Senin, 22 Mei 2017

Cerita Silat Cinta Bernoda Darah 4 Kho Ping Hoo Oye

Cerita Silat Cinta Bernoda Darah 4 Kho Ping Hoo Oye Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Cinta Bernoda Darah 4 Kho Ping Hoo Oye
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Cinta Bernoda Darah 4 Kho Ping Hoo Oye
Tutup peti mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah
lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjangpanjang.
Lengan ini menutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua.
Semua mata memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti
mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh pingsan
saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat,
pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai ke leher, kaki dan
lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan
tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing melengkung.
Yang menarik adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata
terbelalak dan muka berubah.
“Kau... Thai Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun (Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Bengkauw
lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui)
ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini
secara mengerikan. Kiranya iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu
dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih terhitung adik seperguruan
sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara banyak pria
yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian
memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun
tahu di mana ia berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu
mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini.
Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan
Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui,
baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa
biar pun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap
Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.
“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.
Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang
pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung
Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw Bian Cinjin.
Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo
telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw
Bian Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu menandingi
It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi
kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah
tingkatnya.
“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong.
“Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
It-gan Kai-ong tertawa bergelak, “Hoho-
ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral
orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi
agaknya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata
mayat hidup itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang
melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di
tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan
seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke
tengah lapangan menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya berkilatkilat,
kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.
“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau
pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya setahun yang lalu di Ting-chun?”
“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut
Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana
kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”
Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat
gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang
menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui terowongan
rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah
dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!
Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat
dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita
sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan
teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun
berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.
Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan
tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut
disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di
mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke
bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.
Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini.
Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam
peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan
ngeri.
“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat ke luar dari
dalam peti.
Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat
menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.
“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau harus menebus
hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus...,” suara
iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan
yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.
Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya
melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik
ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara
lagi. Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya ke luar dari dalam
peti.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang
membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya. “Masusiok
(Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan
memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di
depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih cantik
jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak
disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.
Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin
Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan
tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.
“... Lu... Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.
Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu.
Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng
dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya
yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang
berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa
kau mencintaku sampai kau mati? Huh, kitanya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu,
pandai pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak... tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku bersetia padamu...
Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan
hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku
padamu murni?”
“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”
“Eh... aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini... melihat gadis itu tadi... hampir
saja... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini
bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah, tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi
keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku
percaya bahwa kau betul mencintaiku?”
“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku.
Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu bertemu dengan orang-orang....”
“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau
membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”
Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah
menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam.
Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam.
Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan
melangkah perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.
Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh
ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apa lagi tadi telah
menghinanya dan hampir saja mencelakainya.
Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan
julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara suling memasuki
dunia-kangouw.blogspot.com
peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti,
menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya
sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.
“Lu Sian, aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar
melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.
Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba
tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun, menyambar
pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.
“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih raguragu
bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri
Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja
bibi.
“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”
“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari
Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”
Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya
amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia
menarik napas lagi.
“Cinta bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau bilang...?” Wanita itu agaknya heran.
“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang
mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama
masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah
dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapa pun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali.
Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin,
meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.
Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya
ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat
sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil
mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang.
Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan.
Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia
melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang
menembus ke ruangan sembahyang!
Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin
muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah
ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai
seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang
banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang membuat ia tadi
kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian. “Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan
isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu
angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!”
Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri,
mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan
mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke
dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.
“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi
juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh
terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.
“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini
sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang
lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi
melihat kedua orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu
Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani kedua
orang adiknya.
“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang
tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti
suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin
bertiga.
Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan
menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai
tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi
Sian Eng biar pun sudah mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat, rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang
menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang
cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.
Pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu
rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan
Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis
itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah
perutnya!
Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat
menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan
itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut,
Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas
menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin
Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.
“Keparat, siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana
datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.
Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya
dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri
kami yang mulia?”
Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya
bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Trang-tring-trang-tring...!” terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian
disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua orang Khitan.
Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut
mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka sudah terpental, menyaksikan
dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan
terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.
Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut
Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari enam orang. Sekelompok
sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi
mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan
empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.
Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cuibeng-
kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang
melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis,
melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.
Cui-beng-kui sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan
‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling
bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak
pula. Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa
disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau
itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata
Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan
orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang
Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan
berkata perlahan.
“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”
“Twako, dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.
Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua keraguannya
lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan
Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling
Emas, berkata perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut
kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia
amat lihai, bukan lawan kalian.”
“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.
Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah dan
lihat, dia bertemu tanding.”
Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan
dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju
membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu
benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling
basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima
belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling
menguji kepandaian di sana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te
Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu,
terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat
melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah
menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang
Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim
Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai
bersatu untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thiante
Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada ancaman Sung Utara!”
Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata
itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah
mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong
sebagai
tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru
dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari
semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar
diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang,
cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang
terurai ini tersebar bau harum semerbak.
“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat
kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”
Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan
wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan
permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.
“Ho-ho-heh-heh! Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau
tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang
kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka
terhadap Sung Utara!”
Hati Ouwyang Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah
karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah
akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok
dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali.
Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik
hubungannya dengan Kerajaan Sung.
“It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring.
“Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang
perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”
Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap
jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jembel busuk itu
dengan muridnya, Suma Boan yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan
merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan
rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu.”
Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong
terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah
dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas,
bocah sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su.
Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya
dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari
pada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”
Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati
mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia
ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu
dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya. Cuibeng-
kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini
marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki
ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang. Cepat kakinya
menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.
“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia
menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan
memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun
kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya
sehingga banyak tamu yang kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia
bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah mendatangkan semacam
tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu
tenaga menangkis, tenaga sinkang-nya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi
mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya.
Begitu ia menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya. Kalau suara
melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot
jantung memecahkan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah
gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan mencopoti
semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh
tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
“... karena kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara
melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”
Kembali ia menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan kedua
lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan ke luar, tak
mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis
dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut
pukulan tangan kanan lawan.
Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya
terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan
tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.
“Desssss...!” telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.
Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakanakan
tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya
terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat,
sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya
menggigil.
Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan
mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah
kalian... aku tidak apa-apa...,” katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.
Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia
merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda
sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah
seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia
masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya.
Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah
dunia-kangouw.blogspot.com
itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang
kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para
tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi
pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara
Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya!
“Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran
kepada Cui-beng-kui.
Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran,
juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara
yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah
tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang berkepandaian rendah,
bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh
mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang
sakti yang berada di situ.
Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan
tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang
dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya,
kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.
Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong,
suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa
di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw
pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas
semangat.
Ilmu ini merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui
pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khikang yang disalurkan
melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih
menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang
diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-ihun-
to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang
terbang dan dapat menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja
timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau benar demikian, siapakah
orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya
hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga
biasa dan daya serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu
sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!
Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti
seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain,
menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka tidak
terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma),
berani kau mengganggu anakku?”
Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng
yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan
mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada
pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya. Cepat ia
melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan... kedua kaki pendekar ini menggigil!
Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah
seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini
mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan
kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik
jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya,
dunia-kangouw.blogspot.com
hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa
terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang
hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya
meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia
tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan
tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.
Hanya tiga orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama
adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan
tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di loronglorong
rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu
akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee
mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini
adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling
ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras
serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya.
Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa
pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia
bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium
olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah
Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan,
bau ibunya dulu (baca cerita SULING EMAS).
Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah
gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh
kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu
menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi,
dan dengan kecantikannya yang luar biasa (baca cerita SULING EMAS). Selama berpisah atau bercerai
dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan
dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya
menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga
dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus,
langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di
balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu
dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar
matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir
mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku...
ah, ampunkanlah aku... jangan benci....”
“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih,
terus melangkah mendekati.
“Ti... tidak... Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan pandang aku seperti itu...
Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku... tapi jangan benci...!”
Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu
bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya!
Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu
Sian!
Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling
menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis
luar biasa karena semua giginya masih utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang
sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
senyum seorang siluman!
“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau
mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku
lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi
cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu
aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai
Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku
menerima cinta kasihmu yang suci murni!”
Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta
kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan.
Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut
mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”
Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra,
terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus
membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini
merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.
Ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar
dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua
telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak
tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan
seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!
“Wah, Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung
tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan
tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-bengkui
membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”
Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum
bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi
kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liokkoai
terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga
timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-kui itu hanya
setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki
melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan
tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah
atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala
dan punggung!
Hebat bukan main serangan ini. Itgan
Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari
belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau
menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia
berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar
pun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja
menyerempetnya.
“Plakkk... brettt!!”
Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan.
Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu
Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat
penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung
sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya terluka pada
kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
nyawanya melayang!
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu Itgan
Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu
menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di
antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut
datang pada bulan lima malam kelima belas di puncak Thaisan.
Yang tidak datang dianggap kalah dan
diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong, apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong
berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.
“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin
ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal
lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata
demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toatbeng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan,
karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan
mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.
Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan
berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw
di Cin-ling-san.”
Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan
pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya
mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan
mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia
berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”
Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.
“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah menyetujuinya...?”
“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi, bagaimana kau...?”
“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng mencegah, merasa
bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.
Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa
rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal
yang menarik sekali.
“Kita akan bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa
mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus. “Kau
masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”
Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik
melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biar pun Siang-mou
Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan
keduanya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat
menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga
Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya
hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita
Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian? (baca cerita SULiNG EMAS).
“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu
kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat membujukku,
mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh,
perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tibatiba
sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke
pinggangnya, dengan tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata,
“Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu
sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang
tidak ingin dihormat!”
Liu Lu Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali
menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi mengingat beberapa orang
di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh,
lakukanlah!” Tantangan yang menghina sekali.
“Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria
yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan
kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu
menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari
puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi,
namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya
bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya,
dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan... pecutpecut
rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!
“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk
melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya
yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan
matanya mendelik.
“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat mengalahkanmu, tentu
aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti
Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat
menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula
tanpa sempat berpamit lagi.
“Bu Song! Ke sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara
halus lembut.
Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan
masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam
ia merasa sedih sekali, karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena itulah
ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya
makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang
salah (baca cerita SULING EMAS). Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah
lagi.
Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebabsebabnya.
Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi
kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan tidak tahu malu? Apa lagi kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya
di Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah?
Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak
orang tokoh kang-ouw! Dan ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut,
kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar
kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini,
menjadi bayangan yang dirindukannya.
Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hihi,
kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw.
Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai
kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh...!” Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan
ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan
hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih,
karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan
tetapi keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada
perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar
Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar
Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing
dengan hati tegang.
“Paman Liu Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak
tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak
mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”
Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan
kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan
perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.
“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan
perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa pun kami mencarimu, tidak juga
berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku
dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau
menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”
Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak. Andai kata
tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi
Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah
melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang
cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila
dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian.
Tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk
itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke
samping, kemudian melihat cambuk kedua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.
Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa
Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee
dunia-kangouw.blogspot.com
terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah
bagaimana cambuk itu sudah melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari
ketika cambuknya ditarik-tarik.
“Lepaskan dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua
tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya ketika
melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah
agaknya keselamatannya terancam bahaya.
“Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh dan
tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh...!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap
lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air
terjun.
Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian, karena di lain saat,
segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang
toya yang terbuat dari pada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.
“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang.
Namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal di dekat Bu Sin.
“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi
di kahyangan!”
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar
ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi
ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa
kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”
“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat
menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan,
dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat
menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”
Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang dan gembira
karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggota Beng-kauw
memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapa pun juga, wanita itu adalah puteri tunggal
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.
“Ibu, tidak boleh kau bilang begitu...!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.
“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam.
Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya
itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia
yang sehat jiwanya!
“Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku... aku tidak mau menjadi kaisar.
Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”
“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan
mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih kecil. Suling
Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih.
Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya
dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan
kedua matanya.
Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee
dunia-kangouw.blogspot.com
dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak
berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee
tentu akan tewas di tangan wanita iblis itu.
Kini semua mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut
di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras
dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian,
kakek ini berkata, suaranya lantang berpengaruh.
“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya
dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita!”
Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu
senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu
Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau
menangis ia gendong!
“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu.
Memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw
kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian
penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan
kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wuyue,
Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus
merampas Khitan!”
“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara.
“Tar-tar-tar!”
Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua
niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu
kita. Kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”
Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya menjadi
muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan
kubunuh.”
“Aaahhhhh...!” Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai
lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan
sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng,
mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali
menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.
Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung
adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati
ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin
ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya,
ia hanya berdiri dengan muka pucat.
“Liu Lu Sian, biar pun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan
tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami
cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah
mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini.”
“Orang tua keras kepala! Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi
(Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”
“Kalah menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan
nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya. Kalau
saja Kam Bian Cinjin yang ‘diserang’ suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa
disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga terdengar angin
bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.
“Serahkan nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat
sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cinjin.
Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat.
Lebih hebat dari pada pertempuran-pertempuran tadi karena sekarang yang bertempur adalah dua orang
tokoh Beng-kauw. Betapa pun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat
menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia
mendapat julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang
yang kurang tinggi kepandaiannya menjadi ngeri dan jeri. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar
yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang
menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa
lawan!
Betapa pun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian
mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apa lagi sekarang
wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil
membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah
memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan
rambut kepalanya merupakan permainan ‘ilmu cambuk’ yang mukjijat karena rambut itu dapat dipakai
menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam
menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cuibeng-
kui, ia sudah menduga bahwa puteri suheng-nya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi ia menjadi nekat untuk membela Beng-kauw
yang terang-terangan hendak dikacau oleh Liu Lu Sian. Apa lagi kalau diingat bahwa suheng-nya, Liu Mo
bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas
kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suheng-nya memberikan kedudukan itu kepada Liu
Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang
tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari
mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi.
Tadi semua mata menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat. Setelah kini keduanya tidak
bergerak, semua mata dapat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat
sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang
terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Bengkauw
itu.
“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan
menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid
keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku...,” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap
lantang berwibawa.
“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar...!” Tiba-tiba
tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu
Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda
tapak tangan merah!
“Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo
berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas
kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”
Wajah Liu Mo tetap terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya
ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu,
kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” berkata demikian, Liu Mo menoleh
ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”
“Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan!”
Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati
memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai
penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening.
Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan
kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak
berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan
berandalannya watak wanita itu.
“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan
puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir.
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun
berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya
yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala
agama) secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ‘dicopot’
dan diganti
begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan
diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih
patut disebut
Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi
wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu
kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut
ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti
mati pecah berantakan dan... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung
berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai
muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan
mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang
tertarik keras itu bergerak.
“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini... Lu Sian... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau
mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau
ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini...!”
Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi
beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah
maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung
kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mukjijat Coan-im-i-hun-to
seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.
“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin mengembangkan Beng-kauw sehingga
seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”
“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan
menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”
“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya
bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separuh jumlah tamu jatuh bergulingan,
tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat
mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga
tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sinkang dan tergoyang-goyang di
atas tempat duduk masing-masing.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan,
melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di
dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian
mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang
tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali,
mulutnya mengeluarkan suara....
“Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.
Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua
orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring
dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauwcu Liu Mo dan yang lainlain
mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya!
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama
meninggalkan dunia.
Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suheng-nya itu tiga tahun yang lalu belum mati,
melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya, suheng-nya itu
bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah
dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di
kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia (baca cerita Suling Emas).
Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega.
Ia pikir lebih baik begini dari pada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga
berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak
membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggota Beng-kauw nampak
berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka
berani bersuara.
Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apa lagi mereka yang
tadi pingsan dan sudah siuman kembali. “Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan
segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi
Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan
keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw. Kami sebagai ketua Beng-kauw di sini
menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan
bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun
pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi
sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta permintaan
maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”
Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari kota raja
Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao
dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa,
ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka
saksikan lagi.
Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia
berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih. “Saya mintakan maaf atas sepak
terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”
Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik.
Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi
watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar
perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak
Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini
kepadamu.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hekgiam-
lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi dari Nan-cao
untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw dan untuk
mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang
sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya
pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya
dua hati yang saling mencinta.
********************
Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking
marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-bengkui,
malah dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui
yang sakti.
Sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh
sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di
situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ‘mengacau atau
mengail ikan’, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat
membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa
perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil ‘mencuri’ Lin
Lin dari depan banyak orang.
Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak
ditolong oleh Suling Emas. Hanya ketika melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya,
membuat Lin Lin pening dan entah bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari
jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!
Rombongan orang Khitan itu tiada henti-hentinya berlari. Menjelang senja mereka baru berhenti, saat telah
tiba jauh di daerah perbatasan kota raja. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya
bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.
“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke kota raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cuibeng-
kui iblis jahat itu!”
Seorang di antara dua belas prajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin
lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka dari bahaya maut. Hamba
hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa
secara sia-sia.”
“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia
membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”
“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun,
selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan
perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”
“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.
“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat...”
“Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-bengkui!
Mana dia? Suruh dia ke sini!” Lin Lin membentak-bentak mereka dengan sikap yang agung seakanakan
memang semenjak kecil dia sudah biasa memerintah orang-orang Khitan.
“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu
dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”
Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”
Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di
dunia-kangouw.blogspot.com
depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan
dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walau pun baru saja
kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam
melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah!
Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik
sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah
sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan
diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing
baginya, namun dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katanya. Ikut
sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara
nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.
Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang
mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang.
Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup
tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh seperti suara binatang, tidak keras akan tetapi suara itu
membawa getaran yang kuat.
Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar
meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka
tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang
pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang
itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu
yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.
Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau lakukan?
Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.
Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang
Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik
perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”
“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”
“Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”
“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali
ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”
Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk
mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang asli tidak nampak. Akan tetapi
setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.
“Tuan Puteri Yalin, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua
gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan
Paduka lagi. Kita harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan
Paduka.”
“Tidak! Kau harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”
Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.
“Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan
menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri
berlutut.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan
tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo!
Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di
dunia-kangouw.blogspot.com
belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang
dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin,
gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani
melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau,
sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar
kau mendapat hukuman penggal leher!”
Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi
para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik
perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walau pun kedua tangannya
terbelenggu.
“Yalin, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku,
malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!” Cepat
sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan....
Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah,
akan tetapi wajah itu mengerikan karena... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulangtulangnya
terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi
mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi,
alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan
dari pada wajah Cui-beng-kui!
“Kau... kau siapa...?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak
itu agaknya tidak mengerikan lagi dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.
“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah. Karena aku berdosa
mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain
ibu, dan dia memilih seorang prajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak,
agaknya menahan kemarahannya.
Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang
menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami
bersama suaminya, seorang prajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh
karena ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke
kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.
“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bangsaku dipukul
hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut ‘bangsaku’ dan ‘ayah
ibuku’, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang
yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah
perkasa.
“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak
berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”
“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk
membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”
“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak
bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang
tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu
rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia... dia... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!”
Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biar pun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat
menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu (baca cerita Suling Emas).
“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!
“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.
“Tuan Puteri Yalin, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda
atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai
anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”
“Apa...?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu
masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”
“Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Banyak laki-laki beristerikan wanita muda lagi cantik. Ibu
Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita
sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda,
karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke
Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”
“Gila...! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu
selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku
sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila dari pada ini?”
“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda
mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka masih
keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi
yang dipertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri.
Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”
“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau...! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”
Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di
belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu,
sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!
“Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya
untuk melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.
Gadis itu terkejut sekali. Andai kata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa
bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di
mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang
menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha
pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan
menghadapi bahaya pula.
Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak berani turun tangan
sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini
sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak
pinggang seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.
Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada
di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah
sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang
telah merampas hatinya.
Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya,
tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini menghadapi Hek-giamlo?
“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.
Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan
yang bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit
dunia-kangouw.blogspot.com
karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak bersama suhu-nya.
Pemuda ini merasa khawatir sekali ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan.
Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin.
Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa
mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruangan sembahyang
Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus
membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan
Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan
cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giamlo, akan
tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hekgiam-
lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekali pun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap
mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!
Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo
mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia
yang keluar menghadapi aku!”
Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal
ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar
dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.
“Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan
aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.
“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang
tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhu-ku dan membebaskannya,
biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa
singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah
seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan
‘sopan santun’ kang-ouw seperti ini.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau
ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina
akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan
ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke
arah dada Lie Bok Liong.
Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekali menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap
sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping. Tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol
akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan
ke arah lambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Jarang sekali terdapat di
dunia kang-ouw seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya dan seketika dapat balas
menyerang. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaiannya. Tentu saja
dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.
Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok
Liong kaget bukan main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran
lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat
sekali.
Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung
lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan.
Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini merupakan bukti betapa
teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani
sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andai kata ada yang bergerak, hal itu berarti
membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin
hukumannya adalah maut!
Lin Lin menjadi kagum melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia lari
menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apa lagi gadis itu
adalah ‘tuan puteri’ bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani
dunia-kangouw.blogspot.com
mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari ke luar lagi, di tangannya
memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini memasuki
bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia
melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak
cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hekgiam-
lo!
“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis
tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan
kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah
seketika.
“Hayaaaaa...!” Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat
dan....
“Brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar!
Biar pun Bok Liong sudah terhindar dari pada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goatkong-
kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara
seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis
tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.
“Traaanggggg!” Biar pun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat
Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas.
Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat
menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri.
“Cappp!” pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.
“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan
tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hekgiam-
lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya
terlempar... keluar perahu!
“Byurrrrr...!” tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.
“Tolong... auppp...!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat
digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.
Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh
Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu.
Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar
Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi
terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.
“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Linmoi
dan aku. Kalau kau mau berkelahi, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau
membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”
“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah
gila berani jatuh hati kepadanya?”
Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung
pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan... tubuh Bok Liong terbanting ke atas
papan perahu. Seketika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting
pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia berusaha
melepaskan diri, namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk
perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kau bunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”
“Tidak dibunuh buat apa?” berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong yang masih
terjepit papan perahu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda ini biar pun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia dengan sikap
menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikit pun tidak
terbayang rasa takut di wajahnya.
“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.
Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus,
lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh
mati untuk menebus dosanya...!” Setelah berkata demikian Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok
Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”
Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia
tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu
pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah
bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata
mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali
melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang
ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada
punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali
mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan....
“Byuuurrrrr...!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari
dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia
berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis tukang menakuti anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, aku akan mengadu
jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke
pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa
artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat
pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan
cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana
tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak
kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang
ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-diam ia merasa bahagia sekali.
“Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu
membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir-balikkan bumi langit
untuk mengadu jiwa!” Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang kepinggir.
Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan.
Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari
tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi
tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biar pun ia harus berjalan sampai ke
dunia-kangouw.blogspot.com
Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu
menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia
harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut,
atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek.
Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan
dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan
melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali
kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah
tersangkut oleh... sebuah suling yang terbuat dari pada emas.....
********************
Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang
menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biar pun hakekatnya amat dibenci
oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari
kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.
“Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau
sampai dia mengalami celaka?” di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.
Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas
sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.
“Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat susulmenyusul
yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin.
Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang
iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang
memperhatikan keadaan Lin Lin.
Kembali Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku
bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apa lagi mengingat akan pengalaman Adik Sian
Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah
kita. Betapa pun juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari
Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau
sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”
“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.
Suling Emas tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada bangsanya dan
merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat
memaksanya, bukan?”
“Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian
Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.
“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”
Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia
bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya
untuk mengusir mereka.
“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah
keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya
perjalananku tidak akan aman lagi.”
“Mengapa, Twako?”
Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh, “Mendiang ibuku... ah tak perlu
dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.
“Orang-orang Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara
hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke
Kan-kiang, melalui anak bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan
jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya
sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang
sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan
perjalanan cepat.”
Dua orang adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang
dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan
pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil,
melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerakgerak
kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan tetapi karena mereka bertiga adalah
orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng
yang kadang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian
Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan hebat sekali
semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satusatunya
yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya
dan tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ karena tepi jurang itu membuka lubang menganga
seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng
memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan
keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya. Memang tambang besar
dan kuat itu masih melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi
‘jembatan’ ini tidak kosong!
Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk
menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah
mudah untuk ‘berdiri’ jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua
kaki menjulang ke atas, apa lagi tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan meter! Tapi
kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan
gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur yang keras.
Suling Emas tampak marah. “Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan
kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.
“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di sini dan menjual kepandaian secara tengik
begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke
dasar jurang!”
Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi
pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong,
seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka maklum dan percaya penuh akan
kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang
seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah mau pun bagi yang menang. Sekali saja
keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat
menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mempunyai
sayap seperti burung!
“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-hehheh!”
Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak perlu kau
bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa
bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”
“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”
“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh
dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari
dunia-kangouw.blogspot.com
sana.”
Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan
senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biar pun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan,
namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk
menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia
mengeluarkan sulingnya.
“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran
beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang.
Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu
kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya
bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan
yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin
hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.
Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya
telanjang, tentu saja ia lebih leluasa ‘main-main’ di atas tambang dari pada Suling Emas yang memakai
sepatu kulit dengan sol dipasangi baja. Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak
seperti lawannya yang dapat mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!
“Heh-heh-heh, terjunlah... terjunlah... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada
tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.
Namun Suling Emas bukanlah pendekar sembarangan saja. Biar pun usianya belum tua, namun ia
seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi, juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan
waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu
lweekang-nya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biar pun tubuhnya
tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat
terjatuh dari atas tambang.
“Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke
atas, kedua kakinya terlepas dari tambang!
Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapa pun saktinya, Suling Emas tidak
dapat terbang, bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi
dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?
“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan
baik.
Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun
lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik
dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar
bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia terkena
totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah.
Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang lagi dan tentu
saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas
tambang. Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu
berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi
seberang jurang.
Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada
di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar kerbau,
lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas tambang! Serangan
hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar
biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.
Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir
berjongkok, sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu
dunia-kangouw.blogspot.com
itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara
hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat
sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.
Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka
melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping.
Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.
Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke
arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini,
maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk
ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia
menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak
dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya.
Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah
menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun
ia pun bergulingan sambil menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena
semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang
sambar!
Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata kedua ini
banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biar pun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih
sempat berseru ke sebelah belakangnya. “Kalian menyeberanglah!”
Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan
tambang.
“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan
keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan
rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh
pundaknya dan berkata.
“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa
sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini
melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan
tubuh.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah ‘jembatan’, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah
belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat
dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat
tambang yang mereka injak!
“Twako... tolong...!” Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena
pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya
tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak
terjadi hal yang hebat.
Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang
memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas
itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan
saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan
karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan
melayang ke bawah. Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian
sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai
ke atas, saking tingginya tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua
kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat
melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak
dapat bergerak maju.
“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan
mendorong.
Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa
meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng
mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini
subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening
berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang.
Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka
segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua
maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan
gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong
saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar
kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan
dimainkan sebagai senjata!
Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suheng-nya, Toat-beng Koai-jin.
Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar,
mereka menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun
karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian
mereka hebat.
Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali
sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang
kenanya memang tidak tepat benar.
“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum
datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”
Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang
bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat?
Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin
cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke
penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong,
tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang
mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja
dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang
pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.
“Tapi... kau sendiri... Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk
meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.
“Pergilah...!” Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi
meninggalkan tempat berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu
sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu
jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak
tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu.
Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan
memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau... kalau dia....”
“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari
perahu.”
“Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako
datang.”
“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir
sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”
Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan
diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka
juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi
sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!
Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan
yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi
kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera
dapat tersusul Suling Emas karena betapa pun juga, mereka merasa tidak enak berpisah dari kakak yang
sakti ini. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling
Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan
makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong
yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.
Setelah melihat kedua orang adiknya pergi dengan cepat, Suling Emas menjadi lega hatinya. Ia tadi
melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerakangerakannya
cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh
kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu,
kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum
mengejek ia berkata.
“Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak
ada dendam mendendam, mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku
berlaku murah dan mengalah? Sekarang suheng dan teman-temanmu datang, aku tidak bisa bersikap
mengalah lagi!”
Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-inbun-
hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima
dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak
akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu.
Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas
jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan mendesak dengan
munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera
mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan
ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.
Tok-sim Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan
matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret
tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mukjijat yang sukar ia lawan. Selama
hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari mana pun juga, akan tetapi ia benarbenar
kaget sekali menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mukjijat ini.
Cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata tajam, Tok-sim
Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya
mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak
meleset seperti mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling seketika
menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia
menggelinding sampai sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong
dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu
silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf
ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli
kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab Totik-
keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada
huruf TO inilah!
Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan
bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak,
saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib dari pada yang gaib, sumber segala yang ada dan
tidak ada, semua rahasia! Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik
pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.
Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya?
Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai
sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!
Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang
temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini
dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga
orang anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan Suling Emas.
Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan
tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah,
dan mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari daging binatang.
Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya,
“Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia merangkul si kurus itu dan
mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti seorang kakak menghibur adiknya. Dan
anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis dalam rangkulan suheng-nya! Tangis manja seorang anak kecil!
Ada pun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu segera menyerbu dengan golok di tangan ketika melihat
Suling Emas. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu.
Pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To,
hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik
keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak
dapat bangun kembali! Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalanannya
dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi
meninggaikan tempat itu.
“He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Sute-ku, beraninya hanya pada anak-anak,
hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu
karang yang besar.
Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon
yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti
juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan
lagi pada Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.
Karena ginkang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat
meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Ada pun
tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biar pun tidak tewas namun masih ‘ngorok’
seperti babi disembelih.
Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas
hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat
banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah
berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya
berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh
besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta
dunia-kangouw.blogspot.com
tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap kereng dan bermusuh!
“Para sahabat yang baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang harus
membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa
mengejek.
Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling
Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata. “Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya
menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan
menghadangku di sini? Ada urusan apakah?”
Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan
masingmasing.
Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa
mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian
melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.
“Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak
memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula
kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?”
“Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan
Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu
kandungmu. Tiga orang suheng-ku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang sute-ku diculik ibumu,
kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu
tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau
suka menyerahkan agar pinceng (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”
“Mana bisa, Cheng San Hwesio!” bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai
seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas
karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima
orang suheng-ku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini,
akan tetapi ia bersembunyi dan sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan,
tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang-
mou Sin-ni yang
ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus
mempertanggung-jawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”
“Tidak bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai.
“Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau
kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!” Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti
yang lain-lain lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.
Masih banyak yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui
dan ingin menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga
bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela
meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya
dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat!
Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya
dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan
tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apa lagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya,
mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang
agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak
ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus
dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.
Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat
orang, belum terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kaiong
yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau
mereka semua maju, biar pun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi
mereka!
“Kalian terburu nafsu! Andai kata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku?
dunia-kangouw.blogspot.com
Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam!” Setelah berkata demikian, Suling
Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri.
Tentu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau
hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya.
Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan
pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.
Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang
tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi
pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu
kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan
merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justru
sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosadosa
ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.
Akan tetapi para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu
saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran dan
tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di
belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.
“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”
Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti
perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik
berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah kereng, pakaiannya
sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinar putih
perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari
seorang ahli pedang dan ahli sinkang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan
pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas
terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedang itu tiap
kali sinarnya menyambar.
“Kau siapakah, Nona?”
“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan
Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabui ayah sehingga berhasil mewarisi
ginkang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil
menyerang lagi.
Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang berjuluk
Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”
“Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”
Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apa lagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat.
Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi.
Kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas,
bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?
“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah
menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!” Sambil berkata
demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri
terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir
membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai
sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.
“Maafkan aku!” setelah berkata demikian, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya
sebelum para pengejarnya datang dekat.
Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja
dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan
dunia-kangouw.blogspot.com
diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh
binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya
terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata
pedangnya.
“Ayah, cukupkah darah ini...?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.
“Dia sudah terluka!”
“Hayo kejar, dia sudah terluka!”
Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian
terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh
It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin yang juga sudah ikut mengejar.
Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan
hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas.
Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan
memutar suling, juga mengibaskan kipasnya.
Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang
ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri dari pada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling
menyolok adalah ‘senjata rahasia’ yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan
Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!
Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh
orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan
kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan
suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar
saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan.
Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut
menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang
gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat
menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia
melarikan diri lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak.
Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang
Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan
pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini
membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi ginkang
gadis itu, karena biar pun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan
ginkang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.
Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa
pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhantuduhan
yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar,
mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang
didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas
terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.
********************
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih
tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas
disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka
melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga
menyusul mereka.
“Sin-ko, mengapa Bu Song Koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita
kembali menengok....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia
sendiri pun merasa gelisah. “Betapa pun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita
tidak mentaati perintahnya.”
“Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”
“Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan,
melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum
malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana,
biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”
Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini
sungai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong
bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biar pun jarak lebih dekat, akan
tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.
Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai
condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan
memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.
“Sin-ko, itulah tempatnya....”
Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.
“Tempat apa, Eng-moi?”
“Itu... kuburan tua itu... di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu...! Tak salah lagi, aku ingat
betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu...”
“Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana.
Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita
harus membantunya!”
“Tapi....”
“Eng-moi, takutkah kau?”
“Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.”
“Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah
orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, Adikku.
Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus
menyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja
sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”
Bangkit semangat Sian Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti
seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku
masih ingat betul tempatnya!”
Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di
sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari
beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa
buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.
“Di situlah...,” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam,
“Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”
“Dahulu ketika kau dibawa masuk, kau tidak melihat orang lain?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan
kepala.
“Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini. Besar
dunia-kangouw.blogspot.com
kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu. Kita bisa mengambil tongkatnya
kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Songtwako.”
Sian Eng mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat
itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu
meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di
bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu Sin lalu melangkah
masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah,
karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.
“Kenapa berhenti?” tanya Sian Eng.
“Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”
Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan kulit pohon yang dapat terbakar lama,
membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan,
obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah
yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu
Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk.
Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik, “Seingatku dahulu terdapat ruangan yang
lebar seperti kamar....”
Mereka maju terus, mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan
menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.
“Agak terang di sini...,” katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi.
“Entah dari mana datangnya sinar terang ini....”
Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya
Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya.
Ketika ia menengok... hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga
jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang
Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakaian hitam,
berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan.
Kiranya obor di tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang!
“Eng-moi kau kenapa...?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan
alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak
menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan... dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia
melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.
“Hek-giam-lo...!” katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau
memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?”
Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus. “Hemmm, maju terus atau... hemmm, kurobek-robek badan
kalian di sini juga!”
Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka dan dada
iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu
di dekatnya, kemudian menyambitkannya ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya
sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala, ada pun batu kedua ia terima begitu saja dengan dadanya.
“Brakkk!” batu itu pecah berantakan.
“Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm,
bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ketika melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin
segera berkata dengan nada penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh
tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat
dunia-kangouw.blogspot.com
lapang dan kita bertanding secara laki-laki!”
“Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kau buktikan betapa
kesombonganmu tidak ada isinya!”
Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk
mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya
untuk melindungi adiknya terhadap iblis yang luar biasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng
untuk sementara akan bebas dari pada ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan
akal bagaimana harus melawan iblis ini.
“Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini...”
Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu
saja dengan dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan
kakak beradik yang sudah tak berdaya ini lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan, merangkak maju
melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo
melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.
Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi
lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas.
Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke
tempat itu.
Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan
menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu
amat rendah, apa lagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini.
Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia
membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.
“Nah, Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi
gagang obor, “Terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah
berada di sini, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?”
“Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”
“Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kau culik dan kau bawa
ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.”
“Hanya itu?” Hek-giam-lo mendesak.
“Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami
bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw,” jawab Bu Sin sejujurnya.
“Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini,
bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adikadik
tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke
sini. Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik. Biar dia datang, hendak kulihat!”
“Sombong! Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup
menghadapimu!” Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini
ke arah kedok tengkorak itu.
“Huh, bocah bosan hidup!” Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan.
“Dukkk!” gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu, sedangkan gagang
obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin.
Gerakan ini biar pun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahutahu
kepala pemuda itu sudah kena pukul.
“Prakkk!” kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan
kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah sombong, keras juga kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya.
Tentu saja iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di
bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber
dari pada tenaga mukjijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu
pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak
sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk
mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri
Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya
yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala!
Tiba-tiba terdengar suara “singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis
itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. “Iblis
sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!”
“Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.
“Aku tahu, Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati
lebih dulu dari padamu.”
Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau
sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian
sakti dan ganas mengerikan.
“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan
tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko
lewat di atas!”
Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan
karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh
diharapkan dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling
Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.
“Sin-ko, kau pertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat untuk berlari keluar
melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo menggerakkan lengan
baju ke arahnya sambil mendengus.
“Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana!”
“Setan, berani kau mengganggu adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia
mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.
“Tranggg!” pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya
sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan
panas.
Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo
bergerak, pedang itu sudah terpukul patah menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam.
Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh
terguling tak dapat berkutik lagi.
“Ibils keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat.
Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu
adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi
ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo
yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.
Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira
bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hekgiam-
lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di
dunia-kangouw.blogspot.com
bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian
Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka
tidak akan dapat tertolong lagi.
Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan
dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki
pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.
“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan....
“Brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam itu.
Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam
leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis.
“Trangggg...!” kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari
tangannya!
Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan ginkang berdasarkan tenaga
sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di
antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Walau pun gerakannya itu cepat bukan main, akan tetapi ia
masih terlambat.
Memang gerakannya tadi menyelamatkan dadanya dari kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo
menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal
lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan
lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga
Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula!
“Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Emas kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas?
Biar dia datang, kurobohkan sekalian!”
“Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.
Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu.
Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.
“Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan
menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian, dibunuh juga
percuma. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta
kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo
lenyap dari tempat itu.
Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah
makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas
diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan
sinkang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah
tak berkutik di atas tanah yang lembab.
Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam
perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi
ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena
tempat ini memang menjadi sarangnya.
Di pinggir sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan jauh dari pada tetangga. Inilah
tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata Khitan apa bila melakukan tugasnya dan tiba
di tempat ini. Ke rumah inilah Lin Lin dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan
kuno untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari tangan kakek sakti Bu Kek
Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan ‘setengahnya’ karena yang separoh terampas oleh It-gan Kaiong.
Memang ia tidak berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong, Suling Emas
dunia-kangouw.blogspot.com
dan Siang-mou Sin-ni, mungkin juga Bu Kek Siansu sendiri itu. Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan
kitab pusaka itu di dalam terowongan dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya kembali ke
Khitan. Secara kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki tempat sembunyinya.
Lin Lin merasa jengkel sekali. Biar pun ia selalu diperlakukan dengan hormat, dipanggil tuan puteri, setiap
kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam kebutuhannya dipenuhi, segala macam
perintahnya, kecuali perintah agar ia bebas, ditaati, namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi
tawanan! Ia merasa tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu
terdiri dari pada orang-orang pilihan.
Oleh karena itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia memberontak atau melarikan diri, hal itu hanya
akan membuat ia menderita saja. Pikiran inilah yang membuat ia akhirnya tidak rewel minta dibebaskan
lagi. Ia diam saja, malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat mengharapkan
munculnya Suling Emas! Ia merasa gemas juga mengapa sampai begitu lama Suling Emas tidak juga
muncul menolongnya? Dan di samping ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok
Liong. Kadang-kadang ia masih dapat melihat bayangan pemuda itu di pinggir sungai, pakaiannya kotor,
rambutnya kusut dan kelihatannya sengsara. Memang pemuda yang keras hati ini sudah nekat untuk terus
mengikuti perahu yang membawa gadis pujaannya.
“Liong-twako, sudahlah jangan mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan
aku!” dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai.
Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan melihat ini hanya tersenyum-senyum saja.
Pemuda itu berseru menjawab. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada
di mana. Kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orarg-orang liar itu mengganggumu? Aku akan
mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir selama aku berada di dekatmu!”
Lin Lin menghela napas diam-diam ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia
dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai
terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan
terharu. Bukan pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati
dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas!
Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan
membelanya, biar pun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa ia tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo dan
anak buahnya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya akan
mengorbankan nyawanya, apa lagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi
sungai itu. Dan kekhawatitannya terbukti.
Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu.
Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul. Ketika melihat perahu
yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan
sakit-sakit ia melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda ini
sebenarnya sedang tidak sehat. Tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam perjalanan mengikuti
perahu, ia jarang sekali makan. Pula ia masih menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas
perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala
derita.
Ketika melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah
nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari sedangkan dia
akan menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.
“Lin-moi...!” Ia memanggil dengan suara parau.
Suaranya menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula. Memang perahu itu
tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekali pun Bok Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin
tertinggal jauh. Selama hampir sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan
sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil berjalan terus. Bahkan tidur
pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan tidur.
“Lin-moi...!” Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman
di samping pondok. Pintu ini terbuat dari pada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan
tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu! Akan tetapi sebelum ia melompat
masuk, dari dalam keluar seorang laki-laki berkumis.
“Jahanam liar! Berani kau datang ke sini?” teriak orang Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan
pukulan-pukulan keras.
Bok Liong mengelak sambil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar, ia
terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus mendesaknya
dengan pukulan-pukulan keras. Betapa pun juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka
biar pun terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak. Setelah peningnya agak berkurang, sekali
tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu
terpelanting.
Akan tetapi dari pintu taman itu bermunculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya,
akan tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya. Bok Liong yang sudah lemas itu tak
dapat bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh dan
kedua kakinya pun diikat! Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan
mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul.
Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat pada sebuah tiang!
Memang sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup
maklum akan kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini akan cukup
membahayakan, sungguh pun dua puluh orang anak buahnya merupakan pasukan yang cukup tangguh.
Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda
itu sudah hampir kehabisan tenaga.
Melihat Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun
ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangannya.
“Lepaskan dia! Kalian binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu
wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa atau bunuh aku!”
Lin Lin memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya
pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu,
pemuda ini masih hendak membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.
“Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.
“Lin-moi, bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih menjadi tawanan?” balas tanya Bok Liong,
suaranya penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apa lagi ketika ia melihat
betapa Bok Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis panjang
mencambuknya.
“Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi
permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan dikupas kulit kalian!”
Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata, “Tuan Puteri,
harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Hek-lociangkun.
Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus memberi hukuman kepadanya.” Setelah
berkata demikian, ia memberi aba-aba dalam bahasa Khitan.
Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk. Berdetar-detar dua batang ujung cambuk
lemas itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh Lie Bok Liong!
“Tar-tar-tar...!” bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
“Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam! Akan tetapi bebaskan Lin-moi!” Biar pun
dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah,
namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat
bergerak lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit
kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong pingsan.
Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air
matanya mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cambuk, Bok Liong
selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani membuka
matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan
seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan biru,
mukanya sukar dikenal lagi karena bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan
itu melepaskan ikatannya, menyeret ke luar pondok dan melemparkannya ke dalam semak-semak belukar!
Lin Lin yang tidak berdaya itu merasa tersiksa hatinya. Semalaman itu ia direbahkan di atas pembaringan
dengan kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang kepada Bok Liong.
Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali.
Bok Liong siuman tak lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh tubuhnya sakitsakit
dan sukar sekali bangkit karena terasa amat nyeri setiap kali menggerakkan kaki tangan,. Ia
memaksa diri untuk bangkit, merangkak ke luar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung
menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia
jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi
tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.
Namun Lie Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus asa. Ia lalu
duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah
merasa mendingan.
“Liong-twako...!” Ini suara Lin Lin.
Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin
berjalan di depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di
dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!
“Aku tidak apa-apa, Lin-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih
oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa besar dan
tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan mukanya dan berjalan terus
menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya
melawan.
Orang Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke
dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek!
Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas. Melihat
pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya
menerjang orang berkumis itu.
Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang
Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat menambah serangannya dengan sebuah tusukan
kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat
itu Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih
terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental
sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah
itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia meloncat
bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan lemah, namun
jurus serangannya adalah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka
serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas dari pada bahaya
serangan ini.
Akan tetapi sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang, iblis
ini menggerakkan senjatanya yang aneh, diputar menyilaukan mata. Terdengar suara nyaring, dan entah
bagaimana tahu-tahu tubuh Bok Liong terlempar ke dalam sungai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Byurrrrr!” air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha berenang ke
tepi.
Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu meluncur
menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok Liong yang masih gelagapan dan berenang ke pinggir.
“Lin-moi...! Jangan khawatir, aku akan menyusulmu...!” Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang
berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas, mengapa sampai begitu
lama belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita yang demikian
hebatnya.
Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang
disediakan untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia segera meraih tongkat itu.
Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya,
sebentar saja ia sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan
membawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat itu. Ia
merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini.
Ia meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah.
Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara
ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba
terdengar bunyi.
“Klikkk!” dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya
diatur demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka
sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung tongkat
dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah
sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa,
mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah gulungan-gulungan kertas
tipis dari dalamnya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar
banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat
membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika membaca pelajaran ilmu silat aneh yang
didahului dengan latihan semedhi yang aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang
harus bertelanjang bulat.
Memang semua aliran menganjurkan bahwa di waktu semedhi, orang harus mengenakan pakaian yang
longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak terganggu,
dan memang harus diakui bahwa yang terbaik adalah bertelanjang bulat. Lin Lin berpengharapan bahwa
ilmu ini merupakan ilmu mukjijat yang akan dapat menolong dirinya. Akan tetapi pelajaran ini
mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal yang aneh dan luar
biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan diri dari tangan Hek-giam-lo, tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersemedhi dalam keadaan
aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama.
Beberapa menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri, mendesak hawa
sinkang ke bagian menurut petunjuk dan... sepuluh menit kemudian kakinya yang berada di atas itu
terbanting ke bawah karena gadis ini sudah menjadi pingsan! Kebetulan sekali tubuhnya yang tak
berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.
Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua
kali anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali
itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan
perlahan didorongnya pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu
menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan kepada semua anak buahnya agar
jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur nyenyak.
Betapa pun juga gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka
dunia-kangouw.blogspot.com
mengganggunya. Apa lagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan telanjang bulat,
tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya. Seorang gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh
dilihat oleh anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga, apa lagi
memang hawa pada siang hari itu amat panas.
Lin Lin siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam
gulungan kertas itu merupakan ilmu mukjijat yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini
tidak boleh secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti
dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena
kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua Beng-kauw pertama itu
dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sampo-
cin-keng (Kitab Tiga
Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian Pat-jiu Sinong
boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak perempuannya sendiri yang murtad. Karena inilah
maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mukjijat yang seluruhnya berjumlah tiga
belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu
gaib ini ia ciptakan dengan susah payah selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan
dalam.
Inilah sebabnya mengapa begitu melatih semedhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi
pingsan! Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya secara diam-diam.
Setelah hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam latihan semedhi yang aneh itu, kini ia hanya
berlatih semedhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar dan menutupi mutiara ya-beng-cu
agar tidak mengeluarkan sinar.
Baru berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya. Hawa sakti yang
amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat
menahannya. Akan tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur
dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar.
Kemudian ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya. Tidaklah mudah untuk
mempelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun ini apa lagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin
pernah menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah
memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biar pun dengan susah payah dan sukar sekali, namun
kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.
Semenjak mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke
dalam tongkat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan.
Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan untuk mencapai hal ini
adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan orang sakti itu walau pun ia sudah mempelajari
ilmu mukjijat yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin memperdalam ilmu
ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan dan akan mencari jalan ke luar agar supaya kehendak
Kaisar Khitan atau pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan
melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau penghalang.
--- dunia-kangouw.blogs;pot.com ---
Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar
sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan hal
yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki ginkang dan ilmu lari cepat
yang mencapai tingkat tinggi. Berhenti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan
mengandalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek Siansu.
Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat lolos, jalan
satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justru hal ini yang tidak ia kehendaki. Mereka itu adalah
orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas
kepadanya. Kalau ia merobohkan mereka, melukai apa lagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut dan
berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh ibunya. Berpikir demikian, makin sedih
hatinya dan hampir saja ia menyerah, hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan
menyerahkan nyawa di tangan mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya Suling Emas terpaksa berhenti di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari terus tiada
gunanya lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang sudah melarikan diri
ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat. Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.
“Tahan, aku hendak bicara!”
Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian dari pada mereka terengahengah
karena untuk beberapa lama melakukan pengejaran dengan pengerahan ginkang sepenuhnya.
“Kau mau bicara apa lagi, Suling Emas?” bentak tokoh Siauw-lim-pai Cheng San Hwesio sambil
melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya. “Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang
sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri. Hemmm....”
“Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya
pengecut, melakukan kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut pula?”
kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai sambil menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. Yang lain-lain
ikut pula bicara sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk.
Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak terengah-engah
tanda bahwa ginkang-nya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata apa-apa, malah menundukkan muka dan
kadang-kadang saja mengerling ke arahnya dengan sikap bingung dan ragu-ragu.
“Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas setelah menarik
napas panjang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi (Kalian) dengan mendiang
ibuku. Akan tetapi percayalah, andai kata benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai
puteranya takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya. Akan tetapi, ada
dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.”
“Apakah dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut!” bentak Hek Bin Hosiang, si hwesio
muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh
besarnya ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.
“Pertama,” sambung Suling Emas tanpa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini banyak, yang masingmasing
hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada yang
hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biar pun Cu-wi semua mempunyai
cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada mendiang ibuku, bagaimana aku
dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah
dan tidak benar adanya?”
“Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw.
Kau putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling
memperebutkan engkau, baik mati mau pun hidup!” bentak Hek Bin Hosiang sambil menghantam dengan
toya baja di tangannya.
Hantaman toya baja ini luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih dari seratus
kati, juga tenaga hwesio
muka hitam tokoh Go-bi-pai ini melebihi gajah! Terdengar angin bersiutan ketika
toya itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!
“Syuuuuur!” pita rambut yang panjang berwarna hitam itu berkibaran ketika toya baja menyambar lewat di
atas kepala Suling Emas yang sudah merendahkan tubuh mengelak.
Namun toya itu membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan
lebih kuat lagi. Kini yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat menotolkan
ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas, membiarkan toya itu menyambar lewat di
bawah kakinya. Sebelum tubuhnya turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan
kipasnya ia kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua pihak oleh lawan yang lain!
Terdengar bunyi nyaring ketika pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoasan-
pai itu tertangkis suling. Kok
Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh Hoa-san-pai tingkat dua,
lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat
telapak tangannya panas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia
pukulkan ke arah kepala tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu
saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya dengan tongkat itu
mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi meleset?
Suling Emas menarik napas panjang, mengumpulkan sinkang dan menggetarkan sulingnya sambil
mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu hujan senjata menyerangnya dari segenap penjuru.
Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia pentalkan mundur oleh getaran sulingnya,
sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh kipasnya.
Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw yang amat
membencinya ini, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, memperlakukannya seolah-olah ia seorang
penjahat besar yang keji dan patut dibasmi!
Mengingat akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran
dari mata mereka, Suling Emas tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata
melawan mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang sehingga sinar senjata
ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para pengeroyoknya berlompatan mundur,
Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi!
“Pengecut, jangan lari! Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?”
seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.
“Ho-ho-ho! Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu licik,
curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.
“It-gan Kai-ong! Kalau kau menghendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut
padamu, memang aku masih ada perhitungan denganmu yang belum diselesaikan.”
“Ha-ha-ho-ho! Kau menantang sambil berlari! Bilang saja kau takut!”
Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan
perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu
sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk
mencegahnya melarikan diri dan memaksanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.
“Jembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani
mereka!”
“Ha-ha-ho-ho, akal bulus!” It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biar pun hatinya mendongkol, Suling Emas
melanjutkan larinya. Para pengejarnya juga mengerahkan ginkang dan mulai menghujankan senjata
rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri dengan memutar
suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum
dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan diri ke jurusan yang buntu! Kini di
depannya terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya lebih dari seratus meter dan dalamnya
tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat
dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama
sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia hadapi, bukan karena takut melainkan karena enggan.
“Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayatmu,
Suling Emas!” It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang
dengan pukulan dahsyat.
Karena di antara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang yang tingkat
kepandaiannya paling tinggi, maka jembel iblis ini dapat menyerang lebih dulu dari pada orang lain.
Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh
sedangkan tangan kanannya menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana
yang lebih berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biar pun jaraknya jauh dan tidak akan
langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling Emas cepat menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun
tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian kipas yang tadinya
menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan digetarkan sedemikian rupa sehingga
dunia-kangouw.blogspot.com
kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher!
It-gan Kai-ong terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat miringkan
tubuh dan totokan kedua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air ludah! Sudah terkenal di dunia
persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang
terkena air ludah yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya,
lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup kuat untuk menangkis
kipas yang menotok leher.
Di lain pihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah kakek menjijikkan itu, maka
terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan
kipas membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek ini membuka mulutnya dan
menerima kembali air ludahnya dengan mulut.
“Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri!” teriak Itgan
Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu.
Memang para tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka tanpa menanti
komando kedua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang pertempuran dan sibuklah Suling Emas
menggerakkan sepasang senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat
lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Akan tetapi justru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat dan tidak melihat jalan
ke luar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui jalan darah, yaitu dengan merobohkan
beberapa orang pengeroyok. Bingunglah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara
mereka tak mungkin ia bisa lolos kali ini.
Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek
itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai tokoh-tokoh terhormat yang
bernama baik. Akan tetapi balasan serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia
hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja dari pada perhatiannya yang harus ia pergunakan
untuk menangkis dan menghindar dari pada serbuan lawan.
Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya.
Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia sangka
menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang,
tak pernah ia berbakti kepada ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya... ah,
kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti kepada ayah kandung!
Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun. Kesedihan hatinya
mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di belakangnya, meninggalkan para pengeroyoknya,
meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia
ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah menjadi isteri
orang lain!
Akan tetapi jiwa satria di dalam dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak boleh
mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan dari pada mati menceburkan diri
ke dalam jurang begitu saja! Oleh karena ini, semangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat
akan ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia pergunakan,
maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia tidak mau
menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para pengeroyoknya.
Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena
sudah tidak ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan
suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun tinggi. Para pengeroyoknya sejenak
terhenyak kaget dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan
seluruh sinkang-nya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh! Karena menghadapi
orang-orang
kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis
Suling Emas yang menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu
MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.
Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu, akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring
dunia-kangouw.blogspot.com
merdu itu adalah suara biasa saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan dengan sinkang
sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi
beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sinkang-nya terguling
dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat
mereka merasa terharu, malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding
melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka.
Akan tetapi orang-orang seperti It-gan
Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio dan lain-lain yang
cukup kuat sinkang-nya, tentu saja tidak gampang menjadi roboh. Betapa pun juga, mereka terpengaruh
dan terpaksa mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara aneh yang
mendebarkan jantung mereka itu.
Ada sembilan orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh
terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan tenaga untuk melawan arus
hawa sakti yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh
suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan
kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini.
Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang
merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti Itgan
Kai-ong sampai harus
mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang
didapatkan Suling Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan belum
matang betul ia latih.
Setelah berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sinkang untuk melawan pengaruh
suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan
delapan orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap
di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling, mencurahkan perhatiannya
kepada permainan sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang
tidak terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya dengan ancaman maut.
Makin dekat dengan Suling Emas, pengaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh
itu menjadi tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti melangkah
setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sinim
demikian hebatnya sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki demikian
lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan sinkang agar
tidak terguling roboh.
Enam orang lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguh pun hanya dengan
lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau
pada saat itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil menewaskan pendekar ini karena pada
saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.
Enam orang itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju. Sedikit demi sedikit It-gan
Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk
menghantam kepala musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa aman
kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi,
mengikuti suara suling dan suara ini amatlah lembut akan tetapi kedengaran bersemangat sekali. “Wi-binwi-
kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)!”
It-gan Kai-ong yang sudah mengangkat tongkatnya terkejut sekali. Apa lagi setelah tiba-tiba terdengar
suara yangkhim
yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar
biasa. Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata dan
mengendalikan semangat mereka yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara
suling dan yang-khim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apa lagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu
bertempur.
Juga semua orang yang tadinya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega
karena gabungan suara suling dan yang-khim ini, biar pun membuat mereka terpesona dan tak dapat
bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran, membuat mereka merasa seperti
melayang-layang di angkasa dan menciptakan pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air.
Mereka seakan-akan mimpi tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka kagumi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perlahan-lahan gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguh pun gema
suara ajaib tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat berdiri,
seakan-akan baru bangun dari pada tidur nyenyak. Kiranya di dekat Suling Emas yang masih duduk bersila
di atas tanah terdapat seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian
sederhana, berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di
balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya
tersembul ke luar sebuah alat musik yang-khim. Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramahan,
kesabaran dan pengertian yang mendalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan
menghormatnya.
Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata kasar, “Bu Kek
Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi
kebaikan kepada siapa pun juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh
segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling Emas menghadapi kami
semua dengan ilmu sihirmu!”
Semua tokoh yang hadir di situ terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini
menjadi pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan
bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya setiap tahun apa bila bertemu dengan
orang, kakek ini berkenan memberikan satu dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia
ini. Sekarang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua orang kini
memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.
Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling
Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri kakek itu sambil
menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.
“It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,” kata Bu Kek
Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang serta ramah. “Aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas budi
kepada siapa pun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu Suling Emas, melainkan
mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong, andai kata kau orangnya yang kena
fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu
aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”
“Uuhhh, pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang
dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan
menghentikan makiannya, menoleh kepada orang banyak dan berkata, “Kawan-kawan sekalian
mendengar omongannya yang busuk itu. Sudah terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang
telah berbuat banyak kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya.
Kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek Siansu, tua bangka
keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak
berdosa?”
“It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai
seribu jurus. Kau mengandalkan kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh
tak tahu malu!” Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.
“Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah
ada pembelanya menjadi galak dan sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami
berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kau jawablah!”
Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina
seperti ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di bagian depan dari
cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang
tidak saja berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-khim, namun sama sekali
kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh jembel iblis itu, ia hanya
tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.
“It-gan Kai-ong, aku tidak mau bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah
berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena fitnah dari pada sungguh-sungguh berdosa.
Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagian besar dari pada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata telah
melontarkan fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui
urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apa lagi pada
puteranya ini.”
Ucapan kakek ini bukan hal aneh karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak
terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua
urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu
Kek Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw,
atau pun Kim-mo Taisu si Manusia Emas yang menggemparkan kolong langit (baca cerita Suling Emas).
Kali ini orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan Tok-siauw-kui. Akan tetapi
pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa
penasaran di hati banyak tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan
dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera
melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.
“Omitohud! Benar-benar pinceng (aku) yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia mendapat berkah
besar dengan perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari Bu Kek Siansu
dan pinceng hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan,
dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suheng-ku dari Siauwlim-
pai, kemudian menculik seorang sute-ku yang kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda yang
cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw.
Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan pihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauwkui
Liu Lu
Sian tidak bersalah?”
Si kakek tua renta mengangguk-angguk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui
pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak
tahu akan urusannya.” Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi
semua keributan ini. “Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian
dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suheng-mu dalam
pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suheng-mu kalah pandai. Ada pun yang
menjadi sebabnya adalah sute-mu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena
tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat
tiga orang suheng-mu marah-marah dan hendak membunuh sute-mu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya
dan tiga orang suheng-mu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biar pun dalam hal ini
Toksiauw-
kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjinah dengan sute-mu, namun pihak Siauw-limpai
juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sute-mu. Kiranya tidak patut kalau hendak
menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apa
lagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke
manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San
Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah dari pada BENCI yang menjadi
senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah dari
pada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud... kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang
kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Toksiauw-
kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini
memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud... Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng
harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Toksiauw-
kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab
itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu
dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan
mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu
ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas)
apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng kepalanya. “Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu mengelus jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas
untuk membantu pihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Gobi-
pai yang
berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung
pelajaran Ikin-
swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk. “Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya
dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri. “Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan
mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan
menghabiskan perkara ini, apa lagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng
tak dapat lebih lama tinggal di sini.” Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali. “Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat
mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau bertindak dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf... aku....”
Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau
melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar
merah.
“Ya, apa yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata
halus.
“Maaf, Siansu...,” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja
sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat
dikagumi ayah. Akan tetapi ayah... ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku
telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabui ayah
sehingga ayah menurunkan ginkang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan
jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal,
kepada siapa lagi teecu membalas kalau bukan kepada puteranya? Kalau teecu tidak membalas dendam
ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis
ini terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui...”
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng
(Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa
gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah
orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao.
Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak
musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kangouw
mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu ginkang luar
biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia
dijuluki Pendekar Pedang Terbang.
“Ahhhhh... dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui,
karena di antara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa
semenjak meninggalkan suaminya di kaki gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Toksiauw-
kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan
demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan ginkang-nya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu
dunia-kangouw.blogspot.com
terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil...”
“Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut
warisan kitabkitab
pelajaran dari ayah...,” kembali suara ini tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri
kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi
kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu,
marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah,
bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali
temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat. “... tapi... betulkah itu, Siansu...?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya.
Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada
kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak
mempunyai sifat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh
mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri
yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia.
Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri
dengan urusan mereka yang sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas,
kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua
orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan ginkang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiameng
Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong
membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia
sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki sejati, bukan banci,
sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang
dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera
tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jeri dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu,
maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua
orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu?
Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Lakilaki
sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka.
Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu dari pada bahaya maut.
Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar dari pada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar
semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan
tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat, hal inilah yang
menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang
yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan
Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau
merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang
muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja,
seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan
karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama
saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang
perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin
senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka
perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu
akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul peridunia-
kangouw.blogspot.com
kemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang
yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya,
manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN
dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian dari pada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin
mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya
merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu,
bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biar pun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu
kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas
kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu
harus lakukan?”
“Sudah kukatakan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan
benci. Benci menimbulkan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan pihak lain sehingga
timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan
kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji.
Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci
berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda mau pun perasaan.
Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kau
pusingkan siapa orangnya yang membencimu atau mencintamu. Semua harus kau pandang sama, dengan
pandangan kasih sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu yang
dianggap DOSA, kau lakukanlah sebanyak-banyaknya hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan
hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi
nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu
membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat mau pun dengan ilmu
kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu
disadarkan, baik dengan jalan halus mau pun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?”
Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Sekarang mari kau perdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang
kurang sempurna.”
Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-khim dan mulai mainkan yang-khim-nya.
Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali
terdengar paduan suara yang-khim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang
mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh.
Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya
menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul mau pun bersuara. Di
lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau
burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut
berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan
penuh damai.
Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu
Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.
“Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam
hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup,
mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain.”
“Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa
dan menjauhkan diri dari pada urusan dunia.”
Kakek itu tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang sedang
diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha-ha, mungkin
kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka pergilah kakek itu.
Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia
bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti
dunia-kangouw.blogspot.com
yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki
ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa dari
pada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di
permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta,
pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa wanita
itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!
“Ceng Ceng... kekasihku...,” terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya
yang terluka.
Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita
gadis pujaan hatinya, Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun
yang lalu. Ia masih menjadi seorang pegawai muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja,
bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu.
Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar
indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di
depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian,
bagaikan Sang Dewi Malam atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh
suara sulingnya.
“Ceng Ceng...,” kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya.
Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu. Betapa sinar mata mereka yang bicara
dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu
menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak
pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya!
Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia
tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan
masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang
malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.
Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya
dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh,
akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang
amat menarik).
“Ceng Ceng...!” Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak
hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan.
Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan
wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia
mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari
pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri, sikapnya tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya
seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng... Ceng Ceng...!” Jeritan yang membuat ia
makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.
Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu
berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang kedua adalah Suma Ceng. Akan tetapi
ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu
bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap
jahat.
Ada pun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini
telah menjadi isteri orang lain! Apa lagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apa lagi ia hidup? Sudah
sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai.
Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan
mau?
Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andai kata ibu
dunia-kangouw.blogspot.com
kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang
sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andai kata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya
yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal,
hanya Suma Ceng yang masih hidup.
“Ceng Ceng... aku harus menemuimu... sekali lagi...!”
Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng
berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja
mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan
tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san
untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang
Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apa bila
mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek
Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat
kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling
Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.
--- dunia-kangouw.bl.ogspot.com ---
Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya mau pun pembesar-pembesar yang berkuasa, mereka
adalah orang-orang malas, yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak
mungkin, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan. Mereka
bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang
sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan.
Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar
istana, amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi.
Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi
pembesar dan penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur
empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan
suara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak menimbulkan gaduh.
Namun pada pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan
samping kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam lingkungan
istana, terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak
dapat dibilang merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak.
Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.
“Liong-ji (Anak Liong), suka sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang wanita.
Suara suling berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni
gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang menilik pakaian dan
gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh
tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia
memondong seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak laki-laki lain
berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, seakan-
akan ia hendak mengejar
burung-burung kecil yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu.
Anak yang menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh tahun. Anak ini duduk
di atas sebuah bangku dan asyik memegang sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar
pertanyaan wanita tadi, ia berhenti meniup dan menjawab, “Aku suka sekali, Ibu.”
Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil berkata, “Aku akan
suruh mencarikan seorang guru suling untuk mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?”
Anak itu mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang dengan penuh
perhatian, jantungnya serasa tertikam yang membuatnya terharu, komat-kamit mengeluarkan kalimat yang
hanya ia dengar sendiri. “... serupa benar....”
Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat puteranya yang
kedua berusaha mengejar burung-burung di udara dan membuat gerakan menangkap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sun-ji (Anak Sun), hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh!”
“Bu, aku ingin bisa terbang seperti burung!” anak kedua itu berseru gembira dengan suara pelo dan lucu,
kemudian membuat gerakan dengan kedua lengannya digerakkan seperti sepasang sayap burung,
mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.
Si ibu gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang ketiga, yang
tertawa-tawa gembira.
Pagi yang gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan kenangkenangan
lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia bergembira terpengaruh
oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia termenung seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan
kenang-kenangan yang berkesan. Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun
dan sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling dengan jari-jari
tangannya yang kecil.
“... Ceng Ceng...!” Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya
suara.
Wanita itu tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya sambil memondong anaknya yang
paling kecil. Suara itu! Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di dunia ini yang
memanggil namanya dengan suara seperti itu! Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mau menggerakkan
tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau
suara tadi hanya suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat sesuatu, ia akan
kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati kenangan lama yang sedemikian mendalam dan
menggores kalbunya sehingga di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang yang
menjadi sebab lamunannya.
“Ceng Ceng...!”
Wanita itu mengeluarkan seruan tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali,
seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu sudah pergi lagi, ia memutar tubuh memandang.
“Bu Song Koko (Kanda Bu Song)...! Kau... kaukah ini...? Kau di sini...?” Ia melangkah maju dua tindak,
kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah laki-laki itu kini menurun, berhenti pada dada di
mana terdapat gambar sebatang suling dari benang emas.
“Koko... kau... kau Suling Emas...?”
Dua pasang mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu dan saling
menampakkan rasa rindu birahi yang ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu memandang dengan
mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang matanya yang bening itu bertitik butiran-butiran air
mata seperti mutiara.
Keduanya mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya menahan
gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah
Suling Emas ini, secepat kilat membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas,
meramkan kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti ditusuk-tusuk
pedang rasanya. Kemudian ia membuka pelupuk mata, mengejap-ngejapkannya untuk menahan agar
jangan sampai kedua matanya yang terasa panas dan gemetar itu menitikkan air mata.
Kebetulan sekali ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di
dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan kiri dan mengelus-elus kepala yang gundul
itu. Bocah ini dapat ia pergunakan untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan
keharuan yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.
“Kau... kau pandai bersuling, Nak?” ia bertanya, suaranya serak, tanda bahwa hatinya penuh gelora dan
haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi terisak menangis.
Bocah itu tertawa dan mengangguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cobalah kau menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?”
“Mau...! Mau saja... Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya, Paman?”
Suling Emas tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi sulingnya. Suling Emas mendengar
isak tertahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh perasaan.
“Kau... kau datang... apakah kehendakmu, Koko...?”
Suling Emas menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan tangan kirinya masih merabaraba
kepala bocah yang menyuling.
“Tadinya aku sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan menemuimu
selama hidupku agar lukaku tidak semakin parah....” Ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya yang
tertelan oleh isak.
“Song-koko, aku pun sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali aku tidak
menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap orang itu kaulah
orangnya! Ahhh... siapa kira....” Dalam kalimat terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat
menyesal.
Suling Emas memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka sudah kuat
menahan. Untuk sejenak keduanya memandang penuh selidik, untuk mengetahui keadaan masing-masing,
memandang sinar mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuknya, dan keduanya makin mendugaduga.
Beruntungkah ia tanpa aku? Demikian agaknya pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.
“Song-koko, aku mendengar bahwa Suling Emas belum berumah tangga... apakah... betulkah ini? Apakah
kau belum juga menikah? Song-koko... mengapa begitu? Apakah kau belum juga dapat melupakan aku...?”
“Melupakan engkau? Ah... Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah kucobacoba,
sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada di sini!” Agak keras dan kasar
kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat
nyonya muda itu tertunduk.
“Dunia serasa makin sempit bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan
tetapi ibu meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu harus ke mana... betapa
aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng...! Karena itulah aku datang... untuk melihat wajahmu lagi,
aku... tak tahan aku akan rindu....”
“Song-koko...!” Wanita itu yang bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu
Pangeran Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko... aku... aku sudah menjadi ibu dari tiga orang anak!
Kau lihat mereka ini...!” Suma Ceng cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau
lebih tepat untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak dihanyutkan oleh
bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia berpegang kepada tiga orang puteranya, bisa-bisa
ia terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai mati sekali pun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu
Song.
Suling Emas menarik napas panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali ketika
anak yang meniup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan bertanya, “Paman Guru, bagaimana dengan
kepandaianku meniup suling?”
Suara yang lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya kaget karena
hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng kembali, berhadapan
muka dengan wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa akan segala.
“Kau sudah pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil meraba kepala anak itu.
Tiba-tiba wajahnya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang gundul itu. Aneh!
Ajaib! Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah lagi! Jarang di dunia ini ada kepala seperti
ini, kepala yang dahulu membuat mendiang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan
mengambilnya sebagai murid. Inilah ‘kepala pendekar’ seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo Taisu.
Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan kepalanya?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ceng Ceng...” suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.
Suma Ceng tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.
“Anak ini... dia putera sulungmukah?”
Suma Ceng mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada bulu
matanya runtuh ke bawah, menimpa pipinya.
“Dia... dia ini...!” Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak itu penuh
perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis matanya.
Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu!
Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga
langkah dari Suma Ceng.
“Dia... dia itu...?” suaranya serak dan lirih, “dia itu...?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di
lehernya.
Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis,
anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata Suma Ceng dan
ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya
terdiam dan agaknya gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.
“Betul, Song-koko, dia... dia anak kita....”
“Ya Tuhan...! Dan kau... kau diam saja...?”
“Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andai kata aku tahu sekali pun, apa
yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andai
kata kau dulu selihai sekarang... ah, untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andai kata aku tahu
bahwa pertemuan di malam terakhir itu... ah, andai kata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku,
apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin, paling-paling aku
hanya dapat membunuh diri....”
“Ceng Ceng, kau maafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi... ah, anak ini dia anakku! Dia harus
ikut denganku!”
“Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah
penderitaan batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau melupakan
aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau... kau kawinlah dengan gadis lain,
berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”
“Ceng Ceng... Ceng Ceng..., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku....” Hampir tak kuat
Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang
mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Ceng-nya,
kekasihnya.
“Heee, siapakah di situ?” Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah
berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain adalah Pangeran Kiang! Ketika
ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia
menghampiri Suma Ceng.
“Hemmm... jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam
bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah punya tiga orang
anak masih hendak main gila, berjinah dengan laki-laki lain? Keparat!”
“Ooohhh... tidak..., tidak!” Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung
pedang yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia... kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan,
jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina... kupukul mukamu yang tak tahu malu...!”
Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah
pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang
menampar.
Akan tetapi tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga
penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan tetapi begitu ia
menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!
“Keparat, hayo mengaku bahwa kau telah berjinah dengan... dengan bangsat ini!” Ia berteriak memaki
untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.
“Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa... suamiku dengarlah... memang betul dia dahulu adalah
seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi... tapi... semenjak itu... baru ini kami saling
bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila. Percayalah...!”
“Perempuan rendah! Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjinah dengan kekasihmu? Aku masih berlaku
murah dan sabar, akan tetapi siapa kira sekarang kau mengadakan pertemuan gelap! Terkutuk...!” Kali ini
si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya sendiri.
Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang memegangi gaunnya dari belakang,
menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan
rasa takut pada mereka itu. Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak
sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia
pun tidak mengerti apa artinya semua ini.
Biar pun pedang itu mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang.
Baginya hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan suaminya yang pada
hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan! Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang
sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik
dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian suaminya.
Akan tetapi, seperti juga tadi, pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan,
malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi,
runtuh terlepas dari tangannya menimbulkan suara berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan
tubuh memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah ia dengar
namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan menggerakgerakkan
tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya
dan tusukan pedangnya.
“Manusia berhati binatang!” Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh
takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku
kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang mengganggu isteri orang! Kau seorang laki-laki rendah berjinah
dengan perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur...!”
“Plakkk!” Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan Suling Emas
yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan cahaya
berkilat.
“Mulutmu busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biar pun dia sudah
menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci.”
“Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu...!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan
memaki lagi.
“Bukkk!” Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis
kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.
“Huh, pendekar macam apa ini? Menjinahi isteri orang, menggunakan kepandaian untuk menghina orang
dan merampas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu
akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu nyawa...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan...! Suamiku, jangan... kau takkan menang...! Bu Song, kau pergilah...!”
Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng
akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.
“Pangeran yang tolol, kau dengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan
dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku mencintainya, akan tetapi
dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik napas panjang. “Jangan kau memfitnah yang bukanbukan.”
“Siapa bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian... dan perempuan hina ini membelamu...
hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk, benar-benar menghina
sekali. Hayo kau bunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat!” Dengan kemarahan
meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai
dada Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang
terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!
“Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina
kita, mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biar pun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang
anak. Hemmm... aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor
ini!”
Pada saat itu Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biar pun rasa nyeri
hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus menerjang
lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat pangeran itu terlempar sampai empat
meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh
tamparan tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.
“Kau ingin mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu,
mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!” Suling Emas
menghajar terus sampai pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.
“Tahan! Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia
melalui mayatku!” Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah
memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke
arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng...!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!” Ujung pedang itu menusuk dadanya.
Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya, lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang
sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan
menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena
pengerahan sinkang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya
panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya
dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng Ceng... aahhhh...!” dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari
tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkakbengkak
itu tersenyum. “Isteriku... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang!
Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku..., kau isteriku yang setia... maafkan
semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah... diamlah... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir
Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya
yang terluka. Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih
mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman,
sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.
Ada pun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak,
hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus
ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan. Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam
lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh
tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia
mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah masih
membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya.
Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak
mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling
Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada
hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak
cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan
tusukan pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya
nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi
merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih
pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua
matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang
keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh
kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu
memilukan dan menyedihkan.
Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini
ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya lenyap dan setelah suara
suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja
mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya. Seperti biasa ia
hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah
mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan
orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan
di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!
Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran
Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah,
pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo
Taisu, dan si kakek sakti Bu
Kek Siansu. Apakah artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini.
Cinta yang paling murni di antara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri
sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan
dan kebaikan dia yang dicinta. Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan
rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela
bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling
berharga.
Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki
agar orang yang dicinta itu hidup
berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang
mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini
penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka
nestapa dan sengsara mendatangi.
Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia
dunia-kangouw.blogspot.com
mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena keramahannya, karena
kecocokan hatinya dan karena... agaknya lebih dari pada itu karena dahulu membalas cintanya! Sekarang
wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu,
mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri
sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng!
Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya, menggunakan
kepandaiannya untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu
berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak
menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua pihak.
“Aku harus melupakan dia! Harus...! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan lakilaki?!”
Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan,
mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga
terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang
mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas! Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi
dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon
yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari
suling emas tadi!
********************
Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah.
Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan Hek-giam-lo
ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa. Biar pun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap
saja ia tidak mampu membebaskan diri. Apa lagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah.
Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya
harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat
menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari.
Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andai kata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring
dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi
orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera
ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apa
lagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan
Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan dari pada Hekgiam-
lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping
telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam
sekejap mata dua bayangan ini sudah lenyap memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang
berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ketiga dan ternyata orang ini adalah
Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya. Ia terkejut sekali
ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah.
“Dinda Sian Eng... kau di sini...? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat
pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biar pun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik, “... harap
kau... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan... dan di sini
berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti
kakakmu ditolong Suhu.” Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu
berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat
ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apa lagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni
dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya
kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalam keadaan
lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapa pun juga, pemuda
putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang
berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya.
Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng dari pada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki
terowongan tadi. Dan... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta
kasih, sungguh pun ia tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa
pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di
antara mereka tertolong dari pada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar angin bertiup dan dua sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi.
Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan
Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan yang sama, mencari barang pusaka Hekgiam-
lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku
akan berhasil. Kau benar-benar sialan!” Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni menerjang
maju
dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan
tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih
rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak
hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.
Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara mengaung
dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan
pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh
tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil
terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah. Kini tongkat itu membentuk lingkaranlingkaran
aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa. Ketika khim
bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya kudapat...!” Itgan
Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya kumiliki, kau
tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil dari pada perampasan kitab dari
tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah
lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh
bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melanjutkan? Aku
pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk
kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu
kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata, “Bu Sin Koko
yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau
tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu kembali di sini.”
“Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau
sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin.
Andai kata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan
sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya
bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang
miringkan kepala, membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di
belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya berada di
tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian
mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu ke
mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu
goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang
mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang
berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.” Baru saja
Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah
berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah
amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan seram kalau mengingatnya. Tak salah
dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu
tertawa genit lalu berkata.
“Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?” sambil berkata demikian ia
meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari ke luar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk! Perempuan hina! Kau lepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih
sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku
haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan
ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di
sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya
mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya
meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka
pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua
kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku
akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?”
“Perempuan hina! Pergi!” Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam
dunia-kangouw.blogspot.com
sekuatnya.
“Blukkk!” Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget.
Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira
bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali. Sama
sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin
sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar,
sungguh pun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan
lweekang-nya.
“Eh-eh... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia
mengerahkan tenaga sinkang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat,
kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan tangan kanan
mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut!
“Hayaaaaa! Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang! Baiklah kalau kau sudah bosan
hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak dari pada dua pukulan Bu Sin itu,
kemudian ia berseru keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah mencelat ke belakang sampai lima meter
jauhnya.
Bu Sin yang menjadi penasaran. Ia mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina itu
menggoyang kepalanya dan Bu Sin merasa pandang matanya gelap ketika rambut yang hitam panjang itu
melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya. Pemuda ini berusaha untuk
menghindarkan diri dengan melompat ke samping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali
ia tak mampu berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat kaki tangan
dan lehernya! Ia merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan betapa
pun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak!
“Hi-hi-hi! Orang bagus berhati baja! Kau mau bilang apa sekarang?” Wanita itu berdiri di depan Bu Sin,
kurang lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan
deretan gigi putih berkilauan dan kecil-kecil.
“Siang-mou Sin-ni iblis betina! Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh lekas bunuh, siapa
takut mampus?” bentak Bu Sin.
“Tentu kubunuh... wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah seorang keturunan
jenderal gagah perkasa dan satria utama! Mendekatlah manis, serahkan lehermu kepadaku, biar kupilih
jalan darahmu untuk kuhisap...!”
Bu Sin tetap hendak mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor
lalat terlibat dalam sarang laba-laba. Ia bisa meronta namun tak dapat melepaskan diri. Tarikan rambutrambut
itu makin kuat, dan tenaganya sendiri makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser
maju mendekati bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu wanita iblis itu terkekeh senang,
agaknya senang sekali dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin.
“Hi-hik, cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali... darahmu
menjadi kencang jalannya!”
Bu Sin meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia sudah dekat sekali dengan Siangmou
Sin-ni, dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin merasa ngeri
sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudian bibir yang lunak basah dan panas itu
menempel kulit leher. Bu Sin hanya dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia
maklum bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba bibir yang menempel
lehernya itu merenggang dan... Siang-mou Sin-ni terisak!
“Tidak... tidak... aku tidak bisa membunuhmu! Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak
mau membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki seperti kepadamu! Bu
Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu, akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian
kepadamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Iblis! Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa!”
Siang-mou Sin-ni memeluknya, menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik hatinya.
Perasaannya seperti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular!
“Dengar, Bu Sin. Kalau kau menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-han, aku akan merampas
kedudukan kaisar untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”
Bu Sin terkejut dan sejenak pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal, tentu
saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi kaisar merupakan tawaran yang
mendebarkan jantungnya dan hampir melemahkan pertahanan hatinya. Alangkah akan mulia dan senang
hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi!
Akan tetapi segera ia ingat akan wanita iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biar pun ia
menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan menjadi kaisar yang hanya akan
mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia, melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan
dongeng tentang Kaisar Tiu Ong yang biar pun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang
kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita cantik yang kemasukan iblis, seekor siluman rase yang
menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan ganas. Bu Sin mengkirik saking jijiknya dan semua
lamunan tadi lenyap, kemarahannya memuncak.
“Siluman hina! Bunuh saja aku!” bentaknya.
Tangis Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah. “Tentu kau akan
kubunuh,” katanya dengan suara dingin, “akan tetapi kubunuh perlahan-lahan, biar kau tahu rasa! Aku
akan membunuhmu sekerat demi sekarat, akan kusiksa kau sampai kau merasa menyesal mengapa kau
pernah dilahirkan ibumu! Darahmu kuhisap sedikit demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita ini
kembali mendekatkan mukanya.
Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan sentuhan bibir lunak basah dan panas,
kemudian terasa leher itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit dan.
“Tar-tar-tar!” terdengar suara keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou
Sin-ni. Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.
“Siang-mou Sin-ni iblis jahanam! Keji sungguh kau!” terdengar bentakan wanita yang marah sekali. “Bu Sin
Koko, jangan takut, aku datang!”
Kembali sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan darah di
punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena agaknya Liu
Hwee, gadis yang baru datang itu, takut kalau-kalau membahayakan kepala Bu Sin.
Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani memandang rendah.
Dari sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Apa lagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou
Sin-ni marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba rambutnya yang tadi membelit-belit tubuh Bu Sin
melepaskan pemuda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian lagi
menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!
Ada pun Bu Sin yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, berdiri terhuyung-huyung. Akan tetapi hanya
sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya
berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang, kalau tidak...!
“Adik Liu Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini!” bentaknya.
Pada saat itu, Liu Hwee sudah memutar senjatanya merupakan bentuk payung hitam yang menangkis
semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata berupa payung
ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga iblis itu terkejut sekali. Hebat juga puteri
Beng-kauw ini!
“Bu Sin Koko, kau pakailah ini!” Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan sebatang pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Bu Sin girang bukan main. Dalam menerima pedang itu, jari-jari tangannya bersentuhan dengan
jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak, dan dalam waktu beberapa detik ini saja,
pandang mata mereka sudah penuh dengan pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra, dan
dalam pandang mata ini tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa mereka akan
sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.
“Terima kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia!”
Siang-mou Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang terkandung dalam
sikap kegembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memuncak dan ia begitu
terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan lupa bahwa ia berhadapan dengan dua
orang lawan yang harus segera ia terjang.
“Kalian... ah, keparat. Bocah she Liu kau... kau mencinta Bu Sin...?!”
Seketika wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.
“Siang-mou Sin-ni, kami pihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi dengan dirimu! Dan mengingat
bahwa kau pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka
pergi meninggalkan kami!” Biar pun Liu Hwee baru berusia sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai
puteri tunggal ketua Beng-kauw ia mempunyai sikap agung dan berwibawa.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni tidak memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin sambil
membentak. “Dan kau... kau manusia tak kenal budi, kau... kau mencinta bocah Beng-kauw ini!”
Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua
kali ada orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita iblis yang lebih
dahsyat dari pada Siang-mou Sin-ni yang berkata demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu
Suling Emas. Kedua kalinya adalah si iblis wanita ini!
“Siluman jahat, kami saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada harganya
untuk menyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.
Siang-mou Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak kuat
mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang yang ia latih
dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.
“Kalian harus mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai, ya? Memang
betul, kalian akan menjadi satu, akan tetapi setelah menjadi daging hancur, hi-hik!” Wanita itu kini
mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu yang-khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu.
Sambil memekik keras ia menerjang maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim
yang digerakkan secara dahsyat sekali.
“Bu Sin Koko, hati-hati...!” Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah
dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar biasa saktinya.
Sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, tentu saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah hebat. Ginkang-nya
tinggi, gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat tinggi sehingga senjatanya
yang berupa cambuk yang kedua ujungnya dipasang bola baja itu digerakkan dengan kecepatan yang
sukar dilawan. Senjata macam ini merupakan senjata yang paling sukar dipelajari, akan tetapi apa bila
sudah matang gerakannya, senjata ini bergerak otomatis seakan-akan menjadi satu dengan kedua tangan,
dan karena itu amat berbahaya.
Betapa pun juga, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah beberapa tingkat. Siang-mou Sinni
adalah seorang di antara Enam Iblis, kepandaiannya aneh dan tinggi. Selain itu iblis betina ini telah
hampir berhasil dalam menciptakan ilmunya yang mukjijat dan keji, yaitu Ilmu Tok-hiat-hoat-lek (Ilmu Gaib
Darah Beracun) yang diciptakan dengan cara menyedot habis darah seorang korban. Entah sudah berapa
puluh orang korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita ini! Selain memiliki ilmu setan yang
hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun memiliki ilmu menggunakan rambut panjang yang ampuhnya
melebihi segala macam senjata. Di samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari tangan Bu Kek
Siansu dan senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian baginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena perbedaan tingkat kepandaian ini, dalam pertempuran itu Liu Hwee selalu tertindih dan terdesak.
Sepasang bola bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu terbentur kembali, bahkan kini yang-khim dan
rambut lawan mulai mengurung dan mendesaknya. Bantuan Bu Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee.
Pemuda ini memang benar memiliki tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi tenaga
itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena ilmu silat yang dimiliki Bu Sin
adalah ilmu silat biasa saja, maka serangan-serangannya tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu
terbentur dan gagal oleh rambut yang hitam panjang.
Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin hampir sama
dengan watak seekor kucing yang suka sekali mempermainkan dan menyiksa tikus sebelum memakannya,
atau seekor laba-laba yang suka menikmati korbannya yang meronta-ronta hendak membebaskan diri
dengan sia-sia. Demikian pula, dalam menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin. Wanita iblis itu mempermainkan
mereka, mengejek dan tidak segera merobohkan mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan ini
ia mengalami kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.
“Kalian saling mencinta, ya? Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan membangun rumah tangga bahagia,
memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai maksud kalian!”
“Keparat, tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar.
Siang-mou Sin-ni tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat rambut.
Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia memukulkan tangannya ke depan dengan
pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.
“Wuuuuuttttt!” Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai
sasaran.
“Uuugghhh!” dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke arah muka Liu
Hwee!
Tadinya Liu Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang tersembur
ke luar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia sudah berusaha mengelak, namun
tiba-tiba ia menjadi pening. Biar pun darah itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir
kepala, namun cukup membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap. Ia tidak tahu bahwa
itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni
terkena pukulan sampai muntah darah, padahal ilmu mukjijat ini selain dipergunakan untuk menahan
pukulan, juga sekaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar dari
dalam mulut, darah yang mengandung racun berbahaya!
“Ibils keji!” Bu Sin menerjang maju menusukkan pedangnya.
Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima tusukan pedang itu dengan perutnya!
“Cappppp!” Bu Sin girang karena mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya.
Akan tetapi mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap tubuh Bu Sin, diangkat ke atas
lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi,
kedua orang muda itu terbanting dan roboh tumpang tindih!
“Eh... maaf... Moi-moi...,” Bu Sin mengeluh.
“Tidak apa, Koko... siluman ini memang lihai....”
Bu Sin sudah kehilangan pedang yang ‘menancap’ di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi nekat.
Bersama dengan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi tibatiba
Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan... pedang yang dikira menancap di perutnya itu melayang
bagaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!
“Koko, awas...!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping.
Terdengar kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian lambungnya. Kurang
dunia-kangouw.blogspot.com
cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!
“Iblis keji...!” Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi dengan sepasang
bola bajanya. Ada pun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya yang menancap pada sebatang pohon.
Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu Hwee lagi dengan mati-matian.
“Hi-hik, saling mencinta berarti bodoh, boleh mati bersama!”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat dengan kawatkawat
alat musik yang-khim. Betapa pun Liu Hwee coba membetotnya, namun hasilnya sia-sia saja karena
dengan tenaga ‘menyedot’ Siang-mou Sin-ni telah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian
rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke depan!
Bu Sin berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut itu dengan
maksud membabatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang telah tahu
bahwa pemuda ini entah bagaimana caranya telah memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia tidak
melawan keras dengan keras karena khawatir kalau-kalau rambutnya akan terbabat putus. Ia
menggunakan tenaga lemas, rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga
pergelangan tangan Bu Sin.
Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya seakan-akan hendak patah.
Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini
berdiri tanpa senjata, menghadapi lawan yang terkekeh dan menggerak-gerakkan kepala sehingga
rambutnya menyambar-nyambar mengerikan.
“Hi-hik, kalian saling mencinta, ya? Hi-hik, sehidup semati, senasib sependeritaan!” Siang-mou Sin-ni terus
mengejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.
Kini rambut kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu. Kasihan sekali
Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari hujan serangan ini karena rambut kepala
yang hitam panjang dan gemuk itu berubah menjadi puluhan batang cambuk yang kuat. Mereka dapat
mengerahkan sinkang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian mereka
yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua
dan membuatnya menjadi telanjang bulat, maka dengan nekat ia berusaha untuk menyambar rambutrambut
itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam rambut, mengerahkan tenaganya dan menarik
sekuatnya.
Siang-mou Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia seperti setan
sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah dibelit
rambut sampai tak dapat bergerak lagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu melecut-lecut tubuhnya dari
segenap penjuru! Gadis ini hanya dapat meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut,
akan tetapi pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan.
Betapa hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan itu.
Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas dari pada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus
dan harum itu, tetapi yang melecut dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia
mengurangi pengerahan sinkang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.
“Bocah she Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.
“Siang-mou Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami, ayah pasti
akan mencarimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”
“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin mampus
sekalian!”
Gugup sekali hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena saking gugup dan
bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan tenaganya mengendur. “Siang-mou Sin-ni,
kalau kau berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan kepalamu!”
Siang-mou Sin-ni mendengus, “Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang
juga bocah she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu mengangkat tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini tahu apa yang
terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada orang yang tadi menariknya ke atas dengan
cara mencengkeram rambut-rambutnya, dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada batang
pohon yang tinggi di atasnya! Ketika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan perbuatan
ini bukan lain adalah... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak melepaskan diri, akan tetapi
tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu
bergerak lagi!
“Siang-mou Sin-ni, dimana-mana kau hanya membikin onar!” seru Suling Emas dengan suara dingin dan
marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah dengan muka merah sambil berusaha
menutupi tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga robek-robek pakaiannya, bahkan mandi
darah oleh lecutan-lecutan tadi.
“Twako...!” seru Bu Sin dengan girang sekali.
Suling Emas tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah memaki-makinya. “Suling
Emas, kau pengecut hina-dina! Kau menyerangku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita
bertanding sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”
Akan tetapi Suling Emas tidak melayaninya, bahkan tangannya meraih dan... seketika pakaian luar Siangmou
Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi setengah telanjang karena yang
menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!
“Heee, setan neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan raguragu,
“Suling Emas... kalau kau... suka kepadaku, kenapa tidak menanti sampai kita berdua saja...? Mau
apa kau melepaskan pakaianku!”
“Huh, perempuan hina!” Suling Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan
pakaian itu kepada Bu Sin sambil berkata, “Kau berikan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian kau
bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”
Bu Sin menerima pakaian itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang
memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang setengah telanjang itu,
hanya menyodorkan pakaian sambil berkata, “Hwee-moi, cepat pakailah ini!”
Dengan cepat dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah memakai
pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina itu ramping dan
sama dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas betul.
“Bu Song, kau bunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.
“Hi-hik, kau yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan
kubunuh mampus semua!”
“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang
menghadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu Sin,
di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”
Dengan kening berkerut Bu Sin menceritakan pengalamannya di dalam terowongan rahasia, betapa
mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo, kemudian betapa Siang Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan dia
sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.
“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan
suara gemas. “Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di sana. Terlalu banyak orang jahat
memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi diri untuk mengamati kalian. Aku pasti akan dapat mencari
Sian Eng, Lin Lin, dan membawa kembali tongkat Beng-kauw.”
“Paman Guru Kauw Bian Cinjin juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat
pusaka,” kata Liu Hwee menerangkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling Emas mengangguk-angguk, “Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang
kalian lekaslah kembali ke Nan-cao.”
Liu Hwee dan Bu Sin tidak membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee berhenti dan berkata.
“Bu Sin Koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”
Bu Sin memandang heran. “Hwee-moi, apa maksudmu?”
Gadis itu tersenyum dan dunia ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi Bu Sin. Semenjak jaman purba
sampai jaman sekarang, senyum seorang gadis selalu mendatangkan keajaiban bagi pria yang
mencintanya, keajaiban yang indah, seindah bunga mekar tersiram embun di waktu pagi, atau matahari
mengintai di ufuk timur mengusir kemuraman subuh. Untuk senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap
sedia mengorbankan apa saja!
“Koko, betulkah hatimu rela begitu saja kalau kita berdua kembali ke Nan-cao sedangkan tugas sedemikian
banyaknya yang harus diurus oleh kakakmu? Kedua orang adikmu terancam bahaya, tongkat pusaka
terampas musuh, bagaimana mungkin kita pulang begitu saja tanpa memberi bantuan sedikit pun juga?”
“Cocok dengan isi hatiku, Moi-moi. Aku pun merasa tidak enak sekali kalau harus pergi begitu saja
berpeluk tangan, bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi Song-twako
yang memerintah, bagaimana aku dapat membantah?”
Kembali Liu Hwee tersenyum. “Kakakmu itu memang lihai sekali, agaknya dengan orang seperti dia turun
tangan, semua urusan pasti akan beres. Akan tetapi aku sama sekali tidak setuju kalau harus tinggal diam
saja. Tadi pun aku hendak membantahnya, akan tetapi tidak baik di depan iblis betina itu kalau kita saling
bantah. Karena itu aku tadi diam saja. Sekarang mari kita kembali dan mengambil jalan kita sendiri,
mencari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlomba dengan Suling Emas!”
Gembira sekali hati Bu Sin, kegembiraan bertumpuk-tumpuk karena tidak saja ia gembira dapat membantu
untuk menolong kedua orang adiknya, juga ia senang sekali dapat melakukan perjalanan ini bersama Liu
Hwee, dapat sama-sama menempuh bahaya!
“Bagus! Mari kita berangkat, Moi-moi!”
Mereka kini berlari ke arah timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee berhenti.
“Perempuan tadi, dia... dia agaknya amat mencintamu, Koko!”
“Huh, iblis betina itu!” Bu Sin mendengus, mukanya berubah merah sekali.
“Tapi... tapi dia cantik sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah berapa banyaknya pria yang tergila-gila dan
jatuh hati kepadanya.”
“Uhhh, kecantikan iblis seperti keindahan warna kulit seekor ular beracun. Sudahlah, kita tak perlu bicara
tentang dia, aku jijik kalau mengingat dia!” kata Bu Sin.
Liu Hwee tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia ini hanya ada
dua orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan oleh laki-laki yang bagaimana gagah
pun. Pertama adalah mendiang enci Lu Sian, kedua adalah Coa Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah.
Senjata mereka yang paling mengerikan adalah kecantikan mereka.”
“Kurasa terdapat perbedaan besar antara enci-mu yang menjadi ibu kandung Bu Song Twako itu dengan
iblis betina Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita lanjutkan perjalanan dan kalau boleh, aku ingin sekali
mendengar penuturanmu tentang riwayat hidup mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang hebat itu.”
Liu Hwee tersenyum lalu menggerakkan kaki, dan mereka berdua kini melanjutkan perjalanan biasa. Liu
Hwee mulai menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang luar biasa dan hebat, akan
tetapi yang hanya diketahui sebagian saja oleh Liu Hwee (riwayat ini dituturkan dengan jelas dalam cerita
SULING EMAS).
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, setelah kedua orang muda itu pergi, Suling Emas lalu menggunakan sulingnya
membebaskan totokannya pada tubuh Siang-mou Sin-ni. Setelah jalan darahnya bebas, dengan mudah
saja wanita itu dapat melepaskan diri dari atas cabang pohon di mana rambutnya yang panjang tadi
diikatkan oleh Suling Emas.
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan Suling Emas hanya
dengan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat dari pada sutera merah! Kalau saja
sepasang matanya tidak menyala-nyala liar, mukanya tidak membayangkan kemarahan yang tak dapat
dikendalikannya lagi, agaknya Siang-mou Sin-ni akan kelihatan amat menggairahkan dalam pakaian
seperti itu. Masih untung baginya, rambut yang hitam panjang riap-riapan membantu pakaian dalam yang
kurang cukup menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.
“Keparat...! Jahanam...! Kau... kau... terlalu menghinaku... kau harus mampus...!” Kata-katanya sukar sekali
keluar di antara dengus napasnya yang panas, kedua kakinya bergerak maju perlahan-lahan, kedua
tangannya berkembang, jari-jari tangannya seperti kuku harimau hendak mencengkeram, ujung rambutnya
yang terlalu panjang terseret di atas tanah.
Suling Emas mengerutkan keningnya dan melangkah mundur. “Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini belum
waktunya kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tunggu nanti tiba saatnya
di puncak Thai-san, aku akan mewakili mendiang ibu kandungku. Kita lihat siapa yang lebih kuat.”
“Tidak peduli! Kau harus mampus sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”
“Hemmm, kau sombong. Dengan apa kau hendak membunuhku? Dengan rambutmu? Ataukah dengan alat
khim yang kau curi dari Bu Kek Siansu? Ah, tidak akan ada gunanya, Siang-mou Sin-ni. Lebih baik kau
bertapa lagi memperdalam ilmumu agar kelak di puncak Thai-san kau dapat melayaniku sedikitnya seratus
jurus!”
“Suling Emas, kaulah yang sombong! Kau kira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu? Nah, kau
terimalah ini!”
Tiba-tiba sekali wanita itu membuka mulutnya dan sinar merah yang panjang kecil bagaikan seekor ular
merah menyambar dari dalam mulut itu ke arah Suling Emas. Pendekar ini terkejut juga, tidak mengira
bahwa wanita iblis ini memiliki kepandaian seaneh ini yang selamanya belum pernah ia lihat atau dengar.
Cepat ia miringkan kepala, tidak berani menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu.
Benda itu menyambar lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba pandang matanya
berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda berupa sinar merah itu adalah darah. Darah
hidup! Darah yang mempunyai pengaruh hebat sekali, yang membuatnya tiba-tiba menjadi pening.
Sebelum Suling Emas dapat mengusir kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari depan, alat musik khim
sudah menghantam ke arah kepalanya dibarengi suara kekeh tertawa yang seram.
“Aiiihhhhh...!” Suling Emas mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran alat
khim itu tidak mengenai dirinya. Akan tetapi pada saat itu, selagi ia masih nanar, tahu-tahu tubuhnya sudah
terlibat oleh rambut yang amat kuat, yang melibat kaki tangan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular
yang mengeroyoknya!
Suling Emas maklum bahwa nyawanya berada dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh
sinkang di tubuhnya dan seketika lenyaplah kepeningan kepalanya. Dengan gerakan menggoyang tubuh
sambil mengembangkan tangan dan kaki, terdengar Siang-mou Sin-ni memekik penuh kekecewaan
melihat calon korbannya dapat terlepas begitu cepatnya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling
dan kipasnya.
“Iblis betina, kiranya kau mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi jangan harap kau dapat mengakali
aku lagi. Hayo majulah!”
Dengan sikap tenang penuh wibawa Suling Emas berdiri tegak dengan sepasang senjatanya yang amat
terkenal itu di kedua tangan, matanya menatap tajam. Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, maklum bahwa ilmunya
Tok-hiat-hoat-lek masih belum cukup kuat untuk merobohkan Suling Emas. Tetapi ia merasa gembira
sekali karena biar pun ilmunya belum matang betul, namun ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling
Emas. Andai kata ilmunya sudah matang, tentu tidak semudah itu Suling Emas menyadarkan diri dan tentu
sudah mampus di tangannya. Ia tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi dari tempat
dunia-kangouw.blogspot.com
itu. Suara ketawanya masih terdengar jelas seperti suara kuntilanak, disusul kata-katanya mengejek,
“Suling Emas, kau tunggu saja, di puncak Thai-san aku takkan gagal lagi seperti tadi!”
Sejenak Suling Emas termenung. Ia teringat betapa dahsyat ilmu yang dipergunakan Siang-mou Sin-ni
tadi. Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak lekas-lekas dapat menguasai dirinya dan
melenyapkan kepeningannya, tentu ia sudah menjadi korban. Diam-diam ia bergidik. Ilmu semburan darah
segar tadi benar-benar mengerikan dan kelak ia harus berlaku hati-hati sekali apa bila berhadapan dengan
iblis betina itu.
********************
Dengan amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang
ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan.
Ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang
merupakan inti sari dari pada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang
dapat mengatasi isi kitab itu karena ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang
bermaksud untuk menurunkannya kepada ketua Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad.
Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biar pun sudah lama tongkat pusaka
yang dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru,
namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa
disengaja sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh
namanya?
Karena ia termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini di luar kepala,
dan ia dapat menduga bahwa ilmu mukjijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang lain. Maka setelah ia
hafal benar, yaitu selama lima belas hari di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas
tipis itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.
“He, apakah itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin. Betapa pun
juga, iblis hitam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak
pernah memperdengarkan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan
menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.
Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecilkecil
itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang lalu hinggap di
atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar,
tubuhnya melayang ke permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh
itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.
Diam-diam Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat
sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biar pun sudah memiliki hafalan ilmu mukjijat yang
ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Dengan sepasang mata bersinar penuh ejekan ia
memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu.
Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan
potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa artinya?
Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta memasangnya kembali seperti
semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!
“Apa ini...?” Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan
ingin tahu sekali.
“Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang di
antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek
menjadi potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin Lin mengejek dan mempermainkan karena setelah ia
menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan kelincahannya.
“Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri
dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus hamba
jaga secara teliti dan tidak boleh sama sekali ada rahasia. Surat apakah tadi?”
Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan. “Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu. Surat yang
kurobek-robek tadi adalah surat dari... kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya.
Rahasia dong!” Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol
juga.
“Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru