam dengan disusul oleh Yim Ngo-heng bertiga yang mengusung Lenghou Tiong.
Sepanjang jalan di serambi samping penuh berbaris busu-busu berseragam dan bersenjata tombak, seluruhnya
mereka melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh
beberapa ratus busu-busu yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok mengilat dan disilangkan ke atas.
Rombongan Siangkoan In menerobos lewat di bawah barisan golok itu dengan perasaan kebat-kebit.
Tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam Kangouw seperti Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain
itu sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan busu begitu. Hanya saja mereka sangat
mendongkol karena merendahkan diri hanya untuk bisa berhadapan dengan Tonghong Put-pay.
Habis menerobos barisan golok itu, sampailah di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Siangkoan In
menyingkap tirai tebal itu terus melangkah ke dalam. Sekonyong-konyong sinar putih gemerdep, delapan buah
tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya.
Lenghou Tiong terkejut, segera ia meraba pedang yang tersembunyi di bawahnya. Tapi dilihatnya Siangkoan In
berdiri diam saja tanpa melawan. Sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In
mohon bertemu Kaucu yang mahaagung dan mahabijaksana!”
Terdengar di dalam istana itu ada orang berseru, “Masuk!”
Serentak kedelapan busu bertombak itu lantas menyingkir.
Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja,
bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentunya akan terus menangkis tusukan-tusukan itu dan
terbukalah kedoknya.
Setelah masuk balairung itu, Lenghou Tiong terkesiap oleh panjangnya balairung yang luar biasa itu. Lebar
balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya adalah ratusan meter. Di ujung balairung sana
terbangun sebuah podium dan di atasnya berduduk seorang tua berjenggot. Tentunya dia Tonghong Put-pay
adanya.
Balairung itu tidak berjendela, hanya pada pojok depan dipasang lilin besar, tapi di samping mimbar yang
diduduki Tonghong Put-pay itu ternyata dua onggok api unggun yang sebentar terang sebentar gelap, karena
jaraknya cukup jauh, cahaya yang gelap-gelap terang itu membikin orang sukar melihat jelas wajah sang
kaucu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tidak jauh di bawah podium itu Siangkoan In lantas berlutut dan menyembah dengan kata-kata sanjung puji
yang seram-seram.
Mendadak dayang di samping Tonghong Put-pay membentak, “Di hadapan Kaucu mengapa anak buahmu yang
keroco itu tidak berlutut?”
Yim Ngo-heng adalah seorang yang tahan uji, ia pikir belum tiba saat yang menguntungkan, kalau untuk
sementara ini aku berlutut padamu apa halangannya? Sebentar lagi aku yang akan membeset kulitmu dan
membetot tulangmu. Karena itu segera ia berlutut dan menunduk. Melihat kepalanya sudah berlutut, dengan
sendirinya Hiang Bun-thian dan Ing-ing lantas ikut saja.
“Mungkin anak buah hamba ini menjadi lupa daratan karena diberi kesempatan melihat wajah emas Kaucu
sehingga tidak segera berlutut, harap Kaucu memberi ampun,” kata Siangkoan In.
Saat itu Nyo Lian-ting berdiri di samping Tonghong Put-pay, terdengar ia berkata, “Cara bagaimana Kah-cosu
bertempur dengan musuh dan akhirnya gugur, coba ceritakan.”
“Kah-cosu dan hamba merasa utang budi kepada Kaucu, kini kami diberi tugas penting, betapa pun kami telah
bertekad akan melaksanakannya dengan baik....”
Mendengar ocehan Siangkoan In yang memuakkan itu, diam-diam Lenghou Tiong menggerutu.
Pada saat itulah tiba-tiba di belakangnya ada orang berteriak keras, “Tonghong-hengte, apakah benar kau
memerintahkan orang-orang ini untuk merangkap diriku?”
Suara orang ini serak-serak tua, tapi penuh kekuatan lwekang sehingga suaranya berkumandang dan
memekak telinga. Lenghou Tiong menduga orang ini tentulah Hong-lui-tongcu Tong Pek-him adanya.
Benar juga, segera terdengar Nyo Lian-ting menanggapi, “Tong Pek-him, di balairung Seng-tek-tong ini mana
boleh kau gembar-gembor sesukamu? Di hadapan Kaucu mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani pula
kau tidak menyebutkan keagungan Kaucu?”
Tong Pek-him mendongak dan bergelak tertawa, katanya, “Waktu aku bersahabat dengan Tonghong-hengte
mana ada seorang macam kau? Ketika aku dan Tonghong-hengte sama-sama merasakan pahit getir dalam
perjuangan mungkin orang macam kau belum lagi dilahirkan, masakan kau ada hak untuk bicara dengan aku?”
Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya orang tua itu mendelik dengan beringas, sikapnya menakutkan.
Kaki dan tangannya diborgol semua dengan rantai yang sangat panjang. Rupanya saking gusarnya dia bicara
sehingga kedua tangannya ikut bergerak, maka menerbitkan suara gemerencing dari rantai yang diseretnya
itu.
Tadinya Yim Ngo-heng hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak, kini demi mendengar suara
gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman sendiri ketika disiksa di kamar tahanan di
bawah danau di Hangciu dahulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar, segera ia bermaksud
mengambil tindakan.
Namun lantas terdengar Nyo Lian-ting lagi bicara pula, “Di hadapan Kaucu juga berani berkata demikian, kau
benar-benar terlalu kurang ajar. Secara diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng,
apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini?”
“Yim-kaucu adalah ketua agama kita yang lampau, beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus
mengundurkan diri dan segala tugas pimpinannya telah diserahkan kepada Tonghong-hengte, mana boleh kau
mengatakan Yim-kaucu adalah pengkhianat besar?” bantah Tong Pek-him. “Tonghong-hengte, coba kau
katakan sendiri yang tegas, benarkah Yim-kaucu mengkhianati agama kita? Apa dasarnya?”
“Setelah penyakit Yim Ngo-heng sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam agama, tapi dia malah
mendatangi tokoh-tokoh Siau-lim, Bu-tong, Ko-san, dan lain-lain untuk berkomplotan dengan mereka, apalagi
perbuatannya ini kalau bukan pengkhianatan?” jawab Nyo Lian-ting. “Lebih jauh kenapa dia tidak lantas
menghadap Kaucu serta menerima petunjuk-petunjuknya?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Hahahaha!” Tong Pek-him terbahak-bahak. “Yim-kaucu adalah bekas atasan Tonghong-hengte, baik ilmu
silatnya maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Tonghong-hengte, betul tidak Tonghong-hengte?”
Tapi Nyo Lian-ting lantas membentak, “Jangan kau berlagak lebih tua di sini, jika kau mau mengakui dosamu,
besok di hadapan sidang terbuka pimpinan mungkin Kaucu masih mau mengampuni dosamu. Kalau tidak, hm,
bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”
“Haha, orang she Tong sudah mendekati 80 tahun, memangnya aku sudah bosan hidup, mengapa aku mesti
takut akibat apa segala?” jawab Tong Pek-him dengan tertawa.
“Bawa maju orang-orangnya!” mendadak Nyo Lian-ting berteriak.
Dayang baju ungu mengiakan, lalu terdengarlah suara gemerencing yang ramai, belasan orang digiring ke
dalam balairung, ada laki-laki ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.
Begitu melihat orang-orang itu, seketika air muka Tong Pek-him berubah hebat, bentaknya dengan murka,
“Nyo Lian-ting, kenapa kau menangkap anak-cucuku?”
Suaranya yang keras menggelegar anak telinga semua orang sehingga mendengung-dengung.
“Coba sebut Tong Pek-him, bagaimana bunyi pasal ketiga petuah Kaucu?” kata Nyo Lian-ting.
“Fui!” Tong Pek-him meludah, tapi tidak menjawab.
“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga petuah Kaucu, coba uraikan!” seru
Nyo Lian-ting.
Seorang anak laki-laki lantas berkata, “Pasal ketiga petuah Kaucu mahaagung berbunyi: Terhadap musuh
harus kejam, babat rumput harus bersama akar-akarnya, laki-perempuan tua-muda, tidak seorang pun
ditinggalkan hidup.”
“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal petuah Kaucu dapat kau hafalkan di luar kepala?” tanya
Nyo Lian-ting.
“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari tidak menghafalkan petuah Kaucu rasanya tidak dapat tidur dan tidak
dapat makan. Setelah baca petuah Kaucu seketika bersemangat dan giat belajar.”
“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?”
“Ayah!” jawab si anak.
“Siapa dia?” tanya Lian-ting pula sambil menunjuk Tong Pek-him.
“Kakek!”
“Kakekmu tidak mau membaca petuah Kaucu, tidak mau menurut perintah Kaucu, malahan membangkang
pada Kaucu, bagaimana menurut kau?”
“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami ajaran Kaucu dan menurut segala perintah
Kaucu.”
“Nah, kau dengar sendiri,” kata Nyo Lian-ting terhadap Tong Pek-him, “cucumu sekecil itu saja bilang begitu,
sebaliknya kau sudah tua bangka, mengapa kau malah berbuat tidak senonoh?”
“Aku hanya bicara sebentar dengan orang she Yim dan she Hiang, mereka minta aku melawan Kaucu, tapi aku
menolak ajakan mereka,” kata Tong Pek-him. “Selamanya Tong Pek-him bicara apa adanya dan tidak pernah
berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.”
Rupanya dia menyaksikan belasan anggota keluarganya akan ikut menjadi korban, maka nada bicaranya
menjadi agak lunak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Jika sejak tadi-tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Nyo Lian-ting.
“Dan sekarang kau sudah mengakui kesalahanmu?”
“Aku tidak bersalah, aku tidak antiagama kita, lebih-lebih tidak anti-Kaucu,” jawab Tong Pek-him.
“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tak bisa menolong kau,” ujar Nyo Lian-ting dengan
menghela napas. “Penjaga, bawalah anggota keluarganya ke tempat tahanan, mulai sekarang dilarang
memberikan makanan dan minuman sedikit pun juga.”
“Nanti dulu!” teriak Tong Pek-him keras-keras. Lalu katanya kepada Nyo Lian-ting, “Baik, aku mengaku salah.
Untuk itu aku mohon Kaucu memberi ampun.”
“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Kaucu, saat mana aku saja belum
dilahirkan. Betul tidak?” tanya Nyo Lian-ting.
Dengan menahan perasaannya Tong Pek-him menjawab, “Ya, aku salah omong.”
“Kau salah omong? Hanya begini saja persoalannya?” kata Nyo Lian-ting dengan menjengek. “Di hadapan
Kaucu mengapa kau tidak berlutut?”
“Kaucu dan aku adalah saudara angkat, selama puluhan tahun kami berdiri dan berduduk sama tingginya,”
jawab Tong Pek-him. Mendadak ia berseru pula, “Tonghong-hengte, kau menyaksikan sendiri Laukoko (saudara
tua) disiksa orang habis-habisan, mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun? Jika kau ingin
Laukoko berlutut padamu, soalnya sangat gampang asalkan bicara sepatah kata saja, biarpun mati bagimu
sedikit pun Laukoko takkan mengernyitkan kening.”
Tapi Tonghong Put-pay masih terus duduk tak bergerak, seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap,
pandangan semua orang dialihkan kepada Tonghong Put-pay untuk mendengarkan apa yang akan
dikatakannya. Akan tetapi sampai sekian lamanya dia tetap diam saja.
“Tonghong-hengte,” Tong Pek-him berteriak pula, “selama beberapa tahun ini betapa sukarnya aku ingin
menemui kau. Kau telah mengasingkan diri untuk meyakinkan ‘Kui-hoa-po-tian’, tapi apakah kau tahu para
kawan lama di dalam agama telah banyak meninggalkan kita, bencana besar sedang mengancam agama kita?”
Tetap Tonghong Put-pay diam saja. Maka Tong Pek-him berseru lagi, “Asal kau sendiri yang omong, segera aku
akan berlutut padamu. Tidak menjadi soal kau menyiksa aku, bahkan membunuh aku sekalipun, tapi Tiauyang-
sin-kau yang namanya mengguncangkan Kangouw selama beratus-ratus tahun segera akan hancur,
untuk ini kau harus bertanggung jawab dan akan berdosa besar. Mengapa kau diam saja? Apakah kau kena
penyakit dalam meyakinkan ilmu sehingga tak bisa bicara?”
Bab 107. Rahasia Pribadi Tonghong Put-pay
“Ngaco-belo!” bentak Nyo Lian-ting. “Berlututlah kau!”
Dua dayang segera menendang belakang dengkul Tong Pek-him untuk memaksanya tekuk lutut. Tapi
mendadak terdengar suara jeritan dua kali, kedua dayang itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki
patah dan muntah darah. Sungguh hebat lwekang Tong Pek-him itu.
“Tonghong-hengte, aku ingin mendengar satu patah katamu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Pekhim
pula. “Sudah lebih tiga tahunan kau tidak pernah bersua, para saudara dalam agama sudah sama curiga.”
Nyo Lian-ting menjadi gusar, dampratnya, “Curiga apa?”
“Mencurigai kemungkinan Kaucu telah dikerjai orang, dibikin bisu,” jawab Tong Pek-him dengan suara keras.
“Sebab apa dia tidak bicara? Ya, sebab apa dia tidak bicara?”
“Mulut emas Kaucu masakah sembarangan digunakan bagi kaum pengkhianat macam kau?” jengek Nyo Lianting.
“Bawa pergi dia, penjaga!”
Delapan dayang baju ungu serentak mengiakan dan berlari maju.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendadak Tong Pek-him berteriak-teriak, “Tonghong-hengte, ingin kulihat siapakah yang membikin kau tak
bisa bicara?”
Berbareng ia terus memburu ke arah Tonghong Put-pay sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya.
Melihat sikap Tong Pek-him yang gagah berwibawa itu, para penjaga menjadi takut untuk mendekati dia.
“Bekuk dia! Bekuk dia!” teriak Nyo Lian-ting.
Tapi para busu hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak berani masuk ke balairung. Maklum,
menurut peraturan tiada seorang pun anggota Tiau-yang-sin-kau diperbolehkan masuk ke balairung itu dengan
membawa senjata, yang melanggar dihukum mati.
Melihat gelagat kurang baik itu, tertampak Tonghong Put-pay berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.
“Jangan pergi dulu, Tonghong-hengte, jangan pergi!” seru Tong Pek-him sambil memburu maju lebih cepat.
Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa, saking nafsunya dia memburu maju, mendadak
ia kesandung dan jatuh terguling. Tapi sekaligus ia berjumpalitan terus menubruk pula ke depan sehingga
jaraknya dengan Tonghong Put-pay sekarang tinggal belasan meter saja.
Nyo Lian-ting menjadi khawatir, teriaknya, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Kaucu?”
Melihat gerak-gerik Tonghong Put-pay yang rada aneh dan serbamencurigakan itu, Yim Ngo-heng tidak tinggal
diam, ketika melihat Tong Pek-him tidak mampu memburu ke depan lagi, segera ia merogoh keluar tiga buah
mata uang terus disambitkan ke arah Tonghong Put-pay.
Segera Lenghou Tiong lantas melompat bangun, dari dalam kain pembalutnya pedang lantas dilolos keluar.
Hiang Bun-thian juga lantas mengeluarkan senjata yang disembunyikan di atas usungan dan dibagikan kepada
Ing-ing serta Yim Ngo-heng. Menyusul ia menarik sekuatnya, rupanya tali yang dipakai mengikat rangka
usungan adalah sebuah cambuk. Dengan ginkang yang tinggi mereka berempat lantas menyerbu maju.
Dalam pada itu terdengar Tonghong Put-pay menjerit, rupanya dahinya terkena sebuah mata uang yang
disambitkan Yim Ngo-heng tadi sehingga mengucurkan darah. Untung baginya karena jaraknya cukup jauh
sehingga sambitan Yim Ngo-heng itu tidak keras, hanya membikin kulit kepalanya terkupas sedikit. Namun
Tonghong Put-pay terkenal ilmu silatnya tak terkalahkan, masakah sebuah mata uang saja tidak mampu
menghindarkan diri, hal ini sungguh tidak masuk di akal.
“Hahaha! Tonghong Put-pay ini adalah palsu!” teriak Yim Ngo-heng.
Pada saat yang sama cambuk Hiang Bun-thian lantas menyabet, “tarrr”, kedua kaki Nyo Lian-ting terlibat oleh
cambuknya, sekali ditarik tanpa ampun lagi orang she Nyo itu lantas terguling.
Tampak Tonghong Put-pay masih terus lari ke depan sambil mendekap dahinya yang luka, dengan cepat
Lenghou Tiong melompat ke depannya sambil menodongkan ujung pedang dan membentak, “Berhenti!”
Siapa duga Tonghong Put-pay yang sedang lari cepat itu tak sempat menahan tubuhnya, bahkan terus
menerjang ke ujung pedang malah. Namun Lenghou Tiong keburu menarik kembali pedangnya. Sedangkan Yim
Ngo-heng sudah menubruk tiba, sekali cengkeram kuduk Tonghong Put-pay terus diseretnya ke tengah
balairung.
“Dengarkan semua orang!” teriak Yim Ngo-heng. “Keparat ini memalsukan Tonghong Put-pay dan merusak
Tiau-yang-sin-kau kita, hendaknya kalian semua memeriksa jelas cecongor keparat ini.”
Ternyata tampang orang itu memang sangat mirip dengan Tonghong Put-pay asli. Keruan para busu saling
pandang dengan melongo.
“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kugecek kepalamu hingga hancur,” bentak Yim Ngo-heng.
Orang itu gemetar seluruh badannya, giginya berkeriutan saking takutnya, jawabnya dengan terputus-putus,
“Ham... ham... ba... ber... na... ma....” tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menyambung
ucapannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sementara itu Hiang Bun-thian telah menutuk beberapa tempat hiat-to di tubuh Nyo Lian-ting dan
menyeretnya pula ke tengah balairung, lalu membentaknya, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”
Tapi dengan angkuh Nyo Lian-ting menjawab, “Hm, kau ini kutu apa, kau ada hak buat tanya padaku? Aku
kenal kau sebagai pengkhianat besar Hiang Bun-thian. Sudah lama kau dipecat, berdasarkan hak apa kau
berani pulang lagi ke Hek-bok-keh sini?”
“Tujuanku ke Hek-bok-keh ini justru hendak membereskan kau keparat ini!” jengek Hiang Bun-thian,
berbareng sebelah tangannya terus menebas, “krak”, kontan tulang betis kiri Nyo Lian-ting dipatahkan.
Tak terduga, biarpun ilmu silat Nyo Lian-ting tidak tinggi, ternyata orangnya sangat kepala batu, ia tidak
menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayolah kau bunuh aku saja, main siksa begini
terhitung orang gagah macam apa?”
“Membunuh kau? Hm, masakah begitu enak?” jengek Hiang Bun-thian pula, “krek”, kembali ia pukul patah
tulang betis kaki Nyo Lian-ting yang lain. Menyusul Hiang Bun-thian menurunkan tubuh Nyo Lian-ting sehingga
berdiri tegak.
Dengan tulang betis yang sudah patah, dengan sendirinya waktu berdiri tulang kaki yang patah itu lantas
menusuk ke atas sehingga berbunyi keriang-keriut, sakitnya tentu bukan buatan. Namun Nyo Lian-ting sama
sekali tidak bersuara meski mukanya pucat pasi.
“Laki-laki hebat! Aku takkan menyiksa kau lagi,” kata Hiang Bun-thian sambil acungkan jempolnya ke muka
Nyo Lian-ting. Sebagai gantinya ia terus menonjok perut Tonghong Put-pay palsu sambil bertanya, “Siapa
namamu?”
Orang itu menjerit kesakitan, jawabnya dengan gemetar, “Hamba... hamba ber... bernama Pau... Pau...
Pau....” tapi Pau siapa tak dapat dilanjutkannya.
“Jadi kau she Pau?” Hiang Bun-thian menegas.
“Iy... ya! Hamba she... she... Pau... Pau....” namun tetap dia tidak sanggup mengatakan namanya sampai
sekian lamanya.
Dalam pada itu Lenghou Tiong dan lain-lain lantas mengendus bau busuk, ternyata dari bawah celana orang itu
mengalirkan air kekuning-kuningan, rupanya saking ketakutan orang itu menjadi terkencing-kencing dan
tercirit-cirit.
“Urusan jangan terlambat, paling penting kita mencari saja Tonghong Put-pay yang tulen,” kata Yim Ngo-heng.
Segera ia angkat orang she Pau itu dan berseru pula, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah
Tonghong Put-pay palsu, dia telah merusak agama kita, sekarang juga kita harus menyelidiki duduknya
perkara hingga jelas. Aku adalah kaucu kalian yang dulu, apakah kalian masih kenal padaku?”
Para busu yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur 20-an, selamanya mereka belum melihat Yim
Ngo-heng, sudah tentu tidak kenal. Sejak Tonghong Put-pay menjabat kaucu, orang-orang kepercayaannya
dapat meraba isi hati kaucu baru ini, maka masing-masing saling memperingatkan agar jangan mengungkatungkat
urusan Yim-kaucu, sebab itulah nama Yim Ngo-heng saja tidak pernah didengar oleh para busu. Kini
mereka menjadi melongo dan saling pandang mendengar ucapan Yim Ngo-heng, tiada seorang pun yang berani
menjawab.
Siangkoan In lantas berseru, “Besar kemungkinan Tonghong Put-pay sudah dibinasakan mereka. Yim-kaucu ini
adalah kaucu kita. Sejak kini kita harus setia mengabdi kepada Yim-kaucu.”
Habis berkata segera ia mendahului menyembah kepada Yim Ngo-heng, serunya, “Terimalah sembah bakti
hamba, semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”
Para busu kenal Siangkoan In sebagai Kong-beng-yusu yang terhormat di dalam agama, melihat tokoh setinggi
itu saja menyembah kepada Yim Ngo-heng, pula menyaksikan ada orang memalsukan Tonghong Put-pay,
malahan Nyo Lian-ting yang biasanya berkuasa itu sekarang juga menggeletak tak bisa berkutik dengan kedua
kaki patah, maka tanpa ragu-ragu lagi para busu itu serentak berlutut kepada Yim Ngo-heng dan menyorakkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
istilah-istilah puja-puji, “Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”
Yim Ngo-heng terbahak-bahak senang dan puas, katanya kemudian, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan
di sekeliling Hek-bok-keh ini, siapa pun dilarang naik-turun.”
Busu-busu itu mengiakan dengan gemuruh. Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah memerintahkan kawanan
dayang baju ungu untuk membuka borgol Tong Pek-him.
Tong Pek-him sangat mengkhawatirkan keselamatan Tonghong Put-pay, begitu sudah bebas segera ia
cengkeram kuduk Nyo Lian-ting dan membentak, “Tentu kau telah membinasakan Tong... Tonghong-hengte,
kau... kau....” saking nafsunya sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.
Nyo Lian-ting benar-benar kepala batu, ia malahan pejamkan mata tak pedulikan pertanyaan orang. Keruan
Tong Pek-him menjadi murka, kontan ia beri tempelengan keras ke pelipis orang she Nyo itu sambil
membentak, “Di manakah Tonghong-hengte?”
“Perlahan sedikit!” cepat Hiang Bun-thian mengingatkan Tong Pek-him.
Namun sudah terlambat, padahal tempelengan itu pun tidak terlalu keras, namun Nyo Lian-ting tidak tahan,
kontan ia kelengar. Tong Pek-him entak-entakkan badan Nyo Lian-ting, namun kedua matanya tampak
mendelik seperti orang mampus.
“Coba siapa di antara kalian yang tahu di mana beradanya Tonghong Put-pay? Siapa yang memberi laporan
lebih dulu akan diberi hadiah besar!” tanya Yim Ngo-heng kepada para dayang baju ungu. Tapi meski ia ulangi
pertanyaan itu tetap tiada seorang pun yang dapat memberi keterangan. Seketika dingin juga perasaannya.
Maklumlah, dia dikurung selama belasan tahun di bawah danau Barat (Se-ouw) di Hangciu, di situ siang dan
malam ia tekun meyakinkan ilmu dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri dari tahanan itu ia pun akan
balas menyiksa Tonghong Put-pay sejadi-jadinya. Siapa duga sesudah berada di Hek-bok-keh sekarang
ternyata Tonghong Put-pay yang telah dibekuknya ini adalah palsu, agaknya Tonghong Put-pay yang tulen
sudah tidak hidup lagi di dunia fana ini, kalau tidak, dengan kecerdasan Tonghong Put-pay yang lain daripada
yang lain itu masakah sudi membiarkan Nyo Lian-ting berbuat sesukanya dan bahkan menggunakan seorang
lain sebagai duplikatnya?
Ia coba memandang kawanan dayang baju ungu yang berdiri di seputar balairung itu, kelihatan sebagian di
antaranya mengunjuk sikap ketakutan, ada pula yang gelisah, tapi ada juga yang kelihatan culas. Dalam
keadaan kecewa, perasaan Yim Ngo-heng menjadi sangat berangasan, mendadak ia membentak, “Kalian ini
sudah tahu Tonghong Put-pay ini palsu, tapi kalian toh sengaja sekongkol dengan Nyo Lian-ting untuk menipu
saudara-saudara lain dalam agama, dosa kalian tidak bisa diampuni!”
Tiba-tiba ia melompat maju, “plak-plok” empat kali, di mana tangannya tiba, kontan empat dayang seragam
ungu itu lantas binasa. Keruan dayang-dayang yang lain menjadi ketakutan, sambil menjerit mereka
menyingkir ke belakang.
“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Yim Ngo-heng dengan menyeringai seram, dijemputnya rantai
borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Pek-him tadi, sekuatnya ia lemparkan rantai itu ke sana. Kontan
saja darah mencurat, kembali ada beberapa orang dibinasakan pula.
Yim Ngo-heng terbahak-bahak, teriaknya, “Pengikut-pengikut Tonghong Put-pay satu pun takkan dibiarkan
hidup!”
Melihat kelakuan ayahnya rada kurang waras, cepat-cepat Ing-ing memburu maju untuk memegang tangannya
sambil memanggil, “Sabar, Ayah!”
Tiba-tiba di antara kawanan dayang seragam ungu itu tampil seorang dan berlutut memberi laporan, “Lapor
Kaucu, sebenarnya Tonghong... Tonghong Put-pay itu tidak mati!”
Tidak kepalang senangnya Yim Ngo-heng mendengar itu, ia memburu maju dan memegang bahu dayang itu
sambil menegas, “Betul Tonghong Put-pay belum mati?”
“Iya... Ahuuh!” orang itu berteriak terus roboh tak sadarkan diri.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Rupanya saking terguncang oleh perasaannya, Yim Ngo-heng terlalu keras mencengkeram bahu dayang itu,
namun sukar membuatnya siuman kembali.
Terpaksa Yim Ngo-heng berpaling kepada dayang-dayang lain dan bertanya, “Berada di mana Tonghong Putpay?
Lekas tunjukkan jalannya, sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”
Seorang dayang lain lantas menyembah dan berkata, “Lapor Kaucu, tempat tinggal Tonghong Put-pay sangat
dirahasiakan, yang tahu hanya Nyo Lian-ting seorang. Sebaiknya kita sadarkan keparat she Nyo itu, tentu dia
dapat membawa Kaucu ke sana.”
“Lekas ambilkan air dingin,” bentak Yim Ngo-heng.
Kawanan dayang itu memang sudah terlatih dan sangat cekatan, dalam sekejap saja air dingin yang diminta
sudah datang terus disiram ke muka Nyo Lian-ting. Perlahan-lahan orang she Nyo itu membuka matanya, dia
telah siuman.
“Orang she Nyo, aku menghargai kau sebagai seorang laki-laki berhati keras, maka takkan kusiksa lagi dirimu,”
kata Hiang Bun-thian. “Saat ini semua jalan masuk-keluar Hek-bok-keh sudah ditutup, betapa pun Put-pay
takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka ada lebih baik kau membawa kami pergi mencarinya.
Seorang laki-laki sejati buat apa mesti main sembunyi? Kan lebih baik kalau kita bikin pemberesan secara
blakblakan saja.”
“Hm, Tonghong-kaucu kini sudah punya badan yang kebal, masakah beliau gentar terhadap keroco-keroco
macam kalian?” jawab Nyo Lian-ting dengan menjengek “Tapi kata-katamu barusan rada cocok juga dengan
seleraku. Baik, akan kubawa kalian untuk menemuinya.”
Segera Hiang Bun-thian berkata kepada Siangkoan In, “Siangkoan-heng, biarlah sementara ini kita menjadi kuli
sambilan, mari kita gotong keparat ini untuk menemui Tonghong Put-pay.”
Berbareng ia terus angkat Nyo Lian-ting dan ditaruh di atas usungan.
Siangkoan In mengiakan. Bersama Hiang Bun-thian mereka lantas mengangkat usungan itu.
“Jalan ke dalam!” kata Nyo Lian-ting.
Hiang Bun-thian dan Siangkoan In lantas mendahului jalan di depan dengan menggotong Nyo Lian-ting. Yim
Ngo-heng, Lenghou Tiong, Ing-ing, dan Tong Pek-him berempat mengikuti mereka dari belakang.
Setelah rombongan masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang, kemudian sampai
di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung kiri.
“Dorong dinding sebelah kanan!” seru Nyo Lian-ting.
Ketika Tong Pek-him menolak dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak sehingga berwujud sebuah
daun pintu. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Nyo Lian-ting mengeluarkan segandeng
anak kunci dan diserahkan kepada Tong Pek-him, pintu besi itu dibuka, di dalamnya ternyata ada sebuah
lorong di bawah tanah.
Lorong itu terus menurun ke bawah. Dalam hati Yim Ngo-heng membatin, “Tonghong Put-pay telah mengurung
aku di dasar danau, siapa duga dia pun kualat sehingga kena dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong
ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dahulu.”
Tidak nyana, setelah membelok beberapa tikungan, tiba-tiba bagian depan terbeliak terang. Sekonyongkonyong
semua orang mengendus bau harum bunga semerbak, seketika napas mereka terasa segar.
Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga yang kecil
dan sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan tumbuh menghijau segar, di tengah taman ada
sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih
bersaba di tepi kolam.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiada seorang pun yang menyangka bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini,
sungguh mereka tak habis heran. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tertampak di depan terbentang
sebidang kebun bunga, seluruhnya adalah bunga mawar berwarna merah tua dan jambon yang sedang mekar
dan seakan-akan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing.
Ing-ing melirik ke arah Lenghou Tiong, dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang.
“Bagus tidak tempat ini?” tanya Ing-ing dengan suara tertahan.
“Setelah kita usir Tonghong Put-pay, lalu kita tinggal beberapa bulan di sini, nanti kau mengajarkan aku
memetik kecapi, alangkah bahagianya kehidupan demikian!” ujar Lenghou Tiong.
“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ing-ing.
“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma kukhawatir tidak dapat menerima ajaran
kecapimu sehingga membikin nenek marah-marah nanti.”
Maka mengikik tawalah Ing-ing teringat kepada masa lampau ketika Lenghou Tiong mengira dia adalah
seorang tua renta dan selalu memanggilnya sebagai nenek.
Sementara itu tertampak Hiang Bun-thian dan Siangkoan In sedang mengusung Nyo Lian-ting ke dalam sebuah
pondok kecil yang indah, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing ikut masuk ke situ. Begitu melangkah masuk,
seketika mereka mengendus bau harum bunga yang menusuk hidung, dilihatnya dinding kamar tergantung
sebuah lukisan yang menggambarkan kaum wanita sedang menyulam. Lenghou Tiong menjadi heran apakah
Tonghong Put-pay tinggal di kamar ini? Apakah tempat tinggal gendak kesayangannya sehingga dia senantiasa
tenggelam di tempat demikian dan lupa mengurusi pekerjaan.
Tiba-tiba terdengar seorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?”
Suaranya nyaring tajam, seperti suara kaum lelaki, tapi mirip juga suara wanita, mendirikan bulu roma rasanya
bagi orang yang mendengarnya.
Maka Nyo Lian-ting telah menjawab, “Kubawa serta sobat lamamu, dia ingin bertemu dengan kau.”
“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja,
selain kau, siapa pun takkan kutemui.”
Beberapa kata-kata terakhir ini diucapkan dengan manja seperti nada kaum wanita, namun jelas suaranya
adalah suara orang laki-laki.
Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Ing-ing, Tong Pek-him, dan Siangkoan In sudah sangat kenal Tonghong Putpay,
dari suara tadi jelas adalah suara sang kaucu itu, hanya saja nadanya sangat aneh, seakan-akan pemain
sandiwara wanita yang diperankan oleh kaum lelaki dengan suara yang dibikin-bikin. Keruan mereka saling
pandang dengan melongo.
Maka terdengar Nyo Lian-ting menjawab dengan menghela napas, “Ya, apa daya, kalau aku tidak membawanya
kemari, aku akan dibunuh olehnya. Sebelum mati bila aku tidak melihat kau lebih dulu, hal ini akan merupakan
penyesalan besar selama hidupku.”
“Hah, siapakah yang begitu berani mati membikin susah padamu? Coba suruh dia masuk kemari,” seru orang
di dalam itu dengan suara melengking.
Yim Ngo-heng memberi tanda agar semua orang ikut masuk ke dalam. Lebih dulu Siangkoan In menyingkap
tirai pintu yang bersulam bunga yang indah, Nyo Lian-ting lantas digotong ke dalam, lalu semua orang ikut
masuk ke situ. Ternyata di dalam kamar sebelah dalam itu terpajang sangat rajin dan indah dengan hiasan
yang warna-warni, pada ujung kanan sana ada sebuah meja rias, di sampingnya duduk seorang dengan baju
warna jambon, tangan kiri memegang sebuah bingkai sulaman, tangan kanan memegang sebuah jarum sulam,
melihat masuknya orang-orang sebanyak itu, ia angkat kepalanya dengan rada heran.
Namun betapa herannya orang itu toh masih kalah besar herannya Yim Ngo-heng dan lain-lain terhadap orang
di dalam kamar itu. Semua orang jelas mengenali orang berbaju jambon itu tak-lain tak-bukan Tonghong Putpay
yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan kaucu Tiau-yang-sin-kau dengan gelar “jago silat nomor
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
satu di dunia”. Hanya saja sekarang kumis jenggotnya telah dicukur bersih, yang luar biasa adalah mukanya
pakai pupur dan bibir digincu segala, baju yang dipakainya itu bentuknya tidak laki tidak perempuan, warnanya
juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita sebagai Ing-ing.
Sungguh sukar untuk dipercaya oleh siapa pun juga bahwa kesatria yang namanya mengguncangkan Kangouw,
seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya sembunyi di dalam kamar wanita dan kerjanya menyulam.
Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya sendiri.
Tadinya Yim Ngo-heng penuh dendam dengan hati seperti terbakar, tapi demi melihat keadaan Tonghong Putpay
itu, merasa geli juga. Bentaknya segera, “Tonghong Put-pay, apa kau pura-pura gila?”
“O, Yim-kaucu kiranya!” jawab Tonghong Put-pay dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang
datang tentulah dirimu. Eh, Adik Lian, ken... kenapakah kau? Apa dia yang melukai kau?”
Cepat ia menubruk ke samping Nyo Lian-ting terus memondongnya dan perlahan-lahan dibaringkan di atas
tempat tidurnya.
Seprai tempat tidurnya yang bersulam itu berbau sangat wangi. Dengan wajah yang penuh kasih sayang tak
terhingga Tonghong Put-pay bertanya, “Ah, kau sangat kesakitan tentunya? O, cuma tulang kaki yang patah,
tidak apa-apa, jangan khawatir, segera akan kusambungkan bagimu.”
Dengan hati-hati ia terus membukakan sepatu Nyo Lian-ting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian
menyelimutinya pula, mirip sekali seorang istri setia melayani sang suami.
Pemandangan aneh itu membuat semua orang melongo heran dan geli, semuanya ingin tertawa, tapi
pemandangan yang teramat lucu dan seram itu membuat mereka urung tertawa.
Dalam pada itu tertampak Tonghong Put-pay telah mengeluarkan sepotong saputangan sutra hijau, perlahanlahan
ia mengusap keringat dan kotoran di dahi dan muka Nyo Lian-ting.
Dilayani semanis itu, bukannya Nyo Lian-ting berterima kasih, sebaliknya ia menjadi marah dan mendamprat,
“Musuh besar di hadapan mata, buat apa kau mengurusi aku segala? Kalau kau sudah membereskan musuh
barulah nanti kita bermesra-mesraan.”
Tonghong Put-pay hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit
bukan? Ai, hatiku pun ikut pedih!”
Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain terhitung tokoh-tokoh kelas wahid yang sudah kenyang asam
garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi sekarang sungguh sukar dimengerti. Di
dunia ini memang banyak terjadi hubungan-hubungan kelamin yang tidak sehat karena perubahan kejiwaan,
misalnya laki-laki yang suka meniduri anak laki-laki tanggung, hubungan seks antara sejenis, dan macammacam
kelainan, namun seorang kaucu mahaagung sebagai Tonghong Put-pay ternyata rela berdandan
sebagai wanita, jelas dia tentu sudah gila. Bahkan Nyo Lian-ting menghardik dan mengolok-oloknya secara
menyakitkan hati, namun dia tetap sangat halus budi dan kasih sayang sebagaimana layaknya seorang istri
setia. Keruan hal ini membuat semua orang terheran-heran dan merasa mual pula.
Tong Pek-him tidak tahan, ia melangkah maju dan berseru, “Tonghong-hengte, kau... sesungguhnya kau lagi
apa-apaan ini?”
Tiba-tiba Tonghong Put-pay mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah orang yang
mencelakai Adik Lian juga termasuk kau ya?”
“Tonghong-hengte, mengapa kau terima dipermainkan orang she Nyo ini? Dia telah menyuruh seorang untuk
memalsukan dirimu dan memberi perintah serta main kuasa sesukanya, apakah kau sudah mengetahui hal-hal
itu?”
“Sudah tentu aku mengetahui,” jawab Tonghong Put-pay. “Demi kebaikankulah maka Adik Lian sedemikian
rajin padaku. Dia tahu aku sungkan mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia yang
mengerjakannya bagiku, apa sih jeleknya?”
“Orang ini hendak membunuh aku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Pek-him sambil menuding Nyo Lian-ting.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Aku tidak tahu,” sahut Tonghong Put-pay sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuh
kau tentu kaulah yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dibunuh olehnya?”
Tong Pek-him melengak bingung. Tapi ia lantas mendongak dan bergelak tertawa, suara tertawa yang penuh
rasa penasaran dan sedih. Katanya kemudian, “Jadi dia ingin bunuh aku dan kau lantas membiarkan dia
membunuh sesukanya, begitu?”
“Ya, apa yang suka dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini
hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan berbuat baik baginya,” kata Tonghong
Put-pay. “Tong-toako, kita pernah hidup bersama senasib dan setanggungan, selamanya kita bersahabat
dengan akrab. Cuma tidak seharusnya kau membikin susah kepada Adik Lian.”
Dengan wajah merah padam Tong Pek-him berteriak, “Tadinya kukira kau kurang waras, rupanya kau pun
cukup sadar dan masih ingat kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”
“Ya. Jika kau bersalah padaku takkan menjadi soal, tapi kau bersalah pada Adik Lian, inilah tidak boleh,” kata
Tonghong Put-pay.
“Dan sekarang aku sudah menyalahi dia, kau mau apa?” teriak Tong Pek-him pula. “Keparat ini hendak
membunuh aku, hm, kukira tidaklah mudah memenuhi keinginannya itu.”
Perlahan-lahan Tonghong Put-pay membelai rambut Nyo Lian-ting dan bertanya dengan suara halus, “Adik
Lian, apakah kau ingin membunuh dia?”
Nyo Lian-ting menjadi marah, omelnya, “Lekas kerjakan, kelemak-kelemek, bikin sebal saja?”
“Baik,” sahut Tonghong Put-pay dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Pek-him, katanya, “Tong-heng,
mulai hari ini kita putus hubungan dan rantas persaudaraan, jangan kau salahkan tindakanku ini.”
Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Pek-him telah rampas sebuah golok dari seorang busu. Kini
mendengar ucapan Tonghong Put-pay itu, tanpa terasa ia mundur dua tindak dan siap siaga. Ia cukup kenal
betapa lihainya sang kaucu, meski sekarang tampaknya aneh, tapi tidak boleh dipandang ringan.
Tonghong Put-pay menyeringai, katanya dengan gegetun, “Hal ini sungguh serbasusah bagiku. Tong-heng, aku
menjadi teringat kepada kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari kerubutan musuh-musuhku di
Soatang, waktu itu aku sudah terluka parah, bila kau tidak membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai saat
ini.”
“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” jengek Tong Pek-him.
“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku ingat dengan baik,” ujar Tonghong Put-pay. “Umpamanya ketika
dahulu aku merobohkan Yim-kaucu dengan obat tidur, perbuatanku kepergok Hwe-tong-tongcu Lo Ko-tek,
syukur engkau telah membinasakan orang she Lo itu sehingga usahaku dapat terlaksana dengan lancar. Kau
benar-benar saudaraku yang paling baik.”
Dengan air muka yang berubah Tong Pek-him melirik sekejap ke arah Yim Ngo-heng, jawabnya, “Memang
salahku, pada waktu itu mungkin aku sudah pikun.”
“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Tonghong Put-pay. “Ketika
berumur 11 aku sudah kenal kau. Waktu itu keluargaku sangat miskin, engkaulah yang selalu membantu
kehidupan kami. Bahkan engkau pula yang mengongkosi penguburan-penguburan ayah-bundaku ketika
mereka kemudian meninggal berturut-turut.”
“Urusan-urusan yang sudah lalu buat apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Pek-him.
“Ai, Tong-toako, bukannya aku tidak punya liangsim (hati nurani) dan melupakan kebaikanmu di masa lampau,
soalnya kau telah bersalah pada Adik Lian. Dia ingin membinasakan kau, ya, terpaksa aku tak punya jalan
lain.”
“Sudahlah, sudahlah!” seru Tong Pek-him.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah berkelebat, tubuh Tonghong Put-pay seperti bergerak sedikit.
Menyusul terdengar “trang” satu kali, golok yang dipegang Tong Pek-him jatuh ke lantai, lalu tubuh orang tua
itu pun terhuyung-huyung, mulutnya tampak terbuka lebar, tapi tak mampu bersuara. Sekonyong-konyong
tubuhnya jatuh ke depan untuk seterusnya tidak bergerak lagi.
Meski jatuhnya Tong Pek-him terjadi dengan cepat, namun Yim Ngo-heng dan jago-jago kelas tinggi lain sudah
dapat melihat jelas pada hiat-to bagian-bagian tengah kedua alis, kedua pelipis, dan jin-tiong-hiat di bawah
hidung (di atas bibir) ada suatu titik merah kecil dan merembes sedikit darah. Nyata tempat-tempat itu telah
kena ditusuk oleh jarum sulam yang dipegang Tonghong Put-pay.
Menyaksikan kejadian luar biasa itu, mau tak mau tokoh-tokoh sebagai Yim Ngo-heng dan lain-lain tanpa
terasa mundur dua-tiga tindak. Lenghou Tiong pegang tangan Ing-ing dan disembunyikan di belakangnya.
Seketika suasana menjadi sunyi dan bernapas pun tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat
Tonghong Put-pay teramat tinggi, tapi sama sekali orang tidak mengira sedemikian hebatnya, hanya dengan
sebatang jarum kecil saja dengan kecepatan luar biasa dapat menusuk empat hiat-to mematikan di atas kepala
Tong Pek-him. Padahal baru saja dia menguraikan macam-macam kebaikan orang tua itu, tapi dalam sekejap
sahabat dan penolongnya di masa lampau itu sudah dibinasakan olehnya, betapa culas dan kejamnya sungguh
membuat orang mengirik.
Perlahan-lahan Yim Ngo-heng melolos pedangnya dan berkata, “Tonghong Put-pay, aku mengucapkan selamat
karena kau telah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam Kui-hoa-po-tian.”
“Terima kasih Yim-kaucu. Kui-hoa-po-tian itu adalah pemberianmu, senantiasa aku ingat pada kebaikanmu,”
jawab Tonghong Put-pay.
“Apa betul? Makanya kau mengurung aku di bawah Danau Se-ouw supaya aku tidak pernah melihat cahaya
matahari lagi.”
“Aku kan tidak membinasakan kau toh? Coba kalau aku suruh Bwe-cheng-si-yu tidak mengantar air dan
makanan padamu, dapatkah kau hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi hidup sampai sekarang?”
“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan ya?”
“Memang,” sahut Tonghong Put-pay. “Aku sengaja mengatur pensiunmu di Hangciu dengan danaunya yang
indah sebagai surga menurut kata orang.”
“O, kiranya kau memberi pensiun padaku di dalam penjara dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, malahan
aku harus berterima kasih padamu. Haha!!”
Bab 108. Yim Ngo-heng Menjadi Kaucu Lagi
“Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay pula, “segala macam kebaikanmu padaku selamanya takkan kulupakan.
Tadinya aku cuma seorang hiangcu, termasuk bawahan Tong-toako, tapi engkau menaruh perhatian padaku
dan berulang-ulang memberi kenaikan pangkat padaku, sampai-sampai pusaka kita seperti Kui-hoa-po-tian
juga kau wariskan padaku dan menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi kebaikan ini takkan
kulupakan selama hidup.”
Lenghou Tiong melirik sekejap ke arah mayat Tong Pek-him, pikirnya, “Tadi kau terus-menerus memuji
kebaikan orang tua ini padamu, tapi mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi
kelicikanmu pada Yim-kaucu, masakah beliau dapat kau tipu?”
Namun cara turun tangan Tonghong Put-pay memang benar-benar terlalu cepat, sebelumnya juga tiada tandatanda
sehingga sukar untuk menjaga diri. Terpaksa Lenghou Tiong siapkan pedangnya dengan ujung mengarah
ke dada musuh, asal musuh sedikit bergerak saja segera ia akan mendahului menusuk, kalau sampai musuh
mendahului lagi tentu di dalam kamar ini akan jatuh korban lagi.
Merasakan suasana yang gawat itu, Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Siangkoan In, dan Ing-ing juga
mencurahkan seluruh perhatian terhadap Tonghong Put-pay untuk menghadapi serangan yang mendadak.
Terdengar Tonghong Put-pay berkata lagi, “Semula hasratku hanya ingin menjadi kaucu, ingin panjang umur
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dan merajai jagat, sehingga selalu aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan
menumpas begundalmu. Hiang-hengte, rencanaku ini rasanya sukar mengelabui kau, di dalam Tiau-yang-sinkau,
selain aku dan Yim-kaucu, kau adalah tokoh pilihan pula.”
Dengan memegang cambuknya Hiang Bun-thian menahan napas dengan tegang sehingga tidak berani
menanggapi ucapan Tonghong Put-pay itu.
Tonghong Put-pay menghela napas, lalu berkata pula, “Ketika mulai menjadi kaucu, tadinya aku pun merasa
syur dan ingin berbuat sesuatu yang berguna, kemudian aku meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, lambat
laun dapatlah kurasakan artinya orang hidup, aku meramu dan minum obat, akhirnya aku memahami
kenikmatan orang hidup dan jalan penting menuju kehidupan abadi.”
Mendengarkan uraian Tonghong Put-pay dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakan juga
masuk di akal, jelas otaknya cukup jernih, namun potongannya yang aneh, tidak laki tidak perempuan,
keanehan inilah yang membikin orang mengirik.
Perlahan-lahan sinar mata Tonghong Put-pay beralih ke arah Ing-ing, tiba-tiba ia bertanya, “Yim-toasiocia,
selama ini cara bagaimana aku terhadap dirimu?”
“Kau sangat baik padaku,” jawab Ing-ing.
“Sangat baik kukira juga tidak, hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Tonghong Put-pay
dengan menghela napas gegetun. “Seorang dilahirkan sebagai wanita sudah beratus kali lebih beruntung
daripada kaum lelaki busuk, apalagi kau begini cantik, begini molek, muda dan lincah. Bila aku dapat bertukar
tempat dengan kau, hah, jangankan sebagai Kaucu Tiau-yang-sin-kau, sekalipun menjadi raja juga aku tidak
mau.”
“Bila kau bertukar tempat dengan Yim-toasiocia dan suruh aku menyukai siluman tua macam kau, wah, aku
mesti pikir-pikir dua belas kali lebih dulu,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Yim Ngo-heng dan lain-lain terkejut oleh ucapan Lenghou Tiong itu. Tertampak Tonghong Put-pay
memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak dengan wajah geram, katanya, “Siapa kau?
Berani kau bicara begitu padaku, besar amat nyalimu ya?”
Dasar Lenghou Tiong memang pemberani, terhadap segala urusan apa pun biasanya juga suka acuh tak acuh,
meski sudah tahu keadaan sangat berbahaya juga tak terpikir olehnya, dengan tertawa ia malah mengolok-olok
lagi, “Apakah dia seorang laki-laki gagah atau dia seorang perempuan cantik, tapi yang paling menjemukan
aku adalah teledek (ronggeng) laki-laki yang menyamar sebagai perempuan.”
“Aku tanya kau, siapa kau?” jerit Tonghong Put-pay dengan melengking.
“Aku bernama Lenghou Tiong!”
“Ah, kiranya kau inilah Lenghou Tiong. Sudah lama aku ingin melihat kau. Kabarnya Yim-toasiocia sangat
kesengsem padamu, bagimu dia rela mengorbankan jiwanya, kukira entah betapa cakap dan ganteng kekasih
idam-idamannya itu. Tapi, hm, nyatanya juga cuma begini saja, dibandingkan aku punya Adik Lian, wah,
selisihnya terlalu jauh.”
“Cayhe memang orang biasa saja, yang penting dapat mencintai dengan hati yang bulat dan murni. Tentang
anak bagus she Nyo ini, meski gagah dan ganteng, cuma sayang, dia terlalu bangor, suka petik bunga sini dan
bedol rumput sana, di mana-mana suka main cinta....”
“Apa katamu, keparat! Ngaco-belo kau!” mendadak Tonghong Put-pay menggeram dengan wajah merah
padam terus menubruk maju pula, dengan jarum sulam yang dipegangnya tadi dia menusuk ke muka Lenghou
Tiong.
Rupanya Lenghou Tiong sudah dapat menerka ada hubungan istimewa antara Tonghong Put-pay dan Nyo Lianting,
maka dia sengaja hendak membuatnya marah. Setiap jago silat bila timbul marah akan berarti
berkurangnya pemusatan perhatian dan kepandaiannya akan terpengaruh. Benar juga, saking murkanya
tusukan jarum Tonghong Put-pay itu menjadi rada kaku.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kontan pedang Lenghou Tiong juga bergerak, “sret”, ia pun menusuk tenggorokan lawan. Tusukan ini sangat
cepat, arahnya tepat pula, kalau Tonghong Put-pay tidak menarik diri berarti lehernya akan tembus. Tapi pada
saat itulah tahu-tahu Lenghou Tiong merasa pipi kiri terasa sakit “cekit”, seperti digigit nyamuk, berbareng
pedangnya terguncang ke samping.
Ternyata gerak Tonghong Put-pay benar-benar sukar dibayangkan cepatnya, pada detik secepat kilat itu
jarumnya telah kena menusuk satu kali di pipi Lenghou Tiong, menyusul tangannya ditarik kembali, dengan
jarum sulam itu ditangkisnya pedang Lenghou Tiong itu. Untung tusukan Lenghou Tiong itu pun teramat cepat
dengan arah yang tepat sehingga terpaksa lawan harus menyelamatkan diri pula, karena itu tusukan jarum
Tonghong Put-pay tadi rada menceng, mestinya yang diarah adalah jin-tiong-hiat di bawah hidung sasarannya.
Namun begitu hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil saja Tonghong Put-pay mampu menangkis
pedang Lenghou Tiong sehingga tergetar ke samping, hal ini benar-benar hebat sekali, semua orang sama
menjerit kaget dan kagum. Betapa tinggi ilmu silat Tonghong Put-pay sungguh sukar diukur.
Lenghou Tiong juga terkesiap, sadarlah dia hari ini telah ketemukan lawan tangguh yang belum pernah ditemui
selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi akan berarti jiwa sendiri terancam. Maka tanpa
ayal ia mendahului menyerang, “sret-sret” empat kali, semuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh
musuh.
“Eh, hebat juga ilmu pedangmu!” Tonghong Put-pay merasa heran sambil memuji pula. Berbareng jarumnya
juga bekerja empat kali, semua serangan Lenghou Tiong itu telah dapat ditangkis olehnya.
Mendadak Lenghou Tiong menggertak, pedangnya lantas membacok dari atas. Namun Tonghong Put-pay tetap
menggunakan jarumnya yang diacungkan ke atas, bacokan pedang tertahan, tak sanggup menyambar ke
bawah.
Tangan Lenghou Tiong merasakan linu pegal oleh getaran tenaga lawan, sekonyong-konyong bayangan merah
berkelebat seperti ada sesuatu benda mencolok ke mata kirinya. Dalam keadaan demikian Lenghou Tiong tidak
sempat menghindar maupun menangkis, sebisanya ia puntir pedangnya terus menusuk juga ke mata kiri
Tonghong Put-pay dengan tidak kalah cepatnya, yang dia gunakan adalah serangan gugur bersama musuh.
Cara serangan Lenghou Tiong ini sebenarnya tidak “masuk buku” dalam ilmu silat mana pun juga, namun
Tokko-kiu-kiam yang diyakinkan Lenghou Tiong itu memang tiada punya jurus serangan yang tetap, semuanya
tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya.
Lantaran sudah kepepet, maka tanpa pikir Lenghou Tiong juga melancarkan serangan yang sama dengan
musuhnya. Begitulah segera ia merasa alis kiri sendiri terasa sakit cekit-cekit lagi, berbareng Tonghong Put-pay
juga melompat ke samping untuk menghindarkan tusukan pedang.
Tahulah Lenghou Tiong bahwa alis kiri sendiri telah kena tusukan jarum lawan, untung Tonghong Put-pay
terpaksa harus menghindarkan ancaman pedangnya sehingga jarumnya mengenai tempat yang kurang tepat,
kalau tidak mata kirinya tentu sudah tertusuk buta. Saking kaget dan khawatirnya, segera Lenghou Tiong
melancarkan serangan-serangan gencar, lawan tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Melihat gelagat jelek, tanpa bicara lagi Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian ikut menerjang maju. Tiga tokoh
terkemuka bertempur bersama, sekalipun beribu-ribu prajurit juga tak mampu menandingi mereka, namun
Tonghong Put-pay dengan hanya sebatang jarum sulam saja ternyata dapat menyelinap kian-kemari di antara
mereka bertiga secepat kilat, sedikit pun tiada tanda-tanda akan terkalahkan.
Segera Siangkoan In mencabut goloknya dan maju membantu, keadaan menjadi empat lawan satu sekarang.
Pada saat paling sengit, mendadak Siangkoan In menjerit, goloknya terpental jatuh, orangnya terjungkal
sambil kedua tangan menutup mata kanannya, rupanya sebelah matanya telah tertusuk buta oleh jarum
Tonghong Put-pay.
Melihat serangan kedua temannya bertambah hebat, Tonghong Put-pay tiada kesempatan melakukan serangan
padanya, segera Lenghou Tiong hidupkan pedangnya, selalu menusuk tempat-tempat mematikan di tubuh
musuh.
Kalau menilai ilmu pedang Lenghou Tiong, meski tokoh-tokoh seperti Tiong-hi Totiang yang terhitung jago
pedang nomor wahid juga tidak mampu menahan serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai itu, namun Tonghong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Put-pay benar-benar luar biasa, dia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng dan gesit laksana
setan saja. Setiap kali tusukan Lenghou Tiong selalu mengarah tempat yang tak terjaga, tapi gerak tubuh
Tonghong Put-pay terlalu cepat, pada detik-detik terakhir selalu dapat menghindarkan diri.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Hiang Bun-thian menjerit perlahan, menyusul Lenghou Tiong juga berteriak
tertahan, badan kedua orang sama-sama terkena tusukan jarum Tonghong Put-pay.
Walaupun ilmu “Gip-sing-tay-hoat” yang diyakinkan Yim Ngo-heng sangat tinggi, namun gerak tubuh Tonghong
Put-pay terlalu cepat, sukar untuk beradu tangan dengan dia, pula senjata lawan itu cuma sebatang jarum
sulam, untuk menyedot tenaga dalamnya melalui jarum sekecil itu terang tidak mungkin.
Tidak lama kemudian, Yim Ngo-heng juga berteriak perlahan, dada dan tenggorokannya juga terkena tusukan
jarum, untung saat itu Lenghou Tiong sedang menyerang dengan gencar sehingga Tonghong Put-pay terpaksa
harus membela diri, maka tusukan jarumnya kurang tepat atau kurang dalam menusuknya.
Empat orang mengerubuti Tonghong Put-pay sendirian, tapi keempat orang tidak mampu menyentuh bajunya
sekali pun, sebaliknya keempat orang malah kena ditusuk oleh jarumnya.
Menyaksikan itu, Ing-ing menjadi khawatir, bila jarum itu berbisa, maka akibatnya sukar dibayangkan nanti.
Pikirnya, “Tampaknya dengan satu lawan tiga tokoh Tonghong Put-pay tetap lebih unggul, kalau aku ikut maju
mungkin malah akan mengganggu belaka dan mempercepat kemenangan lawan.”
Sekilas Ing-ing melihat Nyo Lian-ting telah duduk di tepi ranjang dan sedang mengikuti pertarungan sengit itu.
Tiba-tiba tergerak hati Ing-ing, perlahan-lahan ia menggeser ke sana, secara mendadak ia angkat pedang
pendek di tangan kiri terus menikam, tepat bahu kanan Nyo Lian-ting tertusuk.
Karena tidak tersangka-sangka, Nyo Lian-ting menjerit kaget dan kesakitan. Tapi menyusul Ing-ing menambahi
satu tusukan lagi, sekali ini pada pahanya.
Rupanya Nyo Lian-ting dapat mengetahui maksud tujuan Ing-ing yang inginkan suara jeritannya untuk
memencarkan perhatian Tonghong Put-pay, maka dia tidak menjerit lagi, sebaliknya ia menahan sakit
sebisanya.
“Kau mau menjerit tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ing-ing sambil ayun pedangnya,
benar juga sepotong jari musuh segera ditebasnya.
Di luar dugaan Nyo Lian-ting itu memang bandel, biarpun terluka di sana-sini dan jarinya putus pula, namun
sedikit pun ia tidak bersuara.
Namun begitu jeritan pertamanya tadi toh sudah didengar oleh Tonghong Put-pay. Ia sempat melirik dan
melihat Ing-ing mendekati dan sedang mengancam Nyo Lian-ting, keruan ia menjadi khawatir dan gelisah,
tanpa pikir ia terus menubruk ke arah Ing-ing memaki, “Budak keparat!”
Cepat Ing-ing mengegos, ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan tusukan jarum
Tonghong Put-pay. Dalam pada itu dengan cepat sekali pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah
menusuk ke punggung Tonghong Put-pay. Sedangkan cambuk Hiang Bun-thian menyabet ke atas kepala Nyo
Lian-ting.
Ternyata Tonghong Put-pay sama sekali tidak memikirkan keselamatan sendiri, ia tidak berusaha menangkis
tusukan-tusukan pedang dari belakang itu, sebaliknya jarum terus membalik, “crit”, tepat dada Hiang Bunthian
tertusuk.
Kontan sekujur badan Hiang Bun-thian terasa kesemutan, cambuk jatuh ke lantai. Pada saat itu pula kedua
pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah menubles ke dalam punggung Tonghong Put-pay. Dengan
tubuh tergetar Tonghong Put-pay menubruk ke atas badan Nyo Lian-ting.
Yim Ngo-heng sangat girang, ia tarik pedangnya, lalu ujung pedang mengancam di belakang leher Tonghong
Put-pay sambil membentak, “Tonghong Put-pay, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”
Sementara itu Ing-ing belum lagi pulih dari cemasnya, kedua kakinya terasa lemas, tubuh sempoyongan
hendak roboh. Cepat Lenghou Tiong memayangnya, dilihatnya satu jalur kecil berdarah menetes di pipi kiri si
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nona.
“Kau telah banyak terluka oleh jarumnya,” kata Ing-ing malah. Ia terus mengusap muka Lenghou Tiong dengan
lengan bajunya, maka tertampaklah berbintik-bintik darah memenuhi lengan baju itu.
Biarpun tidak mengaca juga Lenghou Tiong tahu mukanya sendiri telah banyak dicocok oleh jarum lawan.
Dilihatnya kedua luka di punggung Tonghong Put-pay mengucurkan darah dengan deras, nyata lukanya sangat
parah, tapi mulutnya toh masih berseru, “Adik Lian, O, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menganiaya
kau, kejam sekali mereka ini!”
Nyo Lian-ting menjadi marah malah, omelnya, “Biasanya kau suka sombong, katanya ilmu silatmu tiada
tandingannya di seluruh jagat, mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”
“Aku... aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me... mereka rata-rata sangat... sangat tinggi,”
jawab Tonghong Put-pay dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan terus terguling di tanah.
Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Yim Ngo-heng mengayun pedangnya
sehingga paha kiri Tonghong Put-pay terbacok.
“Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay dengan menyengir, “akhirnya kau yang menang, aku sudah kalah.”
“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Yim Ngo-heng dengan terbahak-bahak.
“Tidak, buat apa diganti?” ujar Tonghong Put-pay sambil menggeleng. “Meski aku sudah kalah, tapi juga takkan
hidup lagi di dunia ini. Coba... coba kalau bertempur satu lawan satu, kau pasti tak bisa mengalahkan aku.”
Yim Ngo-heng tertegun, jawabnya kemudian, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripadaku, aku kagum
padamu.”
“Lenghou Tiong, ilmu pedangmu memang sangat tinggi, tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan
tandinganku,” kata Tonghong Put-pay pula.
“Betul,” jawab Lenghou Tiong. “Padahal biarpun kami berempat mengeroyok kau sekaligus juga tak dapat
mengalahkan kau. Soalnya kau mengkhawatirkan orang she Nyo itu sehingga perhatianmu terpencar dan
akhirnya dirobohkan. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan pantas disebut ‘nomor satu di dunia ini’. Cayhe
benar-benar sangat kagum.”
“Kalian berdua berani bicara demikian, hal ini memperlihatkan sifat kesatria sejati kalian,” kata Tonghong Putpay
dengan tersenyum. “Ai, sungguh sebal. Aku telah meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu, aku meramu
dan minum obatnya, aku menurutkan resep rahasia di dalam kitab itu pula sehingga kebiri diri sendiri dan
berlatih lwekangnya, lambat laun kumis jenggotku menjadi kelimis, suaraku berubah, watakku juga berubah.
Aku tidak suka pada perempuan lagi, tapi... tapi mencurahkan perhatian kepada laki-laki gagah seperti Nyo
Lian-ting ini. Semua ini bukankah sangat aneh? Meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu entah
mendatangkan bahagia atau kemalangan, tapi kalau aku dilahirkan sebagai wanita tentu akan sangat baik.
Yim-kaucu, segera aku... aku akan mati, ingin kumohon se... sesuatu padamu, harap engkau sudi... sudi
meluluskan.”
“Urusan apa?” tanya Yim Ngo-heng.
“Harap kau suka mengampuni jiwa Nyo Lian-ting, usir saja dia pergi dari Hek-bok-keh ini,” pinta Tonghong Putpay.
“Mana boleh,” jawab Ngo-heng. “Aku justru akan mengiris-iris dagingnya, akan kumampuskan dia dalam waktu
seratus hari, ini hari kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan....”
“Ke... kejam amat kau!” mendadak Tonghong Put-pay berteriak sambil melompat bangun terus menubruk ke
arah Yim Ngo-heng.
Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan itu tetap sangat dahsyat. Yim Ngo-heng sempat
memapaknya dengan tusukan pedang sehingga dari dada menembus ke punggung. Tapi pada saat yang sama
Tonghong Put-pay menjentik jarinya, jarum yang dipegangnya itu terus menyambar ke depan dan menancap di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tengah mata kanan Yim Ngo-heng. Untung waktu itu kekuatan Tonghong Put-pay sudah lemah, kalau tidak
bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke dalam otak dan jiwa akan melayang. Namun begitu biji
mata kanan Yim Ngo-heng itu jelas sudah rusak, pasti akan buta sebelah.
Cepat Ing-ing mendekati sang ayah, dilihatnya ekor jarum yang tertampak dari luar hanya sebagian kecil saja,
ternyata jarum itu hampir seluruhnya menancap ke dalam rongga mata. Segera ia mencari bingkai sulam yang
dibuang Tonghong Put-pay tadi, dari situ dilolosnya seutas benang, dengan hati-hati ia menyusup mata jarum
dengan benang itu, kemudian ia pegang kedua ujung benang, lalu dicabut.
Yim Ngo-heng menjerit, jarum itu telah tercabut keluar dan tergantung di bawah benang dengan membawa
beberapa tetes darah.
Dengan murka Yim Ngo-heng ayun sebelah kakinya, mayat Tonghong Put-pay itu ditendang sekerasnya.
Kontan mayat itu mencelat, “blang”, dengan tepat menabrak kepala Nyo Lian-ting. Tendangan Yim Ngo-heng di
waktu kalap itu sungguh luar biasa, kepala Tonghong Put-pay dan kepala Nyo Lian-ting saling bentur, keruan
kepala pecah dan otak hancur.
Yim Ngo-heng telah dapat membalas dendam dan rebut kembali kedudukan Kaucu Tiau-yang-sin-kau, akan
tetapi lantaran itu pula telah kehilangan sebelah matanya, seketika rasa girang dan murka berkecamuk, ia
menengadah dan bergelak tertawa keras-keras, suaranya menggetar sukma.
“Selamatlah Kaucu telah dapat membalas dendam, sejak kini agama kita di bawah pimpinan Kaucu tentu akan
makin berkembang. Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat,” kata Siangkoan In.
Kalau tadinya Yim Ngo-heng merasa risi oleh istilah-istilah sanjung puji itu, tapi sekarang tiba-tiba merasa
syur, kalau benar bisa panjang umur dan merajai jagat ini sungguh suatu kebahagiaan orang hidup. Karena itu
kembali ia bergelak tertawa pula, tertawa yang puas dan senang.
Sementara itu Hiang Bun-thian yang dadanya tertutuk oleh jarum Tonghong Put-pay, setelah mengalami
kesemutan sebentar, sekarang keadaannya sudah pulih kembali, segera ia pun mengucapkan selamat kepada
sang kaucu.
“Pertarungan yang menentukan ini kau pun berjasa besar,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa, lalu ia
berpaling kepada Lenghou Tiong, “Anak Tiong juga tak terhingga jasanya.”
“Tapi kalau Ing-ing tidak mengerjai Nyo Lian-ting, mungkin tidaklah mudah untuk mengalahkan Tonghong Putpay,”
ujar Lenghou Tiong. “Untunglah jarumnya itu tidak berbisa.”
Dengan perasaan yang belum tenang akan pertarungan sengit tadi, Ing-ing berkata, “Sudahlah, tak perlu
dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Waktu kecil sering aku dipondongnya dan diajak pergi
jalan-jalan ke gunung dan memetik buah segala, siapa tahu akhirnya dia berubah menjadi begini.”
Dari baju Tonghong Put-pay dapatlah Yim Ngo-heng merogoh keluar sejilid buku yang tipis dan tampaknya
sudah kuno. Diacungkannya buku itu dan berkata, “Inilah buku yang disebut ‘Kui-hoa-po-tian’. Di atas jelas
tercatat: Ingin meyakinkan ilmu sejati, ambil pisau kebiri diri sendiri. Haha, masakah aku begitu bodoh mau
melakukan perbuatan tolol demikian...” sampai di sini mendadak ia menggumam, “akan tetapi ilmu silat yang
tertulis di atas kitab ini memang amat lihai, setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya.
Tatkala mana untung aku sudah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kalau tidak bukan mustahil aku pun
akan meyakinkan ilmu yang tertera di dalam kitab ini.”
Dia mendepak satu kali pula pada mayat Tonghong Put-pay, katanya dengan tertawa, “Hah, biarpun kau licin
seperti setan juga tidak tahu maksud tujuanku memberikan kitab ini padamu. Ambisimu besar, semangatmu
menyala-nyala, dan bermaksud naik ke atas, memangnya kau kira aku tidak tahu watakmu itu. Hahahahaha!”
Hati Lenghou Tiong terkesiap, baru sekarang ia tahu kiranya tujuan Yim-kaucu memberikan Kui-hoa-po-tian
kepada Tonghong Put-pay bukanlah timbul dari maksud baik, tapi keduanya sama-sama punya rencana dan
tujuan tertentu. Dilihatnya mata kanan Yim Ngo-heng yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi
dia mengakak dengan mulut lebar, tampangnya menjadi lebih beringas dan menyeramkan.
Tiba-tiba Yim Ngo-heng meraba selangkangan Tonghong Put-pay, benar juga terasa kedua “bola wasiat” di
bagian situ sudah lenyap, memang betul sudah dikebiri. Dengan tertawa ia berkata pula, “Bila kaum thaykam
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
(orang kasim) yang meyakinkan ilmu dalam kitab ini tentulah sangat tepat.”
Habis berkata ia remas-remas kitab pusaka itu dan digosok-gosok dengan kedua tangan, ketika kemudian ia
membuka kedua tangannya, bertaburanlah kertas kecil-kecil, hancurlah kitab yang sudah amat kuno dan lapuk
itu.
Ing-ing mendesis lega, katanya perlahan, “Benda celaka begitu memang paling baik dihancurkan saja.”
“Apa kau khawatir aku juga meyakinkan ilmunya?” kata Lenghou Tiong dengan perlahan.
“Cis, bicara tak keruan!” omel Ing-ing dengan muka merah. Lalu ia mengeluarkan obat luka untuk membubuhi
luka-luka ayahnya, Siangkoan In dan lain-lain.
Begitulah Yim Ngo-heng berlima lantas keluar dari kamar Tonghong Put-pay itu dan kembali ke balairung. Yim
Ngo-heng memberikan perintah agar para tongcu, hiangcu, dan pimpinan lain datang menghadap. Dengan
berduduk di atas singgasana kaucu, Yim Ngo-heng merasa Tonghong Put-pay memang pintar dan bisa
menikmati hidupnya sebagai seorang kaucu yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas podium, jaraknya cukup
jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya lantas timbul rasa jeri dan hormat anak
buahnya.
“Coba kemarilah, Anak Tiong,” ia memanggil Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong lantas mendekatinya.
“Anak Tiong,” kata Yim Ngo-heng pula, “ketika di Hangciu dahulu aku pernah mengajak kau supaya masuk
agama kita. Waktu itu aku sendirian dan baru lepas dari kesukaran, apa-apa yang kukatakan tentunya tak bisa
kau percayai, tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana kaucu, maka urusan
pertama tiada lain tetap persoalan dahulu...” sampai di sini ia tepuk-tepuk tempat duduknya dan menyambung
pula, “tempat ini lambat atau cepat tentu juga akan kau duduki. Hahahahaha!”
“Kaucu,” jawab Lenghou Tiong, “betapa baik budi Ing-ing padaku, apa yang engkau kehendaki atas diriku
sepantasnya tidak dapat kutolak. Cuma aku sudah berjanji kepada orang akan menyelesaikan sesuatu urusan
penting, maka tentang masuk agama terpaksa tidak dapat kupenuhi.”
Perlahan-lahan kedua alis Yim Ngo-heng menegak, katanya dengan suara dingin, “Apa akibatnya bagi orang
yang tidak tunduk kepada keinginanku, tentu kau cukup tahu!”
Cepat Ing-ing mendekati Lenghou Tiong dan memegang tangannya, katanya, “Ayah, hari ini adalah hari
bahagiamu karena menduduki kembali singgasanamu, kenapa mesti ribut urusan soal kecil ini? Tentang
masuknya dia ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”
Dengan mata kirinya Yim Ngo-heng melerok kepada kedua muda-mudi itu, dengusnya kemudian, “Ing-ing,
sekarang yang kau inginkan cuma suami dan tidak mau ayah lagi ya?”
Cepat Hiang Bun-thian menengahi dengan tertawa, “Kaucu, Lenghou-hiante adalah kesatria muda yang
berwatak kukuh, biarlah nanti kuberi pengertian padanya....”
Bicara sampai di sini, terdengarlah di luar balairung suara belasan orang berseru berbareng, “Para tongcu dan
hiangcu dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu mahaagung dan mahabijaksana, semoga Kaucu
panjang umur dan....” begitulah disertai istilah-istilah sanjung puji yang muluk-muluk.
“Masuk!” bentak Yim Ngo-heng.
Maka muncullah belasan laki-laki kekar ke dalam balairung, serentak berlutut dan menyembah secara berjajarjajar.
Dahulu ketika Yim Ngo-heng menjabat kaucu selamanya ia saling sebut saudara dengan para anggota Tiauyang-
sin-kau, di waktu bertemu dan memberi hormat paling-paling juga cuma soja (dengan mengepal kedua
tangan di depan dada) melulu. Kini melihat orang-orang itu sama menyembah padanya, cepat Yim Ngo-heng
berbangkit dan bermaksud mencegah. Tapi tiba-tiba terpikir olehnya bahwa seorang pimpinan harus berwibawa
dan mengadakan peraturan-peraturan yang mengikat, kalau Tonghong Put-pay sudah mengadakan tata cara
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyembah segala, apa salahnya peraturan ini diteruskan. Karena pikiran ini ia urung mencegah dan duduk
kembali di tempatnya.
Tidak lama, kembali suatu rombongan lain masuk memberi hormat, sekali ini Yim Ngo-heng tidak berdiri lagi,
penghormatan itu diterimanya dengan senang hati sambil manggut-manggut.
Sementara itu Lenghou Tiong sudah mengundurkan diri ke ambang pintu balairung, jaraknya sudah jauh
dengan singgasana sang kaucu, cahaya lilin juga remang-remang, dipandang dari jauh wajah Yim Ngo-heng
tampak samar-samar, tiba-tiba timbul pikirannya, “Yang duduk di atas singgasana itu Yim Ngo-heng atau
Tonghong Put-pay? Apa sih bedanya di antara mereka?”
Didengarnya para tongcu dan hiangcu di balairung itu ramai memberikan pujian-pujian kepada sang kaucu.
Rupanya di antaranya banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mereka mengabdi kepada
Tonghong Put-pay, kalau sekarang Yim-kaucu mengusut perbuatan mereka itu tentu bisa celaka. Sebagian lagi
mungkin adalah orang baru, hakikatnya mereka tidak kenal siapa Yim Ngo-heng, tapi mereka sudah biasa
menyanjung dan mengumpak Tonghong Put-pay serta Nyo Lian-ting agar terhindar dari bahaya dan mungkin
malah bisa naik pangkat, maka seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuja untuk menarik perhatian
kaucu baru.
Saat itu sang surya sudah menongol di ufuk timur, sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung
sehingga tertampak bayangan punggung ratusan orang yang berlutut di situ sedang menyerukan puja-puji
yang memualkan, pikir Lenghou Tiong, “Sebenarnya kalau aku sudah menyelesaikan urusan Ngo-gak-kiampay,
bila Ing-ing berkeras minta aku masuk Tiau-yang-sin-kau, rasanya sukar bagiku untuk menolaknya. Tapi
kalau aku diharuskan berbuat seperti ratusan orang ini, betapa pun aku tidak sanggup. Semula kukira tingkah
laku demikian ini adalah permainan Tonghong Put-pay dan Nyo Lian-ting yang bertujuan menyiksa anak
buahnya, tapi melihat gelagatnya sekarang Yim-kaucu juga sangat senang dipuji, sedikit pun tidak merasa risi.”
Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa Yim Ngo-heng berkumandang dari ujung balairung sana,
katanya, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah pimpinan Tonghong Put-pay telah diketahui dengan jelas
dan telah kucatat satu per satu. Namun sang kaucu takkan mengusut kejadian yang sudah-sudah, asalkan
selanjutnya kalian setia dan berbakti kepada sang kaucu. Tapi bila ada seorang yang berani membangkang dan
berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan sekaligus dituntut. Seorang bersalah, segenap keluarganya ikut
bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”
Serentak orang-orang itu menyatakan terima kasih mereka atas kemurahan hati sang kaucu serta menyatakan
kesetiaan mereka selanjutnya. Dari suara mereka yang gemetar itu jelas dalam hati mereka itu sangat takut.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Cara Yim-kaucu tiada ubahnya seperti Tonghong Put-pay, menegakkan
wibawa dengan kekerasan, meski lahirnya orang-orang itu tunduk, tapi dalam hati tentu memberontak, lalu
dari mana ‘kesetiaan’ mereka bisa dipercayakan?”
Menyusul lantas ada orang membongkar dosa Tonghong Put-pay, katanya bekas kaucu itu terlalu memercayai
Nyo Lian-ting dan main bunuh secara sewenang-wenang. Ada pula yang mengadu, katanya Tonghong Put-pay
suka korupsi, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi. Ada lagi yang mengoceh, katanya ilmu silat
Tonghong Put-pay sebenarnya sangat rendah, tapi suka berlagak dan main gertak melulu. Yang paling
menggelikan ialah pengaduan seorang yang katanya Tonghong Put-pay sangat cabul, suka main perempuan
dan memerkosa anak istri anak buahnya.
Padahal sudah jelas Tonghong Put-pay demi untuk meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, maka dia telah
kebiri alat kelamin sendiri sehingga sudah jadi banci, dengan cara bagaimana dia bisa main perempuan dan
perkosa anak istri orang? Sungguh terlalu lucu. Saking gelinya Lenghou Tiong sampai terbahak-bahak sehingga
suaranya berkumandang memenuhi balairung itu. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan
mata melotot gusar.
Ing-ing tahu kekasihnya telah menimbulkan onar, lekas ia tarik tangan Lenghou Tiong, katanya, “Mereka
sedang membicarakan urusan Tonghong Put-pay, tiada sesuatu yang menarik, marilah kita turun ke bawah
saja.”
“Ya, jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Lenghou Tiong dengan menjulurkan
lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah dengan keranjang kerekan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mereka berdua duduk bersanding di dalam keranjang, awan putih mengambang di sekeliling mereka, Lenghou
Tiong merasa apa yang baru terjadi itu sebagai mimpi saja. Ia pikir selanjutnya betapa pun aku takkan naik ke
atas Hek-bok-keh lagi.
“Apa yang sedang kau renungkan, Engkoh Tiong?” tanya Ing-ing tiba-tiba.
“Apakah kau mau pergi bersama aku?” kata Lenghou Tiong.
Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “Tapi kita belum... belum lagi menikah, mana boleh
aku ikut pergi dengan kau?”
“Bukankah dahulu kau pun ikut aku berkelana di dunia Kang-ouw?” ujar Lenghou Tiong.
Bab 109. Antara Guru Dogol dan Murid Istimewa
“Dahulu itu kan terpaksa, apalagi lantaran itu telah timbul banyak omongan-omongan iseng,” kata Ing-ing.
“Tadi Ayah mengatakan aku... aku hanya memikirkan kau dan tidak mau ayah lagi, kalau sekarang aku benar
ikut pergi bersama kau tentu Ayah tambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan
tahun agaknya watak Ayah rada-rada berubah aneh, kupikir harus menjaganya dengan baik-baik dan tidak
tega berpisah dengan beliau. Asalkan hatimu tidak berubah, selanjutnya waktu berkumpul kita kan masih
panjang?”
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan lirih sehingga hampir-hampir tak terdengar. Kebetulan waktu itu
segumpal mega putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalam awan. Meski mereka duduk
bersanding, namun tampaknya hanya remang-remang, jarak keduanya seperti sangat jauh.
Setiba di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, dengan suara berat Ing-ing bertanya, “Apakah kau
akan terus berangkat?”
“Ya,” jawab Lenghou Tiong. “Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay telah mengundang segenap anggota Ngo-gakkiam-
pay untuk berkumpul pada tanggal 15 bulan tiga untuk memilih ketua Ngo-gak-pay. Dia punya ambisi
sangat besar dan bermaksud buruk terhadap kesatria-kesatria seluruh jagat. Maka pertemuan di Ko-san itu
harus kuhadiri.”
Ing-ing mengangguk, katanya, “Engkoh Tiong, ilmu pedang Co Leng-tan bukan tandinganmu, tapi kau harus
hati-hati terhadap tipu muslihatnya.”
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Ing-ing menyambung pula, “Mestinya aku ingin ikut pergi, cuma aku adalah
perempuan Mo-kau, kalau pergi ke Ko-san bersama kau tentu akan merintangi urusanmu.”
Ia merandek sejenak, kemudian meneruskan dengan rasa cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi ketua Ngogak-
pay, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan kita dari golongan cing dan sia yang tidak
sama, kukira urusan kita akan... akan lebih sulit.”
“Dalam keadaan begitu masakah kau masih tidak memercayai diriku?” ujar Lenghou Tiong dengan suara halus
dan memegang tangan nona erat-erat.
“Tentu saja aku percaya,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata pula dengan khawatir,
“Cuma kurasa semakin tinggi ilmu silat yang dicapai seseorang, semakin besar pula namanya di dunia
persilatan, sering kali hal ini akan mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi macam-macam
urusan selalu berlainan dengan masa-masa sebelumnya. Tonghong-sioksiok begitu, kukhawatir Ayah mungkin
juga akan begitu.”
“Kau jangan khawatir, Ing-ing,” kata Lenghou Tiong. “Orang lain mungkin begitu, tapi aku pasti tidak.
Pembawaanku adalah suka terus terang, tidak bisa berlagak. Andaikan aku menjadi sombong dan kepala besar,
tapi di hadapanmu aku akan tetap seperti sekarang.”
“Jika begitu tentu sangat baik,” ujar Ing-ing.
Lenghou Tiong menarik tubuh si nona lebih dekat, perlahan-lahan merangkul pinggangnya, katanya pula,
“Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Ko-san itu beres segera aku akan datang
mencari kau. Sejak itu kita berdua takkan berpisah pula.”
Sorot mata Ing-ing menjadi terang, memancarkan cahaya yang aneh, katanya dengan berat, “Semoga
usahamu berhasil dengan baik dan secepatnya kembali. Siang dan malam aku... aku menantikan kau di sini.”
“Baiklah,” kata Lenghou Tiong sambil perlahan-lahan mencium pipi si nona.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Keruan wajah Ing-ing menjadi merah, dengan malu ia mendorong perlahan. Lenghou Tiong terbahak-bahak
dan mendekati kudanya, dicemplaknya ke atas kuda dan dilarikan meninggalkan pusat Tiau-yang-sin-kau itu.
Suatu hari sampailah Lenghou Tiong di Hing-san. Beramai-ramai anak murid Hing-san-pay menyambut
kembalinya sang ketua dengan gembira. Tidak antara lama para kesatria yang tinggal di puncak seberang juga
membanjir tiba untuk menemui Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong menanyakan keadaan mereka selama ditinggal pergi, menurut Coh Jian-jiu para kesatria itu
hidup prihatin, semuanya giat berlatih dengan tertib, tiada seorang pun yang berani datang ke puncak induk.
Lenghou Tiong bersyukur bahwa mereka bisa menjaga peraturan dengan baik.
Sementara itu pertemuan di Ko-san pada tanggal 15 bulan tiga sudah mendekat, Lenghou Tiong lantas berkata
kepada mereka, “Tempo hari waktu aku diangkat menjadi ketua, pihak Ko-san-pay telah mengutus seorang
bernama Lim Ho dengan membawa apa yang disebut Ngo-gak-leng-ki dan mengharuskan aku berkumpul di Kosan
pada tanggal 15 bulan tiga yang akan datang, hal mana tentu kalian ikut menyaksikan bukan?”
“Benar, tapi buat apa ambil pusing?” ujar Tho-kin-sian. “Silakan Ciangbunjin memberikan sebuah Ngo-gakleng-
ki padaku, biar aku pergi ke Ko-san dan suruh ketua mereka yang datang ke Hing-san sini.”
“Kalau dia tidak mau datang, lantas bagaimana?” sela Tho-ki-sian.
“Jika kau apa yang akan kau lakukan?” Tho-kin-sian balas bertanya.
“Begini, bret, habis perkara,” timbrung Tho-yap-sian sambil kedua tangannya bergerak seperti merobek
sesuatu. Maksudnya kalau perlu Co Leng-tan dirobek saja menjadi empat potong. Maka bergelak tertawalah
semua orang.
“Tapi katanya para ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay akan berkumpul semua pada hari yang ditentukan itu,
kalau kita memanggil ketua Ko-san-pay itu ke sini, untuk itu kita harus memberi makan-minum padanya, kita
kan rugi kalau begini? Pula kurang ramai. Maka aku berpendapat ada lebih baik kalau kita beramai-ramai
mendatangi Ko-san, kita makan dan minum suguhannya, ribuan orang kita makan-minum sepuas-puasnya biar
dia jatuh bangkrut, cara begini kan lebih baik?” kata Lenghou Tiong.
Memangnya para kesatria itu sudah bosan hidup menyepi, keruan serentak mereka bersorak gembira
mendengar usul Lenghou Tiong.
“Dan setiba di Ko-san nanti cara kalian makan-minum juga tidak perlu sungkan-sungkan agar orang tahu
bahwa kita selamanya tidak pernah berhemat dalam hal makan-minum,” demikian Lenghou Tiong
menambahkan.
Begitulah besok paginya rombongan besar mereka lantas berangkat menuju ke Ko-san. Beberapa hari
kemudian sampailah mereka di tepi Hongho dan berkemah di situ malamnya. Esok paginya ketika Lenghou
Tiong bangun, ia merasa suasana sekitarnya sunyi senyap, sama sekali berbeda daripada biasanya. Semalam ia
adu minum arak dengan para kesatria sehingga tidurnya terlalu lelap. Kini ia merasakan sesuatu yang kurang
baik, jangan-jangan karena mabuknya semalam sehingga para anak murid perempuan masuk perangkap
musuh.
Cepat Lenghou Tiong mengenakan baju dan keluar kemah sambil memanggil Gi-lim dan lain-lain. Dengar
panggilan sang pemimpin, Gi-lim dan teman-temannya lantas muncul dan menanyakan ada urusan apa.
Melihat Gi-lim dan lain-lain baik-baik saja, Lenghou Tiong merasa lega. Tiba-tiba datang Gi-jing dan melapor
dengan tertawa, “Toasuko, kawan-kawan priamu itu semalam entah betapa banyak menenggak arak, masakah
sampai saat ini tiada seorang pun yang bangun.”
Waktu Lenghou Tiong mendongak, dilihatnya sang surya sudah cukup tinggi di ujung timur. “Masakah tiada
seorang pun yang bangun?” ia menegas.
“Ya, tiada seorang pun, memang rada aneh,” ujar Gi-lim dengan tersenyum.
Seketika Lenghou Tiong merasa ada sesuatu yang tidak beres, mustahil di antara ribuan orang itu tiada
seorang pun yang bangun pagi karena mabuk-mabukan semalam, apalagi di antara mereka sedikitnya ada
berpuluh orang yang tidak gemar minum arak.
Dengan perasaan tidak enak, cepat Lenghou Tiong mendatangi kemah para kesatria, ternyata di situ dalam
keadaan kosong melompong tiada seorang pun. Hanya ditemukan secarik surat yang ditandatangani oleh Keh
Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain, bunyi surat itu mengatakan bahwa semalam mereka menerima
Hek-bok-leng dari Sin-yang-kaucu yang memberi perintah agar segenap kesatria itu segera pulang ke Hek-bokkeh,
karena terburu-buru sehingga tidak sempat mohon diri, maka Lenghou Tiong diminta sudi memberi maaf.
Melihat surat itu, legalah hati Lenghou Tiong walaupun rada bingung juga karena tidak tahu apa sebabnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mendadak Yim-kaucu memerintahkan semua orang itu meninggalkannya? Ia pikir tentu Yim-kaucu tidak
senang karena penolakannya masuk menjadi anggota Sin-kau, pula dirinya telah tertawa ketika mereka
mencaci maki Tonghong Put-pay di balairung panjang tempo hari, tentu hal ini telah membuat Yim-kaucu
marah pula.
Dalam pada itu Gi-lim, Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga sudah menyusul tiba, mereka pun terheran-heran
setelah mengetahui kepergian para kesatria tanpa pamit.
“Kebetulan juga kalau mereka sudah pergi semua,” ujar Gi-ho. “Di sini mereka hanya bikin rusuh saja dan kita
harus khawatir setiap hari.”
Pada saat itu sekonyong-konyong di kemah sebelah sana ada suara gedubrakan. “Apa itu?” seru Gi-ho sambil
berlari ke sana. Ternyata ada beberapa orang bertumpang-tindih menjadi satu, kiranya Tho-kok-lak-sian
adanya. Cepat ia berseru, “Lekas kemari, Toasuko!”
Lenghou Tiong memang sudah menyusul tiba dan menyaksikan keadaan Tho-kok-lak-sian yang lucu itu. Cepat
ia mendekati dan menurunkan Tho-kin-sian yang berada paling atas.
Ternyata di mulut Tho-kin-sian tersumbat satu buah tho, segera Lenghou Tiong mengoreknya keluar. Tapi
begitu mulutnya bebas, kontan Tho-kin-sian memaki, “Keparat, bedebah, jahanam! Nenek moyangmu
disambar geledek....”
“Eh, Tho-kin Toako, aku kan tidak salah padamu, kenapa kau mencaci maki aku?” kata Lenghou Tiong dengan
tertawa.
“Aku tidak memaki kau,” kata Tho-kin-sian. “Bangsat, pura-pura ajak minum, tapi mendadak menutuk hiattoku.
Dasar keparat, Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu memang bangsat....”
Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Soalnya Tho-kok-lak-sian bukan anggota Mo-kau,
dengan sendirinya mereka tidak terikat oleh perintah Yim Ngo-heng. Sebaliknya Lo Thau-cu dan lain-lain
khawatir keenam orang dogol itu melaporkan kepergian mereka, maka secara tak terduga-duga mereka
menutuk hiat-to Tho-kok-lak-sian serta menyumbat pula mulut mereka.
Begitulah Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to Tho-kin-sian yang tertutuk itu, lalu tinggal keluar. Tapi
sampai lama sekali tidak tampak Tho-kok-lak-sian keluar. Ia heran, ia coba masuk lagi, dilihatnya Tho-kin-sian
sedang mondar-mandir di situ dengan tersenyum-senyum, ternyata sejak tadi dia tidak memberi pertolongan
kepada kelima saudaranya yang lain.
Dengan tertawa geli Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to kelima orang yang masih tumpang-tindih itu, lalu
cepat keluar lagi. Maka terdengarlah segera suara gedebukan di dalam, terang keenam saudara itu sedang
saling tonjok.
Lenghou Tiong berjalan menyusuri jalan tepi sawah sambil membayangkan kedogolan Tho-kok-lak-sian. Tibatiba
terpikir olehnya, “Mendadak Yim-kaucu memerintahkan segenap anak buahnya kembali ke Hek-bok-keh di
luar tahuku, ini menandakan dia sangat marah padaku. Yang paling tidak enak dalam hal ini tentulah Ing-ing
karena serbasusah, di suatu pihak dia harus tunduk kepada ayahnya, di lain pihak dia ingin membela aku.”
Teringat kepada Ing-ing, tanpa terasa Lenghou Tiong menghela napas.
Tiba-tiba di belakangnya suara seorang perempuan menegur, “Lenghou-toako, hatimu murung sekali, bukan?”
Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya Gi-lim adanya. “O, tidak,” jawabnya. “Aku hanya merasa kesepian
karena mendadak ditinggalkan para sahabat.”
“Orang-orang itu tunduk sekali kepada perintah Yim-siocia, sedangkan Yim-siocia teramat baik padamu,
apakah perbuatan mereka itu tidak takut dimarahi Yim-siocia?”
“Ayah Yim-siocia sekarang adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, mereka harus tunduk kepada perintah sang kaucu,
kalau tidak tubuh mereka bisa membusuk karena banyak di antara mereka telah makan obat pembusuk tubuh
dari Yim-kaucu.”
“Aku ingin tanya sesuatu padamu, boleh tidak Lenghou-toako?” kata Gi-lim.
“Tentu saja boleh,” jawab Lenghou Tiong. “Urusan apakah?”
“Sesungguhnya kau lebih suka kepada Yim-siocia atau lebih suka kepada kau punya Gak-sumoay?”
Lenghou Tiong melengak, dengan rada kikuk ia menjawab, “Mengapa mendadak kau bertanya persoalan ini?”
“Gi-ho dan Gi-jing Suci yang suruh aku tanya padamu,” kata Gi-lim.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong tambah heran, jawabnya dengan tersenyum, “Mereka adalah orang agama, mengapa tanya halhal
demikian?”
Gi-lim menunduk, katanya, “Lenghou-toako, urusan siausumoaymu itu selamanya tak pernah kukatakan
kepada orang lain. Cuma Gi-ho Suci pernah melukai Gak-siocia sehingga kedua pihak timbul perselisihan. Maka
ketika kedua suci kami datang ke Hoa-san untuk menyampaikan berita diangkatnya engkau menjadi ketua
Hing-san-pay, mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay.”
“Ya, ingatlah aku, memangnya aku juga merasa khawatir mengapa mereka berdua tidak kembali sampai
sekarang, kiranya mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay. Dari mana kau mendapat kabar ini?”
“Si... si Dian Pek-kong itu yang bilang,” jawab Gi-lim dengan malu-malu.
“O, muridmu itu?
“Ya, ketika engkau ke Hek-bok-keh, para suci telah menyuruh dia ke Hoa-san untuk mencari berita.”
“Dengan ginkang yang tinggi, Dian Pek-kong memang tepat disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua sucimu itu
apakah dijumpai olehnya?”
“Ya, cuma penjagaan Hoa-san-pay terlalu keras, dia tidak sanggup menolong mereka, syukur kedua suci tidak
terlalu menderita. Pula aku telah memberi pesan padanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Hoasan-
pay agar tidak membikin marah padamu.”
“Kau memberi pesan padanya segala, wah, lagaknya seorang guru benar-benar,” kata Lenghou Tiong. “Lalu
apa lagi yang dilihat Dian Pek-kong di Hoa-san?”
“Katanya dia kebetulan melihat suatu perayaan pesta kawin di sana, kiranya gurumu sedang mengunduh
mantu....”
Sekonyong-konyong wajah Lenghou Tiong berubah hebat, keruan Gi-lim terkejut dan cepat tutup mulut.
“Bi... bicaralah terus, tak... tak apa-apa,” kata Lenghou Tiong dengan napas memburu, tenggorokannya seperti
tersumbat.
“Hendaklah kau jangan sedih, Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Gi-ho dan Gi-jing berdua suci juga mengatakan
bahwa biarpun Yim-siocia adalah orang Mo-kau, tapi dia cantik molek, ilmu silatnya juga tinggi, setiap hal juga
sepuluh kali lebih baik daripada Gak-siocia.”
“Apa yang kusedihkan?” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum getir. “Bila siausumoay mendapatkan jodoh
yang baik, aku justru ikut merasa senang baginya. Apakah Dian... Dian Pek-kong juga melihat siausumoayku?”
“Dian Pek-kong hanya melihat suasana sangat ramai di sana, banyak tamu-tamu dari berbagai golongan
datang memberi selamat. Dan Gak-siansing ternyata tidak memberitahukan kepada Hing-san-pay kita, rupanya
kita telah dipandang sebagai musuh.”
Lenghou Tiong mengangguk-angguk. Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ih Soh dan Gi-bun Suci dengan maksud
baik menyampaikan undangan kepada Hoa-san-pay. Mereka tidak mengirim utusan untuk mengucapkan
selamat padamu sebagai ciangbunjin baru, sebaliknya utusan kita malah ditahan oleh mereka. Maka menurut
pendapat Gi-ho dan Gi-jing Suci, kita juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi terhadap Hoa-san-pay yang tidak
tahu aturan itu, kelak kalau kita bertemu mereka di Ko-san, secara tegas kita akan tanya mereka dan suruh
mereka membebaskan Gi-bun Suci berdua.”
Kembali Lenghou Tiong hanya manggut-manggut saja.
Melihat sikap Lenghou Tiong yang linglung itu, Gi-lim menghela napas dan menambahkan, “Lenghou-toako,
hendaklah engkau hati-hati!”
Habis itu ia lantas meninggalkannya.
Melihat Gi-lim makin menjauh melangkah pergi, tiba-tiba Lenghou Tiong ingat sesuatu, cepat ia berseru,
“Sumoay!”
Gi-lim berhenti dan menoleh ke belakang. Terdengar Lenghou Tiong bertanya, “Yang menikah dengan
siausumoay....”
“Yaitu pemuda she Lim,” kata Gi-lim. Dengan langkah cepat ia mendekati Lenghou Tiong pula, ia pegang
lengan bajunya dan berkata pula, “Toako, orang she Lim itu secuil pun tak bisa membandingi kau. Gak-siocia
memang ceroboh sehingga sudi menikah padanya. Para suci khawatir engkau masygul, maka hal ini tetap
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi dalam beberapa hari lagi di Ko-san nanti besar kemungkinan kita
akan bertemu dengan Gak-siocia serta suaminya, bila mendadak engkau melihat dandanan Gak-siocia telah
berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi engkau akan... akan bingung dan bikin runyam urusan.
Menurut pendapat para kawan, akan sangat baik sekali jika Yim-siocia berada di sampingmu. Para suci
menyuruh aku agar menasihatkan kau supaya jangan memikirkan Gak-siocia yang tidak punya pendirian itu.”
Lenghou Tiong tersenyum getir. Ia merasa terima kasih terhadap perhatian Gi-ho dan lain-lain terhadapnya,
pantas mereka memberi pelayanan yang lebih mesra selama dalam perjalanan, rupanya mereka khawatir
hatiku berduka. Demikian pikirnya. Tiba-tiba terasa telapak tangannya tertetes beberapa titik air, ia terkejut
dan berpaling, kiranya air mata Gi-lim yang berlinang-linang. “He, ken... kenapakah kau?” tanyanya heran.
“Aku... aku tidak tega melihat engkau berduka,” jawab Gi-lim. “Toako, jika engkau ingin menangis, maka
silakan menangis saja sepuasnya.”
“Hahaha, mengapa aku menangis?” ujar Lenghou Tiong sambil bergelak tertawa. “Aku adalah pemuda yang
bandel sehingga sudah lama diusir oleh guru dan ibu guru. Masakah mungkin siausumoay mau... mau...
Hahahaha!”
Sambil tertawa ia terus berlari cepat ke depan. Sekali lari ternyata tidak berhenti sehingga tanpa terasa lebih
50 li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, terasalah sedih yang tak tertahankan, ia menjatuhkan diri di
tanah rumput dan menangislah keras
Setelah menangis sekian lamanya barulah hatinya terasa lega. Pikirnya, “Bila aku pulang saat ini tentu kedua
mataku tertampak merah bengul, hal ini mungkin akan dibuat tertawaan Gi-ho dan lain-lain. Biarlah aku
kembali kalau hari sudah gelap saja.”
Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencari aku dan merasa khawatir bila tak menemukan
diriku. Menangis atau tertawa adalah jamak bagi setiap orang. Bahwasanya aku menyukai siausumoay telah
diketahui semua orang, sekarang dia menikah pada orang lain, bila aku tidak berduka kan orang akan
mengatakan hatiku palsu malah.”
Begitulah segera ia melangkah pula kembali ke tempat perkemahan. Dilihatnya Gi-ho dan lain-lain sedang
mencari-carinya. Melihat dia pulang, semuanya menjadi lega dan bergirang. Malamnya Lenghou Tiong minum
arak sendirian hingga mabuk, lalu tertidur.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di kaki gunung Ko-san, waktu rapat yang ditentukan masih ada dua
hari pula. Ketika tiba tanggal 15 tepat, Lenghou Tiong bersama rombongannya pagi-pagi sudah berangkat ke
atas gunung. Sampai di tengah gunung, di suatu gardu istirahat telah disambut oleh empat murid Ko-san-pay
yang berseragam baju kuning. Dengan sangat hormat mereka berkata, “Atas kunjungan Lenghou-ciangbun dari
Hing-san-pay, atas nama Ko-san-pay lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih. Para
supek dan susiok dari Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah sejak kemarin tiba lebih dulu.
Maka sekarang pun lengkaplah dengan datangnya Lenghou-ciangbun bersama para suci dan sumoay dari Hingsan-
pay.”
Lenghou Tiong terus mendaki ke atas gunung. Dilihatnya sepanjang jalan pegunungan itu disapu bersih, setiap
beberapa li lantas memapak beberapa anak murid Ko-san-pay yang menyuguhkan minuman dan nyamikan,
cara menyambut tamu sangat teratur, hal ini menandakan persiapan Co Leng-tan yang sangat rapi dan
agaknya kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay harus diperolehnya dengan segala jalan.
Kira-kira dua-tiga li lagi ke atas, tiba-tiba dari belakang ada orang berseru, “A Lim! A Lim!”
“He, itulah ayah!” seru Gi-lim girang. Cepat ia membalik dan berteriak, “Ayah!”
Tertampak dari sana mendatangi seorang hwesio yang tinggi besar, memang benar dia adalah ayah Gi-lim,
Put-kay Hwesio. Di belakangnya masih ada lagi seorang hwesio. Mereka berjalan dengan sangat cepat, hanya
sebentar saja mereka sudah mendekat.
“Lenghou-kongcu,” seru Put-kay, “engkau terluka parah dan ternyata tidak mati, bahkan telah menjadi ketua
anak perempuanku, sungguh hebat sekali kau.”
“Ah, semuanya itu berkat doa restu Taysu...” mendadak Lenghou Tiong melihat hwesio di belakang Put-kay itu
seperti sudah dikenalnya, hanya tidak ingat seketika siapa gerangannya. Setelah melenggong sejenak barulah
ia mengenali hwesio itu kiranya ialah Dian Pek-kong. Keruan itu melongo heran dan tercetus dari mulutnya,
“He, engkau....”
Hwesio itu memang betul Dian Pek-kong adanya, dia menyengir dan memberi hormat kepada Gi-lim sambil
berkata, “Hormatku, Suhu!”
Gi-lim juga terheran-heran, tanyanya, “Kenapa... kenapa kau menjadi hwesio? Apa kau dalam penyamaran
saja?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tidak, tidak menyamar. Barang tulen harga pas, dia benar-benar seorang hwesio tulen!” kata Put-kay dengan
berseri-seri. “He, Put-ko-put-kay, siapa nama agamamu, lekas beri tahukan kepada gurumu.”
Dengan menyengir Dian Pek-kong berkata pula, “Suhu, Thaysuhu telah memberikan suatu nama agama
padaku, yakni ‘Put-ko-put-kay’.”
“Put-ko-put-kay? Mengapa begitu panjang?” ujar Gi-lim.
“Kau tahu apa?” kata Put-kay. “Nama dalam agama Buddha biasanya memang panjang-panjang, kenapa kau
mesti heran?”
Ketika Lenghou Tiong tanya sebab musababnya Dian Pek-kong sampai menjadi hwesio dan ikut Put-kay Taysu,
dengan menyengir malu Dian Pek-kong bercerita.
Kiranya pada suatu hari Dian Pek-kong yang terkenal sebagai “pencuri perempuan” itu telah mengincar anak
perawan seorang hartawan. Malamnya, dengan ginkangnya yang tinggi ia telah menggeremeti anak perawan
orang. Tapi sial baginya, perbuatannya itu telah dipergoki Put-kay. Ilmu silat Dian Pek-kong memang jauh di
bawah Put-kay, maka hanya beberapa kali gebrak saja Dian Pek-kong sudah terbekuk.
“Sungguh runyam, memang kepandaianku jauh di bawah Thaysuhu sehingga aku tertutuk tak berkutik,”
demikian Pek-kong meneruskan ceritanya. “Namun waktu itu aku merasa penasaran. Ketika Thaysuhu bertanya
padaku, ‘Nah, apa katamu sekarang? Kau tertawan olehku, kau minta hidup atau ingin mampus?’
“Dengan penasaran aku menjawab, ‘Aku tertawan karena aku kurang hati-hati, kalau mau bunuh lekas bunuh
saja, buat apa banyak bicara?’
“Dengan tertawa Thaysuhu berkata, ‘O, kau bilang kurang hati-hati sehingga tertawan, kalau hati-hati apa kau
takkan tertawan olehku? Nah, boleh coba!’
“Habis berkata Thaysuhu lantas membuka hiat-to tubuhku yang tertutuk. Dengan ragu-ragu aku bertanya, ‘Apa
maksudmu?’
“Thaysuhu menjawab, ‘Kau membawa senjata, kau juga punya dua kaki, sekarang boleh kau menyerang atau
mau melarikan diri, boleh kau pilih sesukamu!’
“Dengan mendongkol aku menjawab, ‘Orang she Dian adalah laki-laki sejati, kenapa mesti main lari segala,
aku bukan pengecut yang tidak tahu malu.’
“Thaysuhu mengakak tawa, katanya, ‘Jika kau bukan pengecut, mengapa sudah berjanji akan mengangkat
guru pada anak perempuanku, tapi sekarang kau ingkar janji?’
“Aku menjadi heran dan bertanya, ‘Anak perempuanmu yang mana?’
“Thaysuhu menjawab, ‘Ketika kau bertaruh dengan anak muda dari Hoa-san-pay di atas loteng restoran di Kota
Heng-san, kau berjanji kalau kalah bertaruh akan mengangkat anak perempuanku sebagai guru, memangnya
janjimu itu seperti kentut saja? Waktu itu aku pun berada di sana dan sedang minum arak, apa yang kalian
katakan telah kudengar seluruhnya.’
“‘O, kiranya demikian. Jadi nikoh cilik itu adalah anak perempuan hwesio seperti kau? Wah, sungguh aneh.’
“Thaysuhu berkata, ‘Apanya yang aneh?’”
“Ya, hal ini memang rada aneh,” sela Lenghou Tiong dengan tertawa. “Umumnya yang pernah terjadi adalah
sesudah berumah tangga dan punya istri dan anak baru kemudian meninggalkan rumah dan menjadi hwesio.
Tapi Put-kay Taysu adalah terbalik, lebih dulu dia menjadi hwesio baru kemudian beristri dan punya anak
perempuan. Nama agamanya Put-kay (tidak pantang) juga punya arti tidak tunduk kepada segala peraturan
dan pantangan agama.”
Lalu Dian Pek-kong menyambung ceritanya, “Maka aku telah menjawab, ‘Hal bertaruh waktu itu hanya
berkelakar saja, mana boleh dianggap sungguh-sungguh. Kalau aku dianggap kalah pada pertaruhan itu, ya,
memang betul. Biarlah seterusnya aku takkan mengganggu lagi nikoh cilik itu.’
“Tapi Thaysuhu tidak terima, katanya, ‘Tidak boleh. Kau sudah menyatakan akan mengangkat guru padanya,
maka janjimu harus dilaksanakan. Kau harus menyembah kepada anak perempuanku dan memanggil suhu
padanya.’
“Melihat dia mengoceh tak keruan, kupikir mau tunggu kapan lagi kalau tidak lekas melarikan diri saja. Maka
pada saat yang tak terduga mendadak aku melompat keluar rumah. Dengan ginkangku yang tinggi kuyakin
Thaysuhu pasti tidak sanggup menyusul aku. Tak terduga di belakangku lantas terdengar suara langkah orang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang cepat, ternyata Thaysuhu sudah memburu tiba. Cepat aku berteriak, ‘Hwesio gede, tadi kau tidak
membunuh aku, maka sekarang aku pun takkan membunuh kau. Tapi kalau kau mengejar lagi, terpaksa aku
tidak sungkan lagi padamu.’
“Tapi Thaysuhu terbahak-bahak malah, katanya, ‘Cara bagaimana kau akan tidak sungkan-sungkan lagi
padaku?’
“Aku menjawab, ‘Akan kuserang kau dengan senjata rahasia,’ berbareng aku lantas menyambitkan sebuah
panah kecil ke belakang. Meski di tengah malam gelap ternyata Thaysuhu cukup tangkas untuk menangkap
senjata rahasiaku itu. Sekali sambar panahku itu sudah terpegang olehnya. Lalu aku masih terus dikejar. Aku
menjadi kelabakan karena dibayangi terus, mendadak aku membacok ke belakang dengan golokku. Namun
kepandaian Thaysuhu benar-benar tinggi, walaupun aku bersenjata tetap tidak mampu melawan kedua
tangannya. Hanya balasan jurus saja, tahu-tahu kudukku sudah dibekuk pula olehnya, menyusul golokku
lantas dirampas.
“Dengan tertawa Thaysuhu lalu tanya padaku, ‘Sekarang kau takluk tidak?’
“Aku menjawab, ‘Ya, takluk sudah. Bunuhlah aku!’
“Tapi dia berkata, ‘Tidak, kau takkan kubunuh. Akan kutusuk buta kedua matamu agar selanjutnya kau tak bisa
mengincar perempuan cantik lagi. Tapi, ah, kurang tepat. Dasar kau ini memang bajul buntung, biarpun mata
buta juga tetap bisa main perempuan, umpama perempuan cantik tak bisa kau jamah, tentu nenek-nenek yang
akan menjadi korban. Wah, paling betul kalau kupotong kedua kakimu agar kau benar-benar buntung dan
kapok.’
“Aku menjawab, ‘Sebaiknya kau bunuh aku saja, buat apa banyak omong tak keruan.’
“Dia memuji aku malah, ‘Kau ini ternyata suka blakblakan. Kau adalah murid anak perempuanku, bila aku
memotong kakimu, itu berarti murid anak perempuanku akan lumpuh dan tidak sanggup bertempur, hal ini
akan membikin malu padanya. Rasanya aku harus mencari jalan yang baik agar kau tidak bisa menjadi maling
cabul lagi... Aha, aku mendapat akal yang baik!’ mendadak ia menutuk roboh diriku, tahu-tahu dengan anak
panahku yang kecil itu ditusukkan kepada... kepada anuku itu, bahkan anak panah itu terus diikat dengan
talipati. Lalu dia terbahak-bahak, katanya, ‘Nah, sekarang maling cabul seperti kau ini tentu akan mati kutu
dan tidak mampu main gila lagi.
========
Upload dilanjutkan oleh Tungning
Bab 110. Di Tengah Perebutan Bengcu yang Kacau
Mendengar cerita yang tidak masuk di akal itu, Lenghou Tiong menjadi geli dan terheran-heran, katanya,
“Masakah bisa terjadi begitu? Wah, Thayhwesio ini benar-benar lucu dan aneh.”
“Tapi lelucon yang tidak lucu bagiku,” ujar Dian Pek-kong dengan menyengir. “Keruan waktu itu aku kesakitan
setengah mati, hampir-hampir aku jatuh kelengar. Aku mencaci maki dia, ‘Keledai gundul bangsat, kalau mau
bunuh lekas bunuh saja diriku, kenapa kau menyiksa aku secara begini keji?’
“Dengan tertawa dia menjawab, ‘Keji apa? Perempuan tak berdosa yang menjadi korbanmu entah betapa
banyak, kenapa selama itu kau tidak kenal keji atau tidak? Hendak kukatakan padamu, selanjutnya bila aku
ketemu kau, setiap kali pasti akan kuperiksa anumu itu, kalau ketahuan panahnya kau cabut, segera kutancapi
lagi dua batang, lain kali kalau kulihat panah-panah itu kau tanggalkan lagi, lantas kutancapkan pula tiga
batang. Pendek kata, setiap kali kau berani mencabut anak panah itu, setiap kali kutambahi satu batang lebih
banyak.’”
Saking gelinya sampai Lenghou Tiong terpingkal-pingkal oleh cerita Dian Pek-kong itu. Keruan Dian Pek-kong
tersipu-sipu malu.
“Maaf, Dian-heng,” kata Lenghou Tiong kemudian. “Bukan maksudku hendak menertawai kau, soalnya
peristiwa ini sungguh sukar untuk dibayangkan.”
“Memangnya, siapa bilang tidak,” kata Dian Pek-kong. “Dia kemudian memberi obat luka padaku dan suruh aku
tetirah di hotel. Kemudian beliau mendapat tahu guruku lagi rindu padamu, lalu aku disuruh pergi ke Hoa-san
untuk mengundang engkau menemui guruku.”
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu kedatangan Dian Pek-kong di Hoa-san tempo dulu untuk mengundang
dirinya itu adalah karena perintah Put-kay Taysu, pantas Dian Pek-kong tidak berani bercerita apa-apa, kiranya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
di balik itu banyak terjadi hal-hal yang lucu dan luar biasa itu. Lalu terpikir pula olehnya, “Untuk apakah Gi-lim
Sumoay ingin bertemu dengan aku? Dahulu ketika bersama di Heng-san memang dia dan aku pernah senasib
setanggungan, kemudian dia jarang bertemu dengan aku, kalau bertemu tentu terdapat juga orang lain.”
Lenghou Tiong bukan orang dungu. Bahwasanya Gi-lim juga cinta padanya mustahil dia tidak tahu. Soalnya,
Gi-lim adalah nikoh, kedua, umur Gi-lim masih muda belia, setelah lewat sekian lamanya tentu pikirannya
sudah berubah. Sebab itu pertemuan-pertemuan selanjutnya Lenghou Tiong tidak pernah ajak bicara sendirian
pada Gi-lim. Sesudah menjadi ketua Hing-san-pay lebih-lebih tidak leluasa lagi. Lenghou Tiong menyadari
namanya sendiri tidak terlalu harum di luaran, baginya soal nama adalah tidak soal, tapi dirinya telah diberi
tugas suci oleh Ting-sian Suthay untuk mengetuai Hing-san-pay, mana boleh nama baik Hing-san-pay ternoda
di bawah pimpinannya. Sebab itulah dia jarang berkumpul dengan anak murid Hing-san-pay kecuali di waktu
memberi ajaran ilmu pedang. Sekarang Dian Pek-kong bercerita tentang kejadian dahulu, mau tak mau kasih
mesra Gi-lim padanya kembali terbayang dalam benaknya.
Didengarnya Dian Pek-kong bercerita pula, “Entah mengapa, Thaysuhu agaknya sangat cocok dengan aku.
Meski dia menyiksa aku secara kejam, tapi sehari-hari aku diperlakukan cukup baik. Dia mengatakan biarpun
aku sudah mengangkat guru, tapi sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat padaku, maka ia ingin
mewakilkan anak perempuannya dan banyak mengajarkan kepandaiannya padaku.”
“Syukurlah kalau begitu,” ujar Lenghou Tiong.
“Kemudian kami dengar kau diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, Thaysuhu suruh aku datang ke Hing-san
untuk membantu kau. Tapi beberapa hari yang lalu di tengah jalan aku dipergoki beberapa orang yang
mengenali diriku, aku telah diteriaki sebagai ‘maling cabul’ dan dikerubut. Untung Thaysuhu keburu menghalau
orang-orang itu, habis itu aku lantas disuruh cukur rambut dan menjadi hwesio serta diberi nama ‘Put-ko-putkay’.
Beliau suruh aku menjelaskan persoalan ini padamu agar engkau tidak marah pada suhuku.”
“Kenapa aku mesti marah para suhumu? Tidak pernah terjadi,” ujar Lenghou Tiong.
“Menurut kata Thaysuhu, setiap kali ketemu suhu tentu melihat suhu tambah kurus, air mukanya juga semakin
pucat. Bila ditanya suhu selalu tidak menjawab dan hanya mencucurkan air mata. Menurut pikiran Thaysuhu
tentulah engkau memarahi dia.”
“He, mana bisa,” kata Lenghou Tiong. “Selamanya aku sangat baik pada gurumu, belum pernah aku mengomeli
dia satu patah kata pun. Pula dia selalu berbuat baik, kenapa aku mesti marah padanya?”
“Justru engkau tidak pernah marah dan mengomeli dia, makanya guruku menangis,” kata Dian Pek-kong.
“Sungguh aneh, aku menjadi bingung,” ujar Lenghou Tiong.
“Malahan aku pernah dihajar habis-habisan oleh Thaysuhu lantaran urusan ini,” kata Dian Pek-kong pula.
Lenghou Tiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia pikir kelakuan Put-kay Taysu yang dogol tak keruan
itu boleh dikata setali tiga uang dengan Tho-kok-lak-sian.
Maka Dian Pek-kong berkata pula, “Thaysuhu mengatakan bahwa dahulu sesudah beliau menjadi suami istri
dengan Thaysubo, mereka sering kali bertengkar mulut, semakin banyak bertengkar semakin cinta pula.
Karena itu, dia berpendapat kalau engkau tidak marah pada guruku berarti engkau tidak ingin memperistrikan
dia.”
“Soal ini... gurumu adalah cut-keh-lang (orang yang telah meninggalkan keluarga) dan menjadi nikoh, maka
sama sekali aku tak pernah memikirkan soal demikian,” jawab Lenghou Tiong.
“Aku pun pernah berkata demikian pada Thaysuhu, tapi Thaysuhu menjadi marah malah dan aku dihajar lagi
hingga babak belur,” kata Dian Pek-kong. “Beliau mengatakan dahulu Thaysubo juga seorang nikoh, demi
untuk memperistrikan Thaysubo, maka Thaysuhu lantas menjadi hwesio. Kalau cut-keh-lang tak boleh menjadi
suami istri, lalu di dunia ini masakah terdapat orang seperti Thaysuhu? Kalau di dunia ini tiada Thaysuhu, dari
mana ada aku?”
Lenghou Tiong menjadi geli karena Dian Pek-kong sendiri dicampuradukkan dalam urusan Gi-lim yang jauh
lebih muda itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu Dian Pek-kong melanjutkan, “Thaysuhu mengatakan pula, jika engkau tidak ingin menjadi suami istri
dengan suhuku, lalu buat apa engkau menjadi ketua Hing-san-pay? Katanya, ‘Di antara nikoh-nikoh Hing-sanpay
sebanyak itu toh tiada satu pun yang lebih cantik daripada guruku. Dan kalau bukan demi guruku, lalu apa
tujuanmu menjadi ketua Hing-san-pay?’”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa khawatir dan mengeluh. Pikirnya, “Demi untuk memperistrikan seorang
nikoh, dahulu Put-kay Taysu sengaja menjadi hwesio. Menurut jalan pikirannya setiap orang di dunia ini tentu
sama dengan dia. Kalau hal ini sampai tersiar, bukanlah aku akan menjadi buah tertawaan orang?”
Dengan menyengir Dian Pek-kong menyambung lagi, “Thaysuhu tanya pula padaku, ‘Bukankah anak
perempuanku yang menjadi gurumu itu adalah wanita tercantik di dunia?’
“Aku menjawab, ‘Seumpama bukan yang paling cantik, paling sedikit tergolong sangat cantik.’
“Sekali tonjok, kontan Thaysuhu membikin rontok dua biji gigiku yang depan. Dia marah-marah, katanya,
‘Mengapa bukan yang paling cantik? Kalau anak perempuanku tidak cantik, mengapa dahulu kau bermaksud
berbuat tidak senonoh padanya? Dan mengapa si bocah Lenghou Tiong itu mati-matian menyelamatkan
jiwanya?’
“Dengan menahan sakit cepat aku menjawab, ‘Ya, paling cantik, paling cantik. Nona keturunan Thaysuhu mana
bisa bukan wanita paling cantik di dunia ini.’
“Jawabanku ini rupanya cocok dengan selera Thaysuhu, beliau sangat gembira dan memuji penilaianku yang
tepat.”
“Gi-lim Sumoay memang dasarnya sangat cantik, pantas kalau Put-kay Taysu suka pamer kecantikan anak
perempuannya,” kata Lenghou Tiong dengan tersenyum.
“Sungguh bagus sekali, ternyata Lenghou-kongcu juga menyatakan guruku sangat cantik,” seru Dian Pek-kong
dengan girang.
“Mengapa kau kegirangan?” tanya Lenghou Tiong heran.
“Sebab, Thaysuhu memberi suatu tugas padaku, aku diharuskan berusaha agar engkau... agar engkau....”
“Agar aku apa?” Lenghou Tiong menegas.
“Agar engkau menjadi sukongku (suami guruku),” jawab Dian Pek-kong dengan tertawa.
Lenghou Tiong melenggong sejenak. Ia menghela napas, lalu berkata, “Dian-heng, Put-kay Taysu benar-benar
teramat sayang kepada anak perempuannya. Tapi urusan ini kau sendiri pun tahu sukar terlaksana.”
“Memangnya, aku pun bilang sangat sukar terlaksana. Kukatakan bahwa engkau pernah memimpin para kawan
Kangouw menyerbu Siau-lim-si untuk menolong Yim-siocia dari Sin-kau. Aku berkata bahwa kecantikan Yimsiocia
meski tiada setengahnya suhuku, namun rupanya Lenghou-kongcu ada jodoh dengan dia sehingga
terpelet olehnya, orang lain benar-benar sukar menghalang-halanginya. Maklumlah Lenghou-kongcu, terpaksa
aku harus bilang begitu untuk menyelamatkan beberapa gigiku yang lain agar dapat menikmati daharan,
hendaklah engkau jangan marah.”
“Ya, aku paham,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.
“Thaysuhu mengatakan bahwa beliau juga paham, dia bilang gampang saja menyelesaikan persoalan ini, cari
suatu akal dan bunuh saja Yim-siocia di luar tahumu, maka urusan akan menjadi beres dengan sendirinya.
Cepat aku menyatakan jangan, kubilang kalau sampai Yim-siocia dibinasakan, Lenghou-kongcu pasti juga akan
membunuh diri. Lalu Thaysuhu berkata, ‘Betul juga. Kalau bocah Lenghou Tiong itu mati, itu berarti anak
perempuanku akan menjadi janda, kan konyol malah? Begini saja, boleh kau katakan pada Lenghou Tiong
bahwa kalau perlu biarlah anak perempuanku dijadikan saja gundiknya.’
“Aku menjawab, ‘Thaysuhu, masakah anak perempuanmu yang terhormat demikian perlu direndahkan
derajatnya sampai begitu rupa?’
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Thaysuhu menghela napas, katanya, ‘Kau tidak tahu, kalau nonaku ini gagal menjadi istri Lenghou Tiong,
maka siang dan malam dia pasti akan merana dan takkan hidup lama lagi.’
“Habis itu mendadak Thaysuhu mencucurkan air mata. Air mata betul-betul Lenghou-kongcu, air mata kasih
sayang seorang ayah kepada anak perempuannya, sungguh, aku tidak omong kosong.”
Lenghou Tiong jadi teringat kepada Gi-lim yang kian hari memang kian kurus, disangkanya mungkin perjalanan
jauh telah melelahkan nikoh cilik itu, tak tahunya lantaran merana karena rindu dendam, urusan ini benarbenar
sukar diselesaikan.
Dian Pek-kong menutur pula, “Setelah menangis, mendadak Thaysuhu mencengkeram kudukku dan memaki
diriku, ‘Keparat, semuanya gara-gara perbuatanmu. Kalau tempo hari kau tidak bermaksud busuk terhadap
anak perempuanku, tentu pula Lenghou Tiong takkan turun tangan menolong dan dengan sendirinya anak
perempuanku sekarang takkan kurus dan merana seperti sekarang ini.’
“Aku menjawab, ‘Tidak tentu. suhuku secantik bidadari, seumpama tempo hari aku tidak berbuat jelek
padanya, tentu Lenghou Tiong akan memancing dan menggodanya, mustahil bocah Lenghou Tiong itu tidak
kesengsem kepada perempuan molek.’”
“Dian-heng, kata-katamu ini rasanya keterlaluan sedikit,” ujar Lenghou Tiong dengan mengerut kening.
“Maaf, Lenghou-kongcu. Soalnya aku kenal tabiat Thaysuhu, kalau aku tidak berkata demikian tentu aku
takkan dilepaskannya. Benar juga, sesudah aku berkata begitu, dari marah beliau menjadi senang, aku lantas
dilepaskan, katanya, ‘Anak keparat, hari itu kusaksikan kau berkelahi dengan Lenghou Tiong di atas loteng
restoran itu, dia tidak mampu melawan kau sehingga badannya penuh luka terbacok oleh golokmu. Coba kalau
bukan lantaran kau bermaksud memerkosa anak perempuanku, hm, waktu itu juga tentu kepalamu sudah aku
gecek hingga gepeng.’”
“Aneh, kau bermaksud perkosa anak perempuannya, dia malah merasa syukur?” tanya Lenghou Tiong heran.
“Bukan merasa syukur, tapi beliau anggap aku pandai memilih perempuan yang cantik,” kata Dian Pek-kong.
Kembali Lenghou Tiong melongo oleh logika yang gila itu.
“Lenghou-kongcu,” kata Dian Pek-kong pula, “pesan Thaysuhu sudah kukatakan seluruhnya padamu. Kutahu
urusan ini rada sulit, lebih-lebih menjadi pantangan bagimu selaku ketua Hing-san-pay. Cuma kunasihatkan
agar engkau sudi lebih sering bicara yang baik-baik dengan suhuku agar beliau merasa gembira. Urusan
selanjutnya boleh terserah kepada keadaan.”
Lenghou Tiong mengangguk dan mengiakan.
Tengah bicara dari depan sana datang pula menyambut beberapa anak murid Ko-san-pay, mereka memberi
hormat dan berkata, “Para tokoh dan ketua semua golongan dan aliran akan berkumpul di Ko-san sini untuk
ikut menyaksikan upacara pemilihan ketua Ngo-gak-pay, para kawan dari Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay sudah
sejak kemarin tiba. Kedatangan Lenghou-ciangbun sekarang sangat kebetulan, semua hadirin sudah menunggu
di atas sana. Silakan!”
Sikap anak murid Ko-san-pay itu sangat angkuh, kata-kata mereka pun sombong seakan-akan jabatan ketua
Ngo-gak-pay pasti akan dipegang oleh Ko-san-pay mereka.
Setelah naik lagi sekian lama ke atas gunung, terdengar suara gemercak air yang gemuruh, sebuah air terjun
tampak menuangkan airnya yang deras ke bawah jurang. Beramai-ramai mereka mendaki ke atas menyusur
tepi air terjun itu. Sepanjang jalan anak murid Ko-san-pay yang menjadi petunjuk jalan suka pamer keindahan
panorama pegunungan Ko-san sambil menunjukkan nama-nama tempat ini dan itu.
“Ko-san terletak tepat di tengah dunia ini dan selalu merupakan kepala dari semua gunung di dunia,” demikian
kata murid Ko-san-pay itu. “Coba lihat, Lenghou-ciangbun, suasana sehebat ini, pantas kalau raja-raja dari
berbagai dinasti selalu mendirikan kota raja di kaki Ko-san kita ini.”
Di balik maksud ucapan murid Ko-san-pay itu hendak dikatakan bahwa Ko-san adalah kepala dari semua
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
gunung, maka Ko-san-pay juga selalu menjadi pimpinan berbagai golongan persilatan.
Dengan tersenyum Lenghou Tiong menjawab, “Orang Kangouw macam kita ini entah ada sangkut paut apa
dengan raja-raja dan kaum pembesar negeri? Apakah Co-ciangbun kalian sering berhubungan dengan
pembesar-pembesar pemerintahan?”
Seketika muka murid Ko-san-pay itu menjadi merah dan tidak bicara lagi.
Jalanan ke atas seterusnya menjadi makin curam, murid Ko-san sebagai penunjuk jalan itu masih
memperkenalkan pula nama-nama tempat yang mereka lalui. Tidak lama kemudian, setelah melewati suatu
pengkolan, mendadak kabut bertaburan, di tengah jalan pegunungan itu sedang mengadang belasan laki-laki
dengan pedang terhunus. Terdengar seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Bilakah Lenghou
Tiong akan sampai di sini? Kalau melihatnya, harap para sobat sudi memberitahukan pada aku si buta.”
Lenghou Tiong melihat orang yang bicara itu bercambang pendek dan kaku lebat, rupanya sangat seram, tapi
kedua matanya ternyata buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, semuanya juga orang buta. Terkesiap hati
Lenghou Tiong, segera ia berseru, “Lenghou Tiong sudah berada di sini, Saudara ada urusan apa?”
Begitu mendengar “Lenghou Tiong sudah berada di sini”, serentak belasan orang buta itu lantas berteriakteriak
dan mencaci maki, dengan pedang terhunus mereka terus menerjang maju sambil memaki, “Bangsat
keparat Lenghou Tiong, betapa kau telah membikin susah kami, hari ini biarlah kami mengadu jiwa padamu.”
Setelah berpikir sejenak, pahamlah Lenghou Tiong, “Dahulu malam-malam Hoa-san-pay kami diserang musuh
secara mendadak di kelenteng bobrok, dengan Tokko-kiu-kiam yang baru saja kupelajari itu aku telah
membutakan mata musuh yang tidak sedikit. Jika begitu penyerang-penyerang itu adalah suruhan Ko-san-pay,
sungguh tidak nyana hari ini akan bertemu lagi di sini.”
Dilihatnya keadaan tempat cukup berbahaya, bila belasan orang itu benar-benar mengadu jiwa padanya,
asalkan salah seorang berhasil merangkulnya, maka bukan mustahil akan tergelincir ke dalam jurang dan
gugur bersama. Sekilas dilihatnya pula anak murid Ko-san-pay petunjuk jalan tadi bersikap acuh tak acuh
seakan-akan mensyukurkan apa yang bakal terjadi.
“Apakah kawan-kawan buta ini anak murid Ko-san-pay?” tanya Lenghou Tiong.
“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab murid Ko-san-pay itu. “Entah mereka ada permusuhan apa dengan
Lenghou-ciangbun? Hari ini adalah hari penting pemilihan ketua Ngo-gak-pay, bila Lenghou-ciangbun sampai
terjerumus ke dalam jurang karena dikerubut sobat-sobat buta ini, biarpun kedua pihak gugur bersama, tapi
sungguh harus disesalkan.”
“Benar juga,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Maka dari itu sukalah Saudara memberi perintah agar
mereka suka memberi jalan.”
“Silakan Lenghou-ciangbun sendiri membereskan saja,” jawab orang Ko-san-pay itu.
Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar kubereskan kau
dulu dan urusan belakang!”
Siapa lagi dia kalau bukan Put-kay Taysu. Dengan langkah lebar ia menerjang maju, sekali cengkeram, dua
murid Ko-san-pay telah kena dipegang olehnya terus dilemparkan ke arah kawanan orang buta tadi sambil
berseru, “Ini dia Lenghou Tiong telah tiba!”
Serentak kawanan orang buta itu ayun senjata, mereka membacok dan menebas serabutan, untung kedua
murid Ko-san-pay itu cukup tangkas, selagi tubuh mereka terapung di udara, mereka mampu mencabut
pedang sendiri buat menangkis seraya berteriak, “Kami orang Ko-san-pay, kita kawan sendiri, lekas
menyingkir!”
Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau, mereka berusaha menghindar sedapat
mungkin. Namun Put-kay sudah lantas menyusul ke depan, kembali kedua murid Ko-san-pay itu kena
dicengkeram olehnya, bentaknya pula, “Jika kalian tidak suruh kawanan buta itu enyah dari sini, biar
kulemparkan kalian ke jurang!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Berbareng ia kerahkan tenaga sekuatnya, kedua orang itu dilemparkan ke atas. Bobot kedua murid Ko-san-pay
itu masing-masing ada lebih seratus kati, tapi tenaga pembawaan Put-kay memang sangat kuat, sekali lempar,
kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya.
Keruan kedua murid Ko-san-pay itu ketakutan setengah mati, hampir-hampir sukma mereka terbang
meninggalkan raganya. Berbareng mereka menjerit ngeri, mereka percaya sekali ini pasti akan terjatuh ke
dalam jurang yang tak terhingga dalamnya dan hancur lebur menjadi bakso.
Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan cepat sekali Put-kay sudah kena cengkeram pula
kuduk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Apakah mau sekali coba lagi?”
“Ti... tidak! Jang... jangan!” cepat seorang di antaranya berseru. Seorang lagi agaknya lebih licin, tiba-tiba ia
berseru, “Hei, Lenghou Tiong, hendak lari ke mana kau? Hayo para sobat buta, lekas kejar ke sana, lekas!”
Mendengar itu kawanan orang buta itu percaya sungguh-sungguh, serentak mereka mengejar.
Dengan marah Dian Pek-kong lantas mendamprat murid Ko-san-pay tadi, “Nama Lenghou Tiong masakah
boleh sembarangan kau sebut? Ini hadiahmu!”
“Plak”, kontan memberi persen tempelengan kepada orang Ko-san-pay itu. Lalu ia berteriak, “Lenghou-tayhiap
berada di sini, Lenghou-ciangbun berada di sini! Orang buta mana yang berani, hayolah coba kemari kalau
minta diberi hajaran!”
Sebenarnya kawanan orang buta itu kena dihasut oleh orang Ko-san-pay agar menuntut balas kepada Lenghou
Tiong. Maka dengan penuh dendam mereka menanti di jalan pegunungan itu. Tapi ketika mendengar jeritan
ngeri kedua murid Ko-san-pay tadi, mau tak mau mereka menjadi jeri, apalagi mereka telah lari kian-kemari di
jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu mana sasarannya. Keruan mereka menjadi
bingung sendiri dan akhirnya berdiri termenung di tempat masing-masing.
Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi pada mereka, bersama Put-kay, Dian Pek-kong, dan murid-murid Hingsan-
pay, mereka meneruskan perjalanan ke atas gunung. Tidak lama di depan kelihatan dua puncak gunung
mengapit sebuah selat alam sehingga berwujud sebuah pintu gerbang, angin kencang meniup keluar dari selat
sana disertai kabut awan.
Kalau tadi anak murid Ko-san-pay suka pamer dan mengoceh tentang tempat-tempat strategis di pegunungan
Ko-san, tapi sekarang mereka hanya bungkam saja. Maka Dian Pek-kong sengaja mengolok-olok, bentaknya
mendadak, “Apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah menjadi bisu?”
Dengan menyengir murid Ko-san-pay tadi terpaksa menjawab, “Ini namanya Tiau-thian-mui (Pintu Gerbang
Langit).”
Setelah memutar lagi ke sebelah kiri dan menanjak lagi tidak jauh, tiba-tiba terdengar suara alat tetabuhan
dibunyikan. Pada tanah lapang di atas puncak gunung situ sudah berjubel beribu-ribu orang. Beberapa murid
Ko-san-pay tadi lantas mendahului naik ke atas puncak situ untuk melapor, Lenghou Tiong dan rombongannya
menyusul kemudian.
Maka terlihatlah Co Leng-tan memakai jubah kuning datang menyambut bersama belasan orang muridnya.
Kini kedudukan Lenghou Tiong adalah ketua Hing-san-pay, tapi dia sudah biasa memanggil “Co-supek” pada Co
Leng-tan, sebagai angkatan muda, maka tetap ia memberi hormat dan menyapa, “Terimalah hormat Lenghou
Tiong, Ko-san-ciangbun.”
“Meski berpisah sekian lamanya, namun Lenghou-siheng tampaknya tambah segar,” ujar Co Leng-tan.
“Kesatria ganteng muda sebagai Lenghou-siheng mengetuai Hing-san-pay, sungguh suatu peristiwa yang
memecahkan sejarah dunia persilatan, terimalah ucapan selamat dariku.”
Lenghou Tiong tahu ucapan Co Leng-tan itu sebenarnya cuma olok-olok belaka, kata-kata “peristiwa yang
memecahkan sejarah dunia persilatan” sebenarnya untuk menyindir Lenghou Tiong seorang laki-laki telah
mengetuai kawanan nikoh.
Maka Lenghou Tiong menjawab sewajarnya saja, “Wanpwe menerima tugas terakhir dari Ting-sian Suthay,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tujuannya adalah untuk menuntut balas bagi kedua suthay. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai,
dengan sendirinya Cayhe akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih
bijaksana.”
Waktu berkata pandangan Lenghou Tiong selalu menatap tajam ke arah Co Leng-tan dengan maksud
menyelami perasaan orang apakah memperlihatkan air muka malu atau marah atau benci. Tapi air muka Co
Leng-tan ternyata tidak berubah sedikit pun.
Malahan Co Leng-tan berkata, “Ngo-gak-kiam-pay selamanya senasib setanggungan, selanjutnya kelima
golongan bahkan akan dilebur menjadi satu, maka soal sakit hati Ting-sian dan Ting-yat Suthay tidak cuma
urusan Hing-san-pay sendiri, bahkan juga urusan Ngo-gak-pay kita. Syukur Lenghou-hengte sudah
menetapkan tekad, sungguh harus dipuji.”
Ia merandek sejenak lalu menyambung lagi, “Sementara itu Thian-bun Toheng dari Thay-san, Bok-taysiansing
dari Heng-san, Gak-siansing dari Hoa-san, serta para undangan peninjau sudah datang semua, silakan
Lenghou-hengte bertemu dengan mereka.”
“Baik,” kata Lenghou Tiong. “Entah Hong-ting Taysu dari Siau-lim dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong sudah
datang atau belum?”
Dengan acuh tak acuh Co Leng-tan menjawab, “Tempat tinggal mereka berdua meski dekat, tapi mengingat
kedudukan mereka, tentunya mereka akan menjaga gengsi, rasanya mereka takkan hadir.”
Lenghou Tiong mengangguk. Tapi pada saat itulah tertampak dua murid Ko-san-pay berlari tiba dari bawah
gunung, melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada sesuatu urusan penting yang perlu dilaporkan.
Karena itu para hadirin menjadi tertarik.
Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di depan Co Leng-tan, mereka memberi hormat dan berkata,
“Suhu, ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay bersama anak muridnya
sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Ngo-gak-pay kita.”
“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Harus kita sambut selayaknya,” kata Co Lengtan.
Para kesatria yang sudah hadir juga gempar ketika mendengar bahwa ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tongpay
juga hadir. Serentak mereka ikut di belakang Co Leng-tan ke bawah gunung untuk menyambut.
Lenghou Tiong bersama anak murid Hing-san-pay menyingkir di tepi jalan untuk memberi jalan kepada orang
banyak. Tertampak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay, Pangcu dari Kaypang,
Ih Jong-hay ketua Jing-sia-pay, dan gembong-gembong persilatan lain memang benar sudah hadir
semua. Kepada tiap-tiap kenalan itu Lenghou Tiong mengangkat tangan memberi hormat.
Tiba-tiba dari belakang sana muncul satu rombongan, kiranya adalah orang-orang Hoa-san-pay, Gak Put-kun
dan istrinya tampak berada paling depan. Dengan perasaan pilu Lenghou Tiong memburu maju, ia berlutut dan
menjura, katanya, “Harap kedua Lojinkeh (orang tua) terima hormatnya Lenghou Tiong.”
Ia tidak berani memanggil “suhu” dan “sunio”, juga tidak berani menyebut dirinya sebagai “murid”, tapi cara
menjura tiada ubahnya seperti dahulu kalau dia memberi hormat kepada Gak Put-kun dan istrinya.
Gak Put-kun mengegoskan tubuhnya ke samping, jawabnya dengan nada dingin, “Buat apa Lenghou-ciangbun
menjalankan penghormatan sebesar ini? Bukankah aneh dan menertawakan?”
Selesai memberi hormat, Lenghou Tiong lantas berbangkit dan mundur ke tepi jalan.
Mata Gak-hujin tampak merah basah, katanya, “Kabarnya kau telah menjabat ketua Hing-san-pay. Selanjutnya
asalkan kau tidak sembrono dan tidak bikin gara-gara, kukira masih banyak kesempatan bagimu untuk
membersihkan diri.”
“Hm, tidak bikin gara-gara? Nanti kalau matahari terbit dari barat,” jengek Gak Put-kun. “Kalau dia bisa
menjabat ketua Hing-san-pay sampai hari ini tentu dia sudah boleh merasa puas.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong lantas berkata, “Pertemuan di Ko-san ini tampaknya Co-supek ada maksud melebur Ngo-gakkiam-
pay. Entah bagaimana pendapat kedua Lojinkeh terhadap urusan ini?”
“Pendapatmu sendiri bagaimana?” Gak Put-kun balas bertanya.
“Tecu kira....”
“Istilah ‘tecu’ tak perlu kau pakai lagi,” sela Gak Put-kun dengan tersenyum. “Jika kau masih mengingat
hubungan baik di Hoa-san dahulu, maka hendaklah kau....”
Sejak diusir dari Hoa-san-pay, belum pernah Lenghou Tiong menghadapi sikap ramah Gak Put-kun seperti saat
ini, keruan ia menjadi senang dan cepat menjawab, “Ada pesan apa dari Lojinkeh, Tecu... O, Wanpwe pasti
akan menurut saja.”
“Aku pun tiada pesan apa-apa,” Gak Put-kun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan kita paling
mengutamakan budi dan kewajiban. Bahwa kau dikeluarkan dari Hoa-san-pay sesungguhnya bukan kami yang
berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu. Soalnya karena kau yang melanggar pantangan besar
dunia persilatan kita. Meski sejak kecil kubesarkan kau sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun
aku harus bertindak secara adil tanpa pilih kasih.”
Mendengar sampai di sini, air mata Lenghou Tiong bercucuran, katanya dengan terguguk-guguk, “Budi
kebaikan Suhu, biarpun badan Tecu hancur lebur juga sukar membalas.”
Gak Put-kun tepuk-tepuk bahu Lenghou Tiong dengan perlahan sebagai tanda menghiburnya, katanya pula,
“Kejadian di Siau-lim-si tempo hari, kita guru dan murid sampai main senjata, tapi sebenarnya beberapa jurus
yang kugunakan itu mengandung arti yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan
kembali ke dalam Hoa-san-pay, namun kau tidak sadar, sungguh membikin aku sangat kecewa.”
“Ya, Tecu pantas mampus,” jawab Lenghou Tiong dengan tunduk kepala. “Perbuatan Tecu di Siau-lim-si tempo
hari sesungguhnya sukar dijelaskan. Bila Tecu dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Suhu, sungguh
inilah cita-cita Tecu selama hidup ini.”
“Kukhawatir kata-katamu ini hanya manis di mulut tetapi lain di hati,” kata Gak Put-kun dengan tersenyum.
“Sekarang kau kan sudah menjadi ketua Hing-san-pay, mana kau sudi kembali menjadi muridku.”
Dari nada Gak Put-kun itu agaknya dia tidak keberatan untuk menerimanya kembali menjadi murid Hoa-sanpay,
kesempatan baik ini mana boleh disia-siakan, segera Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Suhu, Sunio,
Tecu telah banyak berbuat dosa, untuk selanjutnya Tecu berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan
dahulu dan taat kepada ajaran Suhu dan Sunio. Harapan Tecu hanya sudilah Suhu dan Sunio menaruh belas
kasihan dan terima Tecu kembali.”
Pada saat itu terdengar suara orang banyak sedang mendatangi, para kesatria tampak mengiringi Hong-ting
Taysu dan Tiong-hi Tojin sedang naik ke atas. Cepat Gak Put-kun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau
bangun saja, urusan ini dapat kita rundingkan nanti.”
Lenghou Tiong sangat girang, ia menjura beberapa kali pula dan mengucapkan terima kasih, habis itu barulah
berdiri.
Dengan perasaan pilu dan girang pula Gak-hujin berkata, “Siausumoaymu dan Lim-sute pada bulan yang lalu
sudah... sudah menikah,” nadanya rada khawatir kalau-kalau apa yang dikatakannya itu akan mengecewakan
Lenghou Tiong, sebab ia menduga maksud Lenghou Tiong ingin kembali ke Hoa-san-pay adalah demi Gak
Leng-sian.
Pedih juga perasaan Lenghou Tiong, ia coba melirik ke arah Gak Leng-sian, tertampak sang sumoay telah ganti
dandanan sebagai seorang nyonya muda, pakaiannya rada mewah, namun wajahnya masih sama seperti
dahulu, tiada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. Ketika beradu
pandang dengan Lenghou Tiong, mendadak air mukanya berubah merah dan lantas menunduk.
Seketika dada Lenghou Tiong seperti kena digodam dengan keras, mata terasa berkunang-kunang, berdiri pun
hampir tidak sanggup. Sayup-sayup telinga mendengar seorang menyapa padanya, “Lenghou-ciangbun,
engkau adalah tamu jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Siau-lim-si adalah tetangga dekat, tapi Lolap
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
malah datang terlambat.”
Lalu Lenghou Tiong merasa bahunya dipayang seorang, cepat ia tenangkan diri dan memerhatikan, kiranya
dengan tersenyum simpul Hong-ting Taysu sudah berdiri di depannya. Cepat ia menjawab, “O, kiranya Hongting
Taysu. Terimalah hormat Wanpwe!”
“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi, kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan beriburibu
orang yang hadir ini bisa rampung saling memberi hormat? Silakan para hadirin masuk sian-ih (pendopo)
dan duduk di dalam.”
Para kesatria sama mengiakan, beramai-ramai mereka lantas masuk ke kuil Cun-kek-sian-ih.
Puncak tertinggi dari Ko-san bernama “Cun-kek”, di puncak tertinggi itu dibangun sebuah kuil dan disebut Cunkek-
sian-ih, selama beratus tahun kuil itu menjadi tempat kediaman ketua Ko-san-pay.
Pekarangan kuil itu penuh dengan pepohonan, pendoponya juga sangat luas, cuma kalau dibanding Tay-hiongpo-
tian dari Siau-lim-si memang lebih kecil. Baru ribuan orang masuk ke kuil itu sudah memenuhi pendopo dan
halaman luar, selebihnya hampir-hampir tiada tempat berpijak lagi di dalam kuil.
Bab 111. Pertumpahan Darah di Puncak Ko-san
Dengan suara lantang Co Leng-tan lantas membuka suara, “Hari ini adalah pertemuan Ngo-gak-kiam-pay kami,
atas kunjungan para kawan bu-lim yang meluap ini, sungguh di luar dugaan dan terimalah rasa terima kasih
kami. Hanya saja kalau ada kekurangan penyambutan dan pelayanan, harap para hadirin sudi memberi maaf.”
“Sudahlah, tak perlu pakai sungkan-sungkan segala, soalnya sekarang orang terlalu banyak, tapi tempatnya
sempit,” seru orang banyak.
“Tidak jauh di atas sini adalah Hong-sian-tay yang dahulu sering digunakan maharaja dari berbagai dinasti bila
mengadakan tirakatan ke Ko-san sini, tempatnya sangat luas dan lapang, hanya saja kaum persilatan kita
sebenarnya tidak layak menggunakan tempat suci yang diagungkan itu,” demikian seru Co Leng-tan.
“Kita toh tidak di bawah perintah raja mana pun juga, peduli apakah agung atau tidak, tempat sebaik itu tidak
digunakan sekarang mau tunggu kapan lagi?” teriak pula orang banyak. Berbareng sebagian di antaranya
sudah lantas mendahului berlari ke arah yang ditunjuk.
“Jika demikian, marilah kita menuju ke sana,” kata Co Leng-tan.
Dalam hati Lenghou Tiong membatin, “Entah tempat macam apakah Hong-sian-tay itu? Dia menyatakan
tempat itu biasanya digunakan oleh kaum maharaja, sekarang dia mengundang para hadirin pergi ke sana,
jangan-jangan Co Leng-tan sudah anggap dirinya sebagai maharaja? Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang
mengatakan dia punya ambisi sangat besar, setelah melebur Ngo-gak-kiam-pay, langkah selanjutnya adalah
berusaha mencaplok Tiau-yang-sin-kau, kemudian akan menghabiskan pula Siau-lim dan Bu-tong-pay. Hah,
dia dan Tonghong Put-pay agaknya mempunyai cita-cita yang sama.”
Tanpa banyak omong ia pun ikut orang banyak menuju ke Hong-sian-tay. Yang disebut Hong-sian-tay itu
adalah sebuah panggung batu yang dipahat secara rata. Di sekitar panggung batu itu adalah lapangan yang
luas. Sampai di puncak tertinggi Ko-san itu, semua orang merasa nyaman segar melihat puncak-puncak
gunungan tak terhitung banyaknya menegak di bawah puncak Ko-san itu. Tatkala mana udara terang
benderang, pemandangan jelas.
Lenghou Tiong mendengar tiga orang tua di depannya sedang tunjuk sana dan tuding sini ke berbagai puncak
sambil manggut-manggut. Kata seorang di antaranya, “Yang itu adalah Tay-him-hong (Puncak Beruang Besar)
dan yang sana adalah Siau-him-hong (Puncak Beruang Kecil). Dan gunung di seberang sana itu adalah Siausit-
san, di mana terletak Siau-lim-si yang termasyhur. Tempo hari aku pernah mengunjungi Siau-lim-si dan
merasakan Siau-sit-san yang luar biasa tingginya, tapi dipandang dari sini, nyata Siau-lim-si masih jauh di
bawah Ko-san.”
Lalu tertawalah ketiga orang tua.
Dari dandanan ketiga orang tua itu Lenghou Tiong tahu mereka bukan orang Ko-san-pay, tapi dari ucapan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mereka itu jelas mengolok-olok Siau-lim-pay dan meninggikan derajat Ko-san-pay itu, tentulah mereka adalah
undangan Co Leng-tan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi apa-apa.
Dalam pada itu terlihat Co Leng-tan sedang meminta Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang ke atas panggung.
Tapi dengan tertawa Hong-ting berkata, “Kami berdua orang tua yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai
peninjau saja, buat apa kami naik panggung dan membikin malu didengar orang banyak?”
“Kenapa Taysu bicara demikian, seperti baru kenal saja,” ujar Co Leng-tan dengan tertawa.
“Para tamu sudah hadir semua, silakan Co-ciangbun mengurusi acara pokok dan tidak perlu selalu melayani
kami berdua tua bangka,” kata Tiong-hi.
“Baiklah jika demikian,” jawab Co Leng-tan. Lalu ia menaiki panggung batu itu.
Setelah menaiki berpuluh undak-undakan batu itu, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung, ia
berdiri di atas undak-undakan itu, lalu berseru dengan lantang, “Para hadirin yang terhormat!”
Meski lapangan di puncak gunung itu cukup luas, para tamu juga tersebar di sana-sini, namun ucapan Co Lengtan
itu dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang.
Maka Co Leng-tan lantas melanjutkan sambil memberi salam, “Atas kunjungan para kawan, sungguh aku
sangat berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya para kawan sudah mendengar bahwa hari ini adalah hari
bahagia, hari persatuan bagi Ngo-gak-kiam-pay kami yang akan berlebur menjadi satu.”
“Benar, benar! Selamat! Selamat!” demikian serentak beratus-ratus orang telah bersorak.
“Terima kasih!” kata Co Leng-tan. “Bahwasanya Ngo-gak-kiam-pay kami sudah ratusan tahun lamanya
berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga, sudah sekian tahun pula Cayhe
sebagai bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay. Cuma akhir-akhir ini di tengah bu-lim telah banyak terjadi peristiwaperistiwa
penting, Cayhe dan para suheng tertua Ngo-gak-kiam-pay telah berunding, kami sama-sama merasa
Ngo-gak-kiam-pay kalau tidak dilebur menjadi satu, maka kelak tentu sukar menghadapi kesulitan-kesulitan
yang bakal menimpa.”
Tiba-tiba terdengar seorang menimbrung dengan nada dingin, “Entah Co-bengcu pernah berunding dengan
suheng tertua dari aliran mana? Mengapa aku orang she Bok tidak pernah mengetahui persoalan ini.”
“Baru saja aku mengatakan di dunia persilatan (bu-lim) telah banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting
sehingga terpaksa Ngo-gak-kiam-pay harus dilebur, salah satu peristiwa penting di antaranya yang
kumaksudkan adalah terjadinya saling bunuh dan saling mencelakai di antara saudara-saudara sesama Ngogak-
kiam-pay kita, rupanya banyak di antara kita sudah lupa pada setia kawan antara sesama anggota kelima
aliran kita. Bok-taysiansing, murid Ko-san-pay kami, yaitu Ko-yang-jiu Hui-sute telah tewas di luar Kota Hengsan,
ada orang menyaksikan sendiri, katanya engkau Bok-taysiansing yang melakukan pembunuhan itu, entah
betul tidak?”
Terkesiap hati Bok-taysiansing. Pikirnya, “Waktu aku membunuh orang she Hui, saat itu yang ada cuma
Lenghou Tiong serta seorang nikoh cilik dari Hing-san-pay, selain itu ialah Kik Yang beserta cucu
perempuannya yang masih kecil. Apakah mungkin mereka telah membocorkan rahasia kejadian itu?”
Sementara itu beribu-ribu pasang mata sama memerhatikan air muka Bok-taysiansing. Namun ketua Hengsan-
pay itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab,
“Tiada pernah terjadi hal demikian. Rasanya cuma sedikit kepandaian orang she Bok saja masakah mampu
membunuh tokoh macam Ko-yang-jiu?”
“Hm, kalau pertarungan satu-lawan-satu secara terang-terangan, memangnya Bok-taysiansing masakah
mampu membunuh Hui-sute-ku?” jengek Co Leng-tan. “Namun tatkala itu yang mengerubut Hui-sute selain
Bok-taysiansing dan sutemu Lau Cing-hong, ada pula murid Hing-san-pay dan murid Hoa-san-pay, bahkan ada
gembong Mo-kau Kik Yang dan cucu perempuannya.”
Kata-kata Co Leng-tan ini benar-benar membikin Bok-taysiansing mengirik. Ia tidak habis paham siapakah
yang membocorkan kejadian dahulu itu. Padahal waktu itu yang hadir selain sutenya, Kik Yang, dan cucu
perempuannya, selebihnya adalah Lenghou Tiong dan Gi-lim. Apakah mungkin kedua anak muda ini yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membocorkan rahasianya? Setelah Co Leng-tan membongkar rahasia perbuatannya, jelas permusuhan Hengsan-
pay dan Ko-san-pay sudah terikat, untuk lolos dari Ko-san dengan selamat rasanya sukar diramalkan.
Lenghou Tiong juga merasa terperanjat demi mendengar Co Leng-tan mengorek apa yang terjadi di masa
dahulu itu.
Terdengar Co Leng-tan melanjutkan pula, “Peleburan Ngo-gak-kiam-pay kita hari ini adalah peristiwa
mahapenting dalam sejarah selama beratus-ratus tahun ini. Bok-taysiansing, kau adalah ketua dari salah satu
aliran, tentunya engkau harus mengutamakan urusan mahapenting ini dan kesampingkan persengketaan
pribadi. Asalkan persoalannya menguntungkan kelima aliran kita, sepantasnya percekcokan perseorangan
harus dijauhkan. Maka dari itu Bok-heng, urusan yang sudah-sudah itu pun tak perlu kau pikirkan, Hui-sute
adalah suteku, nanti kalau Ngo-gak-pay sudah terlebur menjadi satu, dengan sendirinya Bok-heng adalah
saudara seperguruan pula dengan aku. Yang sudah meninggal biarlah, yang masih hidup buat apa mesti saling
bunuh pula?”
Kata-kata Co Leng-tan ini kedengaran sangat enak didengar, tapi sebenarnya bernada mengancam,
maksudnya kalau Bok-taysiansing bisa menyetujui soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay, maka soal terbunuhnya
Hui Pin takkan diusut dan akan diadakan perhitungan.
Begitulah, dengan mata melotot Co Leng-tan menatap Bok-taysiansing dan menegas pula, “Bagaimana Bokheng?
Betul tidak?”
Tapi Bok-taysiansing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Dengan tersenyum-senyum yang dibuat-buat Co Leng-tan berkata pula, “Soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay
kita agaknya Heng-san-pay sudah tiada berbeda pendirian. Lalu bagaimana dengan Thay-san-pay? Thian-bun
Toheng, bagaimana pendirianmu?”
Thian-bun Tojin lantas berdiri, dengan suara keras ia berkata, “Thay-san-pay didirikan oleh cikal bakal Tongleng
Totiang sudah hampir dua ratus tahun lamanya. Sungguh menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang
bijaksana sehingga tidak mampu mengembangkan Thay-san-pay lebih gemilang. Namun begitu, Thay-san-pay
yang sudah bersejarah dua ratus tahunan ini betapa pun tidak boleh putus di tanganku. Soal melebur Thaysan-
pay dengan golongan-golongan lain ini sekali-kali kami tidak dapat terima.”
Mendadak di tengah orang-orang Thay-san-pay berdiri seorang tojin berjenggot putih dan berjubah hijau,
serunya, “Ucapan Thian-bun Sutit ini kurang tepat. Thay-san-pay kita meliputi lebih 400 anggota, janganlah
karena kepentingan dirimu seorang mesti mengorbankan kepentingan orang banyak.”
Air muka tojin berjenggot itu tampak kurus kering, tapi suaranya ternyata keras dan kuat. Ada di antara
hadirin yang mengenalnya lantas berbisik-bisik pada teman di sekitarnya, “Dia bernama Giok-ki-cu, terhitung
paman gurunya Thian-bun Tojin.”
Memangnya Thian-bun Tojin berwajah merah bercahaya, mendengar kata-kata Giok-ki-cu itu, mukanya
menjadi tambah merah. Serunya segera, “Susiok, apa artinya ucapanmu ini? Sejak Sutit menjabat ketua Thaysan-
pay kita, dalam hal apa pernah kuabaikan kepentingan golongan kita? Sebabnya aku menolak peleburan
ngo-pay justru demi mempertahankan Thay-san-pay kita, di mana ada menyangkut kepentingan pribadiku?”
Giok-ki-cu tertawa mengejek, katanya, “Kelima golongan dilebur menjadi satu, seketika Ngo-gak-pay akan
sangat besar pengaruhnya, itu berarti setiap anak murid Ngo-gak-pay akan ikut merasakan manfaatnya.
Namun sebaliknya, Sutit, jabatanmu sebagai ciangbunjin lantas hanyut, bukan?”
Thian-bun Tojin menjadi gusar, teriaknya murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan
pribadi?”
Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pedang pendek kehitam-hitaman dari bajunya lalu berteriak pula, “Ini, mulai
saat ini aku tidak sudi menjadi ciangbunjin lagi. Kalau kau kepingin, boleh kau yang menjabatnya.”
Pedang pendek itu tiada menarik sedikit pun, tapi adalah benda yang diwariskan oleh Tong-leng Tojin, itu cikal
bakal Thay-san-pay, selama dua ratusan tahun benda itu selalu menjadi tanda pengenal pejabat ketuanya.
Melihat kedua tokoh Thay-san-pay itu bertengkar sendiri dan saling ngotot membela pendirian masing-masing,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
para hadirin menjadi sunyi, semuanya mengikuti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tertampak Giok-ki-cu maju selangkah, jengeknya, “Hm, kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”
“Kenapa tidak?” jawab Thian-bun dengan gusar.
“Baik, boleh serahkan padaku!” kata Giok-ki-cu. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu
pedang pendek di tangan Thian-bun Tojin itu telah dirampas olehnya.
Sama sekali Thian-bun tidak mengira Giok-ki-cu benar-benar akan merampas pedangnya, ia menjadi tertegun
oleh perbuatan Giok-ki-cu dan tahu-tahu pedangnya sudah berpindah ke tangan lawan. Tanpa berpikir lagi ia
terus lolos pedang panjang di pinggangnya.
Namun dengan cepat Giok-ki-cu sudah lantas melompat mundur. Pada saat itu dua sosok bayangan lantas
berkelebat, dua tosu tua lain telah mengadang di depan Thian-bun dengan pedang terhunus, bentak mereka
berbareng, “Thian-bun, sebagai angkatan muda kau berani melawan angkatan tua, apakah kau sudah lupa
pada undang-undang perguruan kita?”
Kedua tosu tua itu dikenal oleh Thian-bun sebagai paman-paman guru yang seangkatan dengan Giok-ki-cu,
namanya Giok-seng-cu dan Giok-im-cu.
Tidak kepalang gusar Thian-bun Tojin sehingga badan bergemetar, teriaknya, “Kedua Susiok menyaksikan
sendiri, apa... apakah yang diperbuat oleh Giok-ki... Giok-ki Susiok barusan ini?”
“Kami memang menyaksikan kau menyerahkan jabatan ciangbunjin kepada Giok-ki Suheng, kau sendiri rela
mengundurkan diri dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana, sungguh tindakanmu ini
patut dipuji,” kata Giok-im-cu.
Giok-seng-cu ikut bicara juga, “Giok-ki Suheng adalah susiokmu, sekarang dia adalah pejabat ciangbunjin pula,
tapi kau berani gunakan senjata dan bersikap keras padanya, ini namanya perbuatan durhaka terhadap orang
tua.”
“Aku bicara di waktu marah, padahal kedudukan ketua Thay-san-pay kita masakah boleh diserahkan begini
saja kepada setiap orang? Seumpama akan kuberikan pada orang lain juga sekali-kali tidak... tidak kepada
Giok-ki,” seru Thian-bun dengan penasaran.
“Sebagai seorang kesatria, mengapa kau menjilat kembali ludahmu sendiri?” kata Giok-im-cu.
Tiba-tiba seorang tojin setengah umur di tengah rombongan orang Thay-san-pay berteriak, “Ketua golongan
kita selama ini adalah suhuku, kalian beberapa susiokco ini sebenarnya hendak main gila apa?”
Tojin setengah umur ini bernama Kian-tu, dia adalah murid Thian-bun yang kedua.
Menyusul seorang tojin lain juga berdiri dan berseru, “Thian-bun Suheng telah menyerahkan jabatannya
kepada guruku, peristiwa ini telah disaksikan beribu pasang mata dan telinga yang hadir di Ko-san sekarang
ini, masakah persoalan ini bisa dipalsukan? Dengan jelas Thian-bun Suheng tadi menyatakan, ‘Sejak kini aku
tidak menjabat ciangbunjin lagi, kalau kau kepingin boleh kau ambil saja!’. Coba katakan, betul tidak?”
Yang bicara ini adalah murid Giok-ki-cu, terhitung satu angkatan dengan Thian-bun Tojin. Dalam Thay-san-pay,
Thian-bun Tojin adalah murid dari kelompok tertua, pengaruh kelompoknya adalah paling kuat, namun
beberapa susioknya serentak bergabung untuk memencilkan dia, dengan demikian di antara dua ratusan
anggota Thay-san-pay yang hadir di Ko-san ini adalah tiga per empat yang berdiri di pihak lawan.
Seketika itu orang-orang Thay-san-pay menjadi ribut, berpuluh orang sama berteriak-teriak, “Ketua lama
undurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas mundur, biar ketua baru menggantikannya!”
Giok-ki-cu lantas mengangkat tinggi-tinggi pedang pandak yang dirampasnya dari Thian-bun tadi dan
berteriak, “Ini adalah tanda kebesaran Tong-leng Cosuya kita, ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Tongleng’,
pantas tidak kalau kita taat kepada perintah tinggalan cikal bakal kita?”
“Benar, tepat sekali ucapan Ciangbunjin!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Murid murtad Thian-bun berani melawan atasan dan tidak tunduk kepada peraturan, dia harus dibekuk dan
dihukum,” demikian ada yang berseru.
Melihat suasana begitu, Lenghou Tiong menduga tentu Co Leng-tan yang telah mengatur semuanya itu. Watak
Thian-bun Tojin sangat berangasan, karena tidak sabar, hanya beberapa kata-kata saja telah membuatnya
masuk perangkap lawan. Kini pihak lawan lagi mendapat angin, Thian-bun bukanlah seorang yang pintar
menghadapi kejadian-kejadian luar biasa, maka ia hanya bisa berjingkrak murka, tapi mati kutu, tak bisa
berbuat apa-apa.
Ketika Lenghou Tiong memandang ke tengah orang-orang Hoa-san-pay, dilihatnya sang suhu berdiri di sana
dengan berpangku tangan, air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu pendapat. Pikirnya, “Tentu beliau tidak
dapat menyetujui tindakan Giok-ki-cu dan kawan-kawannya itu. Namun suhu tampaknya tidak ingin ikut
campur persoalan orang, agaknya beliau hendak melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku pun tunggu saja
mengikuti haluan suhu.”
Dalam pada itu tampak Giok-ki-cu telah memberi isyarat, serentak 150-an orang Thay-san-pay yang termasuk
begundalnya lantas memencarkan diri dengan pedang terhunus, seketika sisa orang Thay-san-pay yang lain–
kurang-lebih 50 orang–lantas terkepung di tengah-tengah.
Yang terkepung itu dengan sendirinya adalah anak murid Thian-bun Tojin.
Dengan murka Thian-bun lantas membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, coba maju!”
Dengan suara lantang Giok-ki-cu berteriak, “Dengarkan, Thian-bun! Selaku ketua Thay-san-pay, kuperintahkan
agar kau membuang senjata dan menyerahkan diri, apakah kau berani membangkang terhadap pedang pusaka
tinggalan Cosuya ini?”
“Huh, siapa yang mengakui kau sebagai ketua Thay-san-pay kita?” jawab Thian-bun dengan gusar.
Tapi Giok-ki-cu lantas berseru pula, “Dengarkan anak murid Thian-bun, urusan ini tiada sangkut pautnya
dengan kalian, asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka kesalahan kalian takkan
diusut, kalau tidak, tentu kalian akan terima ganjaran setimpal.”
Dengan suara, keras Kian-tu Tojin berkata, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Cosuya
bahwa kau takkan menghancurkan Thay-san-pay yang dibangun Cosuya secara susah payah, maka tidaklah
menjadi soal bila kau yang menjabat ketua kita. Namun baru sekejap saja kau mengaku menjabat ketua,
serentak kau menjual Thay-san-pay kita kepada Ko-san-pay. Kau benar-benar orang berdosa terhadap Cosuya
di alam baka, kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai anggota Thay-san-pay.”
“Kurang ajar!” damprat Giok-im-cu. “Kau cuma anak murid tingkat tiga, dengan hak apa kau berani mengoceh
terhadap orang tua angkatan ‘Giok’. Apa jeleknya Ngo-gak-kiam-pay dilebur menjadi satu? Bukankah Ko-sanpay
sendiri nanti juga terlebur di dalamnya?”
“Hm, secara diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Co Leng-tan dalam usahanya mencaplok
anggota-anggota Ngo-gak-kiam-pay yang lain,” teriak Thian-bun dengan gusar. “Hm, pendek kata, bila perlu
kalian boleh bunuh aku, tapi suruh aku takluk kepada Ko-san-pay, hm, jangan harap.”
“Kalian tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Cosuya, janganlah menyesal bila sebentar nanti
kalian semua akan mampus tak terkubur,” teriak Giok-ki.
Thian-bun ternyata pantang menyerah, serunya, “Setiap anak murid Thay-san-pay yang setia, hari ini biarlah
kita bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan di puncak Ko-san ini.”
“Benar, bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak anak murid Thian-bun yang berdiri di sekitarnya.
Meski jumlah mereka cuma sedikit, tapi tekad mereka bulat, sedikit pun tidak gentar.
Kalau Giok-ki-cu memberi komando agar anak buahnya menyerang, seketika rasanya sukar juga membunuh
habis anak buah Thian-bun Tojin, sebaliknya beribu-ribu kesatria yang hadir di situ, terutama tokoh-tokoh
seperti Hong-ting Taysu, Tiong-hi Tojin, dan lain-lain tentu juga tak bisa tinggal diam menyaksikan
pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maka Giok-ki-cu, Giok-im-cu, dan Giok-seng-cu serta kawan-kawannya hanya saling pandang saja dengan
ragu-ragu, seketika mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba jauh di sebelah kiri sana seorang berseru dengan kemalas-malasan, “Selama hidup Locu sudah
menjelajahi dunia ini, kesatria dan pahlawan yang kukenal juga tak terhitung banyaknya, tapi babi yang suka
menjilat kembali ludah sendiri artinya menyangkal apa yang diucapkan sendiri hanya dalam waktu singkat saja
sungguh jarang kulihat.”
Pandangan semua orang beralih ke arah datangnya suara, terlihat seorang laki-laki berbaju dari kain kasar
berdiri bersandar pada sepotong batu cadas, tangan kiri memegang sebuah caping, caping itu dikebaskebaskan
sebagai kipas, sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung, sikapnya acuh tak acuh.
Semua orang tidak kenal asal usulnya, juga tidak tahu ucapannya itu ditujukan kepada siapa. Terdengar si
jangkung berkata pula, “Huh, sudah jelas kau telah menyerahkan jabatan ciangbunjin kepada orang lain,
memangnya apa yang sudah kau katakan itu hanya kentut belaka? Kalau begini, sebaiknya salah satu namamu
‘Thian’ itu diganti menjadi ‘kentut’ saja.”
Mendengar ini, Giok-ki-cu dan lain-lain baru tahu si jangkung berdiri di pihaknya, maka tertawalah mereka.
Dengan gusar Thian-bun menjawab, “Urusan Thay-san-pay kami, tidak perlu orang lain ikut campur.”
Tapi si jangkung masih bicara dengan kemalas-malasan, “Setiap urusan yang kulihat tidak adil pasti akan aku
urus. Hari ini adalah hari bahagia penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, tapi kau sengaja bikin ribut di sini dan
mengacaukan suasana baik ini, sungguh keterlaluan kau.”
Sekonyong-konyong pandangan semua orang serasa kabur, si jangkung mendadak melompat maju, dengan
kecepatan yang sukar dilukiskan dia terus menerjang ke tengah orang Thay-san-pay, capingnya terangkat ke
atas, serentak ia menghantam ke atas kepala Thian-bun.
Thian-bun Tojin tidak menangkis serangan orang, tapi pedangnya membarengi menusuk ke dada musuh. Di
luar dugaan orang itu terus menjatuhkan diri ke bawah, menyusul dengan cepat sekali ia terus menerobos
lewat melalui selangkangan Thian-bun. Ketika ia membalik tubuh, sebelah kakinya lantas mendepak, “plak”,
dengan tepat hiat-to di punggung Thian-bun Tojin kena ditendang olehnya.
Beberapa gerakan itu sungguh teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Keruan semua orang
melongo, dalam keadaan tak terduga-duga Thian-bun Tojin menjadi kecundang.
Melihat sang guru mengalami kekalahan, serentak beberapa murid Thian-bun mengangkat pedang dan
menusuk si jangkung. Tapi orang itu bergelak tertawa malah, punggung Thian-bun dipegangnya terus
disodorkan ke depan. Keruan anak murid Thian-bun kelabakan dan lekas-lekas tarik kembali pedang masingmasing.
“Lekas buang senjata kalian, kalau tidak, segera kupuntir putus kepala gurumu ini!” bentak si jangkung sambil
menjambak rambut Thian-bun dan bergerak akan memuntir kepalanya.
Dalam keadaan begitu, percuma saja Thian-bun memiliki kepandaian tinggi, sama sekali ia tak bisa berkutik.
Saking gusarnya sampai wajahnya merah padam.
“Caramu menyerang secara menggelap itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati, siapakah namamu yang
terhormat?” kata Kian-tu Tojin.
“Plak”, mendadak si jangkung menempeleng muka Thian-bun satu kali, katanya dengan kemalas-malasan,
“Siapa berani bersikap kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”
Melihat sang guru dianiaya orang, anak murid Thian-bun sama khawatir dan murka, kalau serentak mereka
menusuk dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh tertancap pedang
hingga mirip binatang landak. Namun terpaksa mereka tak berani sembarangan bertindak mengingat sang guru
berada dalam genggaman musuh. Seorang anak muda berteriak, “Kau binatang....”
“Plok”, kembali Thian-bun ditempeleng oleh si jangkung. Katanya, “Itulah dia muridmu yang pintar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengucapkan kata-kata kotor!”
Pada saat itulah mendadak Thian-bun berteriak satu kali, darah segar terus menyembur keluar dari mulutnya.
Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan pegangannya, tapi sudah terlambat. Thian-bun sempat putar
kepalanya sehingga keduanya sekarang muka berhadapan muka, sedangkan darah masih menyembur keluar
dari mulut Thian-bun, keruan muka si jangkung tersembur sehingga basah kuyup. Pada saat yang sama Thianbun
terus mencekik leher lawan dengan kedua tangan, terdengar suara “krak” satu kali, tulang leher si
jangkung telah dipatahkan mentah-mentah oleh Thian-bun. Ketika Thian-bun ayun tangannya, orang itu
terlempar dan jatuh menggelepar, tampak berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi. Dasar tubuh
Thian-bun memang tinggi besar, kini tambah gagah tampaknya, hanya mukanya penuh darah dan
menyeramkan.
Selang sejenak, mendadak Thian-bun membentak keras, badan sempoyongan terus roboh, ternyata ia pun
mengembuskan napas penghabisan.
Rupanya tadi ia kena dibekuk oleh si jangkung, ditambah lagi dianiaya dan dihina di depan orang banyak,
saking gemasnya dia rela mengorbankan jiwa sendiri, sekuatnya ia mengerahkan tenaga dalam untuk
membobolkan hiat-to sendiri yang tertutuk musuh sehingga dapat bergerak bebas, lalu sekuat sisa tenaga ia
membinasakan musuh, sedangkan ia sendiri pun gugur bersama musuh karena urat nadi terputus lantaran
getaran tenaga yang dipaksakan itu.
Serentak anak murid Thian-bun berteriak memanggil sang guru dan memburu maju, namun Thian-bun sudah
tidak bernapas lagi, maka menangislah mereka dengan sedih.
Di tengah ribut-ribut itu, tiba-tiba ada orang berseru, “Co-ciangbun, kau sengaja menampilkan orang macam
‘Tong-hay-siang-ok’ untuk melayani Thian-bun Totiang, caramu ini tidakkah rada keterlaluan?”
Semua orang melihat yang bicara itu adalah seorang kakek berwajah buruk yang dikenal bernama sebagai Ho
Sam-jit, sering kali kakek itu kelihatan menjual bakmi pangsit di berbagai kota besar, terutama di Kota Hengsan.
Tentang asal usul si jangkung yang dibinasakan Thian-bun Tojin itu tiada seorang pun yang tahu, tapi Ho Samjit
mengatakan si jangkung adalah satu di antara “Tong-hay-siang-ok”, dua durjana dari lautan timur. Padahal
macam apa tokoh-tokoh Tong-hay-siang-ok yang dimaksudkan juga tidak banyak yang tahu.
Maka Co Leng-tan telah menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan menertawakan. Sedangkan Ki-heng yang
gugur itu juga baru pertama kukenal hari ini, mengapa kau mengatakan aku sengaja menampilkan dia?”
Ho Sam-jit berkata pula, “Co-ciangbun mungkin belum lama kenal Tong-hay-siang-ok, tapi hubunganmu
dengan guru Siang-ok, yaitu ‘Pek-pan-sat-sing’ tentunya lain daripada yang lain bukan?”
“Pek-pan-sat-sing” atau Bintang Maut Halus Polos yang disebut itu benar-benar menggemparkan para hadirin
yang tahu apa artinya nama itu. Dalam permainan maciok atau mahyong ada kartu yang disebut pek-pan,
yaitu yang mukanya putih halus tanpa sesuatu tanda. Menurut cerita orang tua, Pek-pan-sat-sing adalah
seorang iblis mahajahat, suka makan anak kecil yang suka menangis, konon Pek-pan-sat-sing itu tidak punya
hidung, hanya kelihatan lubang hidung saja, mukanya jadi rata polos sebagai kartu pek-pan dalam permainan
maciok.
Lenghou Tiong masih ingat di waktu Gak Leng-sian masih kecil, di kala anak dara itu suka menangis, maka ibu
gurunya sering menakut-nakutinya dengan menggunakan nama Pek-pan-sat-sing. Terkenang kepada kejadian
di masa lampau itu, tanpa terasa Lenghou Tiong memandang ke arah Gak Leng-sian, dilihatnya sumoaynya itu
sedang memandang jauh ke sana seperti lagi melamun, air mukanya tampak murung, agaknya ucapan Ho
Sam-jit tentang Pek-pan-sat-sing tadi tidak diperhatikan olehnya, bisa jadi apa yang terjadi di masa lampau itu
pun sudah terlupa semua.
Melihat sikap Leng-sian itu, Lenghou Tiong menjadi heran, pikirnya, “Siausumoay baru saja menikah dengan
Lim-sute yang dicintainya itu, seharusnya dia merasa gembira dan bahagia, ada urusan apakah yang membikin
hatinya murung? Jangan-jangan kedua suami istri baru itu telah bertengkar sendiri?”
Ia coba memandang Lim Peng-ci, pemuda itu tampak berdiri di sisi Leng-sian, air mukanya sangat aneh,
seperti tertawa, tapi toh bukan tertawa, seperti lagi marah, tapi juga bukan marah. Kembali Lenghou Tiong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terkejut, “Aneh, sikap macam apakah ini? Aku seperti sudah pernah melihat air muka seorang yang demikian
ini?”
Tapi di mana pernah dilihatnya tak teringat olehnya.
Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan lagi berkata, “Giok-ki Toheng, lebih dulu aku mengucapkan selamat
kepadamu sebagai ketua Thay-san-pay baru. Lalu mengenai penggabungan Ngo-gak-kiam-pay seperti
kuuraikan tadi, bagaimana dengan pendapat Toheng?”
Melihat Co Leng-tan menyimpangkan persoalan dan tidak menjawab pertanyaan Ho Sam-jit tadi, maka soal dia
berhubungan baik dengan Pek-pan-sat-sing berarti telah diakuinya secara diam-diam.
Dengan mengacungkan pedang pandak, dengan berseri-seri Giok-ki-cu menjawab, “Soal peleburan Ngo-gakkiam-
pay menjadi satu, kuanggap cara ini hanya ada baiknya bagi kelima golongan kita dan tiada jeleknya
sama sekali. Hanya manusia tamak yang mementingkan diri sendiri seperti Thian-bun saja yang tidak setuju,
tapi setiap orang yang berpandangan jauh pasti akur. Co-bengcu, sebagai pejabat ketua Thay-san-pay, aku
menyatakan bahwa Thay-san-pay kami dengan suara bulat menyetujui soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay kita.
Segenap anggota Thay-san-pay kami menyatakan taat di bawah pimpinanmu demi untuk perkembangan dan
kejayaan Ngo-gak-pay, bila ada orang hendak merintangi peleburan ini dengan maksud jahat, maka Thay-sanpay
kami yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Menyusul beratus orang Thay-san-pay lantas bersorak menyatakan setuju, karena mereka berteriak serentak,
suara mereka menjadi menggelegar berkumandang jauh. Anehnya teriakan mereka satu sama lain serupa dan
berbarengan, tampaknya sebelumnya mereka sudah dilatih. Apalagi kalau melihat cara bicara Giok-ki-cu yang
begitu hormat kepada Co Leng-tan, jelas sebelumnya mereka sudah bersekongkol dan pasti Giok-ki-cu telah
banyak mendapat kebaikan dari Co Leng-tan.
Melihat gurunya mati secara mengenaskan, tapi keadaan gelagat tidak menguntungkan, anak murid Thian-bun
Tojin terpaksa bungkam saja, hanya dalam hati mereka mencaci maki dan mengutuk, ada yang mengepal
dengan geram dan bersumpah di dalam batin kelak pasti akan menuntut balas kepada Giok-ki-cu beserta
begundal-begundalnya.
Maka terdengar Co Leng-tan berseru lagi, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay kita kini sudah jelas Heng-san-pay dan
Thay-san-pay telah menyatakan setuju penggabungan, tampaknya soal ini memang menjadi cita-cita orang
banyak demi kebahagiaan bersama, maka Ko-san-pay kami dengan sendirinya juga mengikuti suara orang
banyak dan siap meleburkan diri.”
Dalam hati Lenghou Tiong menjengek, “Hm, urusan ini hakikatnya adalah kau yang merencanakan sebagai
biang keladi, tapi kau malah pura-pura mengikuti suara orang banyak dan berlagak tidak tahu.”
Terdengar Co Leng-tan berkata pula, “Di antara ngo-pay (kelima aliran) kini sudah ada tiga yang setuju
bergabung, sekarang tinggal Hoa-san-pay dan Hing-san-pay saja, entah bagaimana pendapat kalian? Ketua
Hing-san-pay yang dahulu, mendiang Ting-sian Suthay pernah beberapa kali berunding dengan Cayhe tentang
penggabungan ini, beliau waktu itu juga sangat setuju, begitu pula Ting-cing dan Ting-yat Suthay juga akur.”
Sekonyong-konyong di tengah orang banyak suara seorang wanita yang nyaring berseru, “Co-ciangbun,
ucapanmu ini tidak betul. Sebelum ciangbunjin dan kedua susiok kami wafat, beliau-beliau justru menentang
keras soal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini. Sebabnya beliau-beliau bertiga wafat berturut-turut justru
karena mereka antipeleburan ini. Mengapa kau malah sengaja memaksakan pendirianmu atas beliau bertiga?”
Semua orang sama memandang ke arah orang yang bicara itu, ternyata adalah seorang anak dara cantik, yaitu
murid Hing-san-pay yang bernama The Oh.
Bab 112. Siapa yang Berdiri di Belakang Tho-kok-lak-sian
Dengan lantang Co Leng-tan menjawab, “Guru kalian mempunyai pandangan jauh dan perhitungan mendalam,
beliau adalah tokoh paling hebat dari Ngo-gak-kiam-pay kita, selamanya aku pun sangat kagum padanya.
Cuma sayang beliau telah meninggal di Siau-lim-si tempo hari, kalau beliau masih hidup, maka ketua Ngo-gakpay
hari ini rasanya takkan diperebutkan lagi, cukup serahkan saja kepada Ting-sian Suthay.”
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Dahulu di waktu Cayhe berunding tentang penggabungan Ngogak-
kiam-pay dengan Ting-sian Suthay bertiga, secara tegas Cayhe juga pernah menyatakan bilamana
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
peleburan Ngo-gak-kiam-pay jadi dilaksanakan, maka jabatan ketua Ngo-gak-pay sudah pasti akan kuminta
Ting-sian Suthay yang menjabatnya. Tatkala mana Ting-sian Suthay secara rendah hati telah menolak usulku,
tapi setelah Cayhe menyarankan dengan sungguh-sungguh, akhirnya Ting-sian Suthay tidak menolak lagi.
Tapi, ai, sungguh harus disesalkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan darmabakti itu sudah
mendahului meninggal di Siau-lim-si, sungguh membikin hati sedih dan gegetun.”
Berturut-turut ia dua kali menyebut Siau-lim-si, secara samar-samar ucapannya itu hendak mengingatkan
orang bahwa kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay itu adalah perbuatan pihak Siau-lim-si, seumpama
pembunuhnya bukan orang Siau-lim-pay, tapi tempat kejadian itu adalah tempat suci yang diagungkan dunia
persilatan, namun pembunuh itu tetap berani melakukan kejahatannya, maka betapa pun pihak Siau-lim-pay
harus ikut bertanggung jawab.
Tiba-tiba suara seorang serak kasar berteriak, “Ucapan Co-ciangbun kurang tepat. Dahulu Ting-sian Suthay
pernah berkata padaku, katanya beliau justru mendukung engkau menjadi ketua Ngo-gak-pay.”
Co Leng-tan menjadi senang, ia coba memandang ke arah pembicara, dilihatnya orang itu berwajah buruk dan
aneh, kepala kecil lancip, mata kecil seperti tikus, ternyata tidak dikenalnya. Tapi dari bajunya yang berwarna
hitam dapat diketahui adalah orang Hing-san-pay. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah serupa,
dandanan juga sama. Ia tidak tahu bahwa keenam orang itu adalah Tho-kok-lak-sian.
Meski senang dalam hati, tapi lahirnya Co Leng-tan pura-pura dingin saja, katanya, “Siapakah nama Saudara
yang mulia ini? Meski dahulu Ting-sian Suthay memang pernah menyarankan demikian, tapi kalau Cayhe
dibandingkan beliau boleh dikata jauh untuk bisa memadai.”
Yang baru bicara itu adalah Tho-kin-sian, dia berdehem satu kali, lalu menjawab, “Aku bernama Tho-kin-sian,
kelima orang ini adalah saudara-saudaraku.”
“O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!” ujar Co Leng-tan.
“Apa yang menjadikan kau kagum kepada kami?” tanya Tho-ki-sian. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau
kagum terhadap kecerdikan kami?”
“Buset, kiranya orang dogol,” demikian Co Leng-tan membatin dalam hati. Tapi mengingat kata-kata Tho-kinsian
yang memujinya tadi, ia lantas menjawab, “Baik ilmu silat maupun kecerdikan kalian sudah lama
kukagumi.”
“Ilmu silat kami sih tidak seberapa,” sela Tho-kan-sian. “Bila kami berenam maju sekaligus memang lebih
tinggi sedikit daripada kau Co-bengcu, tapi kalau satu lawan satu harus diakui selisih rada jauh.”
“Namun kalau bicara tentang kecerdikan memang kami jauh lebih tinggi daripadamu,” sambung Tho-hoa-sian.
“Betulkah begitu?” jengek Co Leng-tan sambil mengerut kening.
“Sedikit pun tidak salah,” sahut Tho-hoa-sian. “Begitulah dikatakan oleh Ting-sian Suthay dahulu.”
“Ya, dahulu di waktu Ting-sian Suthay mengobrol dengan Ting-cing dan Ting-yat Suthay bila bicara tentang
penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, sering kali Ting-sian Suthay mengatakan bahwa orang yang paling tepat
menjabat ketua Ngo-gak-pay adalah Co-bengcu dari Ko-san. Kau percaya tidak apa yang dikatakan Ting-sian
Suthay?”
“Itu karena Ting-sian Suthay menghargai diriku, tapi aku sendiri tidak berani menerimanya,” ujar Co Leng-tan.
“Kau jangan senang dahulu,” kata Tho-kin-sian. “Sebab Ting-cing Suthay berpendapat lain, beliau mengatakan
engkau Co-bengcu memang seorang kesatria, kalau dibandingkan para tokoh persilatan umumnya, memang
termasuk pilihan yang baik bila engkau diangkat menjadi ketua Ngo-gak-pay, namun beliau anggap kau terlalu
nafsu, terlalu mementingkan diri pribadi, berpikiran sempit, dada kurang lapang, bila kau jadi diangkat menjadi
ketua, maka yang paling celaka tentulah anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua ini.”
“Ya, maka Ting-sian Suthay lantas berkata bahwa untuk calon ketua yang bijaksana sudah tersedia enam
kesatria sejati di sini,” sambung Tho-kan-sian. “Keenam kesatria ini tidak cuma tinggi dalam ilmu silat, bahkan
pengetahuannya luas dan cerdik, mereka sangat cocok untuk diangkat menjadi ketua Ngo-gak-pay.”
“Enam kesatria?” jengek Co Leng-tan. “Hm, mana keenam orang itu?”
“Aha, tak-lain tak-bukan ialah kami berenam saudara ini,” jawab Tho-hoa-sian.
Maka bergemuruhlah suara tertawa orang banyak oleh kata-kata Tho-hoa-sian itu. Sebagian besar para hadirin
itu tidak kenal Tho-kok-lak-sian, tapi melihat wajah mereka yang aneh dan tingkah laku yang lucu, katakatanya
jenaka, malah sekarang mengaku punya kepandaian tinggi dan pengetahuan yang luas, tentu saja
mereka merasa geli.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah Tho-ki-sian lantas ikut menyambung, “Dahulu ketika Ting-sian Suthay menyebut ‘keenam kesatria’,
seketika Ting-cing dan Ting-yat Suthay teringat kepada kami berenam saudara, maka serentak mereka
bersorak setuju. Eh, apa yang dikatakan Ting-yat Suthay ketika itu, apakah kau masih ingat, Saudaraku?”
“Sudah tentu aku masih ingat,” sahut Tho-sit-sian. “Di tengah sorak gembira ketiga tokoh itu, Ting-yat Suthay
lantas berkata, ‘Tho-kok-lak-sian memang selisih sedikit kalau dibandingkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si,
masih lebih rendah juga kalau dibandingkan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay. Tapi dibandingkan tokoh-tokoh
Ngo-gak-kiam-pay pada umumnya boleh dikata tiada seorang pun yang mampu menandingi mereka. Betul
tidak, kedua Suci?’
“Maka Ting-cing Suthay telah menjawab, ‘Sebenarnya bicara tentang ilmu silat dan pengetahuan sesungguhnya
Ting-sian Suci masih di atas Tho-kok-lak-sian, cuma sayang kita adalah kaum wanita, untuk menjadi ketua
Ngo-gak-pay dan memimpin beribu-ribu pahlawan dan kesatria rasanya rada-rada repot. Maka dari itu,
memang paling baik kita menyarankan Tho-kok-lak-sian saja yang menjadi ketua Ngo-gak-pay.’”
Semakin mendengar semakin geli Lenghou Tiong, ia tahu Tho-kok-lak-sian sengaja meledek Co Leng-tan dan
mengacaukan pertemuan ini. Kalau Co Leng-tan berani mengarang ucapan orang-orang yang sudah mati, apa
salahnya kalau Tho-kok-lak-sian juga membual sehingga Co Leng-tan mati kutu.
Soal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, di antara para hadirin itu kecuali anak buah Ko-san-pay beserta
sebagian kecil orang-orang yang sudah berkomplot dengan Co Leng-tan, selebihnya boleh dikata tidak setuju.
Ada tokoh-tokoh yang berpandangan jauh seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, mereka khawatir kalau
kekuatan Co Leng-tan bertambah besar dan kelak tentu akan menimbulkan bencana bagi dunia Kangouw. Ada
yang menyaksikan kematian Thian-bun Tojin tadi secara mengenaskan serta sikap Co Leng-tan yang garang,
hal ini telah menimbulkan rasa benci dan memuakkan mereka. Sedangkan orang-orang seperti Lenghou Tiong
dan anak murid Hing-san-pay, mereka menduga pasti Co Leng-tan yang membunuh Ting-sian Suthay bertiga,
maka yang mereka cita-citakan adalah menuntut balas, dan dengan sendirinya mereka paling tegas memusuhi
pihak Ko-san-pay. Maka dari itu mereka menjadi senang, bahkan banyak yang tertawa riuh melihat Co Lengtan
mati kutu menghadapi Tho-kok-lak-sian yang bicara secara lucu itu.
Maka terdengarlah suara seorang berseru, “Tho-kok-lak-sian, apa yang diucapkan Ting-sian Suthay bertiga itu,
siapa lagi yang mendengarkan?” Agaknya pembicara ini adalah begundalnya Co Leng-tan.
Dengan tertawa Tho-kin-sian menjawab, “Berpuluh anak murid Hing-san-pay juga ikut mendengarkan. Betul
tidak, Nona The?”
The Oh menahan rasa gelinya dan menjawab, “Betul! Co-ciangbun, kau sendiri bilang guruku menyetujui
penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, siapa lagi yang mendengar ucapan beliau ini? Wahai para suci dan sumoay
dari Hing-san-pay, adakah di antara kalian pernah mendengar ucapan demikian dari suhuku?”
“Tidak, tidak pernah dengar,” jawab berpuluh murid Hing-san-pay secara serentak. Bahkan ada yang berteriak,
“Tentu Co-ciangbun sendiri yang mengarang cerita demikian.”
Seorang lagi menyambung, “Dibandingkan Co-ciangbun, suhu kami jelas lebih mendukung Tho-kok-lak-sian.
Sebagai murid beliau masakah kami tidak tahu pikiran guru sendiri?”
Di tengah suara tertawa orang banyak, dengan suara keras Tho-ki-sian lantas berseru, “Nah, betul tidak katakata
kami? Kami tidak berdusta bukan? Malahan kemudian Ting-sian Suthay berkata pula, ‘Setelah bergabung,
yang menjabat ketua Ngo-gak-pay hanya satu orang saja, padahal Tho-kok-lak-sian terdiri dari enam orang,
lalu siapa di antaranya yang harus diangkat?’
“Eh, Saudaraku, apa yang dijawab oleh Ting-cing Suthay waktu itu?”
“Beliau mengatakan... mengatakan, o ya, katanya, ‘Biar ngo-pay dilebur menjadi satu, tapi kelima gunung
yang menjadi empat kedudukan kelima aliran itu toh tak bisa dikumpulkan menjadi satu, sedangkan Co Lengtan
juga bukan malaikat dewata, apa dia mampu memindahkan kelima gunung itu untuk dipersatukan? Maka
dari itu Tho-kok-lak-sian diminta membagi lima orang untuk menduduki kelima pegunungan itu, sisanya
seorang lagi adalah pemimpin pusat.’
“Lalu Ting-yat Suthay menanggapi, ‘Pendapat Suci memang benar. Rupanya ayah-bunda Tho-kok-lak-sian
sudah tahu sebelumnya bahwa kelak Co Leng-tan akan melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, maka
sengaja melahirkan mereka enam bersaudara. Kenapa tidak melahirkan lima orang atau tujuh orang, tapi bikin
pas enam orang. Sungguh harus dikagumi kepandaian ayah-bunda Tho-kok-lak-sian itu.’”
Mendengar kata-kata jenaka ini, seketika bergemuruhlah suara tawa orang banyak.
Sebenarnya rencana Co Leng-tan dalam pertemuan ini akan dilaksanakan secara khidmat dan tertib agar
disegani oleh para kesatria yang hadir, siapa duga mendadak muncul enam manusia dogol dan mengacaukan
upacara yang diagungkan ini. Keruan gusar Co Leng-tan tak terlukiskan. Cuma sayang dia sendiri adalah tuan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
rumah sehingga terpaksa harus bersabar sedapat mungkin. Tapi di dalam batin ia mengutuk Tho-kok-lak-sian
dan mengambil keputusan bila urusan penting sudah selesai, maka keenam keparat ini pasti akan dibinasakan
olehnya.
Dalam pada itu Tho-sit-sian mendadak menangis keras-keras, teriaknya, “Wah, tidak bisa, tidak bisa jadi. Kami
berenam saudara sejak keluar dari perut ibu selamanya tak pernah berpisah satu sama lain, bilamana sekarang
kami masing-masing harus menjabat ketua dari kelima aliran sehingga terpaksa terpencar di lima tempat, ini
takkan kulakukan, takkan kulakoni.”
Cara menangisnya begitu sungguh-sungguh, seakan-akan kedudukan mereka di lima gunung untuk menjabat
ketua kelima aliran itu sudah ditetapkan dengan pasti, maka merasa tidak tega untuk berpisah dengan
saudaranya.
Terdengar Tho-kan-sian lantas menanggapi, “Tak perlu Adik bersedih, kita berenam pasti takkan berpisah, kau
tidak tega berpisah dengan para kakak-kakak, maka kakakmu ini pun tidak tega berpisah dengan adikku. Maka
jalan paling baik supaya kita tidak diangkat menjadi pemimpin kelima gunung yang terpisah jauh satu sama
lain itu, terpaksa kita harus menyatakan antipenggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini.”
“Ya, seumpama benar harus dilebur juga perlu tunggu sampai nanti di tengah Ngo-gak-kiam-pay sudah muncul
seorang pahlawan sejati, seorang kesatria tulen yang lebih berwibawa daripada kita berenam, yang cocok
untuk memimpin Ngo-gak-pay, dengan begitulah baru kita dapat menyetujui penggabungan ini.”
Melihat keenam orang itu masih terus mengoceh tak keruan, Co Leng-tan pikir harus ambil tindakan tegas dan
tepat untuk mengatasi keadaan, maka segera ia berteriak, “Sesungguhnya ketua Hing-san-pay dijabat kalian
berenam kesatria ini ataukah masih ada orang lain lagi? Apakah urusan Hing-san-pay telah dikuasakan kepada
kalian?”
“Kalau kami berenam kesatria besar ini mau menjabat ketua Hing-san-pay sebenarnya bukan soal,” jawab Thoki-
sian. “Tapi mengingat ketua Ko-san-pay adalah engkau ini, bila kami menjadi ketua Hing-san-pay, itu akan
berarti kami harus berdiri sama tinggi dan berduduk sama rendah dengan orang she Co seperti kau, untuk ini,
hehe, hehe....”
“Berdiri sama tinggi dengan dia sudah tentu akan sangat merosotkan derajat kami berenam, sebab itulah ketua
Hing-san-pay terpaksa kami serahkan kepada Lenghou-kongcu untuk menjabatnya,” sambung Tho-hoa-sian.
Sungguh tidak kepalang rasa murka Co Leng-tan, dengan dingin ia berkata kepada Lenghou Tiong, “Lenghoukongcu,
engkau adalah ketua Hing-san-pay, kenapa kau tidak dapat mengajar mereka dan membiarkan dia
mengoceh tak keruan di depan para kesatria, kan membikin malu saja?”
“Keenam saudara ini bicara secara kekanak-kanakan tanpa tedeng aling-aling, tapi sesungguhnya mereka
bukan manusia yang suka mengarang kata-kata ngawur dan omongan dusta,” jawab Lenghou Tiong. “Mereka
hanya menguraikan kembali apa yang pernah diucapkan mendiang ketua kami Ting-sian Suthay, sudah tentu
jauh lebih dapat dipercaya daripada orang luar yang suka ngaco-belo tanpa dasar.”
“Hm, jadi penggabungan Ngo-gak-kiam-pay sekarang hanya Hing-san-pay kalian yang mempunyai pendirian
berbeda?” jengek Co Leng-tan.
“Hing-san-pay sih tiada pendirian yang tersendiri. Gak-siansing, ketua Hoa-san-pay adalah guruku yang
berbudi yang pertama mengajarkan kepandaian padaku, meski Cayhe sekarang telah masuk di aliran lain, tapi
tak berani melupakan ajaran-ajaran guruku di masa lampau.”
“Jika demikian, jadi kau masih tetap tunduk kepada apa yang dikatakan Gak-siansing dari Hoa-san?” Co Lengtan
menegas.
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Hing-san-pay kami dan Hoa-san-pay tetap bahu-membahu dan gotong royong
satu hati.”
Co Leng-tan lantas berpaling ke arah Hoa-san-pay dan berseru, “Gak-siansing, Lenghou-ciangbun ternyata
tidak melupakan budi kebaikanmu terhadapnya di masa lampau, sungguh aku ikut gembira dan bahagia
bagimu. Dalam hal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini apakah engkau pro atau anti, yang jelas Lenghouciangbun
telah menyatakan akan mengikuti haluanmu. Lantas bagaimana dengan pendirianmu?”
“Terima kasih atas pertanyaan Co-bengcu ini,” jawab Gak Put-kun dengan tenang-tenang. “Mengenai urusan
penggabungan ini Cayhe memang pernah mempertimbangkannya secara masak-masak, tapi untuk mengambil
suatu keputusan yang sempurna, sungguh tidaklah gampang.”
Seketika perhatian semua orang beralih atas diri Gak Put-kun. Sebagian besar di antara hadirin itu berpikir,
“Heng-san-pay sudah lemah kekuatannya, Thay-san-pay terpecah belah sehingga tidak mampu menandingi
Ko-san-pay, kalau sekarang Hoa-san-pay berdiri satu pihak dengan Hing-san-pay tentu akan sanggup
menandingi Ko-san-pay.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terdengar Gak Put-kun berkata pula, “Selama sejarah Hoa-san-pay kami pernah terjadi pertentangan antara
Kiam-cong dan Khi-cong. Banyak di antara locianpwe yang hadir tentu masih ingat. Maka kalau teringat kepada
pertentangan di antara orang sendiri secara kejam di masa lalu itu, sungguh sampai sekarang Cayhe masih
merasa ngeri....”
Lenghou Tiong menjadi heran mengapa Gak Put-kun hari ini mencerocos tentang urusan dalam Hoa-san-pay
yang biasanya tidak suka diceritakannya kepada orang luar, sebab pertentangan Khi-cong dan Kiam-cong
sesama Hoa-san-pay itu betapa pun memalukan bila diketahui orang.
Dalam pada itu terdengar Gak Put-kun melanjutkan kata-katanya dengan suara yang melengking nyaring
berkumandang jauh, diam-diam Lenghou Tiong pikir sang guru ternyata sudah mencapai tingkatan yang lebih
tinggi dari ilmu “Ci-he-sin-kang” yang dilatihnya itu.
Terdengar Gak Put-kun lagi berkata, “Sebab itulah Cayhe merasa di antara berbagai golongan dan aliran
persilatan kita ini daripada terpecah belah adalah lebih baik tergabung menjadi satu. Selama beratus-ratus,
bahkan beribu-ribu tahun entah sudah betapa banyak para kawan bu-lim yang telah menjadi korban bunuhmembunuh,
semuanya itu adalah karena gara-gara perbedaan paham, perselisihan golongan. Cayhe sering kali
berpikir, bilamana dunia persilatan kita tiada perbedaan golongan dan perguruan, semua orang adalah anggota
satu keluarga besar saja, satu sama lain laksana saudara sekandung, maka dapat dipastikan setiap
percekcokan dan pertumpahan darah tentu akan dapat dikurangi.”
Pada umumnya orang persilatan memang sering mengalami nasib mati pada usia muda dan meninggalkan
anak istri yang merana. Maka kata-kata Gak Put-kun sebenarnya tepat mengenai lubuk hati sebagian besar di
antara hadirin. Tidak heran kalau banyak di antaranya sama manggut-manggut dan ada yang memuji
keluhuran budi Gak Put-kun sesuai dengan julukannya, yaitu “Kun-cu-kiam”, Si Pedang Kesatria Sejati.
Begitulah Gak Put-kun melanjutkan pula, “Namun karena perbedaan di antara sumber ilmu silat yang
diyakinkan masing-masing aliran, cara berlatihnya juga berlainan, maka untuk mempersatukan orang-orang
persilatan sehingga tanpa membedakan golongan dan aliran, sungguh bukan persoalan yang mudah.”
“Siancay! Siancay!” Hong-ting Taysu bersabda. “Kata-kata Gak-siansing ini benar-benar mahabijaksana.
Bilamana setiap orang persilatan mempunyai jalan pikiran seperti Gak-siansing, maka kekacauan dunia ini
tentu akan hilang sirna tanpa bekas.”
“Ah, Taysu terlalu memuji,” kata Gak Put-kun. “Sedikit pendapat Cayhe yang dangkal ini tentunya sebelumnya
sudah menjadi buah pikiran para padri sakti turun-temurun dari Siau-lim-pay. Sebenarnya dengan nama dan
pengaruh Siau-lim-si, asalkan mau tampil ke muka dan menyerukan persatuan, maka setiap orang yang
berpandangan jauh tentu akan setuju dan pasti akan banyak manfaatnya selama ratusan tahun terakhir ini.
Namun sampai sekarang di antara berbagai golongan dan aliran masih terus bertentangan satu sama lain baik
secara terang-terangan maupun secara gelap-gelapan sehingga banyak mengorbankan jiwa dan harta.
Bahwasanya selama ini banyak di antara tokoh bijaksana telah menyelami betapa besar bencana yang
ditimbulkan karena perbedaan golongan dan aliran, lalu mengapa kita tidak bertekad untuk melenyapkannya?
Cayhe benar-benar bingung, sudah sekian lamanya Cayhe merenungkan persoalan ini, baru beberapa hari yang
lalu Cayhe sadar dan memahami di mana letaknya kunci untuk memecahkan persoalan ini. Karena urusan ini
menyangkut nasib setiap kawan persilatan, Cayhe tidak berani merahasiakan hasil pemikiranku ini, maka ingin
kukemukakan di sini dan minta pertimbangan para hadirin.”
“Silakan bicara, silakan bicara,” seru orang banyak. “Pendapat Gak-siansing pasti sangat bagus!”
Setelah suasana rada tenang kembali barulah Gak Put-kun bicara pula, “Setelah Cayhe merenungkan secara
mendalam, akhirnya kuketemukan titik persoalannya. Rupanya penyakit kegagalan daripada usaha
penghapusan perbedaan golongan dan aliran ini sering kali disebabkan usaha yang terburu nafsu. Maklumlah,
golongan dan aliran persilatan kita berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus banyaknya, setiap golongan juga
sudah bersejarah sekian lamanya, kalau sekaligus hendak melenyapkan sejarah golongan masing-masing boleh
dikatakan mahasulit.”
“Jika demikian, jadi menurut pendapat Gak-siansing adalah tidak mungkin untuk menghapuskan perbedaan
golongan dan aliran? Jika betul demikian bukankah pendapat Gak-siansing ini sangat mengecewakan harapan
orang?” ujar Co Leng-tan.
“Walaupun mahasukar, tapi bukannya sama sekali tidak dapat,” jawab Gak Put-kun. “Barusan Cayhe
menyatakan bahwa titik penyakitnya terletak pada usaha yang terburu nafsu ingin cepat, malah macet. Jadi
caranya yang harus diubah, asalkan haluannya berubah, lalu dihadapi bersama dengan segenap tenaga oleh
para kawan, apakah usaha ini akan berjalan sampai 50 tahun ataupun 100 tahun, tapi akhirnya pasti jadi.”
“Wah, perlu 50 tahun atau 100 tahun, kan para pahlawan dan kesatria yang hadir sekarang ini hampir
semuanya sudah masuk kubur?” ujar Co Leng-tan.
“Kaum kita hanya perlu berusaha sepenuh tenaga, soal akan berhasil atau tidak dari usaha kita bukan soal,”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kata Gak Put-kun. “Ini namanya leluhur tanam pohonnya dan keturunan memetik buahnya. Kita hanya tanam
pohon saja, biarlah anak cucu kita yang menerima buahnya, hal demikian kan perbuatan luhur? Pula, usaha
jangka panjang 50 atau 100 tahun adalah secara keseluruhannya, kalau cuma sedikit hasil saja mungkin dalam
waktu delapan atau 10 tahun juga sudah tampak nyata.”
“Dalam sepuluh atau delapan tahun sudah akan tampak hasil nyata walaupun hanya bagian kecil, ini sungguh
sangat bagus. Tapi entah cara bagaimana kita harus berusaha bersama?” tanya Co Leng-tan.
Gak Put-kun tersenyum, jawabnya, “Seperti apa yang dilakukan Co-bengcu sekarang adalah perbuatan baik
yang bermanfaat bagi kaum persilatan umumnya. Bahwasanya sekaligus kita hendak menghapus perbedaan
pandangan di antara berbagai golongan dan aliran boleh dikata sukar terlaksana, tapi kalau diusahakan agar
golongan-golongan yang tempatnya berdekatan, yang ilmu silatnya mendekati sejenis atau yang mempunyai
hubungan lebih rapat, lalu di antara mereka diadakan peleburan sebisanya, maka dalam waktu tidak terlalu
lama perbedaan golongan dan aliran di dunia persilatan kita, tentu akan berkurang sebagian besar. Seperti
halnya peleburan di antara Ngo-gak-kiam-pay kita adalah suatu bukti nyata bagi golongan-golongan lain.”
Ucapan terakhir Gak Put-kun ini seketika membikin para hadirin menjadi gempar, banyak yang berteriak, “O,
kiranya Hoa-san-pay juga setuju penggabungan Ngo-gak-kiam-pay.”
Lenghou Tiong juga sangat terkejut, pikirnya, “Tak terduga suhu duga menyetujui penggabungan, padahal aku
sudah menyatakan akan ikut haluan suhu, apakah aku mesti menarik kembali ucapanku?”
Dengan cemas ia coba memandang ke arah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, dilihatnya kedua tokoh itu
sama menggeleng padanya dengan wajah yang rada lesu.
Maka terdengar Co Leng-tan berkata, “Sebenarnya maksud Ko-san-pay menghendaki penggabungan hanya
demi kepentingan kita bersama, sebab kalau bergabung jelas kekuatan menjadi besar, sebaliknya kalau
bercerai tenaga menjadi lemah. Tapi dari uraian Gak-siansing tadi ternyata penggabungan Ngo-gak-kiam-pay
kita masih dapat mendatangkan manfaat-manfaat begitu besar, sungguh aku menjadi seperti pintar
mendadak.”
Lalu Gak Put-kun berkata pula, “Sesudah kita bergabung, bila kita ingin memperbesar pengaruh, lalu mengadu
kekuatan dengan golongan lain, maka akibatnya hanya menimbulkan bencana di dunia persilatan. Sebab itu
asas tujuan peleburan kita ini harus mengutamakan ‘hindarkan pertentangan dan akhiri permusuhan’. Menurut
dugaanku banyak di antara kawan persilatan tentu khawatir penggabungan kita ini pasti akan merugikan pihak
lain, dalam hal ini aku dapat menyatakan supaya kawan-kawan ini janganlah khawatir.”
Banyak di antara hadirin menjadi lega mendengar jaminan Gak Put-kun itu, tapi ada juga yang masih raguragu
dan kurang percaya.
“Jika demikian, jadi Hoa-san-pay jelas juga setuju penggabungan?” tanya Co Leng-tan.
“Benar,” jawab Gak Put-kun. Ia merandek sejenak, lalu katanya sambil memandang ke arah Lenghou Tiong,
“Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay dahulu pernah berada di Hoa-san, Cayhe pernah mempunyai hubungan
guru murid selama 20-an tahun dengan dia. Sejak dia meninggalkan Hoa-san-pay, syukur selama ini dia masih
ingat akan hubungan baik di masa silam dan tetap mengharapkan agar Cayhe dapat kumpul bersama lagi
dengan dia dalam suatu aliran yang sama. Dalam hal ini tadi Cayhe sudah menyanggupi dia bahwa untuk
kumpul kembali di dalam suatu aliran bukanlah soal sulit.”
Bicara sampai di sini, wajahnya menampilkan senyuman manis.
Lenghou Tiong tergetar dan sadar seketika, kiranya kesanggupan sang guru akan menerimanya kembali
sebagai murid bukanlah kembali ke dalam Hoa-san-pay, tapi masuk ke dalam Ngo-gak-pay sesudah kelima
golongan dilebur menjadi satu, rasanya hal ini toh tidak jelek. Apalagi tadi suhu telah menyatakan sesudah
dilebur menjadi satu, maka asas tujuannya adalah menghindari pertentangan dan mengakhiri permusuhan.
Kalau nanti Hoa-san-pay, Hing-san-pay ditambah dengan Heng-san-pay berdiri di satu pihak, ini berarti akan
lebih besar pengaruhnya daripada Ko-san-pay dan Thay-san-pay sehingga asas yang dikemukakan suhu ini
dapatlah dijalankan.
Selagi Lenghou Tiong dibuai oleh pikirannya sendiri, terdengar Co Leng-tan lagi berkata, “Syukurlah bahwa
Gak-siansing dan Lenghou-ciangbun sejak kini telah dapat berkumpul kembali dalam suatu keluarga besar.
Terimalah ucapan selamat dariku!”
Menyusul banyak di antara hadirin juga bersorak menyatakan syukur.
Tapi mendadak Tho-ki-sian berteriak, “Tidak, urusan ini tidak baik, sangat tidak baik.”
“Kenapa tidak baik?” tanya Tho-kan-sian.
“Jabatan ketua Hing-san-pay bukankah tadinya adalah hak kita berenam saudara?” tanya Tho-ki-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Betul!” serentak Tho-kan-sian berlima menjawab.
“Tapi lantaran kita sungkan menjadi ketua segala, makanya kita serahkan jabatan itu kepada Lenghou Tiong
dengan suatu syarat bahwa dia harus membalaskan sakit hati kematian Ting-sian Suthay bertiga, betul tidak?
Dan kalau tidak melaksanakan tugasnya itu berarti jabatannya sebagai ketua menjadi batal, betul tidak?”
Begitulah setiap kali Tho-ki-sian bertanya, serentak Tho-kan-sian berlima mengiakan pula setiap kali.
“Namun pembunuh Ting-sian Suthay bertiga jelas berada di tengah Ngo-gak-pay juga,” kata Tho-ki-sian pula.
“Maka menurut pendapatku, besar kemungkinan pembunuh itu she Co kalau tidak she Ci, atau bisa jadi she
Cuci. Bilamana Lenghou Tiong jadi masuk Ngo-gak-pay, itu berarti dia akan menjadi saudara seperguruan
dengan manusia jahanam she Co atau she Ci atau Cuci dan itu berarti pula dia tak mampu membalaskan sakit
hati Ting-sian Suthay bertiga.”
“Benar, sedikit pun tidak salah,” seru Tho-kok-ngo-sian.
Alangkah gusarnya Co Leng-tan, pikirnya, “Keparat, kalian berenam berani menghina aku di depan umum, bila
kalian dibiarkan hidup lebih lama tentu banyak ocehan-ocehan tidak senonoh yang akan kalian lontarkan
terhadapku.”
Dalam pada itu Tho-kin-sian sedang berkata, “Kalau Lenghou Tiong tidak membalaskan sakit hati Ting-sian
Suthay berarti dia batal menjadi ketua Hing-san-pay, bukan? Dan kalau dia batal menjadi ketua Hing-san-pay
berarti dia tidak kuasa lagi mengurusi kepentingan Hing-san-pay, bukan? Dan kalau dia tidak kuasa lagi berarti
tidak boleh bicara atas nama Hing-san-pay dalam soal penggabungan ini, bukan?”
Setiap kali ia tanya, setiap kali pula Tho-kok-ngo-sian yang lain mengiakan.
Kini Tho-sit-sian yang bicara, “Tapi lowongan ketua tidak boleh selalu kosong, bila Lenghou Tiong tidak menjadi
ketua Hing-san-pay, sepantasnya diangkat orang lain yang lebih sesuai, bukan? Adapun calon ketua yang
punya ilmu silat tinggi dan pengetahuan luas sudah sejak dulu dinilai oleh Ting-sian Suthay, bukan?”
“Benar!” jawab Tho-kok-ngo-sian. Semakin keras yang bertanya, semakin nyaring pula suara kelima orang
yang menjawab.
Lantaran merasa lucu, pula maksud Tho-kok-lak-sian itu jelas sengaja main gila terhadap Ko-san-pay, maka
sebagian di antara hadirin itu ikut senang, malahan ada di antaranya lantas ikut-ikutan bersuara, setiap kali
Tho-kok-lak-sian bertanya jawab, berpuluh orang hadirin juga ikut-ikut mengiakan.
Ketika Gak Put-kun setuju penggabungan Ngo-gak-kiam-pay tadi, diam-diam Lenghou Tiong merasa cemas
dan bingung, sekarang demi mendengar ocehan Tho-kok-lak-sian yang tak keruan itu, dalam hati kecilnya
timbul rasa senang seakan-akan keenam orang dogol itu telah menyelesaikan soal sulit baginya. Tapi setelah
mengikuti terus ocehan Tho-kok-lak-sian itu, kemudian ia menjadi terheran-heran, sebab sekarang apa yang
diucapkan seakan-akan sangat teratur, satu sama lain seperti telah disiapkan, sama sekali berbeda daripada
kebiasaan mereka, sungguh perubahan yang aneh. Apa barangkali di belakang mereka ada orang pandai yang
memberi petunjuk? Demikian pikir Lenghou Tiong.
Sementara itu Tho-hoa-sian lagi berkata, “Bahwasanya di dalam Hing-san-pay ada enam kesatria yang berilmu
silat tinggi dan berpengetahuan luas, siapakah mereka berenam, kalian kan bukan orang bodoh, tentu sudah
tahu, bukan?”
Beratus hadirin serentak mengiakan dengan tertawa.
“Siapa keenam kesatria besar itu? Coba katakan!” seru Tho-hoa-sian.
“Siapa lagi kalau bukan kalian Tho-kok-lak-sian!” teriak beratus orang dengan suara riuh.
“Itu dia! Dengan demikian, jadi jabatan ketua Hing-san-pay terpaksa kami berenam menerimanya untuk
melaksanakan tugas yang suci sesuai dengan harapan orang banyak, cocok dengan pilihan umum, sesuai
dengan kehendak bapak mertua, dan... dan....”
Karena kata-katanya yang melantur, para hadirin sampai terpingkal-pingkal saking geli. Sebaliknya orangorang
Ko-san-pay sangat mendongkol, banyak di antaranya lantas membentak, “Persetan! Kalian berenam
keparat ini sengaja mengacau apa di sini? Lekas enyah semua dari sini!”
“Aneh bin heran!” jawab Tho-ki-sian. “Kalian Ko-san-pay dengan segala daya upaya berusaha hendak melebur
Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, sekarang kami para kesatria Hing-san-pay telah sudi berkunjung ke Ko-san
sini, tapi kalian malah mengusir kami pergi dari sini. Bila kami berenam kesatria besar ini angkat kaki dari sini,
segera para kesatria kecil, para pahlawan betina Hing-san-pay yang lain juga akan ikut pergi dari sini, lalu soal
penggabungan Ngo-gak-pay kalian itu akan macet setengah jalan, akan mati dalam kandungan dan... dan...
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
gugur. Nah, baiklah, para kawan Hing-san-pay, karena kita sudah tidak diperlukan lagi, marilah kita pergi dari
sini, biarkan mereka mengadakan peleburan si-pay (empat aliran) saja. Kalau Co Leng-tan kepingin menjadi
ketua Si-gak-pay biarkan saja, kita Hing-san-pay tidak sudi ikut campur.”
Dasar Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain sudah teramat benci kepada Co Leng-tan, demi mendengar ajakan
Tho-ki-sian itu, serentak mereka mengiakan, seru mereka, “Benar, hayolah kita pergi dari sini!”
Keruan Co Leng-tan berbalik kelabakan, ia pikir kalau Hing-san-pay pergi, itu berarti Ngo-gak-pay akan tinggal
Si-gak-pay. Padahal sejak dahulu kala di dunia ini telah kenal ngo-gak, tidak pernah kenal si-gak segala. Jika
si-gak bergabung dan aku menjadi ketua Si-gak-pay, rasanya juga tidak gemilang, sebaliknya malah akan
ditertawai oleh orang-orang persilatan.
Bab 113. Perdebatan yang Bertele-tele
Lantaran berpikir demikian, cepat Co Leng-tan berseru, “Nanti dulu, para kawan Hing-san-pay, ada persoalan
apa biarlah kita berunding secara baik-baik, kenapa mesti terburu nafsu?”
“Adalah begundalmu yang mengusir kami dan bukan kami sendiri yang mau pergi dari sini,” jawab Tho-kin-sian
dengan mencibir.
Co Leng-tan mendengus satu kali tanpa menanggapi, sebaliknya ia berkata terhadap Lenghou Tiong, “Lenghouciangbun,
orang persilatan kita paling mengutamakan pegang janji. Tadi kau sudah menyatakan akan
mengikuti haluan Gak-siansing, tentunya kau akan pegang teguh ucapanmu ini.”
Lenghou Tiong coba memandang Gak Put-kun, dilihatnya sang guru sedang manggut-manggut padanya
dengan sikap simpatik dan sangat mengharapkan. Sebaliknya ketika ia memandang ke arah Hong-ting Taysu
dan Tiong-hi Tojin, kedua tokoh itu tampak menggeleng-geleng kepala.
Di tengah kebimbangan itu, terdengar Gak Put-kun berkata, “Anak Tiong, hubungan kita seperti ayah dan
anak, ibu-gurumu juga cukup baik padamu, apakah kau tidak ingin berhubungan baik lagi dengan kami seperti
dahulu?”
Seketika Lenghou Tiong mencucurkan air mata terharu, tanpa pikir lagi ia lantas berseru, “Suhu dan Sunio,
memang itulah yang kuharap-harapkan. Bila kalian setuju penggabungan, maka Anak hanya menurut saja, lain
tidak.”
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Namun, bagaimana pula dengan sakit hati ketiga Suthay....”
“Kau jangan khawatir,” kata Gak Put-kun dengan lantang. “Hal tewasnya Ting-sian Suthay bertiga memang
harus disesalkan oleh setiap kawan persilatan kita. Selanjutnya sesudah kelima golongan kita tergabung, maka
urusan Hing-san-pay tentu termasuk juga urusanku. Tugas utama kita sekarang tiada lain mencari tahu
siapakah pembunuhnya, lalu dengan tenaga gabungan ngo-pay kita serta minta bantuan para kawan bu-lim
yang hadir sekarang, biarpun si pembunuh punya kepandaian setinggi langit juga akan kita cincang sampai
hancur lebur. Anak Tiong, maka kukatakan lagi janganlah kau khawatir, sekalipun pembunuhnya adalah tokoh
tertinggi dari Ngo-gak-pay kita juga takkan kita ampuni.”
Kata-kata Gak Put-kun itu diucapkan dengan gagah dan tegas, serentak anak murid Hing-san-pay sama
bersorak memuji. Gi-ho lantas berseru, “Ucapan Gak-siansing memang betul. Bila engkau dapat tampil ke
muka untuk membalaskan sakit hati ketiga Suthay kami, maka segenap keluarga Hing-san-pay sungguh
merasa sangat berterima kasih.”
“Soal ini kujamin, dalam tiga tahun bilamana tidak mampu membalaskan sakit hati ketiga Suthay, biarlah nanti
kawan bu-lim boleh anggap aku sebagai manusia rendah, orang yang tidak tahu malu,” seru Gak Put-kun.
Ucapan ini semakin menimbulkan rasa senang anak murid Hing-san-pay, mereka bersorak gembira, banyak
dari kawan-kawan golongan lain juga ikut bertepuk tangan dan memuji.
Menyaksikan itu, Lenghou Tiong berpikir, “Meski aku bertekad menuntut balas bagi ketiga Suthay, tapi susah
rasanya memakai batas waktu. Biarpun orang banyak mencurigai Co Leng-tan sebagai pembunuhnya, tapi cara
bagaimana membuktikannya? Seumpama dia dapat dibekuk dan ditanyai, apakah dia mau mengaku terus
terang? Tapi mengapa Suhu berbicara secara begitu tegas dan pasti? Ya, tentu beliau sudah tahu pasti siapa
pembunuhnya dengan bukti-bukti nyata, makanya di dalam tiga tahun Suhu yakin akan dapat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membereskannya.”
Kalau semula dia mengkhawatirkan anak murid Hing-san-pay menentang pendiriannya yang mengikuti haluan
Gak Put-kun, sekarang demi melihat mereka bersorak gembira, maka legalah hatinya, segera ia berseru, “Baik
sekali jika demikian. Guruku Gak-siansing sudah menyatakan, asal sudah diselidiki dan jelas siapa pembunuh
ketiga Suthay, sekalipun pembunuh itu adalah tokoh tertinggi Ngo-gak-pay juga takkan diampuni. Nah, Cociangbun,
engkau setujui atas ucapan ini tidak?”
Dengan nada dingin Co Leng-tan menjawab, “Ucapan ini kan sangat tepat, mengapa aku tidak setuju?”
“Bagus,” seru Lenghou Tiong. “Nah, para kesatria yang hadir di sini telah mendengar semua, bilamana biang
keladi pembunuh ketiga Suthay nanti telah diketahui, tak peduli siapakah dia dan apa kedudukannya, maka
setiap orang berhak untuk membinasakan dia.”
Serentak sebagian besar di antara hadirin bersorak menyatakan akur.
Setelah suara ramai itu rada mereda, lalu Co Leng-tan berseru, “Nah, jadi sudah jelas Ngo-gak-kiam-pay kita
seluruhnya sudah setuju bergabung menjadi satu, maka sejak kini di dunia persilatan takkan muncul pula nama
Ngo-gak-kiam-pay, yang ada ialah Ngo-gak-pay. Dengan demikian segenap anggota kelima golongan kita
dengan sendirinya juga menjadi anak murid atau anggota Ngo-gak-pay.” (Ngo-gak = lima gunung. Yakni
gunung sebelah timur Thay-san, sebelah barat Hoa-san, sebelah utara Hing-san, sebelah selatan Heng-san dan
gunung bagian tengah Ko-san.)
Habis berkata, ketika ia angkat sebelah tangannya, serentak terdengarlah suara riuh gemuruh petasan
bergema di angkasa pegunungan Ko-san sebagai tanda merayakan berdirinya “Ngo-gak-pay” secara resmi.
Menghadapi suasana ramai itu, para kesatria saling pandang dengan tersenyum, mereka sama bersyukur
bahwa penggabungan Ngo-gak-kiam-pay dapat berjalan dengan lancar, kalau tidak tentu akan terjadi banjir
darah di puncak Ko-san ini.
Begitulah di puncak gunung sunyi itu seketika bertebaran dengan remukan kertas, asap mengepul memenuhi
udara, suara petasan makin lama makin riuh sehingga bicara berhadapan tak terdengar. Selang agak lama
barulah suara petasan mulai mereda.
Lalu di antara hadirin ada yang menghampiri Co Leng-tan untuk mengucapkan selamat, tampaknya orangorang
ini adalah undangan Ko-san-pay sendiri, karena melihat penggabungan Ngo-gak-kiam-pay terang akan
jadi, pengaruh Co Leng-tan juga tambah besar, maka mereka mendahului memberi puji sanjung kepada tuan
rumah.
Tiada henti-hentinya Co Leng-tan mengucapkan kata-kata rendah hati, namun tidak urung air mukanya yang
biasanya dingin kaku itu menampilkan senyuman kepuasan.
Tiba-tiba terdengar Tho-kin-sian berseru, “Karena penggabungan Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay
sudah jadi, maka kami Tho-kok-lak-sian terpaksa ikut mendukungnya, ini namanya menurut arah angin.”
Co Leng-tan membatin, “Sejak keenam keparat ini datang ke sini, hanya kata-kata inilah pantas didengar.”
Dalam pada itu Tho-kan-sian juga berseru, “Pada umumnya setiap aliran tentu ada seorang ketua. Lalu ketua
Ngo-gak-pay ini harus dipegang siapa? Bila para hadirin mengangkat kami Tho-kok-lak-sian, mau tak mau
kami pun akan menerimanya.”
“Menurut kata-kata Gak-siansing tadi bahwa penggabungan ini adalah demi kepentingan dunia persilatan
umumnya dan tidak untuk keuntungan pribadi,” seru Tho-ki-sian pula. “Jika demikian halnya, maka tugas
seorang ketua sungguh sangat berat, namun apa mau dikata, terpaksa kami berenam saudara akan bekerja
sekuat tenaga.”
“Memang, kalau para hadirin begini simpatik kepada kami, mana boleh kami tidak bekerja mati-matian demi
kawan-kawan Kangouw umumnya?” sambung Tho-yap-sian.
Begitulah mereka bertanya-jawab seperti dagelan, seakan-akan mereka benar-benar telah diangkat menjadi
ketua oleh pilihan orang banyak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan gemas seorang tua berbaju kuning dari Ko-san-pay berteriak, “Hei, siapakah yang mengangkat kalian
menjadi ketua Ngo-gak-pay? Huh, seperti orang gila, tidak tahu malu?”
Serentak orang-orang Ko-san-pay yang lain juga sama mencemoohkan, “Persetan! Omong kosong melulu!”
“Huh, kalau bukan hari gembira, jangan harap kalian dapat turun dari sini dengan selamat!”
Lalu seorang lain berseru kepada Lenghou Tiong, “Lenghou-ciangbun, keenam orang gila itu mengacau terus
dari tadi, kenapa kau diam saja?”
“Hah, kau panggil Lenghou Tiong sebagai ‘Lenghou-ciangbun’, jadi kau mengakui dia sebagai Ciangbunjin
(ketua) Ngo-gak-pay?” teriak Tho-hoa-sian. “Tadi Co Leng-tan sendiri sudah menyatakan bahwa Thay-san-pay,
Ko-san-pay, dan lain-lain sudah dihapus dari dunia persilatan, dengan sendirinya ‘ciangbun’ yang kau sebut
tentunya dimaksudkan sebagai ciangbun dari Ngo-gak-pay.”
“Meski Lenghou Tiong masih selisih setingkat daripada kami jika dia yang menjabat ketua Ngo-gak-pay, tapi
kalau yang lebih baik seperti kami tidak mau, ya, terpaksa boleh juga terima saja tokoh yang lebih rendah
sedikit,” ujar Tho-sit-sian.
Lalu Tho-kin-sian berteriak keras-keras, “Nah, Ko-san-pay mengusulkan Lenghou Tiong sebagai ketua Ngogak-
pay, bagaimana pendapat para hadirin?”
“Setuju!” terdengar beratus-ratus orang berteriak, suaranya nyaring merdu, terang mereka adalah anak murid
Hing-san-pay.
Hanya karena salah omong, salah seorang tua Ko-san-pay salah ucap “Lenghou-ciangbun” dan kelemahan ini
lantas dipegang oleh Tho-kok-lak-sian, keruan orang Ko-san-pay itu menjadi serbasusah dan bingung, serunya
dengan gelagapan, “Tidak, ti... tidak! Bu... bukan... bukan begitu maksudku.”
“Bukan begitu maksudmu? Jika demikian tentu kau anggap kami Tho-kok-lak-sian lebih cocok menjadi ketua
Ngo-gak-pay,” seru Tho-kan-sian. “Wah, atas dukungan Saudara dan rasa cintamu kepada kami, terpaksa kami
tak bisa menolak dan mau tak mau harus menerimanya.”
“Begini saja,” sambung Tho-ki-sian. “Kami akan pegang pimpinan setahun atau enam bulan, kalau segala
urusan sudah berjalan lancar barulah kami serahkan kedudukan penting ini kepada tokoh lain.”
“Betul, betul! Ini namanya tahu kewajiban dan pemimpin bijaksana!” teriak Tho-kok-ngo-sian yang lain.
Sungguh tidak kepalang mendongkolnya Co Leng-tan, dengan nada dingin ia berseru, “Kalian berenam sudah
terlalu banyak mengoceh, seakan-akan para kesatria yang hadir di Ko-san ini tak berharga sama sekali, boleh
tidak kalau orang lain juga diberi kesempatan bicara sedikit?”
“Boleh, sudah tentu boleh, kenapa tidak boleh?” jawab Tho-hoa-sian. “Ada kata-kata lekas diucapkan, ada
kentut lekas dilepaskan!”
Seketika suasana menjadi sunyi malah demi mendengar kata-kata Tho-hoa-sian itu. Maklum, siapa pun tidak
mau membuka suara supaya tidak dianggap kentut.
Selang agak lama barulah Co Leng-tan berbicara, “Para hadirin silakan kemukakan pandangan masing-masing,
tentang ocehan keenam orang gila ini tak perlu digubris lagi!”
Berbareng Tho-kok-lak-sian menghirup napas panjang-panjang, lalu hidung mereka sama-sama mendengusdengus
dan berkata, “Nyaring benar kentutnya, tapi untung, tidak terlalu bau!”
Seorang tua Ko-san-pay tampil ke muka pula dan berseru, “Ngo-gak-kiam-pay berserikat secara senasib
setanggungan, paling akhir ini pimpinan selalu dijabat oleh Co-ciangbun, nama beliau cukup terkenal,
wibawanya cukup disegani. Kalau sekarang ngo-pay kita dilebur, dengan sendirinya Co-bengcu pula yang
pantas menjadi ciangbunjin kita. Kalau dijabat orang lain, kukira sukar diterima oleh orang banyak.”
“Tidak betul, kurang tepat!” seru Tho-hoa-sian. “Penggabungan kelima aliran adalah peristiwa hebat dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
merupakan sejarah baru, oleh karena itu ciangbunjin juga harus diganti yang baru, harus diangkat orang baru.”
“Benar,” sambung Tho-sit-sian. “Jika Co Leng-tan tetap menjadi ketua, itu berarti ganti botol tanpa ganti isi,
lalu apa gunanya Ngo-gak-kiam-pay dilebur menjadi satu?”
“Kukira ketua Ngo-gak-pay dapat dijabat oleh siapa pun juga,” kata Tho-ki-sian. “Hanya Co Leng-tan saja yang
tidak boleh menjabatnya.”
“Menurut pendapatku, paling baik kalau jabatan ketua ini kita jabat secara bergiliran, seorang menjadi ketua
satu hari, hari ini kau yang menjadi ketua, besok ganti aku, lusa dia, semuanya mendapat bagian, tiada satu
pun yang dirugikan. Ini namanya adil, tidak pilih kasih, tanpa pandang bulu, barang baik, harga pas!” seru Thoyap-
sian.
“Usulmu ini sungguh teramat bagus!” sambut Tho-kin-sian. “Dan yang pantas menjabat ketua yang pertama
adalah nona cilik yang berusia paling muda. Maka aku mengusulkan adik cilik Cin Koan dari Hing-san-pay
menjadi ketua Ngo-gak-pay pertama pada hari ini!”
Para anak murid Hing-san-pay serentak bersorak setuju sebab mereka tahu apa yang diucapkan Tho-kok-laksian
memang sengaja untuk menentang rencana busuk Co Leng-tan. Selain itu ribuan hadirin yang juga senang
pada kekacauan juga ikut-ikutan berteriak setuju, sehingga di puncak Ko-san itu seketika menjadi riuh ramai
lagi.
Seorang tosu tua dari Ko-san-pay tampil pula dan berseru, “Ketua Ngo-gak-pay harus dijabat oleh seorang
yang pandai dan bijaksana, seorang tokoh terkemuka yang punya nama dan berpengaruh, mana bisa jabatan
sepenting itu diduduki secara bergiliran, sungguh pikiran anak kecil kalian ini!”
Begitu keras dan lantang suara tosu tua ini sehingga di tengah ribut-ribut itu toh didengar dengan jelas oleh
setiap hadirin.
Tho-ki-sian lantas menanggapi, “Orang pandai dan bijaksana dengan nama baik dan berpengaruh? Kukira
tokoh dunia persilatan yang memenuhi syarat ini kecuali Tho-kok-lak-sian hanya ketua Siau-lim-si saja yang
dapat diterima, yaitu Hong-ting Taysu.”
Setiap kali Tho-kok-lak-sian bicara tadi selalu menimbulkan gelak tertawa orang banyak, semuanya anggap
mereka seperti badut saja. Tapi sekarang demi Tho-ki-sian menyebut nama Hong-ting Taysu, seketika suasana
menjadi sunyi, semua orang menjadi bungkam.
Maklumlah Hong-ting Taysu adalah tokoh yang dihormati dan disegani oleh setiap orang bu-lim, nama Siaulim-
si juga sangat berpengaruh di dunia persilatan. Maka Hong-ting Taysu memang tak bisa dibantah sebagai
seorang yang pandai dan bijaksana, punya nama baik dan berpengaruh.
Begitulah Tho-kin-sian lantas berteriak, “Ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu terhitung tokoh yang pandai dan
bijaksana, orang yang punya nama baik dan berpengaruh tidak?”
“Ya, betul, beliau terhitung tokoh nomor satu untuk memenuhi syarat itu!” teriak beribu-ribu hadirin berbareng.
“Bagus!” sambut Tho-kin-sian. “Itu tandanya Hong-ting Taysu telah disetujui dengan suara bulat oleh para
hadirin, jika demikian maka ketua Ngo-gak-pay ini kita serahkan untuk dijabat oleh Hong-ting Taysu.”
“Ngaco-belo!” teriak sebagian orang-orang Thay-san-pay dan Ko-san-pay. “Hong-ting Taysu sendiri adalah
ketua Siau-lim-pay, apa sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay kita?”
“Tadi tosu tua itu mengatakan jabatan ketua ini harus dipegang oleh seorang tokoh pandai dan bijaksana yang
punya nama baik dan berpengaruh. Sekarang kita telah mendapatkan pilihan yang tepat dan sesuai dengan
syarat tersebut, yaitu Hong-ting Taysu, memangnya kau berani menyangkal beliau tidak memenuhi syaratsyarat
itu? Huh, coba katakan kalau kau minta kami ganyang lebih dulu.”
“Hong-ting Taysu memang seorang tokoh yang harus dihormati oleh siapa pun juga,” kata Giok-ki-cu dari
Thay-san-pay. “Tetapi yang kita pilih sekarang adalah ketua Ngo-gak-pay, sedangkan Hong-ting Taysu adalah
tamu, mana boleh beliau diikutsertakan dalam urusan ini.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“O, jadi maksudmu Hong-ting Taysu tak dapat dipilih menjadi ketua Ngo-gak-pay lantaran Siau-lim-si kau
anggap tiada sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay?” tanya Tho-kan-sian.
“Benar,” jawab Giok-ki-cu.
“Mengapa Siau-lim-pay tiada sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay? Aku justru mengatakan sangat besar
sangkut pautnya! Coba katakan, Ngo-gak-pay terdiri dari kelima pay apa?” tanya Tho-kan-sian.
“Ah, Saudara ini sudah tahu sengaja tanya,” ujar Giok-ki-cu. “Ngo-gak-pay jelas terdiri dari Ko-san, Heng-san,
Thay-san, Hing-san, dan Hoa-san-pay.”
“Salah, salah besar!” seri Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian berbareng. “Tadi Co Leng-tan menyatakan bahwa
setelah Ngo-gak-kiam-pay bergabung, maka nama Thay-san-pay, Ko-san-pay segala takkan dipertahankan
lagi, mengapa sekarang kau menyebut lagi kelima pay itu?”
“Ini tandanya dia tidak pernah melupakan golongannya sendiri, begitu ada kesempatan tentu dia akan
menegakkan kembali kebesaran Thay-san-pay,” sambung Tho-yap-sian.
Banyak hadirin yang tertawa geli, mereka pikir Tho-kok-lak-sian tampaknya suka gila-gilaan, tapi asal lawan
sedikit salah bicara segera didebat oleh mereka sehingga mati kutu.
Maklumlah, sejak mulai dapat bicara Tho-kok-lak-sian lantas suka bantah-membantah dan debat-mendebat di
antara saudara-saudaranya sendiri, selama berpuluh tahun pekerjaan mereka hanya berdebat melulu,
ditambah lagi enam kepala digunakan sekaligus, enam mulut mengap berbareng, tentu saja orang lain
kewalahan menghadapi mereka berenam.
Begitulah Giok-ki-cu menjadi tersipu-sipu oleh debatan Tho-kok-lak-sian tadi, terpaksa ia berkata, “Huh, Ngogak-
pay punya keenam anggota istimewa macam kalian, sungguh sial.”
“Kau bilang Ngo-gak-pay sial? Itu berarti kau menghina Ngo-gak-pay dan tidak sudi masuk Ngo-gak-pay,” kata
Tho-hoa-sian.
“Ngo-gak-pay kita didirikan pada hari pertama ini sudah kau sumpahi dengan ucapan sial, padahal kita semua
mengharapkan Ngo-gak-pay akan berkembang dan berjaya di dunia persilatan, Giok-ki Totiang, mengapa
hatimu begitu jahat dan sengaja mengutuki?” sambung Tho-sit-sian.
“Ya, itu menandakan Giok-ki Tojin menghendaki kegagalan pendirian Ngo-gak-pay kita, maksud jahat seperti
ini mana boleh kita mengampuni dia?” kata Tho-yap-sian.
Pada umumnya orang Kangouw paling sirik pada kata-kata yang bersifat menyumpahi, karena itu banyak di
antara hadirin sepaham dengan Tho-kok-lak-sian dan anggap Giok-ki-cu memang tidak pantas mengatakan
Ngo-gak-pay sial pada hari pertama ini.
Rupanya Giok-ki-cu merasa telah telanjur salah omong, ia menjadi bungkam dengan penuh mendongkol.
Segera Tho-kan-sian berseru, “Kami mengatakan Siau-lim-pay besar sangkut pautnya dengan Ko-san, tapi
Giok-ki Tojin justru bilang tiada sangkut pautnya. Sebenarnya bagaimana? Kau yang salah atau kami yang
betul?”
Dengan gemas Giok-ki-cu menjawab, “Kau suka mengatakan ada sangkut pautnya, maka anggap saja kau
yang benar.”
“Haha, segala urusan di dunia ini memangnya tak bisa mengingkari suatu hal, yakni kebenaran,” kata Tho-kansian.
“Coba katakan, Siau-lim-si terletak di gunung mana? Dan Ko-san-pay terletak di gunung mana pula?”
“Siau-lim-si terletak di Siau-sit-san dan Ko-san-pay di Thay-sit-san, baik Siau-sit-san maupun Thay-sit-san
termasuk pegunungan di lingkungan Ko-san, betul tidak? Nah, kenapa Giok-ki Tojin mengatakan Siau-lim-pay
tiada sangkut pautnya dengan Ko-san-pay?”
Kata-kata ini nyatanya betul dan bukan pokrol-pokrolan, mau tak mau para hadirin manggut-manggut setuju.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu Tho-ki-sian menyambung lagi, “Tadi Gak-siansing mengatakan bahwa setelah penggabungan nanti akan
banyak mengurangi pertentangan di antara sesama orang Kangouw, makanya beliau menyetujui peleburan
Ngo-gak-kiam-pay. Beliau mengatakan pula yang ilmu silatnya mendekati satu sama lain atau yang tempatnya
berdekatan sebaiknya saling gabung. Bicara tentang tempat yang berdekatan kukira hanya Siau-lim-pay dan
Ko-san-pay yang sama-sama terletak di suatu pegunungan yang sama. Kalau Siau-lim-pay dan Ko-san-pay
tidak bergabung, maka apa yang dikatakan Gak-siansing bukankah seperti ken... kentut belaka.”
Semua orang tertawa mendengar Tho-ki-sian hendak menahan “kentut”, namun mereka pun merasa apa yang
dikatakan Tho-ki-sian memang bukannya tidak beralasan.
Tho-kin-sian lantas berkata, “Hong-ting Taysu adalah tokoh pilihan umum, maka kalau terjadi penggabungan
Siau-lim-pay dan Ko-san-pay, lalu dilebur pula ke dalam Ngo-gak-pay, maka kami Tho-kok-lak-sian yang
pertama-tama tunduk kepada beliau dan taat kepada beliau sebagai ciangbunjin. Memangnya ada di antara
hadirin yang tidak tunduk?”
“Jika ada yang tidak tunduk, hayolah silakan tampil ke muka dan coba-coba ukur tenaga lebih dulu dengan
kami Tho-kok-lak-sian,” sambung Tho-hoa-sian. “Bila dapat mengalahkan Tho-kok-lak-sian kami, nanti baru
coba-coba dengan Hong-ting Taysu. Kalau Hong-ting Taysu juga dikalahkan, masih ada lagi jago-jago Siau-limsi
yang lain seperti padri-padri sakti dari Tat-mo-ih, Lo-han-tong, dan lain-lain. Bila tokoh-tokoh simpanan
Siau-lim-si itu juga kalah, kemudian silakan bertanding pula dengan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay....”
“Lho, kenapa Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay kau bawa-bawa, Saudaraku?” tanya Tho-sit-sian.
“Habis, Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay kan dua aliran yang mempunyai hubungan paling erat,” jawab Tho-hoasian.
“Kalau Siau-lim-pay dikalahkan orang, mustahil Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay tinggal diam saja?”
“Ya, benar juga,” kata Tho-sit-sian. “Dan kalau Tiong-hi Totiang juga kalah, akhirnya silakan bertanding pula
dengan Tho-kok-lak-sian.”
“He, pertandingan dengan kita Tho-kok-lak-sian kan sudah dilakukan tadi, kenapa diulangi?” ujar Tho-kin-sian.
“Tadi memang sudah, tapi kita hanya kalah satu kali saja masakah lantas rela menyerah?” jawab Tho-sit-sian.
“Tentu saja kita masih harus labrak si keparat itu secara mati-matian sampai akhir zaman.”
Riuh rendah seketika suara tertawa orang banyak, bahkan ada yang bersuit.
Keruan tidak kepalang gusar Giok-ki-cu, ia tidak sabar lagi dan lantas melompat maju, teriaknya, “Tho-kok-lakkoay,
aku Giok-ki-cu yang pertama-tama tidak tunduk dan hendak mencoba-coba kemampuan kalian!”
“Ah, kita kan sama-sama orang Ngo-gak-pay, bila bergebrak bukankah berarti saling bunuh-membunuh?” ujar
Tho-kin-sian.
“Kalian terlalu cerewet dan membikin muak,” kata Giok-ki-cu. “Jika kalian dilenyapkan dari Ngo-gak-pay tentu
suasana akan menjadi tenang dan aman.”
“E-eh, jadi timbul nafsu membunuh pada dirimu, kau ingin membinasakan kami berenam?” kata Tho-kan-sian.
Giok-ki-cu mendengus saja tanpa menjawab, diam-diam berarti membenarkan pertanyaan orang.
Tho-ki-sian berkata, “Hari ini ngo-pay kita baru bergabung dan kau sudah berniat membunuh kami berenam
dari Hing-san-pay, lalu cara bagaimana kita bisa bekerja sama pada waktu-waktu yang akan datang?”
“Jika kalian sudah tahu perlu adanya kerja sama yang baik, maka ocehan-ocehan kalian yang mengganggu
urusan penting hendaknya jangan diucapkan lagi,” jawab Giok-ki-cu dengan menahan gusar.
“Tapi kalau ucapan-ucapan yang bermanfaat bagi Ngo-gak-pay dan kata-kata baik demi kepentingan kawan
dunia persilatan, apakah juga tidak boleh diucapkan?” tanya Tho-yap-sian.
“Hm, rasanya kalian takkan mengemukakan ucapan-ucapan baik sebagaimana kalian maksudkan!” jengek
Giok-ki-cu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Soal siapa yang pantas menjadi ketua Ngo-gak-pay bukankah soal yang penting bagi Ngo-gak-pay kita sendiri
dan juga bersangkut paut dengan kepentingan dunia persilatan umumnya?” ujar Tho-hoa-sian. “Sedari tadi
kami telah menyarankan seorang tokoh terkemuka dan disegani dunia persilatan umumnya untuk menjadi
ketua kita tapi kau tidak setuju, rupanya kau mempunyai kepentingan pribadi dan ingin mendukung calonmu
sendiri yang telah memberi sogok tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik padamu itu.”
Giok-ki-cu menjadi gusar karena dituduh terima sogokan, teriaknya, “Kau mengaco-belo belaka! Siapakah yang
pernah memberi tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik padaku?”
“Ah, jangan kau mungkir?” jawab Tho-hoa-sian. “Bisa jadi aku salah sebut angkanya, kalau bukan tiga ribu
tahil tentulah empat ribu tahil. Kalau tidak empat perempuan cantik tentulah tiga atau lima. Siapa yang
memberikannya padamu masakah kau sendiri tidak tahu dan pura-pura tanya? Siapa calon ketuamu, dia itulah
yang menyogok kau.”
“Sret”, segera Giok-ki-cu melolos pedang, bentaknya, “Jika kau mengoceh tak keruan lagi, segera kubikin kau
mandi darah di sini!”
Tapi Tho-hoa-sian terbahak-bahak malah sambil melangkah maju dengan membusungkan dada. Katanya,
“Dengan keji dan licik kau telah membunuh ketua Thay-san-pay kalian sendiri, sekarang kau hendak
mencelakai orang lain lagi? Hayolah maju, jika berani cobalah bikin aku mandi darah di sini. Thian-bun Tojin
sudah kau sembelih, membunuh anggota perguruan sendiri memang adalah kemahiranmu yang khas, sekarang
boleh kau coba-coba cara yang sama atas diriku.”
Sembari bicara ia terus mendekati Giok-ki-cu.
“Berhenti!” bentak Giok-ki-cu sambil mengacungkan pedangnya ke depan. “Satu langkah lagi kau maju segera
kuserang kau!”
“Haha, untuk menyerang saja memangnya kau perlu permisi dulu?” ejek Tho-hoa-sian. “Puncak Ko-san ini
bukan hak milikmu, ke mana aku suka, ke sana pula aku bebas melangkah pergi, memangnya kau ada hak
buat merintangi aku?”
Habis berkata kembali ia melangkah maju sehingga jaraknya dengan Giok-ki-cu tinggal beberapa kaki jauhnya.
Melihat wajah Tho-hoa-sian yang buruk dengan gigi-gigi yang kuning menyeringai, rasa muak Giok-ki-cu
bertambah hebat, tanpa pikir pedangnya terus menusuk ke dada Tho-hoa-sian.
Cepat Tho-hoa-sian mengegos sambil memaki, “Bangsat busuk, kau ben... benar-benar ingin berkelahi?”
Ternyata Giok-ki-cu telah menguasai ilmu pedang Thay-san-pay dengan sempurna, serangan pertama segera
disusul serangan kedua yang lebih lihai dan cepat. Dalam sekejap saja Tho-hoa-sian terpaksa harus
menghindari empat kali serangan. Makin menyerang makin cepat gerak pedang Giok-ki-cu, Tho-hoa-sian
sampai tidak sempat melolos pedang sendiri untuk menangkis. Di tengah berkelebatnya sinar pedang, “cret”,
bahu kiri Tho-hoa-sian tertusuk. Tapi pada saat yang hampir sama segera pedang Giok-ki-cu lantas terpental
ke udara, menyusul tubuhnya terangkat ke atas, kedua tangan dan kedua kakinya masing-masing telah
dipegang oleh Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, dan Tho-yap-sian berempat.
Apa yang terjadi itu sungguh teramat cepat, bahkan suatu bayangan kuning lantas berkelebat datang pula
disertai mengilatnya sinar pedang, seorang telah membacok kepala Tho-ki-sian dengan pedangnya.
Namun Tho-sit-sian sudah berjaga di samping, segera ia menangkis dengan pedangnya. Menyusul orang itu
lantas mengalihkan serangannya ke dada Tho-kin-sian. Tapi Tho-hoa-sian juga sudah siap dan menangkisnya
dengan pedangnya. Ketika diperhatikan, kiranya penyerang itu adalah ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan adanya.
Sejak tadi Co Leng-tan sudah tahu Tho-kok-lak-sian memiliki kepandaian yang hebat meski ucapan mereka
angin-anginan dan ugal-ugalan. Sekarang dilihatnya Giok-ki-cu kena ditangkap pula oleh keenam orang aneh
itu, bila terlambat menolongnya tentu Giok-ki-cu akan mengalami nasib tubuh terkoyak-koyak. Sebagai tuan
rumah mestinya Co Leng-tan tidak pantas turun tangan, tapi menghadapi detik bahaya itu terpaksa ia
menyelamatkan dulu jiwa Giok-ki-cu. Dua kali ia menyerang Tho-ki-sian dan Tho-kin-sian dengan tujuan
memaksa kedua orang itu lepaskan Giok-ki-cu. Tak terduga Tho-kok-lak-sian dapat bekerja sama dengan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sangat rapat, empat saudaranya memegangi sasaran, dua orang lagi lantas siap menjaga di samping sehingga
dua kali serangan Co Leng-tan dapat ditangkis oleh Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian.
Bab 114. Pertandingan yang Luar Biasa
Sementara itu keselamatan Giok-ki-cu laksana terletak di ujung tanduk, kalau Co Leng-tan harus mendesak
mundur Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian, untuk itu sedikitnya harus lebih dari lima-enam jurus dan selama itu
tentu tubuh Giok-ki-cu sudah dirobek-robek keempat orang.
Karena itu Co Leng-tan tidak panjang pikir lagi, pedangnya berputar secepat kilat. Terdengar Giok-ki-cu
menjerit keras-keras dan terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian masingmasing
memegangi sebuah tangan kutung, sedangkan Tho-kan-sian memegangi sebuah kaki putus, hanya
Tho-yap-sian saja yang memegangi sebelah kaki yang masih bergandengan dengan tubuh Giok-ki-cu.
Rupanya Co Leng-tan merasa tidak mampu memaksa Tho-kok-lak-sian melepas tangan dalam waktu sesingkat
itu, terpaksa ia harus ambil tindakan tegas dengan mengutungi kedua tangan dan sebelah kaki Giok-ki-cu
sehingga Tho-kok-lak-sian tak dapat merobeknya menjadi empat potong. Meski terpaksa harus korbankan
anggota badan, namun sedikitnya jiwa Giok-ki-cu bisa diselamatkan, sebab Tho-kok-lak-sian pasti takkan
mengganggu seorang yang sudah cacat.
Selesai melaksanakan tindakan kilat itu, sambil mendengus lalu Co Leng-tan undurkan diri ke pinggir.
“He, Co Leng-tan,” seru Tho-ki-sian, “kau telah memberi sogok emas dan perempuan kepada Giok-ki-cu dan
mengharuskan dia menyokong kau menjadi ketua Ngo-gak-pay, kenapa sekarang kau berbalik mengutungi
kaki dan tangannya, apakah kau bermaksud memusnahkan saksi hidup ya?”
“Haha, ia khawatir kita merobek Giok-ki-cu menjadi empat potong, makanya dia hendak menolongnya, nyata
dia telah salah duga,” ujar Tho-yap-sian.
“Berlagak pintar sendiri, haha, sungguh lucu dan menggelikan,” kata Tho-sit-sian. “Kami pegang Giok-ki-cu
dengan maksud berkelakar dengan dia, padahal hari bahagia berdirinya Ngo-gak-pay seperti sekarang ini
masakah ada yang berani main membunuh orang segala?”
“Walaupun Giok-ki-cu berniat membunuh aku, tapi mengingat sesama anggota Ngo-gak-pay masakah kami
tega membunuh ia?” sambung Tho-hoa-sian. “Kami hanya menakut-nakuti dia saja dengan melemparkan dia
ke udara, lalu kami tangkap dia kembali. Sebaliknya Co Leng-tan ternyata bertindak secara begitu kejam dan
sembrono, sungguh terlalu bebal.”
Dengan menyeret Giok-ki-cu yang sudah buntung itu Tho-yap-sian mendekati Co Leng-tan, Giok-ki-cu
dilemparkannya ke depan Co Leng-tan, lalu Tho-yap-sian geleng-geleng kepala dan berkata, “Co Leng-tan, kau
benar-benar terlalu kejam, orang baik-baik seperti Giok-ki-cu ini mengapa kau tega membuntungi kaki dan
tangannya? Sekarang dia hanya punya satu kaki saja, lalu cara bagaimana dia akan hidup?”
Tentu saja Co Leng-tan sangat gemas, padahal kalau dia tadi tidak ambil tindakan tegas, tentu tubuh Giok-kicu
sudah tersobek menjadi empat potong dan jiwanya sudah melayang, sekarang malahan dirinya yang
dianggap kejam. Tapi untuk membela diri juga tiada dasarnya, terpaksa Co Leng-tan hanya mendengus dan
tidak menjawab.
Melihat Co Leng-tan diam saja, segera Tho-kin-sian menyambung, “Kalau Co Leng-tan mau bunuh Giok-ki-cu
mestinya sekali tebas kutungi saja kepalanya, tapi dia justru ingin menyiksanya dengan membuntungi tangan
dan kakinya sehingga Giok-ki-cu tidak mati dan setengah hidup, caranya sungguh keji dan tak berbudi.”
“Memang, kita sama-sama anggota Ngo-gak-pay, ada persoalan apa pun dapat dirunding secara baik-baik,
mengapa mesti pakai cara sekejam ini? Sedikit pun tidak punya rasa setia kawan,” ujar Tho-kan-sian.
“Kalian berenam terkenal suka menyobek badan orang, tindakan Co-ciangbun tadi justru bermaksud
menyelamatkan jiwa Giok-ki Totiang, mengapa kalian memutarbalikkan persoalan?” seru seorang tua Ko-sanpay.
“Jelas sekali kami cuma berkelakar saja dengan Giok-ki-cu, kenapa Co Leng-tan salah sangka? Kenapa dia
tidak dapat membedakan orang sedang berkelakar atau sungguh-sungguh hendak merobeknya? Sungguh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bodoh Co Leng-tan!” seru Tho-ki-sian.
“Ya, seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab,” sambung Tho-yap-sian. “Co
Leng-tan sudah membuntungi Giok-ki-cu harus berani mengakui perbuatannya, tapi dia sengaja pakai macammacam
alasan untuk menutupi maksud kejinya, sedikit pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab,
sungguh pengecut. Padahal setiap orang yang hadir di sini telah menyaksikan apa yang kau lakukan, masakah
kau dapat menyangkal?”
“Manusia yang tak berbudi, tidak setia kawan, goblok lagi pengecut, apakah mungkin jabatan ketua Ngo-gakpay
kita boleh diduduki orang macam begini? Huh, Co Leng-tan, kau jangan mimpi muluk-muluk,” seru Thohoa-
sian.
Padahal banyak di antara kesatria yang hadir cukup maklum akan maksud baik Co Leng-tan, kalau tadi dia
tidak bertindak tentu jiwa Giok-ki-cu sudah melayang. Tapi karena apa yang dikatakan Tho-kok-lak-sian cukup
berdasar, sukar juga bagi orang lain untuk mendebatnya.
Yang paling kenal watak Tho-kok-lak-sian adalah Lenghou Tiong, ia menjadi heran dari mana mendadak Thokok-
lak-sian bisa bertambah pintar sehingga setiap katanya selalu tepat mengenai titik kelemahan Co Lengtan?
Padahal biasanya mereka berenam suka edan-edanan dan dungu, besar kemungkinan di belakang mereka
berenam itu ada orang pintar yang memberi petunjuk-petunjuk.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong lantas mendekati Tho-kok-lak-sian untuk memeriksa apakah di sekitar mereka
ada orang pintar tersembunyi itu. Tapi dilihatnya Tho-kok-lak-sian berkumpul menjadi satu dan di sekeliling
mereka tiada orang lain, malahan orang-orang dungu itu sedang sibuk membalut luka Tho-hoa-sian tadi.
Ketika berpaling lagi, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar bisikan suara yang sangat lirih, “Engkoh Tiong,
apakah kau sedang mencari diriku?”
Mendengar suara itu, sungguh kejut dan girang Lenghou Tiong tak terperikan. Meski suara itu sangat lirih, tapi
cukup jelas, siapa lagi kalau bukan suaranya Ing-ing.
Ia coba memandang ke arah datangnya suara, tertampak seorang laki-laki berewok dengan badan rada gemuk
berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil garuk-garuk kepala secara kemalas-malasan.
Laki-laki berewok semacam itu sedikitnya ada beratus-ratus di antara hadirin yang ribuan banyaknya itu
sehingga tidaklah menarik perhatian. Tapi mendadak dari sorot mata laki-laki ini Lenghou Tiong melihat kilasan
senyuman yang licin dan juga menggiurkan. Saking girangnya ia lantas mendekati orang itu.
Terdengar suara Ing-ing berkumandang lagi, “Jangan kemari, nanti rahasia tersingkap!”
Begitu lembut suara itu, tapi cukup jelas terdengar oleh telinganya.
Maka tahulah Lenghou Tiong, “Kiranya kata-kata Tho-kok-lak-sian tadi adalah ajaranmu, pantas keenam orang
dungu itu mampu bicara tentang budi dan setia segala.”
Diam-diam ia pun bersyukur atas kedatangan Ing-ing secara menyamar itu, jelas si nona sengaja datang buat
bantu usahanya berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay.
Dalam pada itu terdengar Tho-kin-sian berkata pula, “Tokoh besar seperti Hong-ting Taysu tak bisa kalian
terima sebagai ketua, Giok-ki-cu sekarang sudah buntung kaki dan kutung tangan, sedangkan Co Leng-tan
jelas tidak berbudi dan pengecut, dengan sendirinya juga tak bisa menduduki tempat terhormat itu. Maka
biarlah kita memilih seorang kesatria muda yang hebat untuk menjadi ketua kita. Kalau ada yang tidak setuju
boleh silakan maju untuk belajar kenal dengan ilmu pedangnya.”
Bicara sampai di sini setelah tangannya terus menunjuk ke arah Lenghou Tiong.
“Inilah Lenghou-siauhiap,” sambung Tho-hoa-sian, “beliau mengetuai Hing-san-pay dan ada hubungan yang
rapat dengan Gak-siansing dari Hoa-san-pay, dengan Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga bersahabat
kental. Di antara Ngo-gak-kiam-pay jelas ada tiga aliran yang pasti akan mendukung beliau.”
“Para Tosu dari Thay-san-pay juga tidak bodoh semua, dengan sendirinya sebagian besar di antara mereka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
juga akan mendukung Lenghou-siauhiap,” ujar Tho-ki-sian.
“Nah, Co Leng-tan, jika kau tidak terima, silakan maju untuk coba-coba mengukur ilmu pedang Lenghousiauhiap,
yang menang, dialah yang menjadi ketua Ngo-gak-pay. Ini namanya bertanding untuk rebut juara!”
seru Tho-yap-sian.
Di antara para pengunjung sebenarnya lebih banyak orang-orang yang ingin menonton keributan, untuk itu
mereka tentunya tidak suka pada perdebatan yang bertele-tele seperti Tho-kok-lak-sian tadi, soalnya ucapanucapan
Tho-kok-lak-sian tadi memang jenaka dan menggelikan, makanya mereka masih dapat mengikutinya
dengan tertawa. Tapi sekarang demi mendengar Tho-yap-sian mengemukakan “bertanding untuk kedudukan
ketua” serentak bergemuruhlah suara sorak-sorai setuju, karena mereka tahu akan sampailah saatnya
pertandingan sengit di antara tokoh-tokoh tertinggi yang dijagoi oleh masing-masing pihak.
Namun Lenghou Tiong berpikir, “Aku telah berjanji kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk
merintangi keinginan Co Leng-tan menjadi ketua Ngo-gak-pay. Maka bila Suhu saja yang menjadi ketua, beliau
yang terkenal baik budi dan bijaksana tentu akan dapat disetujui oleh semua pihak. Padahal selain beliau
rasanya juga tiada tokoh lain di antara Ngo-gak-kiam-pay yang sesuai untuk menjabat kedudukan penting ini.”
Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru, “Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang
paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay, mengapa kalian lupa semua? Siapa lagi calon di antara kita
yang bisa menandingi Kun-cu-kiam Gak-siansing dari Hoa-san-pay? Ilmu silat Gak-siansing tinggi,
pengetahuannya luas, orangnya berbudi dan bijaksana, kesemuanya ini telah cukup kita ketahui. Maka segenap
anggota Hing-san-pay kami dengan tulus ikhlas menyarankan pengangkatan Gak-siansing sebagai ketua Ngogak-
pay.”
Serentak anak murid Hoa-san-pay bersorak gembira dan menyatakan akur.
Seorang tokoh Ko-san-pay lantas bicara, “Ilmu silat Gak-siansing memang tinggi, tapi kalau dibandingkan Cociangbun
masih selisih setingkat. Maka menurut pendapatku adalah Co-ciangbun yang lebih tepat untuk
menjadi ketua, di samping itu boleh diadakan empat kursi wakil ketua dan masing-masing dijabat oleh Gaksiansing,
Bok-taysiansing, Lenghou-siauhiap dan ... dan Giok-seng-cu atau Giok-im-cu Totiang, terserah
kepada pilihan orang Thay-san-pay sendiri.”
“Giok-ki-cu kan belum lagi mampus dia baru buntung tangannya dan kutung sebelah kakinya, mengapa kalian
lantas menyingkirkan dia?” seru Tho-ki-sian.
“Ya, bertanding saja untuk berebut menjadi juara, siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!” teriak Thoyap-
sian.
Maka beribu-ribu orang Kangouw lantas ikut-ikut berteriak, “Benar, benar! Bertanding saja untuk menentukan
juara!”
Lenghou Tiong pikir kalau Co Leng-tan tidak dijatuhkan lebih dulu sehingga pihak Ko-san-pay putus harapan
sukarlah bagi orang lain untuk mencalonkan diri sebagai ketua Ngo-gak-pay. Maka dengan pedang terhunus ia
lantas maju ke tengah, serunya, “Co-siansing, sesuai kehendak orang banyak, marilah kita berdua mulai cobacoba
dahulu.”
Menurut perhitungan Lenghou Tiong, ilmu pedang sendirinya masih sanggup mengatasi lawan, tapi kalau
bertanding pukulan, maka dirinya sukar melawan Im-han-ciang-lik (pukulan dengan hawa dingin) Co Leng-tan
yang lihai, hal ini terbukti Yim Ngo-heng saja kecundang di Siau-lim-si tempo hari. Seumpama ilmu pedang
sendiri juga tak bisa mengalahkan lawan, paling sedikit tenaga lawan akan banyak diperas, habis itu Gak Putkun
baru turun kalangan dan tentu besar harapan untuk merobohkan Co Leng-tan.
Begitulah segera Lenghou Tiong ayun pedangnya dan berseru pula, “Co-siansing, setiap anggota Ngo-gakkiam-
pay kita mahir memainkan pedang, biarlah kita menentukan kalah menang pada senjata ini!”
Dengan ucapan ini ia sudah mendahului menutup jalan mundur Co Leng-tan agar ketua Ko-san-pay itu tidak
mengajaknya bertanding ilmu pukulan dan lain-lain.
Maka ramailah orang bersorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan lekas dimulai.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Karena suara sendiri disokong orang banyak, dengan senang Lenghou Tiong berseru pula, “Co-siansing,
hayolah maju! Jika kau enggan bertanding pedang dengan Cayhe, ya boleh juga, silakan mengumumkan di
depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan ketua Ngo-gak-pay ini!”
“Hayo maju! Hayo bertanding!!” demikian orang banyak berteriak-teriak pula. “Yang tidak berani bertanding
bukanlah kesatria! Tapi, babi! Anjing!” demikian sambung yang lain.
Di tengah suara ribut-ribut itu tiba-tiba suara seorang yang nyaring lantang berkumandang, “Jika para hadirin
sudah menghendaki pemilihan ketua Ngo-gak-pay ditentukan secara bertanding, maka kita pun tidak dapat
mengabaikan harapan orang banyak.”
Pembicara ini kiranya Gak Put-kun adanya.
“Ucapan Gak-siansing, memang tidak salah!” sambut orang banyak. “Hayo bertanding! Lekas dimulai!”
“Bertanding untuk berebut juara memang juga suatu cara yang lazim,” kata Gak Put-kun, “cuma asas
penggabungan Ngo-gak-kiam-pay kita sebenarnya untuk mengurangi pertengkaran serta mencari kedamaian di
antara sesama kawan Bu-lim. Sebab itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya dibatasi hanya pada
persentuhan saja sudah cukup, begitu sudah terang antara yang menang dan kalah harus segera berhenti,
sekali-kali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa lawan. Seperti meninggalnya Thian-bun Totiang dan
terlukanya Giok-ki Totiang tadi sungguh sangat kusesalkan.”
Karena apa yang dikatakan Gak Put-kun cukup beralasan, seketika suasana menjadi sunyi. Sejenak kemudian
seorang hadirin barulah berteriak, “Pertandingan dibatasi memang baik, namun senjata tidak bermata, bila
terjadi melukai atau membinasakan, ya anggap saja dirinya sendiri yang sial dan jangan salahkan pihak lain!”
“Benar!” sambung seorang lagi. “Kalau takut mati dan khawatir luka, lebih baik tinggal di rumah dan mengeloni
bininya saja, buat apa susah-susah ikut hadir ke sini?”
Maka bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.
“Namun demikian, kukira pertandingan tetap berlangsung secara persahabatan saja,” kata Gak Put-kun.
“Cayhe mempunyai beberapa pendapat dan akan kuminta pertimbangan para hadirin.”
“Ah, lekas mulai berhantam saja, omong apa lagi?” teriak seorang.
“Jangan ngaco! Dengarkan dulu apa yang hendak diuraikan Gak-siansing!” seru seorang lain.
“Siapa yang ngaco? Pulang saja tanya pada emakmu!” jawab orang pertama tadi.
Kontan pihak lain balas memaki, maka terjadilah perang mulut dengan kata-kata dan istilah-istilah yang kotor.
“Bahwasanya siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding perlu diadakan suatu ketentuan ....”
demikian Gak Put-kun membuka suara pula sehingga perang mulut di sebelah sana terhenti seketika. Lalu Gak
Put-kun melanjutnya, “Bertanding untuk menentukan juara, jelas juara ini bukanlah gelar ‘jago nomor satu’ di
dunia ini, tapi juara untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay nanti. Oleh sebab itu yang ada hak ikut bertanding
hanya terbatas anggota-anggota Ngo-gak-kiam-pay saja, orang luar biarpun punya kepandaian setinggi langit
juga dilarang ikut.”
“Betul, betul! Kalau bukan anggota Ngo-gak-pay dilarang ikut bertanding!” seru orang banyak.
“Adapun mengenai cara bagaimana pertandingan harus dilakukan dalam suasana persahabatan, untuk ini
silakan Co-siansing memberi komentar,” kata Gak Put-kun pula.
“Kukira Gak-siansing tentu sudah punya cara-cara yang baik, silakan bicara saja,” sahut Co Leng-tan dengan
nada kaku.
“Cayhe berpendapat ada lebih baik kita minta tokoh-tokoh terhormat seperti Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang,
Pangcu dari Kay-pang, Ih-koancu dari Jing-sia-pay dan lain-lain agar sudi menjadi wasit. Siapa yang menang
dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah menang saja dan tidak
menentukan hidup dan mati.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Siancay! Siancay!” Hong-ting Taysu bersabda. “Hanya menentukan kalah menang dan tidak menentukan mati
dan hidup. Kalimat ini saja sudah menghapuskan banyak kemungkinan-kemungkinan banjir darah yang akan
menimpa. Entah bagaimana dengan pendapat Co-siansing?”
“Kukira dari setiap aliran Ngo-gak-kiam-pay masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja,” kata
Co Leng-tan. “Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang ingin bertanding semua, lalu akan bertanding sampai
kapan baru dapat selesai?”
Di antara hadirin-hadirin itu tentu saja banyak yang ingin melihat keributan, kalau pertandingan hanya
dilakukan di antara lima jago saja dari kelima aliran itu tentu kurang seru. Tapi anak murid Ko-san-pay sudah
lantas bersorak menyokong pendirian ketuanya, terpaksa para hadirin juga berteriak akur.
Tapi tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, “Nanti dulu! Ketua Thay-san-pay adalah Giok-ki-cu, apakah kita membiarkan
seorang yang sudah buntung demikian ikut dalam pertandingan?”
“Biarpun buntung dan tinggal satu kaki, dia kan masih bisa meloncat untuk menyepak dengan kaki
tunggalnya?” kata Tho-yap-sian.
Maka kembali bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.
Giok-im-cu dari Thay-san-pay menjadi gusar, teriaknya, “Kalian berenam setan alas inilah yang membikin cacat
Suhengku, sekarang kalian mengolok-olok beliau pula. Kukira kalian sepantasnya juga dibikin buntung semua.
Hayolah, kalau berani coba maju untuk bertanding dengan tuanmu!”
Habis berkata ia terus tampil ke muka dengan pedang terhunus.
“Apakah kau mewakili Thay-san-pay dalam perebutan juara ini?” tanya Tho-ki-sian.
“Kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang tampil ke muka?” Tho-yap-sian menambahkan.
“Peduli apa dengan kau?” sahut Giok-im-cu dengan gusar.
“Tentu saja peduli,” jawab Tho-yap-sian. “Tidak saja peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang
mewakilkan Thay-san-pay dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Thay-san-pay tidak boleh
mengajukan jago lain?” tanya Giok-im-cu.
Tiba-tiba seorang tokoh Thay-san-pay yang lain berseru, “Kami belum lagi menerima syarat bertanding dengan
jago tunggal. Kalau Giok-im Sute kalah, dengan sendirinya Thay-san-pay masih boleh mengajukan jago pilihan
lain.”
Pembicara ini ialah Giok-seng-cu, suheng Giok-im-cu.
“Haha, jago Thay-san-pay yang lain mungkin adalah saudara sendiri?” kata Tho-hoa-sian setengah mengejek.
“Benar, memangnya adalah kakekmu ini,” jawab Giok-seng-cu ketus.
“Nah-nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Thay-san-pay ribut urusan dalam lagi!” seru Thosit-
sian. “Baru saja Thian-bun Tojin tewas, kemudian Giok-ki-cu terluka parah, sekarang Giok-seng-cu dan
Giok-im-cu ini sudah saling bertengkar dan berebut menjadi pemimpin Thay-san-pay.”
Ucapan Tho-sit-sian sebenarnya tepat mengenai isi hati Giok-seng-cu dan Giok-im-cu. Tapi Giok-im-cu purapura
mengomel, “Hm, ngaco-belo!”
Sebaliknya Giok-seng-cu hanya tertawa dingin saja tanpa bicara.
“Sebenarnya pihak Thay-san-pay akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Tho-hoa-sian pula.
“Aku!” seru Giok-im-cu dan Giok-seng-cu berbareng.
“Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?” ujar Tho-kin-sian. “Baiklah, boleh kalian saling gebrak lebih
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dulu, coba siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan saja dengan berkelahi!”
Dengan aseran Giok-seng-cu melangkah maju dan berseru kepada Giok-im-cu, “Sute, kau mundur saja, jangan
menimbulkan tertawaan orang lain!”
“Kenapa akan ditertawakan orang?” jawab Giok-im-cu.
“Giok-ki Suheng terluka parah, adalah pantas jikalau aku ingin menuntut balas baginya.”
“Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut menjadi juara?” Giok-seng-cu menegas.
“Hah, hanya dengan sedikit kepandaian kita saja masakah sesuai untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay?” jengek
Giok-im-cu. “Kukira kau jangan mimpi di siang bolong. Segenap anggota Thay-san-pay kita sudah jelas
mendukung Co-ciangbun dari Ko-san-pay sebagai calon ketua, buat apa kita berdua ikut-ikut membikin malu di
depan umum?”
“Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai tertua, pimpinan Thay-san-pay sekarang kupegang,” kata
Giok-seng-cu.
“Meski kau terhitung tertua di antara orang Thay-san-pay sekarang, tapi segala perbuatanmu dan tingkah
lakumu selama ini sukarlah diterima orang. Apakah kau kira anggota-anggota Thay-san-pay kita mau tunduk
kepada pimpinanmu?” tanya Giok-im-cu.
“Apa artinya dengan ucapanmu ini?” bentak Giok-seng-cu dengan bengis. “Kau berani kepada orang yang lebih
tua, apakah kau lupa pada pasal pertama dari undang-undang perguruan kita?”
“Haha, janganlah kau lupa bahwa saat ini kita adalah sama-sama anggota Ngo-gak-pay,” jawab Giok-im-cu.
“Kita masuk Ngo-gak-pay pada hari, bulan, tahun dan saat yang sama, berdasar apa kau anggap kau lebih tua
dariku? Undang-undang perguruan Ngo-gak-pay belum lagi disusun, berdasar apa kau tunjuk pasal satu dan
pasal berapa segala? Sedikit-sedikit kau suka tonjolkan undang-undang perguruan Thay-san-pay untuk
menindas kawan sendiri, cuma sayang sekarang Thay-san-pay sudah hapus, yang ada hanya Ngo-gak-pay.”
Giok-seng-cu tak bisa mendebat lagi, saking gusarnya dia hanya berjingkrak sambil tuding Giok-im-cu dan
berkata, “Kau ... kau ... kau ....”
“Hayolah maju, labrak saja! Kenapa omong doang? Habis berhantam baru jelas siapa yang tertua!” teriak para
penonton yang ingin lihat perkelahian.
“Hayo, bae Giok-im, seratus perak!” seru seorang penonton.
“Apit, pegang bawah!” seorang lagi menanggapi dengan lagak seorang botoh jago.
“Lima belasan, pegang atas!” yang duluan menanggapi lagi.
Menurut istilah adu jago (ayam jantan), bae artinya memihak, memegang pihak yang dipilih. Apit artinya
jumlah taruhan dua lawan satu, seratus perak lawan dua ratus perak. Lima belasan artinya 15 lawan 10.
Begitulah jiwa manusia pada umumnya kalau melihat ada pertengkaran bukannya memisah, melerai, tapi
malah menyirami minyak dan membakar.
Tapi meski badan sampai gemetar saling gusar Giok-seng-cu tetap tidak berani maju. Kiranya Giok-seng-cu ini
biarpun terhitung sang suheng, tapi biasanya dia suka tenggelam di tengah minuman keras dan main
perempuan, sebab itulah ilmu pedangnya banyak mundur dan kalah kuat daripada Giok-im-cu.
Dengan dileburnya Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay memangnya Giok-seng-cu dan Giok-im-cu juga
tidak berani mengimpikan buat ikut berebut menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih
jauh dibandingkan Co Leng-tan. Mereka sudah puas bila sekembalinya ke Thay-san nanti dapat diangkat
menjadi pemimpin Thay-san-pay untuk menggantikan Thian-bun dan Giok-ki yang sudah tewas dan cacat itu
Tapi sekarang di bawah hasutan orang banyak mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri, Giok-seng-cu
tidak berani sembarangan bergebrak, cuma ia pun tidak rela menyerah kepada sang sute di depan umum.
Karena itu seketika keadaan menjadi lucu tampaknya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekonyong-konyong suara seorang melengking tajam berkata, “Huh, kulihat inti ilmu silat Thay-san-pay sedikit
pun belum kalian kuasai, tapi kulit muka kalian toh begitu tebal buat bertengkar di sini sehingga waktu penting
terbuang percuma.”
Waktu semua orang berpaling ke arah pembicara, kiranya seorang pemuda yang jangkung dan tampan, hanya
saja air mukanya rada pucat, ialah Lim Peng-ci dari Hoa-san-pay.
Segera orang yang kenal dia lantas berseru, “Itulah menantu baru Gak-siansing dari Hoa-san-pay!”
Lenghou Tiong juga terkesiap, ia tahu sifat Lim Peng-ci biasanya sangat pendiam, tidak suka banyak bicara, tak
terduga sifatnya itu sekarang sudah berubah sehingga berani mengolok-olok orang di depan umum. Namun
Lenghou Tiong juga tidak suka kepada Giok-im-cu dan Giok-seng-cu yang bersama Giok-ki-cu tadi telah
mengakibatkan kematian Thian-bun Tojin, maka ia pun merasa senang atas sindiran Lim Peng-ci terhadap
kedua jago Thay-san-pay itu.
Terdengar Giok-im-cu menjawab, “Aku belum menguasai sama sekali inti ilmu silat Thay-san-pay kami,
memangnya saudara sendiri yang menguasai? Kalau begitu silakan saudara coba-coba mainkan beberapa jurus
ilmu silat Thay-san-pay agar dimaklumi oleh para kesatria yang hadir di sini.”
Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata “Thay-san-pay” dengan suara keras, maksudnya hendak
mengolok-olok Lim Peng-ci yang dikenal sebagai murid Hoa-san-pay masakah berani ikut bicara tentang ilmu
silat dari perguruan lain.
Tak terduga Peng-ci lantas menjengek, jawabnya, “Ilmu silat Thay-san-pay sangat luas dan dalam, mana bisa
dipahami oleh murid murtad macam kau yang mencelakai saudara seperguruan sendiri dengan bersekongkol
dengan orang luar ....”
“Peng-ci!” bentak Gak Put-kun tiba-tiba. “Giok-im Totiang adalah kaum cianpwe, jangan kau kurang ajar!”
Terpaksa Peng-ci mengiakan dan berhenti bicara.
Dengan gusar Giok-im-cu lantas berkata terhadap Gak Put-kun, “Gak-siansing, bagus sekali murid didikanmu
dan mantu kesayanganmu ini! Sampai-sampai ilmu silat Thay-san-pay berani dia sembarangan mengoceh dan
menilainya.”
“Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?” tiba suara seorang perempuan menyela. Maka muncul ke
depan seorang nyonya muda dengan gaun yang panjang, pada sanggulnya tersunting setangkai bunga merah
dan kecil. Siapa lagi dia kalau bukan Gak Leng-sian.
“Ini, dengan ilmu pedang Thay-san-pay juga akan kucoba bagaimana kepandaianmu,” kata Leng-sian pula
sambil memegang gagang pedangnya yang melintang ke belakang punggungnya.
Giok-im-cu mengenalnya sebagai anak perempuan Gak Put-kun, diketahui pula bahwa Gak Put-kun telah
menyetujui peleburan Ngo-gak-kiam-pay dan cukup dihargai oleh Co Leng-tan, maka terhadap Leng-sian ia
tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ah, pada hari bahagia nona Gak,
sungguh menyesal aku tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat, apakah karena itu nona telah marah
padaku? Tentang ilmu pedang Hoa-san-pay kalian memang sangat kukagumi. Tapi bahwasanya murid Hoasan-
pay juga mahir ilmu pedang Thay-san-pay, wah, sungguh baru kudengar sekarang ini.”
Dengan menarik alisnya yang lentik, dengan air muka menghina Leng-sian berkata, “Ayahku ingin menjadi
ketua Ngo-gak-pay, dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima aliran harus dipelajarinya, kalau tidak
cara bagaimana beliau sanggup memimpin Ngo-gak-pay nanti?”
Ucapan Leng-sian ini seketika membikin para kesatria menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, “Apakah
mungkin Gak-siansing juga mahir ilmu pedang dari keempat aliran lain?”
Gak Put-kun lantas berseru, “Ah, anak perempuanku suka membual saja, omongan anak kecil janganlah kalian
anggap sungguh-sungguh.”
Tapi Leng-sian segera berkata pula, “Co-supek, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
keempat aliran kami, dengan sendirinya kami akan tunduk dan angkat kau sebagai ketua Ngo-gak-pay.
Sebaliknya kalau kau hanya mengandalkan ilmu pedang Ko-san-pay melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan
seluruh seterumu, paling-paling hanya ilmu pedang Ko-san-pay saja yang terkenal.”
Para hadirin pikir apa yang dikatakan Leng-sian memang tidak salah. Kalau orang mahir ilmu pedang dari
kelima aliran, sudah tentu orang ini pula paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay. Akan tetapi ilmu
pedang setiap aliran itu adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh aliran masing-masing dari angkatan tua turuntemurun
selama beratus-ratus tahun, jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, melulu ilmu
pedang suatu aliran saja sukar dipelajari hingga masak dan mendalam betul.
Namun Co Leng-tan mempunyai cara berpikir sendiri. Ia curiga mengapa anak perempuan Gak Put-kun berani
omong besar demikian? Di balik ini tentu ada tujuan tertentu. Ia pun sangsi jangan-jangan Gak Put-kun yang
juga kemaruk kedudukan itu berniat berebut jabatan ketua Ngo-gak-pay dengan dia.
Didengarnya Giok-im-cu sedang berkata, “Wah, kiranya Gak-siansing telah mahir menyelami inti ilmu pedang
Ngo-gak-kiam-pay, ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. Maka
biarlah aku saja yang mulai minta nona Gak memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu pedang Thay-san-pay.”
“Baik sekali!” jawab Leng-sian. “Sret”, segera ia lolos pedangnya.
Keruan Giok-im-cu sangat mendongkol. Pikirnya, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, masakah
anak perempuan macam kau juga berani lolos senjata terhadapku?”
Semula ia menyangka Gak Put-kun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya, sebab di antara
tokoh-tokoh Hoa-san-pay hanya Gak Put-kun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.
Tak terduga Gak Put-kun hanya geleng-geleng kepala saja, katanya dengan menyesal, “Sungguh anak
perempuan yang tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit, Giok-im dan Giok-seng berdua Locianpwe
adalah tokoh-tokoh kelas utama Thay-san-pay, kau sendiri yang mencari penyakit jika bermaksud melawannya
dengan ilmu pedang Thay-san-pay mereka.”
Ketika Giok-im-cu melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Gak Leng-sian menuding miring ke bawah, jarijari
tangan kiri sedang bertekuk-tekuk seperti orang lagi menghitung-hitung.
Giok-im-cu terkejut dan heran dari mana anak perempuan ini paham jurus “Thay-cong-ji-ho”, suatu jurus ilmu
pedang Thay-san-pay yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang, tapi dalam
hal perhitungan letak tempat musuh, perawakan musuh dan panjang atau pendek senjata yang digunakan
musuh dan macam-macam faktor lain. Perhitungannya sangat ruwet, tapi bila perhitungan sudah tepat, sekali
serang tentu kena.
Pernah Giok-im-cu mendapat ajaran jurus ini dari gurunya, tapi ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup
menyelami jurus yang pakai perhitungan tinggi itu, maka waktu itu ia tidak pernah mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh, sebaliknya sang guru juga tidak paksa dia berlatih lebih lanjut, rupanya gurunya sendiri
juga tidak mahir terhadap jurus itu.
Karena dirinya tidak diharuskan berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Giok-im-cu merasa kebetulan. Sejak
itu ia pun tidak pernah melihat orang Thay-san-pay sendiri memainkan jurus itu. Tak terduga peristiwa yang
sudah berselang puluhan tahun itu, kini mendadak jurus itu dilihatnya dimainkan oleh seorang nyonya muda
sebagai Gak Leng-sian, bahkan orang yang bukan anggota Thay-san-pay. Keruan ia menjadi gelisah dan keluar
keringat.
Biasanya orang yang kepepet tentu akan timbul akal, ia membatin, “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat
ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan selalu meleset.”
Begitulah segera ia menggeser ke sana, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus “Long-gwat-bu-in”
(terang bulan tanpa mega), tapi tusukannya belum mencapai sasaran segera ia menggeser dan menyerang
pula dengan cepat. Sambil bergerak, yang diperhatikan Giok-im-cu hanya jari-jari Leng-sian yang bergerakgerak
menghitung itu. Ia masih ingat ucapan gurunya dahulu bahwa jurus “Thay-cong-ji-ho (cara menghitung
dengan pasti) merupakan inti ilmu pedang Thay-san-pay, sekali serang pasti kena, membunuh orang tanpa
terasa. Kalau sudah mencapai taraf demikian, maka boleh dikata sudah mencapai tingkat yang sempurna.

Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru